Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Hetty Yusmaida Barasa
NIM: 049114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Hetty Yusmaida Barasa
NIM: 049114047
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
TUA DENGAN TINGKAT EMPATI PADA REMAJA
Disusun oleh:
Hetty Yusmaida Barasa
NIM : 049114047
Telah disetujui oleh:
Dosen Pembimbing,
iv
“Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” (Mazmur 16 : 2)
Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan,
yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan
(Yeremia: 29:11)
Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu (mazmur 56:4)
Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah
firman Tuhan.. (Yeremia 29: 13-14a)
Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Pujilah namaNya yang kudus, hai segenap batinku! (Mazmur 103 : 1)
Skripsi ini kupersembahkan untuk keluargaku tercinta My Beloved Parents
v
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.
Yogyakarta, 15 Desember 2008
Penulis
vi
Tingkat Empati Pada Remaja
Hetty Yusmaida Barasa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2009
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Persepsi terhadap penerimaan orang tua yang dimaksud adalah persepsi remaja terhadap penerimaan kedua orang tua. Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain, dimana terjadi proses pengambilalihan perspektif orang lain untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain, sehingga individu seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain tersebut. Penerimaan orang tua akan mempengaruhi bagaimana empati pada individu.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 80 individu usia remaja akhir yang diasuh atau bertempat tinggal dengan orang tuanya. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala empati. Data dari hasil uji coba diperoleh reliabilitas 0,970 pada skala persepsi terhadap penerimaan orang tua, serta reliabilitas 0,897 untuk skala empati. Hasil analisa data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linear. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment dari Pearson dengan taraf signifikansi 0,01 dan menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,332 dengan probabilitas 0,01 (one-tailed).
Berdasarkan analisis data tersebut, maka dapat disimpulkan ada hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya, maka semakin tinggi tingkat empati pada remaja tersebut. Semakin rendah remaja mempersepsi penerimaan orang tua, maka semakin rendah pula tingkat empati yang dimilikinya.
vii
Hetty Yusmaida Barasa Sanata Dharma University
Yogyakarta 2009
The purpose of this research was to know about the correlation of Perceived Parental Acceptance and Empathy in adolescence. Perceived Parental Acceptance in this research was how adolescence perceived about their parent acceptance. Empathy was involves experiencing the same feelings as someone else. Parental acceptance would influence empathic development on a child.
The subjects of this research were 80 late adolescences who had living with their parents. The method that has been used in this research was scale method. Perceived parental acceptance measured by perceived parental acceptance scale and empathy measured by empathy scale. Those scales were made by researcher. The reliability coefficient of perceived parental acceptance scale was 0,970 and the reliability coefficient of empathy scale was 0,897. The result of data analysis showed that the data distribution is normal and had linear correlation. The data analysis used product moment Pearson with significant standard 0,01 and the resulted correlation coefficient between perceived parental acceptance and empathy 0, 332 with 0, 01 probability.
Depends from analysis, it can be concluded that there was positive correlation between perceived parental acceptance and empathy in adolescence. The higher perceived parental acceptance, the higher empathy in adolescence was. The lower perceived parental acceptance, the lower empathy in adolescence was.
viii
Nama : Hetty Yusmaida Barasa Nomor Mahasiswa : 049114047
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:
“Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua Dengan Tingkat Empati Pada Remaja”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 20 Februari 2009
Yang menyatakan,
ix
karunia, kesetiaan, berkat-berkat, dan mukjisat yang selalu baru sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi “Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua
Dengan Tingkat Empati Pada Remaja” dibuat sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini
tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak. Banyak bantuan yang diperoleh
selama penulisan skripsi ini, baik yang didapat secara langsung maupun secara
tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis
haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yoygakarta.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M. Si. selaku dosen pembimbing
skripsi.
3. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada
penulis.
4. Seluruh staf karyawan di Fakultas Psikologi.
5. Berbagai pihak yang telah membantu penyebaran skala penelitian: bu
Yetty, pak Sriyono, bu Kistiyanti, bu Rismiyati, pak Eka, bu Nuraini,
x
Frenky, Galih, Yoan, Nico, dan Aji. Juga Ronald dan Nana.
9. Teman-teman di Psikologi USD dan dimanapun berada yang tidak dapat
disebutin satu-satu. Juga teman-teman di kost Chintya yang selalu bersabar
dengan waktu tidur penulis yang aneh.
10. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun
material dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan
masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati
menerima setiap kritik dan masukan yang membangun. Penulis berharap karya ini
dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi
perkembangan ilmu pengetahuan.
Yogyakarta, 15 Desember 2008
xi
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan... iii
Halaman Persembahan... iv
Pernyataan Keaslian Karya ... v
Abstrak ...vi
Abstract...vii
Pernyataan Persetujuan Publikasi ... viii
Kata Pengantar ... ix
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiv
Daftar Lampiran ...xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8
A. Empati... 8
xii
B. Penerimaan Orang Tua... ... 14
1. Definisi... 14
2. Aspek Penerimaan Orang Tua.. ... 16
3. Pengaruh Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak ... 18
4. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua... 20
C. Remaja... 21
1. Definisi dan Batasan... 21
2. Perkembangan pada Remaja... 22
a. Perkembangan Fisik... 22
b. Perkembangan Sosial... 23
c. Perkembangan Kognitif... 24
D. Persepsi Remaja Terhadap Penerimaan Orang Tua... 26
E. Hubungan Penerimaan Orang Tua dengan Empati ... 28
F. Hipotesis... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian ... 32
C. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian ... 32
D. Subjek Penelitian ... 35
xiii
I. Teknik Analisis Data... 49
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN... 50
A. Pelaksanaan Penelitian ... 50
B. Deskripsi Penelitian ... 50
C. Analisis Hasil Penelitian ... 53
1. Uji Asumsi Penelitian... 53
a. Uji Normalitas... 53
b. Uji Linearitas... 54
2. Uji hipotesis ... 55
D. Pembahasan ... 56
BAB V PENUTUP... 60
A. Kesimpulan ... 60
B. Saran ...60
DAFTAR PUSTAKA ... xvii
xiv
Tabel 1 Perkembangan Atau Perubahan Empati Secara Alami
Pada Anak-Anak ... 12 Tabel 2 Blue Print Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua ... 38
Tabel 3 DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Persepsi terhadap Penerimaan
Orang Tua Menurut Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable... 38
Tabel 4 Blue Print Skala Empati ... 38
Tabel 5 DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Empati Menurut
Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable... 38
Tabel 6 Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Persepsi Terhadap
Penerimaan Orang Tua ... 43
Tabel 7 Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Persepsi Terhadap
Penerimaan Orang Tua ... 44
Tabel 8 Penomoran Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan
Orang Tua ...45
Tabel 9 Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Empati... 46
Tabel 10 Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Empati Setelah Uji Coba.... 47
Tabel 11 Penomoran Distribusi Item Skala Empati... 47
Tabel 12 Deskripsi Umur dan Jenis Kelamin Subyek... 51
Tabel 13 Deskripsi Tingkat Pendidikan, usia dan Jenis Pekerjaan Orang
xv
Tabel 17 Hasil Uji Linieritas ... 55
xvi
Lampiran 2 Relibilitas Skala 1 dan Skala 2 Uji coba
Lampiran 3 Skala Penelitian
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala
permasalahan yang timbul dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan
menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena
itu setiap individu sebaiknya menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan
kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut
Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn, 1995) keterampilan sosial
adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial
dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat
bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling
menguntungkan atau menguntungkan orang lain.
Namun belakangan ini media pemberitaan justru banyak menyoroti
kekerasan yang terjadi di masyarakat. Bahkan beberapa televisi membuat
program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi
kekerasan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki)
maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi
yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah
terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Misalnya
tawuran antara siswa SMU Negeri 1 dan SMU Negeri 2 Makassar yang
Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Keterampilan sosial
menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa
remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki
dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan
lingkungan sosial menjadi faktor yang sangat menentukan baginya. Kegagalan
remaja dalam menguasai keterampilan-keterampilan sosial akan menyebabkan
dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat
menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung
berperilaku yang kurang normatif.
Perkembangan keterampilan sosial sendiri dipengaruhi oleh kemampuan
sosial kognitifnya, yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada
dalam proses sosial. Salah satu kemampuan sosial kognitif yang cukup
penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective
taking) dan kemampuan berempati (Robinson & Garber, 1995).
Johnson dkk (1983) mengemukakan bahwa empati berupa kecenderungan
untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seorang yang
empati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan
diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Kemampuan
mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya
merupakan intisari dari empati. Tanpa kemampuan berempati, seseorang
dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau
lain. Hal tersebut tentu saja akan sangat berdampak buruk pada hubungan
sosial individu.
Goleman (2000) mengemukakan prasyarat untuk dapat melakukan empati
adalah kesadaran diri dan mengenali sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi
dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat
berempati apabila mereka sudah terlebih dahulu mengenali diri sendiri
(Boyatzis. 1998). Dengan demikian, keluarga merupakan faktor penting yang
mempengaruhi dalam perkembangan sosial emosi individu. Hal ini
dikarenakan, keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara
fisik maupun sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui
oleh individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup
seorang manusia. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan
sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan.
Seyogyanya, di dalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai,
diinginkan, diterima dan dihargai, yang pada akhirnya membantu dirinya
untuk lebih dapat menghargai dirinya sendiri. Namun berlaku juga sebaliknya,
anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken
homedan anak tidak mendapatkan kepuasan psikis akan membuat anak sulit
mengembangkan keterampilan sosialnya.
Berdasarkan penjabaran diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
perkembangan dasar sosial emosi individu ada di bawah arahan orang tua.
Menurut penelitian Henker (1999), segala sesuatu yang terjadi dalam
membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Kurangnya
perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi
penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman,
dan perhatian. Dengan demikian, orang tua juga berperanan dalam
pembentukan empati anak, terkait dengan pentingnya penerimaan diri dalam
perkembangan empati pada individu (Boyatzis, 1998).
Ironisnya beberapa tahun belakangan, di media cetak maupun elektronik
banyak ditemukan kasus-kasus penganiayaan dan perlakuan yang tidak
sewajarnya pada anak. Pada harian Surabaya Post (6 Februari 1997), dikutip
penelitian YKAI yang memperlihatkan bahwa hingga Oktober 1996 terdapat
562 kasus perlakuan salah terhadap anak yang terjadi karena adanya konsep
kepemilikan yang melihat anak sebagai milik orangtua, sehingga orang lain
tidak bisa mencampuri perlakuan orangtua terhadap anaknya.
Selain itu dalam bentuk non-fisik, di keluarga Indonesia didapati anak
mengalami kurang perhatian dan kasih sayang, orang tua yang memarahi
anak hampir setiap saat, mengkomersialkan anak sebagai pelacur, sebagai
pengamen jalanan, bahkan diusir keluar rumah, dan banyak kasus lainnya.
Belum lagi, tingkat perceraian yang terus meningkat di Indonesia juga
membuat banyak anak tidak lagi mendapatkan situasi tumbuh kembang yang
ideal. Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Depag Prof. Dr.
Nazaruddin Umar, MA mengatakan bahwa setiap tahun ada sekitar dua jutaan
perceraian bertambah dua kali lipat setiap tahunnya (http://balitbang.
depkominfo.go.id, pada Juni 2008).
Peristiwa-peristiwa di atas memperlihatkan bahwa keluarga yang
seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh kembang seorang individu
justru menjadi pembuat dampak buruk pada psikologis individu. Sebuah
penelitian yang dilakukan Henker (1999) menemukan bahwa, ibu yang
menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak
berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan
peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi
anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si
anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak. Orang tua
yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam
mendidik anak mereka, memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah
yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.
Penelitian tersebut juga menyimpulkan anak-anak akan mengartikan
perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua
mereka. Kebalikannya, para ibu yang bersikap hangat, menggunakan
penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan
anak, akan menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. Tampak
jelas bahwa anak-anak mulai membangun hubungan psikososial dengan
orang tuanya sejak lahir.
Tracy (1996) mengungkapkan bahwa penerimaan orang lain yang
pembentukan diri kita. Hal serupa juga berlaku dalam proses pembentukan
empati dalam diri individu. Hasil penelitian yang dilakukan Trommsdorff
(1991) memperlihatkan bahwa perkembangan emosional empati pada
individu sangat di dukung oleh keadaan keluarga yang mampu memberikan
kehangatan, pengasuhan, kasih sayang, dan dukungan serta penerimaan dari
orang tua.
Sebuah penelitian yang dilakukan pada subjek remaja oleh Henry dkk
(1996) menemukan bahwa remaja yang mempersepsikan orang tua mereka
mendukung dan menerima mereka memiliki tingkat empatik yang lebih tinggi
daripada remaja yang merasakan penolakan dari orang tua mereka. Selain itu,
penelitian yang dilakukan Straker dan Jacobson (1981) memperlihatkan
bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya memiliki empati
yang lebih rendah bila dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga
yang penuh cinta.
Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti mencoba mengamati keterkaitan
persepsi remaja akan penerimaan orang tua terhadap dirinya dengan tingkat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dari penelitian ini adalah; apakah ada hubungan yang positif antara persepsi
terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan yang positif antara
persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja.
D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis:
Menambah khasanah ilmu psikologi perkembangan dan sosial, khususnya
yang terkait dengan peranan penerimaan orang tua dalam perkembangan
empati pada individu usia remaja.
Manfaat Praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah tambahan informasi
bagi orang tua atau siapapun yang mencoba memahami keterkaitan
A. Empati 1. Definisi
Merasakan empati (empathy) berarti bereaksi terhadap perasaan
orang lain dengan respon emosional yang sama dengan respon orang lain
tersebut (Damon; 1988 dalam Santrock, 2003). Empati merupakan respon
afektif dan kognitif yang kompleks pada disstres emosional orang lain
(Baron Byrne, 1997). Menurut Baron Byrne, empati temasuk kemampuan
untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan
mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.
Menurut APA Dictionary of Psychology (2006: 327), empathy
diartikan:
“Understanding a person from his or her frame of reference rather tahan one’s own, so that one vicariously experiences the person’s feelings, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self, entail motivation to be of assistance, although it may turn into sympathy or personal disstres, which may result in action.”
Johnson dkk. (1983) mengemukakan bahwa empati adalah
kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain.
Coke dkk. (1978) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional
yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Kemampuan merasakan perasaan ini membuat seseorang yang
(Eisenberg dkk., 1989). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Koestner
dan Franz (1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan untuk
menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain tanpa harus
secara nyata terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut.
Jadi dapat disimpulkan berdasarkan penjabaran definisi di atas,
empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon
emosional yang sama, dimana terjadi proses pengambilalihan perspektif
orang lain untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain,
sehingga individu seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang
lain tersebut.
2. Aspek Empati
Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif (Duan, 1996).
Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain
rasakan (Darley, 1973).
a. Komponen afektif dari empati berupa perasaan yang seolah mengalami
sendiri apa yang orang lain rasakan. Menurut Hoffman (2000), ada
proses psikologis yang terlibat dalam empati yang afektif. Seseorang
akan merasakan perasaan yang kurang lebih sama dengan orang lain
walaupun ia tidak mengalami situasi yang dirasakan orang lain tersebut.
Empati afektif bukan sebuah penularan emosi semata. Empati afektif
mensyaratkan seseorang benar-benar mampu membedakan antara
menyadari bahwa emosi yang dirasakannya adalah akibat dari dirinya
yang mempersepsi emosi orang lain sehingga membuatnya
menempatkan diri dalam posisi orang lain tersebut. Misalnya, saat
melihat seseorang yang berwajah sedih kita merasakan sedih juga
karena kita mempersepsi emosi orang tersebut dan menempatkan diri
di posisinya dan kita benar-benar menyadari bahwa rasa sedih yang
kita rasakan bukanlah reaksi kita sendiri atas apa yang kita alami
sendiri.
b. Komponen kognitif dari empati merupakan kualitas unik manusia yang
berkembang setelah kita melewati masa bayi. Secara kognitif, orang
yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa
(Azar, 1999). Komponen kognitif meliputi; kemampuan melihat
keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau apa yang disebut
perspective taking (Santrock, 2003). Mengambil perspektif (perspective taking) merupakan kemampuan untuk menempatkan diri
dalam posisi orang lain. Psikolog sosial telah mengidentifikasikan tiga
tipe yang berbeda dari pengambilan perspektif (Batson, Early, &
Salvarani, 1997; Stotland, 1969), yaitu:
(1).Individu dapat membayangkan bagaimana orang lain
mempersepsikan suatu kejadian dan bagaimana dia akan
merasakan sebagai akibatnya. Dalam hal ini individu tersebut
(2).Individu dapat membayangkan bagaimana rasanya jika dirinya
berada dalam situasi tersebut. Dalam hal ini individu mengambil
perspektif “membayangkan diri”
(3).Individu melibatkan fantasi, dimana dia merasa empati terhadap
karakter fiktif. Sebagai akibatnya, terdapat reaksi emosional
terhadap kegembiraan, kesedihan, dan ketakutan yang dialami oleh
seseorang atau tokoh lain dalam sebuah buku, film, atau program
televisi.
3. Proses Pembentukan Empati
Menurut Damon (dalam Santrock, 1990), empati mencakup
bagaimana individu bereaksi dalam emosi yang berbeda sebagai respon
menyamai perasaan orang lain. Berikut tabel perkembangan atau
Tabel 1
Perkembangan Atau Perubahan Empati Secara Alami Pada Anak-Anak
Usia Perkembangan Empati
Bayi Masih berupa empati secara global. Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan dan kebutuhan orang lain.
1-2 tahun Individu mulai mampu merasakan ketidaknyamanan orang lain dan mulai memperhatikannya walau belum dapat memahaminya dengan jelas. Namun individu pada usia ini belum dapat menerjemahkan perasaan tersebut dalam tingkah laku yang afektif.
Masa
kanak-kanak awal
Anak menjadi sadar akan adanya perspektif orang lain yang berbeda dan memahami bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar terhadap kesusahan orang lain.
Usia 10- 12 tahun Anak sudah membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki
kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan pemahamannya mengenai politik.
Antara usia satu dan dua tahun, anak-anak masuk ke tahapan
empati yang kedua, dimana mereka dapat melihat dengan jelas bahwa
kesusahan orang lain bukan kesusahan mereka sendiri. Contohnya, Sarah
menunjukkan kebingungan empatik ketika teman bermainnya, Dina,
tiba-tiba mulai menangis. Pada mulanya Sarah hampir ikut menangis, tetapi
kemudian ia berdiri, meletakkan mainan yang sedang dipegangnya lalu
mulai menghibur Dina. Usia enam tahun ditandai dengan dimulainya
tahapan empati kognitif, kemampuan memandang sesuatu dari sudut
pandang orang lain dan berbuat sesuatu dengan itu. Keterampilan
memahami sesuatu dengan pandangan orang lain ini memungkinkan
seorang anak mengetahui kapan bisa mendekati teman yang sedang sedih
memerlukan komunikasi emosi (misalnya menangis), karena dalam usia
ini seorang anak mengembangkan acuan atau model tentang bagaimana
perasaan seseorang yang sedang dalam situasi yang menyusahkan, entah
diperlihatkan atau tidak. Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak, antara
usia sepuluh dan dua belas tahun, anak-anak mengembangkan empati
mereka tidak hanya kepada orang yang mereka kenal atau mereka lihat
secara langsung, namun juga termasuk kelompok orang yang belum
pernah mereka jumpai. Dalam tahapan ini, anak-anak sudah bisa
mengungkapkan kepeduliannya terhadap orang yang kurang beruntung di
banding mereka.
4. Faktor yang Mempengaruhi Empati
a. Perbedaan genetis. Penelitian Davis, Luce, dan Kraus (1994)
menemukan bahwa komponen afektif dalam empati didasari oleh
faktor genetik atau keturunan, namun dalam komponen kognitif tidak
didapati pengaruh genetik atau keturunan.
b. Pengalaman spesifik yang dialami individu. Psikolog Jane Strayer
(dikutip dalam Azar, 1999 menyatakan bahwa setiap individu
dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan
empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan
tersebut dihambat atau menjadi bagian penting dari diri. Dapat
dikatakan, lingkungan memiliki andil dalam menentukan apakah
dipertahankan atau terhambat perkembangannya. Penerimaan orang
tua berperanan dalam pengalaman spesifik yang dilami individu
selama masa hidupnya.
c. Perbedaan jenis kelamin. Wanita biasanya mengekspresikan tingkat
empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh
perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi (Trobst,
Collins, & Embree, 1994).
d. Faktor kemiripan terhadap objek empati sendiri. Umumnya empati
yang paling besar ditujukan pada orang lain yang mirip dengan diri
sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik.
B. Penerimaan Orang Tua 1. Definisi
Penerimaan adalah sikap konsisten dan tidak berpura-pura terhadap
kehadiran seseorang. Hal ini ditandai dengan sikap yang tulus dan tanpa
harus merasa terpaksa terhadap kehadiran seseorang. Menerima terlihat
dalam sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu
yang patut dihargai. Menerima berarti lebih menerima dan memandang
orang lain sebagai pribadi (person), bukan sebagai objek (Rakhmad, 1999).
Seseorang merasa diterima bila ia merasa kepentingannya
diperhatikan, serta merasa adanya hubungan yang erat antara dia dengan
orang lain (Darajat dalam Andriani, 2001). Tracy (1996) mengungkapkan
hargai dan kita cintai terhadap diri kita sangatlah berperan dalam proses
pembentukkan diri kita.
Orang tua adalah hubungan pria dan wanita yang saling mencintai
dan saling memiliki satu sama lain dalam suatu ikatan resmi secara hukum
maupun agama (pernikahan) untuk belajar hidup bersama, belajar
mengelola rumah tangga, serta mengasuh dan merawat anak-anak mereka
(Kartono, 1992). Orang tua merupakan komponen keluarga yang terdiri
dari ayah dan ibu, dimana baik ayah maupun ibu memiliki peranan
masing-masing dalam merawat dan mengasuh anak-anak mereka.
Menurut Haditono (dalam Lestari, 1995) penerimaan orang tua
terhadap anaknya adalah sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh
anak. Orang tua yang menerima anaknya mempunyai sikap yang dapat
memberi kebebasan dan keamanan psikologis serta mendorong rasa
percaya diri anak, sehingga anak tidak akan merasa ragu-ragu untuk
menyatakan pendapatnya, rasa ingin tahunya, menghargai kemampuan
dirinya dan berani mengambil resiko (Lestari, 1995). Penerimaan orang
tua adalah suatu sikap yang dibentuk melalui perhatian yang kuat dan cinta
kasih terhadap anak serta sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh
anak.
Menurut Hurlock (1993) orang tua yang menerima anaknya tidak
hanya menginginkan dan merencanakan satu bagian masa depan anaknya
tetapi juga membiarkan anaknya menemui kesulitan di dalam usaha dan
dalam rumah dan mengembangkan hubungan dengan anaknya dengan
penuh kehangatan. Orang tua yang menerima anaknya biasanya
memperhatikan perkembangan kemampuan dan minat anaknya.
Penerimaan merupakan suatu sikap yang dibentuk melalui cinta kasih,
perhatian yang kuat, dukungan yang besar serta rasa aman dan nyaman
serta kebahagiaan dalam mengasuh anak. Hal ini ditandai dengan sikap
orang tua yang mengungkapkan perasaannya dengan tulus dan tidak
berpura-pura. Sikap penerimaan orang tua tersebut berpengaruh positif
terhadap perkembangan anak.
Jadi dapat disimpulkan berdasarkan definisi-definisi di atas bahwa
penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah suatu sikap penuh
kebahagiaan dalam mengasuh anak. Orang tua memberi kebebasan bagi
anak untuk menjadi dirinya sendiri, memberikan perhatian dan cinta kasih
yang kuat, memperhatikan perkembangan anak serta memberikan
dukungan dan rasa aman bagi anak untuk dapat berkembang secara positif.
2. Aspek Penerimaan Orang Tua
Sejak tahun 1890-an, penelitian tentang penerimaan dan penolakan
orang tua sudah banyak dilakukan (Stogdill, 1937). Salah satu tokoh yang
juga melakukan penelitian mengenai penerimaan dan penolakan orang tua
adalah Ronald P. Rohner yang mengemukakan Parental
acceptance-rejection theory (PARTheory). Menurut Rohner, PARTheory dapat
masa hidup seseorang, juga dalam memprediksi dan menjelaskan
penyebab dan konsekuensi hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan
penolakan pada hubungan interpersonal, khususnya yang terjadi dalam
relasi orang tua - anak (Rohner, 1986, 2005; Rohner and Rohner, 1980).
Teori ini memiliki beberapa dimensi dan sub teori. Teori
penerimaan dan penolakan orang tua (Parental Acceptance-Rejection
Theory / PARTheory) pada dimensi kehangatan orang tua (Warmth
Dimension of Parenting) memilah penerimaan orang tua dalam dua aspek
(Rohner, 2005), seperti yang terlihat pada diagram dibawah ini.
Gambar 1.Diagram AspekWarmth Dimension Of Parenting
Pada diagram di atas, Warmth Dimension of Parenting memilah
penerimaan orang tua dalam aspek fisik dan aspek verbal.
a. Aspek Fisik dapat berupa perilaku fisik seperti pelukan, senyuman,
b. Aspek Verbal terlihat dalam penggunaan kata seperti pujian,
mengatakan hal-hal yang baik tentang anak, ungkapan rasa bangga
terhadap anak, mendongeng, dsb.
Wujud nyata dari kedua aspek tersebut tergantung pada budaya dan
konteksnya. Apa yang dimaksudkan oleh peneliti bukanlah budaya dalam
arti regional ataupun suku bangsa, melainkan budaya yang dipelajari
individu sendiri sepanjang rentang hidupnya. Para antropologi yang
meneliti mengenai pengasuhan anak, menemukan bahwa pengasuhan yang
secara khas dilakukan orang tua pada anaknya akan dapat diduga berasal
dari pengalaman-pengalaman sejak masa anak-anak pada sebagian
masyarakat dimana orang tua tersebut dibesarkan (Keontjaraningrat, 2000).
Oleh karena itu, dalam penerimaan itu sendiri akan didapati wujud
ekspresi yang lugas dimana orang tua dapat dengan mudah
memperlihatkan rasa sayangnya pada anak, namun ada pula orang tua
yang cenderung sungkan dalam mengekspresikan rasa sayangnya terhadap
anak. Intinya, baik sikap fisik maupun verbal dari orang tua
memperlihatkan perasaan sayang, mendukung, merawat, mencintai dan
mengasihi, yang mengekspresikan perasaan penerimaan orang tua
terhadap anaknya.
3. Pengaruh Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak
Menurut Bowly: 1989 (dalam Santrock, 2003), anak yang tidak
pertama kehidupannya, perkembangannya tidak akan optimal. Pandangan
bahwa perkembangan berkesinambungan (continuity view) menekankan pada peran yang dimainkan dalam hubungan awal orang tua- anak
terhadap pembentukan dasar untuk berhubungan dengan orang-orang
sepanjang rentang hidup (Santrock, 2003). Ahli psikoanalisa mengatakan
bahwa kepribadian individu yang hangat dan bersahabat diperoleh dari
hubungan yang berlangsung lama dengan orang tua, terutama pengalaman
masa kecil mereka (Santrock, 2003). Hubungan awal orang tua anak akan
dibawa terus ke titik lanjut perkembangan, dan mempengaruhi semua
hubungan selanjutnya. Dalam bentuknya yang ekstrim, pandangan ini
menyatakan bahwa komponen dasar dari hubungan sosial diletakkan dan
dibentuk oleh rasa aman atau rasa tidak aman mengenai hubungan orang
tua anak (Santrock, 2003).
Menurut Roger (dalam Schultz, 1998) jika penerimaan orang tua
terhadap anak terjadi, maka anak tidak akan mengembangkan syarat-syarat
penghargaan, mereka akan merasa diri berharga dalam semua syarat, anak
tidak akan bertingkah defensif, anak mempunyai keharmonisan antara diri
dan persepsinya terhadap kenyataan. Hurlock (1993) mengemukakan
bahwa semakin mereka merasa diterima maka semakin besar pula kasih
sayang yang akan mereka peroleh.
Gordon (1995) melihat penerimaan orang tua terhadap anaknya
mempunyai dampak bagi perkembangan pribadi seorang anak. Bila ada
perubahan-perubahan yang membangun, belajar memecahkan masalah,
secara psikologis semakin sehat, semakin produktif dan kreatif serta
mampu mengaktualisasikan potensinya sepenuhnya.
Berdasarkan penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
penerimaan orang tua memiliki pengaruh yang cukup besar pada
kepribadian dan kemampuan sosial seorang anak. Melalui penerimaan
sepenuhnya anak akan merasa diterima sebagaimana adanya kemudian
merasa bebas dan mulai memikirkan perubahan apa yang akan
diinginkannya, bagaimana akan mengembangkan diri, bagaimana ia dapat
menjadi berbeda dan bagaimana ia dapat menjadi lebih baik.
4. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua
Ronald P. Rohner (1995) dalam teorinya Parental
acceptance-rejection theory (PARTheory) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anak, yaitu:
a. Karakteristik personal anak. Temperamen dan tingkah laku anak
mempengaruhi kualitas perlakuan dan penerimaan orang tua terhadap
diri anak. Seorang anak dalam keluarga bisa saja lebih diterima orang
tuanya bila dibandingkan saudaranya yang lain.
b. Lingkungan alami tempat keluarga berada. Sistem sosial yang berlaku
di masyarakat memiliki pengaruh terhadap penerimaan orang tua
orang tua, misalnya budaya yang kaku akan membuat orang tua
bersikap dingin atau menjaga jarak dengan anaknya.
c. Faktor spiritual. Umumnya orang tua yang religius dan memiliki nilai
agama yang kuat akan lebih menyayangi anaknya dan memberikan
rasa aman serta penerimaan yang lebih besar bila dibandingkan orang
tua yang kurang religius.
C. Remaja
1. Definisi dan Batasan
Istilah remaja diambil dari bahasa Inggris yaitu adolesence, yang
berasal dari bahasa latin adorescere, yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa. Santrock (2003) mengartikan remaja sebagai masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai
kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun.
Akan tetapi, semakin banyak ahli perkembangan yang menggambarkan
remaja sebagai masa remaja awal dan akhir (Santrock, 2003). Masa remaja
awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah
pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa remaja
2. Perkembangan Pada Remaja
Tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan pada masa remaja
menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) adalah mencapai hubungan
baru dan hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai
peran sosial menurut jenis kelaminnya, menerima keadaaan fisiknya dan
menggunakannya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku
sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari
orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier
ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta memperolah
perangkat sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku. Berikut
penjabaran perkembangan remaja dalam aspek fisik, sosial dan kognitif:
a. Perkembangan Fisik
Pada perkembangan fisiknya, remaja mengalami apa yang disebut
pubertas (Santrock, 2003). Pubertas adalah perubahan cepat pada
kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang
terutama terjadi selama masa remaja awal. Perubahan berlangsung
sangat cepat, meliputi ukuran tubuh baik komposisi maupun
proporsinya. Masa remaja juga ditandai dengan mulai berfungsinya
alat reproduksi yang ditandai menstruasi pada wanita dan mimpi basah
pada laki-laki, serta tumbuhnya tanda-tanda seksual sekunder.
Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1993), yang
mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder penting pada laki-laki
kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara
membesar dan lain-lain. Sedangkan pada remaja putri: pinggul melebar,
payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami
menstruasi, dan lain-lain. Hurlock (1995) mengatakan bahwa ciri-ciri
seksual sekunder dan perkembangan alat-alat reproduksi berada pada
tahap matang pada saat akhir masa remaja.
b. Perkembangan Sosial
Pada aspek sosial, hubungan dengan orang lain merupakan hal
yang cukup penting dalam perkembangan selama masa remaja.
Sepanjang masa kehidupan manusia, tahap remaja merupakan masa
yang paling banyak mengalami perubahan dalam segi sosial. Pada
masa kanak-kanak individu masih bergantung pada orangtuanya,
sementara pada masa remaja mereka berusaha melepaskan dirinya,
mencapai otonomi diri dan mendapat pengakuan serta ingin bersikap
mandiri. Hal ini ditegaskan oleh Havinghurst (dalam Hurlock, 1980),
yang menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja
adalah mencapai hubungan baru dan hubungan yang lebih matang
dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita. Selain itu remaja juga
dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.
Ciri khas perkembangan sosial remaja adalah kuatnya pengaruh
kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, serta
group) menjadi lebih penting. Pada kelompok teman sebaya, remaja
untuk pertama kalinya menerapkan prinsip-prinsip hidup bersama dan
bekerjasama.
c. Perkembangan Kognitif
Teori perkembangan kognitif Piaget menyebutkan bahwa
kemampuan kognitif remaja berada pada tahap operasional formal
(formal operation stage). Menurut Piaget, tahap ini muncul saat
individu berusia sekitar 11 sampai 15 tahun (Santrock, 2003).
Kemudian pada tahun 1972, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran
operasional formal baru kan tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja,
sekitar usia 15 sampai 20 tahun (Santrock, 2003).
Dalam pandangan Piaget, remaja membangun dunia kognitifnya
sendiri; informasi tidak hanya tercurah ke dalam benak mereka dari
lingkungan (Santrock, 2003). Untuk memahami dunianya, remaja
mengorganisasikan pengalaman mereka. Remaja memisahkan gagasan
yang penting dari yang kurang penting, mengaitkan gagasan yang satu
dengan yang lainnya. Remaja bukan hanya mengorganisasikan
pengamatan dan pengalaman mereka, tapi juga menyesuaikan cara
pikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi
tambahan membuat pemahaman lebih dalam.
Seiring dengan sifat abstrak dari pemikiran operasional formal
kemungkinan-kemungkinan. Remaja mulai memikirkan secara lebih
luas mengenai karakteristik ideal, kualitas yang ingin dimilikinya
sendiri atau yang diinginkan ada pada orang lain (Santrock, 2003).
Pemikiran semacam itu sering kali membuat remaja membandingkan
dirinya dengan orang lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut.
Satu hal yag cukup penting perihal perkembangan remaja, secara
kognitif remaja sudah bisa melakukan pengambilalihan perspektif
(perspective taking) orang lain.Perspective taking adalah kemampuan
untuk mempergunakan cara pandang orang lain dan memahami
pemikiran serta perasaan orang tersebut (Santrock, 2003). Robert
Selman; 1980 (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa
pengambilalihan perspektif merupakan suatu rangkaian sejak masa
usia 3 tahun sampai masa remaja. Remaja yang terampil dalam
pengambilalihan cara pandang akan lebih memahami kebutuhan
teman-temannya sehingga mereka cenderung dapat berkomunikasi
secara lebih efektif (Hudson, Forman & Brion-Meisels; 1982 dalam
Santrock, 2003). Kemampuan remaja dalam perspective taking juga
membantunya untuk bisa berempati terhadap orang lain.
Menurut Steinberg, pada masa awal remaja merupakan suatu
periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui masa
anak-anak (Santrock, 2002). Peningkatan ini dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor yang telah dibahas diatas; perubahan biologis pubertas, perubahan
perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan
kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh
pihak orang tua dan remaja. Konflik dengan orang tua seringkali
meningkat selama masa awal remaja, agak stabil selama tahun-tahun
sekolah menengah atas, dan kemudian berkurang ketika remaja mencapai
usia 17 hingga 20 tahun.
D. Persepsi Remaja Terhadap Penerimaan Orang Tua
Untuk dapat bersikap dan melakukan suatu tindakan tertentu, remaja harus
memiliki kesan khusus tentang objek yang dihadapinya. Kesan yang
didapatkannya tersebut akhirnya akan dapat mendorong seseorang untuk
memberikan penilaian tertentu pula. Proses psikologis ini dikenal dengan
istilah persepsi.
Bagaimana remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya
sangat tergantung pada bagaimana remaja tersebut melihat. Orang tua dalam
hal ini terdiri dari ayah maupun ibu sebagai satu kesatuan. Di dalam sebuah
keluarga, ayah dan ibu masing-masing memiliki perannya sendiri-sendiri,
namun peran itu sendiri tidak mutlak harus dilakukan oleh ayah atau ibu saja.
Di masa modern saat ini dimana emansipasi wanita dan peran gender yang
sudah semakin luas, ada kerjasama antara ayah dan ibu dalam menjalankan
perannya sebagai orang tua di dalam keluarga.
Pada proses pembentukan persepsi itu sendiri terdapat banyak faktor yang
untuk melihat dunia disekitarnya dengan cara yang khusus dan berbeda. Hal
tersebut juga berlaku pada persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua.
Persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua dilakukan remaja dengan
memilih, mengatur dan menafsirkan kedalam gambaran yang berarti dan
masuk akal menurutnya tentang penerimaan itu sendiri. Saat mempersepsi,
setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Dua individu mungkin
menerima stimuli yang sama dalam kondisi nyata yang sama, tetapi
bagaimana setiap orang mengenal, memilih dan mengatur dan menafsirkannya
merupakan proses yang sangat individual berdasarkan kebutuhan, nilai-nilai,
dan harapan setiap orang itu sendiri (Schifman dan Kanuk, 2004).
Persepsi merupakan proses ketika orang menginterpretasi sensasi, dan
memberikan urutan dan makna kepada sensasi tersebut. Di samping itu
persepsi merupakan proses individu mengatur, menginterpretasi informasi
sensoris untuk memberikan makna kepada lingkungannya. Meskipun begitu,
objek yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda secara substansial dengan
kenyataan yang objektif.
Realitas bagi seseorang semata-mata merupakan persepsi mereka, tidak
berdasarkan realitas yang sebenarnya (Schifman dan Kanuk, 2004). Maka,
penerimaan orang tua yang ditinjau dalam penelitian ini adalah penerimaan
orang tua yang sudah dipersepsi oleh remaja, jadi bukan semata-mata
penerimaan orang tua secara realnya. Apa yang disoroti dalam penelitian ini
adalah persepsi remaja sendiri yang dipandang sebagai pengalaman subjektif
tua tidak menentukan bagaimana persepsi remaja sendiri. Dengan kata lain,
remaja mungkin saja dapat mengalami hal yang sama, namun
mempersepsikannya secara berbeda-beda.
E. Hubungan Penerimaan Orang Tua Dengan Empati
Psikiater Rober Coles (dalam Azar, 1999) menekankan pentingnya orang
tua dalam membentuk perilaku prososial anak. Intelegensi moral tidak
didasarkan pada ingatan akan aturan atau pembelajaran definisi abstrak,
melainkan anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan
dikatakan orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa model dan
pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah bertumbuh menjadi
remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang dewasa yang sama
tidak menyenangkannya dengan model pembelajarannya.
Menanamkan rasa kepedulian dan empati kepada anak-anak adalah cara
yang baik untuk membantu anak memiliki kemampuan sosial yang memadai.
Merasakan empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon
emosional yang sama dengan respon orang lain tersebut (Damon, 1988).
Secara afektif orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan
dan mengapa. Jadi, empati berarti saya merasakan penderitaanmu dan saya
juga mengerti penderitaanmu. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan
keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan
maka dia memiliki modal yang cukup untuk dapat mengembangkan
kemampuan sosialnya dalam masyarakat.
Goleman (1995) mengemukakan prasyarat untuk dapat melakukan empati
adalah kesadaran diri, mengenali sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi
dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat
berempati apabila mereka sudah terlebih dahulu mengenali diri sendiri
(Boyatzis, 1998). Pengenalan diri sendiri ini dapat membantu individu dalam
berupaya menempatkan diri padainternal frame of referenceorang lain, tanpa
kehilangan objektivitasnya. Untuk mencapai pengenalan diri sendiri, seorang
anak membutuhkan kasih sayang, perhatian dan rasa aman untuk berlindung
dari orang tuanya. Anak membutuhkan penerimaan dari orang tuanya sebagai
dasar awal dimana mereka mulai belajar menerima diri sendiri dam mencoba
mengenali dirnya. Psikolog Jane Strayer (dalam Azar, 1999) mengemukakan
bahwa pengalaman spesifik, dalam hal ini juga penerimaan orang tua yang
dirasakan remaja menentukan apakah potensi bawaan empati berkembang atau
terhambat perkembangannya.
Menurut penelitian Henker (1999), segala sesuatu yang terjadi dalam
hubungan orangtua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua ) akan
membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Kurangnya
perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi
penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman,
dan perhatian. Menurut Roger (dalam Schultz, 1998) jika penerimaan orang
penghargaan, mereka akan merasa diri berharga dalam semua syarat, anak
tidak akan bertingkah defensif, anak mempunyai kaharmonisan antara diri dan
persepsinya terhadap kenyataan. Maka anak dapat dengan aman mulai
mencoba mengenali dirinya, sebagai dasar untuk dapat memahami orang lain.
Dengan demikian orang tua juga berperanan dalam pembentukan empati anak,
terkait dengan pentingnya penerimaan diri dalam perkembangan empati pada
individu (Boyatzis, 1998).
Hasil penelitian yang dilakukan Trommsdorff (1991) memperlihatkan
bahwa perkembangan emosional empati pada individu sangat didukung oleh
keadaan keluarga yang mampu memberi kehangatan, pengasuhan, kasih
sayang, dan dukungan serta penerimaan dari orang tua. Bahkan sebuah
penelitian yang dilakukan pada subjek remaja oleh Henry dkk. (1996),
menemukan bahwa remaja yang mempersepsikan orang tua mereka
mendukung dan menerima mereka memiliki tingkat empatik yang lebih tinggi
daripada remaja yang merasakan penolakan dari orang tua mereka. Selain itu,
penelitian yang dilakukan Straker dan Jacobson (1981) memperlihatkan
bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya memiliki empati
yang lebih rendah bila dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga
yang penuh cinta. Uraian singkat hubungan antara penerimaan orang tua
Gambar 2. Skema Hubungan Penerimaan Orang Tua dengan Empati
Dari uraian di atas diperoleh asumsi sementara bahwa terdapat hubungan
antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada
remaja.
F. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori sebagai kajian teoritis terhadap permasalahan
yang telah dikemukakan, maka dapat disusun suatu hipotesis terhadap
permasalahan yang telah dikemukakan. Maka hipotesis untuk penelitian ini
adalah:ada hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Semakin tinggi remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya, maka semakin tinggi
tingkat empati pada remaja tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah remaja mempersepsi penerimaan orang tua, maka semakin rendah pula
tingkat empati yang dimilikinya.
Penerimaan
Orang Tua
Menerima diri sendiri dan mengenali diri
sendiri
Memahami
orang lain
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional
yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan
dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain (Azwar, 2001). Penelitian ini
bertujuan melihat hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua
pada seseorang dengan tingkat empati yang dimilikinya.
B. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu persepsi terhadap penerimaan
orang tua sebagai variabel bebas (x) dan tingkat empati individu sebagai
variabel tergantung/ terikat (y).
C. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian
Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal
yang didefinisikan dan dapat diamati. Penyusunan definisi ini penting karena
digunakan untuk merujuk data yang akan digunakan dalam penelitian
(Suryabrata, 2000).
1. Persepsi terhadap penerimaan orang tua
Persepsi terhadap penerimaan orang tua adalah bagaimana individu
terhadap penerimaan orang tua dilakukan individu dengan memilih,
mengatur dan menafsirkan kedalam gambaran yang berarti dan masuk
akal tentang penerimaan menurut individu sendiri. Pada penelitian ini apa
yang hendak diukur adalah persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua
secara umum yang terdiri dari ayah maupun ibu sebagai satu kesatuan.
Penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah suatu sikap penuh
kebahagiaan dalam mengasuh anak. Orang tua memberi kebebasan bagi
anak untuk menjadi dirinya sendiri, memberikan perhatian dan cinta kasih
yang kuat, memperhatikan perkembangan anak serta memberikan
dukungan dan rasa aman bagi anak untuk dapat berkembang secara positif.
Persepsi terhadap penerimaan orang tua diukur menggunakan skala
yang disusun berdasarkan persepsi terhadap aspek-aspek penerimaan
orang tua yang meliputi:
a. Aspek Fisik, dapat berupa perilaku fisik seperti pelukan, senyuman,
ciuman, belaian, penghiburan, dsb.
b. Aspek Verbal, terlihat dalam penggunaan kata seperti pujian,
mengatakan hal-hal yang baik tentang anak, ungkapan rasa bangga
terhadap anak, mendongeng, dsb
Skala ini digunakan untuk mengukur positif atau negatifnya
persepsi subjek penelitian terhadap penerimaan orang tua. Semakin tinggi
skor total yang diperoleh maka semakin positif persepsi subjek penelitian
diperoleh, maka semakin negatif pula persepsi subjek penelitian terhadap
penerimaan orang tuanya.
2. Empati
Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon
emosional yang sama, ada proses pengambilalihan perspektif orang lain
untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain, serta individu
seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain tersebut.
Empati diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan
aspek-aspek empati yaitu:
a. Aspek afektif yakni berupa perasaan yang seolah mengalami sendiri
apa yang orang lain rasakan walaupun ia tidak mengalami situasi yang
dirasakan orang lain tersebut.
b. Aspek kognitif yakni memahami apa yang orang lain rasakan dan
mengapa.
Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam skala empati
menunjukkan semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki subjek
penelitian. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah skor total dalam
skala empati, maka dapat diartikan semakin rendahnya tingkat empati
D. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek ke dalam sampel dilakukan dengan cara purposive
sampling, yakni memilih sekelompok subjek yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut yang erat dengan
ciri-ciri sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun kriteria
subjek dalam penelitian ini:
1. Individu pada usia remaja akhir, yakni pada usia 16 tahun atau 17 tahun
sampai 18 tahun. Keterampilan sosial dan kemampuan berempati menjadi
semakin penting dan krusial manakala individu sudah menginjak masa
remaja.
2. Diasuh atau bertempat tinggal dengan orang tuanya. Baik dengan
keduanya maupun dengan salah satu dari orang tuanya.
E. Metode Dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode angket
atau kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian. Hal ini berkaitan
dengan asumsi dasar penggunaan angket, yaitu bahwa responden merupakan
orang yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri (Azwar, 2001). Pada
penelitian ini, peneliti menggunakan teknik random sampling dalam
pengumpulan data. Peneliti dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara
acak dalam wilayah tertentu dengan batasan subjek sesuai dengan kategori
yang dijabarkan di atas. Alasan penggunaan teknik ini adalah agar hasil yang
Alat penelitian berupa penggunaan dua skala, yakni skala persepsi
terhadap penerimaan orang tua dan skala empati. Kedua skala disusun sendiri
oleh peneliti berdasarkan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.
Kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket
dengan skala Likert, yang pengumpulan datanya dengan menggunakan metode
rating yang dijumlahkan (Method of Summated Ratings) yang terdiri dari
empat kategori pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Pengukuran alat ini dikelompokkan
menjadi 2 kategori, yaitu:
1. Aitem-aitemfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor yaitu:
(a) Sangat setuju (SS) : skor 4
(b) Setuju (S) : skor 3
(c) Tidak Setuju (TS) : skor 2
(d) Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1
2. Aitem-aitem unfavorable, terdiri dari pilihan jawaban dan skor sebagai
berikut:
(a) Sangat setuju (SS) : skor 1
(b) Setuju (S) : skor 2
(c) Tidak Setuju (TS) : skor 3
(d) Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 4
Pada kedua skala tidak diberikan alternatif jawaban netral. Menurut Hadi
1. Undecided mempunyai arti ganda, bisa diartikan sebagai belum
memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya), bisa juga
diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju pun tidak, atau bahkan ragu-ragu.
Kategori jawaban yang ganda arti (multi interpretable) ini tentu saja tidak
diharapkan dalam suatu instrumen.
2. Jawaban tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ketengah (central
tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah
kecenderungan jawabannya, kearah setuju ataukah tidak setuju.
3. Kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat
kecenderungan pendapat responden, kearah setuju atau kearah tidak setuju.
Jawaban tengah akan menghilangkan data penelitian sehingga mengurangi
banyaknya informasi yang dapat disaring dari responden.
Banyaknya butir pernyataan dalam skala berjumlah 60 butir di tiap
skalanya. Namun pada skala persepsi terhadap penerimaan orang tua, subjek
diminta memberikan respon terhadap ayah dan ibu secara terpisah dengan
penomoran a untuk respon terhadap ayah dan b untuk respon terhadap ibu.
Dengan demikian nantinya didapati 120 nomor skala yang penjabarannya 60
nomor pada respon ayah dan 60 nomor pada respon ibu. Berikut tabel blue
print serta tabel distribusi aitem pra uji menurut aspek dan sifatfavorable dan
Tabel 2
Blue Print Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1. Fisik 15aitem (25 %) 15aitem(25 %) 30aitem(50 %) 2. Verbal 15aitem(25 %) 15aitem(25 %) 30aitem(50 %) Total 30aitem(50 %) 30aitem(50 %) 60aitem(100 %)
Tabel 3
DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua Menurut Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Fisik
Total 30aitem 30aitem 60aitem
(a dan b)
Tabel 4
Blue Print Skala Empati
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1. Afektif 15aitem (25 %) 15aitem (25 %) 30aitem(50 %) 2. Kognitif 15aitem (25 %) 15aitem (25 %) 30aitem(50 %) Total 30aitem(50 %) 30aitem(50 %) 60aitem(100 %)
Tabel 5
Distribusi Aitem Pra Uji Coba Skala Empati Menurut Aspek dan Sifat Favorable / Unfavorable
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Afektif
F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data
Data hasil penelitian harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain
aspek validitas dan reliabilitas (Azwar,2001).
1. Validitas
Validitas atau kesahihan adalah seberapa cermat, tepat,dan teliti
alat ukur mampu melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2001). Pengukuran
terhadap validitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kuesioner
mampu mengukur hal yang ingin diukur. Untuk dapat menjaga validitas
dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan pendekatan validitas isi
(content validity). Penetapan validitas isi dilakukan dengan cara
profesional judgement atau analisis rasional yaitu validitas isi dikoreksi
oleh orang yang sudah ahli yaitu dosen pembimbing (Azwar, 2001).
2. Reliabilitas
Reliabilitas merupakan tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu
pengukuran (Azwar, 2001). Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh
mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif konsisten jika
dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama jika aspek yang akan
diukur dalam diri subjek juga masih tetap sama. Suatu angket yang
reliabel akan menunjukkan ketepatan, ketelitian, dan keajegan hasil dalam
satu atau berbagai pengukuran (Azwar, 2001). Dalam penelitian ini,
reliabilitas akan diukur dengan menggunakan teknik Alpa Cronbach dari
G. Pelaksanaan Uji Coba Alat Pengumpulan Data
Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 7 November 2008 hingga 13
November 2008. Alat ukur disebarkan kepada 60 orang remaja yang
berdomisili di Yogyakarta. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subjek
di SMKN 1 Depok, menitipkan kuesioner pada siswa SMU, dan mendatangi
kos subjek yang memenuhi kriteria sample. Total sample sebanyak 60 orang
yang terdiri dari 20 laki-laki (5 orang berusia 16 tahun, 10 orang berusia 17
tahun, serta 5 orang berusia 18 tahun) dan 40 perempuan (22 orang berusia 16
tahun, 14 orang berusia 17 tahun, serta 4 orang berusia 18 tahun).
Pengambilan sampel tersebut dipilih berdasarkan ciri-ciri yang sudah
ditetapkan yaitu subyek pada usia remaja akhir, yakni pada usia 16 tahun atau
17 tahun sampai 18 tahun, serta diasuh atau bertempat tinggal dengan orang
tuanya. Pada masing-masing subyek tersebut diberikan 2 jenis skala yaitu
skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala empati.
H. Hasil Uji Coba Alat Pengumpulan Data
Setiap usaha pengukuran senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat
obyektifitas hasil yang tinggi. Salah satu upaya penting untuk menempuh hal
itu adalah melalui pemilihan atau penyusunan alat ukur yang memiliki daya
diskriminasi item, derajat validitas dan reliabilitas yang adekuat. Problem daya
diskriminasi item, validitas dan reliabilitas alat ukur ini semakin serius
bilamana pengukuran tersebut dikenakan kepada gejala-gejala sosial atau
1. Validitas Skala
Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah validitas isi
sebagai pengukur validitas skala. Validitas isi dimaksudkan untuk
mengetahui sejauh mana item-item tersebut relevan dengan tujuan
pengukuran dan menunjukkan sejauh mana tes tersebut komprehensif
isinya (Azwar, 2001). Validitas isi pada penelitian ini dilakukan dengan
jalan mengkonsultasikan item-item skala dengan orang dianggap ahli
yaitu dosen pembimbing sebagaiprofesional judgement untuk memastikan
bahwa bahwa item tersebut sudah mencakup keseluruhan kawasan isi dan
obyek yang hendak diukur sehingga tidak keluar dari indikator-indikator
yang telah ditentukan.
2. Analisis Butir
Analisis butir didefinisikan sebagai sejauh mana item mampu
membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan
yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2001). Analisis butir
disebut juga sebagai konsistensi item total (rix) karena merupakan
indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi item dengan fungsi
skala secara keseluruhan. Konsep inilah yang dijadikan dasar dalam
seleksi item. Item-item yang dipilih adalah item yang mengukur hal yang
sama dengan apa yang diukur oleh skala secara keseluruhan.
Untuk menentukan batasan item yang bagus, biasanya digunakan
0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Meskipun demikian
menurut Azwar (2001) batasan tersebut hanyalah sebuah konvensi dan
peneliti dapat menentukan batasan sendiri dengan mempertimbangkan isi
dan tujuan skala yang sedang disusun. Berikut paparan proses analisis
butir skala penelitian ini:
a. Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang tua
Hasil analisis skala persepsi orang tua berkisar antara 0,041
sampai dengan 0,759. Kemudian butir item diseleksi dengan cara
menggugurkan butir-butir yang memiliki koefisien korelasi antar item
yang rendah dengan memperhatikan penyebaran butir pada tiap aspek.
Hasil seleksi terhadap 120 buah item (60 a dan b) terdapat 19 buah
item yang tidak layak untuk digunakan sebagai pertanyaan penelitian
dan 101 item yang dianggap layak untuk digunakan dalam pertanyaan
penelitian. Dengan melihat penyebaran distribusi item pada tiap aspek,
dari 100 item tersebut dikurangi lagi 1 buah item, yakni item 5a
sehingga terdapat 100 buah item terbaik dari skala yang akan
digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan penyebaran item pada saat
Tabel 6
Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Persepsi Terhadap Penerimaan Orang
Tua
No. Butir Pernyataan
Sebelum Uji Coba Gugur Setelah Uji Coba
Aspek
Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable
Fisik
Total 60aitem 60aitem 3aitem 17aitem 57aitem 43aitem
Berikut ini menunjukkan penyebaran butir-butir pernyataan dalam
Tabel 7
Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Persepsi Terhadap Penerimaan
Orang Tua Pada Respon Ayah
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Fisik
Total 57aitem 43aitem 100aitem
Berikut penomoran ulang distribusi item pada skala Persepsi
Terhadap Penerimaan Orang tua yang digunakan sebagai alat ukur
Tabel 8
Penomoran Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan
Orang Tua
No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah
1. Fisik
Total 57aitem 43aitem 100aitem
Maka, dari hasil tersebut diketahui bahwa skala persepsi terhadap
penerimaan orang tua cukup valid digunakan sebagai alat ukur
penelitian ini. Hasil selengkapnya mengenai analisis butir skala