• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi

Spons adalah hewan yang termasuk Filum Porifera, terdiri atas tiga kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, dan Hexactinellida (Haywood dan Wells,1989;

Sara,1992; Amir dan Budiyanto,1996; Rachmaniar, 1996; Romimohtarto dan Juwana,1999), sedangkan menurut Warren (1982), Kozloff (1990), Harrison dan De Vos (1991), Ruppert dan Barnes (1991) dan Pechenik (1991) Filum Porifera terdiri atas empat kelas, yaitu: Calcarea, Demospongiae, Hexactinellida, dan Sclerospongia.

Kelas Calcarea adalah kelas spons yang semuanya hidup di laut. Spons ini mempunyai struktur sederhana dibandingkan dengan yang lainnya. Spikulanya terdiri atas kalsium karbonat dalam bentuk calcite. Kelas Demospongiae adalah kelompok spons yang paling dominan di antara Porifera masa kini. Kelas ini tersebar luas di alam, serta jumlah jenis maupun organismenya sangat banyak. Kelas ini sering berbentuk masif dan berwarna cerah dengan sistem saluran yang rumit, dihubungkan dengan kamar-kamar bercambuk kecil yang bundar. Spikulanya ada yang terdiri atas silikat dan ada beberapa (Dictyoceratida, Dendroceratida dan Verongida) yang hanya terdiri atas serat spongin, serat kollagen atau tidak memiliki spikul. Kelas Hexactinellida merupakan spons gelas. Kelas ini kebanyakan hidup di laut jeluk dan tersebar luas. Spikulanya terdiri atas silikat yang tidak mengandung spongin (Warren, 1982; Kozloff, 1990; Ruppert dan Barnes, 1991; Brusca dan Brusca, 1990; Amir dan Budiyanto, 1996; Romihmohtarto dan Juwana, 1999). Kelas Sclerospongia merupakan spons yang kebanyakan hidup di perairan dalam, di terumbu karang atau di gua-gua, celah-celah batuan bawah laut atau terowongan di terumbu karang.

Semua jenis ini adalah bertipe leuconoid yang kompleks yang mempunyai spikula silikat dan serat spongin. Elemen-elemen ini dikelilingi oleh jaringan hidup yang terdapat pada rangka basal kalsium karbonat yang kokoh atau pada rongga yang

(2)

ditutupi oleh kalsium karbonat (Warren,1982; Kozloff,1990; Harrison dan De Vos,1991; Ruppert dan Barnes,1991 dan Pechenik,1991).

Morfologi luar spons laut sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan biologis lingkungannya. Spesimen yang berada di lingkungan yang terbuka dan berombak besar cenderung pendek pertumbuhannya atau juga merambat. Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama di lingkungan yang terlindung atau di perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung tegak dan tinggi. Di perairan yang lebih dalam, spons cenderung memiliki tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup di perairan yang dangkal (Bergquist, 1978; Amir dan Budiyanto, 1996).

Sumber : Koleksi pribadi

Gambar 2. Spons laut jenis Aa

Spons dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding tipis, atau masif bentuknya dan agak tidak teratur. Salah satu bentuk spons yang masif adalah Aa (Gambar 2). Banyak spons juga terdiri atas segumpal jaringan yang tak tentu bentuknya, menempel dan membuat kerak pada batu, cangkang, tonggak, atau tumbuh-tumbuhan. Kelompok spons lain mempunyai bentuk lebih teratur dan melekat di dasar perairan melalui sekumpulan spikula. Bentuk-bentuk yang dimiliki spons dapat beragam. Beberapa jenis bercabang seperti pohon, lainnya berbentuk seperti sarung tinju, seperti cawan atau seperti kubah. Ukuran spons juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul, sampai ke jenis yang ukuran

(3)

garis tengahnya 0.9 m dan tebalnya 30.5 cm. Jenis-jenis spons tertentu nampak berbulu getar karena spikulanya menyembul keluar dari badannya (Romimohtarto dan Juwana, 1999).

Banyak spons berwarna putih atau abu-abu, tetapi yang lainnya berwarna kuning, oranye, merah, atau hijau. Spons yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat di dalamnya (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Warna spons tersebut sebagian dipengaruhi oleh fotosintesa mikrosimbionnya. Mikrosimbion spons umumnya adalah cyanophyta (cyanobacteria dan eukariot alga seperti dinoflagellata atau zooxanthella). Beberapa spons memiliki warna yang berbeda walaupun dalam satu jenis. Beberapa koloni spons juga memiliki warna dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi luar tubuhnya. Spons yang hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan spons sejenis yang hidup pada lingkungan yang cerah (Wilkinson, 1980).

Makanan dan Cara Makan

Spons adalah pemakan menyaring (filter feeder) yang menetap. Makanan spons berbentuk partikel organik renik, hidup atau tidak, seperti bakteri, mikroalga dan detritus. Menurut penelitian Reiswig (1976) dalam Brusca dan Brusca (1990) 80% bahan organik terlarut diambil oleh jenis spons Jamaika, dan 20 % dari yang dikonsumsi tersebut adalah bakteri dan dinoflagellata. Menurut Bell et al., (1999) jenis ultraplankton yang dimakan oleh spons pada umumnya adalah jenis bakteri heterotropik, Prochlorococcus spp, Synechococcus tipe cyanobakteri, dan picoeukaryotes autotropik. Makanan alami spons jenis Dysidea avara sangat hetertogen meliputi heterotropik bakteria dengan ukuran 0,3-0,5 µm, Prochlorococcus spp, Synechococcus, protozoa, phytoplankton (diatom) dengan ukuran 0,3-70 µm dan ciliata (Ribes et al., 1999).

Spons memperoleh makanan dari air yang masuk melalui pori-pori arus masuk (ostia) yang terbuka, dan dibawa ke dalam rongga lambung atau ruang-ruang berflagella. Partikel yang berukuran antara 2 – 5 µm (protozoa, ultraplankton, detritus

(4)

organik) ditangkap oleh archaeocytes, yang bergerak ke batas saluran pemasukan (incurrent canal), sementara partikel yang berukuran antara 0.1 – 1.5 µm (bakteri, molekul organik) ditangkap oleh flagella dari sel-sel leher (collars). Spons juga dapat mengambil bahan organik terlarut dalam air (dissolved organic matter, DOM) dalam jumlah yang signifikan secara pinositosis pada sistem saluran (Brusca dan Brusca, 1990). Gerak mengombak pada sel leher (collars) menangkap partikel makanan dan dibawa ke sel tubuh choanocytes kemudian diserap secara fagositosis atau pinositosis. Pada choanocytes juga mencerna partikel makanan, baik di sebelah maupun di dalam sel leher (collars). Sebuah vakuola makanan terbentuk dan pada vakuola ini pencernaan terjadi. Sisa makanan yang tidak tercerna dibuang ke luar dari dalam sel leher (collars). Makanan itu dipindahkan dari satu sel ke sel lain dan barangkali diedarkan dalam batas tertentu oleh sel-sel amubocytes yang terdapat di lapisan tengah. Choanocytes pada tubuh spons jumlahnya relatif besar. Menurut Schmidt (1970) dalam Brusca dan Brusca (1990) jenis Epydatia fluvialis mempunyai jumlah choanocytes sekitar 7600 per millimeter kubik tubuh spons. Setiap rongga choanocytes dapat memompa air sekitar 1200 kali dari volume tubuhnya per hari.

Spons yang lebih kompleks, tipe leuconoid mempunyai jumlah choanocytes yang lebih besar, yaitu 18.000 per millimeter kubik (Brusca dan Brusca, 1990).

Spons perlu hidup dalam air bersirkulasi, Arus air yang melewati spons akan membawa zat makanan dan membuang zat yang tidak berguna dari tubuh spons, maka penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya, karena air ini tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan Juwana, 1999).

Reproduksi

Reproduksi Seksual

Seksualitas pada spons dapat dikelompokkan atas dua tipe, yaitu: (1) Hermaprodit, yaitu jenis spons yang menghasilkan gamet jantan dan gamet betina

(5)

selama hidupnya, tetapi menghasilkan gamet jantan dan gamet betinanya dalam waktu yang berbeda; (2) Gonokhorik, yaitu jenis spons yang memproduksi hanya gamet jantan atau betina saja selama hidupnya. (Reseck, 1988; Kozloff, 1990;

Ruppert dan Barnes, 1991; Amir dan Budiyanto, 1996). Tipe hermaprodit ditemukan pada ordo Poecilosclerida, ordo Homosclerophorida dari famili Plakinidae dan Oscarellidae, ordo Hadromerida dari famili Clionodae, ordo Dendroceratida dari famili Halisarcidae, sedangkan tipe gonokhorik ditemukan pada ordo Astroporida dari famili Geodidae dan Stellenttidae, ordo Sphirophorida dari famili Tetillidae, ordo Hadromerida dari famili Tethydae, Chondrosiidae, Polymastiidae, ordo Axinellida dari famili Axinellidae dan Agelasidae (Sara, 1992).

Tipe hermaprodit pada spons terbagi atas: (1) hermaprodit bersamaan (contemporaneous hermaproditism), yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan gamet betina dalam waktu yang bersamaan dalam satu individu; (2) hermaprodit bergantian (successive hermaproditism), yaitu apabila spons menghasilkan gamet jantan dan gamet betina secara bergantian. Hermaprodit bersamaan (contemporaneous hermaproditism) ditemukan pada spons jenis Neofibularia nolitangere, sedangkan hermaprodit bergantian (successive hermaproditism)

ditemukan pada spons jenis Polymastia mammilaris dan Suberitas massa (Hadromerida), Hymeniacidon carincula dan Hymeniacidon heliophila (Halichondrida) (Sara, 1992).

Seksualitas bertipe gonokhorik, khususnya dari ordo Hadromerida didapatkan pada jenis Tethya crypta, Tethya auratum, Tethya citrina (Tethydae); Chondrosia reniformis, Chondrilla nucula (Chondrosiidae); Polymastia hirsuta, Aaptos aaptos

(Polymastiidae) (Sara, 1992), Xestospongia bergquistia dan Xestospongia testudinaria (Fromont dan Bergquist, 1994). Selain itu didapatkan juga seksualitas

bertipe gonokhorik labil (labile gonochorism). Seksualitas bertipe seperti ini ditemukan pada spons jenis, Suberitas carnous (Hadromerida) dan Raspailia topsenti (Axinellida) (Sara, 1992).

(6)

Cara Reproduksi

Cara reproduksi pada spons terbagi atas dua kategori, yaitu: ovivar dan vivivar. Kebanyakan ordo Astrophorida, Spirophorida, Hadromerida, Axinellida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong ovipar, sedangkan ordo Homosclerophorida dari subkelas Homoscleromorpha, ordo Halichondrida, Poecilosclerida, Haplosclerida, Dictyoceratida, Dendroceratida dari subkelas Tetractinomorpha cara reproduksinya tergolong vivipar (Sara, 1992). Pada jenis spons yang ovipar, telur yang telah dibuahi diletakkan di mesohyl, selanjutnya dikeluarkan dari tubuh spons dan kemudian menetas, sedangkan pada jenis spons yang vivipar, larva spons dik eluarkan dari tubuh spons dan bergerak dengan bulu getarnya selama selang waktu tertentu sampai mendapat tempat menempel yang sesuai (Kozloff, 1990; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Beberapa spons ovipar dari kelas Demospongiae, telur dan awal embrio tersimpan pada rangkaian gelatin yang melekat pada permukaan bagian luar induk betina spons, perkembangan tahap larva parenchymula terjadi pada pembungkus lendir ini (Brusca dan Brusca, 1990).

Tingkat Perkembangan Gamet

Spermatogonia pada spons kemungkinan berasal dari choanocytes atau archaeocytes (amoebocytes) karena ada fakta yang menunjukkan bahwa choanocytes mengalami transformasi ke archaeocytes (amoebocytes) atau sebaliknya (Sara, 1992), dan spermatogenesis terjadi pada spermatic cyst. Diferensiasi sperma terbagi atas tiga bentuk, yaitu: (1) semua sel pada semua cyst mungkin berkembang secara bersama- sama (synchronous) (misalnya: Polimastia mammilaris, Axinella damicornis); (2) diferensiasi sel di dalam sebuah cyst secara bersama-sama (synchronous), tetapi tahap perkembangan bervariasi pada cyst yang berbeda (misalnya: spons air tawar Ephydatia fluviatilis); dan (3) Sel berkembang pada beberapa cyst yang berbeda (asynchronous) (Sara, 1961 dalam Harrison dan De Vos, 1991).

Spermatogenesis pada spons jenis Suberitas massa, nukleus choanocytes ukurannya membesar menjadi nukleus akhir, dan sel-sel leher (collars) dan

(7)

flagellanya hilang. Nukleus bermigrasi dari choanocytes chamber dan mengumpul sebagai spermatogonial cyst. Sel-sel follikel berbentuk datar berasal dari archaeocytes mengelilingi cyst dan mungkin memfagositosis spermatogonia yang buruk. Spermatogenesis tidak bersama-sama (asynchronous) dalam satu cyst dan pada beberapa tempat spermatogonia mungkin berkembang di dalam sel-sel dan sisanya berkembang di dalam choanocytes chamber (Harrison dan De Vos, 1992).

Spermatosit primer pada Suberitas massa ukurannya meningkat, diameternya rata-rata sedikit di atas 5 µm. Kromatin berkondensasi terhadap permukaan bagian dalam pembungkus nukleus. Cytoplasma berisi sejumlah mitokondria, kelompok ribosom bebas sebagai polysomes, dan badan golgi. Badan golgi padat berisi karbohidrat homogen dan glikogen. Badan golgi terletak pada bagian tepi sitoplasma.

Hilangnya nukleolus dan tidak kelihatannya penutup nukleus adalah merupakan tanda awal terjadinya meiosis, dan pada proses ini terdapat synaptonema yang kompleks.

Spermatosit sekunder jarang kelihatan, kemungkinan disebabkan oleh cepatnya pembelahan, tetapi dicirikan oleh nukleus yang berisi butiran-butiran halus dan kromatin yang homogen. Selama spermiogenesis, nukleus yang berbentuk bola bermigrasi ke bagian tepi mendekati membran sel. Badan golgi terlihat pada spermatosit primer menjadi terletak pada kutub akrosom dan mungkin berfungsi pada cara yang sama. Sebuah akrosom benar tidak ada. Badan golgi kompleks tidak kelihatan. Mitokondria ukurannya meningkat, kemungkinan mengalami penggabungan untuk mencapai ukuran 1 µm dan terletak di bagian belakang dengan dua sentriole, tersusun tegak lurus antara satu dengan yang lainnya. Satu sentriole memunculkan axonema berflagella yang berisi susunan mikrotubula, dua mikrotubula terletak dibagian tengah dan sembilan pasang mikrotubula diletakkan disekitarnya (Harrison dan De Vos, 1992).

Xestospongia bergquistia membutuhkan waktu untuk perkembangan telur paling sedikit 178 hari sedangkan Xestospongia testudinaria 155 hari. Perkembangan awal oosit jenis ini sama, nukleolus kelihatan di dalam nukleus, dan beberapa telur mempunyai pinggiran yang seperti kerang, sementara yang lainnya terhenti pertumbuhannya. Karakteristik telur matang ini terjadi pada Xestospongia bergqustia

(8)

tetapi tidak pada Xestospongia testudinaria (Fromont, 1988 dalam Fromont dan Bergquist, 1994), tetapi penelitian lain pada jenis yang sama menunjukkan bahwa perkembangan telur sangat cepat, dan sempurna dalam waktu kira-kira 58 hari (Fromont dan Bergquist, 1994).

Material nutrisi oosit pada sebagian spons diabsorbsi secara pinositosis, fagositosis oleh pseudopodia yang bersentuhan dengan bermacam-macam tipe sel, tetapi pada umumnya diabsorbsi secara pinositosis. Pada tahap awal pertumbuhan oosit nutrien untuk asimilasi, kemungkinan berasal dari hasil absorbsi secara pinositosis yang berasal dari mesohyl. Tahap kedua, nutrien pada oosit, berasal dari fagositosit sel trophocytes nurse cells yang bermigrasi melalui sarung sel-sel folikel yang mengelilinginya dan mensintesa vitelline (Harrison dan De Vos, 1992).

Fertilisasi

Setelah sperma terbentuk, sperma kemudian dikeluarkan melalui oskulum dengan arus keluar (excurrent current) dan menyebar di perairan laut (Harris, 1988), sperma kemudian mengalir dan masuk ke dalam saluran masuk (ostia). Setelah sperma sampai pada ruang berflagella, sperma ditelan oleh choanocytes yang membawa sperma ke telur. Kedua sel tersebut hilang flagellanya setelah membawa spermanya sampai ke telur. Sel pembawa salah satunya membawa nukleus sperma atau sel pembawa dan nukleus sperma ditelan oleh telur. Fertilisasi selanjutnya terjadi secara in situ (Ruppert dan Barnes, 1991). Mekanisme lain terjadinya fertilisasi pada spons adalah setelah choanocytes menangkap sperma, choanocytes berubah menjadi amoeboid dan membawa sperma ke oosit yang mau menerima atau membawa sperma ke amoebocyte yang bertindak sebagai sel pembawa, atau setelah sperma masuk melalui sistem aquiferous dan melewati penghalang selluler, sperma menuju ke oosit pada mesohyl. Proses ini kelihatannya melalui perantaraan choanocytes yang berasal dari sel pembawa (Kozloff, 1990). Sperma masuk ke choanocytes setelah sel-sel leher (collars) dan flagellanya hilang, kemudian bermigrasi ke oosit, sperma disimpan atau di transfer langsung oleh penelanan sel pembawa sperma (Harrison dan De Vos, 1992).

(9)

Reproduksi Aseksual

Sejumlah proses reproduksi aseksual pada spons terjadi secara alami, yang dasarnya pada potensi perkembangan archaeocytes. Proses ini termasuk pembentukan pucuk (bud formation), penyembuhan luka (wound healing), pertumbuhan somatik (somatic growth), dan pembentukan gemmule (gemmules formation) (Harrison dan De Vos, 1991).

Kebanyakan spons, baik yang hidup di laut maupun yang hidup di air tawar, mempunyai cara reproduksi aseksual yang unik, yaitu pembentukan gemmule (Receck, 1988; Romimohtarto dan Juwana, 1999). Spons laut yang telah diketahui mengalami pembentukan gemmule adalah jenis Suberitas domuncula dan Haliclona loosanoffi. Proses perkembangan gemmule pada spons ini berbeda dengan spons air tawar. Thesocytes diperoleh dari choanocytes yang mengalami perubahan ke dalam bentuk archaeocytes peralihan, dan bentuk vitellogenesis jelas kelihatan. Pada penambahan aktifitas sintetis archaecytes, cadangan senyawa diassimilasi melalui phagocytosis, pinocytosis dan terdapat pseudopodia berperekat atau batang sitoplasmik antara thesocytes bagian depan dan nurse cells (Harrison dan De Vos, 1991). Gemmule mengandung kapsul spongin, spikula, dan dibungkus dengan archaeocytes yang mengandung cadangan makanan, seperti glycogen. Potongan- potongan spons yang patah (fragmentasi) dapat hidup dengan cadangan makanan yang ada di tubuhnya, kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau kompleks gemmule untuk menjadi spons dewasa (Bergquist, 1978).

Fragmentasi spons telah dipelajari dan dikembangkan sebagai salah satu alternatif teknologi untuk rehabilitasi dan pembudidayaan spons dalam rangka pengelolaan ekosistem terumbu karang. Fragmentasi spons merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam mengantisipasi eksploitasi sumber daya spons alam yang berlebihan untuk keperluan perikanan, farmasi, maupun benih untuk pengembangan. Dalam usaha pengembangan budidaya, fragmentasi spons diarahkan untuk memproduksi ekstrak kasar dan fraksinya serta untuk penyediaan bibit/anakan

(10)

untuk restocking dimana sampel/induk diberi beberapa perlakuan sehingga pertumbuhan dapat terjadi lebih cepat.

Fragmentasi spons dilakukan karena saat ini dibutuhkan suatu teknik budidaya yang dapat menghasilkan individu baru yang lebih banyak, pertumbuhan yang cepat, tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan masa pemulihan siklus reproduksi yang cepat.

Fragmentasi dilakukan dengan jalan melakukan pemotongan pada induk spons menggunakan pisau stainless steel, dilanjutkan dengan menanam atau menaruh fragmen tersebut pada substrat buatan di kedalaman dan lokasi tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Fragmentasi dapat dilakukan bila lokasi yang akan digunakan jauh dari sumber air tawar, kedalaman minimal 2-3 meter, hal ini bertujuan agar spons tidak terkena cahaya matahari berlebih yang akan meningkatkan suhu air disekitarnya juga menghindari baling-baling dari kapal yang melintas diatasnya, selain menghindarkan spons dari arus deras juga untuk memudahkan dalam bekerja. Penentuan metode yang akan diterapkan pada proses fragmentasi berdasar kepada kemampuan adaptasi spons itu sendiri terhadap perubahan kondisi terumbu dan dapat mempercepat pertumbuhan spons.

Persiapan spons untuk fragmentasi sangat menentukan bagi kelangsungan hidup dan berhasil tidaknya fragmentasi ini dilaksanakan. Proses persiapan yang tidak tepat dapat mengakibatkan rendahnya tingkat keberhasilan fragmentasi. Bila terkena udara selama 30 menit, tingkat keberhasilan fragmentasi spons akan menurun hingga hanya berkisar antara 70-90% dan spons akan mengalami stres hingga kematian. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mengurangi stres atau tingkat kematian yang tinggi ialah dengan cara memotong spons tetap didalam rendaman air, tidak menggenggam dengan terlalu kuat hingga seperti memeras, gunakan selalu alat potong yang benar-benar tajam dan tahan karat (MacMillan, 1996).

Spons laut menghasilkan sangat banyak bahan-bahan bioaktif dengan komposisi farmasi yang sangat menjanjikan. Sejak penelitian yang dilakukan pada akhir tahun 1950 tentang spons Tectitethya crypta (Cryptotethya) di Karibia, yang menghasilkan bahan obat-obatan sudah banyak kandungan spons yang diisolasi untuk

(11)

diujicoba secara pre-klinik dan klinik sebelum masuk ke industri obat-obatan (Newman dan Cragg, 2004). Kendala utama yang dihadapi adalah karena efek samping dari bahan beracun yang di miliki spons menjadikannya sangat jarang tersedia di alam.

Pengembangan isolasi kandungan bahan bioaktif untuk kemudahan dan kelayakan secara ekonomi sudah dilakukan oleh beberapa perusahaan obat namun banyak sumberdaya laut yang tidak dikembangkan lebih lanjut setelah komposisi kimianya di diskripsikan pada hasil penelitian (Mendola, 2003). Saat ini terlihat kecenderungan untuk melakukan uji ulang kandungan ini melalui metode alternatif untuk meningkatkan ketersediaan. Kandungan bioaktif seringkali ditemukan dengan konsentrasi yang sangat sedikit dan tersebar pada beberapa lokasi dan pada spesies yang langka. Pemanenan pada populasi alam akan menyebabkan terjadinya penurunan organisme target dan ketersediaannya dalam jangka panjang. Pemanenan spons secara kontinyu merupakan pilihan yang tepat, walaupun pertumbuhan dan pemulihan populasi merupakan proses panjang dan bukan merupakan pilihan yang tepat untuk spesies langka atau spesies yang tumbuh pada habitat yang ekstrim (van Treeck et al., 2003). Sebelum kultur spons diterapkan seharusnya diyakini bahwa produksi kandungan bahan bioaktifnya mencukupi (Duckworth and Battershill, 2003a; Hadas et al., 2005; Page et al., 2005).

Setelah diketahuinya kultur spons mandi di Mediteranean, Florida dan Kuba, pengembangan kultur spons secara komersial untuk memperoleh kandungan kimia bioaktifnya sangat jarang dilakukan (Dumdei et al., 1998; Duckworth and Battershill, 2003b; Hadas et al., 2005; Page et al., 2005). Penelitian terbaru dilakukan dengan menggunakan dua teknik pemeliharaan : teknik tali vertikal di laut terbuka dan teknik horizontal yang ditancapkan di dasar laut di area lagun (Duckworth et al., 2003;

Corriero et al., 2004; van Treeck et al., 2003).

Spesies spons yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap teknik kultur yang berbeda berdasarkan indikator sintasan dan pertumbuhannya.

Namun demikian beberapa spesies memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi dan dapat mentoleransi perubahan yang terjadi, walaupun ada beberapa spesies yang

(12)

berlaku sebaliknya (Duckworth et al., 1997, 2003; Pronzato et al., 1999). Contohnya Lissodendoryx sp., berhasil di kultur dengan menggunakan tali vertikal yang mengambang di dekat permukaan; spesies lain tidak dapat hidup setelah transplantasi karena ketidakmampuannya untuk menempel pada substrat. Prosedur transplantasi sangat dipengaruhi oleh morfologi dan tekstur spesies spons. Duckworth and Battershill (2003a) menyatakan bahwa spesies yang rapuh dan bentuknya seperti jari akan optimal jika dikultur pada posisi horizontal dengan menggunakan jaring, sedangkan spons dengan bentuk yang tidak beraturan dapat dikultur dengan menggunakan kabel ties. Faktor kunci yang menentukan keberhasilan kultur spons adalah kemampuan spesies spons untuk hidup dan meregenerasi jaringan spons yang hilang atau rusak yang diakibatkan oleh serangan predator, terlepas karena pergerakan air yang sangat besar akibat gelombang besar (Ayling, 1983).

Potongan spons atau fragmen yang ditransplantasi melalui fragmentasi buatan diperoleh dari spons induk dan dipindahkan lokasinya dan dikultur, sedangkan spons induk dibiarkan untuk pulih dan tumbuh kembali dari luka yang diakibatkan oleh fragmentasi buatan. Keberhasilan kultur spons bukan hanya dapat tumbuh dan memiliki sintasan yang tinggi tetapi juga memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi. Duckworth and Battershill (2003b) memperlihatkan bahwa fragmen spons dari beberapa spesies memperlihatkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi atau sama dengan fragmen spons yang tidak ditransplan. Idealnya, keteraturan panen spons yang dikultur dapat meningkatkan pertumbuhan spons.

Status penelitian saat ini terhadap spons Aa terkait dengan reproduksi seksual masih merujuk kepada literatur yang ditulis oleh Sara, tahun 1992. Sedangkan penelitian untuk kandungan bahan bioaktifnya dilakukan oleh Procks et al., (1999).

Di Indonesia penelitian terhadap spons Aa dilakukan oleh Haris (2003) dengan topik transplantasi yang dilakukan dengan membandingkan substrat tempat tumbuh spons antara rubble (pecahan karang) dan pasir. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pertumbuhan spons pada kedua substrat tersebut.

Penelitian lain terhadap spons Auletta sp. dilakukan oleh Pong Masak dan Rachmansyah (2002), dengan topik membandingkan ukuran fragmen spon yang

(13)

ditransplantasi di alam. Dan hasilnya menunjukkan bahwa transplantasi spons dengan ukuran fragmen 3 cm merupakan ukuran yang ideal karena menghasilkan sintasan dan pertumbuhan yang tinggi jika dibandingkan dengan fragmen yang berukuran 1 dan 5 cm.

Mekanisme yang Mengontrol Reproduksi

Faktor yang mengontrol reproduksi pada spons dikelompokkan atas dua kategori, yaitu: pengaruh internal dan pengaruh eksternal. Pengaruh internal yang penting untuk merangsang pematangan seksual pada spons antara lain adalah: kontrol genetik, senyawa yang mirip dengan hormon, keberadaan jumlah vitelline pada sel spons atau pada sejumlah besar archaeocytes segera setelah gemmule menetas dan pengaruh umur dan ukuran spons, sedangkan pengaruh eksternal antara lain adalah:

suhu air, cahaya khususnya fotoperiode, dan ketersediaan makanan (Sara, 1992).

Pengaruh Internal

Hasil penelitian pada spons Axinella damicornis dan Axinella verrucosa menunjukkan bahwa pematangan seksualnya di bawah pengaruh dan kontrol genetik.

Kedua jenis spons ini mempunyai genus yang sama dan habitat yang sama tetapi memperlihatkan periode reproduksi yang sangat berbeda. Variasi siklus reproduksi ditunjukkan juga oleh jenis yang berbeda pada daerah dengan cuaca yang sama adalah argumentasi lain diferensiasi seksual yang dipengaruhi oleh kontrol genetik.

Pada daerah tropis, sebagai contoh ada jenis (misalnya Hippospongia) yang reproduktif sepanjang tahun, dan pada daerah sub tropis seperti Jamaika, spons jenis Verongia gigantea, reproduktif hanya pada musim dingin (Sara, 1992).

Penelitian penggabungan spesimen yang tidak berdiferensiasi seksual pada Tethya serica tidak memberikan petunjuk pada kematangan seksual dan penggabungan spesimen menjadikan bercampur baurnya gamet heterolog dan mem pengaruhi satu tipe gamet pada gamet yang lainnya. Kenyataan ini terjadi pada Polymastia sp yang menunjukkan bahwa dengan petunjuk yang terbatas, senyawa

(14)

yang mirip hormon berpengaruh pada seksualitas spons, dan kelihatannya mengindikasikan sebuah dasar genetik pada diferensiasi (Sara, 1992).

Mekanisme yang mengontrol reproduksi pada spons, kelihatannya berhubungan dengan penetasan gemmule dan akan berhubungan pada banyaknya ketersediaan vitelline yang terdapat pada sel-sel spons atau sejumlah besar archaeocytes yang tidak berdiferensiasi segera setelah gemmule menetas. Lebih umum lagi, kemungkinan sebuah hubungan terbalik antara komponen biokimia yang dialokasikan untuk memproduksi sperma dan embrio dan ini dimanfaatkan untuk pertumbuhan somatik. Mekanisme kontrol seperti ini terdapat pada spons jenis Haliclona permolis dan Haliclona loosanoffi, yang reproduksi seksualnya diawali segera setelah germinasi gemmule (Sara, 1992).

Umur spesimen yang mungkin berkorelasi dengan ukurannya, merupakan mekanisme lain yang dapat mengontrol reproduksi pada spons. Ukuran reproduktif minimum pada Tethya serrica panjangnya kira-kira 10 cm, Hippospongia lachne diameternya kira-kira 14 cm. Mycale sp hanya spesimen yang volume bersihnya lebih besar dari 200 ml mengalami oogenesis, sedangkan spesimen yang kecil memperlihatkan spermatogenesis. Sebaliknya, pada Suberitas ficus, oogenesis sering terjadi hanya pada spesimen yang ukurannya tidak lebih dari kira-kira 5 cm (Sara, 1992).

Pengaruh Eksternal

Suhu air umumnya dianggap sangat penting diantara faktor eksternal yang mempengaruhi gametogenesis pada spons dan hewan laut lainnya di daerah yang perubahan musimnya besar (Sara, 1992; Fromont, 1994). Faktor lain yang mungkin penting adalah cahaya, khususnya fotoperiode, dan ketersediaan makanan. Pada kenyataannya seksualitas spons dipengaruhi oleh musim, terutama suhu perairan (Sara, 1992).

Pada Hippospongia lachne produksi oosit dan embrio setiap bulan pada tiga lokasi yang berbeda, di salah satu dari tiga lokasi peristiwa puncak reproduksi ada hubungannya dengan suhu air. Di British Honduras, gametogenesis umumnya terjadi

(15)

antara Maret dan April, di Bahama antara April dan Juni, dan Di Cedar Keys (Florida) antara Juni dan Juli. Puncak reproduksi di tiga lokasi berhubungan dengan suhu air yakni pada 29 oC. Di British Honduras dan Bahama beberapa spesimen reproduktif ditemukan sepanjang tahun, di Cedar Keys reproduksi terhenti pada musim dingin dengan suhu yang turun secara drastis, reproduksi hanya terjadi antara April dan Oktober. Hubungan antara kisaran suhu dan reproduksi ditemukan pada Haliclona loosanoffi di lokasi yang berbeda di Pantai Amerika Utara. Reproduksi terjadi pada kisaran suhu antara 20 oC dan 27 oC. Awal reproduktif terlambat pada perairan yang lebih dingin, dan oleh karena itu Haliclona loosanoffi juga mendapatkan suatu musim yang pendek untuk perkembangan hibernasi gemmule, yang merupakan fase aseksual pada siklus reproduksi jenis spons intertidal ini (Sara, 1992).

Pemilihan waktu reproduksi pada jenis Haliclona amboinensis, Haliclona cymiformis, dan Niphates nitida bertepatan dengan meningkatnya suhu perairan.

Spons secara reproduktif aktif sepanjang bulan-bulan pada musim panas. Penghentian aktivitas umumnya terjadi pada saat suhu perairan turun. Aktivitas reproduksi juga bertepatan dengan peningkatan total cahaya matahari dan curah hujan. Periode utama aktivitas reproduksi pada Haliclona amboinensis terjadi antara September dan Maret ketika suhu antara 23 – 29 oC tetapi individu aktif secara reproduktif juga ditemukan pada Mei 1987 dan April 1989. Larva hanya ditemukan pada spesimen antara Desember dan Maret ketika suhu perairan di atas 29 oC. Niphates nitida mempunyai periode reproduksi paling panjang dengan individu yang matang ditemukan antara Juli ketika suhu perairannya sangat rendah (< 22 oC) dan Maret. Individu yang matang juga terdapat pada Mei dan Juni 1987 dan pada April 1989. Larva jenis ini ditemukan pada September 1986 ketika suhu 25 oC. Haliclona cymiformis mempunyai musim reproduktif yang paling pendek, melakukan reproduksi pada bulan Desember ketika suhu maksimum di musim panas atau dekat musim panas dan aktifitas terhenti pada Januari. Individu yang matang juga terdapat pada Maret 1988 dan April 1989 dan larva ditemukan pada Desember dan Januari (Fromont, 1994).

Referensi

Dokumen terkait

Development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan.. produk dan menguji keefektifan

7aktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah adalah unsur-unsur yang terkandung dalam tanah, konsentrasi ion H 2  dan ion OH - , mineral tanah, air hujan dan bahan induk, bah6a bahan

Kita mudah terpedaya dengan pihak bank kerana hanya perlu mengekalkan pembayaran secara umumnya 5% sahaja setiap bulan untuk terus menggunakan kad tersebut pada

Da%tar kewenangan klinis adalah list&#34;da%tar dari kewenagan&#34;uraian tugas yang harus dikuasai oleh perawat berdasarkan leel&#34;$en$ang kompetensi yang di!apainya.

Setidaknya ada tiga kemampuan dasar yang perlu dimiliki seorang public relations, yaitu kemampuan mendengarkan, menulis dan berbicara, baik dalam konteks komunikasi organisasi

[r]

Eksplorasi terhadap nilai-nilai tradisi kemudian menjadi sumber inspirasi tersendiri yang diwujudkan dalam bentuk karya kriya yang memiliki unsur artistik luar biasa dan

Abstrak: Pembangunan Berbasis Masyarakat dikenal sebagai konsep pembangunan yang lebih membuka ruang untuk masyarakat agar dapat terlibat dalam proses pembangunan sehingga