• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Interaksi Sosial Masyarakat Penyandang Tuna Rungu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Proses Interaksi Sosial Masyarakat Penyandang Tuna Rungu"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

i

Proses Interaksi Sosial Masyarakat Penyandang Tuna Rungu

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi penyusunan skripsi untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh Fakri Faranttaqi

1113111000069

Program Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2020

(2)

ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

Proses Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Pada Penyandang Tuna Rungu

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 24 Juni 2020

Fakri Faranttaqi

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Fakri Farantaqqi

NIM : 1113111000069

Program Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

Proses Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Pada Penyandang Tuna Rungu

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 24 Juni 2020

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Muhammad Ismail, M.Si

NIP. 197609182003122033 NIP. 1968030811997031001

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

SKRIPSI

Proses Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Pada Penyandang Tuna Rungu Oleh

Fakri Farantaqqi 1113111000069

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Juli 2020 .Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Dr. Joharotul Jamilah, M.Si

NIP. 197609182003122033 NIP. 196808161997032002

Penguji I, Penguji II,

Iim Halimatusa‟diyah, Ph. D. Saifuddin Asriri, M.Si.

NIP. 198101122011012009 NIP. 197701192009121001

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 9 Juli 2020 Ketua Program Studi Sosiologi

FISIP UIN JAKARTA

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si NIP. 197609182003122033

(5)

v ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengetahui dan menganalisis Proses Interaksi Sosial Masyarakat Pada Penyandang Tuna Rungu. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa – siswi SLBN 01 Jakarta. Proses analisis data dilakukan dengan mereduksi data, menyajikan data hasil penelitian, dan menyimpulkan data penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah interaksionisme simbolik yang dijelaskan oleh G.H. Mead.

Teori tersebut digunakan untuk menganalisa proses interaksi simbolik antara siswa dengan masyarakat umum.

Berdasarkan temuan dan hasil analisis, didapatkan bahwa bentuk interaksi yang dilakukan antara siswa – siswi SLBN 01 Jakarta dan juga masyarakat di sekolah. Proses interkasi yang dilakukan oleh siswa – siswi di masyarakat umum terjadi seperti manusia biasanya. Masyarakat umum merespon situasi simbolik yang diberikan para siswa – siswi terkadang salah dalam memaknai arti simbol tersebut. Sedangakn makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dikarena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasih dengan dirinya sendiri

Siswa – siswi memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk dapat berinteraksi dengan orang lain melalui virtual atau daring. Peranan SIBI/BISINDO bagi interksi dengan para penyangdang tuna rungu sangat penting.

Apabila lawan bicara tidak mengerti, pada umumnya mereka akan menggunakan simbol simbol familiar untuk memudahkan berkomunikasi. Dengan adanya teknologi, memudahkan para siswa dan siswi dalam berkomunikasi baik dalam membicarakan seputar sekolah atupun di luar kegiatan sekolah

.

Kata Kunci: Interaksionisme Simbolik, Tuna Rungu

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur tiada henti-hentinya penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas izin dan kuasanya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Proses Interaksi Sosial Dalam Masyarakat Pada Penyandang Tuna Rungu”. Meskipun dalam penulisannya masih jauh dari kata sempurna. Selama proses penulisan hingga akhirnya terselesaikannya skripsi ini, penulis dipertemukan dengan orang-orang yang berjasa besar selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, atas segalanya penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ali Munhanif, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si, selaku Ketua Prodi Sosiologi yang telah memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.Dr. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekertaris Prodi Sosiologi yang telah membantu dan melancarkan skripsi ini.

3. Bapak Muhammad Ismail, M.Si, sebagai dosen pembimbing yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi. Terimakasih atas waktu dan bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Kedua orang tua saya, Ayahanda Sutarman dan Ibunda Haryani, S.E, yang tiada henti mendoakan dan memberikan semangat tenaga dan pikiran kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

5. Untuk Om dan Tante saya, Mayor (CHB) Budi Sukamto dan Kapten (CHB) Ani, yang selalu memberikan motivasi kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Para siswa dan guru selaku informan yang telah bersedia membantu penulis dalam menggali informasi dan melakukan pencarian data penelitian skripsi.

7. Keluarga Sosiologi B 2013 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan pembelajaran berharganya.

(7)

vii

8. Sahabat setia WSS, Arif, Cepi, Amal, Alif, Mustofa, Rifnu, Gaung, Malik, Novi, Okta, yang telah banyak memberi energi positif dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat empang, Arisna, Brian, Chandra, Haenzel, Hendrik, Johan, Odet, Rama, Rio, Taufik. Yang telah memberi banyak dukungan serta doa kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Kepada sahabat-sahabat orang aring, Akhmad Saikhu, Rusydan Fathy, Rafli Wiyan, Reza Alfahrin. Yang sudah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

11. Untuk orang yang sudah saya anggap sebagai saudara saya, Praka Mar Febry Teguh Pramana dan Praka Mar Imam Fachruddin. Yang telah banyak memotivasi dan memberi semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikianlah ucapan terima kasih, semoga segala bantuan dan dukungannya mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT. Maka dengan ini penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, 24 Juni 2020 Penulis,

Fakri Farantaqqi NIM. 1113111000069

(8)

viii DAFTAR ISI

Lembar Judul ...

Lembar Pernyataan Bebas Plagiarisme ... ii

Lembar Persetujuan Pembimbing ... iii

Pengesahan Panitia Ujian Skripsi ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 7

D. Tinjauan Pustaka ... 8

E. Kerangka Teoritis ... 13

F. Metodologi Penelitian ... 26

BAB II GAMBARAN UMUM ... 31

A. Tuna Rungu Di Indonesia ... 31

B. Profil SLBN 01 Jakarta ... 34

BAB III PEMBAHASAN ... 39

A. Proses Interaksi Penyandang Tuna Rungu Dalam Masyarakat... 39

B. Bentuk – Bentuk Interaksi Sosial ... 51

C. Peranan Bahasa Isyarat Bagi Penyandang Tunarungu Dalam Proses Interaksi Sosial Di Masyarakat ... 56

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Rekomendasi ... 63 DAFTAR PUSTAKA ... Ixiv Lampiran – Lampiran ... Ixvi

(9)

ix

Daftar Tabel

Tabel 1.D Matriks Jurnal... 11

Tabel II. A. 1. Data Peserta Didik di SDLB B dan C/C1 ... 35

Tabel II. A 2. Data Guru dan Tenaga Kerja Kependidikan ... 36

(10)

x

Daftar Gambar

Gambar III. A. 1 Kegiatan Diskusi Siswa ... 42 Gambar III. A. 2. Siswa Membantu Staff Sekolah Untuk Mengecat Lapangan . 46 Gambar III. A. 3. Tropi Siswa – Siswi SLBN 01 Jakarta ... 47 Gambar III. A. 4. Tropi Siswa – Siswi SLBN 01 Jakarta ... 55 Gambar III. B. 5. Kegiatan belajar dalam kelas ... 60

(11)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. PERNYATAAN MASALAH

Manusia merupakan makhluk sosial yang artinya manusia membutuhkan orang lain dan lingkungan sosialnya sebagai sarana bersosialisasi. Bersosialisasi artinya manusia membutuhkan lingkungan sosial sebagai salah satu habitatnya sehingga tiap manusia saling membutuhkan satu sama lain untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Adapun ciri manusia sebagai makhluk sosial adalah dengan adanya interaksi sosial.

Ketika manusia telah menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri mereka membuat suatu kelompok atau sistem dan aturan-aturan yang ada didalamnya yang disebut Masyarakat. Kehidupan bermasyarakat sangat erat hubungannya dengan interaksi, yaitu hubungan timbal balik antar individu dengan individu lainya atau kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok atau sebaliknya.

Interaksi ini saling mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki satu sama lain. Soerjono Soekanto (2012) menjelaskan hakikat bermasyarakat itu sebenarnya terdiri dari relasi- relasi yang mempertemukan mereka dalam usaha dan tindakan yang berbalasan.

(12)

2

Proses interaksi sosial berjalan dan saling terhubung satu sama lain jika adanya interaksi 2 individu. Namun perwujudan yang sebenarnya dari interaksi adalah ketika individu pertama mempengaruhi, merubah, atau memperbaiki kelakuan orang ke dua dan saling terhubung satu sama lain, karena jika tidak proses interaksi tidak dapat berjalan dengan baik.

Proses interaksi yang baik ketika individu pertama memberikan pengaruh,mengubah atau memperbaiki terhadap individu kedua dan individu kedua merespond nya dengan memberikan feedback, dan begitu seterusnya sehingga mereka saling terhubung. Sedangkan menurut M. Burhan Bungin (2006) Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi.

Interaksi sosial dapat terjadi bukan hanya antar 2 individu saja, hal tersebut adalah syarat minimal interaksi dapat berjalan. Pada hakikatnya interaksi sosial dapat terjadi antara individu dengan kelompok ataupun kelompok dengan kelompok. Jadi proses interaksi bisa berjalan di manapun dan kapanpun di dalam masyarakat selama individu dapat saling memberi pengaruh, mengubah atau memperbaiki individu atau kelompok yang lainnya.

Di dalam ber-interaksi kita juga harus memiliki modal yakni bahasa.

Karena bahasa adalah salah satu modal utama untuk berinteraksi dengan masyarakat. Misalnya bahasa yang keluar dari mulut atau lisan, Ketika seseorang meluapkan perasaan atau memberikan pengaruh lewat percakapan di

(13)

3

mana percakapan itu sendiri harus menggunakan bahasa, tentunya bahasa yang digunakan harus dimengerti satu sama lain.

Tetapi bagaimana dengan orang yang tidak dapat menggunakan bahasa lisan yang dikarenakan tidak dapat bicara atau memiliki anugerah khusus dari tuhan, yakni penyandang Tuna Rungu. Orang-orang yang berkekurangan dalam percakapan atau tidak bisa bicara (tuna rungu) yaitu suatu keadaan dimana kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara (Efendi, 2006).

Mereka hanya bisa berinteraksi dengan bahasa isyarat bahasa y a n g menggunakan bahasa tubuh, gerak bibir, lengan, dan ekspresi wajah sehingga tidak menimbulkan suara atau bunyi dalam berkomunikasi. Bahasa isyarat merupakan proses mengungkap pikiran mereka terhadap lingkungan. Kelompok ini biasa disebut dengan Kaum Tuna Rungu (Efendi, 2006)..

Kesalahan dalam menanggapi tanda yang dilakukan oleh orang normal dalam berinterkasi sosial disebabkan salah mempersepsikan maksud seseorang sehingga terjadi salah komunikasi. Sistem Isyarat dalam Indonesia (SIBI) merupakan sistem yang menjadi acuan para penderita tuna rungu di Indonesia.

Interaksi sosial yang dilakukan oleh penderita tuna rungu yang menggunakan bahasa isyarat memiliki banyak permasalahan, di antaranya penderita tuna rungu yang mengalami kesulitan berinteraksi menggunakan bahasa lisan yang memang menjadi kekuranganya (Efendi, 2006)..

(14)

4

Permasalahan interaksi sosial juga terjadi pada orang normal dalam berinteraksi dengan penderita tuna rungu karena tidak mampu menerjemahkan bahasa isyarat. Menciptakan sebuah harmoni sosial yang baik antara orang normal dan penderita tuna rungu merupakan solusi dari permasalahan interaksi sosial saat ini.

Bahasa isyarat di Indonesia sendiri ada dua jenis yaitu: 1. SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indoensia) dan 2. Bisindo (Bahasa Isyarat Indoensia). Perbedaan dari SIBI dan BISINDO adalah SIBI merupakan kata-kata yang memiliki makna yang sama atau sinonim diisyaratkan dengan temapt arah dan frekuensi yang sama tapi dengan penampil berbeda. SIBI pada dasarnya menggunakan abjad sebagai panduan bahasa dengan isyarat tangan satu. BISINDO adalah metode atau sistem komunikasi yang efektif dan praktis bagi penyandang tunarungu.

BISINDO telah disesuaikan dengan pemahaman bahasa tunarungu dari berbagai latar belakang tunarungu tanpa memberikan struktur imbuhan bahasa indonesia.

Jika SIBI menggunakan satu tangan sebagai bahasa isyarat, BISINDO menggunakan kedua tangan sebagai bahasa isyarat (Rohmah, 2015).

Isyarat tangan satu menjadi panduan SIBI, sementara BISINDO menggunakan gerakan tangan (dua tangan) sebagai upaya komunikasi antar pengguna bahasa isyarat. Semantara Peneliti dari Laboratorium Riset Bahasa Indonesia (LRBI) di Universitas Indonesia, Pheter Angdika mengatakan, SIBI diambil dari bahasa isyarat Amerika Serikat ditambahkan imbuhan awal dan akhir(Rohmah, 2015).

(15)

5

Proses sosial adalah interaksi sosial sedangkan bentuk khususnya adalah aktivitas- aktivitas sosial. Jadi bagaimanapun keadaan seseorang selama individu tersebut dapat menggunakan gerak tubuh atau yang lainnya, sudah bisa dinamakan sebagai interaksi sosial. Semisal ketika mengedipkan mata terhadap seseorang dengan kiasan bahwa itu adalah tanda dan orang tersebut mengerti akan tanda itu dan meresponnya. Hal ini disebut sebagai interaksi. (Bungin:2006)

Begitupun dengan tantangan yang dihadapi oleh penyandang tuna rungu ini adalah suatu yang dihadapkan pada keterbatasannya dalam berinteraksi secara normal yakni proses interaksi yang terjadi di dalamnya hanya bisa menggunakan bahasa tubuh atau bahasa isyarat, karenanya proses interaksi yang terjadi di dalamnya sangatlah berbeda pada masyarakat normal pada umumnya karena itu peneliti ingin mengkaji permasalahan tersebut terhadap penyandang tuna rungu yang kita telah ketahui hanya bisa menggunakan bahasa tubuh/isyarat/nonverbal.

Namun perlu diketahui pula memang sudah ada bahasa isyarat resmi yang mengandung arti tersendiri tetapi banyak orang yang tidak mengerti atau menghafalnya dan bahkan para penyandang tuna rungu pun tidak semuanya bisa karena hanya yang mendapatkan pendidikan yang cukup yang bisa menguasainya dan biasanya keahlian tersebut didapat disekolah inklusif / luar biasa atau biasa juga disebut SLB.

Pada hakikatnya percakapan atau proses interaksi yang terjadi di antara penyandang tuna rungu di dalam sebuah komunitasnya memang berjalan dengan

(16)

6

baik namun lain halnya jika para penyandang ini dihadapkan pada kenyataan pahit yang mereka hadapi di masyarakat pada umumnya, karena interaksi yang mereka jalin dengan para masyarakat biasa pastinya sangat berbeda dengan mereka ketika menghadapi sesama penyandang tuna rungu, peneliti ingin mengetahui pula sejauh mana penyandang tuna rungu ini dapat menjalankan kehidupan sehari-harinya di tengah masyarakat umum.

Peneliti ingin mengkaji lebih dalam proses interaksi yang terjadi pada penyandang tuna rungu mengenai kebiasaan mereka dalam berinteraksi antar individu yang normal yang bukan tuna rungu dan tidak bisa menggunakan bahasa isyarat, ataupun berinteraksi dengan sesama tuna rungu. Dan juga ingin meneliti kebiasaan tunarungu dalam berinteraksi dengan masyarakat di luarnya.

Bagaimana keadaan internal suatu kelompok tuna rungu dalam menghadapi masalah sesuatu yang bersangkutan dalam bahasa serta pemahaman setiap individunya dalam memahami bahasa isyarat ataupun ketika berada di luar kelompok mereka. Oleh karena itu Interaksi sosial adalah hal yang sangat signifikan dalam masyarakat apapun baik mereka yang berkekurangan ataupun tidak.

Bahasa tubuh atau isyarat yang digunakan penyandang tuna rungu sebagai modal dalam berinteraksi sosial dapat dikaji menggunakan Interaksionisme simbolik untuk menggambarkan proses interaksi sosial yang terjadi pada penyandang tuna rungu di masyarakat.

(17)

7 B. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Bagaimana Proses Interaksi yang terjadi pada penyandang tuna rungu dalam masyarakat umum?

2. Bagaimana peranan bahasa isyarat yang digunakan penyandang tuna rungu dalam proses interaksi sosial yang terjadi di masyarakat?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Mengetahui Proses interaksi penyandang tuna rungu di dalam masyrakat umum.

2. Mengetahui peranan bahasa isyarat yang digunakan penyandang tuna rungu dalam proses interaksi sosial yang terjadi di masyakat.

Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian dapat menambah wawasan khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosial dan sosiologi komunikasi. Hal ini berkaitan dengan interaksi sosial penyandang tunarungu yang berada di lingkungan masyarakat.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan perhatian lebih terhadap penyandang Tuna rungu agar dapat berinteraksi dengan baik walaupun hanya dengan menggunakan bahasa nonverbal/bahasa isyarat.

(18)

8

b. Dapat digunakan sebagai panutan pemerintah bahwa pentingnya diadakan pelatihan mengenai bahasa isyarat terlebih pada penyandang tuna rungu yang belum menguasainya agar mereka dapat menjalankan proses interaksinya dengan baik.

D. TINJAUAN PUSTAKA/ MATRIKS JURNAL

Pembahasan tentang interaksi yang terjadi pada penyandang tuna rungu ini memiliki banyak kesamaan dengan penelitian yang sebelumnya, yaitu :

Pertama, Jurnal tentang Anak tuna rungu yang ditulis oleh Jurnal dari eJurnal Sosiatri-Sosiologi 2013 yang ditulis oleh Indar Mery Handayani dengan judul “INTERAKSI SOSIAL ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SDN 016/016 INKLUSIF SAMARINDA (STUDI KASUS ANAK PENYANDANG AUTIS)”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitan ini membahas tentang proses Interaksi sosial yang terjadi di dalam sekolah dasar khususnya pada penyandang Autis, dimana para penyandang Autis ini dihadapkan pada kenyataan yang pahit terlebih dalam berkomunikasi sehingga membuat proses interaksi yang terjadi didalamnya berbeda dengan orang normal pada umumnya.

Penelitian ini berbeda dengan apa yang diteliti oleh penulis. Dari obyek yang diteliti berbeda antara penyandang autis dengan penyandang tuna rungu. Jadi secara keseluruhan proses interaksi yang terjadi antara penyandang autis dan tuna

(19)

9

rungu berbeda, dari segi lokasi pun berbeda. Jadi memberikan sudut pandang yang berbeda.

Kemudian Jurnal Fatma Laili Khoirun Nida Dosen Jurusan Dakwah dan Komunikasi STAIN Kudus yang menulis tentang “ KOMUNIKASI BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS” pada tahun 2013. Jurnal ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Jurnal ini membahas mengenai semua anak yang berkebutuhan khusus termasuk anak tunarungu dari segi lokasi dan tahun peneitian pun berbeda. Akan tetapi ada kesamaan dalam menganalisa interaksi nak tuna rungu dengan mengunakan bahasa isyarat bagi penyandang berkebutuhan khusus

Kemudian Skripsi Margaretha Langen Sekar Lelyana 2017 yang berjudul, Interaksi Sosial Antar Anak Tuna Rungu dan Anak Tunarungu dengan „Anak Dengar‟. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif observasi. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perilaku interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak dengar. Hasil dari penelitian ini menemukan bahan kontak sosial dan komunikasi terjadi dalam interaksi sosial anak-anak tunarungu dan „anak dengar‟.

Interaksi sosial anak-anak tunarungu tampak dalam ajakan bermain, mendekati sesama teman tunarungu, berkomunikasi baik secara oral maupun bahasa isyarat dalam bentuk abjad atau gerak tubuh. Selain itu mereka juga melibatkan ekspresi perasaan dalam beragam bentuk baik mimik wajah ataupun

(20)

10

tingkah laku. Anak tunarungu tampak lebih pasif karena menunggu ajakan interaksi „anak dengar‟ ketika sedang bersama.

Mereka juga cenderung untuk mengajak anak kecil untuk berinteraksi dibandingkan dengan teman sebayanya. Selain itu, anak tunarungu berkomunikasi dengan cara menggerakkan bibir atau menuliskan pesan. Anak tunarungu juga berinteraksi dengan „orang dengar‟. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi anak-anak tunarungu maupun anak tunarungu dengan „anak dengar‟.

Jurnal Widia Ortodidaktika Vol 7 No 2 Tahun 2018 oleh Iin Dwiningsih dengan Judul “INTERAKSI SOSIAL ANAK TUNARUNGU KELAS I DI SD INKLUSI NEGERI GEJAYAN”, pada pembahasan jurna;l ini sangat relevan dengan pembahasan dan rumusan masalah yang sedang dikaji oleh penulis.

Peranan bahasa isyarat yang digunakan penyandang tuna rungu dalam proses interaksi sosial yang terjadi di masyarakat, keterkaitannya terletak pada masalah bahasa isyarat yang menjadi sebuah solusi interaksi sosial bagi penyandang tunarungu. Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian penuis ialah dari lokasi penelitian dan tahun dilakukan meneliti berbeda.

Kemudian INJECT (Interdisciplinary Journal of Communication) oleh Muslih Aris Handayani dengan Judul ” KOMUNIKASI ANAK TUNA RUNGU DENGAN BAHASA ISYARAT DI SLB B YAKUT PURWOKERTO” Jurnal ini relate dengan pembahasan skripsi penulis terkait dengan pola komuniksi yang dibangun oleh para penyandang tuna rungu dalam berinteraksi

(21)

11

dengan mengunakan metode kualitatif deskriptif. Yang membedakan dengan penelitian peneliti ialah proses pengambilan data dengan cara wawancara bukan hanya observasi.

Tabel 1.D Matriks Jurnal

No. Jurnal/Artikel Isi Teori Metode Hasil

1. “INTERAKSI SOSIAL ANAK BERKEBUTU HAN KHUSUS

DI SDN

016/016 INKLUSIF SAMARINDA (STUDI

KASUS ANAK PENYANDAN G AUTIS)”

Penulis: Indar Mery

Handayani Tahun: 2003

Proses interaksi sosial yang terjadi di dalam sekolah dasar khususnya pada penyandang Autis, dimana para penyandang

Autis ini

dihadapkan pada kenyataan yang pahit terlebih dalam

berkomunikasi sehingga

membuat proses interaksi yang terjadi

didalamnya berbeda dengan orang normal pada umumnya

Interaksi Sosial (Burhan Bungin, 2008)

Kualitatif Deskriptif

Kesulitan

komunikasi terjadi bukan hanya karena adanya kekurangan fisik atau mental yang diderita oleh anak autis semata, tetapi pihak sekolah beserta guru yang bertugas mengajar kurang memberikan perhatian dan kurang melakukan pendekatan untuk menjalin hubungan yang dekat. Selain itu guru-guru yang mengajar banyak

yang tidak

berkompeten sehingga kurang mampu memahami sifat, kondisi, dan lain- lainnya.

2. KOMUNIKASI BAGI ANAK BERKEBUTU HAN

KHUSUS”

Penulis: Fatma Laili Khoirun Nida Tahun:

2013

Jurnal ini membahas mengenai semua

anak yang

berkebutuhan khusus termasuk anak tunarungu.

Komunikasi menjadi kendala yang perhatian khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

Dinamika komunikasi (Cangara, 2005)

Kualitatif deskriptif

Bentuk kesulitan mereka dalam berkomunikasi bervariasi sesuai dengan hambatan perkembangan yang terjadi diantara mereka, maka mempresentasikan model komu?

nikasi bagi anak berkebutuhan khusus juga harus menyesuaikan kondisi hambatan perkembangan yang terjadi pada mereka.

(22)

12 3. Interaksi Sosial

Antar Anak Tuna Rungu dan Anak

Tunarungu dengan„Anak Dengar‟. Skripsi Margaretha Langen Sekar Lelyana 2017

Menggambarkan perilaku

interaksi sosial antar anak tunarungu dan anak tunarungu dengan anak dengar

Interaksi Simbolik ( Soekanto, 2006)

Kualitatif observasi

Anak tunarungu juga berinteraksi dengan orang dengar. Bentuk interaksi sosial kompleks dan penolakan sosial tampak dalam interaksi anak- anak tunarungu dengan anak dengar.

4. INTERAKSI SOSIAL ANAK TUNARUNGU KELAS I DI SD INKLUSI NEGERI GEJAYAN

Peranan bahasa isyarat yang digunakan penyandang tuna rungu dalam proses interaksi sosial yang terjadi di masyarakat, keterkaitannya terletak pada masalah bahasa isyarat yang menjadi sebuah solusi interaksi sosial bagi penyandang tunarungu.

Interaksi Sosial (Bouman, 1976)

Kualitatif deskriptif

Proses mengimitasi berpengaruh pula dalam perilaku yaitu sikap baik maupun buruk.

Proses sugesti eksternal agar mudah dipahami harus disampaikan dengan bahasa halus, jelas dan perlahan.

(23)

13 E. KERANGKA TEORITIS

1. Interaksi Simbolik

Konsep teori interaksi ini diperkenalkan oleh Herbert Blumer sekitar tahun 1939. Dalam lingkup sosiologi, idea ini sebenarnya sudah lebih dahulu dikemukakan George Herbert Mead, tetapi kemudian dimodifikasi oleh Blumer guna mencapai tujuan tertentu. Teori ini memiliki idea yang baik, tetapi tidak terlalu dalam dan spesifik sebagaimana yang diajukan G.H. Mead. Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Prespektif ini menyarankan bahwa manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur prilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.

(Dina Khairani, Freddy Yusanto, Berlian Primadani Satria Putri. 2016. e- Proceeding of Management : Vol.3, No.2 Agustus:2635. ISSN : 2355-9357).

Blumer (dalam Veeger, 1993) mengembangkan lebih lanjut gagasan Mead dengan mengatakan bahwa ada lima konsep dasar dalam interaksi simbolik, yaitu Pertama, konsep diri (self), memandang manusia bukan semata organisme yang bergerak di bawah stimulus, baik dari luar maupun dari dalam, melainkan organisme yang sadar akan dirinya sendiri. Kedua, konsep perbuatan (action), karena perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses

(24)

14

interaksi dengan diri sendiri, maka perbuatan itu berlainan sama sekali dengan gerak mahluk selain manusia.

Manusia kemudian merancang perbuatannya, perbuatan manusia itu tidak semata-mata sebagai reaksi biologis, melainkan hasil konstruksinya. Ketiga, konsep objek (object), memandang manusia hidup di tengah-tengah objek itu tidak ditentukan oleh ciri-ciri instriksinya, melainkan oleh minat orang dan arti yang dikenakan kepada objek-objek itu. Keempat, konsep interaksi sosial (social interaction), interkasi sosial berarti bahwa setiap peserta masing-masing memindahkan diri mereka secara mental ke dalam posisi orang lain.

Dengan berbuat demikian, manusia mencoba memahami maksud aksi yang dilakukan orang lain, sehingga interaksi dan komunikasi dimungkinkan terjadi.

Interaksi itu tidak hanya berlangsung melaui gerak- gerik saja melainkan terutama melalui simbol-simbol yang perlu dipahami dan dimengerti maknanya.

Kelima, konsep tindakan bersama (joint action), artinya aksi kolektif yang lahir dari perbuatan masing-masing peserta kemudian dicocokkan dan disesuaikan satu sama lain.

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang mengunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia mengunakan simbol-simbol yang mempersentasekan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap prilaku pihak-

(25)

15

pihak yang terlihat dalam interaksi sosial (M. Dewi Ariyanto and Sunarto, 2004).

Secara ringkas teori interasionisme simbolik didasarkan pada premis- premis berikut (Alex Sobur, 2004: 199) :

a. Individu merespon suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (prilaku manusia) berdasarkan media yang dikandung komponenen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

b. Makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada objek, melainkan dinegosiasi melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak.

c. Makna yang interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasih dengan dirinya sendiri

2. Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah bentuk sosialisasi yang dilakukan individu dengan individu atau individu dengan kelompok. Interaksi sosial ini bisa terjadi dengan

(26)

16

siapa saja dan di mana saja. Interaksi sosial pertama kali terjadi dari pada masa kanak-kanak. Pentingnya interaksi sosial pada masa ini adalah membantu anak belajar memahami perspektif orang lain terhadap realita yang ada. Hal penting lainya adalah seorang anak belajar untuk bernegoisasi dan belajar mengenai manajemen konflik.

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan sosial timbal balik yang dinamis dan menyangkut hubungan antara orang perseorangan, anatar kelompok dengan kelompok atau antara kelompok dengan manusia (Abdulsyani, 2007:

152). Berdasarkan pendapat di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, di mana kelakuan individu satu dapat mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakukan individu lainnya.

Interaksi sosial ini dapat berlangsung dengan siapa saja, baik dikeluarga, lingkungan sekolah maupun masyarkat. Misalnya terjadinya interaksi sosial antara sesama anak tunarungu, anak tunarungu dengan anak normal atau anak tunarungu dengan guru di sekolah.

3. Syarat-syarat interaksi sosial

Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial atau social contact dan adanya komunikasi atau communication. (M. Burhan Bungin, 2006).

Syarat tersebut berlaku terhadap anak tunarungu selayaknya berlaku kepada anak-anak normal pada umumnya. Persoalan yang mendasar pada anak

(27)

17

tunarungu adalah adanya hambatan perkembangan dalam berkomunikasi sosial.

Kurangnya kemampuan mendengar mengakibatkan anak tunarungu mengalami hambatan perkembangan bahasa dan bicara yang tentu mempengaruhi kemampuan berkomunikasinya, terutama komunikasi secara lisan. Berikut syarat interaksi sosial yaitu kontak sosial dan komunikasi:

a. Kontak Sosial

Abdulsyani (2007) menjelaskan bahwa kontak sosial merupakan hubungan antara satu orang atau lebih dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat. Kontak sosial dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung atau kontak sosial tidak saja terjadi dengan menyentuh seseorang. Kontak sosial secara langsung adalah kontak sosial yang terjadi tanpa adanya perantara atau tatap muka. Sebaliknya kontak sosial secara tidak langsung adalah kontak sosial yang terjadi dengan menggunakan alat sebagai perantara dalam interaksinya. Alat itu dapat berupa surat, telpon, radio maupun internet.

Seiring perkembanga teknologi informasi sekarang ini dapat memungkinkan kontak sosial dapat terjadi di mana saja dan kapan saja. Sebagai catatan bahwa terjadinya suatu kontak tidaklah semata-mata tergantung dari tindakan, akan tetapi juga tanggapan terhadap tindakan tersebut. (Soerjono Soekanto, 2006).

(28)

18

Kontak sosial memiliki dampak postif dan negatif. Kontak sosial yang berdampak postif menghasilkan sebuah kerja sama satu sama lain. Sebaliknya kontak sosial berdampak negatif menghasilkan sebuah pertentangan. Masyarakat pada umumnya salah persepsi dalam memberi tanggapan terhadap anak tunarungu, kurangnya pemahaman masyarakat terhadap karakteristik anak tunarungu menjadi penyebabnya.

Anak tunarungu sering menafsirkan sesuatu secara negatif dikarenakan kurangnya pemahaman bahasa lisan atau tulisan, hal ini menjadi tekanan tersendiri bagi emosinya. Beberapa hal tersebut mengakibatkan tujuan dalam kontak sosial anak tunarungu tidak tercapai dengan baik.

b. Komunikasi

Komunikasi merupakan cara seseorang memberikan tafsiran pada perilaku orang lain dengan wujud pembicaraan, gerak gerik atau sikap dan perasaan apa yang ingin disampaikan oleh orang tersebut (Soerjono Soekanto, 2006).

Komunikasi merupakan aktivitas yang kompleks, karena di samping terkait dengan kemampuan bahasa dan bicara, juga dipengaruhi oleh sistem syaraf, pemahaman atau kemampuan kognitif dan kemampuan sosial (Sunardi dan Sunaryo, 2007).

Ada beragam bentuk komunikasi lain di samping bahasa yang dapat digunakan anak tunarungu dalam berkomunikasi. Bahas merupakan alat komunikasi yang paling utama, tetapi bahasa berhubungan erat dengan dengan pengertian dan penggunaan kata-kata serta mencakup semua bentuk komunikasi

(29)

19

baik lisan, tulis, bahasa isyarat, bahasa tubuh atau ekspresi wajah (Sunardi dan Sunaryo, 2007).

Selain menggunakan bahasa verbal anak tunarungu juga mampu berkomunikasi dengan tulisan, bahasa isyarat dan bahasa tubuh (Komunikasi Nonlinguistik). Kerena kuranya pengetahuan masyarakat umum tentang bahasa isyarat membuat anak tunarungu tidak bisa menggunakan bahasa tersebut kepada semua orang. Adapun komunikasi nonlinguistik merupakan komunikasi yang tidak melibatkan oral. Komunikasi jenis ini banyak menggunakan ekspresi wajah, gestur tubuh, dan aktifitas fisik. Hal ini sangat lazim ditemukan pada anak – anak yang memiliki keterbatasan pendengaran.

Menurut Berkowits (1984) komunikasi nonlinguistik akan tampak pada perilaku nonverbal dan ekspresi wajah. Ekman dan Friesen (dalam Berkowitz, 1984) mendeskripsikan 5 macam perilaku nonverbal. Perilaku tersebut adalah emblems, ilustrators, affects, regulators dan adapters.

Pertama adalah emblems, emblems merupakan suatu gerakan yang digunakan sebagai pengganti kata atau kalimat. Contohnya, melambaikan tangan untuk memanggil. Kedua, illustrators merupakan pelengkap pernyataan verbal.

Hal ini biasanya tampak pada seseorang yang sedang memberikan petunjuk arah sambal menunjukkannya dengan menggunakan tangannya. Ketiga, adalah affects, Affects mengekspresikan sebagian emosi yang sedang dirasakan seseorang, seperti marah, senang, dan sedih. Biasanya, affects akan muncul pada ekspresi wajah seseorang akan tetapi Ekman dan Frieseen (dalam Berkowitz

(30)

20

1980) mengatakan bahwa affects juga dapat tampak pada gerakan tubuh seseorang.

Keempat, regulators merupakan suatu sinyal yang dapat muncul dalam sebuah ineraksi. Regulators biasa digunakan untuk melengkapi pernyataan, mengklarifikasi pernyataan, dan sebagainya. Kelima adapters merupakan salah satu perilaku yang membantu dalam managemen interaksi atau mengekspresikan perasaan.

4. Proses Interkasi Sosial

Ada dua golongan proses sosial sebagai akibat dari interaksi sosial, yaitu proses sosial asosiatif dan proses sosial disosiatif (Gillin dan Gillin dalam M.

Burhan Bungin, 2006: 58). Kedua proses sosial tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Proses Asosiatif

Proses asosiatif adalah sebuah proses yang terjadi saling pengertian dan kerja sama timbal balik antara orang per orang atau kelompok satu dengan lainnya, di mana proses ini menghasilkan pencapaian tujuan tujuan bersama (M. Burhan Bungin, 2006). Adapun bentuk-bentuk dari proses asosiatif adalah sebagai berikut.

1) Kerjasama (Cooperation)

Kerjasama adalah usaha bersama antara individu atau kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama (M. Burhan Bungin, 2006).

Kerja sama dapat terjadi berdasarkan adanya kepentingan atau tujuan yang

(31)

21

sama. Persamaan inilah yang akan menciptakan proses kerja sama yang kuat diantara individu atau kelompok agar tujuan mereka dapat tercapai.

Pada dasarnya kerjasama dapat terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari orang atau kelompok lainnya, demikian pula sebaliknya (Abdulsyani, 2007).

Masing-masing pihak yang mengadakan hubungan sosial akan menganggap bahwa melalui kerja sama akan lebih banyak mendatangkan keuntungan daripada bekerja sendiri.

2) Akomodasi (Accomodation)

Accomodation adalah proses sosial yang memiliki dua makna.

Pertama, akomodasi adalah suatu keadaan hubungan kedua belah pihak yang menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat (Abdulsyani, 2007).

Kedua, accomodation adalah menuju pada suatu proses yang sedang berlangsung, di mana accomodation menampakkan suatu proses untuk meredakan suatu pertentangan yang terjadi di masyarakat, baik pertentangan yang terjadi diantara individu, kelompok dan masyarakat, maupun dengan norma dan nilai yang ada di masyarakat itu (M. Burhan Bungin, 2006).

3) Asimilasi

Asimilasi yaitu suatu proses pencampuran dua atau lebih budaya yang berbeda sebagai akibat dari proses sosial, kemudian menghasilkan budaya tersendiri yang berbeda dengan budaya asalnya (M. Burhan

(32)

22

Bungin, 2006). Asimilasi ditandai dengan adanya usaha-usaha untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada orang perorangan atau kelompok-kelompok.

b. Proses Disosiatif

Proses disosiatif adalah kebalikan dari proses asosiatif. Proses sosial disosiatif merupakan proses perlawanan (oposisi) yang dilakukan oleh individu- individu dalam proses sosial diantara mereka pada suatu masyarakat (M. Burhan Bungin, 2006). Perlawanan ini biasa dilakukan untuk melawan seseorang, kelompok, norma, atau nilai yang dianggap tidak mendukung dalam tercapainya suatu tujuan.

Bentuk-bentuk proses disosiatif adalah persaingan, kontroversi, dan konflik. Lebih lanjut dapat disampaikan sebagai berikut.

1) Persaingan (competition) adalah proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok berjuang dan bersaing untuk mencari keuntungan dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, namun tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

2) Controvertion adalah proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontroversi adalah proses sosial di mana terjadi pertentangan pada tataran konsep dan wacana, sedangkan

(33)

23

pertentangan atau pertikaian telah memasuki unsur unsur kekerasan dalam proses sosialnya.

3) Conflict adalah proses sosial di mana individu ataupun kelompok menyadari memiliki perbedaan-perbedaan, misalnya dalam ciri badaniah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola-pola perilaku, prinsip, politik, ideologi maupun kepentingan dengan pihak lain.

Perbedaan ciri tersebut dapat menjadi suatu pertentangan atau pertikaian di mana pertikaian itu sendiri dapat menghasilkan ancaman dan kekerasan fisik (M. Burhan Bungin, 2006).

Selayaknya anak normal pada umumnya, anak tunarungu pun dapat mengalami kedua golongan proses sosial di atas. Mereka yang sudah dapat mengembangkan kemampuan sosial dan mengontrol emosi dengan baik serta memahami kehidupan dunia luar tentu mudah melakukan proses sosial asosiatif. Sedangkan, mereka yang masih belum dapat mengontrol emosi atau masih senantiasa curiga dengan dunia luarnya maka tidak menutup kemungkinan untuk melakukan proses sosial disosiatif.

Berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Dalam proses interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari faktor imitasi, sugesti, simpati, identifikasi dan empati.( Giilin dan Gillin)

(34)

24

1. Imitasi merupakan: suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang.

2. Sugesti merupakan: rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan tanpa berfikir rasional.

3. Simpati merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena penampilan, kebijaksanaan atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati.

4. Identifikasi merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang ditirunya.

F. METODOLOGI PENELITIAN

1. Jenis penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan teknik studi kasus. Suatu paradigma penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa perilaku seseorang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rinci dan mendalam dalam bentuk narasi (Satori dan Komariah, 2013). Selain itu penelitian ini dirasa paling tepat menggunakan pendekatan kualitatif, karena subyek yang akan diwawancarai tidak bisa dipetakan sesuai hitungan, akan tetapi memerlukan informan yang tepat, yang di mana dia benar-benar mengetahui tentang penyandang tuna rungu dan mengerti bahasa isyarat.

Dengan teknik studi kasus yakni membahas permasalahan tentang interaksi

(35)

25

sosial pada penyandang tuna rungu di sekolah SLB Lebak Bulus Jakarta Selatan.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer diperoleh dari guru pendamping khusus, guru wali kelas, orang tua murid, kepala sekolah sebagai narasumber utama, yang kemudian memberikan informasi terkait penyandang tuna rungu yang dikelompokkan menjadi dua kelompok, yakni: (1) Tuna rungu yang bisa bahasa Isyarat, (2) Tuna rungu yang tidak bisa bahasa Isyarat. Narasumber pendukung, yakni non- Penyandang yang terlibat dalam proses interaksi, kemudian data yang akan digali lebih dalam dengan pakar yang mengerti tunarungu dan Bahasa Isyarat.

b. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari instansi terkait berupa dokumen, jurnal, penelitian terdahulu data dan statistik angka penyandang tunarungu. Data yang diambil adalah data jumlah penyandang tunarungu yang bisa berbahasa isyarat, data kegiatan penyandang, prosedur dan proses pemasyarakatan dan yang terkait dengan penelitian ini.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini akan dilaksanakan di SLBN 01 Jakarta dan dilaksanakan dalam kurun waktu enam bulan bulan. Penunjukan lokasi tidak

(36)

26

menjadi kendala karena lokasi yang terbilang dekat, dan karena data penyandang tunarungu yang didapat di tempat tersebut sudah tersedia.

4. Karakteristik Informan

Narasumber atau informan dalam penelitian ini adalah Penyandang tuna rungu, wali murid atau masyarakat sekitar lingkungan SLB, para Guru dan pakar yang mengerti tentang Tuna rungu. Penentuan informan ini dikarenakan, bahwa penyandang tuna rungu ialah orang yang tidak bisa mendengar dan berbicara dan dalam berkomunikasi mereka menggunakan bahasa nonverbal seperti bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam (indepth interview) dengan para informan. Peneliti menggunakan sampel purposif (purposive sampling) yang didasarkan pada kemampuan informan menggambarkan secara jelas proses interaksi siswa tuna rungu. Adapun karakteristik informan utama, sebagai berikut :

a. Informan mengalami interaksi secara langsung dengan siswa-siswi SLBN 01 Jakarta

b. Informan yang kesehariannya berada di dalam lingkungan SLBN 01 Jakarta

(37)

27 5. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini seluruh data baik primer maupun sekunder dikumpulkan dengan menggunakan:

a. Penelitian Lapangan (field research), dilakukan untuk menghimpun data primer dengan menggunakan alat pengumpul data.

b. Obrservasi dilakukan dengan metode non participant observation, yaitu dengan mengamati proses interaksi dan komunikasi kehidupan tunarungu di lingkungan sekolah. Peneliti melakukan observasi selama seminggu guna melihat proses interaksi yang terjadi walaupun pada nyatanya tidak terlalu banyak yang peneliti dapatkan dari proses observasi karena siswa cenderung beraktifitas di dalam kelas.

c. Wawancara merupakan metode dengan mengajukan serangkaian pertanyaan secara langsung kepada tunarungu dan pengajar selaku narasumber yang jawbannya dikumpulkan dalam bentuk data, teknik wawancara digunakan peneliti ditujukan untuk mendapatkan informasi mendalam terkait proses interaksi yang dilakukan oleh para siswa dan siswi tuna rungu. Peneliti mewawancarai sebanyak 7 orang dengan waktu kurang lebih 2 bulan, mulai dari kepala sekolah, guru pendamping, guru wali kelas, satpam, petugas kebersihan dan orang tua murid. Masing masing memiliki sudut pangdang yang berbeda berdasarkan peranan yang dimiliki ketika di dalam sekolah.

(38)

28

d. Studi Pustaka atau library research. Studi Pustaka digunakan untuk mendapatkan data sekunder berupa dokumen, artikel dan literatur yang berkaitan dengan masalah interaksi sosial pada penyandang tunarungu.

6. Analisis Data

Data data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dan dianalisa secara kualitatif, penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir dedukatif sehingga di peroleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai interaksi sosial dan kaitannya dengan penyandang tunarungu

(39)

29 BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Tuna Rungu Di Indonesia

Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2019 diperkiraan terdapat sekitar 466 juta orang di dunia engaami gangguan pendengaran, dimana 34 juta diantaranya merupakan anak-anak. Sebnyak 360 juta atau sekitar 5,3%

penduduk dunia mengalami ketulian. Mayoritas orang dengan gangguan pendengaran berada di negara dengan tingkat pendapatan menengah kebawah.

Sekitar 180 juta penyandang disabilitas rungu berasal dari Asia tenggara.

Diperkiraan pada tahun 2050 terdapat lebih dari 900 juta orang atau setiap sepuluh orang didunia memiliki gangguan pendengaran. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan pengembangan Kesehtan Kementrian Kesehatan tahun 2018, proporsi tuna rungu sejak lahir pada anak umur 24-29 bulan di Indonesia yaitu sebesar 0,11%. (Pusdatin Kemenkes, 2019).

Kehilangan pendengan, atau yang juga dikenal dengan istilah tuli, adalah gangguan pendengaran dimana sesorang tidak dapat mendengar suara secara sebagian atau keseluruhan pada salah satu atau kedua telinga (WHO). Standar yang ditetapkan oleh WHO adalah apabila seseorang tidak dapat mendengar lebih dari 40 desibel (dB) pada orang dewasa (usia 15 tahun keatas), dan lebih dari 30 dB pada anak-anak (usia0-14 tahun) (Pusdatin Kemenkes, 2019).

(40)

30

Menurut data Sistem Informasi Manajemen Penyandang Disabilitas (SIMPD) dari Kementerian Sosial yang diunduh pada tangal 8 Oktober 2019, diantara penyandang disabilitas di Indonesia, seanyak 7,03% nya merupakan penyandang disabilitas tuna rungu. Kehilangan pendengaran dapat disebabkan oleh penyebab genetik, komplikasi saat lahir, penyakit menular tertentu, infeksi telinga kronis, penggunaan obat-obatan tertentu, paparan kebisingan yang berlebihan, dan penuaan. Sebesar 60% gangguan pendengaran pada masa kanak- kanak disebabkan oleh penyeab yang dapat di cegah (Pusdatin Kemenkes, 2019).

Di negara berkembang, anak tuna rungu an anak gangguan pendengaran cenderung untuk tidak mendapatkan pendidikan yang cukup baik. Orang dewasa dengan gangguan pendengaran juga memiliki angga pengangguran yang lebih tinggi. Hal itu disebabkan oleh kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain, sulit dalam memahami pelajara, sehingg kebanyakan penyandang tuna rungu menjadi mendiri dan sejahtera. Pada anak di bawah 15 tahun, 60 % gangguan pendengaran disebabkan oleh penyebab yang dapat dicegah (Pusdatin Kemenkes, 2019).

Pada tahun 2013, menurut hasil Riskesdas, di Indonesia terdapat 2,6%

penduduk dengan gangguan pendengaran, dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Lampung sebagai provinsi dengan prevelensi tertinggi, sedangkan Provinsi DKI Jakata dan Banten menjadi provinsi dengan prevelensi terendah. Penduduk yang mengalami gangguan pendengaran di Indonesia terdistribusi dalam beberapa kelompok umur, dimana terbanyak terdapat pada kelompok umur 75 tahun ke atas, dengan prevelensi 36,6%, diusul kemudian oleh kelompok umur 65-74 tahun

(41)

31

sebesar 17,1%. Distribusi Penduduk yang mengalami gangguan pendengaran terendah terdapat pada kelompok umur 6-14 tahun dan 15-24 tahun, dengan prevelesi yang sama, yaitu masing-masing sebesar 0.8% (Pusdatin Kemenkes, 2019).

Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk memeriksa status pendengaran seseorang. Cara tersebut diantara yaitu tes suara bisik dan percakapan (konversasi), tes dengan garpu suara, dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak dan huruf desis. Lalu akan diukur berapa meter jarak orang tersebut dengan pembisikannya sewaktu orang tersebut dapat mengulangi kata-kata yang dibisikan dengan benar. Pada orang dengan pendengaran normal, ia dapat mendengar 80% dari kata-kata yang bisikannya pada jarak 6 s.d. 10 meter. Apabila kurang dari 5-6 meter berarti orang tersebut mengalami kurang pendengaran. Apabila orang tersebut tidak dapat mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti ia menderita tuli konduksi. Sebaliknya bila tidak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti ia mengalami tuli persepsi.

Apabila dengan suara konversasi atau percakapan biasa. Cara dan metode yang digunakan dalam terkonversasi dan dengan tes bisik (Pusdatin Kemenkes, 2019).

(42)

32 B. Profil SLBN 01 Jakarta

SLBN 01 Jakarta berlokasi di Jalan Pertanian Raya, kelurahan Lebak Bulus, kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Didirikan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta pada 13 Maret 1962 diatas tanah milik Direktorat Pendidikan Khusus dan Pelayanan Khusus (PKLK). Sekolah yang dikepalai oleh Ratmartini, S.Pd. Ini mendapatkan akreditasi "A" dari Tahun 2005 sampai sekarang. Pada tahun pelajaran 2018/2020, SLBN 01 Jakarta khusus untuk Satuan Pendidikan SDLB B dan C/C1 memiliki 148 Peserta didik yang terdiri atas 51 peserta didik putri dan 97 peserta didik putra. Data tersebut terinci sebagaimana tertuang pada tabel berikut ini. (Profil SLBN 01 Jakarta, 2017. SLBN 01 Jakarta)

(43)

33

Tabel II. A. 1. Data Peserta Didik di SDLB B dan C/C1

No.

Tunarungu (B) Tunagrahita (C/C1 Keterangan Kelas Jumlah Kelas Jumlah

1. 1 8 1 14

2. 2 7 2 16

3. 3 7 3 22

4. 4 10 4 25

5. 5 10 5 18

6. 6 4 6 7

Jumlah 46 102

Jumlah Total Peserta Didik SMALB 148

Karena masih kurangnya SLBN yang terjangkau oleh masyarakat sekitar maka banyak orang tua yang mendaftarkan anaknya ke sekolah ini. Kondisi ini menyebabkan pihak sekolah terpaksa menambah kelas untuk peserta didik baru agas setiap kelasnya tidak melebihi kapasitas 5 orang per kelasnya.

Pertimbangan bagi pihak sekolah menerima peserta didik baru dengan menambahkan kelas disebabkan oleh beberapa alasan seperti pihak sekolah merasa kasihan kepada masyarakat yang kurang mampu karena biaya di SLB swasta dapat di katakan cukup mahal sehingga membebankan kepada orang tua peserta didik.

(44)

34

Selain itu pihak sekolah juga merasa kasihan jika anak yang membutuhkan pelayanan khusus harus putus sekolah karena keterbatasan jarak dan waktu. Jika anak tidak diterima di sekolah terdekat, maka mereka akan mencari sekolah yang lebih jauh sehingga memakan waktu dan biaya yang lebih besar, apalagi waktu sangat berguna bagi orang tua yang harus bekerja mencari nafkah dari pagi hingga malam sehingga anak tidak mendapatkan perhatian lebih dari orang tuanya.

Guru dan tenaga kependidikan yang terdapat di SLBN 01 Jakarta berjumlah 59 orang. Data tersebut terinci pada tabel di bawah ini.

Tabel II. A 2. Data Guru dan Tenaga Kerja Kependidikan

Nama Status Gol Tugas

Ratmartini, M.Pd. PNS IV/B Kepala Sekolah Rudi, S.Pd.MM. PNS IV/B Wk. Kesiswaan Drs. Syeich Mahmuddin PNS IV/A Kriya Tenun Kurniasih, M.Pd. PNS IV/A Kelas II/1 SDLB-C Triwahyuni, M.Pd. PNS IV/A Kelas III SDLB-B Joko Suprapto, Drs PNS IV/A Kelas VI SDLB-B HJ. Endang Sulistya

Budi,

Dra

PNS IV/A Kelas VII/I Eem Jaliho, S.Pd. PNS IV/A Kelas III SDLB C Panigoran Nasution, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMPLB B Sugiharto, Drs PNS IV/A Kelas II SMPLB Dewi Anggraini, Dra PNS IV/A Kelas II SMPLB

Maryoto, S.Pd. PNS IV/A Wk. Bidang Kurikulum Seri Rachmantara, S.Pd. PNS IV/A Kelas SDLB C

Suhadi, Drs PNS IV/A Kelas SMPLB

Eny Dwi Astuti, S.Pd. PNS IV/A Kelas II SDLB-B Endang Rosliana, S.Pd. PNS IV/A Kelas VIII SMPLB Laksmi, S.Pd. PNS IV/A Kelas III SDLB B Ruwiyanti, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMPLB C1 Purwanto, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMPLB C Slamet Tri Rahayu, S.Pd. PNS IV/A Tata Boga

Giranta, S.Pd. PNS IV/A Kelas SDLB C

Sumanto, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMPLB C

Sugiyanto, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMPLB C

Rosni, S.Pd. PNS IV/A Kelas SMALB C/C1

(45)

35

Dilihat dari latar belakang pendidikan, sabagian guru SLBN 01 Jakarta memiliki latar belakang gelar sarjana pendidikan sehingga memungkinkan mereka membimbing peserta didik mencapai tujuan pembelajaran secara optimal. Apalagi mereka juga memiliki kesabaran,

Wakijo, S.Pd. PNS IV/A Kelas SDLB C

Jumari, S.Pd. PNS IV/A Kelas IV SMPLB

C/C1

Suhartinah, S.Pd. PNS IV/A Kelas SDLB C Rusmartiningsih, S.Pd. PNS III/D Kelas IV SDLB C Zawarly, S.Pd. PNS III/D Kelas SMALB C Sundarini, S.Pd. PNS III/D Kelas 1 SDLB-B Retno Sutyasti, S.Pd. PNS III/D Tata Busana

Rambat, S.Pd. PNS III/B Kelas SMALB C

Sulistieni, S.Pd. PNS III/A Kelas IV SDLB C Suwarni, S.Pd. PNS III/A Kelas 1 SDLB C Sri Wahyu Utami, S.Pd. PNS III/A Khusus BPKBI Simping Purwanti, S.Pd. PNS III/A Kelas V SDLB-B Winarni, S.Pd. PNS III/a Khusus Binawicara Intan herlina, S.Pd. PNS III/a Kelas IV SDLB C Muckhafis Anshori,

M.Ag.

PNS III/A Agama Islam

Tunagahita Samsul Huda, S.Pd. PNS III/A Agama Islam

Tugiyanto, Drs - - Kelas SMALB C

Premi Subroto, S.Pd. - - Keterampilan Kriya

Karya

Asmikher, S.Pd. - - Guru Pendukung

Mira Ismiyati S.Pd. - - ICT

Riana Dwi Mulyani, S.Psi - - Kelas SMALB C

Hikma Warda. SE - - Perpustakaan

Ekawati, S, Sos. I. - - Keteampilan

Kecantikan Gigih Nenaz Nazzala,

S.Or.

- - Olahraga

Dusmi,S.Ag. - - Agama Islam SDLB

Restila Cahya Velista,

S.Pd.

- - Matematika

Intan Dwi Cahyani, S.Pd. - - Kelas SDLB C

Siti Latifah, S.Pd. - - Kelas SMALB C

Rosiah, S.Pd. - - TU

Wibowo Nurbambang - - TU

Tania Ashari Marantika,

Amd

- - TU

Euis Minarsih, Amd - - Perpus

Heri Kurniawan - - Kebersihan

Asep Sarifudin - - Kebersihan

Sidi

k Budiman

- - Kebersihan

(46)

36

ketelatenan dan keuletan dalam membantu peserta didik memahami materi ajar di kelas.

Dari data guru di atas sebagian besar guru SLBN 01 Jakarta sudah menjadi PNS. Bahkan jika dilihat berdasarkan pangkat dan golongannya sebagia besar dari mereka memiliki jam terbang ppengalaman yang cukup lama, akan tetapi msih terdapat beberapa guru honorer.

Karena sekolah ini berbeda dengan sekolah reguler guru yang mengajar di sekolah luar biasa harus menempuh pendidikan khusus seperti sarjana PLB (Pendidikan Luar Biasa) atau yang sederajat, akan tetapi di SLBN 01 Jakarta hanya beberapa guru yang menempuh pendidikan PLB.

Oleh sebab itu, tidak seluruh guru dapat memahami karakteristik peserta didik dan menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan peserta didik sehingga peserta didik tidak terlalu optimal dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas.

(47)

37 BAB III Pembahasan

Pada pembahsan kali ini penulis akan memaparkan hasil temuan penelitian yang penulis dapatkan. Adapun yang pertama penulis paparkan terkait proses interaksi yang dilakukan penyandang disabilitas tuna rungu di masyarakat.

A. Proses Interaksi Penyandang Tuna Rungu Dalam Masyarakat

Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa di dampingi oleh individu lainnya. Karena pada hakekatnya individu hidup berdampingan satu sama lain. Tanpa bantuan orang lain, individu tidak dapat mengimplimentasikan dirinya untuk melanjutkan keberlangsungan hidupnya.

Lingkungan merupakan sarana bagi individu untuk dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan, baik kebutuhan spiritual maupun material. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi sosial. Kehidupan bermasyarakat sangat erat hubungannya dengan interaksi, yaitu hubungan timbal balik antar individu dengan individu lainya atau kelompok dengan kelompok, individu dengan kelompok atau sebaliknya. Interaksi ini saling mempengaruhi, mengubah dan memperbaiki satu sama lain. (Soekanto, 2012)

Tanpa adanya interaksi sosial maka tidak akan ada kehidupan bersama atau kehidupan bermasyarakat. Jika hanya fisik saling berhadapan antara satu sama lain, tidak dapat menghasilkan suatu bentuk kelompok sosial yang dapat berinteraksi antara manusia dengan lingkungan hidup terdapat hubungan yang

(48)

38

saling mempengaruhi. Hubungan-hubungan sosial yang terjadi secara dinamis yang menyangkut hubungan antara individu dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok dan berhubungan satu dengan yang lain disebut dengan interaksi sosial (Soekanto, 2007).

Sutjihati Somantri (2006) berpendapat: “Secara umum anak tunarungu secara potensial sama dengan anak normal, namun secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh tingkat kemampuan berbahasa, keterbatasan dalam informasi auditori, serta daya abstraksi anak”. Pada umumnya kecerdasan anak tunarungu dengan anak normal lainnya sama, akan tetapi dengan adanya keterbatasan dalam bahasanya menyebabkan prestasi dan kemampuan berpikir anak tunarungu kurang dapat berkembang dengan optimal.

Individu dengan kondisi tidak normal memiliki hambatan yang tidak dapat dihindari yang menyebabkan prestasi dan kemampuan berfikirnya kurang optimal. Komunikasi atau intraksi merupakan salah satu upaya untuk mempercepat meningkatkan perkembangan berfikir, karena akan seringnya terlatih untuk berfikir kritis.

Untuk dapat berinteraksi dengan anak tuna rungu pada umum nya dengan cara melihat gestur mulut ketika berbicara. Hal ini juga serupa dengan apa yang disampaikan “SG” selaku guru wali kelas.“Ada beberapa orang awam yang paham dengan gaya komunikasi siswa siswi kami dengan melihat gerak mulut siswa. Yang membarikan sandi sandi.” (Wawancara “SG” di Jakarta, 8 November 2019).

Gambar

Tabel 1.D Matriks Jurnal....................................................................................
Gambar III. A. 1 Kegiatan Diskusi Siswa ..........................................................
Tabel 1.D Matriks Jurnal
Tabel II. A. 1. Data Peserta Didik di SDLB B dan C/C1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Inisiasi Menyusu Dini pada ibu bersalin dapat mengaktifkan hormon oksitosin yang dapat mempercepat lama kala III dan mencegah perdarahan pada kala IV.. Tujuan: Untuk

Kurva disolusi tablet floating aspirin pada medium HCl 0,1 N, SGF dengan dan tanpa sinker mengikuti kinetika orde I dan mekanisme disolusi menurut model

Hari yang dinanti pun tiba. Suasana peringatan Hari Jadi Kalimantan Timur di gedung kesenian sudah.. ramai dihadiri oleh banyak siswa sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Sudah

Pada studi kelayakan pengembangan usaha Batik Bogor Tradisiku aspek yang perlu dikaji untuk menentukan bahwa usaha tersebut layak atau tidak layak untuk dikembangkan adalah

Namun jika diamati pada piramida penduduk, kelompok us ia 0-4 tahun terlihat membes ar, fenomena ini merupakan indikas i bahwa pe nang anan kes ehatan oleh

Dalam pandangannya, perempuan diidentik dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai mahkluk yang seolah-olah harus dilindungi

Petempatan yang menyediakan kemudahan infrastruktur dan kemudahan-kemudahan lain menjadi impian saya dan keluarga.Dengan adanya kemudahan seperti sekolah, hospital,

Melakukan aktivitas pekerjaan dalam postur kerja berdiri yang statis dan diikuti dengan postur tangan yang tidak ergonomis pada bahu dilakukan dalam jangka waktu