• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja - USD Repository"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Hetty Yusmaida Barasa

NIM: 049114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Hetty Yusmaida Barasa

NIM: 049114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

ii

TUA DENGAN TINGKAT EMPATI PADA REMAJA

Disusun oleh:

Hetty Yusmaida Barasa

NIM : 049114047

Telah disetujui oleh:

Dosen Pembimbing,

(4)
(5)

iv

“Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” (Mazmur 16 : 2)

Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan,

yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan

(Yeremia: 29:11)

Waktu aku takut, aku ini percaya kepada-Mu (mazmur 56:4)

Apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah

firman Tuhan.. (Yeremia 29: 13-14a)

Pujilah Tuhan, hai jiwaku! Pujilah namaNya yang kudus, hai segenap batinku! (Mazmur 103 : 1)

Skripsi ini kupersembahkan untuk keluargaku tercinta My Beloved Parents

(6)

v

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

Yogyakarta, 15 Desember 2008

Penulis

(7)

vi

Tingkat Empati Pada Remaja

Hetty Yusmaida Barasa Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Persepsi terhadap penerimaan orang tua yang dimaksud adalah persepsi remaja terhadap penerimaan kedua orang tua. Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain, dimana terjadi proses pengambilalihan perspektif orang lain untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain, sehingga individu seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain tersebut. Penerimaan orang tua akan mempengaruhi bagaimana empati pada individu.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 80 individu usia remaja akhir yang diasuh atau bertempat tinggal dengan orang tuanya. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala empati. Data dari hasil uji coba diperoleh reliabilitas 0,970 pada skala persepsi terhadap penerimaan orang tua, serta reliabilitas 0,897 untuk skala empati. Hasil analisa data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linear. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment dari Pearson dengan taraf signifikansi 0,01 dan menghasilkan koefisien korelasi sebesar 0,332 dengan probabilitas 0,01 (one-tailed).

Berdasarkan analisis data tersebut, maka dapat disimpulkan ada hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin tinggi remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya, maka semakin tinggi tingkat empati pada remaja tersebut. Semakin rendah remaja mempersepsi penerimaan orang tua, maka semakin rendah pula tingkat empati yang dimilikinya.

(8)

vii

Hetty Yusmaida Barasa Sanata Dharma University

Yogyakarta 2009

The purpose of this research was to know about the correlation of Perceived Parental Acceptance and Empathy in adolescence. Perceived Parental Acceptance in this research was how adolescence perceived about their parent acceptance. Empathy was involves experiencing the same feelings as someone else. Parental acceptance would influence empathic development on a child.

The subjects of this research were 80 late adolescences who had living with their parents. The method that has been used in this research was scale method. Perceived parental acceptance measured by perceived parental acceptance scale and empathy measured by empathy scale. Those scales were made by researcher. The reliability coefficient of perceived parental acceptance scale was 0,970 and the reliability coefficient of empathy scale was 0,897. The result of data analysis showed that the data distribution is normal and had linear correlation. The data analysis used product moment Pearson with significant standard 0,01 and the resulted correlation coefficient between perceived parental acceptance and empathy 0, 332 with 0, 01 probability.

Depends from analysis, it can be concluded that there was positive correlation between perceived parental acceptance and empathy in adolescence. The higher perceived parental acceptance, the higher empathy in adolescence was. The lower perceived parental acceptance, the lower empathy in adolescence was.

(9)

viii

Nama : Hetty Yusmaida Barasa Nomor Mahasiswa : 049114047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:

“Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua Dengan Tingkat Empati Pada Remaja”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 20 Februari 2009

Yang menyatakan,

(10)

ix

karunia, kesetiaan, berkat-berkat, dan mukjisat yang selalu baru sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi “Hubungan Antara Persepsi Terhadap Penerimaan Orang Tua

Dengan Tingkat Empati Pada Remaja” dibuat sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini

tidak lepas dari keterlibatan berbagai pihak. Banyak bantuan yang diperoleh

selama penulisan skripsi ini, baik yang didapat secara langsung maupun secara

tidak langsung. Pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis

haturkan terima kasih kepada:

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yoygakarta.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M. Si. selaku dosen pembimbing

skripsi.

3. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma

Yogyakarta yang telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada

penulis.

4. Seluruh staf karyawan di Fakultas Psikologi.

5. Berbagai pihak yang telah membantu penyebaran skala penelitian: bu

Yetty, pak Sriyono, bu Kistiyanti, bu Rismiyati, pak Eka, bu Nuraini,

(11)

x

Frenky, Galih, Yoan, Nico, dan Aji. Juga Ronald dan Nana.

9. Teman-teman di Psikologi USD dan dimanapun berada yang tidak dapat

disebutin satu-satu. Juga teman-teman di kost Chintya yang selalu bersabar

dengan waktu tidur penulis yang aneh.

10. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun

material dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan

masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati

menerima setiap kritik dan masukan yang membangun. Penulis berharap karya ini

dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi

perkembangan ilmu pengetahuan.

Yogyakarta, 15 Desember 2008

(12)

xi

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan... iii

Halaman Persembahan... iv

Pernyataan Keaslian Karya ... v

Abstrak ...vi

Abstract...vii

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Lampiran ...xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Empati... 8

(13)

xii

B. Penerimaan Orang Tua... ... 14

1. Definisi... 14

2. Aspek Penerimaan Orang Tua.. ... 16

3. Pengaruh Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak ... 18

4. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua... 20

C. Remaja... 21

1. Definisi dan Batasan... 21

2. Perkembangan pada Remaja... 22

a. Perkembangan Fisik... 22

b. Perkembangan Sosial... 23

c. Perkembangan Kognitif... 24

D. Persepsi Remaja Terhadap Penerimaan Orang Tua... 26

E. Hubungan Penerimaan Orang Tua dengan Empati ... 28

F. Hipotesis... 31

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A. Jenis Penelitian ... 32

B. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian ... 32

C. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian ... 32

D. Subjek Penelitian ... 35

(14)

xiii

I. Teknik Analisis Data... 49

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN... 50

A. Pelaksanaan Penelitian ... 50

B. Deskripsi Penelitian ... 50

C. Analisis Hasil Penelitian ... 53

1. Uji Asumsi Penelitian... 53

a. Uji Normalitas... 53

b. Uji Linearitas... 54

2. Uji hipotesis ... 55

D. Pembahasan ... 56

BAB V PENUTUP... 60

A. Kesimpulan ... 60

B. Saran ...60

DAFTAR PUSTAKA ... xvii

(15)

xiv

Tabel 1 Perkembangan Atau Perubahan Empati Secara Alami

Pada Anak-Anak ... 12 Tabel 2 Blue Print Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua ... 38

Tabel 3 DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Persepsi terhadap Penerimaan

Orang Tua Menurut Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable... 38

Tabel 4 Blue Print Skala Empati ... 38

Tabel 5 DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Empati Menurut

Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable... 38

Tabel 6 Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Persepsi Terhadap

Penerimaan Orang Tua ... 43

Tabel 7 Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Persepsi Terhadap

Penerimaan Orang Tua ... 44

Tabel 8 Penomoran Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan

Orang Tua ...45

Tabel 9 Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Empati... 46

Tabel 10 Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Empati Setelah Uji Coba.... 47

Tabel 11 Penomoran Distribusi Item Skala Empati... 47

Tabel 12 Deskripsi Umur dan Jenis Kelamin Subyek... 51

Tabel 13 Deskripsi Tingkat Pendidikan, usia dan Jenis Pekerjaan Orang

(16)

xv

Tabel 17 Hasil Uji Linieritas ... 55

(17)

xvi

Lampiran 2 Relibilitas Skala 1 dan Skala 2 Uji coba

Lampiran 3 Skala Penelitian

(18)

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk sosial, individu dituntut untuk mampu mengatasi segala

permasalahan yang timbul dalam interaksinya dengan lingkungan sosial dan

menampilkan diri sesuai dengan aturan atau norma yang berlaku. Oleh karena

itu setiap individu sebaiknya menguasai keterampilan-keterampilan sosial dan

kemampuan penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Menurut

Combs & Slaby (dalam Cartledge & Milburn, 1995) keterampilan sosial

adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial

dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat

bersamaan dapat menguntungkan individu, atau bersifat saling

menguntungkan atau menguntungkan orang lain.

Namun belakangan ini media pemberitaan justru banyak menyoroti

kekerasan yang terjadi di masyarakat. Bahkan beberapa televisi membuat

program-program khusus yang menyiarkan berita-berita tentang aksi

kekerasan. Aksi tersebut dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki)

maupun kekerasan fisik (memukul, meninju, dll). Pada kalangan remaja aksi

yang biasa dikenal sebagai tawuran pelajar/masal merupakan hal yang sudah

terlalu sering kita saksikan, bahkan cenderung dianggap biasa. Misalnya

tawuran antara siswa SMU Negeri 1 dan SMU Negeri 2 Makassar yang

(19)

Hal ini sangatlah memprihatinkan bagi kita semua. Keterampilan sosial

menjadi semakin penting dan krusial manakala anak sudah menginjak masa

remaja. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja individu sudah memasuki

dunia pergaulan yang lebih luas dimana pengaruh teman-teman dan

lingkungan sosial menjadi faktor yang sangat menentukan baginya. Kegagalan

remaja dalam menguasai keterampilan-keterampilan sosial akan menyebabkan

dia sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya sehingga dapat

menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, dan cenderung

berperilaku yang kurang normatif.

Perkembangan keterampilan sosial sendiri dipengaruhi oleh kemampuan

sosial kognitifnya, yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada

dalam proses sosial. Salah satu kemampuan sosial kognitif yang cukup

penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective

taking) dan kemampuan berempati (Robinson & Garber, 1995).

Johnson dkk (1983) mengemukakan bahwa empati berupa kecenderungan

untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seorang yang

empati digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan

diri, ramah, mempunyai pengaruh, serta bersifat humanistik. Kemampuan

mengindera perasaan seseorang sebelum yang bersangkutan mengatakannya

merupakan intisari dari empati. Tanpa kemampuan berempati, seseorang

dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa atau

(20)

lain. Hal tersebut tentu saja akan sangat berdampak buruk pada hubungan

sosial individu.

Goleman (2000) mengemukakan prasyarat untuk dapat melakukan empati

adalah kesadaran diri dan mengenali sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi

dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat

berempati apabila mereka sudah terlebih dahulu mengenali diri sendiri

(Boyatzis. 1998). Dengan demikian, keluarga merupakan faktor penting yang

mempengaruhi dalam perkembangan sosial emosi individu. Hal ini

dikarenakan, keluarga merupakan lingkungan yang paling dekat, baik secara

fisik maupun sosial. Keluarga merupakan lingkungan yang pertama ditemui

oleh individu dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup

seorang manusia. Kepuasan psikis yang diperoleh anak dalam keluarga akan

sangat menentukan bagaimana ia akan bereaksi terhadap lingkungan.

Seyogyanya, di dalam keluarga seseorang dapat merasakan dirinya dicintai,

diinginkan, diterima dan dihargai, yang pada akhirnya membantu dirinya

untuk lebih dapat menghargai dirinya sendiri. Namun berlaku juga sebaliknya,

anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak harmonis atau broken

homedan anak tidak mendapatkan kepuasan psikis akan membuat anak sulit

mengembangkan keterampilan sosialnya.

Berdasarkan penjabaran diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa

perkembangan dasar sosial emosi individu ada di bawah arahan orang tua.

Menurut penelitian Henker (1999), segala sesuatu yang terjadi dalam

(21)

membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Kurangnya

perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi

penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman,

dan perhatian. Dengan demikian, orang tua juga berperanan dalam

pembentukan empati anak, terkait dengan pentingnya penerimaan diri dalam

perkembangan empati pada individu (Boyatzis, 1998).

Ironisnya beberapa tahun belakangan, di media cetak maupun elektronik

banyak ditemukan kasus-kasus penganiayaan dan perlakuan yang tidak

sewajarnya pada anak. Pada harian Surabaya Post (6 Februari 1997), dikutip

penelitian YKAI yang memperlihatkan bahwa hingga Oktober 1996 terdapat

562 kasus perlakuan salah terhadap anak yang terjadi karena adanya konsep

kepemilikan yang melihat anak sebagai milik orangtua, sehingga orang lain

tidak bisa mencampuri perlakuan orangtua terhadap anaknya.

Selain itu dalam bentuk non-fisik, di keluarga Indonesia didapati anak

mengalami kurang perhatian dan kasih sayang, orang tua yang memarahi

anak hampir setiap saat, mengkomersialkan anak sebagai pelacur, sebagai

pengamen jalanan, bahkan diusir keluar rumah, dan banyak kasus lainnya.

Belum lagi, tingkat perceraian yang terus meningkat di Indonesia juga

membuat banyak anak tidak lagi mendapatkan situasi tumbuh kembang yang

ideal. Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Depag Prof. Dr.

Nazaruddin Umar, MA mengatakan bahwa setiap tahun ada sekitar dua jutaan

(22)

perceraian bertambah dua kali lipat setiap tahunnya (http://balitbang.

depkominfo.go.id, pada Juni 2008).

Peristiwa-peristiwa di atas memperlihatkan bahwa keluarga yang

seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh kembang seorang individu

justru menjadi pembuat dampak buruk pada psikologis individu. Sebuah

penelitian yang dilakukan Henker (1999) menemukan bahwa, ibu yang

menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak

berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan

peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi

anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si

anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak. Orang tua

yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam

mendidik anak mereka, memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah

yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.

Penelitian tersebut juga menyimpulkan anak-anak akan mengartikan

perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua

mereka. Kebalikannya, para ibu yang bersikap hangat, menggunakan

penjelasan dan tidak mengandalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan

anak, akan menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka. Tampak

jelas bahwa anak-anak mulai membangun hubungan psikososial dengan

orang tuanya sejak lahir.

Tracy (1996) mengungkapkan bahwa penerimaan orang lain yang

(23)

pembentukan diri kita. Hal serupa juga berlaku dalam proses pembentukan

empati dalam diri individu. Hasil penelitian yang dilakukan Trommsdorff

(1991) memperlihatkan bahwa perkembangan emosional empati pada

individu sangat di dukung oleh keadaan keluarga yang mampu memberikan

kehangatan, pengasuhan, kasih sayang, dan dukungan serta penerimaan dari

orang tua.

Sebuah penelitian yang dilakukan pada subjek remaja oleh Henry dkk

(1996) menemukan bahwa remaja yang mempersepsikan orang tua mereka

mendukung dan menerima mereka memiliki tingkat empatik yang lebih tinggi

daripada remaja yang merasakan penolakan dari orang tua mereka. Selain itu,

penelitian yang dilakukan Straker dan Jacobson (1981) memperlihatkan

bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya memiliki empati

yang lebih rendah bila dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga

yang penuh cinta.

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti mencoba mengamati keterkaitan

persepsi remaja akan penerimaan orang tua terhadap dirinya dengan tingkat

(24)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah

dari penelitian ini adalah; apakah ada hubungan yang positif antara persepsi

terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan yang positif antara

persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja.

D. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis:

Menambah khasanah ilmu psikologi perkembangan dan sosial, khususnya

yang terkait dengan peranan penerimaan orang tua dalam perkembangan

empati pada individu usia remaja.

Manfaat Praktis:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah tambahan informasi

bagi orang tua atau siapapun yang mencoba memahami keterkaitan

(25)

A. Empati 1. Definisi

Merasakan empati (empathy) berarti bereaksi terhadap perasaan

orang lain dengan respon emosional yang sama dengan respon orang lain

tersebut (Damon; 1988 dalam Santrock, 2003). Empati merupakan respon

afektif dan kognitif yang kompleks pada disstres emosional orang lain

(Baron Byrne, 1997). Menurut Baron Byrne, empati temasuk kemampuan

untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan

mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang lain.

Menurut APA Dictionary of Psychology (2006: 327), empathy

diartikan:

“Understanding a person from his or her frame of reference rather tahan one’s own, so that one vicariously experiences the person’s feelings, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self, entail motivation to be of assistance, although it may turn into sympathy or personal disstres, which may result in action.”

Johnson dkk. (1983) mengemukakan bahwa empati adalah

kecenderungan untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain.

Coke dkk. (1978) mendefinisikan empati sebagai suatu keadaan emosional

yang dimiliki oleh seseorang yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh

orang lain. Kemampuan merasakan perasaan ini membuat seseorang yang

(26)

(Eisenberg dkk., 1989). Pendapat senada juga dikemukakan oleh Koestner

dan Franz (1990) yang mengartikan empati sebagai kemampuan untuk

menempatkan diri dalam perasaan atau pikiran orang lain tanpa harus

secara nyata terlibat dalam perasaan atau tanggapan orang tersebut.

Jadi dapat disimpulkan berdasarkan penjabaran definisi di atas,

empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon

emosional yang sama, dimana terjadi proses pengambilalihan perspektif

orang lain untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain,

sehingga individu seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang

lain tersebut.

2. Aspek Empati

Empati meliputi komponen afektif maupun kognitif (Duan, 1996).

Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang lain

rasakan (Darley, 1973).

a. Komponen afektif dari empati berupa perasaan yang seolah mengalami

sendiri apa yang orang lain rasakan. Menurut Hoffman (2000), ada

proses psikologis yang terlibat dalam empati yang afektif. Seseorang

akan merasakan perasaan yang kurang lebih sama dengan orang lain

walaupun ia tidak mengalami situasi yang dirasakan orang lain tersebut.

Empati afektif bukan sebuah penularan emosi semata. Empati afektif

mensyaratkan seseorang benar-benar mampu membedakan antara

(27)

menyadari bahwa emosi yang dirasakannya adalah akibat dari dirinya

yang mempersepsi emosi orang lain sehingga membuatnya

menempatkan diri dalam posisi orang lain tersebut. Misalnya, saat

melihat seseorang yang berwajah sedih kita merasakan sedih juga

karena kita mempersepsi emosi orang tersebut dan menempatkan diri

di posisinya dan kita benar-benar menyadari bahwa rasa sedih yang

kita rasakan bukanlah reaksi kita sendiri atas apa yang kita alami

sendiri.

b. Komponen kognitif dari empati merupakan kualitas unik manusia yang

berkembang setelah kita melewati masa bayi. Secara kognitif, orang

yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa

(Azar, 1999). Komponen kognitif meliputi; kemampuan melihat

keadaan psikologis dalam diri orang lain, atau apa yang disebut

perspective taking (Santrock, 2003). Mengambil perspektif (perspective taking) merupakan kemampuan untuk menempatkan diri

dalam posisi orang lain. Psikolog sosial telah mengidentifikasikan tiga

tipe yang berbeda dari pengambilan perspektif (Batson, Early, &

Salvarani, 1997; Stotland, 1969), yaitu:

(1).Individu dapat membayangkan bagaimana orang lain

mempersepsikan suatu kejadian dan bagaimana dia akan

merasakan sebagai akibatnya. Dalam hal ini individu tersebut

(28)

(2).Individu dapat membayangkan bagaimana rasanya jika dirinya

berada dalam situasi tersebut. Dalam hal ini individu mengambil

perspektif “membayangkan diri”

(3).Individu melibatkan fantasi, dimana dia merasa empati terhadap

karakter fiktif. Sebagai akibatnya, terdapat reaksi emosional

terhadap kegembiraan, kesedihan, dan ketakutan yang dialami oleh

seseorang atau tokoh lain dalam sebuah buku, film, atau program

televisi.

3. Proses Pembentukan Empati

Menurut Damon (dalam Santrock, 1990), empati mencakup

bagaimana individu bereaksi dalam emosi yang berbeda sebagai respon

menyamai perasaan orang lain. Berikut tabel perkembangan atau

(29)

Tabel 1

Perkembangan Atau Perubahan Empati Secara Alami Pada Anak-Anak

Usia Perkembangan Empati

Bayi Masih berupa empati secara global. Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan dan kebutuhan orang lain.

1-2 tahun Individu mulai mampu merasakan ketidaknyamanan orang lain dan mulai memperhatikannya walau belum dapat memahaminya dengan jelas. Namun individu pada usia ini belum dapat menerjemahkan perasaan tersebut dalam tingkah laku yang afektif.

Masa

kanak-kanak awal

Anak menjadi sadar akan adanya perspektif orang lain yang berbeda dan memahami bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar terhadap kesusahan orang lain.

Usia 10- 12 tahun Anak sudah membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki

kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan pemahamannya mengenai politik.

Antara usia satu dan dua tahun, anak-anak masuk ke tahapan

empati yang kedua, dimana mereka dapat melihat dengan jelas bahwa

kesusahan orang lain bukan kesusahan mereka sendiri. Contohnya, Sarah

menunjukkan kebingungan empatik ketika teman bermainnya, Dina,

tiba-tiba mulai menangis. Pada mulanya Sarah hampir ikut menangis, tetapi

kemudian ia berdiri, meletakkan mainan yang sedang dipegangnya lalu

mulai menghibur Dina. Usia enam tahun ditandai dengan dimulainya

tahapan empati kognitif, kemampuan memandang sesuatu dari sudut

pandang orang lain dan berbuat sesuatu dengan itu. Keterampilan

memahami sesuatu dengan pandangan orang lain ini memungkinkan

seorang anak mengetahui kapan bisa mendekati teman yang sedang sedih

(30)

memerlukan komunikasi emosi (misalnya menangis), karena dalam usia

ini seorang anak mengembangkan acuan atau model tentang bagaimana

perasaan seseorang yang sedang dalam situasi yang menyusahkan, entah

diperlihatkan atau tidak. Menjelang berakhirnya masa kanak-kanak, antara

usia sepuluh dan dua belas tahun, anak-anak mengembangkan empati

mereka tidak hanya kepada orang yang mereka kenal atau mereka lihat

secara langsung, namun juga termasuk kelompok orang yang belum

pernah mereka jumpai. Dalam tahapan ini, anak-anak sudah bisa

mengungkapkan kepeduliannya terhadap orang yang kurang beruntung di

banding mereka.

4. Faktor yang Mempengaruhi Empati

a. Perbedaan genetis. Penelitian Davis, Luce, dan Kraus (1994)

menemukan bahwa komponen afektif dalam empati didasari oleh

faktor genetik atau keturunan, namun dalam komponen kognitif tidak

didapati pengaruh genetik atau keturunan.

b. Pengalaman spesifik yang dialami individu. Psikolog Jane Strayer

(dikutip dalam Azar, 1999 menyatakan bahwa setiap individu

dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan

empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan

tersebut dihambat atau menjadi bagian penting dari diri. Dapat

dikatakan, lingkungan memiliki andil dalam menentukan apakah

(31)

dipertahankan atau terhambat perkembangannya. Penerimaan orang

tua berperanan dalam pengalaman spesifik yang dilami individu

selama masa hidupnya.

c. Perbedaan jenis kelamin. Wanita biasanya mengekspresikan tingkat

empati yang lebih tinggi daripada pria, hal ini disebabkan baik oleh

perbedaan genetis atau perbedaan pengalaman sosialisasi (Trobst,

Collins, & Embree, 1994).

d. Faktor kemiripan terhadap objek empati sendiri. Umumnya empati

yang paling besar ditujukan pada orang lain yang mirip dengan diri

sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik.

B. Penerimaan Orang Tua 1. Definisi

Penerimaan adalah sikap konsisten dan tidak berpura-pura terhadap

kehadiran seseorang. Hal ini ditandai dengan sikap yang tulus dan tanpa

harus merasa terpaksa terhadap kehadiran seseorang. Menerima terlihat

dalam sikap yang melihat orang lain sebagai manusia, sebagai individu

yang patut dihargai. Menerima berarti lebih menerima dan memandang

orang lain sebagai pribadi (person), bukan sebagai objek (Rakhmad, 1999).

Seseorang merasa diterima bila ia merasa kepentingannya

diperhatikan, serta merasa adanya hubungan yang erat antara dia dengan

orang lain (Darajat dalam Andriani, 2001). Tracy (1996) mengungkapkan

(32)

hargai dan kita cintai terhadap diri kita sangatlah berperan dalam proses

pembentukkan diri kita.

Orang tua adalah hubungan pria dan wanita yang saling mencintai

dan saling memiliki satu sama lain dalam suatu ikatan resmi secara hukum

maupun agama (pernikahan) untuk belajar hidup bersama, belajar

mengelola rumah tangga, serta mengasuh dan merawat anak-anak mereka

(Kartono, 1992). Orang tua merupakan komponen keluarga yang terdiri

dari ayah dan ibu, dimana baik ayah maupun ibu memiliki peranan

masing-masing dalam merawat dan mengasuh anak-anak mereka.

Menurut Haditono (dalam Lestari, 1995) penerimaan orang tua

terhadap anaknya adalah sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh

anak. Orang tua yang menerima anaknya mempunyai sikap yang dapat

memberi kebebasan dan keamanan psikologis serta mendorong rasa

percaya diri anak, sehingga anak tidak akan merasa ragu-ragu untuk

menyatakan pendapatnya, rasa ingin tahunya, menghargai kemampuan

dirinya dan berani mengambil resiko (Lestari, 1995). Penerimaan orang

tua adalah suatu sikap yang dibentuk melalui perhatian yang kuat dan cinta

kasih terhadap anak serta sikap yang penuh kebahagiaan dalam mengasuh

anak.

Menurut Hurlock (1993) orang tua yang menerima anaknya tidak

hanya menginginkan dan merencanakan satu bagian masa depan anaknya

tetapi juga membiarkan anaknya menemui kesulitan di dalam usaha dan

(33)

dalam rumah dan mengembangkan hubungan dengan anaknya dengan

penuh kehangatan. Orang tua yang menerima anaknya biasanya

memperhatikan perkembangan kemampuan dan minat anaknya.

Penerimaan merupakan suatu sikap yang dibentuk melalui cinta kasih,

perhatian yang kuat, dukungan yang besar serta rasa aman dan nyaman

serta kebahagiaan dalam mengasuh anak. Hal ini ditandai dengan sikap

orang tua yang mengungkapkan perasaannya dengan tulus dan tidak

berpura-pura. Sikap penerimaan orang tua tersebut berpengaruh positif

terhadap perkembangan anak.

Jadi dapat disimpulkan berdasarkan definisi-definisi di atas bahwa

penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah suatu sikap penuh

kebahagiaan dalam mengasuh anak. Orang tua memberi kebebasan bagi

anak untuk menjadi dirinya sendiri, memberikan perhatian dan cinta kasih

yang kuat, memperhatikan perkembangan anak serta memberikan

dukungan dan rasa aman bagi anak untuk dapat berkembang secara positif.

2. Aspek Penerimaan Orang Tua

Sejak tahun 1890-an, penelitian tentang penerimaan dan penolakan

orang tua sudah banyak dilakukan (Stogdill, 1937). Salah satu tokoh yang

juga melakukan penelitian mengenai penerimaan dan penolakan orang tua

adalah Ronald P. Rohner yang mengemukakan Parental

acceptance-rejection theory (PARTheory). Menurut Rohner, PARTheory dapat

(34)

masa hidup seseorang, juga dalam memprediksi dan menjelaskan

penyebab dan konsekuensi hal-hal yang berkaitan dengan penerimaan dan

penolakan pada hubungan interpersonal, khususnya yang terjadi dalam

relasi orang tua - anak (Rohner, 1986, 2005; Rohner and Rohner, 1980).

Teori ini memiliki beberapa dimensi dan sub teori. Teori

penerimaan dan penolakan orang tua (Parental Acceptance-Rejection

Theory / PARTheory) pada dimensi kehangatan orang tua (Warmth

Dimension of Parenting) memilah penerimaan orang tua dalam dua aspek

(Rohner, 2005), seperti yang terlihat pada diagram dibawah ini.

Gambar 1.Diagram AspekWarmth Dimension Of Parenting

Pada diagram di atas, Warmth Dimension of Parenting memilah

penerimaan orang tua dalam aspek fisik dan aspek verbal.

a. Aspek Fisik dapat berupa perilaku fisik seperti pelukan, senyuman,

(35)

b. Aspek Verbal terlihat dalam penggunaan kata seperti pujian,

mengatakan hal-hal yang baik tentang anak, ungkapan rasa bangga

terhadap anak, mendongeng, dsb.

Wujud nyata dari kedua aspek tersebut tergantung pada budaya dan

konteksnya. Apa yang dimaksudkan oleh peneliti bukanlah budaya dalam

arti regional ataupun suku bangsa, melainkan budaya yang dipelajari

individu sendiri sepanjang rentang hidupnya. Para antropologi yang

meneliti mengenai pengasuhan anak, menemukan bahwa pengasuhan yang

secara khas dilakukan orang tua pada anaknya akan dapat diduga berasal

dari pengalaman-pengalaman sejak masa anak-anak pada sebagian

masyarakat dimana orang tua tersebut dibesarkan (Keontjaraningrat, 2000).

Oleh karena itu, dalam penerimaan itu sendiri akan didapati wujud

ekspresi yang lugas dimana orang tua dapat dengan mudah

memperlihatkan rasa sayangnya pada anak, namun ada pula orang tua

yang cenderung sungkan dalam mengekspresikan rasa sayangnya terhadap

anak. Intinya, baik sikap fisik maupun verbal dari orang tua

memperlihatkan perasaan sayang, mendukung, merawat, mencintai dan

mengasihi, yang mengekspresikan perasaan penerimaan orang tua

terhadap anaknya.

3. Pengaruh Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak

Menurut Bowly: 1989 (dalam Santrock, 2003), anak yang tidak

(36)

pertama kehidupannya, perkembangannya tidak akan optimal. Pandangan

bahwa perkembangan berkesinambungan (continuity view) menekankan pada peran yang dimainkan dalam hubungan awal orang tua- anak

terhadap pembentukan dasar untuk berhubungan dengan orang-orang

sepanjang rentang hidup (Santrock, 2003). Ahli psikoanalisa mengatakan

bahwa kepribadian individu yang hangat dan bersahabat diperoleh dari

hubungan yang berlangsung lama dengan orang tua, terutama pengalaman

masa kecil mereka (Santrock, 2003). Hubungan awal orang tua anak akan

dibawa terus ke titik lanjut perkembangan, dan mempengaruhi semua

hubungan selanjutnya. Dalam bentuknya yang ekstrim, pandangan ini

menyatakan bahwa komponen dasar dari hubungan sosial diletakkan dan

dibentuk oleh rasa aman atau rasa tidak aman mengenai hubungan orang

tua anak (Santrock, 2003).

Menurut Roger (dalam Schultz, 1998) jika penerimaan orang tua

terhadap anak terjadi, maka anak tidak akan mengembangkan syarat-syarat

penghargaan, mereka akan merasa diri berharga dalam semua syarat, anak

tidak akan bertingkah defensif, anak mempunyai keharmonisan antara diri

dan persepsinya terhadap kenyataan. Hurlock (1993) mengemukakan

bahwa semakin mereka merasa diterima maka semakin besar pula kasih

sayang yang akan mereka peroleh.

Gordon (1995) melihat penerimaan orang tua terhadap anaknya

mempunyai dampak bagi perkembangan pribadi seorang anak. Bila ada

(37)

perubahan-perubahan yang membangun, belajar memecahkan masalah,

secara psikologis semakin sehat, semakin produktif dan kreatif serta

mampu mengaktualisasikan potensinya sepenuhnya.

Berdasarkan penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

penerimaan orang tua memiliki pengaruh yang cukup besar pada

kepribadian dan kemampuan sosial seorang anak. Melalui penerimaan

sepenuhnya anak akan merasa diterima sebagaimana adanya kemudian

merasa bebas dan mulai memikirkan perubahan apa yang akan

diinginkannya, bagaimana akan mengembangkan diri, bagaimana ia dapat

menjadi berbeda dan bagaimana ia dapat menjadi lebih baik.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Orang Tua

Ronald P. Rohner (1995) dalam teorinya Parental

acceptance-rejection theory (PARTheory) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan orang tua terhadap anak, yaitu:

a. Karakteristik personal anak. Temperamen dan tingkah laku anak

mempengaruhi kualitas perlakuan dan penerimaan orang tua terhadap

diri anak. Seorang anak dalam keluarga bisa saja lebih diterima orang

tuanya bila dibandingkan saudaranya yang lain.

b. Lingkungan alami tempat keluarga berada. Sistem sosial yang berlaku

di masyarakat memiliki pengaruh terhadap penerimaan orang tua

(38)

orang tua, misalnya budaya yang kaku akan membuat orang tua

bersikap dingin atau menjaga jarak dengan anaknya.

c. Faktor spiritual. Umumnya orang tua yang religius dan memiliki nilai

agama yang kuat akan lebih menyayangi anaknya dan memberikan

rasa aman serta penerimaan yang lebih besar bila dibandingkan orang

tua yang kurang religius.

C. Remaja

1. Definisi dan Batasan

Istilah remaja diambil dari bahasa Inggris yaitu adolesence, yang

berasal dari bahasa latin adorescere, yang berarti tumbuh atau tumbuh

menjadi dewasa. Santrock (2003) mengartikan remaja sebagai masa

perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup

perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai

kira-kira usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun.

Akan tetapi, semakin banyak ahli perkembangan yang menggambarkan

remaja sebagai masa remaja awal dan akhir (Santrock, 2003). Masa remaja

awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah

pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa remaja

(39)

2. Perkembangan Pada Remaja

Tugas-tugas perkembangan dalam kehidupan pada masa remaja

menurut Havinghurst (dalam Hurlock, 1980) adalah mencapai hubungan

baru dan hubungan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai

peran sosial menurut jenis kelaminnya, menerima keadaaan fisiknya dan

menggunakannya secara efektif, mengharapkan dan mencapai perilaku

sosial yang bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional dari

orang tua dan orang-orang dewasa lainnya, mempersiapkan karier

ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta memperolah

perangkat sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku. Berikut

penjabaran perkembangan remaja dalam aspek fisik, sosial dan kognitif:

a. Perkembangan Fisik

Pada perkembangan fisiknya, remaja mengalami apa yang disebut

pubertas (Santrock, 2003). Pubertas adalah perubahan cepat pada

kematangan fisik yang meliputi perubahan tubuh dan hormonal yang

terutama terjadi selama masa remaja awal. Perubahan berlangsung

sangat cepat, meliputi ukuran tubuh baik komposisi maupun

proporsinya. Masa remaja juga ditandai dengan mulai berfungsinya

alat reproduksi yang ditandai menstruasi pada wanita dan mimpi basah

pada laki-laki, serta tumbuhnya tanda-tanda seksual sekunder.

Pendapat tersebut seiring dengan pendapat Hurlock (1993), yang

mengemukakan tanda-tanda kelamin sekunder penting pada laki-laki

(40)

kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara

membesar dan lain-lain. Sedangkan pada remaja putri: pinggul melebar,

payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami

menstruasi, dan lain-lain. Hurlock (1995) mengatakan bahwa ciri-ciri

seksual sekunder dan perkembangan alat-alat reproduksi berada pada

tahap matang pada saat akhir masa remaja.

b. Perkembangan Sosial

Pada aspek sosial, hubungan dengan orang lain merupakan hal

yang cukup penting dalam perkembangan selama masa remaja.

Sepanjang masa kehidupan manusia, tahap remaja merupakan masa

yang paling banyak mengalami perubahan dalam segi sosial. Pada

masa kanak-kanak individu masih bergantung pada orangtuanya,

sementara pada masa remaja mereka berusaha melepaskan dirinya,

mencapai otonomi diri dan mendapat pengakuan serta ingin bersikap

mandiri. Hal ini ditegaskan oleh Havinghurst (dalam Hurlock, 1980),

yang menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja

adalah mencapai hubungan baru dan hubungan yang lebih matang

dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita. Selain itu remaja juga

dituntut untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial.

Ciri khas perkembangan sosial remaja adalah kuatnya pengaruh

kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, serta

(41)

group) menjadi lebih penting. Pada kelompok teman sebaya, remaja

untuk pertama kalinya menerapkan prinsip-prinsip hidup bersama dan

bekerjasama.

c. Perkembangan Kognitif

Teori perkembangan kognitif Piaget menyebutkan bahwa

kemampuan kognitif remaja berada pada tahap operasional formal

(formal operation stage). Menurut Piaget, tahap ini muncul saat

individu berusia sekitar 11 sampai 15 tahun (Santrock, 2003).

Kemudian pada tahun 1972, Piaget menyimpulkan bahwa pemikiran

operasional formal baru kan tercapai sepenuhnya di akhir masa remaja,

sekitar usia 15 sampai 20 tahun (Santrock, 2003).

Dalam pandangan Piaget, remaja membangun dunia kognitifnya

sendiri; informasi tidak hanya tercurah ke dalam benak mereka dari

lingkungan (Santrock, 2003). Untuk memahami dunianya, remaja

mengorganisasikan pengalaman mereka. Remaja memisahkan gagasan

yang penting dari yang kurang penting, mengaitkan gagasan yang satu

dengan yang lainnya. Remaja bukan hanya mengorganisasikan

pengamatan dan pengalaman mereka, tapi juga menyesuaikan cara

pikir mereka untuk menyertakan gagasan baru karena informasi

tambahan membuat pemahaman lebih dalam.

Seiring dengan sifat abstrak dari pemikiran operasional formal

(42)

kemungkinan-kemungkinan. Remaja mulai memikirkan secara lebih

luas mengenai karakteristik ideal, kualitas yang ingin dimilikinya

sendiri atau yang diinginkan ada pada orang lain (Santrock, 2003).

Pemikiran semacam itu sering kali membuat remaja membandingkan

dirinya dengan orang lain, berkaitan dengan patokan ideal tersebut.

Satu hal yag cukup penting perihal perkembangan remaja, secara

kognitif remaja sudah bisa melakukan pengambilalihan perspektif

(perspective taking) orang lain.Perspective taking adalah kemampuan

untuk mempergunakan cara pandang orang lain dan memahami

pemikiran serta perasaan orang tersebut (Santrock, 2003). Robert

Selman; 1980 (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa

pengambilalihan perspektif merupakan suatu rangkaian sejak masa

usia 3 tahun sampai masa remaja. Remaja yang terampil dalam

pengambilalihan cara pandang akan lebih memahami kebutuhan

teman-temannya sehingga mereka cenderung dapat berkomunikasi

secara lebih efektif (Hudson, Forman & Brion-Meisels; 1982 dalam

Santrock, 2003). Kemampuan remaja dalam perspective taking juga

membantunya untuk bisa berempati terhadap orang lain.

Menurut Steinberg, pada masa awal remaja merupakan suatu

periode ketika konflik dengan orang tua meningkat melampaui masa

anak-anak (Santrock, 2002). Peningkatan ini dapat disebabkan oleh sejumlah

faktor yang telah dibahas diatas; perubahan biologis pubertas, perubahan

(43)

perubahan sosial yang berfokus pada kemandirian dan identitas, perubahan

kebijaksanaan pada orang tua, dan harapan-harapan yang dilanggar oleh

pihak orang tua dan remaja. Konflik dengan orang tua seringkali

meningkat selama masa awal remaja, agak stabil selama tahun-tahun

sekolah menengah atas, dan kemudian berkurang ketika remaja mencapai

usia 17 hingga 20 tahun.

D. Persepsi Remaja Terhadap Penerimaan Orang Tua

Untuk dapat bersikap dan melakukan suatu tindakan tertentu, remaja harus

memiliki kesan khusus tentang objek yang dihadapinya. Kesan yang

didapatkannya tersebut akhirnya akan dapat mendorong seseorang untuk

memberikan penilaian tertentu pula. Proses psikologis ini dikenal dengan

istilah persepsi.

Bagaimana remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya

sangat tergantung pada bagaimana remaja tersebut melihat. Orang tua dalam

hal ini terdiri dari ayah maupun ibu sebagai satu kesatuan. Di dalam sebuah

keluarga, ayah dan ibu masing-masing memiliki perannya sendiri-sendiri,

namun peran itu sendiri tidak mutlak harus dilakukan oleh ayah atau ibu saja.

Di masa modern saat ini dimana emansipasi wanita dan peran gender yang

sudah semakin luas, ada kerjasama antara ayah dan ibu dalam menjalankan

perannya sebagai orang tua di dalam keluarga.

Pada proses pembentukan persepsi itu sendiri terdapat banyak faktor yang

(44)

untuk melihat dunia disekitarnya dengan cara yang khusus dan berbeda. Hal

tersebut juga berlaku pada persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua.

Persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua dilakukan remaja dengan

memilih, mengatur dan menafsirkan kedalam gambaran yang berarti dan

masuk akal menurutnya tentang penerimaan itu sendiri. Saat mempersepsi,

setiap individu memiliki keunikannya sendiri. Dua individu mungkin

menerima stimuli yang sama dalam kondisi nyata yang sama, tetapi

bagaimana setiap orang mengenal, memilih dan mengatur dan menafsirkannya

merupakan proses yang sangat individual berdasarkan kebutuhan, nilai-nilai,

dan harapan setiap orang itu sendiri (Schifman dan Kanuk, 2004).

Persepsi merupakan proses ketika orang menginterpretasi sensasi, dan

memberikan urutan dan makna kepada sensasi tersebut. Di samping itu

persepsi merupakan proses individu mengatur, menginterpretasi informasi

sensoris untuk memberikan makna kepada lingkungannya. Meskipun begitu,

objek yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda secara substansial dengan

kenyataan yang objektif.

Realitas bagi seseorang semata-mata merupakan persepsi mereka, tidak

berdasarkan realitas yang sebenarnya (Schifman dan Kanuk, 2004). Maka,

penerimaan orang tua yang ditinjau dalam penelitian ini adalah penerimaan

orang tua yang sudah dipersepsi oleh remaja, jadi bukan semata-mata

penerimaan orang tua secara realnya. Apa yang disoroti dalam penelitian ini

adalah persepsi remaja sendiri yang dipandang sebagai pengalaman subjektif

(45)

tua tidak menentukan bagaimana persepsi remaja sendiri. Dengan kata lain,

remaja mungkin saja dapat mengalami hal yang sama, namun

mempersepsikannya secara berbeda-beda.

E. Hubungan Penerimaan Orang Tua Dengan Empati

Psikiater Rober Coles (dalam Azar, 1999) menekankan pentingnya orang

tua dalam membentuk perilaku prososial anak. Intelegensi moral tidak

didasarkan pada ingatan akan aturan atau pembelajaran definisi abstrak,

melainkan anak-anak belajar dengan mengobservasi apa yang dilakukan dan

dikatakan orang tua mereka dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa model dan

pengalaman yang tepat, anak-anak dapat dengan mudah bertumbuh menjadi

remaja yang egois dan kasar dan kemudian menjadi orang dewasa yang sama

tidak menyenangkannya dengan model pembelajarannya.

Menanamkan rasa kepedulian dan empati kepada anak-anak adalah cara

yang baik untuk membantu anak memiliki kemampuan sosial yang memadai.

Merasakan empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon

emosional yang sama dengan respon orang lain tersebut (Damon, 1988).

Secara afektif orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan

dan mengapa. Jadi, empati berarti saya merasakan penderitaanmu dan saya

juga mengerti penderitaanmu. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan

keadaan emosional orang lain, merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan

(46)

maka dia memiliki modal yang cukup untuk dapat mengembangkan

kemampuan sosialnya dalam masyarakat.

Goleman (1995) mengemukakan prasyarat untuk dapat melakukan empati

adalah kesadaran diri, mengenali sinyal-sinyal perasaan yang tersembunyi

dalam reaksi-reaksi tubuh sendiri. Dengan kata lain, seseorang hanya dapat

berempati apabila mereka sudah terlebih dahulu mengenali diri sendiri

(Boyatzis, 1998). Pengenalan diri sendiri ini dapat membantu individu dalam

berupaya menempatkan diri padainternal frame of referenceorang lain, tanpa

kehilangan objektivitasnya. Untuk mencapai pengenalan diri sendiri, seorang

anak membutuhkan kasih sayang, perhatian dan rasa aman untuk berlindung

dari orang tuanya. Anak membutuhkan penerimaan dari orang tuanya sebagai

dasar awal dimana mereka mulai belajar menerima diri sendiri dam mencoba

mengenali dirnya. Psikolog Jane Strayer (dalam Azar, 1999) mengemukakan

bahwa pengalaman spesifik, dalam hal ini juga penerimaan orang tua yang

dirasakan remaja menentukan apakah potensi bawaan empati berkembang atau

terhambat perkembangannya.

Menurut penelitian Henker (1999), segala sesuatu yang terjadi dalam

hubungan orangtua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua ) akan

membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Kurangnya

perhatian orang tua yang konsisten, stabil dan tulus, seringkali menjadi

penyebab kurang terpenuhinya kebutuhan anak akan kasih sayang, rasa aman,

dan perhatian. Menurut Roger (dalam Schultz, 1998) jika penerimaan orang

(47)

penghargaan, mereka akan merasa diri berharga dalam semua syarat, anak

tidak akan bertingkah defensif, anak mempunyai kaharmonisan antara diri dan

persepsinya terhadap kenyataan. Maka anak dapat dengan aman mulai

mencoba mengenali dirinya, sebagai dasar untuk dapat memahami orang lain.

Dengan demikian orang tua juga berperanan dalam pembentukan empati anak,

terkait dengan pentingnya penerimaan diri dalam perkembangan empati pada

individu (Boyatzis, 1998).

Hasil penelitian yang dilakukan Trommsdorff (1991) memperlihatkan

bahwa perkembangan emosional empati pada individu sangat didukung oleh

keadaan keluarga yang mampu memberi kehangatan, pengasuhan, kasih

sayang, dan dukungan serta penerimaan dari orang tua. Bahkan sebuah

penelitian yang dilakukan pada subjek remaja oleh Henry dkk. (1996),

menemukan bahwa remaja yang mempersepsikan orang tua mereka

mendukung dan menerima mereka memiliki tingkat empatik yang lebih tinggi

daripada remaja yang merasakan penolakan dari orang tua mereka. Selain itu,

penelitian yang dilakukan Straker dan Jacobson (1981) memperlihatkan

bahwa anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya memiliki empati

yang lebih rendah bila dibandingkan anak yang dibesarkan dalam keluarga

yang penuh cinta. Uraian singkat hubungan antara penerimaan orang tua

(48)

Gambar 2. Skema Hubungan Penerimaan Orang Tua dengan Empati

Dari uraian di atas diperoleh asumsi sementara bahwa terdapat hubungan

antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada

remaja.

F. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori sebagai kajian teoritis terhadap permasalahan

yang telah dikemukakan, maka dapat disusun suatu hipotesis terhadap

permasalahan yang telah dikemukakan. Maka hipotesis untuk penelitian ini

adalah:ada hubungan positif antara persepsi terhadap penerimaan orang tua dengan tingkat empati pada remaja. Semakin tinggi remaja mempersepsi penerimaan orang tua terhadap dirinya, maka semakin tinggi

tingkat empati pada remaja tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin

rendah remaja mempersepsi penerimaan orang tua, maka semakin rendah pula

tingkat empati yang dimilikinya.

Penerimaan

Orang Tua

Menerima diri sendiri dan mengenali diri

sendiri

Memahami

orang lain

(49)

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasional

yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel berkaitan

dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain (Azwar, 2001). Penelitian ini

bertujuan melihat hubungan antara persepsi terhadap penerimaan orang tua

pada seseorang dengan tingkat empati yang dimilikinya.

B. Identifikasi Variabel-Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada dua, yaitu persepsi terhadap penerimaan

orang tua sebagai variabel bebas (x) dan tingkat empati individu sebagai

variabel tergantung/ terikat (y).

C. Definisi Operasional Variabel-Variabel Penelitian

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal

yang didefinisikan dan dapat diamati. Penyusunan definisi ini penting karena

digunakan untuk merujuk data yang akan digunakan dalam penelitian

(Suryabrata, 2000).

1. Persepsi terhadap penerimaan orang tua

Persepsi terhadap penerimaan orang tua adalah bagaimana individu

(50)

terhadap penerimaan orang tua dilakukan individu dengan memilih,

mengatur dan menafsirkan kedalam gambaran yang berarti dan masuk

akal tentang penerimaan menurut individu sendiri. Pada penelitian ini apa

yang hendak diukur adalah persepsi remaja terhadap penerimaan orang tua

secara umum yang terdiri dari ayah maupun ibu sebagai satu kesatuan.

Penerimaan orang tua terhadap anaknya adalah suatu sikap penuh

kebahagiaan dalam mengasuh anak. Orang tua memberi kebebasan bagi

anak untuk menjadi dirinya sendiri, memberikan perhatian dan cinta kasih

yang kuat, memperhatikan perkembangan anak serta memberikan

dukungan dan rasa aman bagi anak untuk dapat berkembang secara positif.

Persepsi terhadap penerimaan orang tua diukur menggunakan skala

yang disusun berdasarkan persepsi terhadap aspek-aspek penerimaan

orang tua yang meliputi:

a. Aspek Fisik, dapat berupa perilaku fisik seperti pelukan, senyuman,

ciuman, belaian, penghiburan, dsb.

b. Aspek Verbal, terlihat dalam penggunaan kata seperti pujian,

mengatakan hal-hal yang baik tentang anak, ungkapan rasa bangga

terhadap anak, mendongeng, dsb

Skala ini digunakan untuk mengukur positif atau negatifnya

persepsi subjek penelitian terhadap penerimaan orang tua. Semakin tinggi

skor total yang diperoleh maka semakin positif persepsi subjek penelitian

(51)

diperoleh, maka semakin negatif pula persepsi subjek penelitian terhadap

penerimaan orang tuanya.

2. Empati

Empati berarti bereaksi terhadap perasaan orang lain dengan respon

emosional yang sama, ada proses pengambilalihan perspektif orang lain

untuk memahami kondisi dan keadaan pikiran orang lain, serta individu

seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain tersebut.

Empati diukur menggunakan skala yang disusun berdasarkan

aspek-aspek empati yaitu:

a. Aspek afektif yakni berupa perasaan yang seolah mengalami sendiri

apa yang orang lain rasakan walaupun ia tidak mengalami situasi yang

dirasakan orang lain tersebut.

b. Aspek kognitif yakni memahami apa yang orang lain rasakan dan

mengapa.

Semakin tinggi skor total yang diperoleh dalam skala empati

menunjukkan semakin tinggi tingkat empati yang dimiliki subjek

penelitian. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah skor total dalam

skala empati, maka dapat diartikan semakin rendahnya tingkat empati

(52)

D. Subjek Penelitian

Pemilihan subjek ke dalam sampel dilakukan dengan cara purposive

sampling, yakni memilih sekelompok subjek yang didasarkan atas ciri-ciri atau sifat tertentu yang dipandang memiliki sangkut paut yang erat dengan

ciri-ciri sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Adapun kriteria

subjek dalam penelitian ini:

1. Individu pada usia remaja akhir, yakni pada usia 16 tahun atau 17 tahun

sampai 18 tahun. Keterampilan sosial dan kemampuan berempati menjadi

semakin penting dan krusial manakala individu sudah menginjak masa

remaja.

2. Diasuh atau bertempat tinggal dengan orang tuanya. Baik dengan

keduanya maupun dengan salah satu dari orang tuanya.

E. Metode Dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode angket

atau kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian. Hal ini berkaitan

dengan asumsi dasar penggunaan angket, yaitu bahwa responden merupakan

orang yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri (Azwar, 2001). Pada

penelitian ini, peneliti menggunakan teknik random sampling dalam

pengumpulan data. Peneliti dilakukan dengan menyebarkan kuesioner secara

acak dalam wilayah tertentu dengan batasan subjek sesuai dengan kategori

yang dijabarkan di atas. Alasan penggunaan teknik ini adalah agar hasil yang

(53)

Alat penelitian berupa penggunaan dua skala, yakni skala persepsi

terhadap penerimaan orang tua dan skala empati. Kedua skala disusun sendiri

oleh peneliti berdasarkan teori yang telah dijabarkan sebelumnya.

Kedua skala yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan angket

dengan skala Likert, yang pengumpulan datanya dengan menggunakan metode

rating yang dijumlahkan (Method of Summated Ratings) yang terdiri dari

empat kategori pilihan jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak

Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Pengukuran alat ini dikelompokkan

menjadi 2 kategori, yaitu:

1. Aitem-aitemfavorable, dengan pilihan jawaban dan skor yaitu:

(a) Sangat setuju (SS) : skor 4

(b) Setuju (S) : skor 3

(c) Tidak Setuju (TS) : skor 2

(d) Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 1

2. Aitem-aitem unfavorable, terdiri dari pilihan jawaban dan skor sebagai

berikut:

(a) Sangat setuju (SS) : skor 1

(b) Setuju (S) : skor 2

(c) Tidak Setuju (TS) : skor 3

(d) Sangat Tidak Setuju (STS) : skor 4

Pada kedua skala tidak diberikan alternatif jawaban netral. Menurut Hadi

(54)

1. Undecided mempunyai arti ganda, bisa diartikan sebagai belum

memutuskan atau memberi jawaban (menurut konsep aslinya), bisa juga

diartikan netral, setuju tidak, tidak setuju pun tidak, atau bahkan ragu-ragu.

Kategori jawaban yang ganda arti (multi interpretable) ini tentu saja tidak

diharapkan dalam suatu instrumen.

2. Jawaban tengah menimbulkan kecenderungan menjawab ketengah (central

tendency effect) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas arah

kecenderungan jawabannya, kearah setuju ataukah tidak setuju.

3. Kategorisasi jawaban SS-S-TS-STS adalah terutama untuk melihat

kecenderungan pendapat responden, kearah setuju atau kearah tidak setuju.

Jawaban tengah akan menghilangkan data penelitian sehingga mengurangi

banyaknya informasi yang dapat disaring dari responden.

Banyaknya butir pernyataan dalam skala berjumlah 60 butir di tiap

skalanya. Namun pada skala persepsi terhadap penerimaan orang tua, subjek

diminta memberikan respon terhadap ayah dan ibu secara terpisah dengan

penomoran a untuk respon terhadap ayah dan b untuk respon terhadap ibu.

Dengan demikian nantinya didapati 120 nomor skala yang penjabarannya 60

nomor pada respon ayah dan 60 nomor pada respon ibu. Berikut tabel blue

print serta tabel distribusi aitem pra uji menurut aspek dan sifatfavorable dan

(55)

Tabel 2

Blue Print Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1. Fisik 15aitem (25 %) 15aitem(25 %) 30aitem(50 %) 2. Verbal 15aitem(25 %) 15aitem(25 %) 30aitem(50 %) Total 30aitem(50 %) 30aitem(50 %) 60aitem(100 %)

Tabel 3

DistribusiAitem Pra Uji Coba Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang Tua Menurut Aspek dan SifatFavorable / Unfavorable

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

1. Fisik

Total 30aitem 30aitem 60aitem

(a dan b)

Tabel 4

Blue Print Skala Empati

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah 1. Afektif 15aitem (25 %) 15aitem (25 %) 30aitem(50 %) 2. Kognitif 15aitem (25 %) 15aitem (25 %) 30aitem(50 %) Total 30aitem(50 %) 30aitem(50 %) 60aitem(100 %)

Tabel 5

Distribusi Aitem Pra Uji Coba Skala Empati Menurut Aspek dan Sifat Favorable / Unfavorable

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

1. Afektif

(56)

F. Validitas Dan Reliabilitas Alat Pengumpul Data

Data hasil penelitian harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain

aspek validitas dan reliabilitas (Azwar,2001).

1. Validitas

Validitas atau kesahihan adalah seberapa cermat, tepat,dan teliti

alat ukur mampu melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2001). Pengukuran

terhadap validitas dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kuesioner

mampu mengukur hal yang ingin diukur. Untuk dapat menjaga validitas

dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan pendekatan validitas isi

(content validity). Penetapan validitas isi dilakukan dengan cara

profesional judgement atau analisis rasional yaitu validitas isi dikoreksi

oleh orang yang sudah ahli yaitu dosen pembimbing (Azwar, 2001).

2. Reliabilitas

Reliabilitas merupakan tingkat kepercayaan terhadap hasil suatu

pengukuran (Azwar, 2001). Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauh

mana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif konsisten jika

dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama jika aspek yang akan

diukur dalam diri subjek juga masih tetap sama. Suatu angket yang

reliabel akan menunjukkan ketepatan, ketelitian, dan keajegan hasil dalam

satu atau berbagai pengukuran (Azwar, 2001). Dalam penelitian ini,

reliabilitas akan diukur dengan menggunakan teknik Alpa Cronbach dari

(57)

G. Pelaksanaan Uji Coba Alat Pengumpulan Data

Uji coba alat ukur dilaksanakan pada tanggal 7 November 2008 hingga 13

November 2008. Alat ukur disebarkan kepada 60 orang remaja yang

berdomisili di Yogyakarta. Penyebaran dilakukan dengan mendatangi subjek

di SMKN 1 Depok, menitipkan kuesioner pada siswa SMU, dan mendatangi

kos subjek yang memenuhi kriteria sample. Total sample sebanyak 60 orang

yang terdiri dari 20 laki-laki (5 orang berusia 16 tahun, 10 orang berusia 17

tahun, serta 5 orang berusia 18 tahun) dan 40 perempuan (22 orang berusia 16

tahun, 14 orang berusia 17 tahun, serta 4 orang berusia 18 tahun).

Pengambilan sampel tersebut dipilih berdasarkan ciri-ciri yang sudah

ditetapkan yaitu subyek pada usia remaja akhir, yakni pada usia 16 tahun atau

17 tahun sampai 18 tahun, serta diasuh atau bertempat tinggal dengan orang

tuanya. Pada masing-masing subyek tersebut diberikan 2 jenis skala yaitu

skala persepsi terhadap penerimaan orang tua dan skala empati.

H. Hasil Uji Coba Alat Pengumpulan Data

Setiap usaha pengukuran senantiasa diarahkan untuk mencapai tingkat

obyektifitas hasil yang tinggi. Salah satu upaya penting untuk menempuh hal

itu adalah melalui pemilihan atau penyusunan alat ukur yang memiliki daya

diskriminasi item, derajat validitas dan reliabilitas yang adekuat. Problem daya

diskriminasi item, validitas dan reliabilitas alat ukur ini semakin serius

bilamana pengukuran tersebut dikenakan kepada gejala-gejala sosial atau

(58)

1. Validitas Skala

Uji validitas yang dilakukan pada penelitian ini adalah validitas isi

sebagai pengukur validitas skala. Validitas isi dimaksudkan untuk

mengetahui sejauh mana item-item tersebut relevan dengan tujuan

pengukuran dan menunjukkan sejauh mana tes tersebut komprehensif

isinya (Azwar, 2001). Validitas isi pada penelitian ini dilakukan dengan

jalan mengkonsultasikan item-item skala dengan orang dianggap ahli

yaitu dosen pembimbing sebagaiprofesional judgement untuk memastikan

bahwa bahwa item tersebut sudah mencakup keseluruhan kawasan isi dan

obyek yang hendak diukur sehingga tidak keluar dari indikator-indikator

yang telah ditentukan.

2. Analisis Butir

Analisis butir didefinisikan sebagai sejauh mana item mampu

membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan

yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2001). Analisis butir

disebut juga sebagai konsistensi item total (rix) karena merupakan

indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi item dengan fungsi

skala secara keseluruhan. Konsep inilah yang dijadikan dasar dalam

seleksi item. Item-item yang dipilih adalah item yang mengukur hal yang

sama dengan apa yang diukur oleh skala secara keseluruhan.

Untuk menentukan batasan item yang bagus, biasanya digunakan

(59)

0,30 daya pembedanya dianggap memuaskan. Meskipun demikian

menurut Azwar (2001) batasan tersebut hanyalah sebuah konvensi dan

peneliti dapat menentukan batasan sendiri dengan mempertimbangkan isi

dan tujuan skala yang sedang disusun. Berikut paparan proses analisis

butir skala penelitian ini:

a. Skala Persepsi terhadap Penerimaan Orang tua

Hasil analisis skala persepsi orang tua berkisar antara 0,041

sampai dengan 0,759. Kemudian butir item diseleksi dengan cara

menggugurkan butir-butir yang memiliki koefisien korelasi antar item

yang rendah dengan memperhatikan penyebaran butir pada tiap aspek.

Hasil seleksi terhadap 120 buah item (60 a dan b) terdapat 19 buah

item yang tidak layak untuk digunakan sebagai pertanyaan penelitian

dan 101 item yang dianggap layak untuk digunakan dalam pertanyaan

penelitian. Dengan melihat penyebaran distribusi item pada tiap aspek,

dari 100 item tersebut dikurangi lagi 1 buah item, yakni item 5a

sehingga terdapat 100 buah item terbaik dari skala yang akan

digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan penyebaran item pada saat

(60)

Tabel 6

Butir Yang Sahih Dan Gugur Pada Skala Persepsi Terhadap Penerimaan Orang

Tua

No. Butir Pernyataan

Sebelum Uji Coba Gugur Setelah Uji Coba

Aspek

Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable Favorable Unfavorable

Fisik

Total 60aitem 60aitem 3aitem 17aitem 57aitem 43aitem

Berikut ini menunjukkan penyebaran butir-butir pernyataan dalam

(61)

Tabel 7

Distribusi Butir-Butir Pernyataan Skala Persepsi Terhadap Penerimaan

Orang Tua Pada Respon Ayah

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

1. Fisik

Total 57aitem 43aitem 100aitem

Berikut penomoran ulang distribusi item pada skala Persepsi

Terhadap Penerimaan Orang tua yang digunakan sebagai alat ukur

(62)

Tabel 8

Penomoran Distribusi Item Skala Persepsi Terhadap Penerimaan

Orang Tua

No Aspek Favorable Unfavorable Jumlah

1. Fisik

Total 57aitem 43aitem 100aitem

Maka, dari hasil tersebut diketahui bahwa skala persepsi terhadap

penerimaan orang tua cukup valid digunakan sebagai alat ukur

penelitian ini. Hasil selengkapnya mengenai analisis butir skala

Gambar

Tabel 1
Gambar 1. Diagram Aspek Warmth Dimension Of Parenting
Gambar 2. Skema Hubungan Penerimaan Orang Tua dengan Empati
Tabel 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keluarga merupakan salah satu faktor risiko penyalahgunaan NAPZA pada remaja, dimana orang tua yang kurang memiliki kelekatan dengan anak menjadi faktor penyebab remaja berisiko

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN GIZI REMAJA, TINGKAT PENDAPATAN DAN PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN KADAR Hb REMAJA PUTRI.. DI SMP MUHAMMADIYAH

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin orang tua memiliki pola asuh demokratis, maka tingkat disiplin anak dalam mengikuti pembelajaran di sekolah semakin tinggi,

Melihat dari hasil wawancara pada seluruh subjek remaja korban perceraian orang tua dalam penelitiaan ini tidak seluruh subjek memiliki penerimaan pada dirinya

Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin remaja mempersepsikan pola asuh yang sesuai dengan yang diterapkan oleh orang tua berupa orang tua akan memenuhi keinginan anak, anak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui tingkat agresivitas orang tua terhadap anak tunagrahita di SLB Putra Jaya, mengetahui tingkat penerimaan orang

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri pada remaja dengan orang tua poligami ditunjukkan oleh adanya perasaan tidak puas pada informan

Demikian pula sebaliknya, bila semakin rendah kelekatan terhadap orang tua yang dimiliki oleh remaja tersebut, maka semakin rendah pula otonomi yang dimilikinya.Hal ini sesuai