• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KEMATIAN KORBAN TINDAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KEMATIAN KORBAN TINDAK"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KEMATIAN KORBAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Di Laboratorium Forensik Polri Cabang Makassar)

OLEH :

ANDI AULIA PANANGNGARI B 111 14 533

(2)

HALAMAN JUDUL

PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KEMATIAN KORBAN TINDAK

PIDANA PEMBUNUHAN

(Studi Kasus Di Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar)

OLEH :

ANDI AULIA PANANGNGARI B111 14 533

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studi sarjana pada Departemen Hukum Pidana Program

Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

ANDI AULIA PANANGNGARI (B111 14 533), dengan judul “PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KORBAN TIDAK PIDANA PEMBUNUHAN”. Di bawah bimbingan bapak M. Said Karim, sebagai Pembimbing I dan bapak Amir Ilyas, sebagai Pembimbing II.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan dari Laboratorium Forensik cabang Makassar dalam mengungkap penyebab atau ciri-ciri tindak pidana pembunuhan dalam ruang lingkup kawasan Indonesia Timur serta untuk mengetahui hambatan apa yang dihadapi oleh Laboratorium Forensik cabang Makassar dalam membuktikan tindak pidana pembunuhan melalui serangkaian proses.

Penelitian ini dilakukan di kota Makassar tepatnya di Laboratorium Forensik Cabang Makassar, Jalan Pabaeng-baeng no 8 Makassar.

Metode penelitian yang digunakan meliputi: Data Primer sebagai data utama yaitu Jumlah perkara serta, barang bukti (BB) sebagai pelengkap dalam mencari data untuk proses hukum selanjutnya. Lalu Data Sekunder yang digunakan untuk mendukung proses hukum terhadap Data Primer meliputi penggunaan, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas.

Berdasarkan hasil analisis fakta dan data yang telah dikumpulkan di Laboratorium Forensik Cabang Makassar, Penulis dapat menyimpulkan bahwa, Laboratorium Forensik Cabang Makassar telah memenuhi semua unsur dalam menjalankan peranannya untuk mengungkap penyebab korban pembunuhan, dengan menggunakan metode Visum Et Repertum, Laboratorium Forensik dapat membantu untuk pembuktian kasus pembunuhan, Dokter Forensik dapat menentukan waktu, penyebab, identitas, serta cara kematian korban. Hal ini tentunya dapat di jadikan alat bukti serta data pendukung untuk mendukung data primer untuk menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan tiada hentinya kepada Allah SWT yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini, disusun atas segala keterbatasan yang dimiliki sehingga masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu segala saran dan kritik penulis harapkan sebagai sebuah masukan dan pelajaran bagi Penulis.

Dalam penulisan skripsi ini terdapat banyak hal yang menjadi hambatan dan kesulitan yang dihadapi oleh Penulis, namun semua itu dapat dilewati penulis berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis hanturkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, Penulis ingin menghaturkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini terutama kepada :

1. Ayahanda Alm. Asriful Sultan Bin Djafar Pamenan dan Ibunda Dra. Hj.

Andi Rosmada yang tercinta yang selama ini selalu memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi, dan doa restunya selama Penulis menuntut ilmu.

(9)

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta staff dan jajarannya

3. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.

4. Bapak Prof. Dr. H. M. Said Karim, S.H., M.H., M.Si sebagai Pembimbing I dan Bapak Dr. Amir Ilyas SH.,MH. sebagai Pembimbing II. yang telah meluangkan waktu membagi ilmu yang berharga dalam membimbing Penulis menyusun skripsi ini.

5. Bapak Prof. Dr. Muhadar, SH., M.S., Ibu Dr. Haeranah, SH., MH, Ibu Dr.

Dara Indrawati, SH., MH selaku penguji dalam ujian skripsi penulis yang telah memberikan saran-saran dalam perbaikan skripsi penulis.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas segala ilmu yang telah memberikan ilmunya selama kurang lebih tiga setengah tahun Penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

7. Para Staf Akademik, kemahasiswaan, dan perpustakaan yang telah banyak membantu Penulis terutama Pak Usman, Pak Minggu, Pak

(10)

9. Bapak AKBP I Gede Suarthawan, S.Si,M.Si selaku Kasubbid Narkobafor Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar yang telah membantu Penulis selama melakukan penelitian di Laboratorium Forensik.

10. Bapak Penata Usman, S.Si., M.Kes selaku Kaur Subbid Kimbiofor Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar yang telah membimbing dan membantu Penulis selama melakukan penelitian di Laboratorium Forensik.

11. Teman seperjuangan selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Amelia Rosa Lestari S.H dan tak lupa pula Jesica Angel Lalujan S.H., Sri Nurfadillah DH Pasha S.H., dan Annisa Dian Lestari S.H yang telah memberikan bantuan, sumbangan pemikiran, motivasi, dukungan, terima kasih atas kebersamaannya, segala canda, suka, dan duka yang pernah kita lalui selama ini.

12. Kakak- Kakakku , Zakiyyah Kasim S.Kg, Andi Fajar Anas S.H, Ayu Primayury S.Ked , Arandz Ruttu S.Ked, dan Andi Rian Hakim S.E yang telah memberikan motivasi dan dukungan.

13. Teman- Teman LDR ALSA INDONESIA terutama Claudia Amanda S.H, Isman Julizar S.H., M.H, Abdul Rosid Novianto S.H., dan Eflin Christy Nainggolan S.H yang telah memberikan motivasi, perhatian dan dukungan selama Penulis mengerjakan skripsi ini.

(11)

14. Teman SMA, M. Nur Akib, Arfandy Setiawan, A. Asfani Chaerunnisa dan Ghaisani Humairah yang telah memberikan motivasi dan dukungannya selama ini.

15. Terima kasih juga kepada Fawwas Hamdi B.Sc yang telah menemani, memberikan dukungan dan motivasi selama ini.

16. Teman- Teman seperjuangan Bagian Hukum Pidana

17. Teman- Teman ALSA LC UNHAS

18. Teman – Teman Angkatan seperjuangan DIPLOMASI 2014

19. Rekan – rekan kesayangan seperjuanganku selama KKN Gel. 96 di Mahkamah Konstitusi di Jakarta terima kasih atas persaudaraan, kebersamaan dan kerjasamanya.

20. Serta semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan motivasi, dukungan, sumbangan pemikiran, bantuan materi dan non materi, penulis hanturkan terima kasih.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas pengorbanan tulus yang telah diberikan dengan segala limpahan rahmat dan hidayah dari- Nya.Akhir kata penulis persembahkan karya ini dan semoga dapat

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang Masalah ... 1

Rumusan Masalah ... 8

Tujuan Penelitian ... 9

Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 11

Tindak Pidana ... 11

Tindak Pidana Secara Umum... 11

Unsur-Unsur Tindak PIdana ... 15

Jenis-Jenis Tindak Pidana... 21

Tindak Pidana Pembunuhan... 24

Pembunuhan ... 24

Unsur-Unsur Tindak Pembunuhan ... 25

Jenis-Jenis Pembunuhan ... 26

Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana ... 32

Pembuktian ... 32

Teori Pembuktian ... 35

Pembuktian Menurut KUHAP ... 39

Gambaran Umum Laboratorium Forensik... 39

Laboratorium Forensik... 39

Kewenangan Formal Laboratorium Forensik... 42

Peranan Laboratorium Forensik ... 43

(13)

Sasaran Laboratorium Forensik ... 46

Produk Hasil Pemeriksaan Laboratorium Forensik... 47

BAB III METODE PENELITIAN... 48

Lokasi Penelitian ... 48

Jenis Dan Sumber Data ... 48

Teknik Pengumpulan Data ... 48

Teknik Analisis Data... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

Peranan Laboratorium Forensik dalam Penyelesaian Kasus Pembunuhan ... 50

Hambatan Laboratorium Forensik dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsinya ... 61

BAB V PENUTUP... 67

Kesimpulan ... 67

Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA... 70

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan adalah masalah manusia dan telah menjadi kenyataan sosial yang penyebabnya kurang dipahami di karenakan studi yang belum berada pada proporsi yang tepat secara dimensial. Kejahatan semakin sering terjadi, baik itu di pedesaan maupun perkotaan. Kejahatan merupakan bayang- bayang dari peradaban, dapat dikatakan bahwa sebenarnya lokasi kejahatan berada pada masyarakat bukan pada individu atau perseorangan1.

Setiap kejahatan tentu ada pelakunya, sedangkan kejahatan adalah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih dan pelakunya pasti adalah manusia. Setiap orang atau lebih yang diduga melakukan tindak pidana akan di proses dalam peradilan pidana, selanjutnya apabila yang terduga tersebut benar adanya melakukan tindak pidana setelah melewati semua prosedur yang sesuai dengan aturan yang berlaku, maka ia akan menjalani sanksi pidana yang telah diputuskan oleh hakim dalam persidangan.2

Kejahatan yang marak terjadi yaitu tindak pidana pembunuhan atau dengan sengaja menghilangkan nyawa orang

1H. Ridwan Hasibuan, Krimonologi Dalam Arti Sempit dan Ilmu-Ilmu Forensik, USU Press, Medan, 1994, hlm 5.

2Ibid,hlm 12.

(15)

lain. Sesuai dengan ketentuan yang tertera pada KUHP, tindak pidana pembunuhan dapat dibedakan menjadi :

1. Pembunuhan biasa

2. Pembunuhan dengan pemberatan 3. Pembunuhan berencana

4. Pembunuhan yang dilakukan dengan permintaan yang sangat tegas oleh korban sendiri.

Adapun penyebab tindak pidana pembunuhan yang secara misterius, mutilasi ataupun pembunuhan dengan menggunakan racun dan obat- obatan terlarang, yang dimana menyulitkan penyidik untuk menemukan pelaku dan bukti-bukti bahwa telah terjadinya tindak pidana pembunuhan.

Peristiwa- peristiwa pembunuhan tersebut merupakan kasus kematian yang misterius, karena sebab-sebab terjadinya peristiwa ataupun mengenai kronologisnya tidak dapat diketahui dengan pasti. Sedangkan penentuan sebab- sebab dari kematian dan saat kematian dalam kasus tindak pidana pembunuhan yang misterius mempunyai arti penting untuk penyelesaian kasus kejahatan

(16)

Sehubungan dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan yang mampu menghasilkan hasil positif dan negatif dalam mengusut dan mengadili tindak pidana seperti pembunuhan, maka lahirlah ilmu- ilmu modern salah satunya adalah ilmu forensik yaitu salah satu ilmu pengetahuan yang mampu memberikan keterangan dan penjelasan tentang penyebab dan waktu kematian bagi peradilan secara meyakinkan menurut kebenaran ilmiahnya yang mampu mendukung kebenaran peradilan dalam menetapkan keputusannya apabila ia dijalankan sesuai bagaimana mestinya, karena pada proses penegakan hukum dan keadilan adalah merupakan suatu usaha ilmiah dan bukan hanya sekedar common- sense/nonscientific belaka.3

Ilmu Forensik digunakan oleh para penyidik untuk menemukan kebenaran seberapa jauh yang dapat dicapai oleh manusia. Maka Kepolisian Republik Indonesia yang bertugas selaku penyidik mendirikan Laboratorium Forensik sebagai alat Kepolisian khusus membantu dan mengawal Kepolisian Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum serta berkewajiban menyelenggarakan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan serta membantu mengenai kegiatan pembuktian perkara pidana dengan memakai teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan ilmu forensik.

3Ibid,hlm 39.

(17)

Dalam kasus tindak pidana pembunuhan, peran laboratorium forensik sangat membantu dokter forensik dalam pembuktian kasus tersebut. Laboratorium Forensik membantu dokter forensik untuk memeriksa waktu, sebab, identitas dan cara kematian korban sehingga keterangannya baik dituliskan melalui alat bukti tersurat atau disebut dengan Visum Et Repertum maupun dalam hal penyampaian keterangan oleh ahli forensik pada persidangan tentang hipotesa kematian tidaklah terlepas dari pemeriksaan di laboratorium forensik. Pengusutan kejahatan tidaklah semata-mata berdasarkan saksi mata (eye witness), akan tetapi juga berdasarkan bukti-bukti fisik (physical evidence) yang ditemukan pada tempat kejadian perkara. Kejadian ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:4

1. Saksi mata dapat memberikan keterangan palsu atau disuruh untuk berbohong.

2. Bukti fisik jumlahnya tidak berbatas dan tak dapat berbohong atau disuruh berbohong.

3. Tidak semua peristiwa kejahatan disaksikan sepenuhnya oleh saksi mata.

(18)

Laboratorium forensik merupakan suatu lembaga yang berkewajiban dan bertugas untuk menyelenggarakan fungsi dari kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan serta turut serta membantu mengenai kegiatan pembuktian dari perkara tindak pidana dengan menggunakan teknologi dan ilmu-ilmu penunjang lainnya. Seperti yang telah diketahui bahwa laboratorium forensik merupakan salah satu unsur bantuan teknik laboratories kriminalistik dalam rangka tugas yaitu sebagai penyidik. Adapun pelaksanaan tugasnya yaitu meliputi bantuan pemeriksaan laboratories, baik itu terhadap tempat kejadian perkara (TKP) maupun barang bukti serta kegiatan bantuan lainnya terhadap unsur- unsur operasional kepolisian terutama reserse.

Mengenai tindak pidana kejahatan biasanya meninggalkan bukti-bukti ataupun bekas dari tindak pidana kejahatan itu sendiri yang dapat diungkap baik melalui alat bukti yaitu berupa keterangan saksi maupun keterangan tersangka ataupun terdakwa sendiri dan dapat pula melalui pemeriksaan barang bukti yang dapat diperiksa secara laboratories. Adapun laboratorium forensik sangat penting artinya dalam mengungkap kasus kejahatan melalui proses pemeriksaan barang bukti. Adanya suatu peranan laboratorium forensik dalam membantu penyelidikan dan penyidikan yang kewenangannya diatur dalam Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang disamping itu dapat berfungsi sebagai keterangan ahli ataupun saksi

(19)

ahli guna untuk mendukung dan melancarkan jalannya persidangan.

Semua Negara maju dan berkembang melakukan pembuktian dengan menggunakan ilmu forensik yang nantinnya akan digunakan sebagai alat bukti sah utama dalam memberikan kesaksian agar meyakinkan hakim, walaupun terdakwa atapun tersangka bersikap tidak mengakui perbuatannya.5

Sistem pembuktian menurut ilmu forensik yaitu terbagi atas bukti segi tiga Tempat Kejadian Perkara (TKP) maka terdapat rantai antara korban, pelaku dan barang bukti. Oleh karena itu, tidak semua tindak pidana dapat diketahui dan diungkap seketika melalui keterangan saksi, tersangka ataupun terdakwa saja, akan tetapi barang bukti juga dapat berupa petunjuk ataupun keterangan atas suatu tindak pidana yang telah terjadi karena hasil dari pemeriksaan barang bukti dari laboratorium forensik terdapat tiga alat bukti yang dapat dipenuhi oleh laboratorium tersebut dari lima alat bukti yang salah berdasarkan Undang- Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHP Pasal 184 ayat (1) yaitu ; keterangan ahli, petunjuk dan surat.

Keberadaan laboratorium forensik sangat membantu para

(20)

oleh seseorang. Tubuh manusia diperiksa oleh para ahli forensik untuk mengetahui sebab-sebab kematian korban dan menentukan peristiwa apa yang telah terjadi. Mengenai identifikasi mayat, bertujuan untuk menentukan jenis kelamin, umur, tinggi badan dan sebagainya.

Mengenai keadaan mayat sesudah kematian (post mortem) yang bertujuan untuk menentukan saat kematiannya.

Laboratorium forensik dan dokter forensik tidaklah dapat dipisahkan dalam pembuktian kasus pembunuhan. Dalam pembuktian kasus tindak pidana pembunuhan, hasil dari pemeriksaan dokter forensik di laboratorium forensik. Memberikan keyakinan kepada hakim karena pembuktian dilakukan dengan cara yang ilmiah berdasarkan keahlian disiplin ilmu serta perlengkapan dan peralatan yang modern.

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan laboratorium forensik, dokter forensik dapat memberikan tiga alat bukti yang sah, yaitu alat bukti keterangan ahli, surat dan petunjuk.6

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, penulis menyimpulkan untuk lebih mengetahui mengenai manfaat tentang laboratorium forensik, karena dapat dikatakan bahwa untuk mengungkap pembuktian suatu tindak pidana pembunuhan laboratorium forensik berperan sangat besar. Aparat penegak hukum turut membantu dalam mencari kebenaran di persidangan dengan memberikan 3 alat bukti yang sah sesuai dengan Kitab Undang-

6H.R. Abdussalam, Forensik, Restu Agung,Jakarta,2006,hlm.4

(21)

Undang Hukum Acara Pidana yaitu Keterangan Saksi Ahli, Surat dan Petunjuk.

Berdasarkan hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkat menjadi topik pembahasan dan penelitian dalam penulisan skripsi dengan judul “PERANAN LABORATORIUM FORENSIK DALAM MENGUNGKAP PENYEBAB KEMATIAN KORBAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN” ( STUDI KASUS DI LABORATORIUM FORENSIK POLRI CABANG MAKASSAR )

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari permasalahan tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah penelitian yaitu:

1. Bagaimanakah Peranan Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar Dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Pembunuhan?

2. Bagaimanakah Hambatan Yang Di Alami Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar Dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsinya?

(22)

C. Tujuan Penelitian

Searah dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui peranan Laboratorium Forensik dalam mengungkap dan menyelesaikan kasus tindak pidana pembunuhan.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang ditemukan oleh laboratorium forensik cabang Makassar dalam melaksanakan peran dan fungsinya.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini mengarah kepada aspek berikut : 1. Manfaat Teoritis

Dapat mengetahui peranan dan fungsi dari laboratorium forensik dalam pembuktian suatu tindak pidana pembunuhan. Laboratorium forensik memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu forensik yang berperan sebagai alat bukti sah utama yang dibuat secara pro justitia serta memberikan penambahan khasanah pustaka forensik sebagai alat bukti yang sah dan utama dalam proses penegakan hukum.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis melalui penulisan penelitian ini dapat bermanfaat nantinya bagi para penegak hukum dalam membuktikan

(23)

suatu tindak pidana pembunuhan dengan memanfaatkan laboratorium forensik yang digunakan sebagai alat bukti yang sah untuk memutuskan terdakwa bersalah atau tidak bersalah.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana 1. Tindak Pidana secara Umum

Dari berbagai literatur dapat diketahui bahwa, istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa yang digunakan untuk menerjemahkan kata starfbaarfeit oleh sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, dan perbuatan pidana. Istilah tindak pidana digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya denfgan istilah ”perbuatan jahat” atau ”kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak pidana itu sendiri, tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran umum pengertian kejahatan ataupun tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko Prakoso bahwa secara yuridis, pengertian kejahatan atau tidak pidana adalah ”perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi”. Secara

(25)

kriminologis Djoko Prakoso mengatakan bahwa, kejahatan atau tindak pidana adalah ”perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam lingkungan masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat, dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah ”perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.7

Pembentukan Undang-Undang itu sendiri telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit, sehingga timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa yang sebenarnya dengan kata strafbaarfeit tersebut, seperti halnya yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe.

Hamel mengatakan bahwa ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut untuk dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.8 Sedangkan menurut Pompe

(26)

pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.9

Dengan menyebut yang lain Hart mengatakan bahwa tindak pidana harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikemukakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dengan sengaja oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.10

Berikut ini beberapa pengertian tindak pidana dari beberapa pakar. Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam defenisi tindak pidana yaitu :

Defenisi teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah,tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan

9Lamintang,1984. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru.Bandung.hlm 173- 17410Muladi,1985. Lembaga Pidana Bersyarat.Alumni,Bandung.hlm.23.

(27)

menyelamatkan kesejahteraan umum. Dan defenisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang- Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan didalam beberapa keadaan merupakan bagian suatu peristiwa11

Sedangkan menurut bahwa tindak pidana tersebut mempunyai 5 (lima) unsur yaitu :12

a. Subjek b. Kesalahan

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang- Undang dan terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana.

e. Waktu,tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).

Rusli Efendy mengemukakan bahwa peristiwa tindak pidana, yaitu ”perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana” menjelaskan:

(28)

Sebab kalau dipakai kata peristiwa saja, hal ini dapat mempunyai arti yang lain yang umpamanya peristiwa alamiah.13

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Namun sebelum itu berkaitan dengan dilarang dan diancamnya suatu perbuatan mengenai perbuatannya sendiri berdasarkan Asas Legalitas ( Principle of Legality) yang dapat menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Maka seseorang dapat dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukannya memenuhi syarat-syarat tindak pidana (strafbaarfeit). Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana KUHP pada umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif

13Rusli Effendy, Asas-Asas Hukum Pidana, LEPPEN UMI,Makassar,1986. Hal.1

(29)

dan obyektif. Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif”

adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur ”obyektif” adalah unsur-unsur yang berkaitan dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan dimana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.14

Unsur-unsur subyektif dari suatu tindak pidana yaitu:

a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan(culpa/dolus)

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian,penipuan,pemerasan,pemalsuan dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat di dalam kejahatn pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain

(30)

Unsur-unsur dari suatu tindak pidana adalah:

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.15

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit) ada beberapa pendapat para mengenai pengertian unsur-unsur tindak pidana menurut aliran monistis dan aliran duolistis.

Beberapa ahli berpandangan tentang aliran monistis, yaitu:

a. D.Simons mengatakan bahwa pengertian tindak pidana (strafbaarfeit) adalah ” een strafbaar gestelde, onrechmatige, met schuld verband staande handeling van een toerekeningvatbaar persoon”.

Atas dasar pandangan tentang tindak pidana tersebut di atas, unsur-unsur tindak tersebut diatas, adapun unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah:

1) Perbuatan manusia (baik itu positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld);

3) Melawan hukum (onrechtmatig);

15Ibid.,hlm.184.

(31)

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staad);

5) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsyatbaar persoon).16

Dari unsur-unsur tindak pidana tersebut Simons membedakan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah:

1) Yang dimaksud dengan unsur objektif ialah; perbuatan orang;

2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan tersebut;

3) Keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan tersebut seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat ”openbaar”

atau ”dimuka umum”.

Selanjutnya unsur subyektif dari strafbaarfeit adalah:

1) Orang yang mampu bertanggung jawab;

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.17

b. Van Hamel, menyatakan bahwa Strafbaarfeit adalah een

(32)

strafwardig en aan schuld te witjen. Jadi menurut Van Hamel, unsur-unsur tindak pidana adalah:

1) Perbuatan Manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan dan 4) Patut dipidana.18

Beranjak dari teori yang telah dikemukakan di atas maka dari itu menurut Amir Ilyas, unsur-unsur tindak pidana hanya tiga yaitu :19

1) Ada Perbuatan

2) Ada Sifat Melawan Hukum 3) Tidak ada alasan Pembenar.

Dari pendapat beberapa ahli yang beraliran monistis tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak adanya pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility. Lebih lanjut mengenai unsur-unsur tidak pidana menurut pendapat para ahli yang berpadangan dualistis adalah sebagai berikut:

a. H.B. Vos, menyebutkan bahwa Strafbaarfeit hanya berunsurkan:

1) Kelakuan manusia dan

2) Diancam pidana dengan undang-undang.

18Ibid,hlm.33

19Amir Ilyas,Pertanggungjawaban Pidana Dokter dalam Malpraktik Medik di Rumah Sakit,Rangkang Education, Yogyakarta,2014,hlm.52

(33)

b. W.P.J. Pompe, menyatakan bahwa menurut hukum positif Strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dilakukan dengan kesalahan dan diancam pidana.

c. Moeljatno, memberikan arti tentang Starfbaarfeit, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Untuk adanya perbuatan pidana haruslah ada unsur-unsur:

1) Perbuatan(dilakukan oleh manusia);

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang(yang merupakan syarat formil) dan

3) Syarat formil haruslah ada karena keberadaan asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Syarat materiil pun harus ada pula, karena perbuatan itu harus pula betul- betul oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan , oleh karena itu bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat.

(34)

Dengan demikian pandangan para ahli yang beraliran duolistis tersebut maka timbullah pemisahan antara criminal act dan criminal responsibility.20

Menurut Sudarto, baik itu aliran monistis maupun dualistis, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil dalam menentukan adanya pidana.

Apabila orang menganut pendirian yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak terjadinya kekacauan pengertian. Bagi beberapa orang yang berpandangan monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedangkan bagi mereka yang berpandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana karena masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada si pembuat atau pelaku pidana. Jadi menurut pandangan dualistis semua syarat-syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.21

3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Secara teoritis terdapat beberapa jenis perbuatan pidana ataupun tindak pidana dapat dibedakan secara kualitatif dan pelanggaran. Kejahatan adalah rechtdelicten, yaitu perbuatan- perbuatan yanng bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan tersebut diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam

20Sudarto,1990/1991.Loc. cit.

21Ibid,hlm.28

(35)

undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap karena sebagai tindak pidana oleh masyarakat karena undang-undang mengancamnya dengan sanksi pidana.22

Menurut Moeljatno, jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, diantara lain sebagai berikut:23

a. Menurut Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dibedakan antara lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan pelanggaran yang dimuat dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi ”kejahatan” dan ”pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bago pembagian KUHP kita menjadi Buku ke II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam Perundang-undangan secara keseluruhan.

b. Cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil(Formeel Delicten) dan tindak pidana materiil (Materiil Delicten). Tindak Pidana formil adalah tindak pidana yang

(36)

larangannya adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

c. Dilihat dari bentuk kesalahan, tindak dibedakan menjadi tindak pidana sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten). Contoh tindak pidana kesengajaan yang diatur didalam KUHP antara lain sebagai berikut: Pasal 310 KUHP (penghinaan) yaitu sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang. Pasal 322 KUHP (membuka rahasia) yaitu dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya. Pada delik (culpa) orang juga dapat dipidana jika melakukan kesalahan, misalnya Pasal 360 ayat (2) KUHP yang menyebabkan orang lain luka-luka.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, tindak pidana akitf(positif), perbuatan aktif juga disebut perbuatan materiil adalah perbuatan untuk mewujudkannya diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan penipuan(Pasal 378 KUHP). Tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Tindak pidana murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada

(37)

dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif, misalnya diatur dalam pasal 224,304,dan 552 KUHP.

2. Tindak pidana tidak murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang mengandung unsur terlarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat, misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya sehingga membuat bayinya meninggal dunia.

Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa jenis- jenis pidana terdiri dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil dan tindak pidana materiil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak disengaja serta tindak pidana aktif dan tindak pidana pasif.

B. Tindak Pidana Pembunuhan 1. Pengertian Pembunuhan

Para ahli hukum tidak memberikan pengertian ataupun defenisi tentang apa yang dimaksud dengan pembunuhan, akan

(38)

tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya haruslah ditujukan pada akibat yang berupa meninggalnya orang lain.24

Dengan demikian, orang belum dapat menyimpulkan tentang terjadinya suatu tindakan pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya orang lain sendiri belum terwujud.

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan

Unsur-unsur tindak pidana pembunuhan terdiri dari:

a. Unsur Obyektif:

1. Perbuatan: menghilangkan nyawa;

2. Obyeknya: nyawa orang lain;

b. Unsur Subyektif: dengan disengaja

Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Adanya wujud perbuatan;

2. Adanya suatu kematian (orang lain);

3. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain)

Antara unsur subyektif sengaja dengan wujud perbuatan penghilangkan terdapat syarat yang juga harus dibuktikan, ialah

24P.A.F, Lamintang Theo, Kejahatan Terhadap Nyawa,Tubuh, dan Kesehatan, Cetakan Kedua,Jakarta,Sinar Grafika,2012,hlm. 1.

(39)

pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain itu.25

3. Jenis-jenis Pembunuhan

Dari ketentuan-ketentuan mengenai pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang juga dapat mengetahui bahwa pembentuk undang-undang telah membedakan jenis-jenis tindak pidana pembunuhan antara lain:

a. Pembunuhan biasa (doodslag)

Pembunuhan biasa adalah pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHPidana yang pada dasarnya pasal tersebut, adalah mengatur mengenai pembunuhan dalam bentuk yang pokok atau oleh pembuat Undang-Undang disebut doodslag.

Sebagaimana ketentuan Pasal 338 KUHPidana, berbunyi bahwa:

“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang,karena pembunuhan biasa,dipidana dengan pidana penjara

(40)

a. Dengan sengaja

b. Menghilangkan nyawa orang lain

c. Perbuatan yang dilakukan mempunyai hubungan kasual dengan kematian tersebut.

Kesengajaan ini harus mengenai ketiga unsur dari tindakan pidana, yaitu:27

a. Perbuatan yang dilarang

b. Akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu c. Bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

b. Pembunuhan berkualifikasi

Delik pembunuhan berkualifikasi atau delik pembunuhan dengan keaadaan-keadaan yang memberatkan pidananya yang dalam doktrin dikenal sebagai qualify ceerdedooslag sebagaimana diatur dalam Pasal 339 KUHPidana, bahwa:28

“Pembunuhan yang diikuti atau disertai atau didahului oleh suatu delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudahkan pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang

26Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur, hlm.162.

27Wirdjono Prodjodikoro, 1986, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, PT.Eresko, Bandung, Hlm.61.

28Andi Hamzah,Loc.Cit,hlm.166.

(41)

yang diperolehnya secara melawan hukum, melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

c. Pembunuhan berencana (moord)

Pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHPidana, yang berbunyi:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang, karena bersalah melakukan pembunuhan berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.”

R. Soesilo berpendapat bahwa:29

Berencana artinya dengan direncanakan lebih dahulu, terjemahan dari kata asing met voorbedach rade, antara timbulnya, maksud akan membunuh dengan pelaksanaannya masih ada tempo bagi pembuat dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimana sebaiknya pembunuhan itu dilakukan.

Tempoh ini tidak terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga

(42)

niatnya akan membunuh itu, akan tetapi kesempatan itu tidak ia gunakan.

d. Pembunuhan Anak (kinderdoodslag)

Pembunuhan anak dalam bahasa Belanda disebut dengan kiderdoodslag, sebagaimana diatur dalam Pasal 341 KUHPidana, yang berbunyi:

“ seorang ibu yang karena takut akan diketahui ia sudah melahirkan anak, pada ketika anak itu dilahirkan atau tiada berapa lama sesudah dilahirkan, dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu dipidana karena bersalah melakukan pembunuhan anak, dengan pidana penjara selama- lamanya tujuh tahun”

R. Soesilo mengemukakan bahwa:30

Yang dihukum disini adalah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja (tidak direncanakan terlebih dahulu) membunuh anaknya pada waktu dilahirkan karena takut diketahui, bahwa ia sudah melahirkan anak.

Kejahatn ini dinamakan “makar mati anak” atau membunuh biasa anak (kinderdoodslag).

30R.Soesilo,1996,Pelajaran Lengkap Hukum Pidana,Politeia,Bogor,Hlm.146.

(43)

e. Pembunuhan anak yang direncanakan (kindermoord)

Pembunuhan anak yang direncanakan (kindermoord) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 342 KUHPidana, yang berbunyi:

“ seorang ibu yang untuk menjalankan keputusan yang diambilnya karena takut diketahui orang bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, pada ketika dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu, dengan sengaja menghilangkan nyawa anaknya itu, karena bersalah melkukan pembunuhan anak berencana dipidana dengan pidana penjara selama- lamanya Sembilan tahun”.

f. Pembunuhan atas permintaan korban

Delik pembunuhan atas permintaan korban diatur dalam Pasal 344 KUHPidana, yang berbunyi:

“ barangsiapa menghilangkan nyawa orang atas permintaan sungguh-sungguh orang itu sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun”.

(44)

sendiri. Hal tersebut, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 345 KUHPidana, yang berbunyi bahwa:

1) Membujuk atau menganjurkan atau menggerakan orang lain untuk melakukan bunuh diri;

2) Membantu atau menolong orang lain untuk bunuh diri;

3) Memberikan atau menyediakan alat ikhtiar atau daya upaya atau alat-alat kepada orang lain untuk melakukan bunuh diri.

Adapun kelebihan dari Pasal 345 KUHPidana ini, yaitu orang yang membujuk,menolong, ataupun memberi ikhtiar , agar orang melakukan bunuh diri tidak dihukum jikalau orang yang dibujuk itu tidak meninggal dunia.

h. Pembunuhan (menggugurkan) anak dalam kandungan Delik pembunuhan (menggugurkan) anak yang berada dalam kandungan yang biasa disebut abortus, yang sebagaimana diatur dalam 4 (empat) Pasal di dalam KUHPidana, yaitu dari Pasal 347 sampai dengan Pasal 349 KUHPidana.

Dalam Pasal 346 KUHPidana tersebut terdapat dari garis besar jenis delik yaitu:

(45)

a. Perempuan atau ibu sendiri menyebabkan gugur atau mati kandungannya. Menyebabkan terletaknya dalam perbuatan orang perempuan terhadap badannya sendiri;

b. Perempuan atau ibu menyuruh orang lain menyebabkan gugur atau mati kandungannya. Ia membiarkan bahwa orang lain menyebabkan kandungan perempuan itu gugur atau mati, baik atas kemauan sendiri maupun atas permintaan perempuan itu sendiri.

C. Pembuktian Dalam Perkara Tindak Pidana 1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Pengertian dari pembuktian sebenarnya tidak akan dapat ditemukan dalam suatu Pasal pun yang memberikan pengaturannya

(46)

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.”31

Hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan:

e. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;

f. Apakah betul peristiwa merupakan suatu tindak pidana;

g. Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan h. Apakah orangnya telah bersalah berbuat peristiwa itu.32

Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan barang bukti yang benar-benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya.

Untuk menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa sehingga akan membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa

31M.Yahya Harahap,Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2000. Hlm, 252.

32R. Soesilo,Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Serta Komentar- Komentarnya,Bogor,CV Politeia,1996,Hlm 109.

(47)

pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang sangat penting. Membuktikan sesuatu berarti:

a. Menunjukkan hal-hal yang dapat di tangkap oleh panca indra;

b. Mengutarakan hal-hal tersebut;

c. Berfikir secara logika.

Dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah kejadian-kejadian konkrit dan bukan suatu yang abstrak. Hakim meskipun tidak terlihat dengan mata kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.

Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran yang mutlak sukar ditemukan dalam proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak melalui pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang dalam hubungan perkara pidana. Sedangkan tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan seseorang. Oleh karena itu,

(48)

hanya karena semata-mata untuk mencari kesalahan seseorang.

Walaupun didalam prakteknya kepastian yang absolut tidak akan tercapai, akan tetapi dengan pembuktian serta keputusan dengan menggunakan bukti-bukti yang ada, akan tercapai kebenaran yang patut dan dipercaya, jangan sampai orang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Pada dasarnya perihal alat-alat bukti telah diatur pada pasal 184 (1) KUHAP.

Alat bukti yang sah adalah sebagai berikut:33

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

2. Teori Pembuktian

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal beberapa teori pembuktian. Teori pembuktian dalam perkara tindak pidana dibedakan menjadi 4 (empat) macam yaitu:34

a. Teori atau Sistem Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditntukan

33Undang-Undang No.8 Tahun 1981, Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

34Waluyadi,Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi.

Bandung. Mandar Maju.2004,hlm.39

(49)

oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, yakni dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang telah diperiksanya dalam sidang pengadilan. Hasil pemeriksaan alat-alat bukti juga dapat diabaikan oleh hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan dari terdakwa.

Kelemahan sistem pembuktian conviction-in time adalah hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa karena semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung alat bukti yang cukup.

Keyakinan hakim yang dominan atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim yang dapat menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini. Sistem ini memberikan kebebasan

(50)

c. Sistem conviction- raisonce pun, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi, pada sistem ini, faktor keyakinan hakim dibatasi. Jika dalam sistem pembuktian conviction-in time peran keyakinan hakim menjadi leluasa tanpa batas maka pada sistem conviction- raisonce, keyakinan hakim harus didukung dengan ”alasan- alasan yang jelas”. Hakim harus mendasarkan putusan- putusannya terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan.

Oeh karena ituputusan juga berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.

d. Teori atau Sistem Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif

Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, yakni untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata- mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah.

(51)

Terpenuhinya syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim, yakni apakah hakim yakin atau tidak mengenai tentang kesalahan terdakwa, tidaklah menjadi masalah.

Sistem pembuktian ini lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, yang artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang, semata- mata tidak diletakkan dibawah kewenangan hakim, tetapi diatas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas; seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasarkan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Sistem ini disebut teori pembuktian formal (foemele bewijstheorie).

e. Teori atau Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang

(52)

pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.

Sistem ini memadukan unsur objektif dan subjektif dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, tidak saling dominan diantara kedua unsur tersebut.

3. Pembuktian Menurut KUHAP

Suatu pembuktian harus didasarkan pada pasal 183 KUHAP yang intinya membahas mengenai hakim tidak diperkenankan untuk menjatuhkan pidana kecuali memiliki bukti sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah dan pasal ini hampir sama bunyi dan maksud yang terkandung di dalam Pasal 294 HIR. Dari kedua pasal ini, sama-sama menganut sistem pembuktian secara negatif dan sistem ini adalah sistem yang paling tepat digunakan dalam penegakan hukum di Indonesia demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukumnya.35

D. Gambaran Umum Laboratorium Forensik 1. Pengertian Laboratorium Forensik

Kata forensik berasal dari bahasa latin yakni dari kata forum. Istilah tersebut mengandung pengertian sebagai suatu tempat pertemuan umum di kota- kota pada Zaman Romawi kuno yang pada umumnya dipakai

35M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,Pustaka Kartini,Jakarta,1986,hlm 801.

(53)

untuk berdagang ataupun kepentingan lain termasuk suatu sidang peradilan. Sedangkan arti dari forum itu sendiri adalah suatu tata cara perdebatan di depan umum dan hal-hal yang merupakan bagian atau ada hubungannya dengan.36

Forensik dalam bahasa hukum dapat diartikan sebagai hasil pemeriksaan yang diperlukan dalam proses pengadilan. Sedangkan forensik dalam pengertian bahasa Indonesia berarti berhubungan dengan pengadilan. Ilmu forensik (forensic science) adalah meliputi semua ilmu pengetahuan yang mempunyai kaitan masalah dengan masalah kejahatan, atau dapat dikatakan bahwa dari segi perannya dalam penyelesaian kasus kejahatan, maka ilmu-ilmu forensik memegang peranan penting.37

Untuk kejelasannya dapat dilihat dari apa yang dikemukakan oleh Susetio Pramusinto yakni:38

”Forensik ialah ilmu pengetahuan yang menggunakan ilmu multi disiplin untuk menerapkan ilmu pengetahuan alam, kimia, kedokteran, biologi, psikologi dan kriminologi dengan tujuan membuat terang guna membuktikan ada tidaknya kasus kejahatan atau pelanggaran dengan

(54)

Adapun pengertian Laboratorium forensik yang dimaksud ialah suatu badan yang bertugas dan berkewajiban menyelenggarakan fungsi kriminalistik dan melaksanakan segala usaha pelayanan dan kegiatan untuk membantu mengenai pembuktian suatu tindak pidana yang terjadi dengan menggunakan teknologi dan ilmu kedokteran kehakiman, ilmu forensik, ilmu kimia forensik serta ilmu-ilmu penunjang lainnya.

Forensik merupakan cara untuk membuktikan atau mengungkapkan kasus untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Yang perlu ditekankan bahwa forensik adalah cara untuk mendapatkan alat bukti atau alat bantu untuk mendapatkan alat bukti, bukan alat bukti itu sendiri.39

Laboratorium forensik POLRI pertama kali di dirikan pada 15 Januari 1954 berdasarkan perintah kepolisian Republik Indoneisa No.

1/VIII/1954 dengan nama seksi laboratorium yang secara organisasi adalah sebagai salah satu seksi dari bagian dinas reserse kriminal Kepolisian Negara dan berkedudukan di Jakarta. Pada tanggal 6 Apriil 1957 berdasarkan surat keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 26/lab/1957 dibentuk laboratorium forensik cabang

39Bambang Widodo Umar,Artikel; Forensik, Jalan untuk Mengungkap Kasus Pidana,2016.

(55)

Surabaya, setelah itu menyusul pembentukan cabang-cabang lain di kota Semarang, Medan, Denpasar, Makassar dan Palembang.40

2. Kewenangan Formal Laboratorium Forensik

Dalam pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan peranan Laboratorium forensik POLRI selama ini antara lain didasarkan kepada:41

a. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana b. UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI

c. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1173/ Menkes/ SK/X/1998 tentang Penunjukan Laboratorium Pemeriksa Narkoba dan Psikotropika,

d. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. 5/KRI/ 2589 Perihal Penunjukan Labkrim POLRI untuk Pemerika Tulisan.

e. Surat Ketua Mahkamah Agung RI No. 808/XIX/1983 Prihal Penunjukan Labkrim Polri sebagai Pemeriksa Barang Bukti Kasus-Kasus Pidana Umum.

f. Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE/003/SA/2/1984 tentang Keterangan Ahlli Mengenai Tanda Tangan dan Tulisan Sebagai

(56)

g. Peraturan KAPOLRI No. 21 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satker Mabes POLRI.

h. Peranan KAPOLRI No.10 Tahun 2009 tentang Tata Cara Permintaan Bantuan kepada Labfor POLRI.

3. Peranan Laboratorium Forensik dalam Pembuktian Tindak Pidana

Terbentuknya laboratorium forensik untuk membantu proses penyidikan dengan melalui tahap pemeriksaan barang bukti dari suatu tindak pidana yang terjadi dan sebagai sarana pembantu dalam proses penyidikan yakni melakukan pemeriksaan terhadap barang bukti jika adanya permintaan pemeriksaan, jika tidak adanya permintaan pemeriksaan barang bukti maka pihak dari laboratorium forensik tidak memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan walaupun barang bukti tersedia.

Mengingat dalam proses penyidikan, untuk mengungkapkan suatu tindak pidana tidaklah mutlak harus berpedoman pada keterangan tersangka atau terdakwa dan keterangan saksi, akan tetapi dapat membantu terungkapnya suatu tindak pidana melalui pemeriksaan bukti tersebut. Laboratorium forensik disebut juga sebagai laboratorium kriminalistik yang merupakan dapur pemeriksaan barang bukti. Oleh sebab itu, bagian-bagian dan

(57)

peralatan dalam laboratorium tersebut semuanya diarahkan untuk pemecahan masalah-masalah yang terkandung dalam bukti fisik.

Menurut James W. Osterbeg, bahwa kriminalitas adalah suatu profesi dan disiplin ilmu yang bertujuan untuk mengenal, identifikasi, individualism dan evaluasi bukti-bukti fisik dengan jalan menerapkan ilmu-ilmu dalam masalah hukum dan ilmu.42

Dengan demikian bukti-bukti fisik dengan penilaiannya, secara ilmu merupakan bidang kriminalistik. Goenawan Gotomo mengemukakan bahwa kriminalistik adalah ilmu yang dapat dipakai untuk mencari, mengimpun, menyusun bahan-bahan guna peradilan.43

Dalam pelaksanaan fungsinya, laboratorium forensik polri dibantu oleh lima departemen yang masing-masing departemen tersebut membidangi ilmu-ilmu forensik, yaitu:

a. Bidang Dokumen dan Uang Palsu Forensik (Bid.

Dokupalfor)

Bidang yang melakukan pemeriksaan pada dokumentasi forensik meliputi; tulisan tangan, tanda tangan dan ketik.

Pemeriksaan pada produk cetak dan uang palsu serta

(58)

b. Bidang Kimia dan Biologi Forensik (Bid.Kimbiofor)

Bidang yang bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan laboratoris kriminalistik barang bukti kimia yang belum diketahui, toksiologi, biologi serta memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.

c. Bidang Balistik dan Metalurgi Forensik (Bid. Balmetfor) Bidang ini bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti senjata api, bahan peledak, komponen-komponen bom, bom pasca ledakan, metalurgi serta kecelakaan konstruksi dan memberikan pelayanan umum forensik kriminalistik.

d. Bidang Fisika dan Komputer Forensik (Bid. Fiskomfor) bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti uji kebohongan, jejak, radioaktif, konstruksi bangunan, peralatan teknik, kebakaran/pembakaran, dan computer atau kejahatan pada jaringan internet.

e. Bidang Narkotika, Psikotropika dan Obat-Obatan Berbahaya Forensik (Bidnarkobafor)

(59)

Bidang ini bertugas menyelenggarakan pelayanan pemeriksaan teknis kriminalistik pada TKP dan pemeriksaan laboratorium kriminalistik berupa barang bukti narkoba, psikotropika, laboratorium illegal dan obat- obatan berbahaya.44

4. Sasaran Laboratorium Forensik

Sasaran dari laboratorium forensik dalam hal ini untuk mewujudkan dukungan pelaksanaan penegakan hukum dengan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kepastian hukum serta mewujudkan aparat penegakan hukum dan masyarakat yang berwawasan forensik.

Dengan adanya keberadaan laboratorium forensik dalam membantu mewujudkan pelaksanaan penegakan hukum dengan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan kepastian hukum dalam memberikan keyakinan hakim untuk memutuskan tersangka atau terdakwa bersalah atau tidak bersalah dengan tujuan untuk:45

(60)

5. Produk Hasil Pemeriksaan Laboratorium Forensik Polri

Adapun jenis pelayanan yang disajikan dalam bentuk produk pemeriksaan pada laboratorium forensik polri yang dikategorikan sesuai dengan kepentingannya sebagai berikut:46

a. Kepentingan Peradilan (Pro Justicia)

Jenis pelayanan ini hanya diberikan berdasarkan permintaan dari Aparat Penegak Hukum dalam rangka proses penegakan hukum yaitu tahap penyidikan, penuntutan serta peradilan untuk mengungkap suatu perkara pidana dalam bentuk berita acara pemeriksaan teknis kriminalistik TKP dan pemeriksaan laboratoris kriminalistik barang bukti.

b. Kepentingan Non Peradilan (Non Justicia)

Jenis pelayanan ini dapat diberikan kepada masyarakat yang sedang memproses penegakan aturan internal suatu kelompok atau masyarakat dan dalam rangka untuk meredam terjadinya konflik atau untuk kepentingan terapi (bukan kepentingan penegakan hukum). Biasanya pelayanan ini dilakukan untuk suatu perkara perdata.

46http:/wartalabfor.blogspot.com/2010/05/mengenal-lebih-dekat-puslabfor.html

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan suatu tempat atau wilayah dimana penelitian akan dilakukan. Adapun tempat penelitian yang akan dilakukan oleh penulis berlokasi di Kota Makassar. Untuk pelaksanaan penelitian ini, di pilih di Laboratorium Forensik POLRI Cabang Makassar yang terletak di Jalan Sultan Alauddin No.8, Pa’baeng-baeng kota Makassar.

B. Jenis dan Sumber Data

Data yang penulis akan gunakan dalam penulisan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh dari hasil kajian langsung dan kajian kepustakaan berupa beberapa literature dan dokumen-dokumen,buku, makalah, artikel, serta peraturan perundang- undangan dan bahan tertulis lainnya, baik itu dari internet yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian ini.

C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan ialah:

(62)

2) Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung yang dianggap dapat memberikan keterangan yang dipperlukan dalam pembahasan objek penelitian.

3) Dokumen, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.

D. Analisis Data

Data yang diperoleh dan dikumpulkan dari hasil penelitian disusun secara sistematis kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis data adalah suatu metode dimana data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan dan dipilih, kemudian dihubungkan dengan masalah yang akan diteliti, sehingga akan dapat menjawab permasalahan yang ada. Kemudian hasil analisis dipaparkan secara deskriptif yaitu dengan cara menjelaskan, menguraikan dan menggambarkan permasalahan serta penyelesaiannya yang berkaitan erat dengan penulisan ini.

(63)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Peranan Laboratorium Forensik dalam Penyelesaian Kasus Pembunuhan

Sebelum menguraikan lebih jauh mengenai peranan Laboratorium Forensik dalam penyelesaian kasus pembunuhan, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu mengenai sekilas tentang tahap langkah awal untuk mendapatkan pemeriksaan teknis kriminalistik.

1. Tata Cara Permintaan Pemeriksaan Laboratorium Forensik

Tata cara permintaan pemeriksaan yang dimaksud adalah tata cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan pemeriksaan dari Laboratorium Forensik. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk memperoleh pemeriksaan secara Laboratoris yaitu antara lain:

a. Surat Permintaan Pemeriksaan

Surat permintaan yang dimaksud ialah yang ditujukan kepada Kepala Laboratorium Forensik dengan maksud untuk mendapatkan pemeriksaan secara Laboratoris dari pihak Laboratorium Forensik

(64)

1. Penyidik POLRI 2. PPNS

3. Kejaksaan 4. Pengadilan 5. POM,TNI, dan

6. Intansi lain yang sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya (Perkap Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009, Pasal 9)

b. Laporan Kepolisian

Laporan kepolisian yang dimaksud adalah laporan yang menyangkut tentang keadaan atau peristiwa tindak pidana yang terjadi sehubungan dengan pengambilan-pengambilan barang bukti tersebut. Dalam laporan ini akan menggambarkan tentang keadaan atau situasi pada saat pengambilan barang bukti di tempat kejadian perkara.

c. Berita Acara Penyitaan Barang Bukti

Jika barang bukti berada dalam jumlah yang cukup besar, maka untuk pemeriksaan laboratoris cukup mengambil beberapa bagian saja yang digunakan sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili dari keseluruhan barang bukti.

d. Berita Acara Pembungkusan dan Penyegelan Barang Bukti

Berita acara pembungkusan ini dilakukan setelah ada barang bukti, dimana berita acara pembungkusan ini berisi tentang

(65)

keterangan yang menerangkan tentang segala tindakan yang dilakukan oleh petugas di lapangan. Dalam rangka pembungkusan barang bukti, pembungkusan akan dilakukan dengan maksud untuk mengamankan barang bukti dalam proses pemeriksaan tahap selanjutnya.

Barang bukti yang telah dibungkus selanjutnya akan disegel, hal tersebut dilakukan untuk menjaga keamanan dan kemurnian dari barang bukti tersebut yang selanjutnya akan dikirim ke Laboratorium Forensik guna untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.

e. Visum Et Repertum Bila Terdapat Korban Luka atau Meninggal Dunia.

Visum Et Repertum yang dimaksud ialah suatu laporan tertulis dari dokter forensik yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula hasil dari pemeriksaan tersebut untuk kepentingan peradilan. Pada suatu proses peradilan dimulai penyidikan di tempat kejadian perkara hingga pada persidangan di pengadilan, maka barang-barang buktilah yang memegang peranan utama

(66)

mati dan barang buukti yang di temukan tentulah tidak dapat memberikan kesaksian, maka hal tersebut dibutuhkannya pengetahuan Kedokteran Kehakiman dan Petugas dari Forensik yang akan memberikan jawaban ataupun laporan tentang hasil dari pemeriksaan baik itu terhadap tersangka, korban, dan barang bukti yang telah diperiksa.

2. Tahap Penyelidikan

Pada proses suatu penyelidikan, penyelidik memiliki wewenang untuk mencari barang bukti dan keterangan, selain itu penyelidik bersama-sama penyidik yang telah menerima laporan segera datang ke Tempat Kejadian Perkara dan tidak mengizinkan setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selagi pemeriksaan masih berlangsung dan belum selesai. Dalam penanganan TKP ini, penyelidik dan penyidik berusaha untuk mencari barang bukti yang nantinya akan dilakukan pemeriksaan di Laboratorium Forensik. Untuk mengenali, mencari, mengambil dan mengumpulkan barang bukti memerlukan kecermatan,ketelitian serta pengetahuan atau keahlian mengenai bahan ataupun barang bukti, sebab pada tahap ini perlu dilibatkannya Laboratorium Forensik.

Referensi

Dokumen terkait

FINANCIAL DISTRESS PADA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN DAN KOTA DI

Pengantar karya Tugas Akhir ini berjudul Perancangan Media Komunikasi Visual Kampanye Solo Sebagai Kota. Cinta ‘Bersepeda’ Melalui Event Solo

Padahal Pulau Samosir masih memiliki banyak potensi objek daya tarik wisata yang dapat dikunjungi wisatawan, seperti potensi wisata sejarah, wisata alam, wisata seni dan

Penelitian novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dengan penelitian-penelitian lain yang telah ada

Data yang dikumpulkan berupa data primer hasil pengamatan gambaran mikroskopis testis tikus wistar dan kadar Pb darah tikus wistar yang terpapar asap kendaraan

Pengenalan wajah dapat dilakukan menggunakan metode Nearest Feature Line yang diperbaiki menjadi Nearest Feature midpoint Perbaikan yang diberikan oleh

Simbol adalah scbsuatu yang dianggap hasil persetujuan bersarna, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alarniah dan kualitas yang sama dan dapat rnewakili, mengingatkan

Berdasarkan permasalahan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan membuktikan secara empiris modal kerja, tingkat perputaran piutang dan perputaran