• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PERENCANAAN KONSUMSI PANGAN ANAK BATITA BAGI KELUARGA MISKIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI PERENCANAAN KONSUMSI PANGAN ANAK BATITA BAGI KELUARGA MISKIN"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PERENCANAAN KONSUMSI PANGAN

ANAK BATITA BAGI KELUARGA MISKIN

Oleh

KIKI RISKI AMELIA

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

2

RINGKASAN

KIKI RISKI AMELIA. Studi Perencanaan Konsumsi Pangan Anak Batita Bagi

Keluarga Miskin (Di bawah bimbingan DADANG SUKANDAR DAN YAYAT

HERYATNO).

Kemiskinan merupakan masalah pokok yang secara tidak langsung menyebabkan status gizi buruk. Salah satu faktor yang secara langsung menyebabkan status gizi buruk tersebut adalah rendahnya konsumsi pangan. Pendapatan yang rendah akan mengancam konsumsi pangan dalam keluarga khususnya anak usia di bawah tiga tahun (batita) dari keluarga miskin. Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan akan zat gizi yang optimal pada anak batita maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah tersebut. Berdasarkan hal itu maka perlu dirancang suatu perencanaan konsumsi pangan anak batita yang sesuai dengan pola konsumsi pangan dan dapat memenuhi kebutuhan zat gizi secara optimal serta mampu dijangkau oleh masyarakat miskin.

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan konsumsi pangan anak batita bagi keluarga miskin. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 1) Mengetahui karakteristik keluarga anak batita, 2) Mengetahui karakteristik anak batita, 3) Mengetahui pola konsumsi pangan anak batita, 4) Menganalisis biaya konsumsi pangan yang biasa dikonsumsi anak batita, 5) Merancang menu makanan harian selama satu minggu yang sesuai dengan karakteristik, angka kecukupan gizi, biaya dan pola konsumsi pangan anak batita, dan 6) Mengkaji daya terima responden terhadap rancangan menu makanan anak batita.

Desain penelitian yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan data dilakukan sebanyak 2 tahap yaitu pada bulan Februari dan Mei 2008 di Desa Waru Jaya, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor. Jumlah anak batita pada pengambilan data tahap I dilakukan di kedusunan 1 Desa Waru Jaya sebanyak 32 orang. Pengambilan data tahap II dilakukan terhadap 36 orang anak batita yang terdiri dari 18 orang sampel tahap I dan 18 orang non sampel.

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan pada tahap I meliputi karakteristik anak batita dan keluarga anak batita serta pola konsumsi pangan anak batita. Data yang dikumpulkan pada tahap II adalah daya terima responden terhadap rancangan menu makanan anak batita. Adapun data sekunder yang digunakan adalah data jumlah anak batita dan gambaran umum lokasi penelitian serta data garis kemiskinan wilayah Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor.

Secara umum, keluarga anak batita (71,9%) termasuk dalam kategori keluarga kecil. Usia orang tua anak batita masih tergolong dewasa awal dengan lama pendidikan ayah (50,0%) maupun ibu (62,5%) kurang dari atau sama dengan enam tahun. Sebagian besar ibu anak batita (84,4%) tidak bekerja sedangkan ayah bekerja dalam bidang jasa (34,4%). Keluarga anak batita mempunyai pendapatan kurang dari Rp750 000 per bulan (46,9%), sedangkan pengeluarannya berkisar antara Rp750 000-Rp1 000 000 per bulan.

Sebagian besar anak batita berjenis kelamin laki-laki. Saat pengambilan data, anak batita pada kelompok usia 7-12 bulan sedang menderita penyakit infeksi dan terdapat beberapa keluhan kesehatan selama satu bulan terakhir pada anak batita kelompok usia lainnya (batuk, flu, demam, diare, masuk angin, muntah-muntah dan nafsu makan menurun). Tidak terdapat alergi makanan pada

(3)

sebagian besar anak batita (90,6%) di semua kelompok usia. Sebagian besar anak batita (81,3%) mempunyai status gizi yang baik.

Sebanyak 58,3 persen konsumsi pangan anak batita pada kelompok usia 13-24 bulan diutamakan dalam keluarga dan keluarga anak batita pada kelompok usia 7-12 bulan melakukan penyediaan makanan untuk anak secara terpisah. Umumnya frekuensi makan anak batita adalah sebanyak 2-3 kali sehari. Sebagian besar anak batita mengalami defisit konsumsi energi, protein, vitamin A, vitamin C dan kalsium. Jenis pangan yang dikonsumsi setiap hari adalah nasi sebagai sumber energi. Pangan sumber protein yang sering dikonsumsi adalah tempe, tahu, telur dan ikan. Kemudian sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral dikonsumsi 1-3 kali dalam seminggu. Umumnya anak batita pada ketiga kelompok usia (68,8%) tidak mengkonsumsi susu formula.

Rata-rata pendapatan per kapita keluarga anak batita adalah sebesar Rp181.295.00 per kapita/bulan, sedangkan rata-rata pengeluaran pangannya (Rp138 948.20 per kapita/bulan) lebih besar daripada rata-rata pengeluaran non pangannya (Rp76 738.50 per kapita/bulan). Rasio pengeluaran pangan terhadap pendapatan sebesar 76,6%. Besarnya alokasi biaya yang digunakan dalam perencanaan menu makanan anak batita adalah rata-rata pengeluaran pangan yaitu sebesar Rp 4 631.60 per kapita/hari.

Menu makanan harian anak batita yang dirancang menggunakan prinsip bergizi, beragam dan berimbang yang terdiri atas pangan pokok, pangan nabati, pangan hewani, sayur, buah dan tambahan lain (selingan). Rancangan menu tersebut ditujukan untuk anak batita usia 7-12 bulan (menu A), 13-24 bulan (menu B) dan 25-36 bulan (menu C) sehingga jumlah menu yang dirancang sebanyak 21 menu harian selama 1 minggu. Kontribusi kandungan zat gizi menu anak batita yang dihasilkan tergolong dalam kategori baik. Rata-rata kandungan energi menu berkisar antara 99,6-108,6 persen, protein antara 97,1-107,8 persen, vitamin A antara 105,7-450,7 persen, vitamin C antara 101,4-133,3 persen, kalsium antara 100,2-116,7 persen, dan zat besi antara 99,6-126,9 persen. Kontribusi vitamin dan mineral yang tinggi masih di bawah batas maksimum yang diperbolehkan (Tolerable upper intake level, UL).

Dilihat dari segi biaya, rata-rata biaya konsumsi pangan harian yang digunakan dalam menu A dan menu B masih dibawah rata-rata alokasi pengeluaran pangan yang dihasilkan dari analisis biaya (Rp4.631.60 per kapita/hari). Sedangkan pada menu C terdapat kelebihan biaya sebesar Rp245.90 atau sebesar 5,3 persen.

Lebih dari separuh responden (55,6%) menerima rancangan menu makanan anak batita yang direkomendasikan. Alasan responden menolak rancangan menu makanan anak batita adalah adanya jenis pangan yang tidak disukai dalam menu tersebut seperti roti, biskuit, kacang hijau, nasi, agar, susu, ikan, sayuran dan buah-buahan. Alasan lain diantaranya dilihat dari segi kuantitas dan jenis pengolahan pangan. Umumnya responden menyatakan bahwa kuantitas pangan yang dikonsumsi anak mereka sangat sedikit. Sedangkan penolakan responden terhadap jenis olahan pangan disebabkan karena beberapa anak batita tidak menyukai olahan makanan dengan tekstur lunak seperti tim tahu, pepes oncom dan agar-agar. Selain itu, jenis olahan sayuran seperti tumis juga kurang disukai anak batita kelompok usia 25-36 bulan.

Kemampuan dan kreatifitas dalam hal pengolahan dan penyajian menu makanan sangat penting dilakukan oleh para ibu. Hal itu mengingat peran ibu sebagai pengasuh anak sekaligus orang yang biasanya menentukan jenis pangan yang akan disajikan dalam keluarga. Susunan menu yang disajikan pun diharapkan sesuai dengan prinsip makanan yang bergizi, beragam dan berimbang agar kebutuhan anak akan semua zat gizi dapat terpenuhi.

(4)

4

STUDI PERENCANAAN KONSUMSI PANGAN

ANAK BATITA BAGI KELUARGA MISKIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh Kiki Riski Amelia

A54104021

PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Studi Perencanaan Konsumsi Pangan Anak Batita Bagi Keluarga Miskin

Nama Mahasiswa : Kiki Riski Amelia

NRP : A54104021

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Yayat Heryatno, SP., MPS NIP. 131 645 543 NIP. 132 146 239

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(6)

6

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul Studi Perencanaan Konsumsi Pangan Anak Batita Bagi Keluarga Miskin ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc dan Yayat Heryatno, SP.,MPS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Katrin Roosita, SP., MSi selaku dosen pemandu sekaligus dosen penguji yang telah memberikan saran dan arahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Kedua orang tua tercinta, Papa Anton Lukito dan Mama Dedeh Mulyanah

atas segala limpahan doa dan kasih sayang yang tak terhingga.

4. Kakak-kakak tercinta, Desi Amelia, A.Md dan Ogi Irwansyah atas doa dan dukungannya.

5. Keluarga besar Kakek Adung Saputra (Alm) dan Opa Ali Lukito (Alm), khususnya Tante Sinta Lusiana Lukito atas segala doa dan dukungannya selama ini.

6. Asteria dan keluarga, atas segala dukungannya.

7. Teman-teman GMSK angkatan 41 atas kebersamaannya selama ini. Suci Pujiyanti, Rena Ningsih, Eka Septiani, Lia Riawanti, Prita Dyani, Rika Yulianti dan lainnya, atas segala dukungan, semangat, canda tawa dan persahabatan yang tak terlupakan.

8. Kakak-kakakku GMSK angkatan 40, Kak Wahyudin, Kak Tirta, Kak Ticha, Pak Dian (Alih Jenjang), Mba Linda (S3 GMSK) dan Mba Fauziah (S2 GMSK) atas segala nasihat dan dukungannya.

9. Keluarga besar bimbingan belajar BQ, atas kerja sama dan kesempatan yang telah diberikan selama ini.

10. Johan Mohammad, SPi., atas semua doa, semangat dan dukungannya. 11. Sahabat-sahabatku Rani Fitriani dan Eka Budiarti atas persahabatan

(7)

12. Bapak Samsudin, Staf Laboratorium Komputer Departemen Statistika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, IPB atas segala bantuannya.

13. Seluruh Staf Desa Waru Jaya atas segala kemudahan yang telah diberikan.

14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih banyak hal yang perlu diperbaiki dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kemajuan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang berkepentingan.

Bogor, Agustus 2008

(8)

8

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Maret 1986 dari keluarga Bapak Anton Lukito dan Ibu Dedeh Mulyanah. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis yaitu di SMA Negeri 1 Parung (2001-2004). Kemudian, pada bulan Juni tahun 2004, penulis diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama menjalani pendidikan, penulis pernah mengikuti beberapa organisasi seperti Badan Konsultasi Gizi (BKG) tahun 2005-2008 dan anggota perdana Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia (HMPPI) IPB tahun 2006-2007. Pada tahun 2005 penulis juga pernah mengikuti orientasi kerja (magang) di Puskesmas Parung selama tiga bulan dan menjadi anggota Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul Pembuatan Abon Jantung Pisang.

Kemudian, tahun 2006 penulis mengikuti pelatihan penanggulangan korban bencana selama tiga hari dan selanjutnya dikirim sebagai tim relawan korban gempa di Klaten, Jawa Tengah selama dua minggu. Penulis juga pernah menjadi staf pengajar di Lembaga Pendidikan Kastia pada tahun 2005-2006 dan staf pengajar di BQ pada tahun 2007 sampai sekarang.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... x PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan... 3 Kegunaan ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4 Anak Batita ... 4

Angka Kecukupan Gizi ... 4

Makanan Anak Batita ... 5

Pola Konsumsi Pangan Anak Batita... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Pangan Anak Batita ... 8

Perencanaan Pangan Menggunakan Model Goal Programming ... 12

Penerimaan Anak Batita terhadap Menu Makanan ... 13

KERANGKA PEMIKIRAN... 15

METODE PENELITIAN ... 17

Desain, Tempat dan Waktu ... 17

Teknik Penarikan Contoh ... 17

Jenis dan Cara Pengambilan Data... 18

Pengolahan dan Analisis Data ... 18

Definisi Operasional ... 25

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 27

Karakteristik Keluarga Anak Batita ... 30

Karakteristik Anak Batita ... 33

Pola Konsumsi Pangan Anak Batita ... 36

Analisis Biaya Konsumsi Pangan Anak Batita ... 42

Rancangan Menu Makanan Harian Anak Batita ... 44

Daya Terima Responden terhadap Rancangan Menu Makanan ... 51

KESIMPULAN DAN SARAN ... 55

Kesimpulan ... 55

Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58

(10)

10

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Angka kecukupan gizi anak batita ... 5

2. Jenis dan cara pengambilan data ... 18

3. Cara pengkategorian variabel-variabel yang diteliti ... 19

4. Pemanfaatan lahan Desa Waru Jaya ... 27

5. Jumlah penduduk Desa Waru Jaya menurut struktur usia ... 28

6. Tingkat pendidikan penduduk ... 28

7. Jenis pekerjaan penduduk Desa Waru Jaya ... 29

8. Sebaran keluarga anak batita menurut besar keluarga... 30

9. Sebaran keluarga anak batita menurut usia dan lama pendidikan orang tua ... 31

10. Sebaran keluarga anak batita menurut jenis pekerjaan orang tua ... 32

11. Sebaran keluarga anak batita menurut pendapatan dan pengeluaran per bulan ... 32

12. Sebaran anak batita menurut kelompok usia dan jenis kelamin 33 13. Sebaran anak batita menurut kondisi fisiologis ... 34

14. Sebaran anak batita menurut kelompok usia dan status gizi .... 35

15. Sebaran anak batita menurut kelompok usia dan kebiasaan makan ... 36

16. Rata-rata konsumsi dan tingkat konsumsi zat gizi anak batita... 38

17. Sebaran anak batita menurut tingkat konsumsi zat gizi dan kelompok usia ... 39

18. Sebaran anak usia 7-12 bulan menurut frekuensi konsumsi pangan ... 40

19. Sebaran anak batita menurut kelompok usia dan pola asuh makan ... 41

20. Sebaran anak batita menurut kelompok usia dan pengetahuan gizi ibu ... 42

21. Rata-rata pendapatan dan pengeluaran per kapita ... 43

22. Alokasi pengeluaran pangan keluarga anak batita tiap jenis kelompok pangan ... 44

23. Contoh rancangan menu makanan satu hari untuk anak batita kelompok usia 7-12 bulan... 46

24. Contoh rancangan menu makanan satu hari untuk anak batita kelompok usia 13-24 bulan ... 47

25. Contoh rancangan menu makanan satu hari untuk anak batita Kelompok usia 25-36 bulan ... 48

(11)

26. Rata-rata biaya dan kontribusi kandungan zat gizi

masing-masing menu makanan ... 49

27. Skor PPH masing-masing menu makanan... 51

28. Daya terima responden terhadap rancangan menu makanan anak batita ... 52

29. Jenis pangan tambahan di luar rancangan menu makanan ... 54

30. Frekuensi konsumsi pangan anak kelompok usia 13-24 bulan.. 62

31. Frekuensi konsumsi pangan anak kelompok usia 25-36 bulan.. 63

32. Jenis-jenis pangan terpilih untuk rancangan menu makanan .... 64

33. Format data untuk model goal programming ... 65

34. Contoh rancangan menu makanan satu hari ... 67

35. Menu makanan anak kelompok usia 7-12 bulan ... 74

36. Menu makanan anak kelompok usia 13-24 bulan ... 76

(12)

12

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Kerangka pemikiran ... 16 2. Tahap perancangan menu makanan anak batita ... 22

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Frekuensi konsumsi pangan anak batita ... 62

2. Contoh tahap perancangan menu makanan satu hari... 64

3. Rancangan menu makanan masing-masing kelompok usia ... 68

4. Menu makanan anak batita ... 74

5. Kuisioner pengambilan data I ... 81

6. Kuisioner pengambilan data II (kajian daya terima responden terhadap rancangan menu makanan anak batita)... 88

(14)

14

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Krisis ekonomi dan multidimensi yang terjadi di Indonesia menimbulkan banyak masalah dalam berbagai aspek kehidupan. Angka pengangguran dan kemiskinan semakin meningkat serta timbul masalah pangan di beberapa wilayah Indonesia. Kondisi ini akan mengancam kesejahteraan hidup masyarakat khususnya masyarakat ekonomi lemah.

Kemiskinan yang dialami masyarakat akan memberikan dampak buruk salah satunya pada masalah pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan yang masih kurang. Berdasarkan data Susenas (1996 & 1998) pengeluaran untuk pangan bagi rumah tangga miskin berkisar antara 60-80 persen dari pendapatan dan bagi rumah tangga mampu antara 20-59 persen (Soekirman 2000). Mengingat rendahnya pendapatan rata-rata yang diperoleh rumah tangga miskin maka kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang cukup baik dari segi jumlah maupun jenisnya pun masih kurang. Hal ini disebabkan karena rendahnya daya beli masyarakat terhadap pangan sehingga sulit dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Pemenuhan kebutuhan pangan ini pada akhirnya akan menentukan tingkat konsumsi zat gizi individu. Tidak terpenuhinya kebutuhan pangan dalam rumah tangga menyebabkan kurangnya konsumsi setiap individu dalam rumah tangga tersebut akan zat gizi.

Konsumsi pangan yang mengandung berbagai sumber zat gizi yang dibutuhkan dan sesuai dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu. Zat-zat gizi tersebut dapat diperoleh dari bahan pangan yang beragam. Setiap zat gizi mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh seseorang. Oleh sebab itu, jika kebutuhan zat gizi ini tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan perkembangan tubuh akan terhambat.

Anak usia di bawah tiga tahun (batita) seperti halnya anak usia bawah lima tahun (balita) merupakan salah satu kelompok yang rawan terhadap pangan selain ibu hamil dan ibu menyusui. Pada masa inilah pertumbuhan dan perkembangan terjadi sangat cepat sehingga diperlukan asupan zat gizi yang cukup. Menurut Suhardjo (2005) pertumbuhan yang cepat dan hilangnya kekebalan pasif berada dalam periode sejak mulai disapih sampai umur lima tahun yang merupakan masa-masa rawan dalam siklus hidupnya. Apabila seorang anak tidak mendapatkan perhatian khusus, maka masalah gizi akan

(15)

sangat mudah terjadi pada anak tersebut. Oleh karena itu, anak harus diberikan penanganan berupa perawatan dan pengasuhan yang tepat khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pangannya. Hal ini berhubungan dengan peranan penting seorang ibu sebagai pengasuh utama. Pola asuh makan yang diberikan seorang ibu akan mempengaruhi kebiasaan makan anak dan selanjutnya akan membentuk pola konsumsi pangan anak. Jika seorang anak mengkonsumsi pangan yang cukup asupan zat gizinya maka akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan yang optimal sehingga dapat terhindar dari masalah-masalah gizi.

Masalah gizi buruk dan konsumsi pangan anak sangat berkaitan dengan sumberdaya yang dimiliki keluarga. Bagi keluarga mampu (ekonomi menengah keatas) dan mengerti masalah gizi tentunya hal ini tidak menjadi masalah, artinya anak akan mengkonsumsi makanan yang cukup baik. Namun bagi keluarga miskin, kebutuhan zat gizi anak belum tentu dapat terpenuhi. Hal ini dilihat dari kebiasaan konsumsi pangan anak yang cenderung disamakan dengan menu keluarga dimana menu untuk orang dewasa sendiri terdiri dari makanan yang kurang bergizi (Kusharto et al. 2005).

Menurut Soekirman (2000), anak yang menderita gizi buruk beresiko tinggi kehilangan sebagian potensinya untuk menjadi sumberdaya manusia kelas satu karena adanya penurunan kemampuan intelektual. Kemampuan intelektual yang menurun ini dapat memperbesar kemungkinan hilangnya generasi yang berkualitas dan mempunyai peran besar dalam pembangunan di masa yang akan datang.

Berdasarkan kerangka pikir UNICEF (1998), kemiskinan menjadi masalah pokok yang menyebabkan munculnya status gizi yang buruk, sedangkan salah satu faktor yang secara langsung menyebabkan status gizi buruk adalah konsumsi pangan yang masih rendah sehingga kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi. Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan akan zat gizi yang optimal pada anak khususnya anak batita maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah gizi yang terjadi. Salah satunya adalah dengan menyusun suatu perencanaan konsumsi pangan yang tepat. Perencanaan yang akan dilakukan tentu harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan anak serta sumberdaya yang ada. Berdasarkan hal-hal itulah maka dapat dirancang sebuah rekomendasi menu makanan yang mampu memenuhi kebutuhan zat gizi secara optimal. Disamping itu, diharapkan menu

(16)

16

makanan yang dirancang tersebut mampu dijangkau oleh masyarakat miskin dengan biaya konsumsi pangan yang seminimum mungkin.

Tujuan Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menyusun perencanaan konsumsi pangan anak batita bagi keluarga miskin. Studi perencanaan ini berupa rancangan suatu rekomendasi menu makanan yang tepat untuk anak batita dengan sumberdaya yang ada dengan prinsip optimalisasi kandungan zat gizi dan minimalisasi biaya konsumsi pangan.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian yang akan dilaksanakan ini yaitu :

1. Mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan demografi keluarga anak batita.

2. Mengetahui karakteristik demografi, fisiologi dan antropometri anak batita. 3. Mengetahui pola konsumsi pangan anak batita (kebiasaan makan,

konsumsi pangan, pola asuh makan dan pengetahuan gizi ibu).

4. Menganalisis biaya konsumsi pangan yang biasa dikonsumsi anak batita. 5. Merancang menu makanan harian selama satu minggu yang sesuai

dengan karakteristik, angka kecukupan gizi, biaya dan pola konsumsi pangan anak batita.

6. Mengkaji daya terima responden terhadap rancangan menu makanan anak batita.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan sumbangsih yang bermanfaat dalam upaya meningkatkan gizi masyarakat. Hal tersebut khususnya ditujukan kepada keluarga miskin yang mempunyai anak batita. Rekomendasi menu makanan yang telah dirancang juga diharapkan dapat memberikan suatu hasil perencanaan konsumsi pangan yang tepat dan sesuai dengan pola konsumsi, sumberdaya keluarga serta mampu memenuhi kebutuhan zat gizi anak batita.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Batita

Batita (bawah tiga tahun) merupakan sebutan untuk anak yang berusia dibawah tiga tahun. Menurut Hurlock (1980), anak batita termasuk dalam masa awal anak-anak. Anak balita termasuk batita kemudian ibu hamil dan ibu menyusui, dalam ilmu gizi dikelompokkan sebagai golongan penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi termasuk Kekurangan Energi Protein (KEP). Oleh karena masalah gizi pada umumnya, khususnya KEP banyak terjadi pada anak batita maka perhatian lebih besar pada masalah KEP anak (Soekirman 2000).

Usia dibawah 18 bulan merupakan fase dimana otak anak sedang berkembang secara optimal. Kurang gizi pada masa ini akan bersifat irreversible atau tidak dapat pulih (Khomsan 2004). Pertambahan berat badan yang cepat dimungkinkan oleh konsumsi zat-zat gizi dari makanan, terutama ASI yang cukup. Karena itulah, pada masa ini kebutuhan gizinya paling tinggi. Hal ini membuat mereka paling rawan terhadap gangguan gizi (Nasoetion & Riyadi 1995).

Angka Kecukupan Gizi (AKG)

Menurut Karyadi dan Muhilal (1996), kecukupan gizi yang dianjurkan (Recommended Dietary Allowance atau RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan untuk mencakup hampir semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat dan tinggi badan, genetika, keadaan hamil dan menyusui.

Kecukupan gizi yang dianjurkan berbeda dengan kebutuhan gizi (requirement). Kebutuhan gizi lebih menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang diperlukan oleh masing-masing individu, ada yang tinggi dan ada pula yang rendah. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain faktor genetika (Karyadi & Muhilal 1996).

Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kecukupan yang dianjurkan selalu didasarkan pada berat badan untuk masing-masing kelompok umur dan jenis kelamin. Patokan berat badan ini didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian besar penduduk yang digolongkan sehat. Kegunaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan antara lain :

(18)

18

1. Untuk menilai kecukupan gizi yang telah dicapai melalui konsumsi pangan bagi penduduk atau golongan masyarakat tertentu yang didapatkan dari hasil survei gizi atau makanan.

2. Untuk perencanaan pemberian makanan tambahan balita maupun perencanaan makanan institusi.

3. Untuk perencanaan penyediaan pangan tingkat regional maupun nasional.

Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan untuk anak batita menurut golongan umur, berat badan dan tinggi badan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang/hari) Umur (kg) BB (cm) TB Energi (kkal) Protein (g) Vit. A (RE) Vit. C (mg) Kalsium (mg) (mg) Besi

0-6 bln 6,0 60 550 10 375 40 200 0,5

7-12 bln 8,5 71 650 16 400 50 400 7

1-3 thn 12,0 90 1000 25 400 40 500 8

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004

Pangan sebagai sumber zat gizi merupakan kebutuhan pokok yang harus dikonsumsi setiap hari. Berbeda dengan kebutuhan lainnya, kebutuhan pangan hanya memerlukan jumlah secukupnya. Kekurangan maupun kelebihan konsumsi pangan dalam jangka waktu lama akan berdampak buruk bagi kesehatan (Muhilal & Hardinsyah 1998). Status konsumsi energi dan protein dikelompokkan menjadi (Depkes 1996, diacu dalam Rahmawati et al. 2001) :

1. Defisit tingkat sedang 70-79% AKG 2. Defisit tingkat ringan 80-89% AKG 3. Normal 90-119% AKG

4. Diatas angka kecukupan ≥ 120% AKG

Makanan Anak Batita

Menurut Hardinsyah (1996), makanan sehat adalah makanan yang aman dikonsumsi dan menyediakan semua zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk hidup sehat. Makanan pokok seperti serealia dan umbi-umbian kaya akan energi terutama dari karbohidrat. Karena itu makanan ini berperan utama sebagai sumber zat tenaga (energi).

Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) adalah makanan tambahan yang diberikan kepada bayi setelah bayi berusia 4-6 bulan sampai usia 24 bulan. ASI hanya mampu mencukupi kebutuhan bayi sampai usia 4-6 bulan. Setelah itu, produksi ASI semakin berkurang, sedangkan kebutuhan gizi bayi semakin

(19)

meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan berat badan. Makanan pendamping ASI ini harus menjadi pelengkap dan dapat memenuhi kebutuhan bayi. Kecukupan zat gizi yang dianjurkan untuk bayi diharapkan dapat terpenuhi dari ASI dan makanan tambahan (setelah berumur 4-6 bulan) yang dikonsumsi setiap hari (Krisnatuti & Yenrina 2000).

Standar Internasional (Codex standard) menjelaskan bahwa PASI (Pengganti Air Susu Ibu) atau Infant formula adalah suatu produk yang dibuat dengan bahan mentah utama susu atau bahan mentah utama lain baik dari bahan hewani maupun nabati yang telah terbukti cocok dan baik untuk bayi. PASI harus mempunyai kandungan gizi yang cukup dan secara tunggal mampu mendukung pertumbuhan bayi (Winarno 1995).

Menurut Kusharto et al. (2005), makanan sapihan adalah makanan yang diberikan kepada anak ketika anak tidak lagi mendapat ASI. Makanan sapihan ini dapat merupakan makanan keluarga yang umumnya atau makanan khusus. Sedangkan makanan tambahan adalah makanan padat atau setengah padat yang diberikan kepada bayi di samping ASI.

Istilah makanan anak batita tidak sering dikenal karena dianggap sama dengan makanan sapihan untuk anak usia 6 bulan keatas. Pada usia anak balita (1-5 tahun) anak-anak biasanya sudah tidak mau lagi diberi makanan sapihan yang biasa diberikan pada anak usia 6 sampai 24 bulan (Kusharto et al. 2005).

Bagi anak batita yang sudah tidak diberi ASI, untuk memenuhi kecukupan zat gizi yang dianjurkan, biasanya dilakukan dengan cara memberikan berbagai jenis makanan yang bermutu, bernilai gizi tinggi, serta dapat diterima dan disukai anak. Setelah berumur satu tahun, bayi mulai mengenal makanan yang dimakan oleh seluruh anggota keluarga. Namun, seorang bayi harus tetap makan 4-5 kali sehari. Makanan anak harus terdiri dari makanan pokok, kacang-kacangan, pangan hewani, minyak, santan atau lemak, dan buah-buahan. Pemberian ASI tetap dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Cara pengolahan makanan yang akan diberikan kepada bayi dapat dilakukan tersendiri (terpisah) atau dapat diambil dari makanan yang disiapkan untuk keluarga. Untuk memperkenalkan makanan keluarga kepada bayi dapat dimulai dengan bentuk potongan-potongan kecil untuk memudahkan bayi memakannya. (Krisnatuti & Yenrina 2000).

Menurut Winarno (1995), pemberian susu sapi sebagai tambahan untuk anak-anak dibawah 1 tahun sangat dianjurkan sedangkan anjuran minum susu pada anak lebih dari 1 tahun perlu dilakukan khususnya bagi mereka yang

(20)

20

mampu. Akan tetapi sebaliknya bagi keluarga tidak mampu, anjuran tersebut perlu dipertimbangkan terutama mengingat daya beli masyarakat yang sangat rendah.

Krisnatuti & Yenrina (2000) menjelaskan bahwa susu formula dibedakan menjadi susu formula awal dan formula lanjutan. Susu formula awal disebut pula dengan susu formula lengkap yang dibuat untuk memenuhi semua kebutuhan gizi bayi berumur 4-6 bulan. Susu formula lanjutan diberikan kepada bayi berumur diatas 6 bulan atau setelah bayi memperoleh makanan tambahan lain. Dibandingkan dengan ASI, susu formula memiliki banyak kelemahan, terutama dalam hal kandungan gizinya. Selain itu, penggunaan susu formula harus dikontrol dari kemungkinan proses kontaminasi oleh mikroba yang akan menyebabkan terjadinya perubahan kualitas dari zat-zat gizi yang terkandung didalamnya. Jika seorang bayi mengkonsumsi susu formula yang telah terkontaminasi maka akan mengakibatkan diare. Ada kemungkinan susu formula berbentuk cair akan lebih cepat tercemar bakteri daripada susu formula yang berbentuk padat (tepung/bubuk).

Pola Konsumsi Pangan Anak Batita

Seorang bayi memerlukan sebanyak 600 ml susu per hari. Jumlah tersebut dapat dicapai dengan menyusui bayinya selama 4 sampai 6 bulan pertama. Karena itu, selama kurun waktu tersebut ASI (Air Susu Ibu) mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Setelah enam bulan, volume pengeluaran susu menjadi menurun dan sejak saat itu kebutuhan gizi tidak dapat lagi dipenuhi oleh ASI saja dan harus mendapat makanan tambahan (Winarno 1995).

Menurut Krisnatuti dan Yenrina (2000), bayi berumur 5-12 bulan diasumsikan mengkonsumsi 700 ml ASI/hari (setara dengan 8,05 g Protein Setara Telur atau PST) dan bayi berumur 12-24 bulan mengkonsumsi 500 ml ASI/hari (atau setara dengan 5,75 g PST). Makanan anak batita pada usia 1-3 tahun bersifat konsumen pasif artinya makanan yang dikonsumsi tergantung pada apa yang disediakan oleh ibu. Sedangkan usia 3-5 tahun bersifat konsumen aktif yaitu telah memilih makanan yang disukainya. Kebiasaan makanan yang baik harus ditanamkan. Kebutuhan zat gizi pada keluarga usia 3-5 tahun relatif lebih kecil dibandingkan bayi dan kelompok umur 1-3 tahun (Riyadi 2001, diacu dalam Supriatin 2004).

Usia anak batita merupakan masa yang tergolong rawan dimana pada umumnya anak mulai susah makan atau suka pada makanan jajanan yang

(21)

rendah energi dan tidak bergizi. Oleh karena itu, perhatian terhadap makanan dan kesehatan bagi anak pada usia ini sangat diperlukan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Santoso dan Ranti (1999), kondisi anak batita berada dalam periode transisi dari makanan bayi ke makanan orang dewasa sehingga masih memerlukan adaptasi (Rahayu 2006).

Pada masa sapih biasanya pemberian ASI mulai dikurangi atau konsumsi ASI berkurang dengan sendirinya sehingga untuk mencukupi kebutuhan gizinya, bayi atau anak perlu diberi makanan tambahan (makanan sapihan). Bagi keluarga yang mampu dan mengerti masalah gizi tentunya hal ini tidak menjadi masalah, artinya anak akan mengkonsumsi makanan yang cukup baik. Namun bagi keluarga yang kurang mampu maka kecukupan gizi anak belum tentu dapat terpenuhi karena menu untuk orang dewasa sendiri terdiri dari makanan yang kurang bergizi (Kusharto et al. 2005).

Keadaan gizi kurang terjadi karena tubuh kekurangan satu atau beberapa jenis zat gizi yang dibutuhkan baik dari segi jumlah konsumsi zat gizi yang kurang, mutunya rendah atau keduanya. Selain itu, gizi kurang dapat disebabkan pula oleh kegagalan penyerapan zat gizi yang dikonsumsi dan digunakan oleh tubuh. Keadaan yang pertama dapat disebabkan oleh faktor sosial ekonomi seperti kebiasaan makan, kepercayaan dan kemiskinan atau daya beli yang rendah. Sedangkan keadaan kedua disebabkan adanya gangguan fungsi alat pencernaan (Winarno 1995).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Anak Batita Kebiasaan makan

Kebiasaan makan seseorang tergantung pada kemampuan dan taraf hidupnya. Pada umumnya semakin baik taraf hidupnya maka semakin baik pula mutu makanan yang tersedia untuk keluarga. Rendahnya pendapatan orang-orang miskin dan lemahnya daya beli, tidak memungkinkan untuk mengatasi kebiasaan makan dan cara-cara tertentu yang menghalangi perbaikan gizi yang efektif terutama untuk anaknya (Suhardjo 1989).

Setiap bangsa mempunyai kebiasaan makan, pola makan dan cara makan yang berbeda. Hal ini dipengaruhi juga oleh iklim. Kebudayaan suatu keluarga atau kelompok masyarakat tidak hanya menentukan pangan apa, tetapi untuk siapa dan dalam keadaan bagaimana pangan tersebut dimakan. Pola kebudayaan yang berkembang mempengaruhi pemilihan bahan makanan seseorang (Nasoetion & Riyadi 1995).

(22)

22

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (75%) anak batita telah mempunyai kebiasaan diberi makan 3 kali sehari. Namun demikian juga masih ada sebagian kecil (1%) yang mempunyai kebiasaan diberi makan kurang 2 kali. Anak batita mempunyai kapasitas perut yang terbatas, sehingga memerlukan makanan dengan porsi yang kecil tetapi sering. Jenis makanan yang sering diberikan kepada anak balita (10% sampel) di pedesaan dengan frekuensi terbesar adalah beras, tempe tahu, sayuran berwarna dan ASI. Sedangkan untuk jenis lainnya seperti makanan hewani dan buah-buahan masih

jarang diberikan (Adi et al. 2000).

Bila seorang ibu telah berbelanja kebutuhan pangannya dipasar, berarti dia telah mempertimbangkan memilih dan membeli suatu paket komoditi pangan. Dia yakin bahwa paket komoditi pangan yang dibeli tersebut adalah baik dan dapat memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Lebih dari itu, dia yakin bahwa apa yang dibelinya akan disukai oleh anggota keluarganya (Hardinsyah 1985). Preferensi

Preferensi pangan diasumsikan bahwa sikap seseorang terhadap makanan, suka atau tidak suka, akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Mengetahui pangan yang disukai ataupun tidak disukai dan makanan yang belum pernah dirasakan serta menelusuri sebab-sebab yang melatarbelakanginya merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari. Selain itu, perlu juga melihat hubungan antara preferensi anak-anak dengan preferensi orang tua (Suhardjo 1989). Derajat kesukaan dapat diperoleh dari pengolahan terhadap makanan tertentu dan dapat berpengaruh kuat terhadap preferensi (Sanjur 1982, diacu dalam Rusmita 2003).

Orang dapat tertarik dan ingin menikmati makanan dapat disebabkan oleh warna atau rupa masakan, bentuknya, aroma, cara menghidangkan atau menghias dan mungkin juga suhunya. Kegemaran seseorang terhadap suatu makanan tidaklah sama sehingga akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanannya (Nasoetion & Riyadi 1995). Preferensi konsumen dapat dipertahankan dengan bantuan pengolahan dan penyajian yang baik. Bila ini dapat dilaksanakan berarti dalam kondisi tertentu konsumsi pangan dan gizi dapat diperbaiki secara efektif tanpa perlu meningkatkan pendapatan konsumen atau rumah tangga (Hardinsyah 1985).

(23)

Riwayat kesehatan

Menurut Riyadi (2001), penyakit infeksi dapat berdampak buruk terhadap pertumbuhan melalui berbagai cara, yaitu mengurangi nafsu makan (intik pangan), menurunkan penyerapan zat gizi, meningkatkan kebutuhan metabolik atau secara langsung menyebabkan kehilangan zat-zat gizi.

Gizi pada masa anak-anak secara langsung mempengaruhi sistem imun dan jika terjadi kekurangan gizi pada masa tersebut maka akan meningkatkan risiko morbiditas (Mora & Netsel 2000, diacu dalam Briawan & Herawati 2005). Selain itu dikatakan pula bahwa anak-anak yang mengalami kegagalan pertumbuhan (berat badan tetap atau turun) sering disebabkan oleh kekurangan gizi atau sakit (Khomsan 2003).

Pola asuh makan

Konsumsi pangan anak-anak sangat dipengaruhi oleh ibunya. Maksudnya adalah bahwa ibu menentukan cara pemberian makan, jumlah makanan, dan jenis pangan yang diberikan. Kepandaian dan kejelian ibu dalam memilih makanan dan porsinya juga kesabaran dan ketelatenan dalam memberikan makanan sangat mendukung terhadap konsumsi pangan anak (Hartoyo et al. 2003, diacu dalam Nurmiati 2006). Perilaku pemberian makanan berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak (Riyadi 2001).

Pendidikan dan pengetahuan gizi ibu

Tingkat pendidikan yang rendah mempunyai konsekuensi terhadap rendahnya kemampuan ekonomi dan pengetahuan gizi. Tingkat pendidikan yang rendah mengurangi peluang untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang relative tinggi, sehingga kemampuan untuk menyediakan makanan dengan kualitas dan kuantitas yang cukup juga terbatas, apalagi dengan tingkat pengetahuan gizi yang rendah (Hartoyo et al. 2003, diacu dalam Nurmiati 2006).

Umumnya penyelenggaraan makanan dalam rumah tangga sehari-hari dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai kesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan sehat sedini mungkin kepada putra-putrinya. Ibu berperan penting dalam melatih anggota keluarganya untuk membiasakan makan yang sehat. Untuk memperoleh makanan sehat dan sesuai dengan standar maka perlu menguasai pengetahuan tentang pemilihan bahan makanan (Nasoetion & Riyadi 1995).

(24)

24

Menurut Riyadi (2001) menjelaskan bahwa perilaku pemberian makanan berhubungan secara bermakna dengan tingkat pendidikan ibu dan status gizi anak. Gangguan status gizi pada anak batita umumnya dikarenakan keluarganya tidak memperhatikan perlunya gizi yang seimbang untuk pertumbuhan. Anak tidak akan tumbuh dengan baik tanpa perawatan dari keluarganya. Perawatan yang diberikan dapat dalam bentuk pola asuh makan kepada anak (Nurmiati 2006).

Besar keluarga

Suhardjo (1989) besar keluarga memiliki pengaruh nyata terhadap jumlah pangan yang dikonsumsi dan pendistribusian konsumsi makanan antar anggota keluarga. Selanjutnya, menurut Suhardjo et al. (1998), proporsi pangan untuk keluarga yang memiliki jumlah anggota keluarga 5-6 orang mampu mencukupi pangan keluarga yang jumlah anggota keluarganya kurang dari 4 orang. Selain itu, pada keluarga besar kemungkinan anak-anak mengalami kurang gizi dan kelaparan lebih besar terjadi dibandingkan pada keluarga kecil.

Pendapatan dan pengeluaran keluarga

Keadaan gizi dan kesehatan anak sangat ditentukan oleh pendidikan dan pendapatan keluarga. Pengaruh pendapatan terhadap masalah gizi terjadi melalui dua cara. Pertama, keadaan gizi yang buruk menyebabkan kualitas sumberdaya manusia menjadi rendah sehingga sulit untuk mendapatkan pendapatan yang layak untuk kehidupan yang standar. Oleh Karena kurangnya pendapatan menyebabkan generasi selanjutnya dalam keluarga tersebut juga akan mengalami gizi kurang. Kedua, pendapatan yang rendah juga menyebabkan kurangnya daya beli. Keluarga menjadi kekurangan pangan sehingga kelompok rawan pangan dalam keluarga seperti anak batita akan mengalami gizi kurang (Azwar 2004).

Menurut data Susenas (1996 & 1998) pengeluaran untuk pangan bagi rumah tangga miskin berkisar antara 60-80% dari pendapatan dan bagi rumah tangga mampu antara 20-59% (Soekirman 2000). Sedangkan pengeluaran untuk pangan di Indonesia menurut BPS (1990) masih merupakan bagian terbesar dari total pengeluaran rumah tangga yaitu lebih dari 50%. Anak-anak yang tumbuh dalam sebuah keluarga miskin paling rawan terhadap kekurangan gizi di antara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Harper et al. 1986). Akibat kemiskinan, anak usia 6-24 bulan tidak bisa mendapatkan makanan yang berkualitas sebagai

(25)

pendamping ASI. Hal ini mengakibatkan kualitas fisik mereka semakin merosot (Khomsan 2004).

Seiring meningkatnya pendapatan maka terjadi peningkatan konsumsi lemak, protein hewani dan gula. Sedangkan di sisi lain terjadi penurunan konsumsi pangan yang lebih murah yaitu pangan pokok berpati dan protein nabati. Apabila pendapatan tinggi, pola konsumsi pangan akan makin beragam serta umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih bernilai gizi tinggi (Soekirman 2000).

Konsumsi dapat dinyatakan dalam rupiah namun untuk menggambarkan kesejahteraan penduduk atau golongan penduduk tertentu, hasilnya tidak terlalu cermat. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan harga di antara pasar komoditi berbagai golongan tersebut. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan dalam setiap analisis pengeluaran konsumsi (BPS 2006).

Perencanaan Pangan Menggunakan Model Goal Programming

Program linier (Goal programming) merupakan metode matematik dalam mengalokasikan sumberdaya yang langka untuk mencapai suatu tujuan seperti memaksimumkan keuntungan dan meminimumkan biaya. Suatu persoalan dapat dirumuskan dengan goal programming yang terdiri dari fungsi tujuan dan kendala (Mulyono 1991). Fungsi tujuan : Minimumkan

=

=

n i n n

x

c

z

1 1 1 1 1 1x db da ( , , )g c n j j j + − ≤ = ≥

= (tujuan 1) 2 2 2 1 2x db da ( , , )g c n j j j + − ≤ = ≥

= (tujuan 2) : : k k k n j j jkx db da g c ( , , ) 1 ≥ = ≤ − +

= (tujuan k)

Dimana xj, dai, dbi ≥ 0 untuk i = 1, 2, ..., k (k adalah banyaknya tujuan yang ingin dicapai) dan j = 1, 2, ..., n.

Sumarwan et al. (1997) melakukan penelitian untuk menemukan biaya pengeluaran minimum keluarga yang memenuhi kecukupan zat gizi dan kebiasaan pangan menggunakan linear programming stokastik. Penelitian ini

(26)

26

menghasilkan kuantitas pangan yang sebaiknya disiapkan setiap bulannya oleh keluarga yang tinggal di kota dan di desa dengan karakteristik yang serupa dengan kelurahan Tegalega dan desa Cibitung Kulon (Rusyana 2005).

Penelitian juga dilakukan Sukandar (1990) di kota San Pablo, Filipina untuk meminimumkan pengeluaran pangan keluarga menggunakan linear programming stokastik. Pada penelitian ini, kecukupan unsur gizi dan kebiasaan pangan penduduk harus terpenuhi. Selanjutnya, Akmal (2003) telah menggunakan model goal programming yang serupa dengan model linear programming untuk optimasi pemenuhan kecukupan gizi keluarga berdasarkan ketersediaan pangan sebelum dan sesudah krisis ekonomi di Lampung (Rusyana 2005).

Penerimaan Anak Batita terhadap Menu Makanan

Penerimaan suatu jenis makanan dalam kelompok masyarakat sangat tergantung kepada akseptabilitas makanan tersebut. Akseptabilitas makanan didefinisikan sebagai sikap kelompok masyarakat terhadap suatu jenis makanan terutama berkenaan dengan rasa, penyiapannya dan kesesuaian dengan kebiasaan makan setempat. Upaya meningkatkan akseptabilitas makanan diantaranya bisa dilakukan dengan cara menyajikan makanan tersebut sesuai dengan bentuk, rasa, aroma, dan warna yang disukai oleh masyarakat (Harper et al. 1986).

Menurut Winarno (1995), belum ada suatu laporan yang dapat digunakan sebagai pedoman atau standar untuk menguji apakah suatu resep makanan sapihan dapat diterima atau tidak. Sebelum pedoman tersebut dikeluarkan, terdapat dua kriteria yang mungkin dapat dimanfaatkan untuk maksud tersebut yaitu kriteria penerimaan oleh anak dan ibu sebagai berikut.

a. Kriteria penerimaan oleh anak

1. Jumlah persentase anak yang menolak makanan dengan resep tertentu tidak boleh lebih dari 25.

2. Anak-anak harus mampu mengkonsumsi makanan tersebut yang cukup mengandung 300 Kalori dan 6-8 protein, jumlah mana merupakan defisit kalori yang ada dan jumlah tersebut harus dikonsumsi sebagai tambahan dari makanan yang biasa dikonsumsi.

(27)

b. Kriteria penerimaan ibu

Disamping makanan sapihan tersebut harus dapat diterima oleh anak, suatu keharusan bahwa makanan tersebut juga harus dapat diterima oleh para ibu yang menyusui. Berikut kriteria yang dapat digunakan :

1. Ibu menyenangi rasa makanan tersebut

2. Cara penyiapannya sederhana dan cepat, tidak lebih dari 15 menit 3. Harus tahan selama 12 jam tanpa ada penyimpangan rasa dan bau 4. Anak/bayi tidak mengalami akibat buruk seperti diare atau muntah setelah

(28)

28

KERANGKA PEMIKIRAN

Usia anak batita merupakan usia yang termasuk ke dalam golongan yang rentan akan kerawanan pangan. Tingkat konsumsi pangan yang rendah menjadi salah satu indikasi tidak terpenuhinya kebutuhan konsumsi pangan. Selain dilihat dari jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi, tingkat konsumsi pangan seseorang ditentukan oleh pola konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh faktor sosio-budaya, religi, ekonomi dan harga (Madanijah 2004). Dilihat dari aspek sosio-budaya misalnya kebiasaan makan, tabu makanan dan karakterisitik keluarga seperti pendidikan, pekerjaan, dan besar keluarga. Sedangkan dari aspek ekonomi seperti pendapatan dan harga yang berhubungan dengan daya beli keluarga atau biaya konsumsi pangan.

Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh preferensinya terhadap makanan tertentu. Terdapat beberapa faktor yang juga menentukan kebiasaan makan, dalam hal ini kebiasaan makan anak batita seperti pola asuh makan yang dilakukan pengasuh (biasanya ibu). Pola asuh makan dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu dalam menentukan jenis dan jumlah pangan yang akan dikonsumsi anggota keluarga termasuk penyediaan makan anak batita. Pengetahuan gizi ibu dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Selain itu, tingkat pendidikan orang tua dapat menunjukkan peluang memperoleh suatu pekerjaan yang selanjutnya akan menentukan besarnya pendapatan keluarga dan daya beli keluarga terhadap pangan yang akan dikonsumsi.

Pendapatan yang rendah akan mempengaruhi pemenuhan konsumsi pangan dalam keluarga khususnya konsumsi pangan anak batita. Oleh sebab itu, perlu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan gizi anak batita dari keluarga miskin yang sesuai dengan sumberdaya keluarga. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula pola konsumsi pangan dan kecukupan zat gizi anak batita. Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk setiap individu berbeda-beda tergantung pada jenis kelamin, umur, berat badan dan tinggi badan serta jenis aktivitas. Kesesuaian antara konsumsi pangan anak batita dengan AKG ini akan menunjukkan tingkat konsumsi zat gizi dan selanjutnya menentukan status gizi anak batita.

(29)

Keterangan : Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Hubungan yang diteliti

Hubungan yang tidak diteliti

Karakteristik keluarga :

• Umur & Pendidikan orang tua • Pekerjaan orang tua

• Pengeluaran keluarga • Besar keluarga Kebiasaan makan anak Preferensi makan anak Pola konsumsi pangan anak batita Karakteristik anak batita :

• Umur • Jenis kelamin • Berat badan Pola asuh makan Pengetahuan gizi ibu Makanan yang dianggap tabu Riwayat kesehatan anak batita

(30)

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat dan Waktu

Desain penelitian yang digunakan adalah metode survei. Lokasi penelitian adalah di desa Waru Jaya khususnya di Kedusunan 1 (Kampung Jeletreng) dan Kedusunan 2 (Kampung Waru Kaum) Kecamatan Parung Kabupaten Bogor. Adapun waktu pelaksanaan penelitian yaitu pada bulan Februari 2008 dan Mei 2008.

Teknik Penarikan Contoh

Lokasi penelitian dipilih dengan berbagai pertimbangan yang ada. Salah satunya dilihat berdasarkan data keluarga miskin yang terdapat dalam arsip desa diantaranya menurut data program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras Miskin (Raskin). Selain itu, dilihat pula berdasarkan hasil survei awal lokasi penelitian mengenai karakteristik demografi dan sosial ekonomi penduduk (profil desa).

Penarikan contoh dilakukan secara purposive. Populasi contoh dalam penelitian ini adalah seluruh anak batita di desa Waru Jaya Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor yaitu sebanyak 1193 orang berdasarkan data dari Puskesmas Parung. Contoh yang diambil adalah anak batita (usia 7 sampai 36 bulan) yang berasal dari keluarga miskin di desa Waru Jaya kedusunan 1 sebanyak 32 orang. Jumlah contoh tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok usia berdasarkan perbedaan angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG 2004) dan konsistensi makanannya. Adapun ketiga kelompok usia tersebut yaitu 7-12 bulan, 13-24 bulan, dan 25-36 bulan.

Responden adalah pengasuh anak batita (umumnya adalah ibu). Setelah menu makanan selesai dirancang selanjutnya dilakukan kajian daya terima responden terhadap rancangan menu tersebut. Kajian daya terima dilakukan di dua lokasi yaitu di lokasi survei awal kedusunan 1 Desa Waru Jaya (Kampung Jeletreng) dan di kedusunan 2 (Kampung Waru Kaum) dengan jumlah responden yaitu sebanyak 36 orang. Jumlah tersebut diantaranya terdiri atas 50 persen dari lokasi pertama dan 50 persen dari lokasi kedua sehingga diambil 18 contoh dari masing-masing lokasi.

(31)

62

Jenis dan Cara Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Pengambilan data primer dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner (Lampiran 5 dan 6). Khusus untuk data berat badan dilakukan penimbangan berat badan anak batita dengan menggunakan dacin. Jenis data dan variabel yang diperoleh dari data primer ditunjukkan oleh Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Jenis data dan variabel

No. Jenis Data Jenis Variabel

1. Identitas/karakterisitk keluarga Besar keluarga, lama pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, pengeluaran (pangan dan nonpangan), dan

pendapatan.

2. Identitas/karakteristik anak batita Nama lengkap, umur, jenis kelamin, berat badan dan riwayat kesehatan. 3. Pola konsumsi pangan anak

batita

a. Kebiasaan makan anak batita b. Recall konsumsi pangan anak

batita (1x24 jam)

c. Frekuensi konsumsi pangan dan harga pangan

d. Pola asuh makan e. Pengetahuan gizi ibu 4. Daya terima responden terhadap

rancangan menu makanan anak batita

Pernyataan menerima atau menolak beserta alasan penolakan.

Data sekunder yang dikumpulkan berupa gambaran umum lokasi penelitian yang diperoleh dari kantor desa setempat (profil desa). Selain itu, digunakan pula data garis kemiskinan wilayah Kabupaten Bogor yang diperoleh dari Biro Pusat Statistika (BPS) Kabupaten Bogor.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2003, SPSS for Window versi 13.0 dan SAS (Statistical Analysis System) for Window versi 9.1. Data dianalisis secara deskriptif (statistika deskripstif) dan dianalisis dengan model goal programming dalam SAS. Variabel-variabel dalam penelitian ini dikategorikan dengan cara sebagai berikut (Tabel 3).

(32)

63

Tabel 3 Cara pengkategorian variabel-variabel yang diteliti

No Variabel Kategori pengukuran

1. Karakteristik keluarga contoh

- Besar keluarga 1. Keluarga kecil (≤4 orang) 2. Keluarga besar (>4 orang) - Pekerjaan orang tua

Pekerjaan ayah 1. Jasa

2. Buruh

3. Pedagang

4. Lainnya

Pekerjaan ibu 1. Bekerja

2. Tidak bekerja - Pendapatan dan pengeluaran 1. < 750 000

(Rp/bulan) 2. 750 000 – 1 000 000

3. > 1 000 000 2. Karakteristik contoh

- Usia 1. 7-12 bulan

2. 13-24 bulan Berdasarkan perbedaan AKG dan

konsistensi makanan (WNPG 2004) 3. 25-36 bulan

- Status gizi 1. Gizi kurang (z-score < -2 SD) Indikator BB/U (Riyadi 2001) 2. Normal ( -2 SD≤ z-score ≤2,0 SD)

3. Gizi lebih (z-score > 2 SD) 3. Pola asuh makan (Slamet 1993) 1. Kurang (skor 11-17)

2. Cukup (skor 18-24) 3. Baik (skor 25-30) 4. Pengetahuan gizi ibu (Khomsan 2000) 1. Kurang (< 60%)

2. Sedang (60-80%) 3. Baik (> 80%)

5. Frekuensi konsumsi pangan Tidak pernah (0 kali/minggu) (Widyaningsih 2007) Jarang (1-3 kali/minggu)

Sering (4-6 kali/minggu) Setiap hari (≥ 7 kali/minggu) 6. Konsumsi zat gizi

- Tingkat konsumsi energi dan protein (Depkes 1996, diacu dalam Rahmawati et al. 2001)

1. Defisit tingkat sedang 70-79% 2. Defisit tingkat ringan 80-89% 3. Normal 90-119%

4. Diatas AKG ≥ 120% - Tingkat konsumsi vitamin dan

mineral (Gibson 2005) 1. Defisit (Tk < 77%) 2. Normal (Tk ≥ 77%)

Adapun metode pengolahan data yang digunakan diantaranya untuk menghitung :

Kandungan zat gizi pangan

Kandungan zat gizi dari suatu jenis pangan dihitung dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) :

⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ × × = 100 100 BDDj Gij Bj KGij Dimana :

Kgij = jumlah zat gizi i dari setiap jenis pangan j Bj = berat pangan j (gram)

(33)

64

Gij = kandungan zat gizi i dari pangan j

BDDj = persen jumlah pangan j yang dapat dimakan

Tingkat konsumsi zat gizi

Tingkat konsumsi zat gizi anak batita dihitung dengan rumus (Hardinsyah & Briawan 1994) :

%

100

×

=

AKGi

Ki

TKGi

Dimana : TKGi = tingkat konsumsi zat gizi i Ki = konsumsi zat gizi i

AKGi = kecukupan zat gizi i yang dianjurkan

Perhitungan tingkat konsumsi zat gizi khusus untuk energi dan protein memperhitungkan berat badan aktual contoh yang dibandingkan dengan berat badan anak batita standar yang terdapat dalam AKG.

Biaya pangan

a. Harga pangan

Harga pangan diperoleh dari survei harga tiap jenis pangan di warung sekitar lokasi penelitian. Harga pangan yang dikumpulkan yaitu dalam satuan rupiah per URT (Ukuran Rumah Tangga) misalnya rupiah per dus, per kaleng, per bungkus dan sebagainya. Harga tersebut kemudian dikonversi ke dalam satuan rupiah per 100 gram dari setiap jenis pangan. b. Harga zat gizi pangan

Harga zat gizi pangan dihitung dengan rumus :

i p g

g

h

h

=

Dimana : hg = harga zat gizi pangan (rupiah/satuan zat gizi) hp = harga pangan (rupiah/satuan berat pangan)

gi = kandungan zat gizi ke-i (satuan zat gizi/berat pangan) c. Biaya pangan

Biaya pangan didasarkan atas pertimbangan besarnya pengeluaran pangan keluarga per kapita per hari. Kemudian dalam proses perancangan menu digunakan prinsip optimalisasi zat gizi dan minimalisasi biaya pangan dengan menggunakan biaya konsumsi pangan sebagai fungsi tujuan dalam goal programming.

(34)

65

Penilaian pola asuh makan ditentukan oleh total skor dari seluruh item pertanyaan (10 pertanyaan). Skor yang dihasilkan kemudian digolongkan ke dalam tiga kategori (kurang, cukup dan baik). Interval kelas ketiga kategori tersebut ditentukan dengan rumus (Slamet 1993) :

Interval kelas (IK) = Skor tertinggi (NT) – skor terendah (NR)

Jumlah kelas

Kurang : x > NR s/d NR+IK Cukup : NR+IK < x < NR+2IK Baik : x > NR+2IK s/d NT

Penilaian pengetahuan gizi ibu ditentukan berdasarkan skor benar dari masing-masing pertanyaan. Jika jawaban yang diberikan benar diberi skor 1 dan jika salah diberi skor 0. Kategori pengetahuan dibedakan ke dalam tiga kelompok yaitu kurang, sedang, dan baik. Cara pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut-off point dari skor yang telah dijadikan persen, yaitu : baik jika skor >80%, cukup jika skornya 60-80%, dan kurang jika <60% (Khomsan 2000).

Perancangan menu makanan anak batita menggunakan goal programming

Rancangan menu makanan didasarkan atas pola konsumsi pangan, AKG dan biaya konsumsi pangan anak batita. Seluruh data yang dikumpulkan mengenai biaya, pola konsumsi pangan dan sebagainya diterjemahkan dalam bentuk variabel-variabel dalam fungsi linear. Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis menggunakan goal programming yang terdapat pada linear programming dalam SAS sedemikian hingga diperoleh feasible solution sampai tercapai optimal solution berupa besar biaya konsumsi pangan minimum dari jenis dan jumlah pangan yang terpilih per 100 g dengan kontribusi kandungan zat gizi dari menu sesuai dengan yang diharapkan. Rancangan menu makanan yang dibuat berupa menu makanan harian selama satu minggu dari setiap kelompok usia (7-12 bulan, 13-24 bulan dan 25-36 bulan) sehingga menghasilkan 21 menu.

Jenis pangan terpilih ditentukan berdasarkan jenis pangan yang paling banyak dan paling sering dikonsumsi. Jenis pangan dipilih jika lebih dari 50% anak batita (contoh) mengkonsumsi pangan tersebut. Kemudian dilihat dari segi frekuensi konsumsinya dalam 1 minggu. Jenis pangan yang memenuhi kriteria itulah yang digunakan dalam rancangan menu makanan. Berikut ditampilkan langkah-langkah perancangan menu makanan anak batita.

(35)

66

Gambar 2 Tahap perancangan menu makanan

Setelah jenis pangan yang akan digunakan terpilih, selanjutnya ditentukan batasan kuantitas (berat) pangan yang biasa dikonsumsi anak batita. Kuantitas pangan yang digunakan dinyatakan dalam gram per hari dengan menggunakan kuartil bawah (Q1) sebagai batas bawah dan kuartil atas (Q3) sebagai batas atas.

Adapun model goal programming yang dibangun sebagai berikut : Fungsi tujuan Minimumkan : * 7 * 6 * 5 * 4 * 3 * 2 * 1 * 7 * 6 * 5 * 4 * 3 * 2 * 1

db

db

db

db

db

db

da

da

da

da

da

da

da

db

z

=

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Kendala-kendala (sasaran dan pembatas) 1. Berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi

Energi : 1 * 1 * 1 1 3 13 2 12 1 11

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

Protein : Rancangan menu makanan anak batita

Biaya konsumsi pangan Jenis pangan terpilih

AKG anak batita Kandungan zat gizi

pangan terpilih

Harga pangan terpilih Norma gizi yang

harus dipenuhi Preferensi pangan anak batita Perancangan model goal programming Pengolahan model dalam SAS

(36)

67

2 * 2 * 2 2 3 23 2 22 1 21

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

Vitamin A : 3 * 3 * 3 3 3 33 2 32 1 31

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

Vitamin C : 4 * 4 * 4 4 3 43 2 42 1 41

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

Kalsium : 5 * 5 * 5 5 3 53 2 52 1 51

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

Zat besi : 6 * 6 * 6 6 3 63 2 62 1 61

x

a

x

a

x

...

a

x

db

da

g

a

+

+

+

+

p p

+

=

2. Berdasarkan kemampuan biaya untuk pangan dan harga masing-masing pangan

y

da

db

x

a

x

a

x

a

x

a

1 1

+

2 2

+

3 3

+

...

+

p p

+

7*

7*

=

3. Batasan kebiasaan kuantitas pangan yang dikonsumsi berdasarkan Q1 (kuartil bawah) dan Q3 (kuartil atas):

p p p

x

b

b

b

x

b

b

x

b

b

x

b

11

1

21

,

12

2

22

,

13

3

23

,...,

1

2

Selanjutnya agar sebanding, model diatas diubah sebagai berikut : Fungsi tujuan Minimumkan : 7 6 5 4 3 2 1 7 6 5 4 3 2 1

db

db

db

db

db

db

da

da

da

da

da

da

da

db

z

=

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

+

Kendala-kendala (sasaran dan pembatas) 1. Berdasarkan tingkat konsumsi zat gizi

Energi :

1

...

1 1 1 1 3 13 2 12 1 11

+

+

+

+

+

=

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p Protein :

1

...

2 2 2 2 3 23 2 22 1 21

+

+

+

+

+

=

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p Vitamin A :

1

...

3 3 3 3 3 33 2 32 1 31

=

+

+

+

+

+

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p Vitamin C:

(37)

68

1

...

4 4 4 4 3 43 2 42 1 41

=

+

+

+

+

+

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p Kalsium :

1

...

5 5 5 5 3 53 2 52 1 51

=

+

+

+

+

+

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p Zat besi :

1

...

6 6 6 6 3 63 2 62 1 61

=

+

+

+

+

+

da

db

g

x

a

x

a

x

a

x

a

p p

2. Berdasarkan kemampuan biaya untuk pangan dan harga masing-masing pangan 1 ... 7 7 3 3 2 2 1 1 + + + + + = da db y x a x a x a x a p p

3. Batasan kebiasaan kuantitas pangan yang dikonsumsi berdasarkan Q1 (kuartil bawah) dan Q3 (kuartil atas):

p p p

x

b

b

b

x

b

b

x

b

b

x

b

11

1

21

,

12

2

22

,

13

3

23

,...,

1

2 Keterangan :

z = total simpangan bawah dan simpangan atas xj = kuantitas pangan ke-j per 100 gram

aij = kandungan zat gizi ke i dalam 100 g jenis pangan xj

i = kandungan zat gizi :1 (energi), 2 (protein), 3 (vitamin A), 4 (vitamin C), 5 (kalsium), 6 (zat besi), dan 7 (harga pangan) j = 1, 2, 3, ..., p

p = banyaknya jenis pangan

gi = angka kecukupan zat gizi ke-i yang dianjurkan (AKG 2004) y = besarnya biaya konsumsi pangan anak batita per hari b1j = kuartil bawah jenis pangan xj (Q1) per 100 g

b2j = kuartil atas jenis pangan xj (Q3) per 100 g dai = simpangan atas unsur gizi i

dbi = simpangan bawah unsur gizi i da7 = simpangan atas biaya pangan db7 = simpangan bawah biaya pangan

(38)

69

Setelah diperoleh rancangan menu makanan anak batita kemudian dilakukan pengkajian daya terima responden berupa pernyataan setuju atau tidak setuju terhadap daftar menu yang telah dirancang. Daftar menu terdiri dari jenis pangan, jumlah (berat dalam gram dan URT), biaya konsumsi pangan (menu makanan) dari setiap jenis pangan yang diakumulasi untuk biaya satu hari dan satu minggu.

Hasil kajian tersebut (setuju atau tidak) dihitung ke dalam bentuk persentase. Jika sebagian besar responden menyatakan setuju terhadap daftar menu yang telah dirancang maka perencanaan konsumsi pangan yang telah dilakukan dikategorikan baik atau berhasil, artinya sesuai dengan karakteristik, pola konsumsi pangan dan kemampuan ekonomi responden. Begitu pula sebaliknya, jika sebagian besar responden menyatakan tidak setuju terhadap daftar menu yang dirancang maka perencanaan konsumsi pangan yang telah dilakukan kurang berhasil dan tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Definisi Operasional

Contoh : Anak batita yang dijadikan sebagai sasaran penelitian dan memenuhi

kriteria yaitu berasal dari keluarga miskin.

Responden : Ibu sebagai pengasuh contoh (anak batita) yang mengetahui

kebiasaan dan preferensi pangan yang dikonsumsi contoh (pola konsumsi anak).

Anak batita : anak usia bawah tiga tahun yang akan dijadikan contoh dengan

batasan usia dari 7 sampai 36 bulan.

Kelompok usia anak batita : penggolongan usia anak batita ke dalam tiga

selang usia menurut perbedaan AKG dan konsistensi makanannya yaitu 7-12 bulan, 13-24 bulan, dan 25-36 bulan.

Karakteristik anak batita : aspek atau keterangan mengenai berat badan anak

batita yang dinyatakan dalam satuan kilogram, umur dalam bulan, dan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan).

Karakteristik keluarga : aspek atau keterangan yang berhubungan dengan

keadaan sosial ekonomi dan demografi keluarga contoh seperti besar keluarga, umur, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan orang tua contoh.

Pendapatan keluarga : besarnya pendapatan yang diperoleh keluarga dalam

rupiah selama satu bulan yang berasal dari pekerjaan utama dan tambahan.

Pengeluaran keluarga : biaya rata-rata yang dikeluarkan untuk memenuhi

seluruh kebutuhan anggota keluarga termasuk pengeluaran pangan dan non pangan.

(39)

70

Pengeluaran pangan : besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi

kebutuhan pangan.

Pengeluaran non pangan : besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi

kebutuhan non pangan seperti kesehatan, pendidikan, penerangan/listrik, komunikasi, bahan bakar dan lain-lain

Pendapatan dan pengeluaran perkapita : besar pendapatan dan pengeluaran

keluarga dibagi dengan jumlah anggota keluarga.

Frekuensi konsumsi pangan : banyaknya suatu jenis pangan yang dikonsumsi

contoh dalam satuan waktu tertentu (satu hari, satu bulan ataupun satu tahun).

Menu makanan : susunan jenis pangan yang dirancang dengan menggunakan goal programming sesuai dengan pola konsumsi, AKG dan biaya minimum konsumsi pangan contoh.

Tingkat konsumsi zat gizi : perbandingan jumlah konsumsi zat gizi aktual

terhadap angka kecukupan zat gizi rata-rata sehari yang dianjurkan dan dinyatakan dalam persen.

Keluarga miskin : keluarga contoh yang termasuk dalam kategori miskin

berdasarkan data Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras Miskin (Raskin).

Biaya konsumsi pangan : besarnya biaya dalam rupiah yang digunakan untuk

konsumsi pangan dalam satu hari.

Biaya pangan : besarnya biaya dalam rupiah yang akan dikeluarkan untuk

pangan-pangan dari setiap menu dalam satu hari.

Daya terima responden : sikap responden mengenai gambaran kesesuaian

Gambar

Gambar 2 Tahap perancangan menu makanan
Tabel 5 Jumlah penduduk Desa Waru Jaya menurut struktur usia  No Usia  (tahun) Laki-laki Perempuan  Jumlah  %
Tabel 9 Sebaran keluarga anak batita menurut usia dan lama pendidikan orang tua
Tabel 11 Sebaran keluarga anak batita menurut pendapatan dan pengeluaran per bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada nilai laju erosi/deposisi setiap titik percobaan yang dapt dilihat pada Gambar 6, maka transek 4 memiliki total erosi sebesar -22,6 t/ha.thn, total

rumah panjang yang terlibat dalam kajian ini sependapat yang keadaan persekitaran fizikal iaitu bentuk bumi dan lokaliti serta sungai di kawasan kajian telah memberi

Gambar 3.4 Tampilan jendela utama program pengenalan wajah Tombol PEMBENTUKAN BASISDATA digunakan untuk ekstraksi ciri semua citra yang tersimpan pada basisdata dengan

prediksi simulasi numerik dengan hasil uji empiris, maka diperoleh fakta yang sebenarnya, sehingga mekanisme yang diusulkan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi pada keruntuhan

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Rumah Sakit Umum Mawar Banjarbaru di unit rekam medis melaui wawancara sejak berdrinya Rumah

Kedua antibiotik tersebut lebih sensitif untuk bakteri Gram negatif sesuai dengan mayoritas bakteri yang dijumpai pada demam neutropenia.. 2 Penggunaan antibiotik

sebagai Reviewer untuk jenjang jabatan fungsional dosen ke Guru Besar Fakultas llmu Komunikasi Universitas Tarumanagara dengan tugas sebagai berikut :.. Menilai

Siswa dapat menulis kata, frasa dan kalimat yang sesuai dengan gambar, dengan huruf, ejaan dan tanda baca yang tepat2. Siswa dapat menyusun kata-kata acak menjadi