BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Film merupakan salah satu alat komunikasi massa paling berpengaruh yang muncul pada abad ke-19. Pada pertengahan abad ke-19, studio film dengan sendirinya menjadi pabrik pengalih perhatian masyarakat. Film menjadi obat sempurna untuk melawan kebosanan. Akibatnya ”medium film menjadi kekuatan besar dalam perkembangan budaya pop, yaitu budaya yang karakteristik pendefinisiannya adalah pembauran dan pencampuran seni serta pengalih perhatian secara beragam” (Danesi, 2010: 138).
Kekuatan dan kemampuan film yang dapat menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat film dapat mempengaruhi khalayaknya. Film selalu memengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan (message) dibaliknya, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Hal ini didasarkan bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film ini dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan kemudian memroyeksikannya dalam layar (Sobur, 2004: 127).
Sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi, dan ideologi dari kebudayaannya. Sadar akan kemampuan film yang dapat menggerakkan khalayak ramai, berbagai pihak mulai memakai film sebagai medium politik dan propaganda.
The mass media serve as a system for communicating messages and symbols to the general populace. It is their function to amuse, entertain, and inform, and to inculcate individuals with the values, beliefs, and codes of behaviour that will integrate them into the institutionals structures of the larger society. In a world of concentrated wealth and major conflict of interest, to fulfill this role requires systematic propaganda (Herman dan Chomsky, 1988: 01). Dengan adanya sistem media massa yang terarah, film dapat dengan mudah menarik khalayak untuk menerima pesan-pesan politik dan propaganda dengan cara yang menarik dan menghibur. Pemakaian sistem tersebut bukanlah isu baru di dunia global. Setidaknya Amerika adalah salah satu negara yang sangat sering memakai film sebagai alat propagandanya. Berikut ini akan dibahas bagaimana film sudah digunakan oleh Amerika sebagai medium propaganda dari dulu.
Sebagai contoh, bahkan ketika film belum disingkronkan dengan suara (film bisu), Amerika mengeluarkan film The Birth of Nation (1915) karya D.W Griffith. Film ini mengangkat kisah tentang perang saudara dan era rekonstruksi Amerika, di mana memotret kehidupan black people dan menonjolkan pemujaan pada Ku Klux
Klan (kulit putih). Walaupun fiksi, tetapi film ini cukup kontroversial di masanya
karena mengkhususkan pembelaan akan dominasi kulit putih untuk melindungi kemurnian rasial (Danesi, 2010: 137).
Film sebagai medium yang efektif untuk menyampaikan suatu ideologi tidak berhenti sampai disitu. Hal ini kemudian berlanjut hingga ke Perang Dunia II, Perang Dingin, peristiwa 9-11, dan masa kini. Film yang ditampilkan pun tidak hanya film realita (non-fantasi), film-film bersifat animasi, fantasi juga memperlihatkan hal yang sama, contohnya Der Fuehrer’s Face (1940) keluaran Walt Disney dan Looney Tunes.
Inilah salah satu propaganda yang kala itu (era Perang Dunia II) untuk menciptakan anggapan bahwa dunia butuh kebebasan, bukan Marxisme atau Komunisme. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Frances Stonor Saunders dalam bukunya Who Paid The Piper? The CIA and The Cultural War.
”Its mission was to nudge the intelligentsia of Western Europe away from its lingering fascination with Marxism and Communism towards a view more accommodating of ‘The America Way’...that the world needed a pax Americana, a new age of enlightenment, and it would be called The America Century” (Saunders, 2000: 2).
Film-film yang dikemukakan di atas hanyalah beberapa contoh dari penggunaan film sebagai medium politik dan propaganda. Kebanyakan tema yang diusung pada era Perang Dunia I dan II adalah tema yang berkaitan dengan pekerja dan imigran, kemerdekaan, dan kemenangan atas perang. Setelah film bertemakan nasionalisme banyak bermunculan, pasca Perang Dunia II dan era 1960-an mulai muncul tokoh-tokoh heroik dan bernuansa nasionalisme tetapi dituang ke dalam komik.
”...the two periods in which most of the famous superheroes were first created: The Great Depression and World War II era, which gave birth to Superman, Batman, and Wonder
Woman, and the sixties , in which Spider-Man, The Fantastic Four, The X-Men, Iron Man, The Hulk, and Doctor Who were first created” (Dipaolo, 2011: 2).
Selain tokoh-tokoh komik superhero yang disebutkan tadi, masih ada lagi tokoh komik lainnya, seperti Captain America, Dare Devil, Fantastic Four,
Watchmen, dan Thor. Sifat-sifat yang ada dalam tokoh-tokoh ini hampir semuanya
sama, memakai kostum, bertubuh kekar, dan cerdas.
”Superhero narratives, as they are traditionally understood, involve colorful garbed heroic icon that demonstrate uncanny strength, intelligence, supernatural powers, and near-infallibility” (Dipaolo 2011: 2).
Walaupun memang pada awalnya tokoh-tokoh ini muncul dalam komik, tetapi belakangan cerita dari komik tersebut diangkat ke layar lebar. Meski settingnya mungkin sudah lama (seperti Watchmen bersetting era Perang Dingin), tetapi masih ada propaganda yang dilancarkan dari film-film heroisme ini.
Melihat adanya film digunakan Amerika Serikat sebagai alat propaganda, khususnya film-film yang menampilkan tokoh-tokoh superhero, maka penulis melakukan penelitian terhadap propaganda Amerika melalui film Hollywood.
Film yang diteliti adalah Captain America: the First Avenger, sebuah film yang diadaptasi dari buku komik berjudul Captain America karangan Joe Simon and Jack Kriby. Captain America kemudian diangkat sebagai film dengan penulis naskah Christoper Markus dan Stephen McFeely, dan diarahkan oleh sutradara Joe Johnston.
Adapun hal yang diteliti adalah bagaimana Amerika melakukan propaganda dengan memakai film Hollywood.
Captain America dipilih karena tokoh ini adalah tokoh pertama yang lahir dari Timely Comics (yang belakangan berubah menjadi Marvel Comics pada 1960-an). Captain America lahir pada era Perang Dunia II, yang kala itu terkenal dengan
pemerintahan Nazi. Tokoh ini begitu ikonik karena muncul delapan bulan sebelum Perang Dunia ke-II dan tampil dengan cover Captain America memukul rahang Hitler (DiPaolo, 2011:11).
Komik Captain America terjual lebih dari 210 juta kopi di 75 negara. Pencapaian tersebut diraih selama setahun setelah terbit pertama kalinya pada 1941.
Captain America merepresentasikan Amerika dalam melawan kekuatan Nazi (dalam
hal ini digambarkan melalui tokoh Hydra). Tokoh yang pada awalnya hanya seorang pemuda biasa yang tidak dapat masuk ke dalam US Army berapa kalipun ia mencoba, karena tubuhnya yang tidak sesuai kriteria.
Tokoh Captain America belakangan diangkat menjadi sebuah film pada 2011 berjudul Captain America: The First Avenger. Sama seperti komiknya, film ini menggambarkan tentang seorang anak muda, Steve Rogers, berkebangsaan Amerika yang memiliki semangat patriotik. Steve ingin sekali masuk ke dalam pasukan militer Amerika dan ikut berjuang dalam perang. Namun, tubuhnya yang kurus dan banyak
penyakit tidak memungkinkan ia masuk ke dalam pasukan militer. Film ini mengisahkan bagaimana Steve Rogers akhirnya menjadi Captain America.
Film ini dipilih karena walau tokoh ini sudah lama ada, tetapi bagaimana nilai-nilai dan nuansa patriotik Amerika disampaikan dan ditanamkan melalui film ini menarik untuk diteliti. Penggambaran American ideal (Amerika yang ideal) begitu melekat dalam diri Steve Rogers sebagai Captain America, melalui cara berpikir dan tindakannya. Penggambaran ini ditampilkan secara persuasif melalui media film sebagai alat propaganda Amerika untuk menyebarkan Amerika yang ideal secara luas kepada khalayak.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan dalam latar belakang, masalah penelitian dibagi menjadi pertanyaan berikut,
1. Apa saja tanda-tanda yang bersifat simbolik, ikonik, dan indeksial pada
Captain America: The First Avenger yang menunjukan bahwa Amerika
melakukan propaganda melalui film tersebut?
2. Makna apa yang terkandung dari tanda-tanda yang bersifat simbolik, ikonik, dan indeksial yang ada dalam film Captain America: The First
Avenger?
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menemukan tanda-tanda yang bersifat simbolik, ikonik, dan indeksial pada Captain America: The First Avenger yang menunjukan Amerika melakukan propaganda melalui film tersebut.
2. Menjelaskan makna tanda-tanda simbolik, ikonik, dan indeksial yang menunjukan propaganda Amerika dalam film Captain America: The
First Avenger.
1.4 Signifikansi Penelitian
Signifikansi penelitian dibagi menjadi dua, yaitu signifikansi akademis dan signifikansi praktis.
1.4.1 Signifikansi Akademis
Penelitian ini dibuat untuk menambah referensi mengenai analisis atau peneletian media, terutama film, dengan menggunakan teori dan metode semiotika. Penelitian ini dapat memberikan gambaran konsep dan analisis yang memungkinkan khalayak mengetahui dan memahami bagaimana media digunakan sebagai alat untuk penciptaan realitas (media culture) dan bagaimana hal tersebut dikonstruksikan melalui seperangkat tanda.
Selain itu, hasil dari penelitian ini dapat juga dijadikan referensi bagaimana sebuah film digunakan untuk mengonstruksikan ”dunia” yang dibuat-buat menjadi
suatu realitas menjadi yang nyata di tengah masyarakat, dan bagaimana hal tersebut menjadi alat propaganda yang ampuh.
1.4.2 Signifikansi Praktis
Hasil penelitian ini dapat membantu masyarakat memahami bagaimana cara propaganda bekerja lewat media populer seperti film. Selain itu, mendorong masyarakat untuk tidak menerima mentah-mentah apa disajikan dalam sebuah film, sehingga masyarakat dapat berpikir kritis. Dengan begitu masyarakat akan lebih selektif, sadar, dan tidak serta merta menerima sepenuhnya apa yang digambarkan dalam sebuah film, karena menyadari bahwa tujuan lain dibalik pembuatan film tersebut.
Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberi pengetahuan bahwa sebuah film bukan hanya sebagai hiburan, obat dari kebosanan tetapi juga sebagai alat propaganda dan politik yang efektif, dan bagaimana film dapat menjadi medium untuk membangun kekuasaan.