TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
MUKHABARAH
DALAM PENGELOLAAN SAWAH DI DUSUN
WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN
KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Mifta Chullani
NIM : 21414039
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
MUKHABARAH
DALAM PENGELOLAAN SAWAH DI DUSUN
WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN
KABUPATEN SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
Mifta Chullani
NIM : 21414039
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga
di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka maka naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Mifta Chullani
NIM : 214-14-039
Judul : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PELAKSANAAN MUKHABARAH DALAM PENGELOLAAN SAWAH DI DUSUN
WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan
dalam sidang munaqosyah.
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA Jl. TentaraPelajar No. 02 Telp (0298) 323706, 323433 Salatiga Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail: administrasi@iainsalatiga.ac.id
PENGESAHAN
Skripsi Berjudul
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN
MUKHABARAH DALAM PENGELOLAAN SAWAH DI DUSUN
WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG
Oleh: Mifta Chullani NIM: 214-14-039
telah dipertahankan didepan sidang munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jum‟at, 28 September 2018
dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam (SH).
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang : Dr. H. Irfan Helmy, Lc., M. A.
Sekertaris Sidang : Drs. Machfudz, M. Ag
Penguji I : Heni Satar Nurhaida, S.H., M.Si.
Penguji II : Yahya, S. Ag. M.HI.
Salatiga, 28 September 2018 Dekan Fakultas Syariah
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertandangan di bawah ini :
Nama : Mifta Chullani
Nim : 21414039
Jurusan : Hukum Ekonomi Syari‟ah
Fakultas : Syari‟ah
Judul Skripsi : TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP
PELAKSANAAN MUKHABARAH DALAM PENGELOLAAN SAWAH DI DUSUN
WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya ini adalah asli
karya atau penelitian saya sendiri dan bukan plagiasi dari karya orang lain, kecuali
yang secara tertulis diacu dalam penelitian ini dan disebutkan acuan daftar
pustaka.
Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dan boleh di
publikasikan oleh IAIN Salatiga.
Salatiga, 18 September 2018
Penulis
MOTTO
مِه ِسُفْ نَأِب اَم اوُرِّ يَغُ ي َّتََّح ٍمْوَقِب اَم ُرِّ يَغُ ي لا َوَّللا َّنِإ
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini untuk :
1. Kedua orang tuaku, Bapak Dawami dan Ibu Rohmini yang tidak pernah
berhenti untuk mendoakan kesuksesan anaknya ini, segala materi dan semua
perjuangan dan impiannya.
2. Kakak-kakakku tersayang Mbak Eko, Mbak Wiwik, Mas Azis, Mas Helda,
Mas Udin, Mas Yusuf yang tidak henti-hentinya memberikan doa serta yang
selalu menyadarkan akan sebuah pencapaian cita-cita.
3. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag sebagai pembimbing skripsi, yang telah sabar
dan memberikan banyak masukan serta ilmu
4. Teman-teman yang telah memberikan saran dan selalu mendukung di setiap
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdullilahirobil‟alamin, segala puji bagi allah yang telah memberikan segala nikmat kepada mahluknya yang ada di alam semesta ini. Berkat qudrat, iradrat serta izinyalah penulis bisa menyelesaikan laporan penelitian yag berjudul
Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Mukhabarah Dalam Pengelolaan
Sawah Di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Desa Glawan Kabupaten Semarang.
Sholawat serta salam mudah-mudahan dilimpahkan kepada khotamul anbiya, nabi muhamad saw, yang telah menyelamatkan ummat manusia dari gelap kejahiliyaan kepada cahaya illahiyah yang terang benderang.
Banyak pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian karya ini. Kami menghaturkan terima kasih yang tulus kepada mereka semua yang telah berjasa untuk ini semua:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.,Selaku Rektor Institut Agama Islam
Negeri Salatiga.
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari‟ah Institut
Agama Islam Negeri Salatiga.
3. Ibu Heni Satar Nurhaida, SH., M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas
Syari‟ah Jurusan Hukum Ekonomi Syari‟ah telah mengizinkan penulis
untuk membahas judul skripsi ini.
4. Bapak Drs. Machfudz, M.Ag. Selaku pembimbing yang selalu
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
5. Kepada Bapak Dawami dan Ibu Rohmini, serta saudara-saudaraku yang
tak henti-hentinya selalu mendoakan dan memberikan semangat.
7. Seluruh jajaran Akademis Institut Agama Islam Negeri Salatiga Fakultas
Syariah yang tidak bisa penulis sebutkan semuannya terima kasih banyak
telah banyak membantu penyusunan skripsi ini.
8. Teman-teman Jurusan SI Hukum Ekonomi Syariah angkatan 2014 di IAIN
Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di IAIN salatiga.
9. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa saya sebutkan
satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan yang lebih dari yang mereka berikan dan senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dilingkupi rahmat dan ita-cita-Nya.
Harapan bagi penulis semoga apa yang sudah diinginkan dapat bermanfaat bagi semua orang khusunya penulis. Walupun jauh dari kata sempurna, semoga Allah SWT ridha dengan apa yang kita lakukan. Aminnn....
Wassalamu’alaikum Warahmatuallahi Wabarakatuh
Salatiga, 18 September 2018
Penulis
Mifta Chullani
ABSTRAK
Chullani, Mifta. 2018. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan
Mukhabarah Dalam Pengelolaan Sawah Di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Skripsi. Jurusan Hukum Ekonomi
Syari‟ah Fakultas Syari‟ah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
Pembimbing: Drs. Machfudz, M.Ag.
Kata Kunci :Mukhabarah, Hukum Islam, Pengelolaan
Mukhabarah merupakan kerjasama bagi hasil dalam bidang pertanian, dimana pemilik sawah menyerahkan tanahnya kepada pengelola, modal dari pengelola. Biaya penggarapan sawah yang menanggung penggarap atau pengelola, khusus biaya pupuk ditanggung pemilik sawah dan penggarap. Akad yang digunakan antara pemilik sawah dan penggarap hanya secara lisan tanpa menghadirkan saksi dan tidak menyebutkan berapa lama waktu penggarapan sawah tersebut. Dari latar belakang tersebut penulis fokus meneliti tentang 1.
Bagaimana akad mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan
Kabupaten Semarang? 2. Bagaimana praktik mukhabarah di Dusun Wonogaten
Desa Glawan Kecamatan Kabupaten Semarang menurut tinjauan hukum Islam? Dalam penelitian ini jenis penelitian yang digunakan oleh penyusun adalah
kualitatif dan pendekatannya menggunakan sociolegal research adalah
pendekatan yang dilakukan dengan melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyarakat Dusun Wonogaten. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan Mukhabarah merupakan salah satu
bentuk kerjasama dalam pertanian yang dipraktikan oleh masyarakat Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. Kerjasama ini dilakukan antara pemilik lahan dan penggarap. Secara umum akad yang dilakukan adalah hanya secara lisan, tanpa menghadirkan saksi, jangka waktu perjanjian yang tidak ditetapkan secara jelas. Bagi hasil ditentukan sejak awal
pada saat akad dengan maro atau paron dengan persentase 1/ 2 : 1/ 2 atau
dengan persentase 50:50. Biaya penggarapan seperti pupuk dan obat ditanggung kedua belah pihak. Adapula yang pemilik sawah hanya membantu untuk biaya pupuk, dan ada yang ditanggung antara pemilik sawah dan penggarap hanya biaya pupuk saja. Dari hal tersebut semua dilakukan karena atas dasar kepercayaan dan saling rela. Ditinjau dari hukum Islam bahwa akad dan praktik
DAFTAR ISI
COVER. ...i
NOTA PEMBIMBING ...ii
PENGESAHAN ...iii
PERNYATAAN KEASLIAN ...iv
MOTTO ...v
PERSEMBAHAN ...vi
KATA PENGANTAR ...vii
ABSTRAK ...viii
DAFTAR ISI ...x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Rumusan Masalah ...5
C. Tujuan Penelitian ...5
D. Kegunaan Penelitian ...6
E. Penegasan Istilah ...7
F. Tinjauan Pustaka ...8
G. Metode Penelitian ...9
BAB II MUKHABARAH DALAM ISLAM 1. Pengertian Mukhabarah ...26
2. Dasar Hukum Mukhabarah ...27
3. Syarat dan Rukun Mukhabarah ...28
4. Pembagian Hasil Mukhabarah ...33
5. Hukum Mukhabarah ...35
6. Berakhirnya Akad Mukhabarah ...35
7. Hikmah Mukhabarah ...37
BAB III PRAKTIK MUKHABARAH MASYARAKAT DUSUN WONOGATEN DESA GLAWAN KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG A. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian 1. Sejarah Desa Glawan ...39
2. Tata Letak ...39
3. Keadaan Demografi...41
4. Keadaan Ekonomi Masyarakat...43
B. Pelaksanaan Mukhabarah dalam Pengelolaan Sawah di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang41 1. Akad ...45
2. Jangka Waktu Perjanjian ...48
4. Kesepakatan Atas Benih atau Jenis Tanaman ...50
5. Pelaksanaan Bagi Hasil ...50
6. Dampak Pelaksanaan Mukhabarah ...52
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN MUKHABARAH A. Analisis Hukum Islam Terhadap Akad Mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang ...54
B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktek Mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang ....59
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...63
B. Saran ...64
DAFTAR PUSTAKA ...65
DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Usia ...41
Tabel 3.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan...42
Tabel 3. 3 Struktur Pemerintahan Desa Glawan ...42
Tabel 3.4 Tanah Mukhabarah ...49
Tabel 3.5 Biaya Penggarapan ...51
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial
sehingga tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan orang lain. Manusia saling
membutuhkan antar satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Maka Allah SWT menganjurkan manusia untuk saling bermuamalah pada
setiap individu untuk saling membantu dan saling tolong menolong antar
sesama.
Muamalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara bahasa
adalah hal-hal yg termasuk urusan kemasyarakatan . Sedangkan secara istilah
muamalah merupakan sistem kehidupan, sistem kehidupan itu sendiri tidak
terlepas dari dunia ekonomi, bisnis dan masalah sosial. Pertimbangan dalam
bermuamalah adalah untuk mendatangkan kemaslahatan atau kemanfaatan
dan memprioritaskan keadilan menghindari unsur pengambilan kesempatan
dalam kesempitan. Sehingga tidak akan terjadi yang merasa dirugikan antar
salah satu pihak.Untuk itu dapat diketahui bahwa muamalah adalah kegiatan
yang berkaitan dengan seluruh tindakan atau perbuatan orang yang mampu
melakukan hukum baik ucapan, perbuatan, perjanjian dan urusan lainnya
tidak akan lepas dari pertanggungjawaban sesama manusia dan terutama
Dalam muamalah semuanya boleh kecuali yang dilarang. Semua
bentuk akad dan berbagai cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya
sah dan dibolehkan, asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
umum yang ada di dalam syara‟. Hal tersebut sesuai dengan kaidah:
لأا
“Pada dasarnya semua akad dan muammalah hukumnya sah sehingga ada dalil yang membatalkan dan mengharamkannya”.(Muslich, 2010: 3-4)
Di dalam Al-Qur‟an telah diterangkan dalam surat Yasin ayat 33
bahwa Allah menghidupkan tanah dan menjadikannya subur agar manusia
dapat makan dari apa yang dihasilkan bumi tersebut, yaitu:
adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan.(Suwiknyo, 2010:203)Kerjasama dalam hal pertanian ada beberapa macam, salah satunya
adalah penggarapan sawah orang lain dan hasilnya dibagi dua antara pemilik
tanah dan penggarap sawah. Menurut Syeikh Ibrahim Al-Banjuri yaitu
mukhabarah adalah pemilik tanah hanya menyerahkan tanahnya kepada
pekerja dan modal dari pengelola.
Pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk
Dasar hukum yang menguatkan bahwa mukhabarah tidak ada
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (palawija)”.
(Riwayat Muslim).
Mukhabarah ini dipratikkan oleh masyarakat Dusun Wonogaten,
mereka menyebutnya kerjasama bagi hasil atau paron. Pada umumnya
pemilik sawah menyerahkan tanahnya kepada orang untuk digarap yang
disebut penggarap atau pengelola sawah, tanpa menyebutkan lamanya waktu
penggarapan sawah yang dikelola. Hal ini menyebabkan proses kerjasama
dilakukan dalam jangka waktu yang bervariasi, ada diantaranya yang telah
melakukan berpuluh-puluh tahun, adapula penggarap yang sedang baru
melakukan tiga tahun, dua tahun dan sebagainya.
Akad yang dilakukan antara pemilik tanah dan penggarap sawah
adalah secara lisan dan tanpa menghadirkan saksi, selain itu dalam akad
tersebut tidak menyebutkan syarat-syarat maupun rukun yang harus dipenuhi
dalam penggarapan sawah tersebut. Sehingga dalam perjanjian kerjasama
apabila terdapat permasalahan atau kesenjangan antara pemilik tanah dan
Selain itu pemilik tanah belum memastikan jenis tanaman diawal akad
perjanjian, menentukan jenis tanaman mengikuti sesuai cuaca, terkadang yang
ditanam kacang panjang, kacang tanah, cabe, ubi dan padi, tapi seringnya
masyarakat Dusun Wonogaten menanam padi. Sehingga pemilik tanah hanya
menerima hasil bersih dari semua hasil panenannya. Maka dari itu, pembagian
hasil yang seperti diatas belum diketahui akan untung dan ruginya
masing-masing antara pemilik tanah dan penggarap sawah.
Selain tentang benih dan pembagian hasil panen, jangka waktu
penggarapanpun tidak jelas, bahkan sampai berkali-kali panen dan sampai
bertahun-tahun, antara penggarap sawah dan pemilik sawah tetap melanjutkan
kerjasama tersebut. Dalam akad awal perjanjian antara pemilik sawah dan
penggarap sawah serah terima sawah untuk dikerjakan dan biaya pupuk
dibebankan dengan cara dibagi dua, biaya pupuk dibayarkan disaat waktu
pemupukan tiba.
Setelah melihat beberapa masalah di atas, peneliti akan lebih fokus
membahas tentang akad yang dilakukan oleh masyarakat dusun Wonogaten,
Glawan, Pabelan, Semarang dalam melakukan perjanjian atau perikatan
mengenai mukhabarah, karena dari setiap kegiatan muammalah berawal dari
akad. Sedikit gambaran tentang proses kerjasama dalam pertanian telah
dituliskan di atas yang dilakukan oleh masyarakat Wonogaten, Glawan,
Pabelan, Semarang.
Selain akad peneliti juga ingin mengetahui lebih jauh tentang praktik
tidak . Maka dari itu sebelum peneliti melanjutkan penelitian dipandang perlu
melihat pengertian mukhabarah secara mendalam. Dari latar belakang di atas
penulis bermaksud untuk meneliti akad dan praktek mukhabarah yang ada di
Dusun Wonogaten, Desa Glawan, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang
kemudian kerjasama mukhabarah tersebut apakah diperbolehkan menurut
hukum Islam. Dan mencari kebenaran dengan analisis data yang diperoleh
dari penelitian. Sehingga penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul: “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan
Mukhabarah Dalam Pengelolaan Sawah di Dusun Wonogaten Desa
Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan
yang akan dibahas, yaitu:
1. Bagaimana akad mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa Glawan
Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang?
2. Bagaimana praktik mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa Glawan
Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang menurut tinjauan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses akad mukhabarah di Dusun Wonogaten Desa
Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
2. Untuk mengetahui praktik mukhabarah yang dilakukan oleh pemilik
lahan dan penggarap di Dusun Wonogaten Desa Glawan tersebut menurut
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan penulis
pada khususnya, selain itu penulis juga berharap hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi tentang mukhabarah baik secara teoritis dan praktis.
1. Teoritis
Penulis berharap dengan penelitian ini dapat memajukan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan ilmu muamalah khususnya, yang
berkaitan dengan mukhabarah, sehingga dapat mengungkap
permasalahan-permasalahan yang saling berhubungan dengan masyarakat.
2. Praktis
a. Bagi Masyarakat
Memberikan wawasan dan pengarahan kepada masyarakat cara
bermuamalah yang baik sesuai syariat Islam khususnya dalam bidang
pertanian yaitu mukhabarah.
b. Bagi Peneliti
Menambah ilmu pengetahuan dan pola berfikir dalam setiap
melihat hal-hal yang terjadi dalam masyarakat, sehingga mampu
menjadi perubahan yang baik dalam masyarakat. Dan memberikan
informasi tentang akad mukhabarah dalam masyarakat.
c. Bagi Fakultas Syariah
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kalangan
pendidikan sebagai bahan referensi tentang tinjauan hukum Islam
masyarakat, khususnya bagi program studi Hukum Ekonomi Syariah
(HES) Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Penegasan dimaksudkan untuk menghindari kurang jelasnya atau
pemahaman yang berbeda-beda antara pembaca dengan peneliti mengenai
istilah-istilah yang terdapat dalam judul penelitian. Penegasan istilah merujuk
pada buku-buku atau literatur yang relevan dengan disiplin ilmu di mana
penelitian akan dilakukan. Untuk menghindari kesalahpahaman arti dan
maksud dari penulisan penelitian ini, maka penulis menegaskan istilah-istilah
judul sebagai berikut:
1. Hukum Islam
Hukum Islam berasal dari gabungan kata Hukum dan Islam,
Hukum menurut para fukaha (juris) mengkonsepsi hukum sebagai efek
yang timbul dari adanya aksi Tuhan menyapa tingkah laku manusia.
Apabila pembuat hukum syarak memerintahkan memenuhi perjanjian,
maka efek dari perintah itu adalah bahwa pemenuhan perjanjian itu
menjadi wajib. Islam (syariah) adalah Ajaran-ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Disebut Syariah karena merupakan jalan
menuju Tuhan dan menuju keselamatan abadi, dalam arti luas syariah
agama dimaksudkan sebagai seluruh norma-norma yang dibawa Nabi
Muhammad SAW yang mengatur kehidupan manusia yang baik. Dari
gabungan kata Hukum dan Islam dapat dipahami memiliki pengertian
dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW untuk mengatur tingkah
laku manusia yang baik (Anwar,2010 : 10).
2. Mukhabarah
Mukhabarah adalah pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada
orang lain untuk dikelola, akan tetapi modal benihnya dari pengelola
(Suhendi, 2010:154-156).
3. Pengelolaan
Berdasarkan KBBI, pengelola berasal dari kata‟kelola‟ yang berarti
mengendalikan atau menyelenggarakan. Ketika menjadi „pengelolaan‟,
kata ini dimaknai dengan proses, cara, atau perbuatan mengelola.
Sedangkan menurut istilah, kata pengelolaan adalah proses melakukan
kegiatan tertentu dengan menggunakan tenaga orang lain.(KBBI,
2008:657)
F. Tinjauan Pustaka
Skripsi Muhammad Sukron(2016). Fakultas Syariah IAIN Salatiga
yang berjudul “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Bagi Hasil Mukhabarah di
Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang, dimana peneletian
tersebut membahas tentang bagi hasil mukhabarah yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Tlogorejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang
ditinjau secara hukum Islam adalah sudah sesuai. Akan tetapi apabila dilihat
di Undang-Undang nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil, maka
Selanjutnya skripsi Zaini (2014). UIN Sunan Kalijaga yang
berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap akad Paron Tanah
Cato(Bengkok) Studi Kasus di Desa Jenangger Kecamatan Batang
Kabupaten Sumenep”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kerjasama
yang dilakukan oleh masyarakat desa tersbut adalah praktek mukhabarah
yaitu perjanjian bagi hasil pertanian dimana pemiilik lahan menyediakan
lahan dan penggarap menyediakan benih untuk ditanam. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa dalam kerjasama mukhabarah tersebut
terdapat pihak ketiga, sehingga tercipta dua akad diantara pemilik pihak
tersebut, sehingga melahirkan model akad baru yang belum diatur dalam
hukum muamalat yaitu mukhabarah dan muzara‟ah.
G. Metode Penelitian
Metode dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,
sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan
metode-metode tertentu.
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu
peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada
objek yang dibahas. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami keadaan atau
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa dengan memanfaatkan
berbagai metode alamiah. Dalam penelitian kualitatif ini metode yang
digunakan adalah wawancara, pengamatan dan pemanfaatan dokumen
(Moleong, 2001:6).
Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sociolegal research
yaitu hukum sebagai gejala sosial yang sifatnya empiris, dan dikaji
sebagai variabel bebas/sebab yang menimbulkan pengaruh dan akibat
pada aspek kehidupan. Peneliti berusaha mengumpulkan informasi
melalui wawancara, pelaku mukhabarah dan tokoh agama setempat.
Deskriptif normatif yaitu metode yang dipakai dalam menggambarkan
keadaan atau sifat yang dijadikan objek penelitian dengan dikaitkan
kaidah hukum yang berlaku atau sisi normatifnya untuk menemukan
kebenaran berdasarkan keilmuan hukum Islam.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana lokasi ini akan dilakukan.
Penelitian ini terfokus di Dusun Wonogaten Desa Glawan Kecamatan
Pabelan Kabupaten Semarang .
3. Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini penulis bertindak sebagai pengumpul data
dilapangan dengan menggunakan alat penelitian yang aktif dalam
mengumpulkan data-data di lapangan, selain peneliti yang dijadikan alat
hasil penelitian serta alat-alat bantu lain yang dapat mendukung
terlaksananya penelitian, seperti kamera dan alat perekam.
Oleh karena itu kehadiran seoarang peneliti di lokasi penelitian
sangat menunjang keberhasilan suatu penelitian, alat bantu memahami
masalah yang ada, serta hubungan dengan informan menjadi lebih dekat
sehingga informasi yang didapat menjadi lebih jelas. Maka kehadiran
peneliti menjadi sumber data yang mutlak.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) sumber data yang digunakan
oleh peneliti yang terdiri dari:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer yaitu untuk memperoleh data yang relevan,
dapat dipercaya dan valid. Dalam memgumpulkan data maka peneliti
dapat bekerja sendiri untuk mengumpulkan data atau menggunakan
data orang lain.
Adapun data primernya adalah hasil wawancara tentang
pelaksanaan mukhabarah dalam pengelolaan sawah di Dusun
Wonogaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang.
b. Sumber Data Sekunder
Data yang diperoleh dari sumber data yang sudah jadi. Seperti dari
skripsi, tesis, disertasi, jurnal dan buku-buku yang berkaitan dengan
penelitian ini.
Yaitu prosedur yang sistematika dan standar untuk memperoleh data
yang diperlukan. Tehnik pengumpulan data yang peneliti gunakan adalah
sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dimana peneliti
langsung berdialog dengan responden untuk menggali informasi dari
responden.(Suliyanto, 2006:137)
b. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode untuk mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan-catatan, buku harian, transkip, buku,
surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya
yang berkaitan dengan objek penelitian.(Arikunto, 2006:231). Adapun
yang diperoleh dalam penelitian ini berupa foto-foto dilapangan
terkait dengan mukhabarah.
6. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode Kualitatif
deskriptif analistis yaitu suatu metode yang menjadi sebagai suatu
prosedur, pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan
atau melukiskan suatu keadaan subyek atau obyek dari dalam sebuah
penelitian berdasarkan fakta yang tampak sebagaimana adanya. Jadi
dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan dengan keadaan yang
sebenarnya bagaimana pelaksanaan mukhabarah tersebut apakah sudah
7. Pengecekan Keabsahan data
Penelitian menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk
mengecek keabsahan data. Di mana dalam pengertiannya triangulasi
adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek
penelitian (Moleong, 2004:330). Pengecekan keabsahan data ini
dilakukan dengan cara membandingkan berbagai dokumen, observasi
dan mencari informasi dari berbagai pihak pemilik lahan dan
penggarap. Pengecekan keabsahan data dilakukan karena
dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati
oleh penulis.
8. Tahap-tahap penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif jadi
tahap-tahapnya adalah sebagai berikut:
a. Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum
melakukan penelitian seperti pembuatan proposal peneltian,
mengajukan surat ijin penelitian, menetapkan fokus penelitian dan
sebagainya yang harus dipenuhi sebelum melakukan penelitian.
b. Tahap pekerjaan lapangan, yaitu mengumpulkan data dengan
melakukan interview dengan pelaksana mukhabarah dalam
pengelolaan sawah.
c. Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa
dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada
objek yang diteliti.
d. Tahap penulisan laporan, yaitu apabila semua data telah terkumpul
dan telah dianalisis serta dikonsultasikan kepada pembimbing maka
yang dilakukan peneliti selanjutnya adalah menulis hasil penelitian
tersebut sesuai dengan pedoman penulisan yang telah ditentukan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka disusunlah
sistematika pembahasan sebagai berikut:
BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan
istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Bab ini merupakan landasan teori yang digunakan untuk membahas
bab-bab selanjutnya. Bab ini membahas tentang mukhabarah meliputi:
pengertian akad , pengertian mukhabarah, dasar hukum mukhabarah, syarat
dan rukunnya mukhabarah, pembagian hasil serta berakhirnya akad
mukhabarah, hikmah mukhabarah
BAB III : Pada bab ini berisi data-data yang akan dipaparkan mengenai
gambaran umum Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang dan
hasil penelitian mengenai akad dan praktik mukhabarah Dusun Wonogaten
Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang
BAB IV : Dalam bab ini membahas tentang analisis terhadap akad
Kabupaten Semarang . Dan analisis hukum Islam terhadap pelaksanaan
mukhabarah apakah sudah sesuai hukum Islam atau belum.
BAB V : Merupakan penutup yang memuat tentang kesimpulan penelitian,
yang telah dilakukan penulis dari mulai pengumpulan data sampai
menganalisis sehingga menjadikan satu kesimpulan tentang akad dan praktik
mukhabarah di Dusun Wongaten Desa Glawan Kecamatan Pabelan
BAB II
MUKHABARAH DALAM ISLAM
A. Akad
1. Pengertian Akad dan Dasar Hukum Akad
Kata akad berasal dari bahasa arab دقع-ادقع yang berarti membangun,
mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran, menyatukan. Bisa juga
berarti kontrak (perjanjian yang tercatat) (A.Warson Al-Munawir,
1984:1023). Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq (2002: 127) akad berarti
ikatan atau kesepakatan. Secara etimologi akad adalah ikatan antara dua
perkara baik ikatan secara nyata maupun secara maknawi, dari satu segi
maupun dua segi. Secara terminologi, ulama fiqih membagi akad dilihat
dari dua segi, yaitu secara umum dan secara khusus.
Akad secara umum adalah segala sesuatu yang dikerjakan oleh
seseorang berdasarkan keinginannya sendiri seperti wakaf, talak,
pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannnya membutuhkan
keinginan dua orang, seperti jual beli, perwakilan dan gadai. Pengertian
akad secara umum di atas adalah sama dengan pengertian akad dari segi
bahasa menurut pendapat Ulama Syafi‟iyyah, Malikiyyah dan Hambaliyah
(Syafe‟i, 2004: 43).
Pengertian akad secara khusus adalah adalah pengaitan ucapan salah
seorang yang berakad dengan yang lainnya secara syara‟ pada segi yang
lainnya adalah perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan
ketentuan syara‟yang berdampak pada objeknya (Syafe‟i, 2004: 44).
Hal yang terpenting bagi terjadinya akad adalah ijab dan qabul, ijab
qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukan suatu
keridlaan dan berakad di antara dua orang atau lebih, seingga terhindar
atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara‟. Oleh karena
itu dalam islam tidak semua kesepakatan atau perjanjian dapat
dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan
pada keridlaan dan syari‟atislam (Syafe‟i, 2004: 45).
2. Syarat-syarat Akad
Ada beberapa syarat akad (Syafe‟i, 2004: 64-66) antara lain:
a. Syarat-syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang
disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara‟. Jika tidak
memenuhi syarat tersebut, akad menjadi batal. Syarat ini terbagi
menjadi dua bagian:
1) Syarat obyek akad, yakni syarat-syarat yang berkaitan dengan
obyek akad, obyek akad bermacam-macam sesuai dengan
bentuknya. Dalam akad jual beli obyeknya adalah barang uang
diperjual belikan dan harganya. Dalam akad gadai objeknya
adalah barang gadai dan utang yang diperolehnya, agar sesuatu
akad dipandang sah, obyeknya harus memenuhi syarat sebagai
a) Telah ada pada waktu akad diadakan
Barang yang belum wujud tidak dapat menjadi obyek
akad menurut pendapat kebanyakan Fuqaha sebab hukum
dan akibat akad tidak mungkin bergantung pada sesuatu
yang belum wujud. Oleh karena itu, akad salam (pesan
barang dengan pembayaran harga atau sebagian atau
seluruhnya lebih dulu), dipandang sebagai pengecualian
dari ketentuan umum tersebut.
Ibnu Taimiyah, salah seorang ulama mazhab hambali
memandang sah akad mengenai obyek akad yang belum
wujud dalam berbagai macam bentuknya, selagi dapat
terpelihara tidak akan terjadi persengketaan dikemudian
hari. Masalahnya adalah sudah atau belum wujudnya obyek
akad itu, tetapi apakah akan mudah menimbulkan sengketa
atau tidak
b) Dapat menerima hukum akad
Para Fuqaha sepakat bahwa sesuatu yang tidak dapat
menerima hukum akad tidak dapat menjadi obyek akad.
Dalam jual beli misalnya, barang yang diperjual belikan
harus merupakan benda bernilai bagi pihak-pihak yang
mengadakan akad jual-beli. Minuman keras bukan benda
menjadi obyek akad jual beli antara para pihak yang
keduanya atau salah satunya beragama Islam.
c) Dapat ditentukan dan diketahui
Obyek akad harus dapat ditentukan dan diketahui oleh
dua belah pihak yang melakukan akad. Ketentuan ini tidak
mesti semua satuan yang akan menjadi obyek akad, tetapi
dengan sebagian saja, atau ditentukan sesuai dengan urfI
yang berlaku dalam masyarakat tertentu yang tidak
bertentangan dengan ketentuan agama.
d) Dapat diserahkan pada waktu terjadinya akad
Yang dimaksud disini adalah bahwa obyek akad tidak
harus dapat diserahkan seketika, akan tetapi menunjukkan
bahwa obyek tersebut benar-benar ada dalam kekuasaan
yang sah pihak bersangkutan (Suhendi, 2002: 43-56).
2) Syarat subjek akad
Dalam hal ini, subyek akad harus sudah aqil (berkal)
tamyiz (dapat membedakan),mukhtar (bebas dari paksaan).
Selain itu, berkaitan dengan orang yang berakad, ada tiga hal
yang harus diperhatikan yaitu:
a) Kecakapan (ahliyah), adalah kecakapan seseorang
untuk memiliki hak (ahliyatul wujub) dan dikenai
kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan
b) Kewenangan (wilayah), adalah kekuasaan hukum
yang pemiliknya dapat ber-tasharruf dan melakukan
akad dan menunaikan segala akibat hukum yang
ditimbulkan.
c) Perwakilan (wakalah) adalah pengalihan kewenagan
perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang
kepada orang lain untuk mengambil tindakan
tertentu dalam hidupnya (Dewi, 2005: 55-58)
b. Syarat kepastian hukum (Luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian, di antara syarat kepastian
hukum dalam beli adalah terhindarnya dari beberapa khiyar
jual-beli,terhindarnya khiyar seperti khiyar syarat, khiyar aib dan
sebagainya.
3. Rukun-rukun Akad
Rukun-rukun akad adalah sebagai berikut:
a. Orang yang berakad („aqid)
Al-aqid adalah orang yang melakukan akad.
Keberadaannya sangat penting karena tidak akan pernah terjadi
akad manakala tidak ada„aqid.
b. Sesuatu yang diakadkan (ma‟uqud alaih)
Al-Ma‟uqud Alaih adalah objek akad atau benda-benda
yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas.
dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad pernikahan,
dan dapat pula berbentuk suatu kemanfaatan seperti dalam
masalah upah-mengupah dan lain-lain.
c. Shighat, yaitu ijab dan qobul
Sighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua belah
pihak yang berakad, yang menunjukkan atas apa yang ada di hati
keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal ini dapat diketahui
dengan ucapan perbuatan, isyarat, dan tulisan.
1) Akad dengan ucapan (lafadz) adalah sighat akad yang
paling banyak digunakan orang sebab paling mudah
digunakan dan paling mudah dipahami. Dan perlu
ditegaskan sekali lagi bahwa penyampaian akad dengan
metode apapun harus disertai dengan keridlaan dan
memahamkan para aqid akan maksud akad yang
diinginkan.
2) Akad dengan perbuatan adalah akad yang dilakukan dengan
suatu perbuatan tertentu, dan perbuatan itu sudah maklum
adanya. Sebagaimana contoh penjual memberikan barang
dan pembeli menyerahkan sejumlah uang, dan keduanya
tidak mengucapkan sepatah katapun. Akan semacam ini
sering terjadi pada masa sekarang ini.namun menurut
tidak dibolehkan. Jadi tidak cukup dengan serah-serahan
saja tanpa ada kata sebagai ijab dan qabul.
3) Akad dengan isyarat adalah akad yang dilakukan oleh
orang yang tunawicara dan mempunyai keterbatan dalam hal
kemampuan tulis-menulis. Namun apabila dia mampu untuk
menulis, maka dianjurkan agar menggunakan tulisan agar
terdapat kepastian hukum dalam perbuatannya yang
mengharuskan adanya akad.
4) Akad dengan tulisan adalah akad yang dilakukan oleh Aqid
dengan bentuk tulisan yang jelas, tampak, dapat dipahami
oleh para pihak, baik dia mampu berbicara, menulis dan
sebagainya, karena akad semacam ini dibolehkan. Namun
demikian menurut ulama Syafi‟iyyah dan Hanabilah tidak
membolehkannya apabila orang yang berakad hadir pada
waktu akad berlangsung (Rasjid, 2014: 306).
4. Tujuan Akad (Maudlu‟ al-„aqad)
Tujuan akad menduduki peranan yang penting untuk menentukan
suatu akad dipandang sah atau tidak, halal atau haram. Ini semua berkaitan
dengan niat dan perkataan dalam niat. Bahkan perbuatan-perbuatan yang
bukan akad dapat dipengaruhi halal haramnya dari perbuatan yang
mendorong akad itu dilakukan (Nawawi, 2012: 19).
Sebagai contoh orang yang meminjamkan uang kepada orang lain
maka meminjamkan uang itu menjadi haram karena ingin mengambil
keuntungan lebih (riba). Yang menjadi perdebatan adalah jika sesuatu
perbuatan tersebut tidak mempunyai tujuan yang jelas apakah perbuatan
tersebut tidak mempunyai akibat hukum?. Seperti hanya janji apakah
orang yang berjanji namun tidak menepati janjinya dapat dituntut untuk
memenuhi janjinya?.
Dalam hal ini para Fuqaha‟mempunyai beberapa perbedaan
pendapat ada yang mempunyai akibat hukum ada yang berpendapat tidak
mempunyai akibat hukum. Seperti halnya Ibnu Syubrumah yang
mengatakan bahwa semua janji mempunyai akibat hukum, orang yang
berjanji dapat dituntut untuk memnuhi janjinya. Sedangkan para Fuqaha‟
lainnya berpendapat bahwa janji yang tidak jelas tujuannya itu tidak
dapat dikenai akibat hukum duniawi, meskipun akan diperhitungkan di
hadapan Allah kelak (Nawawi, 2012: 19-29).
Tanpa ada tujuan yang jelas akad secara otomatis tidak dapat
dikenakan akibat hukum atas akad tersebut. Sehingga akad mempunyai
syarat-syarat tujuan akad antara lain:
1. Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara‟, sehingga tidak boleh
melakukan akad yang dapat melanggar ketentuan agama misalnya
berkongsi modal untuk berbisnis minuman keras.
2. Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas
berlangsung sebelumnya namum akad yang dilakukan adalah akad
yang baru.
3. Tujuan akad harus berlangsung hingga berakhirnya akad tersebut,
misalnya menyewa sepeda motor untuk diambil manfaatnya dengan
jangka waktu dua bulan, namun belum ada dua bulan motor itu hancur
karena kecelakaan maka akad tersebut menjadi rusak karena hilangnya
tujuan yang hendak dicapai (Nawawi, 2012: 19-29).
5. Macam-macam Akad
Dalam pembagian akad ada beberapa macam akad yang dipandang
dari masing-masing sudu pandang, antara lain:
1. Berdasarkan ketentuan syara‟
a. Akad Shahih, yaitu akad yang mempunyai unsur dan syarat yang
telah ditetapkan oleh syara‟.
b. Akad Ghairu Shahih, yaitu akad yang tidak memenuhi unsure dan
syaratnya. Dengan demikian akad ini tidak berdampak hokum atau
tidak sah.
Dalam hal ini ulama Hanafiyah membedakan antara akad
yang fasid dan akad yang batal, namun para jumhur ulama tidak
membedakannya. Akad batal adalah akad yang tidak mempunyai
rukun akad, seperti tidak ada barang yang diakadkan, akad yang
dilakukan oleh orang gila, akad yang dilakukan oleh oraang yang
dibawah umur dan lain sebagainya. Sedangkan akad fasid adalah
syara‟ seperti menjual shabu-shabu, miras, uang palsu dan
sebagainya.
2. Berdasarkan penamaanya ada dua yaitu:
a. Akad yang sudah diberi nama oleh syara‟ seperti rahn, hibah,
mudharabah, murabahah, musyarakah dan lain-lain.
b. Akad yang belum dinamai oleh syara‟ akan tetapi disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
3. Berdassarkan dzatnya dibagi menjadi dua antara lain:
a. Akad benda yang berwujud (al „ain), yaitu akad dengan benda
yang dapat dipegangdengan indra manusia, seperti uang,
handphone, rumah dan sebagainya.
b. Akadd benda tidak berwujud (ghair al „ain), yaitu akad benda yang
tidak dapat dipegang dengan indra manusia namun bisa dirasa
manfaatnya oleh manusia, seperti halnya lisensi, informasi dan
lain-lain (Suhendi, 2002: 43-56)
6. Obyek Akad (Mahal al „aqad)
Rasjid (2012: 310) Obyek akad adalah sesuatu yang dijadikan
obyek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan.
Bentuk obyek akad dapat meliputi benda yang berwujud seperti
perusahaan, rumah, sepeda motor, maupun benda yang tidak berwujud
seperti manfaat dari obyek akad tersebut.
Adapun obyek akad meliputi hal-hal berikut:
2. Obyek akad harus jelas dan dikenali
3. Obyek akad harus ada sebelum akad dilangsungkan
4. Obyek akad harus dapat diserah-terimakan
B. Mukhabarah
1. Pengertian Mukhabarah
Menurut KBBI (2007:760) mukhabarah adalah perjanjian bagi
hasil dalam penggarapan tanah pemilik menyerahkan tanah kepada
penggarap benih dari penggarap hasil dibagi bersama sesuai dengan
perjanjian. Menurut istilah, mukhabarah memiliki arti mengerjakan tanah
milik orang lain, baik itu seperti sawah atau ladang dengan adanya
pembagian hasil diantara para pihak sedangkan pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan (pengelola) (Suhendi, 1986:44).
Mukhabarahmenurut syafi‟iyah ialah:
ِضْرَلاْا َنِم ُجَرَْيَ اَم ِضَبِب ِعُرَّزلا يَلَعُدْقَع
“Akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang keluar dari
bumi.”
Syaikh Ibrahim Al-Bajuri berpendapat, bahwa mukhabarah ialah:
َْيَ اَم ِضْعَ بِب ِكِل اَمْلا ِضْرَلاْا ِفِ ِلِم اَعْلا ُلَمَع
ِلِم اَعْلا َنِم ُر ْ َبْلاو اَهْ نِم ُجُر
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”(Suhendi, 2010: 155).
Menurut Hendi Suhendi, mukhabarah yaitu mengerjakan tanah
(menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari
Menurut Amir Syarifuddin, mukhabarah adalah kerjasama dalam
usaha pertanian. Dalam kerjasama ini pemilik lahan pertanian
menyerahkan lahanya sedang bibit disediakan oleh pekerja. Hasil
yang diperoleh daripadanya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama
(Syarifuddin, 2003: 240-241).
Menurut Nawawi (2012:162) mukhabarah adalah mengerjakan tanah
(menggarap ladang atau sawah) dengan mengambil sebagian dari
hasil, sedang benihnya dari pekerja. Dengan demikian jika bibit berasal
dari penggarap, maka objek transaksinya adalah kemanfaatan lahan
pertanian, namun jika bibit berasal dari pemilik lahan, objeknya adalah
amal/tenaga penggarap, tapi jika panen telah dihasilkan, keduanya
bersekutu untuk mendapatkan bagian tertentu (Al-Mishri, 2006: 110).
Setelah melihat beberapa definisi tentang mukhabarah di atas,
dapat diketahui bahwa mukhabarah adalah sebuah kerjasama antara
pemilik tanah dan penggarap sawah dalam bidang pertanian. Dalam
kerjasama tersebut pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada
penggarap untuk dikelola dan ditanami, sedangkan bibit tanamannya
dari penggarap. Dan di akhir pemanenan hasilnya dibagi antara pemilik
tanah dan penggarap sawah/ladang sesuai dengan kesepakatan diawal
akad.
2. Dasar Hukum Mukhabarah
Dasar hukum mukhabarah yang mengenai diperbolehkannya
melakukan kerjasama mukhabarah terdapat dalam hadis yang berkata dan aku berkata kepadanya, ya Abdurrahaman, kalau engkau tinggalkan, mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi melarangnya. Kemudian Thawus berkata: Telah menceritakan kepdaku orang yang sungguh-sungguh mengertahui hal itu, yaitu Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw. Tidak melarang mukhabarah, hanya beliau yang berkata, bila seseorang memberi manfaat kepada saudaranya, hal itu lebih baik daripad mengambil manfaat dari saudaranya dengan telah
dimaklumi.”(HR. Muslim) (Sahrani dan Ru‟fah Abdullah, 2011: 216).
Hadits di atas menjelaskan mengenai adanya praktik
mukhabarah yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah. Berdasarkan apa
yang mereka lakukan tersebut, dapat kita lihat bahwa Rasulullah sama
sekali tidak melarang dilakukannya mukhabarah, karena sebagaimana
yang kita ketahui, bahwasanya semua jenis muamalah itu
diperbolehkan, hingga ada dalil yang melarangnya. Oleh karena itu,
hukum melakukan mukhabarah sendiri adalah boleh (mubah), dengan
cacatan apa yang dilakukan tersebut dapat memberikan manfaat yang baik
kepada sesama atau berlandaskan keinginan untuk menolong tanpa adanya
tujuan lain dengan maksud menipu atau merugikan.
َحُلَصَلاْوُلَعْفَ ت َْلَْوَل َلاَقَ ف َنوُحِّقَلُ ي ٍمْوَقِب َّرَم َمَلَس َو ِوْيَلَع ُوَّللا ىَلَص ََِِّّنلا َّنَأ ٍسَنَأ ْنَع
ِرْمَأِب ُمَلْعَأ ْمُتْ نَأ َلاَق اَ َكو اَ َك ُتْلُ قا وُلاَق ْمُكِلْخَنِل اَم َلاَقَ ف ْمِِبِ َّرَمَف اًصْيِش َج َرَخَفَلاَق
َيْ نُد
)دحْأو ةجام نباو ملسهماور( ْمُكا
Artinya: Dari Anas r.a berkata: “Suatu ketika Rasulullah saw.
Lewat pada semua kaum yang melakukan penyerbukan bakal kurma. Rasulullah saw. bersabda: Andaikan engkau biarkan saja, niscaya akan menjadi kurma yang bagus.” Anas berkata: “Setelah mereka mengikuti perintah Rasulullah saw. untuk tidak melakukan penyerbukan,
ternyata menjadi buah kurma yang bongkeng.” Kemudian Rasulullah saw. lewat dan menanyakan: “Ada apa dengan kurma kamu?”
Mereka mengatakan: “Hal ini terjadi karena kami mengikuti perintah
engkau.” Rasulullah saw. bersabda: “Kalian lebih mengetahui terhadap urusan dunia kalian.”(HR. Muslim, Ibn Majah dan Ahmad)(Misbahul, 2007:41)
Hadits di atas menceritakan mengenai orang-orang yang
menjalankan profesinya sebagai petani kurma. Dalam hal tersebut, di
mana para petani itu mendengarkan saran Rasulullah agar tidak
menyerbukkan benih kurmanya, namun ternyata apa yang mereka
lakukan malah mendapatkan hasil panen yang buruk. Dalam hal ini
Rasulullah menjelaskan bahwa masalah mengenai penyerbukan benih
kurma merupakan masalah dunia mereka yang bersangkutan, dan
orang-orang itu tentu saja lebih memahaminya.
Dari kisah singkat tersebut, kita mendapatkan apa yang
menjadi latar belakang lahirnya hadits di atas. Hadits di atas
membahas urusan duniawi, tepatnya adalah mengenai ilmu pertanian dan
perkebunan. Dari kisah tersebut kita juga dapat melihat bahwa apa
yang dianjurkan Rasulullah ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya,
tidak baik pada hasil perkebunan kurma kaum tersebut, tidak seperti
hasil yang biasa didapat oleh mereka dengan menggunakan cara yang
biasa. Artinya, pendapat Rasulullah dalam masalah ini bisa saja benar
atau salah, sehingga tidak ada tuntutan terhadap umatnya untuk
mengharuskan mengikuti anjuran tersebut.
Penjelasan yang dipaparkan dalam hadits ini dapat dijadikan
acuan bagi umat Muslim dalam bermuamalah. Lebih jelasnya, hadits di
atas dapat dijadikan landasan diperbolehkannya kebebasan berekonomi
dalam lingkup yang sesuai ajaran dan tidak menyalahi aturan.
3. Rukun Dan Syarat Mukhabarah
Kerjasama dalam bentuk Mukhabarah adalah kehendak dan
keinginan dua belah pihak, oleh karena itu harus ada di dalam suatu akad
atau perjanjian, baik secara formal dengan ucapan ijab dan qabul, maupun
dengan cara lain yang menunjukkan bahwa keduanya telah melakukan
kerjasama.
Dalam melaksanakan kerjasama mukhabarah diawali dengan
sebuah perjanjian sehingga harus memenuhi rukun dan syarat-syaratnya:
a. Rukun Mukhabarah
Berikut akan dijelaskan lebih dahulu mengenai rukun akad
berdasarkan pendapat jumhur fuqaha, antara lain adalah:
1) „Aqid, yaitu orang yang melakukan kesepakatan dengan jumlah
2) Ma‟aqud‟alaih, merupakan benda-benda (objek) yang
diakadkan.
3) Maudhu‟ al-„aqd, adalah tujuan pokok dari diadakannya akad.
4) Shighat al-„aqd yang terdiri dari ijab dan qabul (Huda, 2011:28)..
Menurut ulama Hanafiah, rukun mukhabarah adalah akad,
yaitu adanya ijab dan qabul antara pemilik lahan dan pengelola.
Adapun secara rinci, ulama Hanafiah mengklasifikasikan rukun
mukhabarah menjadi 4, antara lain:
a) Tanah.
b) Perbuatan pekerja.
c) Modal
d) Alat-alat untuk menanam (Suhendi, 2014:158).
Sedangkan menurut ulama Malikiah, muzara‟ah diharuskan
menaburkan benih di atas lahan yang disediakan. Namun apabila
mukhabarah, maka benih yang akan ditaburkan tersebut berasal dari
pengelola. Menurut pendapat paling kuat, perkongsian harta
termasuk muzara‟ah ini harus menggunakan shighat (Syafe‟i,
2001:20).
Berikut adalah rukun mukhabarah yang dkemukakan oleh
jumhur ulama, yaitu:
a) Pemilik lahan.
c) Objek mukhabrah/muzara‟ah, yaitu antara manfaat lahan dan
hasil kerja petani.
d) Ijab (ungkapan penyerahan mencari lahan untuk diolah dari
petani).
Berdasarkan beberapa pendapat dari para ulama di atas, dapat
disimpukan bahwa yang menjadi rukun dari mukhabarah antara lain
adalah:
1. Pemilik lahan
2. Petani Penggarap atau pengelola
3. Objek mukhabarah(lahan/tanah yang hendak dikelola).
4. Adanya manfaat/hasil kerja pengelola.
5. Akad ( Ijab dan Kabul)
b. Syarat-syarat Mukhabarah
Melihat rukun-rukun di atas, maka tidak akan lepas dari
syarat yang ditentukan mengenai rukun-rukunnya. Maka
syarat-syarat praktik mukhabarah adalah sebagai berikut:
1) Syarat yang bertalian dengan „aqidain (orang yang berakad)
antara pemilik tanah dan penggarap yaitu harus berakal.
2) Syarat yang berkaitan dengan tanaman, yaitu disyaratkan
adanya penentuan macam apa saja yang akan ditanam.
3) Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman, yaitu:
a) Bagian masing-masing harus disebutkan
b) Hasil adalah milik bersama.
c) Bagian kedua belah pihak sudah dapat diketahui.
d) Tidak diisyaratkan bagi keduanya penambahan yang maklum.
Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami,
yaitu:
1 Tanah tersebut dapat ditanami
2 Tanah tersebut dapat diketahui batas-batasnya.
4) Hal yang berkaitan dengan waktu, syarat-syaratnya ialah:
a) Waktunya telah ditentukan.
b) Waktu itu memungkinkan untuk menanam tanaman yang
dimaksud, seperti menanam padi waktunya kurang lebih 4
bulan(tergantung teknologi yang dipakainya, termasuk kebiasaan
setempat.
c) Waktu tersebut memungkinkan kedua belah pihak hidup menurut
kebiasaan (Suhendi, 2014: 158-159).
4. Pembagian Hasil Dalam Mukhabarah
Bagi hasil sebagaimana telah disebutkan adalah suatu istilah yang
sering digunakn oleh orang-orang dalam melakukan kerjasama untuk
mencari keuntungan yang akan berdasarkan kesepakatan antara kedua
belah pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian.
Menurut istilah bagi hasil adalah transaksi pengelolaan hasil bumi
dengan sebagian dari hasil yang keluar dari tanah(bumi) tersebut. Yang
atau menanami tanah dari yang dihasilkannya seperti setengah, sepertiga
atau lebih dari atau lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak antara penggarap dan pemilik (Sabiq, 1988:158-159).
Imam Bukhari meriwayatkan dari Jabir, bahwasannya Arab
senantiasa mengolah tanahnya secara muzara‟ah dengan metode
pembagian hasil 1/3:2/3, 1/4:3/4, 1/2:1/2 (Mardani, 2013:240).
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk hasil panen antara lan, yaitu:
a. Hasil panen harus diketahui secara jelas di dalam akad, karena
nantinya hasil panen tersebut akan dijadikan upah. Apabila hasil
panen tidak diketahui, hal tersebut dapat merusak akad dan
menjadikannya tidak sah.
b. Status dari hasil panen adalah milik bersama dari kedua belah pihak.
Tidak boleh ada syarat yang menyatakan bahwa hasil panen
dikhususkan untuk salah satu phak, karena hal tersebut dapat merusak
akad.
c. Pembagian hasil panen harus ditentukan kadarnya,, yaitu boleh
dengan cara setengah/separuh, sepertiga, seperempat atau jumlah
lainnya sesuai dengan kesepakatan. Tidak ditentukannya kadar
pembagiannya ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan munculnya
perselisihan di kemudian hari.
Pembagian hasil panen harus ditentukan secara umum dari keseluruhan
hasil panen. Maksudnya jika disyaratkan bagian Maksudnya, jika
empat mud), maka dianggap tidak sah. Sebab, bisa saja hasil panen dari
tanaman hanya menghasilkan sebanyak yang ditentukan untuk satu pihak
tersebut (Az-zuhaili, 2011:566-557).
5. Hukum Mukhabarah
Hukum mukhabarah sahih menurut Hanafiyah sebagai berikut:
a. Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada
penggarap.
b. Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
c. Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
d. Menyiram atau menjaga tanaman, jika disyaratkan akan dilakukan
bersama, hal itu harus dipenuhi. Akan tetapi, jika tidak ada kesepakatan,
penggaraplah yang paling bertanggung jawab menyiram atau menjaga
tanaman,
e. Dibolehkan menambahkan penghasilan dari kesepakatan waktu yang
telah ditetapkan.
f. Jika salah seorang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, peggarap
tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada
waktu.(Syafe‟i, 2001:210-211)
6. Berakhirnya Akad Mukhabarah
Beberapa hal yang menyebabkan mukhabarah , akan berakhir apabila:
a. Kematian salah satu pihak yang mengadakan akad.
b. Atas permintaan salah satu pihak sebelum panen. Dengan
c. Jangka waktu yang ditentukan telah habis. Tetapi apabila jangka
waktu sudah berakhir sedangkan hasil pertanian belum bisa dipanen,
maka akad itu tidak dibatalkan sampai panen dan hasilnya dibagi
sesuai kesepakatan.
d. Berakhirnya usaha pertanian dengan panen.
e. Pihak pekerja jelas-jelas tidak mampu lagi melanjutkan
pekerjaannya. Bila kerjasama berakhir sebelum panen, maka yang
diterima oleh pekerja adalah upah dan yang diterima oleh pemilik
tanah adalah sewa dalam ukuran yang patut (Syarifuddin, 2003:
242-243).
Apabila penggarap atau ahli warisnya berhalangan bekerja sebelum
berakhirnya waktunya akad, mereka tidak boleh dipaksa. Tetapi,
jika mereka memetik buah yang belum layak dipanen maka hal itu
adalah mustahil. Hak berada pada pemilik atau ahli warisnya,
sehingga dalam keadaan seperti ini dapat dilakukan beberapa hal
sebagai berikut.
1. Memetik buah dan dibagi dua belah pihak sesuai dengan
perjnajian yang telah disepakati.
2. Memberikan kepada penggarap atau ahli warisnya sejumlah
uang karena dialah yang memotong atau memetik.
3. Pembiayaan pohon sampai pantas untuk dipetik atau dipanen.
7. Hikmah Mukhabarah
Kejayaan Islam bukanlah dongeng atau cerita fiksi belaka, tetapi
itu pernah terjadi dalam sejarah berabad-abad yang lalu, dan pemikiran
bagi umat, adalah sebuah kekayaan yang tidak ternilai harganya bagi
manusia dalam kehidupan mereka, apabila mereka adalah umat yang baru
lahir. Meskipun akhir-akhir ini mayoritas Islam mengalami penurunan
dalam berbagai bidang (khususnya bidang ekonomi) dengan faktor antara
lain sistem ekonomi yang kurang baik. Berdasarkan hal ini, kaum
muslimin harus membangun pemikiran dan metode berfikir yang inovatif
dalam diri mereka.
Munculnya ekonomi Islam atau ekonomi Syari‟ah dewasa ini telah
membawa nama-nam pemikir Islam klasik muncul kembali, yaitu
pemikiran dan gagasan ekonomi syari‟ah tersebut. Ekonomi Islam yang
muncul pada abad pertengahan awal abad 20 hingga dewasa ini telah
menunjukkan eksistensinya. Bahkan, hampir sejajar dengan sistem
ekonomi lainnya, seperti kapitalis dan sosialis. Hal ini ditanadi dengan
semakin banyaknya instrumen-instrumen ekonomi yang menggunakan
instrumen ekonomi syari‟ah.
Dalam masalah mukhabarah, disyari‟atkan untuk menghindari
adanya pemilik hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan, agar bisa
dimanfaatkan oleh orang yang tidak punya hewan tetapi mempunyai
keahlian untuk mengurusnya. Begitu pula bagi orang yang memiliki tanah
lain agar tanah tersebut berdaya guna. Dalam mukhabarah terdapat
pembagian hasil untuk hal-hal lainnya yang disesuaikan dengan konsep
kerjasama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada
masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.
Hikmah yang terkandung dalam mukhabarah, sebagai berikut:
a. Saling tolong menolong, dimana antara pemilik tanah dan yang
menggarapnya saling diuntungkan.
b. Tidak terjadi adanya kemubadziran baik tanah maupun ternak, yakni
tanah yang kosong bisa digarap oleh orang yang membutuhkan,
begitu pun pemilik tanah merasa diuntungkan karena tanahnya
tergarap.
c. Menimbulkan adanya rasa keadilan dan keseimbangan. Keadilan
dapat menghasilkan keseimbangan dalam perekonomian dengan
meniadakan kesenangan antara pemilik modal dengan pihak yang
membutuhkan. Walaupun tentunya Islam tidak menganjurkan
kesamaan ekonomi dan mengakui adanya ketidaksaan ekonomi antara
BAB III
PRAKTIK MUKHABARAH DI DUSUN WONOGATEN DESA GLAWAN
KECAMATAN PABELAN KABUPATEN SEMARANG
A. Gambaran Umum Tentang Lokasi Penelitian
1. Sejarah Desa Glawan
Suatu ketika mbah Ky Sombron gantian berkunjung kepada mbah
Ky Luwuk. Namun kedatangannya hanyalah untuk melanjutkan
keinginannya untuk memamerkan kesaktiannya lagi, maka Ky
Luwukpun melayani kemauan Ky Sombron tersebut. Pada saat
berpamitan pulang ternyata kursi yang didudukinya tidak bisa dilepas,
tidak berapa jauh langkahnya kursi itu dilepas dengan paksa. Akhirnya
kursi itu rusak dan sebagian tubuh Ky Sombronpun kesakitan.Tempat
lepasnya kursi tersebut sampai saat ini dikenal dengan sebutan
Bondolan yang artinya rusak. Mbah Ky Sombron meneruskan
perjalanan pulang dan beristirahat disuatu sendang sambil mengobati
rasa sakitnya yang sampai saat ini dinamakan kali Tambanan
(Pengobatan). Sepeninggal tamunya Ky Luwuk menyesal akan
peristiwa tersebut. Namun takdir memang harus demikian. Akhirnya
tempat itu dinamakan “GLAWAN”.Yang artinya menyesal karena
telah dilawan.
2. Tata Letak Geografis
Secara geografis dusun Wonogaten merupakan bagian terkecil
Pabelan Kabupaten Semarang. Desa Glawan merupakan salah satu
desa yang terletak di Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang,
Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Secara geografis, Desa Glawan
terletak diantara 7º17‟28 LU dan 7º18‟12 LS. Desa Glawan juga
memiliki luas wilayah 1.99 km².
Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang
mempunyai batas-batas wilayah, sebagai berikut:
a. sebelah timur : Desa Semowo,
b. sebelah barat : Desa Sukoharjo,
c. sebelah utara : Desa Jembrak
d. sebelah selatan : Desa Bejaten.
Desa Glawan kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang telah
memiliki 4 Dusun, sebagai berikut:
a) Dusun Krajan
b) Dusun Wonogaten
c) Dusun Randusari
d) Dusun Semare
Adapun wilayah dusun Wonogaten yang sebegian besar
wilyahnya adalah lahan pertanian atau areal persawahan. Lahan
pertanian di daerah ini termasuk lahan pertanian yang subur untuk
ditanami.
Sebagian masyarakat dusun Glawan dapat menanami lahan
juga terdapat tegalan yang mana pada masyarakat umumnya
penduduk dusun Wonogaten menanami pohon pepohonan seperti
mahoni, jati, sengon, kelapa, singkong dan sebagainya.
3. Keadaan Demografi
Dusun Wonogaten merupakan salah satu dusun yang ada di Desa
Glawan. Desa Glawan memiliki jumlah penduduk 1991 jiwa yang
terdiri dari 1006 laki-laki dan 98 perempuan dengan jumlah kepala
keluarga 681 KK. Jumlah penduduk tersebut apabila diklasifikasikan
menurut beberapa faktor adalah sebagai berikut:
a. Jumlah penduduk menurut dari segi usia.
Berikut adalah tabel data jumlah penduduk menurut dari segi usia.
Tabel 3.1
Jumlah Penduduk Menurut Usia
Usia Jumlah
< 1 Tahun 26 jiwa
1-4 tahun 117 jiwa
5-14 tahun 292 jiwa
15-39 tahun 743 jiwa
40-64 tahun 649 jiwa
65 tahun ke atas 164 jiwa