• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT ATAS TERTEMBAKNYA PESAWAT TERBANG MH-17 MILIK MALAYSIA AIRLINES.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT ATAS TERTEMBAKNYA PESAWAT TERBANG MH-17 MILIK MALAYSIA AIRLINES."

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

i

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT

ATAS TERTEMBAKNYA PESAWAT TERBANG MH-17

MILIK MALAYSIA AIRLINES

I GUSTI AGUNG BAGUS CAHYA KARTIKA NUGRAHA 1116051152

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(2)

ii

TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT ATAS

TERTEMBAKNYA PESAWAT TERBANG MH-17 MILIK

MALAYSIA AIRLINES

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GUSTI AGUNG BAGUS CAHYA KARTIKA NUGRAHA 1116051152

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi ini disetujui pada tanggal: 22 Juli 2015

PEMBIMBING I

Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., M.Hum. NIP. 19611224 198803 1 001

PEMBIMBING II

(4)

iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji Pada tanggal 21 Januari 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Tertanggal 12 Januari 2016 Nomor: 0051/UN14.4E/IV/PP/2016

Ketua: Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., M.Hum. (...) NIP. 196112241988031001

Sekretaris: I Made Budi Arsika, SH., LLM. (...) NIP. 198106102005011003

Anggota: 1. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. (...) NIP. 19730528 199802 1 001

2. I Made Mahartayasa, SH., MH. (...) NIP. 19730415 199802 1 001

(5)

v

KATA PENGANTAR

Om Swastyastu,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT ATAS

TERTEMBAKNYA PESAWAT TERBANG MH-17 MILIK MALAYSIA

AIRLINES” ini dengan baik.

Dalam upaya penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan dukungan dari semua pihak. Baik berupa bimbingan, saran dan masukan serta motivasi yang sangat membantu penulis dalam menulis skripsi ini. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada yang terhormat:

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., selaku Dekan Fakultas Hukum Univeristas Udayana.

2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vi

6. Bapak A. A. Ketut Sukranatha, SH., MH., selaku Sekretaris Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH., selaku Ketua Bagian Hukum Internasional yang ikut membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini. 8. Bapak I Gde Putra Ariana, SH., M.Kn., selaku Sekretaris Bagian Hukum

Internasional.

9. Ibu Ayu Putu Laksmi Danyathi, SH., MKn., selaku Pembimbing Akademik (PA) yang senantiasa memberi bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10.Bapak Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., M.Hum., selaku Pembimbing I yang telah meluangkan banyak waktu serta dengan sabarnya memberikan bimbingan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

11.Bapak I Made Budi Arsika, SH., LLM., selaku Pembimbing II yang selalu memberikan banyak motivasi serta arahan selama penulis menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Udayana hingga akhirnya dapat merampungkan skripsi ini.

12.Seluruh Dosen Fakultas Hukum Univeristas Udayana, khususnya Dosen-dosen Bidang Hukum Internasional yang telah banyak membagi ilmu serta wawasan yang sangat berharga bagi penulis.

(7)

vii

14.Drs. I Gusti Bagus Anom dan Ni Ketut Sudani selaku orang tua penulis yang telah dan akan selalu mencurahkan segalanya baik materiil maupun imateriil sehingga penulis dapat menjadi seperti sekarang. Saudara penulis I Gusti Agung Bagus Pramana Nugraha, S.Kom., dan I Gusti Agung Bagus Candra Prabawa Nugraha yang juga turut memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya.

15.Seluruh teman-teman Praktek Ketrampilan dan Kemahiran Hukum (PKKH) di Kantor Walikota Denpasar yang turut memberikan warna baru dalam perjalanan studi penulis serta terimakasih atas semangat yang telah diberikan selama penulis menulis skripsi ini.

16.Sahabat seperjuangan penulis, angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas motivasi dan waktu berdiskusi selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(8)

viii

18.Serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya.

Sebagaimana layaknya manusia biasa penulis menyadari sepenuhnya dalam penulisan skripsi ini tentu terdapat beberapa kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari para pembaca sekalian. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

Om Santih, Santih, Santih Om.

(9)

ix

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa karya ilmiah/penulisan hukum/skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila karya ilmiah/penulisan hukum/skripsi ini terbukti merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 22 Juli 2015 Yang menyatakan,

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman Sampul Depan

Halaman Sampul Dalam ... i

Halaman Prasyarat Gelar Sarjana Hukum... ii

Halaman Persetujuan Pembimbing Skripsi ... iii

Halaman Pengesahan Panitia Penguji Skripsi ... iv

Kata Pengantar ... v

Halaman Pernyataan Keaslian... ix

Daftar Isi ... x

Abstrak ... xiv

Abstract ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 12

1.5.1 Tujuan Umum ... 12

1.5.2 Tujuan Khusus ... 12

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 13

1.6.2 Manfaat Praktis ... 13

(11)

xi

1.7.1 Teori Kedaulatan Negara ... 14

1.7.2 Teori Tanggung Jawab Negara ... 15

1.7.3 Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional ... 18

1.8 Metode Penelitian ... 24

1.8.1 Jenis Penelitian ... 24

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 25

1.8.3 Bahan Hukum ... 26

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 27

1.8.5 Teknik Analisis ... 28

BAB II TINJAUAN UMUMMENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN PENGANGKUT 2.1Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional ... 29

2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara ... 31

2.1.2 Munculnya Tanggung Jawab Negara ... 34

2.1.3 Elemen-elemen Tanggung Jawab Negara ... 35

2.1.4 Jenis-jenis Tanggung Jawab Negara ... 37

2.1.5 Pembebasan Negara dari Kewajiban Bertanggung Jawab ... 40

2.2Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional ... 42

(12)

xii

Hukum Internasional ... 44

2.2.3 Unsur-unsur Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional ... 49

2.2.4 Pembebasan Pengangkut dari Kewajiban Bertanggung Jawab dalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional ... 51

BAB III TANGGUNG JAWAB MALAYSIA SEBAGAI NEGARA BENDERA(FLAG STATE) ATAS PERISTIWA TERTEMBAKNYA PESAWAT MH-17 3.1 Kedudukan Negara Bendera dalam Hukum Internasional ... 53

3.1.1 Tinjauan Umum ... 54

3.1.2 Kedudukan Negara Bendera dalam Kaitan dengan Pertanggungjawaban ... 56

a. Perspektif Tanggung Jawab Objektif ... 56

b. Perspektif Tanggung Jawab Subjektif ... 56

3.2 Keterkaitan Malaysia sebagai Negara Bendera dengan Pesawat MH-17 ... 57

3.2.1 Dalam Kaitan dengan Konsepsi Imputabilitas ... 59

3.2.2 Dalam kaitan dengan Konsepsi Organ Negara ... 60

3.2.3 Dalam Kaitan dengan Konsepsi Tindakan Ultra Vires ... 63

3.2.4 Dalam Kaitan dengan Konsepsi Force Majeure ... 65

3.3 Mekanisme Penyelesaian Sengketa atas Tertembaknya Pesawat Malaysia Airlines MH 17... 67

(13)

xiii

BAB IV TANGGUNG JAWAB MALAYSIA AIRLINES SEBAGAI

PENGANGKUT DALAM PERISTIWA TERTEMBAKNYA

PESAWAT MH-17

4.1Malaysia Airlines sebagai Pengangkut ... 79 4.1.1 Berlakunya Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut

Terhadap Malaysia Airlines ... 80 4.1.2 Bentuk Tanggung Jawab Malaysia Airlines Sebagai

Pengangkut ... 83 4.2Pembebasan Malaysia Airlines dari Kewajiban Bertanggung Jawab .. 87 4.2.1 Alasan-alasan Pembebasan Kewajiban Bertanggung Jawab ... 88 4.2.2 Keberlakuan Alasan-alasan Pembebasan dari Kewajiban

Bertanggung Jawab dalam Peristiwa Tertembaknya MH-17... 91 4.3Tinjauan Komprehensif ... 92 BAB V PENUTUP

(14)

xiv ABSTRAK

Skripsi berjudul Tanggung Jawab Negara dan Pengangkut Atas Tertembaknya Pesawat Terbang MH-17 Milik Malaysia Airlines ini merupakan penelitian hukum normatif. Oleh karena skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif maka sumber datanya berupa bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan baik bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Skripsi ini bertujuan untuk menganalisa pertanggungjawaban Malaysia sebagai negara bendera menurut hukum internasional serta pertanggungjawaban Malaysia Airlines sebagai pengangkut dalam hukum pengangkutan udara internasional. Dalam penulisan skripsi ini, digunakan 4 (empat) jenis pendekatan yaitu pendekatan kasus, pendekatan fakta, pendekatan perundang-undangan dan pendeketan analisis konsep hukum.

Pasca peristiwa tertembaknya pesawat Malaysia Airlines MH-17 di wilayah udara Ukraina pada tanggal 17 Juli 2014 silam, persoalan yang sangat penting untuk dibahas adalah tentang bagaimana pertanggungjawaban negara bendera dan pengangkut. Adanya imputabilitas antara Malaysia dan Malaysia Airlines sebagai perusahaan penerbangan nasionalnya membuat Malaysia mempunyai indikasi untuk bertanggung jawab dalam hal ini. Begitu pula dengan pihak Malaysia Airlines, sebagai pengangkut lahirnya tanggung jawab pihaknya dalam hal ini merupakan konsekuensi dari terikatnya pihak pengangkut dalam suatu kontrak dengan penumpang untuk mengantar penumpang ke tempat tujuan dengan selamat dan tepat waktu.

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian dalam skripsi ini yaitu Malaysia sebagai negara bendera tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tragedi yang menimpa maskapai penerbangan nasional miliknya. Di sisi lain, Malaysia Airlines sebagai pengangkut, walaupun Konvensi Warsawa 1929 masih menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga yang dapat membebaskan pihaknya dari kewajiban bertanggung jawab namun berdasarkan beberapa fakta sementara di lapangan, pihaknya dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita penumpang.

(15)

xv

ABSTRACT

This thesis was titled by Responsibility of the State and the Carrier Upper Shooting MH-17 Aircraft Owned Malaysia Airlines is a normative legal research. Therefore, this thesis is a normative legal research, the data source is the legal materials obtained through library research both primary legal materials, secondary and tertiary. This thesis aims to analyze accountability Malaysia as a flag state under international law and accountability Malaysia Airlines as a carrier in international air transport law. In writing this thesis, use four (4) types of approaches such as case approach, fact approach, statute approach and analitical and conseptual approach.

After the shooting incident plane Malaysia Airlines MH-17 in the airspace of Ukraine on July 17th, 2014 last, a very important issue to be discussed is about how responsibility of the flag state and the carrier. Their imputability between Malaysia and Malaysia Airlines as the national carrier of Malaysia makes has indication to responsible in this regard. Similarly with Malaysia Airlines, as the carrier birth of responsibility in this case it is a consequence of the carrier bound in a contract with a passenger to take passengers to their destination safely and on time.

The conclusion of the research in this thesis, namely Malaysia as a flag state is not obliged to take responsibility for the events that befall their national airline. In the other hand, Malaysia Airlines as the carrier, although the Warsaw Convention of 1929 still adhered to the principle of liability based on presumption but based on some while facts in the field, it could be liable for losses suffered by a passenger in this event.

(16)
(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Belum hilang ingatan masyarakat internasional dari musibah yang menimpa pesawat MH-370 milik maskapai penerbangan Malaysia Airlines yang hingga saat ini belum jelas keberadaannya.1Pada tanggal 17 Juli 2014, sebuah tragedi lain lagi-lagi menimpa maskapai penerbangan ini. Kali ini yang menjadi korban adalah pesawat jenis BOEING 777-200ER dengan nomor penerbangan MH-17.

Pesawat Malaysia Airlines MH-17 ini dijadwalkan terbang dari Bandara Schipol, Amsterdam, Belanda menuju Kuala Lumpur, Malaysia. MH-17 tertembak dan jatuh di Ukraina Timur dekat perbatasan Rusia. Tercatat sebanyak 298 orang tewas, diantaranya 283 orang penumpang dari berbagai negara2dan 15 orang kru

1 Pada tanggal 8 Maret 2014 pesawat Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH-370 menghilang dalam perjalanan. Pesawat tersebut dijadwalkan terbang dari Kuala Lumpur, Malaysia menuju Beijing, China. Air Traffic Control (ATC) menyatakan bahwa pihaknya menerima pesan terakhir dari MH-370 sesaat setelah pesawat lepas landas (take off) tepatnya di atas Laut China Selatan. Pesawat MH-370 membawa penumpang sebanyak 227 orang penumpang dari 15 negara dan sebanyak 12 orang kru pesawat yang juga ikut hilang dan diduga meninggal dalam kejadian tersebut. Dalam keterangan persnya pada tanggal 29 Januari 2015, pemerintah Malaysia secara resmi menyatakan bahwa hilangnya pesawat MH-370 merupakan sebuah kecelakaan dan tidak ada korban yang selamat. Beberapa bulan kemudian, tepatnya Maret 2015 dari berita yang dilansir BBC Indonesia, Menteri Transportasi Malaysia, Liow Tiong Lai meyakini bahwa MH-370 jatuh dan akan ditemukan di Samudera Hindia. Hingga saat ini proses pencarian bangkai pesawat dan korban masih terus berlangsung. (Lihat http://www.bbc.uk.indonesia/dunia/2015/01/150129_mh

370_kecelakaan, diakses pada tanggal 24 April 2015, 07.30 PM).

(18)

pesawat.3 Lokasi jatuhnya pesawat diketahui berada di Desa Grabovo, Donetsk, Ukraina.Salah satu situs berita terkemuka dunia, Reuters, menyatakan bahwa pemerintah Ukraina menduga pesawat ini ditembak oleh rudal jenis buk4 pada ketinggian 10.000 meter atau sekitar 33.000 kaki.5

Sebelum peristiwa ini mencuat ke publik, pihak Malaysia Airlines telah mendapat pemberitahuan dari Air Traffic Control (ATC) Ukraina bahwa mereka telah kehilangan kontak dengan MH-17 sekitar 50 kilometer dari perbatasan Rusia-Ukraina. Beberapa saat kemudianMalaysia Airlines merilis sebuah pernyataan melalui akun Twitter resmi miliknya (@MAS)6:

Malaysia Airlines has lost contact of MH-17 from Amsterdam. The last known

position was over Ukrainian airspace...”.

Pascaperistiwa ini, saling bantah atas siapa pelaku penembakan MH-17 pun terjadi.Pemerintah Rusia maupun Ukraina sama-sama membela diri dan menyatakan bahwa pihak lawan merupakan pelaku penembakan serta harus bertanggungjawab atas peristiwa memilukan ini.Namun beberapa hari setelahperistiwa ini terjadi, sumber dari Amerika Serikat menduga bahwa pelaku penembakan adalah separatis

3 Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, internasional.kompas.com /read/2014/07/18/11141031/Kronologi.Jatuhnya.Pesawat.Malaysia.Airlines.MH.17.di.Ukraina, diakses pada tanggal 1 Oktober 2014, 10.00 AM.

4Buk atau sistem rudal adalah keluarga sistem rudal self-propolled jarak menengah yang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1966. Dikembangkan oleh Uni Soviet dan Federasi Rusia.Buk dirancang untuk melibatkan rudal jelajah, bom pintar, pesawat tetap dan rotarysayap serta kendaraan udara tak berawak.

5 Kronologi Jatuhnya Pesawat Malaysia Airlines MH17 di Ukraina, loc.cit.

(19)

pro Rusia.7Dugaan tersebut didasari oleh sensor di sekitar ledakan, percakapan, sejumlah foto, dan data dari sosial media yang mengindikasikan bahwa saat itu kelompok separatis telah berhasil menembak jatuh sebuah pesawat.Lebih lanjut dugaan mengarah pada Igor Girkin, seorang pemimpin pasukan separatis Rusia di wilayah Donbass. Pada saat jatuhnya pesawat MH-17, Girkin membagi status di media sosial Vkontakte8 miliknya. Ia menulis bahwa pemberontak telah berhasil menembak jatuh pesawat Antonov An-26 yang biasa digunakan angkatan udara Ukraina.9Namun faktanya, setelah dilakukan penyelidikan beberapa hari setelah kejadian dengan menghubungkan bukti-bukti di lapangan, pernyataan yang ditulis pada sosial media Girkin tersebut ternyata salah.Pemberontak bukan telah berhasil menembak pesawat militer milik Ukraina melainkan pesawat sipil milik Malaysia. Semenjak itu, kontan separatis mengaku bahwa pihaknya tak mengetahui tentang insiden penembakan pesawat tersebut.

Rute perjalanan MH-17 yang terbang dari Amsterdam ke Kuala Lumpurmemang dapat dikatakan cukup berbahaya.Sebab, rangkaian rute perjalanan tersebut mengagendakan pesawat untuk melintas di atas wilayah udara daerah konflik Rusia-Ukraina.Salah satu alasan mengemuka bahwa dilaluinya jalur rawan tersebut hanya demi menghemat anggaran bahan bakar pesawat karena jalurnya lebih

7 Ibid.

8 Vkontakte merupakan jejaring sosial asal Rusia terbesar di Eropa yang diluncurkan pada tanggal 10 Oktober 2006.Diciptakan oleh Pavel Durov, mahasiswa lulusan Saint Petersburg State University.

(20)

pendek.10 Tidak adanya larangan terbang di atas wilayah udara Ukraina membuat masih banyak penerbangan dari Eropa menuju Asia atau sebaliknya tetap menggunakan jalur ini. Namun pada bulan April 2014, International Civil Aviation Organization (ICAO) selaku otoritas penerbangan sipil internasional telah memberikan peringatan kepada pemerintah di berbagai negara tentang adanya risiko bagi pesawat komersial yang terbang di atas wilayah udara Ukraina.11

Sejak konflik antara Rusia dan Ukraina dimulai, beberapa pesawat tempur Ukraina diketahui telah jatuh tertembak oleh kelompok separatis.Pada tanggal 14 Juni 2014, pesawat tempur Ilyushin Il-76 tertembak jatuh dalam perjalanan menuju Bandara Internasional Luhansk yang menewaskan 49 orang. Selanjutnya di tanggal yang sama pada bulan Juli, pesawat tempur An-26 milik Ukraina juga tertembak jatuh. Dua hari berselang menyusul pesawat Sukhoi Su-25 ikut mengalami nasib yang samapada tanggal 16 Juli 2014.12

Dalam jumpa pers yang berlangsung pada tanggal 18 Juli 2014 Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Abdul Razak menyatakan, bahwa rute yang dilalui MH-17 merupakan rute yang aman dan bukan termasuk daerah larangan terbang berdasarkan klaim dari International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Air Transport Association (IATA).Hingga kini peristiwa pesawat MH-17 ini masih dalam tahap penyelidikan oleh gabungan tim investigasi dari beberapa negara. Dutch Safety

10 Ibid.

11 Ibid.

(21)

Boardsebagai pemimpin investigasimenyatakan bahwa hasil penyelidikan selambat-lambatnya akan dirilis pertengahan tahun 2015.13Jeroen Akkermans seorang wartawan Dutch RTL News yang liputannya dilansir BBC Indonesia pada tanggal 16

April 2015 menyatakan bahwa

analisforensikdanparaahlidarianalisispertahananInggris, IHS Jane menemukan kaitan kerusakan bagian pesawat yang ditemukan di lapangan, merupakankerusakan yang diakibatkan oleh jenis bahan peledak 9N314, dari sistem rudal buk.14

Dalam peristiwa yang dialami oleh pesawat Malaysia Airlines MH-17 tersebut, terdapat satu masalah yang menarik untuk dianalisis lebih jauh, yaitu masalah pertanggungjawaban baik dilihat dari perspektif hukum internasional publik maupun secara spesifik menurut hukum angkutan udara internasional. Dari perspektif hukum internasional publik masalah yang menarik untuk dikaji adalah status atau kedudukan Malaysia sebagai negara bendera (flag state). Maksudnya, apakah dalam peristiwa seperti yang dialami oleh pesawat MH-17, negara bendera dapat dimintakan pertanggungjawabannya berdasarkan hukum internasional publik yang berlaku umum. Sementara itu, hal serupa juga menarik untuk dinalisis dari perspektif hukum angkutan udara internasional. Dalam kasus seperti yang dialami MH-17, apakah pengangkut (dalam hal ini Malaysia Airlines) tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya terhadap kerugian yang diderita penumpang, meskipun

13 Ibid.

(22)

kerugian itu bukan timbul dari kecelakaan biasa melainkan karena sebab yang tidak terduga, dalam hal ini penembakan.

Pengkajian terhadap permasalahan sebagaimana tertuang dalam topik skripsi ini penting dilakukan karena pertama, analogi bendera kapal dalam rezim hukum laut juga dipraktikan dalam kegiatan komersialisasi ruang udara dan antariksa. Bendera kapal memiliki fungsi menunjuk kepada tempat di mana suatukapal atau pesawat didaftarkan guna memperoleh kebangsaan dan hukum mana yang akan mengatur segala aktivitas dan peristiwa hukum dalam kapal atau pesawat tersebut. Di samping itu bendera kapal juga berfungsi untuk memudahkan identifikasi terhadap kapal tersebut dan bagaimana mempertanggungjawabkan perbuatan hukum yang berkaitan dengan kapal, baik apabila berada di laut lepas, perairan nasional maupun wilayah negara lain.15Akibat hukum dari dipasangnya bendera suatu negara pada kapal atau pesawat berkaitan dengan atribut kedaulatan suatu negara dan prinsip tanggung jawab negara (state responsibility).16

Kedua, merujuk pada Pasal 1 Convention on International Civil Aviation 1944 (Chicago Convention) yang diambil secara integral pada Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dengan tegas menyatakan negara-negara anggota konvensi mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya. Dengan bunyi ketentuan pasal ini, dapat diinterpretasikan bahwa

15 Mieke Komar Kantaatmadja, 1984,Berbagai Masalah Hukum Udara dan Angkasa, Remadja Karya, Bandung, h. 11.

(23)

Ukraina sebagai negara anggota konvensi juga memiliki kedaulatan penuh untuk menyikapi semua peristiwa yang terjadi di teritorial udaranya. Walaupun sampai saat ini hasil investigasi belum dirilis secara resmi, namun fakta-fakta di lapangan telah mengarah bahwa pelaku penembakan adalah separatis Rusia yang merupakan warga negara Ukraina.

Ketiga, bahwa pengangkutan merupakan perjanjian timbal balik antara pengangkut dan pengirim/penumpang, dimana pengangkut mengikatkan diri dalam bentuk tiket untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan dengan selamat, sedangkan pengirim/penumpang mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang sebagai biaya angkutan.17 Menurut penulis, pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa antara pihak pengangkut dan penumpang mempunyai hubungan kontraktual yang secara sadar mereka jalin guna memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Oleh karena adanya hubungan kontrak antara para pihak, maka apabila salah satu pihak tidak dapat sebagian atau sepenuhnya memenuhi apa yang diperjanjikan maka pihak tersebut dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi terhadap kontrak dan harus bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pihak lain. Dalam hal ini, Malaysia Airlines gagal untuk mengantar para penumpangnya untuk tiba dengan selamat ke tempat tujuan, maka dari itu berdasarkan hubungan kontrak antara pengangkut dan penumpang yang telah

(24)

diuraikan di atas, Malaysia Airlines wajib untuk memberikan pertanggungjawabannya dalam peristiwa ini.

Selanjutnya munculnya Protokol Guatemala City 1975 (untuk penumpang dan bagasi) serta Protokol Montreal No. 4 Tahun 1975 (untuk kargo) telah merubah ketentuan Pasal 17 dan 20(1) pada Konvensi Warsawa 1929 yang turut memberikan prinsip pertanggungjawaban baru bagi ketentuan rezim hukum angkutan udara internasional khususnya di bidang pertanggungjawaban pengangkut. Pada Konvensi Warsawa 1929 prinsip tanggung jawab didasarkan atas adanya unsur kesalahan dan praduga bersalah yang dapat memberikan perlindungan kepada pengangkut (protective philosophy)18 berupa pembebasan dari tanggung jawab sepanjang pegawai dari perusahaan pengangkut telah mengambil semua tindakan yang perlu untuk menghindari kerugian. Berbeda halnya semenjak kemunculanProtokol Guatemala City 1971dan protokol-protokol perubahan lainnya yang menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability principle).Prinsip ini menuntut agar pengangkut tetap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada penumpang dalam keadaan apapun.19

Prinsip tanggung jawab mutlak merupakan warisan dari sistem hukum kuno. Prinsip ini merupakan konsekuensi dari ajaran „a man acts at his peril‟ atau „he who breaks must pay‟, yang maksudnya barang siapa melakukan perbuatan lalu

18 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 47.

(25)

menimbulkan kerugian untuk orang lain, maka ia harus bertanggungjawab.20 Menurut Prosser alasan lain untuk memberlakukan kembali ketentuan lama tentang tanggung jawab mutlak adalah sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang sifatnya berbahaya.21Jadi dalam konteks ini, dasar dari tanggung jawab mutlak adalah adanya niat dari pihak pengangkut untuk tetap melaksanakan usahanya meskipun disadarinya betul bahwa kegiatan tersebut membawa risiko baik untuk usahanya maupun penumpang.22

Berangkat dari pemaparan fakta-fakta di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah penelitian tentang bagaimana pertanggungjawaban negara khususnya negara bendera (flag state) serta pengangkut atas peristiwa tersebut menurut perspektif hukum internasional.Penelitian ini akan ditulis secara sistematis

dalam suatu rangkaian tugas akhir/skripsi yang berjudul: “Tanggung Jawab Negara

dan Pengangkut atas Tertembaknya Pesawat MH-17 Milik Malaysia Airlines”,

dengan harapanpara pihak (negara dan pengangkut) dapat berbuat sesuai kapasitasnya menurut ketentuan hukumyang berlaku serta di kemudian hari tidak terulang lagi peristiwa yang serupa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, penulis telah merumuskan 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu:

20 E.Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 41

21 Ibid, h. 42

(26)

1. Sebagai negara bendera (flag state)apakah Malaysia dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam peristiwa tertembaknya pesawat MH-17?

2. Berdasarkan Konvensi Warsawa 1929, apakah pihak Malaysia Airlines sebagai perusahaan pengangkut dapat dibebaskan dari kewajiban membayar kompensasi atas kerugian yang diderita para penumpang pesawat MH-17 yang tertembak di atas wilayah udara Ukraina?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar skripsi ini memiliki kerangka yang jelas dan sistematis serta tidak keluar dari judul serta latar belakang permasalahan, penulis membatasi ruang lingkup permasalahan yangakan dibahas, yaitu sebagai berikut:

- Pada Bab I, penulis mendeskripsikan keseluruhan peristiwa secara singkat pada sub Latar Belakang Masalah. Kemudian berangkat dari latar belakang tersebut, penulis merumuskan 2 (dua) buah permasalahan yang akan dibahas pada bab berikutnya. Sementara itu, pada bab ini penulis juga menjabarkan teori-teori yang mendasari penulisan skripsi ini serta mengemukakan identitas penelitian skripsi pada sub Metode Penelitian.

(27)

pada sub bab kedua penulis menjabarkan tentang pengertian dan ruang lingkup tanggung jawab pengangkut, prinsip, unsur serta ketentuan pembebasan pengangkut dari kewajiban bertanggung jawab dalam hukum internasional khususnya hukum pengangkutan udara internasional.

- Pada Bab III dengan judul Tanggung Jawab Malaysia Sebagai Negara Bendera (Flag State) dalam Peristiwa Tertembaknya Pesawat MH-17, penulis menjabarkan tentang kedudukan negara bendera dalam hukum internasional serta keterkaitan negara Malaysia dengan pesawat MH-17. Kemudian, pada bab ini penulis juga menulis tinjauan komprehensif sebagai suatu rangkuman pembahasan dalam bab ini.

- Pada Bab IV penulis membahas mengenai berlakunya prinsip tanggung jawab pengangkut serta bentuk tanggung jawab pengangkut pada Malaysia Airlines. Dalam bab ini turut juga membahas alasan-alasan pembebasan kewajiban bertanggung jawab oleh pengangkut serta relevansi alasan tersebut terhadap Malaysia Airlines atas peristiwa tertembaknya pesawat MH-17. Selanjutnya, sama seperti bab sebelumnya, penulis akan memberikan suatu tinjauan komprehensif sebagai suatu rangkuman pembahasan bab ini.

- Pada Bab V penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan atas permasalahan yang dibahas lalu memberikan saran yang konstruktif guna tercapainya tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini.

(28)

Sepanjang pengetahuan penulis mengenai topik skripsi yang telah ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, belum pernah ada yang membahas topik seperti yang penulis bahas pada skripsi ini. Dalam upaya penelusuran skripsi yang dilakukandi Ruang Koleksi Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, penulis memperoleh beberapa skripsi sebagai perbandingan yang topiknya berdekatan dengan topik yang ditulis dalam skripsi ini. Adapun skripsi yang dimaksud penulis dapat dilihat dalam tabel berikut:

No Judul Penulis Rumusan Masalah

(29)

Damri Denpasar) (2012)

penumpang yang mengalami kecelakaan dalam kegiatan pengangkutan?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

1. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab negara dalam hukum internasional.

2. Untuk mengetahui penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam penerbangan sipil internasional menurut hukum internasional khususnya hukum pengangkutan udara internasional.

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia sebagai negara bendera (flag state) dimintakan pertanggungjawaban menurut hukum internasional dalam peristiwa tertembaknya pesawat Malaysia Airlines MH-17 di wilayah udara Ukraina.

2. Untuk menganalisis dapat atau tidaknya Malaysia Airlines sebagai perusahaan pengangkut dibebaskan dari tanggung jawab membayar kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan dari kejadian pesawat MH-17 yang tertembak di atas wilayah udara Ukraina menurut hukum pengangkutan udara internasional.

1.6 Manfaat Penelitian

(30)

1. Memberikan pemahaman tentang penerapan prinsip tanggung jawab negara menurut hukum internasional dalam peristiwa konkrit.

2. Memberikan pemahaman tentang tanggung jawab pengangkut dalam hukum internasional khususnya hukum angkutan udara internasional menurut Konvensi Warsawa 1929 dan protokol-protokol perubahannya.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Bagi pejabat negara terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mengantisipasi kemungkinan tuntutan pertanggungjawaban negara bilamanana suatu hari terjadi peristiwa yang serupa dengan yang dialami Malaysia Airlines.

2. Bagi perusahaan pengangkut (airliner), tulisan ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan tambahan tentang penerapan prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum internasional khususnya hukum angkutan udara internasional menurut Konvensi Warsawa 1929dan protokol-protokol perubahannyaapabila suatu hari berhadapan dengan kasus-kasus konkrit. 3. Bagi praktisi hukum (lawyer), tulisan ini diharapkan dapat menjadi salah

satu referensi dalam menangani kasus-kasus nyata yang berkaitan dengan pertanggungjawaban negara maupun pertanggungjawaban pengangkut berdasarkan hukum angkutan udara internasional.

1.7 Landasan Teoritis

(31)

Teori kedaulatan negara digunakan dalam landasan teori penulisan skripsi ini karena berkaitan dengan negara sebagai subyek hukum internasional penuh yang dalam hal ini memiliki hak dan kewajiban yang paling sempurna dalam sistem hukum internasional. Dalam teori ini memberikan gambaran bahwa tidak ada satu negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara lain.

Konvensi Montevideo 1933 yang mengatur tentang hak dan kewajiban negara telah berhasil menetapkan kesepakatan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi negara sebagai subyek hukum. Adapun syarat-syarat itu ialah penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah dan kemampuan untuk mengadakan hubungan internasional. Menurut Kelsen negara adalah sama dengan sistem hukum. Starke menganggap bahwa pengertian negara menurut Kelsen ini merupakan kondensasi empat syarat negara menurut Konvensi Montevideo. Sistem hukum itu diciptakan dan dipertahankan oleh pemerintah negara yang bersangkutan. Di samping itu, adanya sistem hukum merupakan syarat utama bagi adanya negara.23

Menurut teori kedaulatan negara kekuasaan tertinggi terletak pada negara.Sumber kedaulatan adalah negara yang merupakan lembaga tertinggi kehidupan suatu bangsa. Kedaulatan timbul bersamaan dengan berdirinya suatu negara. Hukum dan konstitusi lahir berdasarkan kehendak negara dan diabdikan demi

(32)

kepentingan negara. Para penganut teori ini melaksanakan pemerintahan tiran, teirstimewa melalui kepala negara yang bertindak sebagai diktator.24

Suatu negara dianggap memiliki kemerdekaan dan kedaulatan terhadap warga negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas-batas wilayah teritorialnya. Kedaulatan pada saat ini mempunyai arti yang lebih sempit dibandingkan dengan masa abad XVIII dan XIX. Dewasa ini sulit bagi suatu negara sehubungan dengan kepentingan masyarakat internasional, untuk tidak menerima pembatasan-pembatasan yang dikenakan terhadap kebebasan bertindaknya.25 Oleh karena itu, lebih tepat dikatakan bahwa saat ini kedaulatan suatu negara merupakan sisa dari kekuasaan yang dimilikinya dalam batas-batas yang diterapkan hukum internasional.26

1.7.2 Teori Pertanggungjawaban Negara

Teori pertanggungjawaban negara digunakan sebagai landasan teori dalam skripsi ini karena dari sudut pandang hukum internasional publik terdapat keterkaitan atau imputabilitas (imputability) suatu negara dalam hal ini Malaysia dalam kasus yang menjadi fokus kajian skripsi ini, yakni tertembaknya pesawat MH-17 di wilayah udara Ukraina. Keterkaitan atau imputabilitas tersebut, dalam hal ini adalah kedudukan Malaysia sebagai negara bendera (flag state) dari pesawat MH-17 tersebut.

24 Abu Daud Busroh, 2010, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h. 71.

25 T. May Rudy, 2010, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Jakarta, h. 27.

(33)

Dalam hukum internasional publik, sesuatu dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila sesuatu itu berkedudukan sebagai subyek hukum internasional. Secara teoritis, menurut hukum internasional yang dapat dikatakan sebagai subyek hukum internasional hanyalah negara saja.27Boer Mauna menyatakan bahwa negara merupakan subjek utama hukum internasional. Ia juga menambahkan bahwa hukum internasional adalah hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban negara.28Berbeda halnya dengan Friedmann, menurutnya beberapa tahun silam telah terjadi perubahan struktur dan perkembangan dimensi-dimensi baru hukum internasional. Perubahan serta perkembangan tersebut adalah sebagai akibat dari anggota masyarakat bangsa-bangsa bekerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan kesejahteraan internasional.29

Walaupun mengalami perubahan dan perkembangan, hingga saat ini, negara-negara tetaplah merupakan pelaku utama dalam hukum internasional. Artinya hingga saat ini negara masih tetap menikmati kepribadian hukum internasional (international legal personality) yang penuh.30 Oleh karena itu, negara-negara dapat menciptakan

27 Mochtar Kusumaatmadja, 1990, Pengantar Hukum Intenasional, Bina Cipta, Jakarta, h.68.

28 Boer Mauna, 2011, op.cit, h. 17.

29 Friedmann, 1964, The Changing Structure of International Law, Columbia University Press and Stevens & Sons Ltd, h. 67-68. Dikutip dari I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara

dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM.

(34)

dan menjadi subyek langsung dari kewajiban-kewajiban internasional.31Namun seiring dengan perkembangan dewasa ini,yang telah diterima sebagai subjek hukum internasional selain negara adalah Tahta Suci Vatikan, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang perorangan (individu), dan pihak dalam sengketa (belligerent).32

Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. International Law Commission (ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan Rancangan Pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang Dipersalahkan menurut Hukum Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts) yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB melalui Resolusi A/RES/56/83.

Hukum internasional tentang tanggung jawab negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan internasional. Hukum internasional tentang tanggung jawab negara ini awalnyaberkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan pengadilan internasional. ILC menerima seluruh Artikel secara aklamasi. Pengadilan-pengadilan internasional bahkan telah sejak lama

31I Dewa Gede Palguna, 2008, “Tanggung Jawab Negara dan Individu”, disampaikan dalam acara Penataran Hukum Humaniter Internasional dan Hak Asasi Manusia bagi Perwira Kostrad, bertempat di Markas Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), h. 1, diakses pada tanggal 17 Nopember 2014, 08.30 PM.

(35)

mengutip dan menyetujui rancangan Artikel yang dibuat oleh ILC. Sehingga walaupun rancangan Artikel tidak menjelma sebagai sebuah konvensi, namun dapat dipastikan bahwa rancangan tersebut akan tetap berpengaruh besar pada pengadilan-pengadilan internasional.33 Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional (The Statute of International Court of Justice), praktik demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum internasional.34

1.7.3 Teori Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan

Udara Internasional

Teori ini digunakan sebagai landasan teori karena langsung berkenaan dengan masalah yang hendak dianalisis yaitu apakah pihak Malaysia Airlines dapat dimintakan pertanggungjawaban untuk membayar kompensasi baik dalam bentuk materiil maupun imateriil, atas kerugian yang diderita para penumpang meskipun kerugian itu timbul bukan karena kecelakaan biasa melainkan karena penembakan.

Dalam pengangkutan udara internasional, suatu accident merupakan syarat pertama untuk dapat diberlakukannya ketentuan-ketentuan konvensi.35 Suatu kejadian agar dapat dikualifikasikan sebagai accident menurut Pasal 17 Konvensi Warsawa

33 I Dewa Gede Palguna, op.cit, h. 3.

34Ibid.

(36)

1929 adalah apabila kejadian dalam pesawat udara yang menyebabkan kerugian tersebut harus merupakan kejadian yang luar biasa (unusual) atau tidak dapat diperkirakan sebelumnya (unexpected).36

Sejak dunia penerbangan mulai berkembang, terlebih setelah penerbangan sipil berkembang melintasi batas-batas negara, para ahli hukum di berbagai negara telah menyadari akan adanya berbagai masalah yang kompleks mengenai tanggung jawab pengangkut.37 Seiring dengan hal tersebut, para ahli hukum memandang bahwa akan terjadi perselisihan hukum (conflict of laws) yang tidak mungkin dapat dihindari.38 Lahirnya Konvensi Warsawa pada tahun 1929 dimaksudkan untuk menghindari terjadinya berbagai permasalahan tersebut dengan mengadakan suatu rezim hukum yang seragam terutama tentang tanggung jawab pengangkut udara. Konvensi Warsawa atau dengan nama resmi Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air ditandatangani di Warsawa pada tanggal 12 Oktober 1929 dan mulai berlaku sejak tanggal 13 Februari 1933.39 Konvensi ini merupakan perjanjian pertama di bidang Hukum Udara Perdata dan merupakan salah satu perjanjian tertua dan paling berhasil dalam menyeragamkan suatu bidang tertentu

36 Otto Kahn Freund, 1965, The Law of Carriage by Inland Transport 4th edition, Stevens, London, h. 718.

37 E. Saefullah Wiradipradja, op.cit, h. 54.

38 Ibid.

(37)

dalam hukum perdata. Hingga saat ini Konvensi Warsawa telah diratifikasi oleh kurang lebih 130 negara.40

Namun kenyataan ini tidak berlangsung lama, pasca Perang Dunia II, semakin banyak negara yang menginginkan Konvensi Warsawa untuk diubah demi memenuhi perkembangan jaman.41 Oleh karena itu, dimulai dari tahun 1955 konvensi ini kemudian telah diubah beberapa kali. Perubahan pertama diadakan dengan munculnya Protocol The Hague 1955, kedua melalui Protocol Guatemala City 1971, sampai 4 (empat) Protocol Montreal 1975. Di samping itu telah dibuat pula suatu konvensi tambahan yang ditandatangani di Guadalajara pada tahun 1961.

Tujuan utama dari protokol-protokol tersebut adalah mengubah batas-batas maksimum tanggung jawab pengangkut dan prinsip tanggung jawab pengangkut udara karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman.42 Sedangkan perubahan-perubahan lain dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan tujuan perubahan tersebut.43

Dalam hal pengangkutan penumpang, Pasal17 Konvensi Warsawa 1929 menyatakan sebagai berikut:

The carrier shall be liable for damage sustained in the event of death,

wounding or any other bodily injury by passenger if the accident which caused

40 Ibid.

41 Ibid, h. 55

42 Ibid.

(38)

the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of

any of the operations of embarking or disembarking.

Dari ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa ketentuan yang harus dipenuhi pengangkut untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban harus memenuhi beberapa syarat yaitu pertama kerugian harus disebabkan oleh suatu kecelakaan (accident), kedua kecelakaan tersebut harus terjadi dalam pesawat udara (...on board the aircraft) atau kecelakaan tersebut harus terjadi pada waktu embarkasi atau disembarkasi (in the course of any of the operations of embarking or disembarking). Dalam praktek, terdapat kesulitan sehubungan dengan adanya persyaratan tersebut. Kesulitan tersebut dikarenakan dalam Konvensi Warsawa 1929 tidak ada definisi tentang syarat-syarat di atas sehingga perlu ditafsirkan lebih lanjut melalui pendapat para sarjana atau dari putusan pengadilan.44

Beberapa masalah kontroversial dalam praktek hukum angkutan udara internasional setelah munculnya Konvensi Warsawa 1929 yaitu:

1. Kapan pengangkut harus bertanggung jawab.

Persoalan ini berhubungan dalam hal menentukan kapan pengangkut udara dapat diminta pertanggungjawabannya bilamana terjadi suatu kerugian atau kecelakaan yang diderita oleh pengguna jasa angkutan.Dalam prakteknya terdapat banyak kesulitan dalam menentukan kapan pengangkut udara harus diwajibkan untuk bertanggung jawab. Hal ini disebabkan karena dalam

(39)

Konvensi Warsawa 1929 tidak dirumuskan secara jelas kapan dan dalam hal apa pengangkut udara bertanggung jawab baik dalam hal pengangkutan penumpang bagasi tercatat dan kargo atau dalam hal kelambatan. Oleh karena itu tidak adanya ketentuan yang jelas dalam Konvensi, alhasil dalam praktek penafsirannya diserahkan pada pengadilan yang menangani perkara tersebut atau pada pendapat para ahli (doktrin).45

2. Jenis kerugian yang dapat diberikan santunan oleh pengangkut.

Berdasarkan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929, santunan dapat diberikan atas kerugian yang diderita penumpang apabila penumpang meninggal dunia, mengalami luka (wounding) atau mengalami penderitaan fisik lainnya bila peristiwa tersebut terjadi di dalam pesawat udara pada saat embarkasi atau disembarkasi.46

3. Tanggung jawab pengangkut dalam hal kelambatan

Konvensi Warsawa 1929 menentukan bahwa pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang menimpa penumpang, bagasi atau kargo akbat adanya kelambatan selama dalam pengangkutan udara. Adanya ketentuan tentang kemungkinan para pengguna jasa angkutan memperoleh ganti rugi yang diakibatkan oleh keterlambatan pihak pengangkut didasari oleh pemikiran bahwa kecepatan merupakan unsur utama dalam

45Ibid, h. 55.

(40)

pengangkutan udara.47 Lebih lanjut menurut E.M. Lopez menyatakan bahwa faktor waktu merupakan faktor yang terpenting sebagai bahan pertimbangan bagi para pengguna jasa angkutan untuk memilih angkutan udara dibanding dengan alat angkutan tradisional lainnya seperti angkutan darat atau angkutan laut.48

4. Batas-batas tanggung jawab pengangkut udara

Konversi Warsawa 1929 memberikan batasan mengenai tanggung jawab pengangkut hingga jumlah maksimum tertentu. Hanya saja dalam hal-hal yang khusus, batas tersebut dapat dilampaui. Namun sebaliknya dalam keadaan apapun jumlah yang telah ditetapkan tidak dapat dikurangi.49

5. Pembebasan tanggung jawab pengangkut udara

Seperti yang telah diketahui, Konversi Warsawa 1929 menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan atas praduga (rebuttable presumption of liability principle) yang mana beban pembuktian terhadap suatu perkara beralih dari pihak penggugat ke pihak tergugat. Dengan demikian, kemungkinan atas terjadinya pembebasan tanggung jawab pengangkut atas kerugian yang diderita penumpang atau barang dalam suatu peristiwa kecelakaan bisa saja terjadi sepanjang pengangkut dapat membuktikan bahwa pihaknya tidak bersalah di hadapan persidangan. Pembebasan kewajiban

47Ibid, h. 105

48 E. M. Lopez, 1976, Air Carrier’s Liability in Cases of Delay, h. 109

(41)

pengangkut untuk bertanggung jawab ini dapat diterapkan dalam hal pengangkutan penumpang maupun pengangkutan kargo atau bagasi.50

Perbuatan hukum (rechtshandeling) atau kejadian hukum (rechtsfeit) merupakan perbuatan dan tingkah laku subyek hukum yang membawa akibat hukum, karena hukum mempunyai kekuatan mengikat bagi subyek hukum.51 Menurut Van Apeldoorn, peristiwa hukum adalah peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau menghapuskan hak.52

Hubungan hukum (rechtsbetrekkingen) merupakan hubungan antara dua atau lebih subyek hukum. Hubungan ini bisa berupa ikatan antara individu dengan individu lainnya, antara individu dengan masyarakat atau antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu hak dan kewajiban.53

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian

Tulisan ini merupakanpenelitian hukum normatif.Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian yang

50Ibid, h. 140-148.

51 Soedjono Dirdjosisworo, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, PT. GrafindoPersada, Jakarta, h. 49.

52R. Soeroso, 2011, Pengantar Ilmu HukumCetakan XII, Sinar Grafika, Jakarta, h. 251.

(42)

dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan hukum melalui studi kepustakaan.54 Dalam pandangan Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah asas, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian internasional serta pendapat para sarjana yang telah diakui oleh dunia sebagai suatu teori yang benar (doktrin).55 Sementara itu, yang hendak dilakukan oleh penelitian ini ialah meneliti sistem norma tersebut, baik berupa asas, prinsip serta pengertian-pengertian yang terkandung dalam sumber-sumber hukum internasional pada peristiwa yang terjadi di lapangan.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum, umumnya dikenal 7 (tujuh) jenis pendekatan, yakni: a. Pendekatan kasus (case approach);

b. Pendekatan perundang-undangan (statute approach); c. Pendekatan fakta (fact approach);

d. Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach); e. Pendekatan frasa (words and phrase approach);

f. Pendekatan sejarah (historical approach);

54 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif, Sebagai Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, h. 15.

(43)

g. Pendekatan perbandingan (comparative approach).56

Adapun jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebanyak 4 (empat) jenis pendekatan yaknipendekatan kasus (case approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach). Digunakannya pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan fakta (fact approach)karena tulisan ini berangkat dan didasari oleh kasus yang benar-benar terjadi secara konkrit. Selanjutnya terkait dengan digunakannya pendekatan perundang-undangan (statute approach), meskipun dalam hukum internasional tidak mengenal undang-undang layaknya dalam sistem hukum nasional, namun perundang-undangan dapat diinterpretasikan secara luas dalam bentuk konvensi-konvensi internasional yang telah diratifikasi dan mengikat negara-negara anggotanya. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) digunakan karena tulisan ini mengkajiaturan-aturan dalam konvensi internasional, di mana aturan-aturan tersebut berhubungan dengan permasalahan hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini. Terakhir, penggunaan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) karena dalam tulisan ini selain menggunakan aturan dalam konvensi sebagai acuan, pembahasan terhadap masalah-masalah hukumnya juga diperlukan menggunakan beberapa konsep-konsep ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum internasional.

1.8.3 Bahan Hukum

(44)

Sumber-sumber bahan hukum yang digunakan penulis guna menunjang penulisan skripsi ini dapat dibagi 3 (tiga), yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan serta perjanjian internasional.57 Adapun bahan hukum primer yang digunakan penulis dalam tulisan ini berupa beberapa dokumen, antara lain:

- Act 408 National Productivity Corporation;

- Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air (Warsaw Convention) 1929;

- Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention)1944;

- Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001; - Protocol The Hague 1955;

- Protocol Guatemala City 1971; - Protocol Montreal 1 – 4 1975;

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini diperoleh melalui studi kepustakaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana berupa buku-buku, jurnal ilmiah, artikel serta berita-berita dari situs internet.

c. Bahan Hukum Tersier

(45)

Adapun bahan hukum tersier yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah berupa kamus umum bahasa Inggris dan Indonesia serta kamus hukum.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Skripsi ini merupakanpenelitian hukum normatif, oleh karena itu maka teknik pengumpulan bahan hukumnya adalah dengan cara studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang digunakan. Penelusuran dalam studi kepustakaan yang dimaksud dilakukan dengan membacadan melakukan penulusuran bahan hukum melalui media internet.

1.8.5 Teknik Analisis

Dalam tulisan ini, penulis menggunakan 2 (dua) teknik analisis yaitu teknik analisis yang bersifat deskriptif dan preskriptif.Teknik analisis deskriptif adalah teknik analisis yang memberikan gambaran atau pemaparan terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.Sedangkan teknik analisis preskriptif adalah teknik analisis yang memberikan penilaian benar atau salah dan bagaimana seharusnya menurut hukum terhadap fakta-fakta yang terjadi di lapangan.58 Dalam tulisan ini, fakta-fakta tersebut diperoleh melalui laporan, berita serta rilis resmi yang dapat ditelusuri melalui internet.

(46)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN

PENGANGKUT

2.1 Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional

Tanggung jawab negara (state responsibility) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin para ahli hukum internasional. Tanggung jawab negara timbul bila terdapat pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu, baik kewajiban tersebut berdasarkan perjanjian internasional maupun berdasarkan pada kebiasaan internasional.1

Di samping itu tanggung jawab negara (state responsibility) muncul sebagai akibat dari adanya prinsip persamaan dan kedaulatan negara (equality and sovereignty of state) yang terdapat dalam hukum internasional.2 Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut suatu hak yaitu berupa perbaikan (reparation).3 Meskipun suatu negara mempunyai kedaulatan atas dirinya, tidak lantas negara tersebut dapat menggunakan kedaulatannya tanpa menghormati kedaulatan negara-negara lain.Didalam hukum internasional telah diatur bahwa kedaulatan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan itu sendiri, karena apabila suatu negara

1Andrey Sujatmoko, Tanggung Jawab Negara Atas Pelanggaran Berat HAM: Indonesia, Timor Leste dan Lainnya, Grasindo Gramedia WidiasaranaIndonesia, h. 28.

2 Hingorani, 1984, Modern International Law, Second Edition, Oceana Publications, h. 241.

(47)

menyalahgunakan kedaulatannya, maka negara tersebut dapat dimintai suatu pertanggungjawaban atas tindakan dan kelalaiannya.4

Istilah tanggung jawab negara hingga saat ini masih belum secara tegas dinyatakan dan masih terus berkembang untuk menemukan konsepnya yang mapan dan solid. Oleh karena masih dalam tahap perkembangan ini, maka sebagai konsekuensinya, pembahasan terhadapnya pun dewasa ini masih sangat membingungkan.5

Hingga saat ini belum terdapat ketentuan hukum internasional yang mapan tentang tanggung jawab negara. Umumnya yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum internasional dalam menganalisa tanggung jawab negara hanya baru pada tahap mengemukakan syarat-syarat atau karakteristik dari pertanggungjawaban suatu negara. Meskipun demikian para ahli hukum internasional telah banyak mengakui bahwa tanggung jawab negara ini merupakan suatu prinsip yang fundamental dari hukum internasional.6

Dalam hukum internasional dikenal 2 (dua) macam aturan yakni:7

4 Huala Adolf, 1991, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, CV Rajawali, Jakarta, (selanjutnya disingkat Huala Adolf I), h. 174.

5Ibid.

6Ibid.

(48)

- Primary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan hak dan kewajiban negara yang tertuang dalam bentuk traktat, hukum kebiasaan atau instrumen lainnya; dan

- Secondary rules adalah seperangkat aturan yang mendefinisikan bagaimana dan apa akibat hukum apabila primary rules tersebut dilanggar oleh suatu negara.

Secondary rules inilah yang disebut sebagai hukum tanggung jawab negara (the law of state responsibility).8

Pasal 1 Draft Articles International Law Comission 2001 menegaskan bahwa setiap tindakan suatu negara yang tidak sah secara internasional melahirkan suatu tanggung jawab.9 Prinsip dalam rancangan pasal inilah yang dianut dengan teguh oleh praktek negara dan keputusan-keputusan pengadilan serta telah menjadi doktrin dalam hukum internasional.10

2.1.1 Pengertian Tanggung Jawab Negara

Pengertian tanggung jawab negara jika merujuk pada Dictionary of Law adalah:

8 Ibid.

9 Martin Dixon, 2007, Textbook on International Law Sixth Edition, Oxford University Press, New York, h. 244.

(49)

Obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply

with a legal obligation under international law.”11

Dari rumusan tersebut tanggung jawab negara dapat diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan perbaikan (reparation) yang timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional. Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary hanya terdapat pengertian tanggung jawab secara sempit yaitu answerability or accountability.12

Sugeng Istanto memberikan pengertian terhadap tanggung jawab negara dengan menggunakan istilah pertanggungjawaban negara. Menurutnya pertanggungjawaban negara adalah kewajiban negara memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan.13

Sebagaimana layaknya dalam sistem hukum nasional, dalam hukum internasional juga dikenal adanya tanggung jawab sebagai akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional.14Ada dua pengertian dari pertanggungjawaban negara. Pertama yaitu pertanggungjawaban atas

11 ElizabethA.Martin ed., 2002, A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, h. 477.

12 Bryan A. Garner, 2014, Black’s Law Dictionary Edisi Kesepuluh, Claitors Pub Division, New York, h. 211.

13 F. Sugeng Istanto, op.cit, h. 105.

(50)

tindakan negara yang melanggar kewajiban internasionalnya. Kemudian yang kedua yaitu pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.15

Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional pada dasarnya dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa tidak ada negara manapun di dunia ini yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain menyebabkan negara tersebut berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya menurut hukum internasional. Hal ini sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa dalam sistem hukum di dunia, dimana pelanggaran terhadap kewajiban yang mengikat secara hukum akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelanggarnya.16

Menurut Malcolm N. Shaw ada 3 (tiga) karakter esensial dari suatu pertanggungjawaban negara, yakni:17

1. The existence of an international legal obligation in force as between two particular states,

2. There has occured an act or omission which violates that obligation and which is imputable to the state responsible; dan

3. That loss or damage has resulted from the unlawful act or ommission.

15Ibid.

16 Sefriani, op.cit.

(51)

Dari ketiga karakter pertanggungjawaban negara menurut Shaw di atas, terdapat 3 (tiga) unsur yang harus dipenuhi suatu negara agar dapat dimintai pertanggungjawabannya. Pertama, yaitu harus terdapat kewajiban internasional yang mengikat pada negara yang akan dimintakan pertanggungjawabannya. Kedua, adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang mengakibatkan dilanggarnya suatu kewajiban internasional suatu negara yang kemudian menimbulkan tanggung jawab bagi negara tersebut. Terakhir adalah adanya kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan serta kelalaian yang dilakukan oleh negara tersebut. Jadi secara implisit Shaw menyatakan bahwa negara yang hendak dimintai pertanggungjawabannya harus memenuhi ketiga unsur di atas dan apabila salah satu dari unsur pertanggungjawaban negara tersebut tidak terpenuhi maka suatu negara tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya.18

1.1.2 Munculnya Tanggung Jawab Negara

Pada hakikatnya, lahirnya tanggung jawab negara didasari oleh 2 (dua) teori, yaitu teori risiko dan teori kesalahan. Kedua teori ini memiliki alur logika dan argumentasinya masing-masing.

Teori risiko (risk theory)menentukan bahwa suatu negara mutlak bertanggung jawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan (harmful effectsof hazardous activities) walaupun kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mempunyai legalitas hukum. Teori ini kemudian melahirkan prinsip

(52)

tanggung jawab mutlak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility).19 Contoh penerapan teori ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 Liability Convention 1972 yang menyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggung jawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian di permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang mana kerugian dan kecelakaan tersebut ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

Berbeda dengan teori risiko, teori kesalahan (fault theory)menyatakan bahwa tanggung jawab negara muncul pada saat perbuatan negara tersebut dapat dibuktikan mengandung unsur kesalahan.20 Suatu perbuatan dikatakan mengandung kesalahan apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja beritikad buruk atau dengan kelalaian yang tidak dapat dibenarkan. Teori dan praktek hukum internasional dewasa ini tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada perbuatan alat kelengkapan negara yang bertentangan dengan hukum internasional yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban negara. Dalam hal ini negara menjadi bertanggung jawab tanpa adanya keharusan bagi pihak yang menuntut pertanggungjawaban untuk membuktikan adanya kesalahan pada negara tersebut.21Teori kesalahan ini kemudian

19 Huala Adolf I, op.cit, h. 187.

20 Ibid.

(53)

melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault).22

2.1.3 Elemen-elemen Tanggung Jawab Negara

Suatu perbuatan negara yang dapat dipersalahkan menurut hukum internasional (internationally wrongful act of a state) secara otomatis akan melahirkan tanggung jawab internasional bagi negara tersebut.23 Untuk itu menurut Draft Articles International Law Comission 200124 (selanjutnya disebut Draft Articles ILC) sebagai suatu instrumen hukum internasional kebiasaan yang mengatur tentang state responsibility menentukan kapan perbuatan suatu negara dapat dikatakan salah. Merujuk Pasal 1 dan 2 Draft Articles ILC perbuatan suatu negara dapat dipersalahkan menurut hukum internasional apabila pertama ketika perbuatan tersebut dapat diatribusikan pada negara tersebut (attribution of conduct to a state) dan kedua ketika perbuatan negara tersebut telah melanggar kewajiban internasionalnya (breach of an international obligation).25 Namun Draft Articles ILC tidak memberi pembatasan kapan suatu negara dikatakan melakukan suatu pelanggaran hukum internasional. Sehingga dalam praktiknya, hal tersebut ditentukan melalui penerapan sumber-sumber hukum internasional primer lainnya.

22 Huala Adolf I, loc.cit.

23 I Dewa Gede Palguna, loc.cit.

24 Nama Resmi dari draft ini adalah Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts 2001.

25 Malcolm D. Evans, 2006, International Law, Second Edition, Oxford University Press, New York, h. 459.

(54)

a. Perbuatan yang diatribusikan kepada suatu negara (attribution of conduct to a state)

Secara umum, ketentuan yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa hanya perbuatan organ negara, pemerintah dan/atau pejabatnya (orang maupun entitas yang bertindak berdasarkan perintah/arahan, anjuran, atau pengawasan organ-organ itu) yang dapat diatribusikan kepada negara. Organ-organ itu mencakup organ-organ pemerintahan nasional, daerah, maupun lokal dan orang-orang maupun entitas dalam tingkatan apapun, ataupun setiap orang maupun entitas yang menyandang status sebagai organ pemerintahan berdasarkan hukum nasional suatu negara. Di samping itu juga termasuk di dalamnya orang-orang yang secara nyata bertindak sebagai organ pemerintahan meskipun mereka tidak diklasifikasikan demikian oleh hukum nasional negara yang bersangkutan.26

b. Pelanggaran suatu kewajiban internasional(breach of an international obligation)

Sekalipun suatu perbuatan dapat diatribusikan kepada suatu negara, untuk melahirkan adanya tanggung jawab negara, perbuatan itu harus dibuktikan merupakan pelanggaran suatu kewajiban internasional negara yang bersangkutan. Untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran suatu kewajiban internasional, Artikel menentukan bahwa hal itu harus ditentukan secara kasus

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tanggung jawab dari developer atas penghentian pembangunan rusunami hingga menyebabkan kerugian kepada konsumen dan

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah tanggung jawab seorang pengangkut barang apabila dia melakukan tindakan pengiriman barang kepada

Setiap kerugian yang dialami oleh penumpang merupakan masalah hukum khususnya merupakan tanggung jawab perusahaan penerbangan atau pengangkut ( carrier ) terhadap penumpang

Dari uraian diatas yang menjadi latar belakang permasalahan sebagai penulis untuk menyusun skripsi dengan judul “TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ATAS KEHILANGAN DAN

17 Dengan demikian dapat diartikan tanggung jawab (liability) adalah kewajiban membayar ganti kerugian yang diderita pihak lain, misalnya dalam perjanjian

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul: TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGANGKUT TERHADAP AWAK PESAWAT KETIKA TERJADI KETERLAMBATAN PENERBANGAN

Kecerobohan penumpang merupakan bukan tanggung jawab dari staf Malaysia Airlines, namun Malaysia Airlines sebagai perusahaan yang menekankan pada pelayanan penumpang

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas Rahmat-nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tanggung Jawab Pengangkut Dalam