HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA DENGAN ASERTIVITAS REMAJA AKHIR
Sesilia Widaningtyas
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 16 – 18 tahun. Jumlah subjek adalah 125 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala Likert yaitu skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala asertivitas. Reliabilitas Skala persepsi terhadap penerimaan orang tua adalah 0,940 dan reliabilitas Skala asertivitas adalah 0,822. Reliabilitas diperoleh menggunakan teknik Cronbach’s Alpha. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Spearman dan diperoleh nilai korelasi sebesar 0,449 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir.
THE RELATIONSHIPBETWEEN PERCEPTION OF PARENTAL ACCEPTANCE AND ASSERTIVE OF LATE ADOLESCENCE
Sesilia Widaningtyas ABSTRACT
This study was conducted to determine the relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence. In this research, the participants were the late adolescence who has aged 16 to 18 years old. There were 125 participants. The hypothesis of this research was that there was a positive relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence. The data in this research were obtained by using two Likert scales. They were perception of parental acceptance scale and assertiveness scale. Reliability of the perception of parental acceptance scale was 0.940 and reliability of the assertiveness scale was 0.822. Reliability were obtained by using technique of Cronbach Alpha. The data in this research was analyzed by using the Spearman correlation. The correlation value was 0.449 with a significant value of 0.000 (p < 0,05). This result means that there was a positive and significant relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence.
i
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA DENGAN ASERTIVITAS REMAJA AKHIR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Sesilia Widaningtyas NIM : 109114070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING
SKRIPSI
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAN
ORANG TUA DENGAN ASERTIVITAS REMAJA AKHIR
Oleh:
Sesilia Widaningtyas
NIM: 109114070
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing,
HALAMAN PENGESAHAN
SKRIPSI
HUBIINGAI\ ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAIY ORANG TUA DENGAN ASERTIVTTAS REMAJA AKHIR
Dipersiapkan dan ditulis oleh: Sesilia Widaningffas
Yoryakarta,. fl .5. ..MAY..?ntq
Sanata Dharma
l1l
i 109114070
-S';
oinyata$\arr
**1dftt
rygffis
g ffigoil-T
q
/i
1-o
i
11::
\\"
"
b
e
&ffi.9
ffi'{h
Fr
t?
Sylvia carolirp M.Y.M, tr,t.si.;
iv
“
Hidupmu itu tergantung
seberapa besar kamu
mau mengusahakannya”
“Jadilah manusia
yang penuh dengan pertanyaan,
terus mengolah diri” – Monica E. M.
“Whatever you ask for in prayer,
Believe that you have received it,
And it will be yours"
(Mark 11 : 24 )
“MAU > BISA” – Stefanus R.
v
Karya ini ku persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Dan Bunda Maria
Bapak dan Ibu yang tercinta
Adik dan My Brothers
Keluarga besarku
Sahabat - sahabatku
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta. 5 Mci 2015 Penulis"
Sesilia Widaningtyas
vii
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAN ORANG TUA DENGAN ASERTIVITAS REMAJA AKHIR
Sesilia Widaningtyas
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 16 – 18 tahun. Jumlah subjek adalah 125 orang. Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir. Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala Likert yaitu skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala asertivitas. Reliabilitas Skala persepsi terhadap penerimaan orang tua adalah 0,940 dan reliabilitas Skala asertivitas adalah 0,822. Reliabilitas diperoleh menggunakan teknik Cronbach’s Alpha. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan korelasi Spearman dan diperoleh nilai korelasi sebesar 0,449 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini berarti ada hubungan yang positif dan signifikan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir.
THE RELATIONSHIPBETWEEN PERCEPTION OF PARENTAL ACCEPTANCE AND ASSERTIVE OF LATE ADOLESCENCE
Sesilia Widaningtyas ABSTRACT
This study was conducted to determine the relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence. In this research, the participants were the late adolescence who has aged 16 to 18 years old. There were 125 participants. The hypothesis of this research was that there was a positive relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence. The data in this research were obtained by using two Likert scales. They were perception of parental acceptance scale and assertiveness scale. Reliability of the perception of parental acceptance scale was 0.940 and reliability of the assertiveness scale was 0.822. Reliability were obtained by using technique of Cronbach Alpha. The data in this research was analyzed by using the Spearman correlation. The correlation value was 0.449 with a significant value of 0.000 (p < 0,05). This result means that there was a positive and significant relationship between perception of parental acceptance and assertiveness of late adolescence.
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA
ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMISYang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama
:
Sesilia Widaningtyas NomorMahasiswa
:
109114070Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENERIMAAN
ORANG TUA DENGAN ASERTIVITAS REMAJA AKHIR
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma
hak
untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lainuntuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta
rjin
dari
saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Padatanggal:5 Mei 2015
Yang menyatakan,
IX
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena penyertaan dan
tuntunanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsinya yang berjudul
“Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua dengan Asertivitas Remaja Akhir”. Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Tugas akhir ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan
bantuan banyak pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. selaku dekan Fakultas Psikologi.
Terima kasih atas pelajaran yang diberikan selama kuliah di psikologi.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M, Si. selaku kepala program studi. Terima kasih atas
bantuan dan pelajaran yang diberikan dalam kelancaran proses pembuatan
skripsi ini.
3. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M., M. Si. selaku dosen pembimbing skripsi. Terima
kasih atas waktu, tenaga, pelajaran dan dorongannya dalam proses bimbingan
pembuatan skripsi sehingga dapat terselesaikan.
4. Ibu Debri Pristinella, M. Si. dan bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku
dosen penguji. Terima kasih atas bantuannya dalam perbaikan skripsi agar
menjadi lebih baik.
5. Ibu Lusia Pratidarmanastiti, M. Psi. selaku dosen pembimbing akademik.
Terimakasih untuk bimbingannya selama kuliah di psikologi, khususnya
xi
6. Ibu C. Sundharning dan bapak M. Widjojoseno yang senantiasa memberi
dukungan, nasehat dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan
Ibu adalah orang-orang yang selalu memberikan keyakinan dan ketenangan
sehingga skripsi ini bisa selesai.
7. Seluruh dosen di Fakultas Psikologi yang telah membagikan ilmu dan
pelajaran hidup yang sangat berarti untuk saya.
8. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi, Bu Nanik, Mas Gandung, Pak Gi’, Mas Muji, dan Mas Donny yang senantiasa membantu dan mendukung saya,
terima kasih atas bantuannya.
9. Keluarga besarku, terutama My Brothers, Danu, Rio, Wahyu, Agung, Ivan,
yang selalu kompak dan menjadi teman bermusik dari dulu sampai sekarang.
Terima kasih selalu mau menghibur dan menemaniku ketika merasa lelah
dalam mengerjakan skripsi.
10.Sahabat-sahabatku, Ghea, Lucia Anin, Fiona, Pudji, Vienna, Tista, Pino, Esti
“ntong”, Lola. Terima kasih untuk semua pengalaman & kebersamaannya selama ini, sedih, senang, konyol & masih banyak cerita lainnya. Terima kasih
sudah mau saling menguatkan selama pengerjaan skripsi ini. Aku bersyukur
bisa mengenal dan bersama kalian.
11.Teman-teman yang membantuku dalam kelancaran pengambilan data skripsi,
Wahyu, Regina, Vienna, Lucia Anin, Pino, Tista, Ghea, Uli, Sandi, Ika,
Yohana, Cicil, Luna, Rika, Ninda, Tari, Tutut, Tyas, Deo, Keke, Agung, Ica.
xii
12.Teman-teman bimbingan Bu Sylvi, Fiona “Simbah”, Yovi Koleta, Hoyi, Tutut, Tyas, Riska, Maya, Iwan, Ninda, Sondra, Melati, Sr. Marcel, Yutti,
Keket. Terima kasih sudah selalu menyemangati, berbagi informasi tentang
bimbingan dan skripsi.
13.Semua subjek penelitian yang sudah bersedia meluangkan waktu untuk
mengisi skala penelitian ini.
14.Teman-teman Psikologi angkatan 2010 yang juga sama-sama berjuang
menyelesaikan skripsi. Terima kasih sudah saling menyemangati kalau
bertemu di manapun.
15.Orang-orang yang pernah memberikan inspirasi, semangat dan motivasi
kepada saya walaupun jauh di sana dan dimanapun kalian berada.
16.Orang-orang yang mungkin saya lupa atau tidak sempat saya sebutkan.
Terimakasih atas bantuannya baik itu langsung maupun tidak langsung
sehingga saya dapat mengerjakan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis menerima segala
masukkan yang membangun demi perbaikan penelitian selanjutnya. Semoga
skripsi ini bisa bermanfaat bagi banyak orang dan kiranya Tuhan senantiasa
memberkati kita semua.
Yogyakarta, 22 Februari 2015
Penulis,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II: LANDASAN TEORI ... 11
xiv
1. Pengertian Asertivitas ... 11
2. Aspek Asertivitas ... 12
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asertivitas ... 13
4. Pentingnya Asertivitas ... 17
B. Penerimaan Orang Tua ... 18
1. Pengertian Penerimaan Orang Tua ... 18
2. Aspek Penerimaan Orang Tua ... 19
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua ... 21
C. Remaja Akhir ... 22
1. Definisi ... 22
2. Perkembangan Remaja Akhir ... 23
a. Perkembangan Fisik/Biologis ... 23
b. Perkembangan Kognitif ... 24
c. Perkembangan Sosial ... 25
D. Persepsi Remaja Akhir Terhadap Penerimaan Orang Tua ... 27
E. Hubungan antara Penerimaan Orang Tua dengan Asertivitas Remaja ... 28
F. Skema ... 34
G. Hipotesis ... 35
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ... 36
A. Jenis Penelitian ... 36
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 36
xv
D. Subjek Penelitian ... 38
E. Metode Pengumpulan Data ... 39
F. Validitas dan Reliabilitas ... 43
1. Validitas ... 43
2. Reliabilitas ... 43
3. Seleksi Aitem ... 45
G. Metode Analisis Data ... 48
1. Uji Normalitas ... 48
2. Uji Linearitas ... 49
3. Uji Hipotesis ... 49
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Pelaksanaan Penelitian ... 50
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 50
C. Deskripsi Data Penelitian ... 52
D. Analisis Data Penelitian ... 53
1. Uji Normalitas ... 53
2. Uji Linearitas ... 54
3. Uji Hipotesis ... 55
E. Pembahasan ... 56
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 62
A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 62
xvi
2. Bagi Subjek Penelitian ... 63
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba ... 40
Tabel 3.2. Distribusi Item Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba ... 41
Tabel 3.3. Blue Print Skala Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 41
Tabel 3.4. Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua Sebelum Uji Coba ... 42
Tabel 3.5. Distribusi Item Skala Asertivitas Setelah Uji Coba ... 45
Tabel 3.6. Blue Print Skala Asertivitas Setelah Uji Coba ... 46
Tabel 3.7. Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua Setelah Uji Coba ... 47
Tabel 3.8. Blue Print Skala Penerimaan Orang Tua Setelah Uji Coba ... 48
Tabel 4.1. Deskripsi Subjek Penelitin ... 51
Tabel 4.2. Deskripsi Data Penelitian ... 52
Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas (Tes of Normality) ... 53
Tabel 4.4. Hasil Uji Linearitas (ANOVA Table) ... 54
xviii
DAFTAR GAMBAR
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Tryout ... 70
Lampiran 2. Reliabilitas ... 85
Lampiran 3. Skala Penelitian ... 94
Lampiran 4. Mean Empirik ... 106
Lampiran 5. Uji Normalitas ... 108
Lampiran 6. Uji Linearitas ... 110
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada zaman sekarang, semakin banyak remaja yang terlibat dalam
perilaku kriminal. Salah satu kasus yang terjadi adalah kasus pembunuhan
berencana yang dilakukan oleh lima orang remaja usia 14-17 tahun di
Yogyakarta. Pembunuhan tersebut dilakukan karena pelaku YS (17 tahun) merasa
tersinggung dengan pesan singkat dari korban NAS (15 tahun). Oleh karena itu,
YS bersama teman-temannya berencana untuk memberi pelajaran kepada korban
dan berakhir pada tewasnya korban (www.tempo.co).
Permasalahan lain yang juga terjadi pada remaja yaitu narkoba, merokok
di kalangan remaja, dll. BNN menyatakan jumlah pengguna narkotika di
Indonesia saat ini sudah mencapai angka 4,5 juta orang dan angka ini meningkat
selama 2 tahun terakhir (news.detik.com). Kalangan pelajar masih mendominasi
kasus penggunaan narkoba di DIY selama januari-april 2014 dengan 110 kasus
pada anak SMA (www.jogja.solopos.com). Perokok di kalangan remaja usia 15 –
19 tahun di Yogyakarta meningkat dari 7,1 persen menjadi 43,3 persen
(news.metronews.com). Selain itu, Psikolog forensik Lia Sutisna Latief
menyatakan bahwa sebelum tahun 2010, remaja di bawah 18 tahun belum mampu
mungkin karena mudahnya mendapat informasi di abad informasi ini, remaja
semakin dini meniru kejahatan orang dewasa (megapolitan.kompas.com).
Berdasarkan kasus-kasus yang terjadi, permasalahan terjadi pada rentang usia
remaja akhir.
Salah satu penyebab munculnya permasalahan remaja akhir tersebut
adalah pengaruh teman sebaya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Kasi
Media Tradisional Diseminfo Deputi Pencegahan Badan Narkotika Nasional
(BNN) bahwa penyalahgunaan narkoba awalnya adalah coba-coba karena
pengaruh teman atau lingkungan (news.okezone.com). Selain itu, kasus
pembunuhan yang terjadi di Yogyakarta memaparkan bahwa pembunuhan
tersebut sudah direncanakan oleh YS dan teman-temannya. Dalam hal ini,
tindakan kriminal tersebut dilakukan oleh sekelompok remaja. Hal ini
menunjukkan adanya konformitas di kalangan remaja. Konformitas adalah sebuah
pengaruh sosial dimana seseorang mengubah sikap dan perilaku mereka agar
sesuai dengan norma sosial yang ada (Baron & Byrne, 2005). Remaja merasa
ingin diterima oleh kelompoknya sehingga berusaha mengikuti perilaku
kelompoknya untuk menggunakan narkoba. Penelitian yang dilakukan oleh
Komasari dan Helmi (2000) menemukan bahwa lingkungan teman sebaya
memberikan pengaruh terhadap perilaku merokok pada remaja. Selain itu, hasil
penelitian Adhityawan (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
maka semakin tinggi pula kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh
Cynthia (2007) menemukan bahwa subjek yang memiliki tingkat konformitas
kelompok yang tinggi cenderung sering melakukan perilaku seks bebas.
Konformitas di kalangan remaja tersebut menunjukkan bahwa remaja
tidak asertif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hawari (Anindyajati &
Karima, 2004) menyebutkan bahwa 97% penyalahguna narkoba adalah remaja.
Pada penelitian tersebut juga memaparkan bahwa 81,3% remaja mengaku mulai
mencoba narkoba karena pengaruh atau bujukan teman.
Remaja yang cenderung untuk mengikuti temannya biasanya memiliki
kesulitan untuk menampilkan dirinya, mengungkapkan keinginan, perasaan serta
pikirannya. Hal tersebut membuat remaja menjadi sulit untuk mengekspresikan
penolakan terhadap pengaruh negatif dari temannya dan cenderung untuk tidak
menjadi diri sendiri melainkan mengikuti orang lain (Anindyajati & Karima,
2004).
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Family and Consumer dalam
Marini & Andriani (2005) memaparkan bahwa kebiasaan merokok, penggunaan
alkohol, napza serta hubungan seksual berkaitan dengan ketidakmampuan remaja
untuk bersikap asertif. Kasus pembunuhan yang dilakukan oleh remaja di
Yogyakarta di atas juga menunjukkan bahwa remaja tidak menyelesaikan
Menurut Alberti dan Emmons (1986), kedudukan perilaku asertif berada di
antara perilaku agresif dan pasif sehingga perilaku asertif itu lebih adaptif.
Menurut Rathus dan Nevid (Rosita, 2007) asertif adalah perilaku yang berani
untuk jujur dan terbuka dalam mengkomunikasikan kebutuhan, pikiran dan
perasaannya secara apa adanya serta berani untuk menolak hal yang tidak masuk
akal dari figur otoritas dan standar yang berlaku di masyarakat. Di samping
mampu mengkomunikasikan segala kebutuhan, pikiran dan perasaannya, hal lain
yang juga ada yaitu tetap menghargai hak-hak orang lain (Alberti dan Emmons,
1986).
Terdapat beberapa masalah yang ditimbulkan akibat tidak asertif.
Penelitian Husetiya (2010) menyatakan bahwa asertivitas merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik. Individu yang kurang asertif,
kurang mau untuk mencari bantuan sehingga kesulitan untuk menyelesaikan
pekerjaan dan menundanya. Penundaan yang dilakukan individu berdampak pada
kurang optimalnya hasil pekerjaan. Selain itu, ketidakmampuan seseorang untuk
mengungkapkan kebutuhan, perasaan dan pikirannya tersebut juga dapat
berdampak pada kepercayaan diri seseorang (Rosita, 2007). Orang yang tidak
mampu mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya akan merasa ditolak oleh
orang lain sehingga dapat berdampak pada kepercayaan dirinya. Oleh sebab itu,
dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki asertivitas yang rendah atau tidak
dan rendahnya kepercayaan dri pada akhirnya dapat berdampak pada
terhambatnya perkembangan diri seseorang.
Asertivitas menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan remaja akhir.
Asertivitas dibutuhkan remaja akhir agar terhindar dari perilaku yang negatif.
Selain itu, kemampuan remaja akhir untuk berperilaku asertif diperlukan untuk
keberhasilan remaja akhir dalam melewati tahap perkembangannya. Terdapat dua
nilai yang penting bagi remaja pada tahap perkembangannya, yaitu pemenuhan
diri dan mengekspresikan diri (Santrock, 2003).
Kemampuan untuk berperilaku asertif ini penting bagi remaja akhir dalam
usaha untuk mengekspresikan dirinya karena dengan asertif, remaja akhir bisa
mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya tanpa rasa takut sehingga
kebutuhannya terpenuhi. Muhammad dalam Rosita (2007), berpendapat bahwa
ada beberapa keuntungan yang didapat bila berperilaku asertif yaitu keinginan,
kebutuhan dan perasaan seseorang untuk dimengerti oleh orang lain dapat
terpenuhi.
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Rosita, 2007), asertivitas muncul pada
diri remaja akhir karena terdapat penghargaan diri (self-esteem) terhadap dirinya.
Remaja akhir merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya sangat berharga
sehingga harapannya dapat dipenuhi dengan cara mengoptimalkan kemampuan
yang dimilikinya. Keterkaitan ini didukung oleh hasil penelitian lain juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi harga diri, semakin tinggi pula asertivitas
tersebut membuat seseorang lebih lebih nyaman untuk mengekspresikan dirinya.
Di dalam situasi yang aman dan nyaman tersebut, seseorang akan lebih tergerak
untuk mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan kebutuhannya tanpa rasa takut
dan tertekan.
Menurut Coopersmith (Subowo dan Martiarini, 2009), salah satu hal
penting dalam pembentukan penghargaan dalam diri seseorang adalah
penerimaan. Penerimaan tersebut diperoleh remaja akhir dari lingkungan
sekitarnya, salah satunya keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
paling berpengaruh bagi seseorang (Ngahu, 2006). Keluarga merupakan salah
satu tempat seseorang untuk bertumbuh dan berkembang. Di dalam keluarga,
anak memperoleh kemampuan dasar baik intelektual maupun sosialnya. Keluarga
juga merupakan tempat dimana seseorang pertama kali belajar berinteraksi
dengan orang tua, kakak atau adik. Hal ini kemudian dapat berpengaruh kepada
interaksi seseorang di dalam masyarakat. Di dalam keluarga, orang tua berperan
besar pada perkembangan seorang anak. Pengalaman anak dengan orang tua di
masa kecil juga penting dalam menentukan kompetensi sosial dan kesejahteraan
sosial anak di masa mendatang (Santrock, 2012). Menurut Rohner (dalam
Kuterovac-Jagodic & Kerestes, 1996), penerimaan orang tua didefinisikan
sebagai sikap orang tua yang menunjukkan rasa cinta dan afeksi kepada anak
secara fisik maupun verbal. Suasana yang hangat dan penuh penerimaan dari
membuat anak memiliki harga diri yang tinggi sehingga dapat memunculkan
perilaku yang asertif.
Terdapat beberapa dampak negatif akibat kurangnya penerimaan dari
orang tua. Hasil penelitian yang dilakukan Akse, Hale III, Engels, Raaijmakers &
Meeus (2004) menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara
penolakan dari orang tua dengan agresi dan depresi pada remaja. Semakin tinggi
penolakan, maka semakin tinggi pula agresi dan depresi pada remaja. Selain itu,
hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara penolakan dari
orang tua dengan depresi. Semakin tinggi penolakan dari orang tua, maka
semakin tinggi pula tingkat depresi (Crook, Raskin & Elliot, 1981). Orang dewasa
yang mengalami penolakan pada waktu masih anak-anak cenderung untuk
menilai dirinya rendah atau memiliki self-esteem dan self-adequacy yang rendah.
Mereka cenderung dependen, kurang tanggap secara emosi dan memandang dunia
sebagai suatu hal yang negatif (Rohner dalam Robert, 1979). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa kurangnya penerimaan dari orang tua akan memberi
pengaruh negatif bagi remaja seperti agresi, depresi, rendahnya harga diri. Oleh
karena itu, penerimaan dari orang tua menjadi faktor yang penting bagi
perkembangan remaja akhir menuju ke arah yang positif.
Di masa remaja akhir, mereka lebih sering menghabiskan waktu bersama
dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi,
simpati, pemahaman, tempat bagi sebuah eksperimen dan pengaturan untuk
Remaja akhir adalah tahap dimana seseorang ingin menuju pada kemandirian.
Namun, meskipun remaja akhir beranjak ke arah kemandirian, mereka masih
perlu menjalin relasi dengan keluarganya (Hair dalam Santrock, 2012). Jika
seseorang tidak mendapatkan pengakuan dan dukungan dari keluarga, maka ia
akan mencari hal tersebut di luar keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa peran
orang tua menjadi penting bagi remaja akhir. Namun, seringkali para orang tua
yang sudah terbiasa dengan peralihan kehidupan dewasa merasa sulit untuk
menelaah kembali dan mengubah hubungan mereka dengan anak yang remaja
(Budyatna & Ganiem, 2011). Konflik orang tua dan remaja juga semakin
meningkat pada masa remaja dibanding masa anak-anak (Montremayor &
Steinberg dalam Santrock, 2003).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa persepsi terhadap
penerimaan orang tua dapat mempengaruhi asertivitas seseorang. Remaja akhir
yang merasa diterima oleh orang tua akan membuat dirinya merasa berharga
sehingga memiliki harga diri yang tinggi. Harga diri yang tinggi tersebut akan
mendorong remaja akhir untuk bersikap asertif. Asertivitas muncul disebabkan
dalam situasi yang penuh penghargaan tersebut, remaja akhir akan lebih merasa
nyaman untuk asertif. Sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang
meneliti hubungan antara kedua variabel. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui apakah terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap
B. Rumusan Masalah
Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan
asertivitas pada remaja akhir?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap
penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu Psikologi
Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan dalam
bidang psikologi perkembangan.
2. Bagi Orang Tua
Melalui penelitian ini, orang tua dapat mengetahui apakah persepsi
remaja akhir terhadap penerimaan orang tua membuat asertivitas tinggi,
sehingga para orang tua dapat berusaha memberikan sikap yang penuh
3. Bagi Remaja
Melalui penelitian ini, diharapkan para remaja akhir menyadari
pentingnya asertivitas dalam kehidupan remaja. Asertivitas merupakan hal
yang penting bagi remaja akhir. Asertivitas dibutuhkan remaja akhir agar
terhindar dari hal-hal yang negatif dan dibutuhkan remaja akhir untuk
membantu memenuhi kebutuhan pada tahap perkembangannya. Selain itu,
persepsi remaja akhir terhadap penerimaan orang tua juga dapat berkaitan
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. ASERTIVITAS
1. Pengertian Asertivitas
Asertivitas didefinisikan sebagai praktek dari perilaku yang
memungkinkan seseorang untuk bertindak sesuai dengan ketertarikan mereka
atau mampu menunjukkan dirinya tanpa merasa cemas atau mampu
mengekspresikan hak-haknya tanpa menyangkal hak-hak orang lain (Alberti
dan Emmons, 1986).
Asertif adalah perilaku yang menunjukkan kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan perasaan, pendapat, keyakinan, serta
kebutuhan-kebutuhan individu yang diungkapkan secara jujur, terbuka, wajar dan tidak
melanggar hak orang lain (Utamadi dalam Anindyajati & Karima, 2004).
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Rosita, 2007) asertif adalah
perilaku yang berani untuk jujur dan terbuka dalam mengkomunikasikan
kebutuhan, pikiran dan perasaannya secara apa adanya serta berani untuk
menolak hal yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar yang
Jadi, asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan dan
mengekspresikan pikiran, perasaan dan keinginannya kepada orang lain secara
terbuka dan jujur, berani untuk menolak dan mempertahankan diri tanpa rasa
cemas, namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak orang lain.
2. Aspek Asertivitas
Menurut Alberti dan Emmons (1986), aspek dari asertivitas yaitu :
a. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan dengan orang lain
Aspek ini meliputi menempatkan kedua belah pihak dalam
kedudukan yang sama atau setara, dapat memulihkan keseimbangan
kekuatan dengan cara memberikan kekuatan pribadi serta menjadikannya
mungkin bagi setiap orang untuk menang dan tidak seorangpun yang
merugi.
b. Bertindak sesuai dengan minatnya sendiri
Aspek ini meliputi kemampuan untuk membuat keputusan sendiri,
untuk berinisiatif memulai pembicaraan dan mengorganisasikan kegiatan,
mempercayai penilaian diri sendiri, untuk menetapkan tujuan dan
berusaha meraih tujuan tersebut, untuk meminta bantuan dari orang lain,
c. Mampu mempertahankan diri sendiri
Aspek ini meliputi kemampuan untuk berkata “tidak”, menentukan
batas-batas bagi waktu dan energi untuk menanggapi kritikan atau celaan
atau kemarahan dari orang lain, untuk mengekspresikan atau mendukung
atau mempertahankan pendapat.
d. Mampu mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman
Aspek ini meliputi kemampuan untuk menyatakan
ketidaksetujuan, menunjukkan kemarahan, menunjukkan afeksi atau
persahabatan, mengakui rasa takut atau kecemasan, mengekspresikan
persetujuan atau dukungan, bersikap spontan tanpa rasa cemas yang
menyakitkan.
e. Tidak menyangkal hak-hak orang lain
Untuk memenuhi ekspresi personal di atas individu melakukannya
tanpa kritikan yang tidak adil kepada orang lain, tanpa perilaku yang
menyakiti orang lain, tanpa menjuluki, tanpa intimidasi, tanpa manipulasi,
tanpa mengendalikan orang lain.
3. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Asertivitas
Menurut Rathus dan Nevid (dalam Rosita, 2007), terdapat enam faktor
a. Jenis Kelamin
Pada umumnya wanita lebih sulit bersikap asertif seperti
mengungkapkan perasaan dan pikiran dibandingkan dengan laki-laki. Di
Indonesia, budaya patriarki masih terasa kental. Dalam budaya patriarki,
laki-laki dipandang lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan
perempuan dan peran pria lebih dominan daripada wanita (Retnowulandari,
2010; Laura & Syifa’ar, 2006). Perbedaan kedudukan tersebut membuat
wanita menjadi terbatas dalam mengekspresikan dirinya sehingga
perkembangan asertivitas menjadi terhambat.
b. Self esteem
Keyakinan yang ada dalam diri seseorang juga mempengaruhi
kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan. Orang
yang memiliki harga diri yang tinggi akan memiliki kecemasan sosial yang
rendah sehingga mampu mengungkapkan pendapat dan perasaan tanpa
merugikan orang lain dan diri sendiri.
c. Kebudayaan
Tuntutan lingkungan menentukan batas perilaku, dimana
batas-batas perilaku itu sesuai dengan usia, jenis kelamin, dan status sosial
seseorang. Penelitian yang dilakukan Singhal dan Nagao (1993)
individualistik (barat) dan kolektif (timur). Orang yang berpegang pada
budaya kolektif cenderung untuk menjaga keharmonisan sehingga agak
sulit untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya terlebih pada orang yang
lebih tua. Sedangkan pada budaya individualistik lebih mengutamakan
pada saling bertukar pendapat sehingga lebih terbuka dalam
mengungkapkan pikiran dan pendapatnya. Pada masyarakat Jawa, terdapat
dua nilai dalam kehidupan keluarga Jawa yaitu “penghormatan” dan
“penampilan sosial yang harmonis (rukun)” (Geertz,1983). Selain itu,
dalam budaya timur, orang dididik untuk tidak memperlihatkan
isyarat-isyarat perilaku emosional (Budyatna dan Ganiem, 2011). Hal tersebut
membuat seseorang untuk memilih lebih baik diam daripada bertindak
sehinggga cenderung pasif.
d. Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin luas
wawasan berpikirnya sehingga memiliki kemampuan untuk
mengembangkan diri dengan lebih terbuka. Pengetahuan dan wawasan
yang dimiliki seseorang dapat membantu untuk melancarkan komunikasi
dan hubungan interpersonal. Selain itu, pengetahuan dan wawasan yang
luas dapat menambah rasa percaya diri sehingga lebih berani untuk
megungkapkan pendapat, pikiran dan ide-ide yang dimiliki (Frith & Synder
e. Tipe Kepribadian
Dalam situasi yang sama tidak semua individu memberikan respon
yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh tipe kepribadian seseorang. Seseorang
akan bertingkah laku berbeda dengan individu dengan tipe kepribadian
lain. Orang yang dengan tipe kepribadian introvert memiliki ciri-ciri
ketenangan, kepasifan, tidak berjiwa sosial, berhati-hati, penuh
pemeliharaan, berpikir mendalam, pesimistik, kedamaian, kelembutan,
kontrol diri, pasif. Orang yang dengan tipe kepribadian ekstraversi
memiliki ciri-ciri aktif, perasaan sosial, kegairahan hidup, optimisme,
penghargaan terhadap hubungan dengan sesama, keimpulsifan, rasa humor
(Eysenck dalam Feist & Feist, 2006). Orang yang asertif mampu dalam
mengungkapkan dan mengkomunikasikan pikiran, perasaan dan
keinginannya kepada orang lain. Orang dengan tipe kepribadian ekstraversi
akan lebih mudah untuk berperilaku asertif.
f. Situasi tertentu lingkungan sekitarnya
Dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi
dalam arti luas, misalnya posisi kerja antara atasan dan bawahan. Situasi
dalam kehidupan tertentu akan dikhawatirkan menggangu. Dalam hal ini,
atasan memiliki kedudukan yang tinggi daripada bawahan. Hal ini dapat
membuat bawahan menjadi enggan untuk mengungkapkan
4. Pentingnya Asertivitas
Tedapat beberapa manfaat dari asertivitas. Muhammad dalam Rosita
(2007), berpendapat bahwa ada beberapa keuntungan yang didapat bila
berperilaku asertif yaitu keinginan, kebutuhan dan perasaan seseorang untuk
dimengerti oleh orang lain dapat terpenuhi. Manfaat asertivitas yang lain yaitu
kepercayaan diri meningkat dan berkurangnya rasa takut dengan orang lain,
dapat memberikan energi positif kepada orang lain, dapat mengijinkan dirinya
dan orang lain untuk bebas memilih sesuai dengan kehendaknya, mengetahui
apa yang mereka butuhan dan rasakan, mampu untuk menjaga hubungan yang
baik dengan orang lain (Napoli, Kilbride & Tebbs, 1988).
Asertivitas merupakan hal yang penting bagi remaja akhir. Asertivitas
dibutuhkan remaja akhir agar terhindar dari hal-hal yang negatif. Remaja
akhir yang asertif mampu mengekspresikan penolakan teradap pengaruh
negatif dari lingkungannya tanpa rasa cemas sehingga membuatnya terhindar
dari perilaku negatif. Selain itu, kemampuan remaja akhir untuk berperilaku
asertif diperlukan untuk keberhasilan remaja akhir dalam melewati tahap
perkembangannya. Terdapat dua nilai yang penting bagi remaja akhir pada
tahap perkembangannya, yaitu pemenuhan diri dan mengekspresikan diri
(Santrock, 2003).
Asertivitas penting ditanamkan pada remaja akhir karena asertivitas
dipelajari sebagai reaksi terhadap berbagai situasi sosial yang ada di
lingkungannya (Mauboy, 2011).
B. PENERIMAAN ORANG TUA
1. Pengertian Penerimaan Orang Tua
Menurut Rohner (dalam Kuterovac-Jagodic & Kerestes, 1996),
penerimaan orang tua didefinisikan sebagai sikap orang tua yang
menunjukkan rasa cinta dan afeksi kepada anak secara fisik maupun verbal.
Penerimaan orang tua mengacu kepada kehangatan, afeksi,
kepedulian, kenyamanan, perhatian, dukungan atau cinta yang diterima anak
dari orang tua atau pengasuh (caregiver) lainnya (Rohner, Khaleque &
Cournoyer, 2005).
Menurut Lestari (dalam Mayangsari, 2013), penerimaan orang tua
adalah sikap dan cara orang tua dalam memperlakukan anak yang ditandai
dengan adanya komunikasi orang tua dengan anak, perhatian dan kasih
sayang, menghargai anak, memberi kepercayaan serta memperlakukan anak
sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Hurlock (Mayangsari, 2013), penerimaan orang tua adalah
sikap dan cara orang tua yang tercermin dari bentuk ketertarikan, kegembiraan
dan rasa cinta terhadap anak.
Jadi, penerimaan orang tua adalah sikap orang tua atau pengasuh
dan dukungan, kepercayaan, adanya komunikasi dan ketertarikan bersama
dengan anak.
2. Aspek Penerimaan Orang tua
PARTheory (Parental Acceptance-Rejection Theory) adalah teori dari
sosialisasi dan perkembangan masa hidup yang mencoba untuk memprediksi
dan menjelaskan penyebab utama, konsekuensi dan hal lain yang berkaitan
penerimaan dan penolakan dari orang tua (parental acceptance and rejection)
(Rohner, 1986, 2004; Rohner & Rohner, 1980 dalam Khaleque, Rohner &
Cournoyer, 2005). Penerimaan dan penolakan orang tua membentuk dimensi
kehangatan (warmth dimension) dalam pengasuhan, yaitu suatu kualitas
ikatan afeksi antara orang tua dan anak (Rohner, Khaleque & Cournoyer
dalam Lestari, 2012). Kehangatan (warmth/affection) dari orang tua
ditunjukkan secara fisik dan verbal. Contoh dari aspek fisik terdiri dari
ciuman, pelukan, membelai, dll. Contoh dari aspek verbal terdiri dari
memberikan pujian, mengatakan hal-hal yang baik, dll (Rohner, Khaleque &
Cournoyer, 2005).
Menurut Lestari (Mayangsari, 2013), terdapat empat aspek sikap
penerimaan orang tua, yaitu:
a. Aspek komunikasi
Aspek komunikasi merupakan kemampuan dari orang tua yang
mendengarkan cerita dan tidak mencela kesalahan yang dilakukan anak.
Aspek ini juga bentuk perilaku dari orang tua yang mampu membangun
komunikasi yang terbuka dan mendengarkan dengan pikiran yang tenang
terhadap konflik yang dialami anak.
b. Aspek perhatian dan kasih sayang
Aspek perhatian dan kasih sayang merupakan kemampuan orang tua
yang dirasakan oleh anak dalam hal memberi perlindungan dan kasih
sayang, memperhatikan kemajuan prestasi belajar, memberikan nasehat
yang bijaksana dan memberikan dorongan pada anak. Aspek ini juga
berbentuk perilaku dari orang tua yang mencintai anak tanpa syarat,
mampu menghargai anak sebagai individu yang memiliki perasaan,
mengakui hak-hak anak dan kebutuhan untuk mengekspresikannya,
menerima dan mengarahkan anak pada perasaan positif, serta senantiasa
mendorong anak untuk bebas mengekspresikan emosinya.
c. Aspek keterlibatan orang tua
Pada aspek ini, orang tua senantiasa dapat ikut serta berpartisipasi
dalam hal-hal yang disukai anak, berminat terhadap rencana dan ambisi
anak, melakukan perjalanan bersama-sama, melibatkan anak dalam
pekerjaan orang tua. Aspek ini juga dianggap sebagai kemampuan orang
d. Aspek kepercayaan pada anak
Aspek kepercayaan pada anak merupakan kemampuan orang tua
dalam melatih bertanggung jawab, melatih mandiri, memberikan
kepercayaan dan tidak berharap terlalu banyak terhadap anak. Aspek ini
juga sebagai kesediaan orang tua untuk mempercayai dan menilai suatu
keputusan anak yang unik dan berusaha menjaganya dalam batasan
kepribadian yang sehat dan penyesuaian sosial yang baik.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua
Menurut Rohner, Khaleque dan Cournoyer (2005), faktor- faktor yang
mempengaruhi penerimaan orang tua adalah :
a. Lingkungan sosial
Sistem sosial budaya yang berlaku di masyarakat memiliki
pengaruh terhadap penerimaan orang tua terhadap anak. Hal tersebut
berkaitan dengan ekspresi kasih sayang dari orang tua kepada anak.
Budaya yang kaku akan membuat orang tua bersikap dingin terhadap
b. Faktor spiritual
Kepercayaan dan religiusitas seseorang mempengaruhi penerimaan
orang tua terhadap anak. Orang tua yang religius dan memiliki nilai agama
yang kuat akan memberikan penerimaan yang lebih besar terhadap anak
dibandingkan yang kurang religius.
C. REMAJA AKHIR 1. Definisi
Remaja adalah individu yang sedang berada pada periode transisi
perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang melibatkan
perubahan biologis, kognitif dan sosioemosional (Santrock, 2007). Menurut
WHO (Sarwono, 2011), remaja adalah suatu masa dimana individu
berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual
sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual, mengalami
perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi
dewasa, mengalami peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Masa remaja dimulai sekitar usia
10 hingga 13 tahun dan berakhir pada sekitar 18 hingga 22 tahun. Masa
remaja akhir kurang lebih terjadi pada pertengahan dasawarsa yang kedua dari
menjadi tiga tahap, yaitu masa remaja awal (11-12 hingga 14 tahun), masa
remaja pertengahan (14 hingga 16 tahun), masa remaja akhir (16 hingga 18
tahun).
2. Perkembangan Remaja Akhir
Perkembangan individu merupakan pola perubahan yang terus
berlangsung selama masa hidup. Tugas-tugas perkembangan remaja akhir
yaitu memperluas hubungan antarpribadi dan berkomunikasi secara lebih
dewasa dengan teman sebaya, memperoleh peran sosial, menerima
kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif, memperoleh kebebasan
emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencari kepastian akan
kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri, memilih dan mempersiapkan
lapangan pekerjaan, mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga,
membentuk sistem nilai moral dan falsafah hidup (Havingrust dalam Gunarsa
& Gunarsa, 2009). Perkembangan pada masa remaja akhir dapat dilihat dari
tiga hal yaitu perkembangan fisik/biologis, kognitif dan sosial.
a. Perkembangan Fisik/Biologis
Masa pubertas merupakan awal penting yang menandai masa remaja.
Pubertas adalah sebuah periode dimana kematangan fisik berlangsung
pesat, yang melibatkan perubahan hormonal dan tubuh. Perubahan yang
kematangan seksual, pertambahan tinggi dan berat tubuh (Santrock,
2012). Perubahan pada masa remaja tersebut dapat meningkatkan rasa
ingin tahu remaja. Remaja merupakan masa eksplorasi dan eksperimen
seksual. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang hampir
tidak dapat dipuaskan (Santrock, 2012). Dampak dari hal tersebut yaitu
remaja akan mencoba mencari informasi tentang seksualitas sehingga
remaja rentan untuk mencoba melakukan seks bebas.
b. Perkembangan Kognitif
Menurut teori perkembangan kognitif Piaget, remaja berada pada
tahap perkembangan kognitif yang terakhir yaitu tahap operasional formal.
Pemahaman remaja tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang
konkret, namun remaja sudah mampu untuk berpikir abstrak, lebih idealis
dan logis (Santrock, 2012). Selain itu, pengambilan perspektif
(perspective taking) merupakan hal yang penting terkait perkembangan
remaja. Pengambilan perspektif (perspective taking) adalah kemampuan
untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain serta memahami
pikiran dan perasaannya (Santrock, 2007). Pengambilan perspektif dapat
meningkatkan pemahaman diri remaja dan kualitas persahabatan di antara
teman sebaya (Selman & Adalbjarnardottir, 2000; Selman & Schultz,
Remaja yang kompeten dalam pengambilan perspektif juga lebih
dapat memahami kebutuhan dan kebersamaan mereka dengan orang lain
sehingga mereka juga dapat berkomunikasi secara lebih efektif.
Kemampuan mengambil perspektif tersebut dapat membantu seseorang
untuk dapat asertif. Selain itu, terdapat pula egosentrisme remaja. Menurut
Piaget (Berk, 2012), pada remaja muncul egosentrisme baru dimana
remaja sulit membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang
lain. Menurut David Elkind (Santrock, 2012), egosentrisme remaja
mengandung dua komponen utama yaitu imaginary audience dan personal
fable. Imaginary audience adalah keyakinan remaja bahwa orang lain
berminat pada dirinya sebagaimana ia berminat pada dirinya sendiri,
termasuk juga tingkah laku menarik perhatian (berusaha untuk
diperhatikan) dan terlihat. Personal fable adalah bagian dari egosentrisme
remaja yang menganggap bahwa dirinya unik dan tak terkalahkan. Remaja
juga beranggapan bahwa tidak seorangpun yang dapat memahami mereka.
c. Perkembangan Sosial
Pada perkembangan sosial, hubungan remaja dengan orang lain
merupakan hal yang penting. Jersild, Brook dan Brook (dalam Ali dan
Asrori, 2009) mengatakan bahwa pada masa anak-anak, mereka masih
orang tua. Namun, remaja sudah mulai menyadari keberadaan dirinya
sebagai pribadi. Hal ini mendorong remaja untuk membebaskan diri dari
ketergantungan dengan orang tua. Hal tersebut juga sesuai dengan tugas
perkembangan remaja, dimana remaja memiliki dorongan untuk otonomi.
Remaja tidak hanya sekedar terdorong untuk berpisah atau bebas dari
orang tuanya, namun kelekatan pada orang tua juga meningkatkan
kemungkinan bahwa remaja akan kompeten secara sosial (Santrock,
2012). Selain itu, teman sebaya juga memiliki peran yang penting dalam
kehidupan remaja. Sullivan (dalam Santrock 2012) berpendapat bahwa
sahabat menjadi sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sosial remaja.
Di masa remaja, tekanan untuk sesuai dengan teman sebaya menjadi lebih
kuat (Santrock, 2012).
Terdapat enam kebutuhan remaja akhir terkait hubungan sosial (Rice
dalam Nisfiannor, Rostiana & Puspasari, 2004), yaitu (1) Kebutuhan
terkait pemahaman, perhatian, dan membina hubungan yang memuaskan;
(2) Kebutuhan untuk memperluas persahabatan dengan cara berhubungan
dengan orang-orang baru yang memiliki latar belakang, pengalaman, dan
ide yang berbeda; (3) Kebutuhan untuk dapat diterima, dimiliki, diakui
statusnya dalam satu kelompok; (4) Kebutuhan untuk lepas dari
lingkungan bermain yang homogen (terjadi pada masa kanak-kanak) ke
mengasuh, berlatih kemampuan-kemampuan yang dapat mengembangkan
diri dan sesama, memilih teman yang sesuai, dan kebutuhan untuk
menggapai kesuksesannya dalam perkawinan; (6) Kebutuhan untuk
menemukan peran seksualnya dan mempelajari perilaku seksual yang
tepat. Terkait dengan kebutuhan-kebutuhan tersebut, peran asertivitas
menjadi penting bagi remaja akhir karena dapat membantu memenuhi
kebutuhan tersebut.
D. Persepsi Remaja Akhir Terhadap Penerimaan Orang Tua
Persepsi adalah seperangkat proses yang dengannya kita mengenali,
mengorganisasikan dan memahami cerapan-cerapan inderawi yang kita terima
dari stimuli lingkungan (Sternberg, 2008). Sebagai bidang kajian, persepsi sosial
adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat
kesimpulan tentang orang lain (Teiford dalam Sarwono, 2009). Secara umum,
persepsi merupakan proses perolehan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan
informasi indrawi. Persepsi sosial dapat diartikan sebagai proses perolehan,
penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi tentang orang lain
(Sarwono, 2009). Dalam penelitian ini ingin melihat persepsi remaja akhir
terhadap penerimaan orang tua. Jadi, persepsi terhadap penerimaan orang tua
adalah proses perolehan, penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi
yang diterima sehingga membentuk kesan dan kesimpulan tentang penerimaan
Proses persepsi dimulai dari pengenalan terhadap tingkah laku nonverbal yang
ditampilkan orang lain. Tanda-tanda nonverbal ini merupakan informasi yang
dijadikan bahan untuk mengenali dan mengerti orang lain secara lebih jauh.
Berdasarkan informasi-informasi nonverbal tersebut, seseorang membuat
kesimpulan tentang apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain.
Selanjutnya ungkapan-ungkapan verbal melengkapi pembuatan kesimpulan dari
tanda-tanda nonverbal. Dengan menggunakan informasi-informasi tingkah laku
nonverbal dan verbal, seseorang membentuk kesan-kesan tentang orang lain.
Dalam hal ini kesan yang dibentuk remaja akhir terhadap penerimaan orang tua
sehingga bagaimana remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya
sangat tergantung pada bagaimana remaja tersebut melihatnya.
Menurut Rohner (Lestari, 2012), persepsi terhadap penerimaan dan penolakan
orang tua akan mempengaruhi perkembangan individu dan cara yang
dikembangkan dalam menghadapi masalah.
E. Hubungan Antara Penerimaan Orang Tua dengan Asertivitas Remaja Akhir
Asertivitas merupakan hal yang penting bagi remaja akhir. Asertivitas
dibutuhkan remaja akhir agar terhindar dari hal-hal yang negatif. Hasil penelitian
yang dilakukan oleh Rosita (2007) menyebutkan bahwa asertivitas memiliki
hubungan yang signifikan dengan kepercayaan diri. Dampak dari individu yang
berperilaku asertif yaitu keinginan, kebutuhan dan perasaan seseorang untuk
Individu akan merasa dapat mengendalikan hidupnya sendiri dan kemudian akan
berdampak pada meningkatnya kepercayaan diri individu tersebut. Selain itu,
manfaat dari asertif adalah seseorang dapat mempertahankan haknya tanpa
menyakiti dan merugikan orang lain, dapat mendapatkan kebutuhannya dengan
cara yang memuaskan dan melegakan hati semua orang, dapat memiliki
penyesuaian diri yang baik dan dapat membangun hubungan interpersonal yang
positif (Alberti dan Emmons dalam Al’ain & Mulyana, 2013).
Menurut Rathus dan Nevid (Rosita, 2007), asertivitas muncul pada diri
remaja akhir karena terdapat penghargaan diri (self-esteem) terhadap dirinya.
Remaja akhir merasa yakin bahwa apa yang dilakukannya sangat berharga
sehingga harapannya dapat dipenuhi dengan cara mengoptimalkan kemampuan
yang dimilikinya. Hasil dari penelitian lain juga menunjukkan bahwa semakin
tinggi harga diri, semakin tinggi pula asertivitas remaja (Anindyajati & Karima,
2004). Adanya perasaan dihargai dan diterima tersebut membuat seseorang lebih
nyaman untuk mengekspresikan dirinya. Di dalam situasi yang aman dan nyaman
tersebut, seseorang akan lebih tergerak untuk mengkomunikasikan pikiran,
perasaan dan kebutuhannya tanpa rasa takut dan tertekan.
Menurut Coopersmith (Subowo dan Martiarini, 2009), salah satu hal yang
berperan dalam pembentukan penghargaan dalam diri seseorang adalah
penerimaan. Penerimaan tersebut diperoleh remaja akhir dari lingkungan
sekitarnya, salah satunya keluarga. Keluarga merupakan lingkungan terdekat dan
satu tempat bagi seseorang untuk bertumbuh dan berkembang. Di dalam keluarga,
anak memperoleh kemampuan dasar baik intelektual maupun sosialnya. Keluarga
juga merupakan tempat dimana seseorang pertama kali belajar bersosialisasi dan
berinteraksi dengan orang tua, kakak atau adik. Hal ini kemudian dapat
berpengaruh kepada interaksi seseorang di dalam masyarakat. Selain itu, orang
tua dapat mempengaruhi hubungan anak dengan teman sebayanya (Berk, 2006).
Di dalam keluarga, orang tua berperan besar pada perkembangan seorang anak.
Pengalaman anak dengan orang tua di masa kecil juga penting dalam menentukan
kompetensi sosial dan kesejahteraan sosial anak di masa mendatang (Santrock,
2012). Penerimaan orang tua adalah sikap orang tua atau pengasuh kepada anak
yang menunjukkan kehangatan, rasa kasih sayang, penghargaan dan dukungan,
kepercayaan, adanya komunikasi dan ketertarikan bersama dengan anak. Menurut
Rohner (dalam Lestari, 2012), persepsi anak terhadap penerimaan dan penolakan
orang tua akan mempengaruhi perkembangan individu dan cara yang
dikembangkan dalam menghadapi masalah. Suasana yang hangat dan penuh
penerimaan dari orang tua akan membuat seseorang merasa dihargai dan diterima.
Hal ini dapat membuat anak memiliki harga diri yang tinggi sehingga dapat
memunculkan perilaku yang asertif.
Penolakan orang tua (parental rejection) akan memberi pengaruh negatif bagi
remaja seperti agresi, depresi, rendahnya harga diri, rasa tidak aman, kecemasan
(Akse dkk, 2004; Crook, Raskin & Elliot, 1981; Rohner dalam Robert 1979;
maka anak akan mengamati suatu celaan dan penolakan sebagai suatu celaan yang
luas dan tersebar dalam setiap perilaku. Anak menjadi peka terhadap setiap
penolakan dan segera mulai merencanakan tingkah lakunya menurut reaksi yang
diharapkan akan diberikan (Rogers dalam Schultz, 1991). Ketika remaja akhir
merencanakan tingkah lakunya menurut reaksi yang diharapkan akan diberikan,
dia tidak menjadi diri sendiri dan sulit mengekspresikan dirinya. Berdasarkan
penjelasan tersebut, menunjukkan bahwa remaja akhir yang mengalami penolakan
orang tua akan menjadi tidak asertif. Ketika seseorang tidak mendapatkan
pengakuan dan dukungan dari keluarga maka ia akan mencari hal tersebut di luar
keluarga (Budyatna & Ganiem, 2011). Oleh karena itu, penerimaan dari orang tua
menjadi suatu hal yang penting bagi perkembangan remaja akhir menuju ke arah
yang positif.
Pada masa remaja akhir, terdapat beberapa ciri khas yang muncul pada
tahap perkembangannya. Di masa remaja akhir, mereka lebih sering
menghabiskan waktu bersama dengan teman sebaya. Kelompok teman sebaya
merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, tempat bagi sebuah eksperimen
dan pengaturan untuk mencapai kemandirian dari orang tua (Papalia, Feldman &
Martorell, 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa teman sebaya merupakan hal
yang penting dalam perkembangan remaja akhir. Jika remaja akhir tidak
mendapatkan pengakuan dan dukungan dari keluarga maka ia akan mencari hal
penerimaan dari orang tuanya, remaja akhir akan berusaha melakukan apapun
agar diterima oleh teman sebaya. Di sisi lain, pengaruh teman sebaya juga bisa
mengarahkan perilaku remaja akhir ke hal yang positif maupun negatif. Salah satu
penyebab terjdinya permasalahan dan kenakalan remaja akhir adalah adanya
pengaruh dari teman sebaya. Hal tersebut juga didukung oleh adanya
egosentrisme remaja yaitu imaginary audience dan personal fable. Pada personal
fable, remaja akhir memandang dirinya unik dan istimewa. Ketika bergabung
dengan kepribadian yang gemar mencari sensasi, dongeng pribadi berperan pada
pengambilan keputusan yang beresiko karena remaja akhir merasa unik dan
istimewa sehingga merasa tidak rentan terhadap bahaya. Remaja akhir dengan
dongeng pribadi dan pencarian sensasi yang tinggi cenderung lebih sering
melakukan kenakalan remaja (Greene dkk. dalam Berk, 2012). Pada imaginary
audience, remaja akhir merasa bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang lain
sehingga pandangan orang lain menjadi sangat penting bagi remaja akhir. Hal
tersebut terkadang membuat remaja akhir berusaha untuk memenuhi dan
mengikuti harapan orang lain. Remaja akhir merasa ingin diterima oleh
kelompoknya sehingga berusaha mengikuti perilaku kelompoknya. Remaja akhir
yang cenderung untuk mengikuti temannya biasanya memiliki kesulitan untuk
menampilkan dirinya, mengungkapkan keinginan, perasaan serta pikirannya. Hal
tersebut membuat remaja akhir menjadi sulit untuk mengekspresikan penolakan
terhadap pengaruh negatif dari temannya dan cenderung untuk tidak menjadi diri
remaja akhir yang memiliki asertivitas yang rendah akan mengalami kesulitan
mengutarakan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dan cenderung untuk
memenuhi tuntutan lingkungannya dengan menekan kebutuhannya (Kusumawati,
Lilik & Agustin, 2011).
Selain itu, pada masa remaja akhir berkembang juga kemampuan untuk
pengambilan perspektif (perspective taking). Remaja akhir yang kompeten dalam
pengambilan perspektif juga lebih dapat memahami kebutuhan dan kebersamaan
mereka dengan orang lain sehingga mereka juga dapat berkomunikasi secara lebih
efektif. Hal ini juga berkaitan dengan salah satu aspek asertivitas yaitu tidak
menyangkal hak-hak orang lain, dimana kemampuan mengambil perspektif
F. Skema
Gambar 2.1 Skema
Asertivitas Tinggi
- Remaja akhir merasa dihargai dan diterima - Menentukan kompetensi sosial remaja akhir Keluarga Persepsi Penerimaan Orang Tua Persepsi Penolakan Orang Tua
Relasi dengan teman sebaya: remaja akhir berusaha memenuhi harapan dan mengikuti teman sebaya - Agresi - Rendah-nya harga diri - Kecemasan - Rasa tidak
aman
G. HIPOTESIS
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan positif antara persepsi
terhadap penerimaan orang tua dengan asertivitas remaja akhir. Semakin tinggi
persepsi terhadap penerimaan orang tua maka semakin tinggi pula asertivitas
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif korelasional. Tujuan dari
penelitian korelasional adalah untuk menyelidiki sejauh mana variasi-variasi pada
suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain
berdasarkan pada koefisien korelasi (Narbuko dan Achmadi, 2007).
B. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel Bebas
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel terikat (Sugiyono, 2013).
Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu persepsi terhadap penerimaan orang
tua.
2. Variabel Terikat
Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2013). Variabel terikat dalam
C. Definisi Operasional
1. Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua
Persepsi terhadap penerimaan orang tua adalah proses perolehan,
penafsiran, pemilihan dan pengaturan informasi indrawi yang diterima
sehingga membentuk kesan dan kesimpulan tentang penerimaan orang tua.
Penerimaan orang tua adalah sikap orang tua atau pengasuh kepada anak yang
menunjukkan kehangatan, rasa kasih sayang, penghargaan dan dukungan,
kepercayaan, adanya komunikasi dan ketertarikan bersama dengan anak.
Penerimaan orang tua dilihat dari lima aspek, yaitu aspek komunikasi, aspek
perhatian dan kasih sayang, aspek keterlibatan orang tua, aspek kepercayaan
pada anak, aspek kehangatan. Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam
skala penerimaan orang tua menunjukkan semakin tinggi penerimaan orang
tua yang dimililiki subjek penelitian. Semakin rendah skor total dalam skala
penerimaan orang tua, maka semakin rendah pula penerimaan orang tua yang
dimiliki oleh subjek penelitian.
2. Asertivitas
Asertivitas adalah kemampuan untuk mengungkapkan dan
mengekspresikan pikiran, perasaan dan keinginannya kepada orang lain secara
terbuka dan jujur, berani untuk menolak dan mempertahankan diri tanpa rasa
cemas, namun tetap menjaga dan menghargai hak-hak orang lain. Menurut
kesetaraan dalam hubungan dengan orang lain, bertindak sesuai dengan
minatnya sendiri, mampu mempertahankan diri sendiri, mampu
mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, tidak menyangkal
hak-hak orang lain. Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam skala
asertivitas menunjukkan semakin tinggi asertivitas yang dimililiki subjek
penelitian. Semakin rendah skor total dalam skala asertivitas, maka semakin
rendah pula asertivitas yang dimiliki oleh subjek penelitian.
D. Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 16 – 18 tahun di Yogyakarta. Sampelnya adalah 125 remaja akhir yang berusia 16 – 18 tahun di Yogyakarta Subjek penelitian ini adalah remaja akhir yang berusia 16
tahun hingga 18 tahun. Alasan pemilihan subjek dengan usia tersebut adalah
karena permasalahan yang menunjukkan remaja tidak asertif terjadi pada usia
remaja akhir (16-18 tahun). Teknik pemilihan subjek yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu simple random sampling. Teknik simple random sampling
adalah teknik pengambilan sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini yaitu dengan menggunakan
skala yang diberikan kepada subjek penelitian. Terdapat dua skala yang
digunakan dalam penelitian ini sebagai alat pengumpulan data, yaitu skala
asertivitas dan skala persepsi terhadap penerimaan orang tua. Jenis skala yang
digunakan dalam penyusunan skala ini adalah skala Likert. Skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2013).
Pada setiap pernyataan dalam skala ini, subjek diminta menyatakan
kesetujuan-ketidaksetujuannya dalam sebuah kontinum yang terdiri atas empat
respon: “Sangat Sesuai (SS)”, “Sesuai (S)”, “Tidak Sesuai (TS)”, dan “Sangat Tidak Sesuai (STS)”. Alasan peneliti memilih skala Likert dengan empat respon adalah untuk menghilangkan jawaban ragu-ragu karena jawaban tersebut dapat
memberikan makna yang ganda dan tidak menjelaskan jawaban responden yang
sebenarnya secara pasti. Selain itu, penggunaan jumlah pilihan jawaban yang
genap memaksa subjek memilih jawaban favorable dan unfavorable sehingga
tidak memberi kesempatan kepada subjek untuk memilih jawaban netral
(Anderson dalam Supratiknya, 2014). Dalam skala Likert, isi pernyataan
1. Aitem-aitem pernyataan favorable, dengan pilihan jawaban dan skor yaitu :
(a) Sangat Sesuai (SS) : skor 4
(b) Sesuai (S) : skor 3
(c) Tidak Sesuai (TS) : skor 2
(d) Sangat Tidak Sesuai (STS) : skor 1
2. Aitem-aitem pernyataan unfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor yaitu :
(a) Sangat Sesuai (SS) : skor 1
(b) Sesuai (S) : skor 2
(c) Tidak Sesuai (TS) : skor 3
(d) Sangat Tidak Sesuai (STS) : skor 4
[image:61.612.103.526.127.705.2]1. Skala Asertivitas
Tabel 3.1
Blue Print Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba
Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Mempromosikan
kesetaraan dalam hubungan dengan orang lain
6 item 6 item 12 item
2. Bertindak sesuai dengan minatnya sendiri
6 item 6 item 12 item
3. Mampu mempertahankan diri sendiri
6 item 6 item 12 item
4. Mampu mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman
5. Tidak menyangkal hak-hak orang lain
6 item 6 item 12 item
[image:62.612.99.526.113.708.2]TOTAL 32 item 32 item 64 item
Tabel 3.2
Distribusi Item Skala Asertivitas Sebelum Uji Coba
Asp