• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Praktik Pengobatan Tradisional oleh Balian di Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Mengwi II Kabupaten Badung Tahun 2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Praktik Pengobatan Tradisional oleh Balian di Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Mengwi II Kabupaten Badung Tahun 2016."

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

OLEH BALIAN DI WILAYAH KERJA

UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSKESMAS MENGWI II

KABUPATEN BADUNG TAHUN 2016

I DEWA AYU MAS MANIK ASTAWASTINI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

OLEH BALIAN DI WILAYAH KERJA

UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSKESMAS MENGWI II

KABUPATEN BADUNG TAHUN 2016

I DEWA AYU MAS MANIK ASTAWASTINI NIM : 1420015046

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

GAMBARAN PRAKTIK PENGOBATAN TRADISIONAL

OLEH BALIAN DI WILAYAH KERJA

UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSKESMAS MENGWI II

KABUPATEN BADUNG TAHUN 2016

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

I DEWA AYU MAS MANIK ASTAWASTINI NIM : 1420015046

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas berkat dan rahmat-Nya skripsi yang berjudul ”Gambaran Praktik Pengobatan Tradisional oleh Balian di Wilayah Kerja Unit Pelaksana Teknis Puskesmas Mengwi II Kabupaten Badung Tahun 2016” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi ini diajukan sebagai persyaratan kelulusan dalam rangka menyelesaikan kuliah di Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana..

Dalam menyelesaikan Skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang terkait. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Putu Ayu Indrayathi,SE.MPH selaku ketua bagian Administrasi Kebijakan Kesehatan Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat.

3. dr. Ni Made Sri Nopiyani, MPH, selaku pembimbing dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Indira Pudi Asri, selaku Kepala UPT. Puskesmas Mengwi II yang telah memberikan ijin dalam melakukan penelitian diwilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II, Kabupaten Badung

(7)

vii

6. Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyusunan skripsi penelitian ini.

7. Semua teman-teman angkatan 2014 yang selalu memberikan saran dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril maupun material yang sangat berguna bagi penulis

9. Seluruh responden yang ikut berpartisipasi dan meluangkan waktu dalam penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang penulis miliki. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis berharap adanya kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini. Besar harapan penulis, semoga Skripsi ini bermanfaat untuk kita semua.

Denpasar, 21 Juni 2016

(8)

viii

UNIT PELAYANAN TEKNIS PUSKESMAS MENGWI II KABUPATEN BADUNG TAHUN 2016

ABSTRAK

Balian adalah seseorang yang diakui atau dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai orang yang mampu melakukan pengobatan secara tradisional. Masyarakat di wilyah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II masih banyak mengakses pengobat tradisional/balian yang datang dengan berbagai keluhan dari yang ringan sampai berat. Masyarakat yang berobat ke Balian meningkat 21.500 orang pada tahun 2013, 22.825 orang tahun 2014 dan 23.485 orang tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik pengobatan tradisional di wilyah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2016 di wilayah kerja Puskesmas Mengwi II. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada 15 orang responden yang terdiri dari 5 orang pasien, 5 orang tokoh masyarakat dan 5 orang balian yang dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis tematik.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara balian dengan masyarakat atau sebaliknya seperti keluarga, tidak ada tarif khusus dari balian yang ditetapkan kepada pasien ketika berobat, semua atas dasar kerelaan hati dan keikhlasan pasien untuk memberikan imbalan. Persepsi masyarakat tentang keberadaan balian dalam pengobatan tradisional seluruhnya memiliki respons yang positif dan merasa terbantu dengan adanya pengobatan tradisional. Masyarakat memandang perlunya balian mendapat pengawasan agar tidak terjadi malpraktek atau kesalahan dalam pemberian pelayanan. Masyarakat mengeluhkan tidak adanya informasi tentang pengobatan tradisional dari Puskesmas.

Diharapkan kepada pemerintah Kabupaten Badung dan Dinas Kesehatan agar memberikan pengawasan, pembinaan dan pemberdayaan balian serta memfasilitasi dalam pengurusan STPT sehingga memudahkan pemantauan praktek balian.

(9)

ix PRACTICES BY BALIAN IN WORKING AREA OF

PUBLIC HEALTH CENTRE MENGWI II BADUNG DISTRICT 2016

ABSTRACT

Balian is someone who recognized or utilized by the community as a person capable of performing the medication traditionally. The community in working area of Public Health Centre Mengwi II still access traditional medicine or balian to solve variety of symptoms from a mild to severe. The number of people who go to balian increased to 21,500 people in 2013, 22.825 people in 2014, and 23.485 people in 2015. This research aimed to know traditional medicine practices in working area of Public Health Centre Mengwi II.

This research was conducted on April 2016 in Puskesmas Mengwi II working area. Collecting data in this research held by in-depth interviews to 15 informants (5 patients, 5 people public figures and 5 balian) who were chosen with purposive sampling method. Data analyses was conducted by using thematic analysis method.

The result showed the relationship between balian with the community or otherwise as family, there was not special price set to patients who want to get medication. The community perception of the existence of balian in traditional medicine was positive and felt it helped community in medication by existing of the traditional medicine. The community thought balian need to get supervision to avoid the discriminations in giving of services. The community complain about the lack of information about traditional medicine from public health centre.

Expected to the Badung District Government and Health department to give supervision, guidance and empowerment to balian and facilitate in obtaining STPT so that it makes easy to monitoring balian practices.

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK………...………..….viii

ABSTRACT……….……………ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 6

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.4.1 Tujuan Umum ... 7

1.4.2 Tujuan Khusus ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

1.5.1 Manfaat Teoritis ... 7

1.5.2 Manfaat Praktis ... 7

(11)

xi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Pengobatan Tradisional ... 9

2.1.1 Definisi Pengobatan Tradisional ... 9

2.1.2 Pengobat Tradisional ... 9

2.1.3 Balian ... 11

2.1.4 Obat Tradisional ... 14

2.1.5 Peraturan Tentang Pengobat Tradisional Bali (Balian) ... 15

2.1.6 Pembinaan dan Pengawasan Pengobat Tradisional/Balian ... 16

2.1.7 Perkembangan Pengobatan Tradisional di Indonesia ... 18

2.2 Peran ... 20

2.3 Persepsi, Harapan, dan Konformitas Peran ... 23

2.3.1 Persepsi ... 23

2.3.2 Harapan ... 24

2.3.3 Konformitas ... 25

2.3.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pasien dalam Memilih Pelayanan Pengobatan Tradisional ... 26

2.4 Penelitian Terdahulu ... 28

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 35

3.1 Kerangka Konsep ... 35

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 36

3.2.1 Variabel Penelitian ... 36

3.2.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

BAB IV METODE PENELITIAN ... 39

4.1 Karakteristik Penelitian ... 39

4.2 Peran Peniliti ... 39

4.3 Strategi Pengumpulan Data ... 40

(12)

xii

BAB V HASIL ... 42 5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 42

5.2 Riwayat Penelitian……….……….43

5.3 Karakteristik Informan ... 49 5.4 Hasil Penelitian ... 51

5.4.1 Realitas dan Harapan Praktik Balian dalam Pengobatan Tradisional di Wilayah Kerja UPT. Puskesmas Mengwi II ... 51 5.4.2 Persepsi dan harapan masyarakat terhadap praktik pengobat tradisional

yang dijalankan oleh balian di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II ... 58 BAB VI PEMBAHASAN ... 63 6.1 Pembahasan ... 63

6.2 Kelemahan Penelitian………74

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 76 7.1 Simpulan ... 76 7.2 Saran ... 77 DAFTAR PUSTAKA

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Jadwal Penelitian

Lampiran 2. Lembar Informasi Lampiran 3. Lembar Persetujuan

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengobatan tradisional merupakan pengobatan dan/atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatnya mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun dan atau pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Kemenkes RI, 2003). Keberadaan pengobat tradisional dan obat tradisional sebagai bagian yang tidak dapat diabaikan dalam pelayanan kesehatan diatur dalam Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan.

(17)

2

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan tradisional telah dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, pelayanan kesehatan dasar di puskesmas, kabupaten atau kota, Provinsi dan Kementerian Kesehatan bersama lintas sektoral terkait dan mengikutsertakan asosiasi pengobat tradisional (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, 2011). Sejak tahun 2009, pengobatan tradisional alternatif dan komplementer merupakan salah satu bagian dari subsistem upaya kesehatan dan dimasukan dalam rencana strategis kementerian kesehatan 2010-2014 berupa peningkatan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan obat tradisional Indonesia. Meskipun demikian, belum banyak penerapan pengobatan tradisional di unit pelayanan kesehatan walaupun pemerintah telah mendorong pemanfaatannya Permenkes nomor 1109/Menkes/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di fasilitas kesehatan.

Menurut Yuningsih (2012), pelayanan pengobatan tradisional yang sudah diterapkan di beberapa unit pelayanan kesehatan di Indonesia hingga akhir tahun 2011 sebanyak 42 puskesmas yang memberikan ramuan dan 31 Puskesmas memberikan pelayanan acupressure. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan dengan skala kecil, dalam pelaksanaan pengobatan tradisional perlu dilakukan pengawasan yang ketat melalui peningkatan pelatihan tenaga Puskesmas dalam upaya menerapkan pengobatan tradisional tersebut.

(18)

3

daerah dengan pendapatan per kapita tertinggi di Provinsi Bali, memiliki jumlah pengobat tradisional sebanyak 317 orang, yang merupakan kelima terbesar setelah Karangasem (572 orang), Jembrana (498 orang), Bangli (327 orang) dan Buleleng (318 orang). Sebagian besar pengobat tradisional yang terdapat di Kabupaten Badung adalah pengobat tradisional penata rambut (83 orang) dan pijat urut (55 orang).

Salah satu puskesmas di Daerah Kabupaten Badung yang memiliki program pengembangan pengobatan tradisional adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Mengwi II yang mulai aktif sejak tahun 2012 dengan nama program pelayanan kesehatan tradisional, alternatif dan komplementer (Yankestradkom), dimana program tersebut terdiri dari pengawasan, monitoring pengobat tradisional dan Tanaman Obat Keluarga (TOGA).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara terhadap pemegang program pada tanggal 12 Nopember 2015 diketahui bahwa secara keseluruhan jumlah pengobat tradisional di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II sebanyak 70 pengobat tradisional, sedangkan pengobat tradisional Bali/Balian 55 (78,6%), namun pelaksanaan program pengembangan Yankestradkom tersebut belum terlaksana secara optimal karena berbagai kendala, diantaranya belum pernah dilakukan evaluasi secara langsung kepada pengobat tradisional, dan tidak adanya dukungan dana dari Pemda.

(19)

4

Puskesmas Mengwi II sangatlah penting, pembinaan yang optimal dapat menentukan kualitas pelayanan dari pengobat tradisional tersebut yang secara tidak langsung dapat meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat..

Dewi (2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pelaksanaan program pengobatan tardisional di UPT. Puskesmas Mengwi II tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan berkompeten di bidangnya, pendanaan yang kurang, pembinaan dilakukan terbatas pada pengobat tradisional yang memiliki surat terdaftar pengobat tradisional (STPT) dan surat ijin pengobat tradisional (SIPT), pembinaan dan kunjungan dari puskesmas belum terlaksana dengan rutin dan optimal, pengobat tradisional kebanyakan memiliki pengetahuan yang kurang tentang informasi pembuatan SIPT dan STPT sehingga banyak pengobat tradisional yang tidak memiliki ijin. Evaluasi terhadap pelaksanaan pengobatan tradisional di puskesmas dilakukan melalui penilaian terhadap program atau indikator tentang pengobatan tardisional secara umum. Namun evaluasi terhadap pelaksanaan pengobat tradisional dalam masyarakat belum pernah dilakukan evaluasi secara optimal.

(20)

5

Nasional (Susenas) tahun 2007 menunjukkan penduduk Indonesia yang mengeluh sakit dalam waktu kurun satu bulan ada sebanyak 30,90%, dari penduduk yang mengeluh sakit, 65,01% memilih pengobatan sendiri menggunakan obat dan atau obat tradisional. Provinsi Bali menunjukkan bahwa 55,04% penduduk yang memiliki keluhan kesehatan memutuskan untuk berobat sendiri atau obat tradisional (Susenas, 2007 dalam Kristiani, 2013).

Masyarakat di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II masih banyak mengakses pengobat tradisional/balian yang datang dengan berbagai keluhan dari yang ringan sampai berat. Masyarakat yang berobat ke pengobat tradisional sebanyak 21.500 orang pada tahun 2013, 22.825 orang tahun 2014 dan 23.485 orang tahun 2015. Balian tersebut merupakan balian campuran, dan mempunyai peran yang sangat penting dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Sampai saat ini belum ada studi untuk mengetahui atau mendalami implementasi praktik pengobatan tradisional terutama tentang balian di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II. Menurut Lifawati (2015), banyaknya masyarakat yang mengakses pengobatan tradisional dibandingkan pengobatan modern dikarenakan oleh faktor sugesti, pelayanan yang cepat, efektif dan murah.

(21)

6

1.2 Rumusan Masalah

Penelitian tentang analisis program Yankestradkom di UPT. Puskesmas Mengwi II telah dilakukan pada tahun 2014 dengan hasil dimana pelaksanaan program belum optimal dilihat dari sumber daya dan pendanaan yang kurang memadai, namun evaluasi program tersebut hanya menganalisis secara Input, proses dan output dari tinjauan Puskesmas. Evaluasi tersebut tidak dilakukan secara langsung terhadap pelaksanaan pengobatan tradisional yang bersangkutan. Selain itu, program Yankestradkom tersebut juga belum didukung oleh Pemda, walaupun demikian masih banyak masyarakat yang memanfaatkan pengobat tradisional dan merupakan pilihan pertama masyarakat dalam melakukan akses pelayanan kesehatan. Sampai saat ini, pembinaan khusus terhadap pengobat tradisional terutama balian belum dilaksanaan secara optimal serta belum ada penelitian yang meneliti tentang balian tersebut. Maka dalam hal ini, peneliti berpikir untuk menganalis lebih mendalam dan menggambarkan tentang hal yang belum dievaluasi dalam program evaluasi Yankestradkom tersebut dengan memberi gambaran berupa pelaksanaan pengobatan secara kualitatif, serta bagaimana harapan dari praktisi pengobatan tradisional dalam hubungannya dengan program pengembangan Yankestradkom di UPT. Puskesmas Mengwi II terutama tentang praktik yang dilakukan oleh balian dalam kaitannya dengan pengobatan tradisional di masyarakat.

1.3 Pertanyaan Penelitian

(22)

7

1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui praktik pengobatan tradisional oleh balian di wilayah kerja UPT.Puskesmas Mengwi II.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini yaitu sebagai berikut.

1. Realitas dan harapan praktik balian dalam pengobatan tradisional di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II

2. Persepsi dan harapan masyarakat terhadap praktik pengobat tradisional yang dijalankan oleh balian di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat bagi manajemen UPT. Puskesmas Mengwi II untuk mengetahui pelaksanaan praktik yang dilakukan oleh praktisi pengobatan tradisional di wilayah kerja UPT. Puskesmas Mengwi II sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih optimal untuk meningkatkan kinerja pengobat tradisional dan kualitas pelayanan pengobat tradisional dalam masyarakat

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yaitu menambah kajian ilmu terkait konsep administrasi kebijakan kesehatan khususnya dalam evaluasi program yankestradkom

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

(23)

8

(24)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pengobatan Tradisional

2.1.1 Definisi Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional adalah pengobatan atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatannya yang mengacu kepada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan atau pelatihan, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat (Kemenkes RI, 2003). Berdasarkan pengobatannya, pelayanan pengobatan tradisional terbagi menjadi dua jenis yaitu pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan ketrampilan dan ramuan (Direktorat Jenderal Bina Gizi dan KIA, 2012)

2.1.2 Pengobat Tradisional

Pengobat tradisional (Battra) adalah orang yang melakukan pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat, dan pengobatnya yang mengacu pada pengalaman, keterampilan turun temurun, dan atau pendidikan/pelatihan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku. Klasifikasi dan jenis pengobatan tradisional menurut Kemenkes RI (2003):

(25)

10

b. Battra Patah Tulang adalah seseorang yang memberikan pelayanan pengobatan dan/atau perawatan patah tulang dengan cara tradisional.Disebut Dukun Potong (Madura), Sangkal Putung (Jawa), Sandro Pauru (Sulawesi Selatan).

c. Battra Sunat adalah seseorang yang memberikan pelayanan sunat (sirkumsisi) secara tradisional. Battra sunat menggunakan istilah berbeda seperti Bong Supit (Yogya), Bengkong (Jawa Barat). Asal ketrampilan umumnya diperoleh secara turun temurun.

d. Battra Dukun Bayi adalah seseorang yang memberikan pertolongan persalinan ibu sekaligus memberikan perawatan kepada bayi dan ibu sesudah melahirkan selama 40 hari. Jawa Barat disebut Paraji, dukun Rembi (Madura), Balian Manak (Bali), Sandro Pammana (SulawesiSelatan), Sandro Bersalin (Sulawesi Tengah), Suhu Batui di Aceh.

e. Battra Pijat Refleksi adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan cara pijat dengan jari tangan atau alat bantu lainnya pada zona-zona refleksi terutama pada telapak kaki dan/atau tangan.

f. Akupresuris adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan dengan

pemijatan pada titik-titik akupunktur dengan menggunakan ujung jari dan/atau alat bantu lainnya kecuali jarum.

g. Akupunkturis adalah seseorang yang melakukan pelayanan pengobatan

dengan perangsangan pada titik-titik akupunktur dengan cara menusukkan jarum dan sarana lain seperti elektro akupunktur.

h. Chiropractor adalah seseorang yang melakukan pengobatan kiropraksi

(Chiropractie) dengan cara teknik khusus untuk gangguan otot dan

(26)

11

i. Battra lainnya yang metodenya sejenis 2.1.3 Balian

1. Definisi Balian

Battra bali merupakan salah satu Battra yang biasa disebut Battra paranormal atau Battra ramuan, karena dalam pelaksanaannya Battra bali ini juga menggunakan ramuan dan menggunakan kekuatan supranatural. Balian adalah sebutan untuk pengobat tradisional di Bali, yaitu orang yang mempunyai kemampuan untuk mengobati orang sakit. Kemampuan Balian diperoleh dengan berbagai cara, dilihat berdasarkan tujuan dan pengetahuan yang dimiliki balian (Idward 2013).

2. Jenis balian menurut Idward ( 2013): a. Berdasarkan tujuan

Ada dua jenis balian, yaitu Balian Panengen (baik) dan Balian Pangiwa (jahat). 1) Balian Penengen adalah balian yang tujuannya mengobati orang yang sakit sehingga menjadi sembuh. Balian ini sering pula disebut Balian Ngardi Ayu (dukun kebaikan). Balian ini pada umumnya bersifat ramah, terbuka, penuh wibawa dan suka menolong. Siapapun akan ditolongnya tidak membedakan apakah dia orang baik atau orang jahat, orang yang miskin atau kaya semua dilayani sesuai dengan penyakit yang dideritanya.

(27)

12

dilacak, pekerjaannya penuh rahasia, tertutup dan misterius. Sering pula balian ini mengganggu balian penengen pada waktu pengobati orang sakit sehingga tidak sembuh-sembuh, jahil dan usil (Idward, 2013) b. Berdasarkan pengetahuan

Berdasarkan pengetahuan balian terbagi dalam 4 jenis balian menurut Idward ( 2013) yaitu balian Kapican, Katakson, Usadha dan Campuran.

1)Balian kapican adalah balian yang mendapat keahlian karena memperoleh suatu pica atau benda bertuah dan berkhasiat yang dapat dipergunakan untuk menyembuhkan orang sakit. Mungkin benda-benda tersebut didapat dari fiirasat baik berupa mimpi atau petunjuk yang lainnya. Pica ini dapat berupa batu permata, lempengan logam, keris, cincin, kalung, tulang dan benda lainnya.

2)Balian katakson (tetakson) adalah balian yang mendapat keahlian melalui taksu, roh atau kekuatan gaib yang memiliki kecerdasan, mukzijat ke dalam dirinya. Taksu adalah kekuatan gaib yang masuk kedalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut, baik cara berpikir, berbicara maupun tingkah lakukanya. Karena kemasukan taksu inilah orang tersebut mampu untuk mengobati orang yang sakit.

(28)

13

4)Balian Campuran, pada umumnya campuran antara balian katakson maupun balian kapican yang mempelajari usada. Dengan demikian balian katakson maupun kapican kemampuannya tidak hanya mengandalkan taksu atau pica, tetapi juga memberikan ramuan obat-obatan berdasarkan lontar usada. Balian jenis ini dapat disebut balian katakson usada atau balian kapican usada, juga dikenal dengan istilah balian ngiring pekayunan atau menjadi tapakan Widhi atau tapakan dewa.

3. Dharma Sesana Balian.

Seluruh balian di Bali bekerja berdasarkan “Dharma Sasana Balian”, dimana :

a. Semua rahasia dari orang yang sakit harus disimpan, tidak boleh disebarluaskan atau dibicarakan dengan orang lain.

b. Hidup para balian harus suci dan bersih, terlepas dari sifat loba, sombong dan asusila. Didalam lontar tutur bhagawan çiwa sempurna ditegaskan bahwa, seorang balian tidak boleh berlaku sombong, harus bertingkah laku yang baik sesuai dengan dharma, serta semua nafsu hendaknya ditahan didalam hati. c. Seorang balian tidak boleh was-was, ragu-ragu, apalagi malu-malu dalam hati

harus teguh dan mantap serta penuh keyakinan pada apa yang dikerjakan. Tidak goyah terhadap segala hambatan, rintangan, gangguan, dan godaan yang datang dari dalam diri sendiri, yang mengakibatkan gagalnya usaha yang sedang ditempuh. Tidak akan mundur sebelum berhasil mendapatkan apa yang sedang dihayati, apa yang diinginkan yaitu kesembuhan dari orang yang sakit.

(29)

14

akan akibat dari kelobaan akan sesantun dan materi lainnya. Para balian harus tahu akan hak dan kewajibannya, rendah hati tidak sombong, membatasi diri terhadap apa yang dapat dilakukannya, menghormati kehidupan manusia, karena didalam raga sarira atau tubuh manusia, bersemayam Sang Hyang Atma, Sang Hyang Bayu Pramana karena beliu dapat mengutuk balian yang melanggar dharma sesana.Dan bila terkutuk kesaktian atau kesidiannya dalam hal mengobati orang sakit dapat menurun dan luntur. Dan yang lebih parah lagi ia akan menerima kutuk dari Sang Hyang Budha Kecapi sehingga hidupnya akan menderita, termasuk anak cucunya. Ketahuilah adanya tata cara menjadi balian jangan disalah artikan atau disalahgunakan, memang sangat berbahaya menjadi balian. Barang siapa berkehendak menjadi balian sakti mawisesa, tidak dikalahkan oleh kesaktian mantra dapat menjalankan semua pengobatan, dapat mengobati segala penyakit dan tenung. Maka, hendaklah selalu astiti bhakti ring Ida Batara Tiga, khususnya ring Ida Batara Dalem, Desa dan Puseh. Sebagai jalan untuk memohon kesaktiannya, Ida I Ratu Nyoman Sakti Pengadangan, yang merupakan pepatih bersama saudara-saudaranya yang lain. Ida I ratu Nyoman sakti Pengadangan adalah dewan balian sejagat, wajib dibuat pelinggih penyawangan biasa dalam bentuk kamar suci, dibuatkan daksina linggih, ditempatkan pada pelangkiran. (Liputan : Survey Pijat Tradisional Indonesia, Bali Juli 2013) (Idward, Juli 2013)

2.1.4 Obat Tradisional

(30)

15

dengan masyarakat, mudah diperoleh dan relatif murah daripada obat modern. Pengetahuan tentang obat tradisional dan pemanfaatan tanaman obat merupakan usul penting dalam meningkatkan kemampuan individu dan keluarga untuk memperoleh hidup sehat (Zulkifli, 2004)

2.1.5 Peraturan Tentang Pengobat Tradisional Bali (Balian)

Penyelenggaraan tentang pengobatan tradisional di Indonesia diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1076/MENKES/SK/VII/2003. Tujuan pengaturan penyelenggaraannya adalah membina upaya pengobatan tradisional, memberi perlindungan kepada masyarakat, dan inventarisasi jumlah pengobat tradisional, jenis dan cara pengobatannya.

Semua pengobat tradisional yang menjalankan pekerjaan pengobatan tradisional wajib mendaftarkan diri kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat untuk memperoleh STPT dan SIPT. SIPT dan STPT diterbitkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan permohonan yang diajukan oleh pengobat tradisional, berlaku hanya untuk satu lokasi selama lima tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan sebagai pengobat tradisional. Kelengkapan pendaftaran untuk memperoleh STPT adalah:

a. Biodata pengobat tradisional b. Foto copy kartu tanda penduduk

c. Surat keterangan Kepala Desa/ Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional/balian.

d. Rekomendasi dari asosiasi atau organisasi profesi dibidang pengobat tradisional/balian.

(31)

16

Pengobat tradisional yang metodenya telah memenuhi persyaratan, penapisan, pengkajian, penelitian, dan pengujian serta terbukti aman dan bermanfaat bagi kesehatan dapat diberikan SIPT oleh Kepala Dinas Kesehatan setempat di lokasi pengobat tradisional melakukan pekerjaan pengobatan. Kelengkapan permohonan SIPT adalah:

a. Biodata pengobat tradisional b. Foto copy kartu tanda penduduk

c. Surat keterangan Kepala Desa/ Lurah tempat melakukan pekerjaan sebagai pengobat tradisional/balian.

d. Peta lokasi usaha dan denah ruangan.

e. Rekomendasi dari asosiasi atau organisasi profesi dibidang pengobat tradisional/balian.

f. Foto copy sertifikat atau ijazah pengobat tradisional /balian g. Surat pengantar dari Puskesmas setempat

h. Pas foto ukuran 4x6 cm sebanyak 2 lembar

2.1.6 Pembinaan dan Pengawasan Pengobat Tradisional/Balian

Pembinaan dan pengawasan pengobat tradisional/balian diarahkan untuk meningkatkan mutu, manfaat, dan keamanan pengobatan tradisional yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota, Puskesmas atau unit pelaksana teknis yang ditugasi berdasarkan pola pembinaan sebagai berikut:

(32)

17

b. Pola Integrasi yaitu pembinaan terhadap pengobatan tradisional yang secara rasional terbukti aman bermanfaat, dan mempunyai kesesuaian dengan hakekat ilmu kedokteran dan merupakan bagian integrasi pelayanan kesehatan.

c. Pola Tersendiri yaitu pembinaan pengobatan tradisional yang secara rasioanal terbukti aman bermanfaat dan dapat dipertanggungjawabkan , memiliki kaidah tersendiri, dan dapat berkembang secara tersendiri.

Dalam pembinaan dan pengawasan terhadap tenaga pengobat tradisional peran dinas kesehatan dan puskesmas adalah sebagai berikut (Hulwan, 2010):

1. Peran Dinas Kesehatan

a. Memberikan STPT/SIPT kepada Battra

b. Koordinator pembinaan dan pengawasan pelayanan kesehatan tradisional tingkat kabupaten/kota :

a). Pembinaan dan pengawasan tenaga kesehatan alternative komplementer b). Pembinaan dan pengawasan Battra

c. Membina, mengembangkan, pemanfaatan TOGA dan selfcare secara tradisional d. Pencatatan atau pengumpulan data dan pelaporan

2. Peran Puskesmas

a. Pengumpulan data pelayanan kesehatan tradisional di wilayahnya b. Pembinaan dan pengawasan langsung Battra

c. Menyelenggarakan pelayanan tradisional alternative komplementer sesuai kebutuhan dan ketersediaan tenaga

(33)

18

2.1.7 Perkembangan Pengobatan Tradisional di Indonesia

Perkembangan dunia kedokteran modern saat ini memang tumbuh sangat pesat. Segela jenis penemuan baru dalam dunia medis sudah bisa mengobati banyak macam penyakit, yang sebelumnya tidak bisa disembuhkan. Selain itu, dukungan peralatan canggih dengan teknologi terkini, juga membuat pelayanan kesehatan semakin baik dan mampu memberikan solusi terbaik bagi pasien. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang mempercayai pengobatan alternatif di Indonesia.

Masyarakat yang dahulu memilih sistem pengobatan modern untuk mengobati penyakitnya, saat ini mulai ada kecenderungan untuk beralih menggunakan pengobatan tradisional kembali, baik pengobatan tradisional melalui ramuan/jamu, maupun pengobatan tradisional dengan ketrampilan. Rasionalitas memilih pengobatan tradisional disebabkan oleh banyak faktor. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat lebih memilih pengobatan tradisional dibandingkan pengobatan modern, yaitu faktor sugesti, pelayanan yang cepat, efektif dan murah (Lifawati ,2015). Pengobatan tradisional telah berkembang pesat di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO tahun 2002, 75% penduduk Perancis menggunakan pengobatn alternative, 95% Rumah Sakit di China memiliki Klinik pengobatan tradisional dan 70% penduduk India menggunakan pengobatan tradisional, di Belanda 64%, di Inggris 74%. Presentasi penduduk yang menggunakan pengobatan alternative komplementer di Canada 70%, Amerika 42 % dan Belgia 38% (WHO, 2002 dalam Supriadi, 2014)

(34)

19

Indonesia. Dan menurut Hasil Survey social ekonomi nasional/Susenas 2007 menunjukkan penduduk Indonesia yang mengeluh sakit dalam waktu kurun satu bulan ada sebanyak 30,90%, dari penduduk yang mengeluh sakit 65,01% memilih pengobatan sendiri menggunakan obat dan atau obat tradisional. Ada sebanyak 82,28% penduduk yang menggunakan obat untuk pengobatan sendiri. Dari seluruh penduduk yang memiliki keluhan kesehatan selama sebulan penuh dan memutuskan untuk berobat jalan sebagian besar berada di provinsi Bali yaitu 55,04% yang diikuti oleh Sumatra Barat 50,75% dan DKI Jakarta sebesar 50,71 %. Sedangkan daerah dengan persentase terendah adalah Sulawesi Tenggara sebesar 28,03%, Kalimantan Tengah sebesar 28,10% dan Maluku sebesar 31,97%. Persentase penduduk yang mengobati diri sendiri selama sebulan penuh di Provinsi Lampung adalah 21,3% (Susenas, 2007 dalam Kristiani,2013)

Hasil penelitian Reni Kutsyana (2012) menyebutkan bahwa per hari pengguna/pengunjung Poliklinik Desa Ibul Barat mencapai 4 sampai 5 orang. Sedangkan pengguna jasa dukun masih terbilang lebih meningkat, dalam satu hari terkadang di satu dukun tersebut mencapai 6 pengunjung dengan berbagai keluhan yang ada.

(35)

20

Kesehatan nomor 1109/Menkes/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di fasilitas kesehatan.

2.2 Peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal (Dermawan, 2013). Menurut Taylor, Peplau dan Sears (2009 : hal. 43) peran adalah informative, meringkas banyak informasi untuk berbagai macam situasi, peran lebih menonjol dari sifat. Menurut Friedman (1998), peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.

Ada dua jenis perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan, yaitu (1)

role perception: yaitu persepsi seseorang mengenai cara orang itu diharapkan

berperilaku; atau dengan kata lain adalah pemahaman atau kesadaran mengenai pola perilaku atau fungsi yang diharapkan dari orang tersebut, dan (2) role expectation: yaitu cara orang lain menerima perilaku seseorang dalam situasi tertentu (Friedman, 1998).

Scott et al. (dalam Dermawan, 2013) menyebutkan lima aspek penting dari peran, yaitu:

a. Peran itu bersifat impersonal: posisi peran itu sendiri akan menentukan harapannya, bukan individunya.

b. Peran itu berkaitan dengan perilaku kerja (task behavior) – yaitu, perilaku yang diharapkan dalam suatu pekerjaan tertentu.

(36)

21

d. Peran itu dapat dipelajari dengan cepat dan dapat menghasilkan beberapa perubahan perilaku utama.

e. Peran dan pekerjaan (jobs) itu tidaklah sama seseorang yang melakukan satu pekerjaan bisa saja memainkan beberapa peran.

Peran merupakan aspek dinamis dari suatu kedudukan, dengan kata lain seorang yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya artinya apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka dia telah menjalankan suatu peran. Suatu peran setidaknya mencakup tiga hal berikut :

a. Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat

b. Peran merupakan suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi

c. Peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.

Davis (dalam Ritzer, 2013) mendefinisikan “peran sosial” sebagai suatu gaya

seseorang dalam melaksanakan kedudukannya secara nyata. Gaya fungsional yang menonjol melebihi rata-rata disebut karisma. Peran sosial sebagai konsep menunjukkan apa yang dilakukan seseorang, sedangkan status sosial sebagai konsep menjelaskan apa dia itu. Dengan kata lain peran adalah suatu konsep fungsional yang menjelaskan fungsi (tugas) seseorang, dan dibuat atas dasar tugas yang nyata dilakukan seseorang. Status sosial sebagai konsep dibentuk oleh masyarakat atas dasar sistem budaya yang dimiliki masyarakat itu. Seseorang diberi “tempat untuk duduk” di masyarakat, yang tinggi rendahnya ditentukan oleh masyarakat berdasar

(37)

22

mengatakan bahwa “Peran adalah seseorang menduduki suatu jabatan dalam suatu

hirarki suatu sistem dengan kekuasaan dan hak-hak, dan melakukan beberapa

fungsi sebagai tanggapan terhadap harapan-harapan para anggota dan dirinya

sendiri.

Menurut Taylor, Peplau, Sears (2009; hal. 41), dalam mengkaji bagaimana orang membentuk kesan orang lain, ada baiknya kita mengingat enam prinsip umum dan sederhana :

a. Orang membentuk kesan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan informasi minimal dan kemudian menyebut ciri-ciri umum dari orang lain b. Orang memberi perhatian khusus pada ciri yang paling menonjol dari

seseorang, bukan memerhatikan seluruh ciri seseorang. Kita memerhatikan seluruh ciri seseorang. Kita memerhatikan kualitas yang membuat orang berbeda atau aneh

c. Dalam memproses informasi tentang orang lain kita akan memberi makna yang koheren pada perilaku mereka. Kita, sampai tingkat tertentu, menggunakan konteks perilaku orang lain untuk menyimpulkan makna perilaku mereka, bukan menginterpretasikan perilaku secara terpisah

d. Kita menata persepsi kita dengan mengorganisasikan atau mengelompokkan stimuli. Alih-alih melihat setiap orang sebagai individu tersendiri, kita cenderung mmandang orang sebagai anggota suatu kelompok – orang misalnya ; orang yang mengenakan baju putih kita anggap sebagai dokter, meski mereka bukan dokter

(38)

23

kita menggunakan informasi pengobat tradisional secara umum bukan menarik kesimpulan dari atribut pengobat tradisional tersebut dan makna perilakunya

f. Kebutuhan pihak yang memahami dan tujuan personal juga akan memengaruhi bagaimana seseorang memandang orang lain. Misalnya, kesan seseorang yang baru ditemui sekali akan berbeda dengan kesan terhadap teman akrab atau saudara.

Peran pengobat tradisional/Balian dalam mempraktikkan pengobatan tradisional di masyarakat terdiri dari beberapa aspek diantaranya :

1. Seorang Battra mampu memberikan kesan yang baik dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya

2. Seorang Battra mampu mendiagnosis dan menjelaskan penyakit dari pasien sesuai dengan paradigma Battra yang dikuasainya

3. Seorang Battra mampu memberikan apa yang dibutuhkan pasiennya selama dalam perawatan

4. Seorang Battra konsisten dalam memberikan pelayanan kepada pasiennya misalnya selalu siap dan siaga saat dibutuhkan oleh pasiennya

Seorang Battra selalu berpedoman pada aturan Battra dalam hal ini seorang Battra bali berpedoman Dharma Sesana Balian

2.3 Persepsi, Harapan, dan Konformitas Peran 2.3.1 Persepsi

(39)

24

mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata (Sugihartono, 2007:8). Agar terjadinya suatu persepsi memerlukan beberapa persayaratan diantaranya (Sunaryo, 2004: 98) :

a. Adanya objek yang dipersepsi

b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi.

c. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus

Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.

2.3.2 Harapan

Harapan adalah keseluruhan dari kemampuan yang dimiliki individu untuk menghasilkan jalur mencapai tujuan yang diinginkan, bersamaan dengan motivasi yang dimiliki untuk menggunakan jalur jalur tersebut dan harapan didasarkan pada harapan positif dalam mencapai tujuan (Snyder dalam Carr, 2004).

Snyder (dalam Carr, 2004) mengkonsepkan harapan ke dalam dua komponen, yaitu kemampuan untuk merencanakan jalur untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan agency atau motivasi untuk menggunakan jalur tersebut. Harapan merupakan keseluruhan dari kedua komponen tersebut. Berdasarkan konsep ini, harapan akan menjadi lebih kuat jika harapan ini disertai dengan adanya tujuan yang bernilai yang memiliki kemungkinan untuk dapat dicapai.

(40)

25

ditujukan kepda institusi pengampu seperti misalnya Puskesmas, Pemerintah Kabupaten maupun instansi terkait yang ada diatasnya

2.3.3 Konformitas

Meyers (2005) mengartikan konformitas adalah “ A Change in behaviore or

belief to accond with other”.Konformitas adalah perubahan prilaku atau keyakinan

agar sama dengan orang lain.Franzoi (2003) mendefinisikan konformitas adalah kemampuan mempersepsikan tekanan kelompok dengan jalan meniru prilaku dan keyakinan orang lain yang ada di kelompok tersebut.

a. Faktor yang mempengaruhi Konformitas Menurut Meyers (2005) faktor yang mempengaruhi individu untuk konformitas adalah :

1) Group size

Semakin besar jumlah kelompok maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap kelompok.

2) Cohession

Perasaan yang dimilki oleh anggota kelompok dimana mereka merasa ada ketertarikan dengan kelompok.

3) Status

Dalam sebuah kelompok bila seseorang memiliki status yang tinggi cenderung akan memiliki pengaruh yang lebih besar

4) Public response

(41)

26

b. Dasar pembentuka konformitas

Menurut Meyer (2005) terdapat dua dasar pembentukan konformitas yaitu :

1) Pengaruh normative

Penyesuaian diri dengan keinginan atau harapan orang lain untuk mendapatkan penerimaan

2) Pengaruh informasional

Adanya penyesuaian atau keinginan individu untuk memiliki pemikiran yang sama sebagai akibat adanya pengaruh menerima pendapat maupun asumsi pemikiran kelompok dan beranggapan bahwa informasi kelompok lebih kaya daripada informasi pribadi

2.3.4 Faktor – faktor yang Mempengaruhi Pasien dalam Memilih Pelayanan Pengobatan Tradisional

Pengobatan tradisional sudah diberikan oleh leluhur sejak dahulu secara turun menurun mulai dari pengobatan herbal, orang pintar atau orang yang diangap mampu dan dipandang masyarakat, serta bedasarkan nilai agama. Ada beberapa faktor mengapa masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif atau tradisional sebagai pengobatan untuk menyembuhkan penyakit diantaranya (Foster dan Anderson dalam FPUP, 2016):

1. Faktor Sosial : dimana faktor ini melibatkan interaksi sosial yang kemudian diberikan sugesti-sugesti atau suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang sehingga masyarakat tersebut mengikuti pandangan/pengaruh tersebut tanpa harus berpikir lama.

(42)

27

masyarakat bahwa pengobatan tradisional membutuhkan sedikit tenaga, biaya, dan waktu

3. Faktor budaya : budaya merupakan suatu pikiran, adat-istidadat, kepercayaan, yang menjadi kebiasaan masyarakat. Nilai-nilai budaya ini mempengaruhi pembentukan suatu individu. Semua kebudayaan memiliki cara-cara pengobatan sesuai dengan kepercayaan pada suku bangsanya dalam hal ini suku bangsa sangat mendominasi pertimbangan untuk menolak atau menerima yang didasari pada kecocokan suku bangsa yang di anut. Beberapa kebudayaan melibatkan metode ilmiah atau melibatkan kekuatan supranatural dan supernatural tergantung bagaimana kepercayaan dari suku bangsa sang pasien.

4. Faktor psikologis : peranan sakit merupakan suatu kondisi yang tidak menyenangkan, karena itu berbagai cara akan dijalani oleh pasien dalam rangka mencari kesembuhan maupun meringankan beban sakitnya, termasuk datang kepelayanan pengobatan alternatif

5. Faktor kejenuhan terhadap pelayanan : faktor ini disebabkan akan kejenuhan sang penderita dalam proses pengobatan membuat sang penderita memilih jalur alternatif pengobatan lain yang dapat mempercepat proses penyembuhannya.

6. Faktor manfaat dan keberhasilan : keberhasilan dan efektifitas dari pengobatan alternatif menjadi alasan yang sangat berpengaruh terhadap pemilihan pengobatan alternatif.

(43)

28

2.4 Penelitian Terdahulu

1. Ardiyasa (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Balian dalam Pengobatan Tradisional Bali (Kajian Teologi Hindu)”. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa balian merupakan salah satu pengobatan tradsional kuno. Balian di Bali dipengaruhi oleh perkembangan agama Hindu hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam upacara yang digunakan dalam melakukan pengobatan tersebut. Jenis balian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu balianusada dan

balian ketakson. Balian usada adalah balian yang pada dasarnya

mengutamakan penggunaan pengetahuan mengenai teknik pengobatan dan jenis-jenis obat-obatan dan balian ketakson pada umumnya adalah balian yang minta bantuan roh-roh halus, dewa, gamang, pitara, bhuta bebai dan sebagainya dengan jalan membiarkan dirinya dimasuki, atau dipengaruhi sehingga tampaknya seperti orang trance atau setengah trance serta bisa menangkap firasat atau petunjuk dari roh atau kekuatan gaib dari luar itu.

Balian dalam teologi Hindu terdiri dari mantra-mantra Hindu, karena

didalamnya disebutkan tentang dewa-dewa dan mantra yajna. Disamping itu

balian juga menggunakan aksara dalam pengobatan yang biasanya

menggunakan aksara yang terdapat di diri manusia, kemudian disatukan dengan aksara alam semesta, sehingga kebahagiaan dapat tercapai.

2. Dermawan (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “ Peran Battra dalam Pengobatan tradisional pada Komunitas Dayak di kecamatan Lumbis Kabupaten Nunukan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan

(44)

29

(45)

30

dan keikhlasan pasien untuk memberikan imbalan. Dampaknya hubungan antara Battra dan pasien semakin baik dan semakin intens.

3. Pemuda (2009) dalam penelitiannya berjudul “ Perlindungan hukum bagi konsumen pemanfaatan jasa pengobatan tradisional ( Studi kasus kelalaian pelaku usaha pembasaran alat vital pria di menteng)” penelitian ini bertujuan

untuk membahas mengenai perlindungan hokum bagi konsumen pemanfaat jasa pengobatan tradisional dengan studi kusus terhadap kelalaian pelaku usaha praktik pembesaran alat vital yang berasa di menteng. Dengan meninjau pada permasalahan mengenai pengaturan pelayanan pengobatan tradisional di indonesia, tanggung jawab pengobat tradisional ditinjau dari Undang-Undang perlindungan Konsumen, dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen yang dirugikan oleh pengobat tradisional . Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian Hukum normatif dengan desain penelitian deskritif. Hasil penelitian ini menyarankan bahwa perlu dibentuk peraturan/Undang-Undang khusus yang mengatur mengenai pengobatan tradisional , dilakuakan pengawasan secara berkala dan berkelanjutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah terhadap tempat-tempat praktik pengobatan tradisional, kemudian melakukan koordinasi yang baik antara pihak-pihak berwenang dalam hal penyelesaian suatu kasus/perkara, melakuakan sosialisasi kepada masyarakyat melalui media-media cetak dan televisi terhadap lembaga penyelesaian sengketa konsumen.

4. Rahmawati (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “ Pengobatan Tradisional Patah Tulang Guru Singa” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses

(46)

31

yang terjadi antara pengobatan , pasien dan keluarga pasien di pengobatan patah tulang Guru Singa. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan tehnik pengumpulan data wawancara dan pengamatan. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa proses pengobatan patah tulang di Guru Singa adalah dengan cara mereposisi, mengistirahatkan hingga tulang menyatu, setelah itu terapi terhadap bagian tubuh yang di reposisi,pengobatan ini menggunakan minyak Guru Singa untuk pengobatan dari luar tubuh Pasien, sup sumsum untuk pengobatan dari dalam tubuh , serta pantangan makanan dan minuman yang mengandung unsur dingin, daging babi dan daging anjing. Latar belakang pasien yang berobat ke GS atas kemauannya sendiri berdasarkan tingkatan sarana pengobatan yang dimilikinya , sedangkan latar belakang pasien berobat ke GS atas kemauan orang lain atau menyandang dana berdasarkan ketidak mampuan pasien tersebut setelah terjadi kecelakaan . sikap pengobat yang ramah adanya perasaan senasib diantara pasien dan keluarga pasien rawat inap menimbulkan rasa kekeluargaan di antara pengobat , pasien dan keluarga pasien di Guru Singa.

5. Dewi, (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluasi Program

Pengobatan Tradisional di UPT.Puskesmas Mengwi II Tahun2014”. Penelitian

(47)

32

pengetahuan tenaga yang masih kurang mengenai program pengobatan tradisional. Dari segi ketersediaan biaya operasional, program ini belum didukung oleh pendanaan khusus. Untuk sarana dan prasarana belum optimal sedangkan dari segi sasaran, masih mencakup pengobat tradisional yang ada di wilayah kerja Puskesmas dan belum mencakup masyarakat. Proses pelaksanaan program dari perspektif pengelola program yaitu perencanaan sub program Battra sudah dibuat sesuai dengan pedoman perencanaan tingkat puskesmas.untuk pergerakan dan pelaksanaan sudah dilakukan sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan yang sudah dibuat serta dalam pengawasan, pemantauan dan penilaian sudah dilakukan secara rutin. Dari perspektif pengobat tradisional, pembinaan dan kunjungan dari puskesmas belum terlaksana dengan rutin dan optimal. Kurangnya SIPT atau STPT yang dimiliki oleh pengobat tradisional disebabkan oleh rendahnya minat untuk memiliki SIPT atau STPT dan kurangnya pengetahuan dan informasi tentang persyaratan pembuatan surat ijin tersebut. Sedangkan dari perspektif masyarakat puskesmas juga perlu memberikan pembinaan dari segi sarana dan prasarana yang digunakan dalam praktik pengobatan tradisional, pengawasan dari puskesmas dirasakan penting oleh masyarakat agar dapat menjaga pengobat tradisional dari tindak krimina dan kesalahan dalam memberikan pengobatan sehingga masyarakat merasa lebih aman untuk mengakses layanan pengobatan tradisional tersebut.

6. Pahandayani, Ambarwati dan Hariyadi (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pemilihan Pengobatan

Alternatif Jamu Pada Pasien Diabetes Melitus di Rumah Riset Jamu Hortus

(48)

faktor-33

faktor yang berhubungan dengan pasien DM memilih pengobatan alternative jamu di Rumah Riset Jamu Hortus Medicus. Penelitian ini merupakan penelitian analisis observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini sebanyak 365 orang. Pengambilan sampel dengan accidental sampling sebanyak 49 orang. Uji statistic menggunakan Chi Square dengan taraf signifikan α=0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan pengetahuan (p=0,005), sikap (p=0,001), dukungan keluarga (p=0,008) dengan pemilihan pengobatan alternatif jamu di RRJHM dan tidak ada hubungan jarak berobat (p=1,000) dengan pemilihan pengobatan alternatif jamu di RRJHM 7. Effendi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Pemanfaatan Sistem

Pengobatan Tradisional (Battra) di Puskesmas (Studi Deskriptif Mengenai

Intensitas Kunjungan dan Efektifitas Sistem Pengobatan Tradisional (Battra) di

Puskesmas Gundih Surabaya)”, mendeskripsikan pemanfaatan sistem

(49)

34

Referensi

Dokumen terkait

Larutan DPPH pada penelitian ini digunakan sebagai radikal bebas yang nantinya akan direaksikan dengan senyawa antioksidan dari ekstrak jamur endofit biji juwet.. larutan DPPH

Untuk dapat memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia, bahwa hukum adat itu

yang amanlah pemerintah dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan cita-cita bangsa dan negara dapat tercapai. Secara umum, faktor yang mempengaruhi seseorang

Berdasarkan data hasil observasi keterampilan proses sains dilakukan uji normalitas yaitu untuk mengetahui apakah dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang diajukan

1) Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa Kota Banjar mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang besar untuk setiap desanya, untuk sistem

Wehner (1!"# pertama kali melaporkan produksi asam sitrat sebagai hasil sampingan pada fermentasi produksi asam oksalat dengan menggunakan Penicillium glaucum. $ahun

Enceng gondok memungkinkan efektif digunakan sebagai bahan pakan ikan herbivora dan omnivora melalui teknologi fermentasi dan introduksi probiotik..Tujuan dari penelitian ini