• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keselamatan kerja merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh berbagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keselamatan kerja merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh berbagai"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan kerja merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan oleh berbagai pihak di perusahaan, termasuk pihak manajemen. Sistem manajemen keselamatan kerja adalah pendekatan sistematis yang bertujuan untuk mengelola keselamatan kerja (www.iata.org). Sistem manajemen keselamatan kerja meliputi struktur organisasi, akuntabilitas, kebijakan, dan prosedur-prosedur. Sistem manajemen keselamatan kerja yang baik dapat meningkatkan keselamatan kerja dengan menekan jumlah kecelakaan, sedangkan yang buruk dapat meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Sharen et al (2014) bahwa mayoritas kecelakaan kerja yang terjadi di perusahaan disebabkan oleh sistem manajemen kecelakaan kerja yang kurang baik.

Akuntabilitas dalam keselamatan kerja meliputi hal-hal yang harus dilaksanakan oleh oleh segala pihak, baik manajemen maupun karyawan, sesuai dengan standar keselamatan kerja yang ada (www.iata.org). Bentuk-bentuk akuntabilitas pada level manajemen meliputi penetapan tanggung jawab terkait program keselamatan kerja yang harus dilaksanakan oleh pihak manajemen serta mengukur hasil pelaksanaan program keselamatan kerja tersebut. Bentuk akuntabilitas pada level karyawan meliputi kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta terlibat dalam kegiatan atau program keselamatan kerja yang diselenggarakan di perusahaan.

Salah satu bentuk manajemen keselamatan kerja adalah pelaksanaan program atau kegiatan yang dapat meningkatkan keselamatan kerja perusahaan secara keseluruhan. Kegiatan tersebut dapat berupa pendidikan dan pelatihan keselamatan kerja. Pendidikan

(2)

dan pelatihan keselamatan kerja tidak secara langsung dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Namun, pendidikan dan pelatihan keselamatan kerja dapat memberikan pengetahuan dan meningkatkan kemampuan pihak-pihak yang ada di perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan meminimalkan risiko terjadinya kecelakaan kerja.

Bentuk manajemen keselamatan kerja yang lain adalah penerapan peraturan atau prosedur keselamatan kerja, misalnya prosedur tentang penggunaan alat pelindung diri dan penggunaan peralatan kerja. Prosedur keselamatan kerja adalah serangkaian peraturan yang ditetapkan oleh pihak-pihak tertentu yang meliputi penggunaan peralatan dan proses kerja dengan tujuan untuk menjamin keselamatan kerja karyawan selama bekerja. Prosedur tersebut harus dibuat dengan jelas agar karyawan dapat memahami cara-cara bekerja dengan aman.

Prosedur keselamatan kerja harus dilaksanakan dengan baik oleh para karyawan sebagai bentuk kesadaran dan tanggung jawab terhadap keselamatan dirinya saat bekerja. Menurut Jones (2014), karyawan yang melaksanakan prosedur keselamatan kerja dapat memastikan keselamatan dirinya di tempat kerja, sedangkan karyawan yang tidak patuh justru membahayakan dirinya sendiri. Apabila mengikuti peraturan keselamatan kerja dengan baik, risiko terjadinya kecelakaan kerja pada karyawan lebih kecil, sedangkan apabila tidak patuh risiko kecelakaan dapat meningkat.

Penurunan risiko kecelakaan kerja diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi karyawan. Peningkatan rasa aman dan nyaman pada karyawan melalui perilaku kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dapat meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas karyawan (Hariandja, 2007). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Society of Human Resource Management (SHRM) (2012), karyawan di Amerika Serikat menginginkan organisasi tempat ia bekerja menyediakan rasa aman bagi

(3)

diri mereka. Sekitar 47% karyawan menyampaikan bahwa rasa aman di tempat kerja berkaitan dengan kepuasan kerja mereka (SHRM, 2012). 77% karyawan merasa puas dengan keamanan di tempat kerja mereka. Apabila dapat menerapkan K3 dengan baik, perusahaan dapat meningkatkan produktivitas dan dapat meningkatkan keuntungan pada perusahaan itu sendiri, khususnya dalam hal peningkatan mutu produk yang dihasilkan agar perusahaan memiliki daya saing yang lebih tinggi.

Berkurangnya kecelakaan kerja karena pelaksanaan keselamatan kerja yang baik dapat berdampak pada berbagai hal, baik dari segi karyawan maupun perusahaan secara keseluruhan. Dampak positif berkurangnya kasus kecelakaan ialah produksi dapat berjalan dengan lebih lancar. Hal ini disebabkan oleh semakin kecilnya kemungkinan pihak perusahaan menunda proses produksi karena harus melakukan upaya penyelamatan pada karyawan yang mengalami kecelakaan sehingga produksi dapat terus berjalan dan menekan jumlah kerugian perusahaan akibat penundaan tersebut. Selain itu, dana untuk penanggulangan akibat dari kecelakaan kerja tersebut dapat dialokasikan untuk hal lain yang bermanfaat bagi pengembangan perusahaan.

Perusahaan-perusahaan di Indonesia diharapkan sudah melakukan manajemen keselamatan kerja. Namun pada kenyataannya, jumlah kecelakaan kerja di Indonesia yang dilaporkan oleh Ketua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan pada tahun 2014 pun masih tinggi (www.tribunnews.com). Berdasarkan data yang miliki BPJS (www.antaranews.com), kecelakaan kerja di Indonesia terjadi sekitar 8.900 kasus selama bulan Januari hingga April 2014. 69,59% kecelakan terjadi saat karyawan bertugas di dalam perusahaan, 10,26% di luar perusahaan, dan 20,15% kecelakaan lalulintas (www.foto.liputan6.com). Dana yang disediakan hingga April 2014 pun berkisar sebanyak 5 miliar rupiah. Jumlah kasus dan dana yang disediakan pun diperkirakan bertambah hingga saat ini.

(4)

Jenis kecelakaan kerja dapat bermacam-macam sesuai dengan sektor usaha. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Local Initiative for OSH Network (LION) Indonesia (2010) pada perusahaan tekstil dan garmen, jenis kecelakaan kerja yang terjadi dapat berupa bahaya akibat kebisingan, terpapar zat kimia, terpapar gas berbahaya, vibrasi, debu, listrik, panas, api, dan radiasi. Karyawan yang paling sering mengalami kecelakaan kerja akibat bahaya-bahaya tersebut adalah bagian operator yang kemudian diikuti oleh bagian pemeliharaan, quality control, dan administrasi (LION, 2010).

Perusahaan yang dapat menjadi sasaran penelitian ini adalah PT Duta Ananda Utama Tekstil (PT Duta Ananda Utama Tekstil) di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Perusahaan tersebut termasuk dalam sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan bergerak di bidang tekstil. Produk yang dihasilkan oleh perusahaan ini adalah sarung tenun, busana muslim, dan sorban.

Perusahaan yang bergerak di bidang produksi tekstil melakukan pengolahan bahan menjadi barang jadi yang dapat langsung digunakan oleh konsumen. Oleh karena itu, beberapa karyawan tentunya terlibat langsung dalam penggunaan peralatan-peralatan maupun bahan-bahan kimia selama proses produksi. Selama proses produksi tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa karyawan dapat mengalami kecelakaan kerja akibat adanya kontak dengan peralatan-peralatan maupun bahan-bahan kimia produksi.

Kecelakaan kerja yang tercatat pada tahun 2014 dan dilaporkan oleh PT Duta Ananda Utama Tekstil Pekalongan berjumlah 37 kasus. 26 kasus pada terjadi divisi tenun, enam kasus pada divisi persiapan, empat kasus pada divisi kemas, dan satu kasus pada divisi celup. Kasus yang terjadi pada divisi tenun berupa terjepit mesin, terjepit jarum otomatis, terkena shuttle, terkena percikan api las, tertimpa besi, pakaian terjepit penggulung kain, dan sebagainya. Kasus yang terjadi pada divisi persiapan adalah terkena knoter, tertimpa beam, dan terkena roll seizing. Pada divisi kemas kasus yang terjadi

(5)

berupa terkena jarum jahit. Adapun kasus yang terjadi pada divisi celup berupa terkena air limbah.

Kecelakaan kerja sudah beberapa kali terjadi pada karyawan PT Duta Ananda Utama Tekstil meskipun belum pernah ada kasus penyakit yang disebabkan oleh kesalahan kerja. Kecelakan kerja tersebut mengakibatkan cedera pada karyawan. Salah satu bentuk cedera yang dialami karyawan adalah jari tangan yang terputus akibat terjepit. Selain cedera, kecelakaan yang terjadi selama proses produksi sehingga mengakibatkan terhentinya produksi selama beberapa menit untuk penyelamatan karyawan.

Kecelakaan kerja pada karyawan dapat disebabkan oleh kondisi yang tidak aman dan tindakan yang tidak aman. Kondisi yang tidak aman adalah lingkungan kerja yang menyebabkan karyawan rentan terhadap kecelakaan (Anton, 1979), seperti alat pelindung diri yang kurang pantas, peralatan yang cacat, prosedur penggunaan peralatan yang kurang tepat, penyimpanan benda-benda yang tidak aman khususnya pada zat-zat kimia, penerangan yang kurang baik, dan saluran sirkulasi udara yang kurang memadai (Dessler, 2011). Kondisi yang tidak aman tersebut dapat diatasi dengan mendesain ulang, memperbaiki, maupun mengganti peralatan atau lingkungan yang meningkatkan kemungkinan karyawan untuk mengalami kecelakaan. Namun, terkadang kondisi yang tidak aman tersebut terjadi akibat kecerobohan karyawan. Sebagai contoh, karyawan kurang memahami prosedur penggunaan mesin sehingga mesin menjadi cepat rusak dan sewaktu-waktu dapat membahayakan penggunanya.

Tindakan yang tidak aman adalah tindakan seseorang yang memperbesar kemungkinan bagi dirinya untuk mengalami kecelakaan kerja (Anton, 1979). Apabila terus-menerus dilakukan, karyawan dapat mengalami kecelakaan dan cedera fisik, baik ringan, maupun berat. Biasanya karyawan terus mengulangi tindakan yang tidak aman untuk mempersingkat waktu kerja atau atasan tidak memberikan sanksi tegas terhadap

(6)

tindakan yang tidak aman yang dilakukan oleh karyawan sehingga karyawan merasa tidak diawasi dan bebas untuk melakukan tindakan yang tidak aman tersebut. Dengan kata lain, tindakan tidak aman merupakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja oleh karyawan sehingga dapat membahayakan dirinya sendiri. Karyawan cenderung mengabaikan pelaksanaan keselamatan kerja dan melakukan tindakan yang tidak aman.

Kecelakaan kerja yang dialami karyawan dapat diprediksi dengan melihat pelaksanaan keselamatan kerja mereka (Siu et al., 2004). Pelaksanaan keselamatan kerja adalah dimensi perilaku dari kesehatan dan keselamatan kerja (Neal & Griffin, 2000). Pelaksanaan keselamatan kerja ditandai dengan adanya kepatuhan dan partisipasi dalam kegiatan keselamatan kerja organisasi (Neal & Griffin, 1977). Apabila karyawan mematuhi prosedur keselamatan kerja dan berpartisipasi dalam program keselamatan kerja yang diselenggarakan pihak perusahaan, mereka cenderung lebih sedikit melakukan tindakan yang tidak aman. Semakin kecil tindakan tidak aman yang dilakukan oleh karyawan, semakin kecil pula risiko kecelakaan kerja yang dapat terjadi. Oleh karena itu, jumlah kecelakaan kerja dapat diminimalkan dengan meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja.

Pelaksanaan keselamatan kerja dapat ditingkatkan dengan adanya kondisi yang positif dari dalam diri karyawan. Kondisi positif membuat karyawan lebih sadar dengan diri dan lingkungan di sekitarnya, khususnya terkait risiko-risiko keselamatan kerja. Karyawan yang lebih sadar terhadap risiko-risiko terkait keselamatan kerja lebih bersedia untuk patuh terhadap prosedur dan berpartisipasi dalam program-program keselamatan kerja yang diadakan oleh perusahaan. Salah satu kondisi positif yang dapat meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja pada karyawan adalah work engagement.

Work engagement adalah kondisi mental positif terkait pekerjaan seseorang ditandai dengan adanya semangat, kesenangan, dan dedikasi (Bakker & Leiter, 2010). Work

(7)

engagement memberikan kontribusi yang kuat dan khas terhadap nilai-nilai seseorang dalam pekerjaannya (Halbesleben & Wheeler, 2008 dalam Bakker & Leiter, 2010). Oleh karena itu, work engagement dapat dibedakan dari kondisi-kondisi lain terkait pekerjaan, seperti kepuasan kerja, keterlibatan kerja, job embeddedness, dan workaholism. Orang yang memiliki work engagement dapat melaksanakan tugasnya dengan perasaan senang, merasa adanya dorongan dari dalam diri yang membuat mereka ingin selalu bekerja namun tidak kompulsif, dan mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik dan bersemangat (Bakker & Leiter, 2010).

Work engagement pada diri karyawan dapat meningkatkan kesenangannya terhadap pekerjaaan, semangat, dan dedikasi terhadap perusahaan. Work engagement juga dapat memprediksi hal-hal terkait kesehatan mental, kepuasan kerja, dan organizational citizenship behavior pada karyawan (Simbula & Guglielmi, 2013). Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Simbula dan Guglielmi (2013) menunjukkan bahwa work engagement berkorelasi negatif dengan gangguan mental. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi work engagement seseorang, semakin rendah kemungkinan orang tersebut mengalami gangguan mental. Work engagement berkorelasi positif dengan kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior, yaitu semakin tinggi work engagement seseorang, semakin tinggi pula kepuasan kerja dan organizational citizenship behavior (Simbula & Guglielmi, 2013). Pentingnya work engagement pada karyawan menyebabkan berbagai jenis perusahaan menerapkan kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik untuk meningkatkan work engagement (Vance, 2006). Work engagement dan komitmen kerja mampu meningkatkan produktivitas karyawan dan menurunkan tingkat turnover pada karyawan (Vance, 2006). Peningkatan produktivitas dan rendahnya tingkat turnover menyebabkan perusahaan tersebut memiliki daya saing yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan dengan karyawannya memiliki work engagement yang rendah (Vance, 2006).

(8)

Work engagement merupakan salah satu bentuk psikologi positif yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia (Fong & Ng, 2012). Work engagement berfokus pada kekuatan individual dan usaha yang dilakukan oleh pihak lain, yaitu perusahaan, agar individu dapat berfungsi secara maksimal. Kekuatan individual tersebut dapat membantu untuk meningkatkan performansi karyawan. Salah satu performansi yang penting dan harus dilaksanakan oleh karyawan adalah performansi terkait keselamatan kerja.

Work engagement yang ada pada diri karyawan tidak hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri, tetapi menunjang lingkungan agar lebih positif. Salah satu cara untuk meningkatkan lingkungan yang positif adalah dengan mematuhi prosedur keselamatan kerja di tempat kerja dan mengikuti program-program keselamatan kerja yang diselenggarakan oleh perusahaan. Kepatuhan terhadap prosedur keselamatan kerja bertujuan untuk mengurangi adanya kesalahan kerja yang dilakukan oleh karyawan yang berakibat pada kecelakaan kerja pada diri mereka sendiri. Cara yang dilakukan adalah dengan mengubah sikap dan perilaku seseorang agar lebih sadar terhadap keselamatan kerja mereka (Atherley dalam Handley, 1977). Kesadaran yang tinggi terhadap keselamatan kerja menyebabkan kecelakaan kerja dapat seminimal mungkin terjadi pada karyawan perusahaan (Dessler, 2011).

Work engagement dapat menunjang keselamatan kerja karyawan (Hoover, 2010). Karyawan yang memiliki tingkat work engagement yang tinggi juga memiliki tingkat pelaksanaan keselamatan kerja yang tinggi. Dengan demikian, karyawan yang merasa bersemangat untuk bekerja, merasa senang saat bekerja sehingga seolah-olah waktu berjalan dengan cepat, dan menunjukkan dedikasi terhadap pekerjaannya juga menunjukkan bahwa ia patuh terhadap prosedur keselamatan kerja dan berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan keselamatan kerja, misalnya pelatihan dan rapat terkait keselamatan kerja di perusahaan.

(9)

Apabila keselamatan kerja di perusahaan tersebut tinggi, maka tujuan-tujuan organisasi akan lebih mudah untuk tercapai (Hoover, 2010). Keselamatan kerja yang tinggi tersebut dapat menurunkan risiko terjadinya kecelakaan kerja. Jika kecelakaan kerja tidak terjadi, perusahaan tidak perlu memotong waktu produksi untuk tindak penyelamatan sehingga produksi dapat terus berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan. Selain itu, perusahaan dapat menghemat biaya karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk penyelamatan karyawan yang mengalami kecelakaan dan cedera.

Perilaku karyawan terhadap keselamatan kerja ini menarik untuk diteliti karena peneliti ingin mengetahui work engagement yang dimiliki oleh karyawan organisasi profit, dalam hal ini perusahaan manufaktur. Penelitian ini difokuskan pada hubungan antara work engagement dengan pelaksanaan keselamatan kerja. Penelitian akan dilakukan di PT Duta Ananda Utama Tekstil Pekalongan dengan metode kuantitatif. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan skala work engagement dan skala pelaksanaan keselamatan kerja.

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara work engagement dengan pelaksanaan keselamatan kerja pada karyawan PT Duta Ananda Utama Tekstil Pekalongan?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya keterkaitan antara work engagement dengan pelaksanaan keselamatan kerja pada karyawan PT Duta Ananda Utama Tekstil Pekalongan.

(10)

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini secara teoretik diharapkan dapat menambah kajian ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya di bidang psikologi industri dan organisasi, mengenai hubungan antara work engagement dengan pelaksanaan keselamatan kerja pada karyawan perusahaan.

2. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada seluruh komponen organisasi dalam upaya memahami, mempertahankan, dan meningkatkan keselamatan kerja pada anggota atau karyawan organisasi tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Proses import merupakan kegiatan pengiriman peta hasil digit yang telah di standarisasi dari Autocad ke aplikasi GeoKKP (Geospasial Komputerisasi Kantor Pertanahan),

Salah satu dari karakter sistem komunikasi spread spectrum adalah adanya gain proses yang merupakan besarnya perbandingan antara jumlah bit rate hasil proses spreading (chip

Nilai rata - rata diameter batang mangrove di kawasan pesisir Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata - rata diameter

“Pengaruh Minat dan Disiplin Belajar Terhadap Hasil Belajar Mengetik Manual Siswa Kelas XI Kompetensi Keahlian Administrasi Perkantoran SMK Muhammadiyah 1 Prambanan-Klaten” Dengan

Pendidikan karakter merupakan hal yang banyak mendapat perhatian di era sekarang ini. Di era sekarang dimana banyak terjadi perilaku menyimpang, pendidikan karakter diperlukan untuk

Dari tabel di atas dijelaskan pengembangan yang dilakukan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai tahun 2013 terkait dengan penyediaan lahan atau luas fasilitasnya rata-rata

Penggunaan botol susu dengan karet penghisap yang keras berisiko mengganggu pertumbuhan rahang, lengkung gigi-geligi, lidah dan otot-otot wajah. Proses menghisap pada

1) Siswa kurang memahami bacaan dari awal. 2) Dengan membaca cepat, siswa tidak bisa menemukan makna bacaan secara mendalam karena proses membaca dilakukan dengan