• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI HASIL HUTAN NON KAYU KELOMPOK PALMAE BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KECAMATAN LUMBAN JULU KPHL MODEL UNIT XIV TOBASA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI HASIL HUTAN NON KAYU KELOMPOK PALMAE BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI KECAMATAN LUMBAN JULU KPHL MODEL UNIT XIV TOBASA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI HASIL HUTAN NON KAYU KELOMPOK PALMAE BERBASIS SISTEM INFORMASI

GEOGRAFIS (SIG) DI KECAMATAN LUMBAN JULU

KPHL MODEL UNIT XIV TOBASA

(Potential of Non Wood Forest Products Group Palmae Based

Geographic Information System (GIS) in the KPHL Model Unit XIV

Lumban Julu District Tobasa)

Tarida Olivia A Hutapea1, Rahmawaty2 dan Irawati Azhar2

1Mahasiswa Minat Manajemen Hutan, Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara, Jl. Tridharma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155

(Penulis Korespondensi, Email: taridahutapea@ymail.com)

2Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara

ABSTRACT

As a family of Arecaceae generally Palmae is in the form of palm or shrubs. The purpose of this study was to identify and map the distribution of Non Wood Forest Production (NWFP) group palmae along with its standing in the utilization of the potential of NWFP by the community. Field data colected from March to May 2015. The method used is systematic sampling with ramdom start with 0.5% of sampling intensity. Mapping the distribution of use software ArcView GIS 3.3. Exploration results and the identification of palmae species from 19 ha of sample plots or 475 plots contained 707 palmae rod consisting of 2 sub-families and 7 species. The results showed that the most dominant species spreading is Hotang buar-buar (Calamus scipionum Loureiro) at an altitude of 1300 m above sea level and Bagot (Arenga pinnata) at 1400 m above sea level with IVI = 71,78%; and IVI = 113,75 %. The highest species diversity index value at an altitude of 1300 m above sea level 1,64.

Keyword: KPHL Tobasa, HHNK, Palmae, GIS, Lumban Julu Sub Ditrict

PENDAHULUAN

Hasil Hutan Non Kayu (HHNK) merupakan salah satu hasil hutan yang memiliki keunggulan dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. Kementerian Kehutanan (2013) menyebutkan bahwa HHNK yang diproduksi di Provinsi Sumatera Utara sampai dengan tahun 2011 terdiri atas getah pinus, getah karet, rotan dll. Diketahui bahwa total produksi HHNK pada tahun 2011 adalah 47.374.250,21 kg dan 185.015 batang. Potensi HHNK di Provinsi Sumatera Utara cukup tinggi.

Pengembangan usaha dan

pemanfaatannya HHNK saat ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Baplan (2007) mengemukakan hasil riset menunjukkan bahwa hasil hutan kayu dari ekosistem hutan hanya sebesar 10 % sedangkan sebagian besar 90 % hasil lain berupa HHNK yang selama ini belum dikelola

dan dimanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu HHNK yang dikenal masyarakat di sekitar hutan adalah kelompok palmae sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut-II/2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu.

Penelitian ini dilakukan di kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Unit XIV Tobasa, Sumatera Utara. KPHL ini terbentuk sejak tahun 2013. Disekitar wilayah KPHL Tobasa terdapat 95 desa dan masyarakat disekitarnya kemungkinan memanfaatkan HHNK di kawasan hutan. Interaksi dengan HHNK di kawasan hutan KPHL Tobasa telah lama dilakukan oleh masyarakat yang berada disekitar wilayah tersebut sebagai pemenuhan kebutuhan keseharian, namun data-data informasi tentang jenis-jenis HHNK yang dimanfaatkan oleh masyarakat belum tersedia.

Mengingat pentingnya peranan tumbuhan palmae ini secara ekonomi maka perlu diidentifikasi kekayaan jenisnya. Penelitian

(2)

ini dilakukan dengan cara identifikasi jenis di lapangan dan pemetaan dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di desa Pasar Lumban Julu dan desa Lintong Julu, Kecamatan Lumban Julu pada kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa. Survey lokasi dilaksanakan pada bulan Oktober 2014. Pengambilan data di lapangan dilaksanakan bulan Maret 2015 sampai bulan April 2015. Identifikasi jenis dan pengolahan data dilaksanakan di Laboratorium Manajemen Hutan Terpadu, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian Gambaran Umum Lokasi Penelitian

KPHL Model Unit XIV Toba Samosir, terletak pada 98o54’25’’- 99o40’33’’ Bujur Timur dan antara 2o39’04’’ – 2o0’14’’ Lintang Utara. Penetapan KPHL Model Unit XIV Tobasa yang terletak di Kabupaten Toba Samosir sesuai SK Menhut No.867/Menhut-II/2013 tanggal 5 Desember 2013 seluas 87.247. Pada tanggal 24 Juni 2014 Menteri Kehutanan RI mengeluarkan SK Menhut No.579/Menhut-II/2014 mengenai kawasan hutan di Sumatera Utara. Dengan demikian maka luas KPHL Model Unit XIV mengikuti SK terbaru dengan perubahan luas sebesar 56.521 ha. Kawasan hutan tersebut meliputi :

1. Hutan Lindung seluas 43.412 ha 2. Hutan Produksi seluas 11.243 ha 3. Hutan Produksi Terbatas seluas 1.957 ha 4. Hutan Suaka Alam seluas 9 ha

Kecamatan Lumban Julu tidak semua masuk ke dalam kawasan KPHL Model Unit XIV

Tobasa. Luas Kecamatan Lumban sebesar 9146 ha yaitu 16,25 % dari total luas KPHL Model Unit XIV, Tobasa dan untuk luas kawasan berhutan sebesar 3761 ha. Penelitian ini dilakukan di 2 desa dari 30 total desa yang terdapat di Kecamatan Lumban Julu yaitu desa Lintong Julu dan Pasar Lumban Julu. Berdasarkan data yang di dapat dari KPHL, kedua desa tersebut memiliki potensi palmae yang cukup tinggi dibandingkan dengan desa-desa lain yang terdapat di Kecamatan Lumban Julu.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Global Position System (GPS), parang, perangkat keras (hardware) yaitu PC (Personal Computer), perangkat lunak (software) yaitu ArcView GIS 3.3 dan

Departement of Natural Resources (DNR)

Garmin, pita meteran, kamera digital, kalkulator, kertas label, kantong plastik dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah Peta Administrasi KPHL Tobasa, buku identifikasi HHNK, dan tally

sheet.

Prosedur Penelitian Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer

Data primer diperoleh melalui eksplorasi yaitu pengamatan secara langsung di lapangan. Selain pengumpulan data dengan cara pengamatan, maka dapat diperoleh dengan mengadakan interview atau wawancara. b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah I Sumatera Utara, yaitu Peta Administrasi KPHL Tobasa, Peta Desa KPHL Tobasa. Selain itu, data HHNK yang diperoleh dari pengelola KPHL Tobasa.

Penentuan Sampel Responden

Penentuan responden dibagi menjadi 2 bagian yaitu responden umum dan responden kunci.

- Responden umum pada penelitian ini adalah masyarakat dikawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa yang mengetahui jenis-jenis palmae serta memanfaatkannya.

(3)

- Responden kunci adalah kepala kampung, kepala suku, mantri, tokoh agama dan tokoh masyarakat lainnya.

Menurut Arikunto (1998) apabila jumlah kepala keluarga >100 KK, maka yang diwawancarai adalah 10-15% dari jumlah KK tersebut. Apabila jumlah kepala keluarga <100 KK, maka yang diwawancarai adalah seluruh kepala keluarga yang ada. Jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini sebanyak 30 responden.

Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilapangan dengan menggunakan metode kombinasi metode jalur dan garis berpetak. Cara peletakan unit contohnya menggunakan cara systematic

sampling with ramdom start yang berarti

penentuan petak awal yang dilakukan dengan cara random (acak), namun penentuan petak-petak berikutnya menggunakan cara sistematis (teratur). Departemen Kehutanan (2007) menyatakan bahwa semua bentuk metode inventarisasi sistematik berjalur dengan intensitas sampling yang lebih tinggi dari 0,5% yang telah dan sedang dilaksanakan dapat diterima sehingga intensitas sampling yang digunakan untuk inventarisasi HHNK kelompok palmae adalah 0,5% dan sudah dianggap mewakili seluruh kawasan penelitian.

Lokasi penelitian dibagi menjadi 2 kategori ketinggian yaitu 1300 mdpl dan 1400 mdpl karena pada ketinggian tersebut banyak dijumpai jenis palmae. Di masing-masing ketinggian tempat dibuat cuplikan secara acak dengan ukuran masing-masing 100 m dan lebar 20 m. Selanjutnya petak dibuat 20 anak petak masing-masing berukuran 10 m x 10 m. Setelah itu setiap anak petak dihitung jumlah individu spesies palmaenya untuk kemudian dapat ditentukan kerapatan populasinya.

Luas Kecamatan Lumban Julu yang terdapat di KPHL Model Unit XIV untuk kawasan berhutan adalah 3761 ha sehingga luas plot contoh untuk pengamatan palmae sebesar 19 ha atau 475 plot. Start point berdasarkan peta di jalur 1 terletak pada x (99,03855200), y (2,5949010) jalur 2 terletak pada x (99,05284847), y (2,60227720), dan jalur 3 terletak pada x (99,05732362), y (2,60445361).

Identifikasi Jenis

Proses identifikasi jenis HHNK dari lapangan sampai pengklasifikasian adalah sebagai berikut:

1. Identifikasi jenis dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan. 2. Menanyakan identitas tumbuhan kepada

masyarakat sekitar menggunakan

interview guide.

3. Mencocokkan gambar-gambar hasil dokumentasi dengan website yang menyediakan deskripsi tumbuhan yang ditemukan.

4. Setiap jenis yang ditemukan dicocokkan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya.

Analisis Data

Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan rumus Kusmana (1997) sebagai berikut: a. Kerapatan suatu jenis (K)

K = ∑ individu suatu jenis Luas petak contoh

b. Kerapatan relatif suatu jenis (KR) KR = K Suatu jenis

∑ K Seluruh jenis x 100% c. Frekuensi suatu jenis (F)

F = ∑ Sub − petak ditemukan suatu jenis ∑ Seluruh sub − petak

d. Frekuensi relative suatu jenis (FR)

FR = F Suatu jenis

∑ F Seluruh jenis x 100%

e. Indeks Nilai Penting (INP)

INP = KR + FR (untuk tingkat semai dan pancang)

(Kusmana, 1997).

f. Indeks Shannon-Wiener

Keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan Indeks Shannon menurut Odum (1971) :

H’ = -∑ (pi) Ln (pi) Keterangan:

H’ = Indeks Keragaman Jenis Pi = ni/N

(4)

Ni = Nilai Penting Jenis ke-i

N = Jumlah Nilai Penting Semua Jenis

Kriteria yang digunakan menurut Mason (1980):

a. H’ < 1, keanekaragaman tergolong rendah b. H’ 1-3, keanekaragaman tergolong sedang c. H’> 3, keanekaragaman tergolong tinggi

Pemetaan Sebaran Palmae

Metode dilapangan dilakukan dengan pengambilan titik plot vegetasi dengan menggunakan Global Positioning System (GPS) untuk mengetahui sebaran vegetasi. Pemetaan keanekaragaman vegetasi HHNK dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) menggunakan software ArcView GIS 3.3.

Pembuatan peta penyebaran HHNK kelompok palmae dilakukan dengan melakukan

overlay antara peta dasar kawasan KPHL

Tobasa dengan data titik yang diambil di lapangan dengan menggunakan GPS. Proses

pengolahan data titik koordinat yang diperoleh dari lapangan adalah sebagai berikut:

1. Diolah data titik koordinat dari data GPS ke komputer dengan menggunakan software DNR Garmin.

2. Diubah file kedalam bentuk shp yang kemudian dapat diolah dengan menggunakan software ArcView 3.3. 3. Setelah diperoleh peta titik koordinat,

selanjutnya titik tersebut dioverlaykan dengan peta Kecamatan Lumban Julu yang terdapat dalam kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Identifikasi Jenis Palmae

Hasil penelitian keragaman jenis palmae yang telah dilakukan di Kecamatan Lumban Julu pada kawasan KPHL Model Unit XIV, Tobasa disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Spesies Palmae di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa

No. Sub Famili Nama Ilmiah

(Scientific Name) Nama Lokal (Local Name)

Jumlah Individu Ketinggian (Mdpl)

1300 1400 1. Caryotoideae Arenga Pinnata Merr. Bagot 54 48

2 Lepidocaryhoideae

Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo 90 27 Calamus javensis Blume Hotang Cacing 3 3 Calamus manan Miquel Hotang Manau 230 8 Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi 42 0 Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar 165 4 Salacca zalacca Gaertn. Salak 33 0 Total 617 90

Inventarisasi palmae yang dilakukan di lokasi penelitian berdasarkan Tabel 1 diperoleh hasil sebanyak 707 individu palmae yang terdiri atas 2 sub famili dengan 7 genus diantaranya

adalah Calamus (4 spesies), Arenga (1 spesies), Khortalasia (1 spesies) dan Salacca (1 spesies).

Persentase jenis yang didapat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Persentase Jumlah Jenis Palmae di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa

15% 15% 1% . 13% 6% 34% 5% Arenga Pinnata Khortalasia echinometra Calamus javensis Calamus manan Calamus ornatus Calamus scipionum Salacca zalacca

(5)

Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa jenis yang mendominasi adalah jenis

Calamus Scipionum sebesar 34 %. Hal ini

disebabkan karena C. scipionum merupakan jenis palmae yang memiliki ukuran yang besar dibanding jenis rotan lain dan penyebarannya merata di Sumatera Utara. Hal ini sesuai pernyataan Kalima (2005) yang menyatakan bahwa perawakan C. scipionum berumpun, memanjat sampai tinggi mencapai panjang 50 m atau lebih. Persebaran C. scipionum terdapat di Sumatera dan Kalimantan.

Identifikasi tumbuhan palmae diperoleh dengan cara mengidentifikasi morfologi dari tumbuhan tersebut seperti daun, biji, bunga, buah dan akar. Kegiatan identifikasi dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan kemudian dilanjutkan dengan pemberian nama tumbuhan dengan taksonomi tumbuhan. Beberapa jenis spesies memiliki ciri-ciri fisik yang hampir sama. Namun, tumbuhan tersebut merupakan spesies yang berbeda. Karakteristik suatu spesies beraneka ragam baik bentuk, struktur, morfologi dan anatominya.

Identifikasi suatu jenis berdasarkan ciri-ciri morfologi dan taksonomi di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa adalah sebagai berikut:

1. Bagot (Arenga Pinnata Merr.)

(a) (b)

Gambar 3. Bagot (Arenga Pinnata Merr.): (a) Perawakan, (b) Buah

A. Pinnata dapat tumbuh mencapai

tinggi dengan diameter batang sampai 65 cm dan tinggi 15 m. Memiliki batang yang lurus dan tinggi. Berdasarkan sifat internal dan eksternalnya, tipe batang A. pinnata termasuk ke dalam jenis pohon namun tidak memiliki kambium. Daun pinnate, hingga 8 m panjang, anak daun divaricate, panjangnya 1 m atau lebih, jumlahnya 100 atau lebih pada masing-masing sisi, dasar daun 2 auriculate, ujung daun lobes, dan kadang-kadang bergerigi,

permukaan atas hijau berdaging, bagian bawah putih dan bertepung. Buah tumbuh bergelantungan pada tandan yang bercabang. Umumnya tumbuh jauh di daerah pedalaman khususnya di daerah-daerah perbukitan yang lembab dan tumbuh secara individu maupun secara berkelompok (Alam dan Suhartati, 2000). Heyne (1950) melaporkan bahwa tanaman A. Pinnata sering tumbuh mulai dari permukaan laut sampai ketinggian 1.300 mdpl. 2. Hotang Mallo

(Khortalasia echinometra Becc.)

(a) (b) Gambar 4. Hotang Mallo (Khortalasia

echinometra Becc.): (a) Batang, (b) Daun K. echinometra tumbuh secara

berumpun, memanjat dan bercabang pada kanopi hutan sampai 30 m tingginya. Tumbuhan bersifat hermaprodit. Jumlah batang berkisar antara 30-50 m, tiap rumpun hidup pada tanah kering datar sampai berbukit pada hutan primer ataupun sekunder tua. Pelepah daun warna hijau mengkilap, berukuran panjang 9 cm dan lebar 6 cm, ditutupi duri warna hitam, rapat dan panjangnya 4-5 cm. Tumbuh pada hutan dataran rendah. Ditemukan pada ketinggian150 mdpl (Kalima, 2005).

3. Rotan Cacing (Calamus javensis Blume)

(a) (b) Gambar 5. Rotan Cacing (Calamus javensis

Blume): (a) Batang, (b) Daun

C. javensis tumbuh berumpun,

memanjat, tinggi sampai 15 m, diameter batang dengan pelepah sampai 5 mm (tanpa pelepah sampai 3 mm). Panjang ruas sampai 25 cm. Persebaran rotan ini di Sumatera, Jawa dan

(6)

Kalimantan. Panjang daun sampai 50 cm. Perbungaan panjang hingga 1 m terdiri atas 2-5 bagian perbungaan. Buah bulat telur sampai bulat, sisik berwarna putih kehijauan pucat. Biji bulat telur sampai bulat, berukuran 12 x 8 mm (Kalima dan Setyawati, 2003).

4. Hotang Manau (Calamus manan Miquel)

(a) (b)

(c)

Gambar 6. Rotan Manau (Calamus manan Miquel): (a) Batang, (b) Daun Muda,

(c) Perawakan

C. manan tumbuh berumpun, tinggi

sampai 100 m. Diameter batang dengan pelepah sampai 66-80 mm (tanpa pelepah sampai 3-80 mm), panjang ruas 18-35 cm. Persebaran rotan ini terdapat di Sumatera dan Kalimantan (Jasni dkk., 2007). Pelepah daun berwarna hijau tua. Daun bersulur sampai sekitar 8,5 m panjangnya. Buah masak bentuk bulat telur, berukuran 28x20 mm, sisik buah warna kekuningan. Biji bulat telur, berukuran 18x12 mm. Rotan ini merupakan jenis yang tumbuh di hutan dataran rendah dekat lereng yang curam dengan kisaran ketinggian antara 500-1000 mdpl, paling melimpah pada ketinggian 50-600 mdpl, pada lahan kering. Semai ditemukan melimpah di hutan perbukitan. 5. Hotang Sulfi (Calamus ornatus Blume)

(a) (b)

(c)

Gambar 7. Hotang Sulfi (Calamus ornatus Blume): (a) Perawakan, (b) Batang, (c) Daun

C. ornatus memiliki sifat tumbuh

merumpun secara masif, memanjat. Tingginya mencapai panjang 50 m atau lebih. Panjang batang tua dapat mencapai 60 m atau lebih, diameter batang tanpa pelepah antara 2-5 cm, warna batang tua tanpa pelepah hijau kotor, sedang bila tertutup pelepah atau serasah berwarna kekuningan. Panjang daun dapat mencapai 4-5 m (Jasni dkk., 2012).

6. Hotang Buar-Buar

(Calamus scipionum Loureiro)

(a) (b)

(c ) (d) Gambar 8. Hotang Buar-Buar (Calamus

scipionum Loureiro): (a) Perawakan, (b) Batang,

(c) Daun, (d) Buah

C. scipionum memiliki sifat tumbuh

merumpun, memanjat sampai tinggi mencapai

panjang 50 m atau lebih. Persebaran

C. scipionum di Sumatera dan Kalimantan

(Kalima, 2005). Diameter batang dengan pelepah 35-50 mm (tanpa pelepah 25-30 mm). Daunnya berkuncir, panjangnya mencapai 2 m. Pelepah daun berwarna hijau tua, berduri bentuk segitiga, tersusun jarang, berwarna hijau kekuningan. Buah masak berbentuk bulat telur, berukuran 14x9 mm. Biji berbentuk bulat telur, sekitar 10x4 mm. C. scipionum merupakan tanaman yang tumbuh di dataran rendah yang tersebar luas dan terdapat di atas ketinggian

(7)

200 m. Tanaman ini menyukai tanah yang lebih baik seperti tanah aluvial. Tanaman ini sering terdapat di hutan sekunder (Dransfield dan Manokaran, 1996).

7. Salak (Salacca zalacca Gaertn.)

(a) (b) Gambar 9. Salak (Salacca zalacca Gaertn.): (a)

Perawakan, (b) Daun

S. zalacca berbentuk perdu atau

hampir tidak berbatang, dan berduri banyak. Tumbuh menjadi rumpun yang rapat dan kuat. Batang menjalar di bawah atau di atas tanah. Membentuk rimpang dan sering bercabang dengan diameter 10-15 cm. Daunnya majemuk menyirip, seperti daun kelapa, panjang hingga 5 m dengan tangkai daun hingga 1,5 m. Tipe buah berbentuk segitiga agak bulat atau bulat telur terbalik, runcing di pangkalnya dan membulat di ujungnya, panjang 2,5–10 cm, terbungkus oleh sisik-sisik berwarna kuning coklat sampai coklat merah mengkilap yang tersusun seperti genting, dengan banyak duri kecil yang mudah putus di ujung masing-masing sisik.

Berdasarkan hasil yang diperoleh terdapat 4 genus diantaranya adalah Calamus,

Arenga, Khortalasia dan Salacca dengan total 9

jenis. Jumlah spesies palmae di lokasi penelitian hampir sama dengan hasil penelitian Rustiami (2002) yang melaporkan bahwa jumlah spesies palmae di gunung Kerinci dan gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat ditemukan sebanyak 7 jenis palmae pada ketinggian 1800 mdpl dengan jenis-jenis palmae yang diperoleh adalah Caryota aequatorialis, Pinanga latisecta,

Salacca sumatrana, Daemonorops didymophylla, Calamus pilosellus dan Calamus exilis. Jenis yang dominan pada kawasan ini

adalah Daemonorops dan Calamus. Pada kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu tergolong hutan sekunder yang berada dalam kawasan lindung.

Hasil penelitian Siregar (2007) di Gunung Sinabung, Kab Karo, Sumatera Utara yaitu diperoleh sebanyak 8 jenis palmae pada ketinggian 1400-2450 mdpl dengan jenis-jenis palmae yang diperoleh adalah Arenga sp.,

Caryota sp., Iguanura geonomaeformis, Calamus tumidus Furt., Calamus Palustris Griff., Calamus scipionum Lour. Daemonorops sp1., Daemonorops sp2. Sedangkan jenis yang juga

dijumpai pada lokasi penelitian adalah

C. scipionum.

Pengelompokan jenis-jenis palmae umumnya didasarkan atas persamaan ciri-ciri karakteristik morfologi organ tanaman, yaitu: akar, batang, daun, bunga, buah, dan alat-alat tambahan. Penentuan yang paling spesifik pada jenis palmae berdasarkan tipe batangnya serta pemberian nama daerah yang dipengaruhi oleh tempat tumbuh dan bahasa daerah dimana jenis tersebut tumbuh seperti yang digunakan oleh masyarakat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nama Lokal yang Digunakan Masyarakat di Sekitar Kecamatan Lumban Julu pada Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa

No. Nama Dagang

(Trade Name) (Scientific Name) Nama Ilmiah (Local Name) Nama Lokal Sifat Tumbuh

1. Aren Arenga Pinnata Merr. Bagot Tunggal

2. Rotan Udang Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo Berumpun

3. Rotan Lilin Calamus javensis Blume Hotang Cacing Berumpun

4. Rotan Manau Calamus manan Miquel Hotang Manau Soliter

5. Rotan Lambang Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi Berumpun

6. Rotan Semambu Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar Berumpun

7. Salak Salacca zalacca Gaertn. Salak Berumpun

Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa pengembangan identifikasi nama daerah yang meluas mencerminkan arti sosial suatu jenis. Spesies-spesies palmae yang luas

persebarannya dapat diacu dengan banyak nama. Di tempat desa-desa atau orang-orang dengan kelompok bahasa yang berlainan dan tinggal berdekatan satu sama lain, beberapa

(8)

nama bahkan dapat digunakan untuk spesies lokal. Telah timbul kerancuan yang serius dari penggunaan yang tidak kritis dari nama-nama daerah. Mogea (2002) mengatakan bahwa nama lokal sangat tidak akurat dan bahkan menyesatkan apabila dilakukan konversi langsung dari nama lokal ke nama botani tanpa mengidentifikasi material herbarium yang dimaksud. Identifikasi berlaku untuk semua spesies dalam mendapatkan ketepatan nama botani/ilmiah.

Identifikasi jenis Calamus, Khortalasia dan Salacca dapat dilakukan dengan mengamati jumlah batang pada setiap rumpun, sistem perakaran, bentuk dan jenis alat

pemanjat, serta bentuk dan perkembangan daun, bunga dan buah. Pada Dendrocalamus dan Sementara untuk A. pinnata tipe batangnya berbeda dengan jenis lain karena menyerupai pohon. Penentuan jenis dengan penerapan sifat morfologi saja kadang-kadang menemui kelemahan, begitu juga dengan identifikasi berdasarkan nama daerah sehingga penempatan suatu takson dalam klasifikasi diragukan.

Berdasarkan hasil interview guide (wawancara) dengan masyarakat di lokasi penelitian diperoleh bahwa hampir semua masyarakat mengetahui jenis palmae yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Palmae dalam Penggunaan dan Pemanfaatan Oleh Masyarakat di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa

No . Nama Ilmiah (Scientific Name) Nama Lokal (Local Name) Penggunaan Pemanfaatan (Utilization) Jumlah Responden yang Memanfaatkan Ya Tidak

1. Arenga Pinnata Merr. Bagot  Kolang-kaling, tuak, sapu 21

2. Khortalasia echinometra Becc. Hotang Mallo  Sapu, penyekat dinding 16

3. Calamus javensis Blume Hotang Cacing  Kurang dimanfaatkan 1

4. Calamus manan Miquel Hotang Manau  Kursi, meja, rak 11

5.

Calamus ornatus Blume Hotang Sulfi  Sangkar burung, pemukul tilam 9

6.

Calamus scipionum Loureiro Hotang Buar-Buar  Sapu, pemukul tilam, tampi beras 22

7. Salacca zalacca Gaertn. Salak  Buahnya dapat dikonsumsi 14

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa masyarakat mengganggap bahwa palmae merupakan jenis yang mampu menghasilkan uang untuk kehidupan masyarakat setempat apabila dijual dan juga dapat dimanfaatkan sebagai perabot rumah tangga bahkan sumber makanan. Pengetahuan ini diperoleh secara turun temurun yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Pemanfaatan palmae oleh masyarakat sebagian besar dimanfaatkan secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

2. Pemetaan Sebaran

Jenis palmae yang ditemukan di Kecamatan Lumban Julu yang terdapat pada kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa pada identifikasi diperoleh sebanyak 7 jenis tumbuhan yang tersebar di wilayah tersebut. Menurut Nopelina (2006) peta merupakan penyajian

secara grafis dari kumpulan data maupun informasi sesuai lokasinya secara dua dimensi. Informasi merupakan bentuk data yang telah dianalisis, berbeda dari data mentah maupun yang biasanya lebih sering hanya merupakan hasil pengukuran langsung. Sehingga perlu dilakukan pengamatan langsung di lapangan untuk mengetahui sebaran jenis di lapangan. Peta penyebaran palmae diperoleh dari kegiatan pengambilan data primer di lapangan yaitu berupa titik koordinat palmae. Pengambilan titik dilakukan apabila ditemukan jenis pada petak pengambilan contoh.

Data disimpan di GPS yang terdiri atas koordinat tumbuhan dan ketinggian tempat lokasi penelitian.

Peta titik sebaran untuk aren

(Arenga), rotan (Khortalasia dan Calamus),

dan salak (Salacca) berdasarkan jalur

dapat dilihat pada Gambar 10.

(9)

(a) (b)

(c) Gambar 10. Peta Titik Sebaran Palmae di Kecamatan Lumban Julu yang Terdapat di Kawasan KPHL

Model Unit XIV Tobasa (a) Aren (Arenga), (c) Rotan (Khortalasia dan Calamus), dan (d) Salak (Salacca)

Berdasarkan Gambar 10, diketahui bahwa sebaran terbesar yaitu pada jenis

Calamus sedangkan sebaran terkecil pada jenis Salacca. Hal ini disebabkan karena rotan

merupakan jenis tanaman yang tumbuh memanjat dan banyak tersebar di bagian bumi beriklim tropis. Namun rotan yang tumbuh alami kebanyakan menghasilkan semai yang melimpah, tetapi hanya sebagian kecil yang tumbuh mencapai dewasa karena mortalitasnya tinggi. Hal ini disebabkan karena persaingan merebut cahaya, air dan zat hara, sehingga menyebabkan hanya sedikit semai mencapai dewasa. Cahaya juga meningkatkan pemanjangan batang (Dransfield, 1974). Rotan

yang paling banyak dijumpai adalah

C. scipionum atau dikenal dengan nama lokal

hotang buar-buar. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa belum banyak yang terganggu. Peta titik sebaran palmae pada ke tiga jalur pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Peta Titik Sebaran Pada Kecamatan Lumban Julu Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa

Berdasarkan Gambar 11, diketahui bahwa sebaran palmae di lokasi penelitian tidak tersebar merata, jenis rotan mendominasi di lokasi penelitian. Kehidupan flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkait dengan kondisi lingkungannya. Itulah yang menyebabkan persebaran flora dan fauna secara tidak merata

(10)

di permukaan bumi. Kondisi iklim dan tanah di permukaan bumi sangat beragam, maka beragam pula persebaran flora dan fauna. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan flora dan fauna di uka bumi menurut Waluyo (2013) antara lain adalah faktor klimatik (iklim), edafik (tanah), dan biotik (mahluk hidup)

a. Faktor klimatik

Di daerah tropis merupakan wilayah yang optimal bagi kehidupan spesies. Beberapa faktor-faktor iklim yang berpengaruh terhadap persebaran flora dan fauna antara lain suhu, kelembaban udara:

1) Suhu

Kondisi suhu udara sangat berpengaruh terhadap kehidupan flora dan fauna, karena berbagai jenis spesies memiliki persyaratan suhu lingkungan hidup ideal atau optimum serta tingkat toleransi yang berbeda satu sama lain. Khusus dalam dunia tumbuhan, kondisi suhu udara adalah salah satu faktor pengontrol persebaran vegetasi sesuai dengan posisi lintang, ketinggian tempat, dan kondisi topografinya

2) Kelembaban Udara

Faktor iklim lain adalah kelembaban udara. Tingkat kelembaban udara berpengaruh langsung terhadap pola persebaran tumbuhan di muka bumi.

a. Faktor Edafik

Selain iklim, faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi persebaran mahluk hidup

terutama tumbuhan adalah kondisi tanah atau edafik. Ini berarti semakin subur tanah maka kehidupan tumbuhan semakin banyak jumlah dan keanekaragamannya.

b. Faktor Biotik

Manusia adalah komponen biotik paling berperan terhadap keberadaan tumbuhan dan fauna di suatu wilayah. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berusaha memanfaatkan lingkungan hidup di sekitarnya semaksimal mungkin, walau kadang-kadang dapat merusak kelestariannya.

3. Keanekaragaman Jenis

Konsep keanekaragaman merupakan perbedaan populasi serta penyebaran populasi seluruh individu dalam satu areal. Dalam populasi tersebut keanekaragaman jenis ditentukan berdasarkan kerapatan, frekuensi dan dominansi. Penyebaran pada tempat yang baru ini akan membentuk populasi yang nantinya akan kembali menempati, beradaptasi dan membentuk keseimbangan baru. Karena penyebaran yang berskala besar maka akan terjadi keterbatasan daya dukung lingkungan, termasuk didalamnya berupa keterbatasan ketersediaan sumberdaya makanan, ruang, dan lain-lain sehingga menyebabkan setiap individu mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan daerah wilayahnya. Data kerapatan Relatif (%) spesies palmae berdasarkan jumlah jenis di dua ketinggian tempat disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Kerapatan Relatif (%) spesies palmae di dua ketinggian tempat

No. Nama Ilmiah

(Scientific Name)

Ketinggian tempat (mdpl)

1300 1400

Jlh Spesies KR

(%) Jlh Spesies KR (%)

1. Arenga Pinnata Merr. 54 8,75 48 53,33

2. Khortalasia echinometra Becc. 90 14,58 27 30

3. Calamus javensis Blume 3 0,48 3 3,33

4. Calamus scipionum Loureiro 230 37,27 8 8,88

5. Calamus ornatus Blume 42 6,80 0 0

6. Calamus manan Miquel 165 26,23 4 4,4

7. Salacca zalacca Gaertn. 33 5,34 0 0

Total 617 100 90 100

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa

kerapatan relatif (KR) tertinggi adalah

C. scipionum yaitu 37,27 ditemui pada 59 plot

pada ketinggian 1300 mdpl. Jenis palmae dan paling melimpah terdapat pada ketinggian 1300 mdpl. Menurut Witono dkk., (2000), sebagian

besar kelompok palmae tumbuh subur terutama di atas ketinggian 1200 mdpl, tumbuh baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan tanah datar,

(11)

tanah berbukit, dan berlereng terjal. Sementara menurut

Jenis C. manan banyak ditemukan di areal perbukitan, tingkat semai ditemukan melimpah di hutan perbukitan. Namun ada beberapa spesies yang memang mempunyai habitat tertentu misalnya S. zalacca, jenis ini hanya dijumpai pada daerah yang datar yang terdapat pada areal lembab. Menurut Witono dkk., (2000), palmae dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur, dan tanah berbatu. Palmae juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan dari tanah datar, tanah berbukit, dan tanah berlereng terjal.

Jenis C. ornatus dan S.zalacca Gaertn. juga tidak ditemukan pada ketinggian 1400 mdpl. Hal ini sesuai pernyataan Jasni dkk., (2012) yang menyatakan bahwa C. ornatus tidak dijumpai di tanah puncak bukit yang tidak subur dan biasanya ditemukan soliter secara alam di hutan sekunder tua atau primer sampai

1000 m. Tingkat ketinggian tempat untuk tanaman rotan dapat mencapai 2900 mdpl. Semakin tinggi tempat tumbuh semakin jarang dijumpai jenis rotan. Sementara untuk S.

zalacca Gaertn. menurut BPP Iptek (2010)

menyatakan bahwa tanaman salak tumbuh pada ketinggian tempat 100-500 mdpl dan untuk pertumbuhan membutuhkan kelembaban tinggi.

Rendahnya jumlah spesies palmae ini diduga faktor lingkungan seperti tanah, topografi dan unsur lainnya sebagai habitat, pola sebaran dan bentuk hidupnya. Hal ini diyakini karena posisi petak cuplikan pada ketinggian 1400 mdpl pada saat pengambilan data di lapangan adalah petak yang terletak di lereng yang terjal, dengan lapisan atas (top soil) cukup tebal sehingga dapat berpengaruh terhadap perkembangan perakaran dan pertumbuhan spesies palmae. Data Frekuensi Relatif (%) spesies palmae di dua ketinggian tempat disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Frekuensi Relatif (%) spesies palmae di dua ketinggian tempat

No. (Scientific Name) Nama Ilmiah Ketinggian tempat (mdpl) Frekuensi Relatif (%)

1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 15,20 60,41

2. Khortalasia echinometra Becc. 12,86 16,66

3. Calamus javensis Blume 1,16 4,166

4. Calamus scipionum Loureiro 34,50 12,5

5. Calamus ornatus Blume 7,01 0

6. Calamus manan Miquel 21,05 6,25

7. Salacca zalacca Gaertn. 8,18 0

Total 100 100

Frekuensi relatif (FR) berdasarkan Tabel 5 diperoleh yang tertinggi juga ditempati oleh

C. scipionum pada ketinggian 1300 mdpl

sebanyak 34,5 % dan Arenga Pinnata Merr. pada ketinggian 1400 mdpl sebanyak 60,41 % dimana tingkat penyebaran kedua jenis ini lebih luas dibandingkan jenis yang lain. Frekuensi

relatif terendah ditemukan pada jenis

C. javensis dimana jumlah individu dan tingkat

penyebarannya lebih rendah dibandingkan jenis lainnya.

Data Indeks Nilai Penting (%) masing-masing spesies palmae di dua ketinggian tempat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Indeks Nilai Penting (%) spesies palmae di dua ketinggian tempat No. (Scientific Name) Nama Ilmiah Ketinggian tempat (mdpl) Indeks Nilai Penting

1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 23,95 113,75

2. Khortalasia echinometra Becc. 27,45 46,66

3. Calamus javensis Blume 1,65 7,5

4. Calamus scipionum Loureiro 71,78 21,38

5. Calamus ornatus Blume 13,82 0

6. Calamus manan Miquel 47,79 10,69

7. Salacca zalacca Gaertn. 13,53 0

(12)

Indeks nilai penting terbesar

berdasarkan Tabel 6 dimiliki oleh jenis

C. scipionum dengan nilai sebesar 71,78 pada

ketinggian 1300 mdpl dan A. Pinnata sebesar 113,75 pada ketinggian 1400 mdpl. Sedangkan nilai yang terendah dimiliki oleh jenis C. javensis pada ketinggian 1300 mdpl dan 1400 mdpl dengan nilai 1,46 dan 6,06. Tingginya nilai penting pada jenis ini dipengaruhi oleh rendahnya keberadaan jenis-jenis palmae lainnya dan tingginya kerapatan relatif jenis ini

di lokasi penelitian, sehingga C. scipionum menjadi jenis yang dominan dan mempunyai peranan yang penting dalam komunitas. Variasi tersebut menunjukkan bahwa setiap spesies memiliki kelimpahan yang bervariasi. Indeks nilai penting diperoleh dari Kerapatan Relatif (KR) + Frekuensi Relatif (FR).

Data Indeks Keanekaragaman (H') spesies palmae di dua ketinggian tempat di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Indeks Keanekaragaman (H') spesies palmae di dua ketinggian tempat No. Nama Ilmiah (Scientific Name) Indeks Keanekaragaman (H') Ketinggian tempat (mdpl) 1300 1400

1. Arenga Pinnata Merr. 0,25 0,32

2. Khortalasia echinometra Becc. 0,27 0,33

3. Calamus javensis Blume 0,03 0,12

4. Calamus scipionum Loureiro 0,36 0,23

5. Calamus ornatus Blume 0,18 0

6. Calamus manan Miquel 0,34 0,15

7. Salacca zalacca Gaertn. 0,18 0

Total 1,64 1,17

Indeks keanekaragaman spesies (H') palmae pada ketinggian 1300 mdpl secara keseluruhan hanya mencapai 1,64 % pada dan 1,17 % pada ketinggian 1400 mdpl. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 7 tersebut diketahui bahwa palmae pada ketinggian ini memiliki tingkat keanekaragaman sedang. Kriteria indeks keragaman spesies menurut Mason (1980) jika H'<1 keanekaragaman tergolong rendah, H' 1-3 keanekaragaman tergolong sedang, H'>3 keanekaragaman tergolong tinggi. Berdasarkan kisaran nilai tersebut maka nilai indeks keanekaragaman pada ketinggian 1300-1400 mdpl tergolong sedang. Odum (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah

spesies maka semakin tinggi

keanekaragamannya, sebaliknya bila nilainya kecil maka komunitas tersebut didominasi oleh satu atau sedikit jenis.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Hasil identifikasi palmae yang ditemukan di Kecamatan Lumban Julu Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa ada 7 jenis terdiri atas 2 sub famili dengan 7 genus diantaranya adalah Calamus (4 spesies),

Arenga (1 spesies), Khortalasia (1 spesies)

dan Salacca (1 spesies).

2. Sebaran tumbuhan palmae tidak tersebar secara merata dengan tingkat keanekaragaman palmae tergolong sedang. 3. Pemanfaatan palmae oleh sebagian besar

dimanfaatkan secara langsung dalam pemanfaatan kebutuhan sehari-hari.

Saran

Mengingat luasnya lokasi penelitian pada Kawasan KPHL Model Unit XIV, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Tobasa maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui potensi dan sebaran Hasil Hutan Non Kayu lainnya selain jenis palmae.

DAFTAR PUSTAKA

Alam, S. dan Suhartati, 2000. Pengusahaan hutan aren rakyat di Desa Umpunge Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan Vol. 6 No.2 2000:59-70. Balai Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang.

(13)

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta.

Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (BPP

Iptek). 2010. Salak.

http://www.ristek.go.id diakses tanggal 28 Mei 2015.

Baplan. 2007. Eksekutif Data Strategis Kehutanan. Dalam. Grand Strategi HHBK.

Departemen Kehutanan. 2007. Inventarisasi Hutan Menyeluruh dan Berkala. Departemen Kehutanan. 2007. Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor 35 tahun 2007 tentang Hasil Hutan Bukan Kayu. Dephut. Jakarta.

Dransfield dan Manokaran, 1996. Sumber Daya Nabati Aasia Tenggara: Rotan. Gadjah Mada University Press bekerjasama dengan Prosea Indonesia. Yogyakarta. Heyne, K., 1950. Tumbuhan Berguna Indonesia.

Jilid I. Terjemahan oleh Badan Litbang Kehutanan. Jakarta.

Jasni, Damayanti R, Kalima T. 2007. Atlas Rotan Indonesia Jilid 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Jasni, Krisdianto, Kalima, T., Abdurachman. 2012. Atlas Rotan Indonesia Jilid 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Kalima T, Setyawati T. 2003. Analisa potensi jenis rotan kurang dikenal di hutan Berau, Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hutan 638: 59-72.

Kalima T. 2005. Identifikasi Tanaman Rotan di Hutan Penelitian Haurbentes, Jawa Barat. Info Hutan Voume II Nomor 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.

Kementerian Kehutanan. 2013. Profil Kehutanan 33 Provinsi. Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan. Jakarta. Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi.

Penerbit Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mason, C. F. 1980. Ecology, Second Edition. Longman, Inc. New York.

Mogea, J. P. 2002. Rotan di TNGH dan Prospek Budidayanya di Desa Cisungsang Lebak Banten. Biodiversitas TNGH (II) Berita Biologi 6(1): 33-47. Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Nopelina, I. 2006. Studi Pemetaan Tanaman Obat Temulawak (Curcuma

Xanthorhiza Roxb.) Dengan Aplikasi

Sistem Informasi Geografis : Studi Kasus Di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. IPB. Bogor.

Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology,

Third Edition. W. B. Saunders

Company. Philadelpia.

Rustiami H. 2002. Keanekaragaman Palem di Gunung Kerinci dan Gunung Tujuh, Taman Nasional Kerinci Seblat Sumatera. Floribunda II (1): 6 – 8. Siregar, E. S. 2007. Jenis-Jenis Palmae di

Hutan Sinabung Sumatera Utara. Jurnal Biologi Sumatera. Hlm. 42 – 44. Smith, D. M. 1992. The Practice of Silviculture.

John Willey & Sons. New York.

Waluyo. 2013. Mikrobiologi Lingkungan. Erlangga. Jakarta.

Witono, J.R.A., Suhatman, N., Suryana dan R.S Purwantoro. 2000. Koleksi Palem Kebun Raya Cibodas. Seri Koleksi Kebun Raya-LIPI Vol. II, No. I. Sindang Laya-Cianjur.

(14)

Gambar

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Tabel 1. Spesies Palmae di Kecamatan Lumban Julu Pada Kawasan KPHL Model Unit XIV Tobasa
Gambar 7. Hotang Sulfi (Calamus ornatus  Blume): (a) Perawakan, (b) Batang,     (c) Daun
Tabel  2.  Nama  Lokal  yang  Digunakan  Masyarakat  di  Sekitar  Kecamatan  Lumban  Julu  pada  Kawasan  KPHL Model Unit XIV Tobasa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang ada dalam sistem pelayanan yang lama masih menggunakan prosedur yang, tidak efektif dan efisien, terutama dalam hal entry data yang dilakukan dua kali

Untuk memudahkan dalam melakukan pemeriksaan maka sebagai indikatornya berupa suara, dimana apabila terdapat sinyal input ataupun terdapat hubungan maka insikator akan akan

The operating cash flows must be translated back into the parent firm’s currency at the spot rate expected to prevail in each period.. The operating cash flows must be

Sebagai tindak lanjut surat kami nomor 3143/ C5 / KS /2017 tanggal 6 Juni 2017 tentang pengumuman seleksi Hibah Konsorsium 2017 dan surat No 3034/C5/KS.2017 tertanggal 2 Juni

 Pria : background biru, memakai jas hitam, kemeja putih dan berdasi  Wanita : background merah, bersanggul dan berkebaya. ( bagi yang berjilbab harus membuat surat

Penilaian kegiatan Lokakarya PPG dititikberatkan pada penilaian penguasaan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Ketentuan yang terkait dengan penilaian tersebut

By limiting netting, more unnecessary foreign exchange transactions flow through the local banking system... ! $ )..

tindakan hukum lain kepada PIHAK KEDUA dalam menghadapi permasalahan hukum bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, untuk selanjutnya PIHAK KEDUA bersedia untuk