• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,

Kota Salatiga)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

Khomsun Masyhadi

221 08 021

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI

AH

(2)
(3)

i

PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,

Kota Salatiga)

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

Khomsun Masyhadi

221 08 021

JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI

AH

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

vii MOTTO

ىَلَع ُةَظَفاَحُم

ىَلَع ُذْخ َ ْلْاَو ْحِلاَّصلا ِمْيِدَق

ِدْيِدَج

ْحَلْص َ ْلْا

Artinya: “Memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”

Tak ada yang tak mungkin, bila kita yakin

(10)

viii

PERSEMBAHAN

Dengan segala puja dan puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dan atas

dukungan dan do’a dari orang-orang tercinta, akhirnya skripsi ini dapat

dirampungkan dengan baik dan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, dengan rasa bangga dan bahagia saya khaturkan rasa syukur dan terimakasih saya kepada: 1. Tuhan YME, karena hanya atas izin dan karuniaNyalah maka skripsi ini dapat

dibuat dan selesai pada waktunya. Puji syukur yang tak terhingga pada Tuhan

penguasa alam yang meridhoi dan mengabulkan segala do’a.

2. Ayahanda dan Ibunda tercinta & tersayang yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh cinta dan kesabaran serta ikhlas-tulus memberikan dukungan dan doa restunya kepada penulis.

3. Bapak dan Ibu Dosen pembimbing, penguji dan pengajar, yang selama ini telah tulus dan ikhlas meluangkan waktunya untuk menuntun dan mengarahkan saya, memberikan bimbingan dan pelajaran yang tiada ternilai harganya, agar saya menjadi lebih baik.

4. Kakak-kakak saya, yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, senyum

dan do’anya untuk keberhasilan ini, cinta kalian adalah memberikan kobaran

semangat yang menggebu.

5. Teman, sahabat dan sejawat tersayang, tanpa semangat, dukungan dan bantuan kalian semua tak kan mungkin aku sampai di sini.

(11)

ix

KATA PENGANTAR

ميحرلا نحمرلا للها مسب

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan taufiqnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam kami haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya ke jalan kebenaran dan keadilan.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi syarata guna untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan. Adapun judul skripsi ini

adalah “PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA MENURUT

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI DI KELURAHAN TINGKIR LOR, KECAMATANTINGKIR, KOTA SALATIGA”

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun meteriil. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga.

3. Bapak Sukron Ma’mun, S.H.I., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal

Al-Syakhshiyyah IAIN Salatiga

(12)

x

5. Seluruh Dosen Fakultas Syaria’ah Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah IAIN

Salatiga yang telah berkenan memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis dan pelayanan hingga studi ini dapat selesai.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun spiritual serta yang senantiasa berkorban dan berdoa demi tercapainya cita-cita.

7. Warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor selaku responden yang berkenan membantu penulis dalam melakukan penelitian dalam hal wawancara.

8. Sejawat-sejawat Mapala MITAPASA, FORSA MITAPASA dan sahabat-sahabat semua yang telah membantu memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Semoga amal mereka diterima sebagai amal ibadah oleh Allah SWT serta mendapatkan balasan myang berlipat ganda amien. Penulis sadar bahwa dalam penulisan ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnan. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya maupun pembaca pada umumnya dan memberikan sumbangan bagi pengetahuan dunia pendidikan. Amien ya robbal

‘alamien.

Salatiga, 3 Februari 2016 Yang menyatakan

(13)

xi ABSTRAK

Masyhadi, Khonsun. 2016. Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua Menurut Perspektif Hukum Islam (Studi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga). Skripsi Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.

Kata Kunci: Pernikahan di Depan Jenazah dan Perspektif Hukum Islam.

Penelitian tentang terjadinya pelaksanaan akad nikah di depan jenazah yang terjadi di warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga adalah ditujukan kepada warga masyarakat yang posisinya melakukan proses akad nikah (pernikahan) di depan jenazah orang tuanya. Adapun permasalahan yang akan dikaji yakni: bagaimana pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga? bagaimana landasan pernikahan di depan jenazah orang tua yang dilakukan di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga? dan apakah pelaksanaan akad nikah di depan jenazah sudah sesuai dengan Hukum Islam?

Adapun hasil penelitian dapat dipaparkan peneliti, sebagai berikut: Pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga tetap berpegang teguh pada syar’i

dalam artian mereka tidak meninggalkan syarat-syarat yang ditentukan oleh para ahli fiqh. Hal ini, terlihat dengan adanya ijab dan qabul yang tetap dilaksanakan oleh masyarakat serta terpenuhinya syarat dan rukun nikah sesuai ajaran Islam. Pernikahan tersebut telah mendapat ijin dari KUA Tingkir meskipun hanya via telepon. Bila dilihat dari kedudukan jenazah itu sendiri, tidak ditemukan adanya penyimpangan terhadap syar’i sebab jenazah dalam pelaksanaan akad nikah tidak memiliki peran sama sekali, baik sebagai wali maupun saksi.

Adapun alasan yang mendasar dilaksanakan akad nikah di depan jenazah orang tua adalah sebagai bentuk bakti terakhir anak terhadap orang tua; ada amanah atau pesan terakhir/wasiat almarhum untuk menikahkan anaknya sebelum meninggal dunia dengan mendasarkan pada kaidah ushul fiqih yakni

riwayat rasulullah shallallahu ‘alaihu wasallam bersabda: “Wahai Ali, ada tiga

perkara yang tidak boleh engkau tunda, yakni shalat jika telah tiba waktunya, jenazah apabila telah hadir, dan wanita apabila telah ada calon suami yang

sekufu” (HR. Tirmidzi dan Ahmad; hasan). Sedangkan dari sisi normatifnya

masyarakat setempat tidak pernah merasakan hal ini sebagai sebuah aib bagi

pelakunya. Yang menjadi landasan adalah kaidah yang mengatakan bahwa “Tidak

dapat diingkari bahwa hukum berubah karena perubahan keadaan (zaman).”

Pernikahan di depan jenazah orang tua, hukumnya mubah (boleh dilakukan karena dalam pelaksanaan tersebut seperti halnya pernikahan dalam Islam, yaitu rukun dan syarat sah pernikahan terpenuhi).

(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN DEKLARASI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

HALAMAN NOTA PEMBIMBING ... v

HALAMAN PENGESAHAN ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

ABSTRAK ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Penegasan Istilah ... 6

F. Telaah Pustaka ... 8

G. Kerangka Teoritik ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

(15)

xiii

1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukum... 24

2. Syarat dan Rukun Akad Nikah ... 26

C. Bentuk-bentuk Nikah Terlarang Dalam Islam ... 28

D. Teori-teori Ushul Fiqh Dalam Hukum Islam ... 36

E. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul-Fiqh dan Fiqh ... 37

F. Adat Istiadat (‘urf) Dalam Perspektif Hukum Islam ... 41

G. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua ... 47

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Kelurahan Tingkir Lor ... 50

B. Penyajian Data ... 63

1. Pelaksanaan Akad Nikah di Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga... 63

2. Faktor-faktor Terjadinya Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga ... 70

(16)

xiv BAB IV ANALISIS DATA

A. Pelaksanaan Akad Nikah Depan Jenazah Orang Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota

Salatiga ... 76 B. Faktor Terjadinya Pernikahan Depan Jenazah Orang

Tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir,

Kota Salatiga ... 80

BAB V PENUTUP

(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk ... 54

Tabel 3.2 Data Penduduk Menurut Agama ... 55

Tabel 3.3 Data Tingkat Pendidikan Terakhir ... 55

Tabel 3.4 Susunan Pengurus LPMK Periode Tahun 2015-2018 ... 57

Tabel 3.5 Data Kepengurusan Rukun Warga (RW) dan Rukun Tetangga (RT) Kelurahan Tingkir Lor ... 58

Tabel 3.6 Susunan Pengurus Tim Penggerak PKK Kelurahan Tingkir Lor Masa Bakti Tahun 2013-2016 ... 60

Tabel 3.7 Data Mata Pencaharian ... 62

(18)
(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan sunatullah yang bersifat umum dan berlaku bagi semua makhluk Allah, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Agar manusia tidak bebas berbuat menurut kehendak nafsunya seperti binatang, bebas bergaul dengan lawan jenisnya, maka diperlukan adanya ketentuan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dikenal dengan istilah pernikahan.

Terkait dengan persoalan pernikahan, setiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat dan budaya masing-masing, salah satunya adalah adat istiadat dalam sebuah pernikahan. Hal ini tergambar jelas dalam prosesi pelaksanaan pernikahan yang terdiri dari beberapa aturan yang harus dilaksanakan. Akan tetapi dalam perkembangannya pelaksanaan prosesi pernikahan adat banyak menimbulkan berbagai macam persoalan. Misalnya seperti pada prosesi pelaksanaan pernikahan yang dilakukan masyarakat Jawa pada umumnya, dimana dalam prosesi pernikahan masyarakat Jawa disuguhi oleh adat-istiadat yang menimbulkan beragam kontroversi di masyarakat. Salah satu contohnya adalah pernikahan mayit

(http://glesyer.wordpress.com/2010/07/13/hukum-nikah-di-depan-jenazah/diakses

pada 9 februari 2016, jam 19.00 WIB).

(20)

2

yang telah melakukan peminangan kepada seorang gadis dan menentukan hari dan tanggal pernikahan (perjanjian pernikahan), namun sebelum hari dan tanggal tersebut tiba, orang tua dari pihak laki-laki meninggal dunia. Adapun alasan tentang pelaksanaan prosesi pernikahan di dekat jenazah adalah sebagai bentuk bakti terakhir anak terhadap orang tua.

Model pernikahan di depan jenazah ini hingga sekarang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga yang masih memegang kuat tradisi tersebut. Pernikahan di depan jenazah ini terlaksana apabila terjadi sebuah peristiwa yang menurut orang Jawa bilang adalah peristiwa Kerubuhan Gunung. Istilah ini diperuntukkan kepada pasangan yang telah melakukan pertunangan dan sudah bertekad bulat akan melangsungkan pernikahan pada waktu yang telah ditentukan, namun ternyata dalam waktu yang (relatif) bersamaan ada anggota keluarga yang meninggal dalam hal ini orang tua (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/diakses pada 9 Februari 2016).

(21)

3

Kabul sebagaimana yang telah direncanakan semula. Hal ini dikarenakan pemahaman dan keyakinan terhadap sebuah adat istiadat yang berbeda. 2) Mengundur waktu pernikahan hingga ganti tahun. Meski waktu pernikahan sudah ditentukan oleh pihak yang bersangkutan, apabila hal tersebut dihadapkan dengan peristiwa di atas, maka sebagian masyarakat ada yang mengambil langkah untuk menunda pernikahan hingga berganti tahun menurut kalender Jawa. 3) Memutuskan pertunangan untuk sementara waktu. Hal ini dilakukan ketika Kerubuhan Gunung diikat kembali setelah 40 hari atau setelah satu tahun kematian. 4) Menyelenggerakan pernikahan sebelum jenazah orang tua yang bersangkutan dikebumikan.

(22)

4

ketika ada yang meninggal dunia hendaknya menyegerakan mengurus dan mengubur jenazah, sebagaimana Nabi Muhammad SAW bersabda:

,هنع للها يض ,ةريره بيأ نع

yang baik, maka segera kau antarkan pada kebaikan/kenikmatan, dan jika dia orang yang tidak baik, maka segera kau hindarkan kejelekan itu darimu. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari, nomor hadits 1315(Al-Mundziri, 2001:267). Melihat adanya kontradiksi dari pelaksanaan pernikahan di depan jenazah, perlu kiranya tradisi tersebut ditelaah kembali dengan menggunakan kaidah (

ةمكمحةداعلا

) agar tradisi tersebut nantinya dapat dikategorikan ke

dalam adat shahih yang patut dilestarikan keberadaannya dan dijadikan sebuah pertimbangan hukum atau adat fasid yang harus dieliminasi karena kemafsadatannya.

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis terdorong mengkaji lebih lanjut tentang “PERNIKAHAN DI DEPAN JENAZAH ORANG TUA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM” (Studi di Kelurahan Tingkir

Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga)

B. Fokus Penelitian

(23)

5

kasus tersebut. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini secara umum dapat dirinci, sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga? 2. Bagaimana landasan pernikahan di depan jenazah orang tua yang dilakukan

di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?

3. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mencapai hasil yang baik, maka peneliti menetapkan tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan penelitian, untuk memperoleh gambaran secara mendalam tentang:

1. Untuk mengetahui pelaksanaan akad nikah di depan jenazah yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.

2. Untuk mengetahui landasan pernikahan di depan jenazah di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga.

3. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.

D. Manfaat Penelitian

(24)

6 1. Manfaat teoritis

a) Penelitian ini semoga dapat memberikan konstribusi positif bagi para akademisi khususnya penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang pernikahan di dekat jenazah orang tua dalam perspektif hukum Islam. b) Diharapkan dalam penelitian ini mampu memberikan bahan masukan

untuk penelitian selanjutnya yang ada kaitannya dengan penelitian ini dan sekaligus dapat mencari serta menemukan solusinya.

2. Manfaat praktis

a) Diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang berkeinginan untuk mengetahui bagaimana tradisi pernikahan di dekat jenazah orang tuanya.

b) Diharapkan mampu memberikan khazanah pengetahuan khususnya bagi peneliti secara pribadi dan masyarakat luas pada umumnya mengenai nilai-nilai Islam, tradisi dan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan.

E. Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi kesalah-pahaman dalam penulisan skripsi ini, perlu penulis jelaskan mengenai istilah-istilah yang terdapat dalam judul di atas. Istilah-istilah tersebut adalah :

1. Pernikahan di Depan Jenazah

(25)

7

membentuk sebuah keluarga yang kasih-mengasihi, yang lebih tepat

sebuah keluarga “sakinah mawaddah wa rahmah” yang diidamkan

sebuah keluarga.

Pernikahan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban, serta bertolong-tolongan antara seseorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan mahrom (Rasjid,tanpa tahun:374). Oleh karena itu, dalam pernikahan ini sangat memerlukan kepastian hukum, yang mana telah diatur dalam agama Islam dan juga Undang-undang Keluarga. Dalam hal ini terjadinya suatu akad (perjanjian) pernikahan mudah diketahui dan mudah diadakan alat-alat buktinya, sebagai suatu kemaslahatan yang akan datang, jika terjadi sesuatu perkara yang tidak diinginkan.

Selain itu, pernikahan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dan suatu sejarah dalam kehidupan masyarakat, sebab pernikahan itu tidak hanya menyangkut wanita dan lelaki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua. Kedua belah pihak, sudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dengan tidak mengesampingkan unsur-unsur yang terlibat dalam lingkupnya, karena satu sama lain saling ikut melengkapi demi terciptanya keharmonisan hidup.

(26)

8 2. Perspektif Hukum Islam

a. Perspektif

Yaitu gambaran suatu hal yang tidak dapat kita temukan dalam hal ini kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari diambil dari kebiasaan/tradisi.

b. Hukum Islam

Definisi hukum Islam adalah batasan-batasan yang diberikan terhadap hukum Islam untuk mendapatkan pengertian mengenai hukum Islam. Definisi hukum Islam pada umumnya disamakan dengan syariat Islam, dalam hal ini biasa disebut syariat. Secara etimologi, syariat berarti jalan, sedangkan dari segi bahasa syariat bisa bermakna sebagai hukum yang diadakan oleh Allah SWT.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, yang dimaksud dengan pernikahan di depan jenazah orang tua menurut perspektif hukum Islam adalah tinjauan hukum positif dalam hal ini hukum Islam terhadap adanya prosesi akad nikah yang dilakukan di dekat jenazah (orang tua mempelai) dan pernikahan ini biasanya dilakukan sebelum mayat dikebumikan.

F. Telaah Pustaka

(27)

9

Penelitian serupa telah dilakukan Siti Aminah (2007) Mahasiswa Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik

Ibrahim dengan judul “Tradisi Kawin Mayit” studi tentang pandangan tokoh

masyarakat di Kecamatan Lumajang Kabupaten Lumajang. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini tergolong penelitian studi kasus (case study), adapun sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Sedangkan pengumpulan data, peneliti menggunakan pendekatan observasi, wawancara dan dokumentasi. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Siti Aminah adalah bahwa para tokoh masyarakat di Kecamatan Lumajang berbeda pendapat seputar tradisi kawin mayit tersebut. Golongan pertama, setuju dengan pelaksanaan tradisi kawin mayit selama rukun dan syarat sah perkawinan terpenuhi. Golongan kedua, tidak setuju dengan pelaksanaan tradisi kawin mayit karena selain pernikahan tersebut dilakukan secara sirri. Golongan ketiga, pelaksanaan tradisi kawin mayit tergantung situasi dan kondisi dalam masyarakat. Jadi apabila pelaksanaan tradisi tersebut lebih banyak sisi negatifnya dari pada sisi positifnya, maka lebih baik tradisi tersebut untuk tidak dilakukan. Begitupula sebaliknya.

Kedua penelitian yang dilakukan oleh Suharti (2008) Mahasiswa Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Fakultas Syariah UIN Maulana Malik

Ibrahim dengan judul “Tradisi Kaboro Co’i Pada Perkawinan Masyarakat

(28)

10

penelitian yang digunakan peneliti dalam skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis dan sifat penelitiannya adalah deskriptif, sedangkan pengumpulan datanya adalah dengan menggunakan observasi, interview dan dokumentasi. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan deskriptif kualitatif. Dalam penelitiannya diperoleh sebuah kesimpulan bahwa tradisi Kaboro Co’i yaitu faktor pertama adalah faktor kekeluargaan/kekerabatan dan faktor kedua karena faktor adat kebiasaan yang merupakan warisan budaya dan menjadi jati diri sang Bima serta disepakati untuk menjadi dasar pemerintahan kerajaan Bima. Tradisi Kaboro Co’i pada kaedah yang menegaskan bahwa peraturan yang terlarang secara adat adalah sama saja terlarang secara hakiki. Dan di sana juga ada saling keterkaitan antar keduanya (Tradisi Kaboro Co’i) sama menjadi sesuatu yang telah diterima dan ditetapkan oleh masyarakat secara umum sebagai suatu peraturan dan ketentuan yang wajib dilakukan.

(29)

11

membedakan judul skripsi ini dengan judul skripsi yang pernah ditulis sebelumnya. Dengan adanya beberapa perbedaan ini, peneliti menganggap cukup untuk membuktikan orisinilitas skripsi ini.

Dengan demikian, penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa tema

tentang “Pernikahan di Depan Jenazah Orang Tua” benar-benar belum pernah

dikaji dalam bentuk kajian ilmiah. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan mengangkat kasus tentang “pernikahan di depan jenazah orang tua menurut perspektif hukum Islam yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor,

Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga.” dalam bentuk skripsi.

Perlu penulis tegaskan, bahwa permasalahan yang penulis teliti ini belum pernah diteliti, akan tetapi perspektif atau tinjauan yang digunakan berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Di sini, penulis mencoba meneliti lebih dalam dengan mengambil sudut pandang yang berbeda yaitu mengadakan penelitian di lingkungan Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga. Lokasi penelitian ini dengan penelitian sebelumnya memiliki perbedaan secara geografis, historis dan budaya pada lingkungan masyarakat.

(30)

12

G. Kerangka Teoritik

Pernikahan merupakan fenomena yang umum dan lazim terjadi dalam masyarakat. Tetapi fenomena ini menjadi menarik ketika dihadapkan pada suatu kasus tertentu, misalnya kasus seperti yang penulis teliti di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga yaitu pernikahan di depan jenazah orang tua. Meskipun persoalan ini sangat menarik, namun berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan belum ada buku-buku yang

mengangkat dan mengkaji tentang “pernikahan di depan jenazah orang tua”.

Pernikahan di depan mayat adalah salah satu bentuk tradisi atau adat kebiasan (‘urf) yang sampai saat ini masih dilaksanakan oleh kelompok masyarakat tertentu. Mengingat penelitian ini adalah studi kasus terhadap adat kebiasan (‘urf), maka secara otomatis yang menjadi acuan umum atau landasan teori dalam penelitian ini adalah buku-buku yang berkaitan tentang nikah dan adat-kebiasaan (‘urf).

Ajaran Islam menegaskan bahwa suatu perkawinan dianggap sah, apabila perkawinan itu dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukunnya sesuai dengan ketentuan yang ada dalam hukum perkawinan Islam. Sedangkan dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I, pasal 2, ayat (2), disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, 1990:1).

(31)

13

sah dan sebaliknya jika syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak ada. Syarat dan rukun dalam akad nikah adalah sesuatu yang berbeda. Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perkawinan namun di luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian dari rukun nikah merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain, persyaratan nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah.

Akad nikah merupakan hal yang mutlak atau harus dilakukan dalam suatu perkawinan. Akan tetapi tidak semua akad nikah dapat dianggap benar menurut hukum perkawinan Islam. Akad nikah baru dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat dan rukun yang ditentukan oleh syari’at Islam. Namun begitu dalam hal-hal tertentu masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama fiqh. Mengenai sahnya nikah para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan dengan akad, yang meliputi ijab

dan qabul antara perempuan yang dilamar (wakil atau wali) dengan lelaki yang melamarnya atau wakilnya (Mughniyah, 2002:309).

H. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

(32)

14

Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat. (Soekanto,1988:4-5)

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian (field research)

yaitu suatu penelitian yang terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada obyek yang dibahas (Erna W. Muchtar, 2000:79). Tujuannya untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku dan tindakan (Moleong, 2007:6) 2. Subjek Penelitian

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dari proses penelitian penulis menggunakan subyek penelitian berupa populasi (Arikunto, 1997:115). Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga. Yang akan diteliti adalah warga masyarakat yang posisinya melakukan proses akad nikah (pernikahan) di dekat jenazah orang tuanya.

3. Pengumpulan Data a. Wawancara

(33)

15 b. Dokumentasi

Mencari data mengenai beberapa hal baik yang berupa catatan, data monografi Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, jumlah warga yang pernah melakukan pernikahan di dekat jenazah orang tua dan lain sebagainya. Metode ini digunakan sebagai salah satu pelengkap dalam memperoleh data.

c. Studi pustaka

Yaitu penelitian yang mencari data dari bahan-bahan tertulis, berupa: catatan, buku- buku, surat kabar, makalah, dan sebagainya (Amirin, 1990:135).

4. Analisis Data

Berdasarkan pada tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dimulai dengan menelaah seluruh data yang sudah tersedia dari berbagai sumber yaitu wawancara, dokumentasi dan data yang diperoleh dari pustaka dengan mengadakan reduksi data, yaitu data-data yang diperoleh dari kepustakaan yang dirangkum dengan memilih hal-hal yang pokok serta disusun lebih sistematis sehingga mudah dipahami, maka dalam hal ini penulis menggunakan analisa data sebagai berikut:

a. Deduktif

(34)

16 b. Komparatif

Yaitu cara pembahasan dengan mengadakan analisis perbandingan antara beberapa pendapat, kemudian diambil suatu pengertian/kesimpulan yang memiliki faktor-faktor yang ada hubungannya dengan situasi yang diselidiki dan dibandingkan antara suatu faktor dengan faktor yang lain (Surachmad, 1978:135).

c. Kualitatif

Penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Moleong, 2002:45). Dalam melaksanakan analisa, peneliti bergerak di antara tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan yang aktifitasnya berbentuk interaksi dengan proses siklus.

5. Sumber Data

Sumber data dalam penulisan skripsi ini terbagi menjadi 2 yakni: a. Sumber data primer

Yakni bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah yang baru/mutakhir ataupun pengertian baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan/ide, mencakup undang-undang, buku, disertasi/tesis dll (Soekanto & Namudji, 1985:13).

(35)

17 b. Sumber data sekunder

Yakni bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, antara lain rancangan undang-undang, hasil penelitian, yurisprudensi, dll (Soekanto & Namudji, 1985:13).

Data-data sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah Kompilasi Hukum Islam dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang pernikahan di dekat jenazah orang tuanya.

6. Pengecekan Keabsahan Data

Setelah terkumpulnya data-data yang telah diperoleh dari buku dan dokumen maupun data dari lapangan, maka peneliti melakukan pengecekan data yaitu dengan cara mengadakan perbandingan antara buku dengan buku, buku dengan wawancara atau sebaliknya maupun wawancara dengan wawancara. Tujuannya ialah untuk mendapatkan kevalidan data dan meminimalkan resiko kekeliruan.

7. Tahap-Tahap Penelitian

(36)

18

I. Sistematika Pembahasan

Secara umum dalam penulisan skripsi ini terbagi dari beberapa bagian pembahasan teoritis dan pembahasan empiris dari dua pokok pembahsan tersebut kemudian penulis jabarkan menjadi lima bab. Adapun perinciannya, sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, berisi tentang latar belakang, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka tentang Pernikahan meliputi; tentang pengertian pernikahan, dasar dan hukum pernikahan, larangan melakukan pernikahan. Akad Nikah meliputi; tentang akad nikah dan dasar hukumnya, syarat dan rukun akad nikah, bentuk-bentuk nikah yang terlarang, teori ushul fiqh, pandangan ulama.

Bab III Laporan Hasil Penelitian, berisi tentang warga masyarakat Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; faktor-faktor terjadinya pernikahan di depan jenazah orang tua, pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua.

Bab IV Analisis Data, berisi tentang pelaksanaan akad nikah di depan jenazah orang tua yang terjadi di Kelurahan Tingkir Lor, Kecamatan Tingkir, Kota Salatiga; faktor terjadinya pernikahan di depan jenazah orang tua, pandangan hukum Islam terhadap pernikahan di depan jenazah orang tua.

(37)
(38)

19 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pernikahan

1. Definisi Nikah

Pernikahan menurut istilah Ilmu Fiqh dipakai perkataan ”

ٌحكن

dan perkataan “

ٌجوز

”. ”

ٌحكن

” menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya

dan arti kiasan, arti yang sebenarnya dari “nikah” ialah “

ٌمض

” yang

berarti mengumpulkan, memegang, mengenggam, menyatukan, menggambungkan, menyandarkan, merangkul (Munawwir, 1984:887). Sedangkan “

ُعْمَلْا

” yang berarti mengumpulkan, menghimpun,

menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun (Munawwir, 1984:225). Sedangkan arti kiasannya ialah “

ُءَطْولَا

” yang berarti berjalan

di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama (Munawwir, 1984:1671-1672). Pernikahan atau lebih dikenali ialah Nikah dari segi bahasa ialah bersatu

dan berkumpul. Kata setengah orang Arab: “Pokok-pokok itu bernikah”, Ia

(39)

20

Dari segi syara’, nikah adalah satu akad yang menghalalkan

istimta’ (bersetubuh/bersenang-senang ) di antara suami istri dengan cara

yang dibenarkan oleh syara’. Ia dinamakan nikah karena ia mengumpulkan

dua manusia dan menyatukan di antara satu sama lain. Orang Arab menggunakan perkataan nikah dengan makna akad, juga dengan makna persetubuhan serta bersenang-senang.

Walaupun begitu makna hakiki bagi kalimat nikah ialah akad dan makna simboliknya (majaz) ialah persetubuhan. Al-Quran secara umumnya menggunakan perkataan nikah dengan makna akad dan bukan persetubuhan (Al-Khin dan Al-Bugho, 2005:725). Firman Allah SWT :

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah (pemberian untuk menyenangkan hati isteri yang diceraikan sebelum dicampuri) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya (QS. Al-Ahzāb 33: 49)

Kalimat menikahi perempuan yang beriman dalam ayat atas bermaksud kamu mengadakan pernikahan dengan perempuan yang beriman. Ini

perpanduan firman Allah selepas itu yang bermaksud: “kemudian kamu

(40)

21

Makna hakiki nikah dalam syariat menurut fukaha’, yakni

penggunaan makna hakiki nikah sebagai akad dan makna kiasannya

sebagai bersetubuh. Meskipun kedua makna ini disebutkan dalam Al-Qur’an disebabkan karena nikah lebih sering digunakan dalam makna akad dan bukan pada bersetubuh. Sebagian fukaha mengatakan, ketika makna kiasan lebih diutamakan atas makna sinonim, maka hal ini menunjukan makna kiasannya adalah bersetubuh. Karena itu, makna hakikat nikah dalam syariat adalah akad dan makna kiasannya adalah bersetubuh (Jannati, 2007:301- 302).

2. Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:

menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar-Rum 30:21)

Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?”(QS. Al-Nahl 16:72)

(41)

22

Selain dari Al-Qur’an, terdapat banyak hadits dari Rasulullah SAW yang menjelaskan lebih lanjut tentang pernikahan dalam Islam berbunyi:

“Dari Abullah Ibn Mas’ud r.a berkata: Rasulullah Saw bersabda kepada kami: “wahai pemuda, barang siapa yang telah mampu di antara kamu untuk menikah, maka hendaklah menikah karena akan menunduk pandanganmu dan memelihara kehormatanmu, tetapi jika tidak mampu untuk berkawin berpuasalah, karena puasa itu merupakan perisai bagimu.” (HR. Muslim)

3. Hukum Pernikahan

Berdasarkan Al-qur’an dan As-sunnah, Islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan. Namun demikian kalau dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan pernikahan serta tujuan dari pernikahan, maka melaksanakan suatu pernikahan itu dapat dikenakan hukum Wajib, Sunnah, Haram, makruh ataupun Mubah (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 22).

a. Wajib

Bagi orang yang sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, namun nafsunya sudah mendesak dan takut terjerumus dalam perzinaan wajiblah bagi dia untuk kawin, sedangkan untuk itu tidak dapat dilakukan dengan baik kecuali dengan jalan kawin.

Kata Qurtuby :

(42)

23

kecuali dengan kawin, maka tidak ada perselisihan pendapat tentang wajibnya dia kawin. Allah berfirman :

“ Hendaklah orang-orang yang tidak mampu kawin menjaga

dirinya sehingga nanti Allah mencukupkan mereka dengan karunia-Nya,” (QS. An-Nuur : 33).

“Dari Abdullah bin Mas’ud. Ia berkata : telah bersabda Rasulullah saw, kepada kami : Hai golongan orang-orang muda! Siapa-siapa dari kamu mampu berkawin, hendaklah dia berkawin, karena yang demikian lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan, dan barang siapa tidak mampu, maka hendaklah ia bersaum, karena ia itu pengebiri bagimu”.(Ibnu Hajar Al-Asqalani, A Hassan, 2002 : 431). b. Sunnah

Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak lagi mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina, maka sunnahlah ia kawin. Kawin baginya lebih utama dari bertekun diri dalam ibadah, karena menjalankan hidup sebagai pendeta sedikitpun tidak dibenarkan Islam.

Thabrani meriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash bahwa

Rasulullah bersabda :“ Sesungguhnya Allah menggantikan cara

kependetaan dengan cara yang lurus lagi ramah (kawin) kepada kita”. (Sayyid Sabiq 6, 1996 : 23).

c. Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia

kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu

(43)

24

menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

“…Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan tanganmu sendiri…” (QS. Al-Baqarah : 195). (Al-qur’an dan terjemahan, Departemen Agama RI, 2002 : 36)

d. Makruh

Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu memberi belanja istrinya, walaupun tidak merugikan istri, karena ia kaya dan tidak mempunyai keinginan syahwat yang kuat. Juga makruh hukumnya jika karena lemah syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut sesuatu ilmu.

e. Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan untuk kawin, maka hukumnya mubah.

B. Akad Nikah

1. Pengertian Akad Nikah dan Dasar Hukum

Akad Nikah berasal dari dua kata, yaitu akad dan nikah. Istilah

akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata

دقع

yang jamaknya

دوقع

mempunyai arti “perjanjian”, “pertalian” atau “kontrak” (Warson, tanpa tahun:1023). Kata nikah berarti “pernikahan” atau “perjodohan”. Jadi

(44)

25

menurut istilah Akad Nikah adalah pernyataan sepakat (perjanjian) dari pihak calon suami dan pihak calon isteri untuk mengikatkan diri mereka dengan tali pernikahan (Mufa’at, 1992:101).

Kata-kata yang berisi pernyataan ikatan dalam suatu pernikahan, dalam ilmu fiqh disebut sighat akad nikah. Sighat akad nikah merupakan formulasi kehendak yang dinyatakan untuk mengadakan perikatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang membuat akad, baik melalui lisan, tulisan, maupun dalam bentuk isyarat. Dalam menyatakan kehendak yang melalui ucapan diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan pihak pertama yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri. Sedang qabul adalah pernyataan pihak kedua setelah ijab yang menunjukkan persetujuannya untuk mengikatkan diri (Dahlan, 1997:64).

Sementara itu Muhammad Husain al-Zahabi (tanpa tahun:50) mengartikan ijab dengan suatu ungkapan atau pernyataan awal dari salah satu orang yang membuat akad yang menunjukkan kemauan atau kerelaan untuk mengikatkan diri dalam suatu pernikahan. Sedangkan qabul adalah ungkapan atau pernyataan dari orang kedua yang menunjukkan arti penerimaan atau kerelaan dengan yang diungkapkan oleh orang yang membuat ijab.

(45)

26

Artinya: “bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat” (Departemen Agama RI, 1994:120).

Di samping itu, karena akad nikah merupakan salah satu bentuk dari perjanjian yang menuntut untuk dipenuhi, maka keberadaan akad nikah dapat juga didasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 1, sebagai berikut:

(Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya). Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya” (Departemen Agama RI, 1994:156).

2. Syarat dan Rukun Akad Nikah

(46)

27

pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (UU Pernikahan No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, 1990:1). Syarat dan rukun akad nikah merupakan dasar bagi suatu pernikahan, yang mana jika syarat dan rukun tersebut terpenuhi, maka pernikahan menjadi sah, dan sebaliknya jika syarat dan rukun tersebut tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah dan tidak ada.

Syarat dan rukun dalam akad nikah adalah sesuatu yang berbeda. Syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu pernikahan namun di luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah sesuatu yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Sebagian dari rukun nikah merupakan bagian dari persyaratan nikah. Oleh karena itu, persyaratan nikah mengacu pada rukun-rukunnya atau dengan kata lain, persyaratan nikah bertalian dengan keberadaan rukun-rukun nikah. Pelaksanaan akad nikah ada lima rukun yang harus dipenuhi, yaitu: calon suami; calon isteri; wali nikah; dua orang saksi dan Sighot / Ijab dan qabul (Al-Jaziri, 1969:12).

Adapun yang menjadi syarat-syarat akad nikah, sebagai berikut: a. Calon Suami, syaratnya: beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya,

dapat memberikan persetujuan, tidak terdapat halangan pernikahan. b. Calon Isteri, syaratnya: beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani;

(47)

28

c. Wali Nikah, syaratnya: laki-laki; dewasa; mempunyai hak perwalian; tidak terdapat halangan perwaliannya.

d. Saksi Nikah, syaratnya: minimal dua orang laki-laki; hadir dalam ijab qabul; dapat mengerti maksud akad; Islam dan dewasa.

e. Ijab qabul, syaratnya: adanya pernyataan mengawinkan dari wali; adanya penerimaan dari calon mempelai pria; memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahnya; antara ijab dan qabul bersambungan; antara ijab dan qabul jelas maksudnya; orang yang berkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau umrah; majelis ijab dan qabul harus dihadiri minimum empat orang, yaitu; calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai perempuan atau wakilnya dan dua orang saksi (Rofiq, 1998:71-72).

Itulah syarat-syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam melaksanakan akad nikah demi sahnya pernikahan.

C. Bentuk-bentuk Nikah Terlarang Dalam Islam

Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya (Jawas, 2006).

1. Nikah Sigar (syighar)

(48)

29

disepakati atau untuk dirinya masing-masing dengan suatu perjanjian tanpa mahar.

Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa

sallam:

Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain,

‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara

perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan

dirimu” (Hadits shahih: diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari

Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu)

2. Nikah Tahlil

Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga oleh suami sebelumnya, kemudian laki-laki tersebut mentalaknya. Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah

masa ‘iddah wanita itu selesai. Nikah semacam ini haram hukumnya dan

termasuk dalam perbuatan dosa besar.

3. Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan atau lebih. Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabila telah terjadi, maka nikahnya batal.

4. Nikah dalam masa ‘Iddah.

Masa ‘iddah adalah masa menunggu bagi wanita karena beberapa sebab

(49)

30

‘iddah dimaksudkan untuk mengetahui kosongnya rahim, dalam rangka

ibadah atau dalam rangka berkabung atas meninggalnya suami.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah : 235

dengan sindiran (wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran) atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf (perkataan sindiran yang baik) dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

5. Nikah dengan wanita kafir selain yahudi dan nasrani.

Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dibolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5.

(50)

31

Artinya: “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”

6. Nikah dengan wanita-wanita yang diharamkan karena senasab atau hubungan kekeluargaan karena pernikahan.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' ayat 23:



(51)

32

dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya); saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”

7. Nikah dengan wanita yang haram dinikahi disebabkan sepersusuan.

8. Nikah yang menghimpun wanita dengan bibinya, baik dari pihak ayahnya maupun dari pihak ibunya.

9. Nikah dengan isteri yang telah di talak tiga.

Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan

menikahi wanita itu kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. Al-Baqarah ayat 230:



(52)

33

dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh)

kemudian terjadi perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada

suaminya yang pertama.

10.Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.

Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam: “Orang

yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar” (Hadits shahih:

Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi (no. 840) dan an-Nasa-i

(V/192), dari Shahabat ‘utsman bin ‘Affan radhiyallaahu ‘anhu).

11.Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' ayat 24:

(53)

34

Artinya: dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak yang kamu miliki / maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 23 dan 24) yaitu mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu (menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan). Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12.Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nuur : 3:



Artinya: laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin (maksud ayat ini ialah: tidak pantas orang yang beriman kawin dengan yang berzina, demikian pula sebaliknya).

Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini

berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nuur : 26:

(54)

35 ampunan dan rezki yang mulia/surga (menunjukkan kesucian 'Aisyah r.a. dan Shafwan dari segala tuduhan yang ditujukan kepada mereka. Rasulullah adalah orang yang paling baik Maka pastilah wanita yang baik pula yang menjadi istri beliau).

Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha (benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh dinikahi. Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang berzina kemudian hendak menikah dengan wanita

yang dizinainya, beliau berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang

terakhir adalah nikah. Yang pertama adalah haram sedangkan yang

terakhir halal” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30)

13.Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.

Berdasarkan firman Allah Ta’ala QS. An-Nisaa' : 3

(55)

36

sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja), atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri.

Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih

empat orang isteri, beliau bersabda: “Tetaplah engkau bersama keempat

isterimu dan ceraikanlah selebihnya” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh

at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu Majah (no. 1953), Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan Ahmad (II/44). Begitu juga ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri. Maka ia mendatangi

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya.

D. Teori-teori Ushul Fiqh Dalam Hukum Islam

Pemahaman mengenai obyek pembahasan yang menjadi kajian ilmu-ilmu ushul-fiqh, sebagai berikut:

1. Sumber hukum Islam dan seluk-beluknya, baik yang telah disepakati bersama (seperti al-Qur'an dan hadis) maupun yang masih diperselisihkan (seperti istihsan dan mashlahah-mursalah).

2. Metode penggunaan sumber hukum Islam, seperti metode tarjih dengan menggunakan teori-teori, sebagai berikut:

(56)

37

kontradiktif (tanaqud), misalnya antara ayat dengan ayat atau antara hadis dengan hadis dan sebagainya.

b. Teori nasikh-mansukh atau teori tasaqut adinaini, sebagai salah satu sistem pengguguran salah satu dalil yang kontradiktif atau keduanya sekaligus.

3. Metode penggalian hukum (istinbath al-hukm) dari sumber asalnya, seperti dalam pembahasan masalah hukum syara', baik yang bersifat tuntutan (thalab), larangan, pilihan (takhyir), maupun bersifat dispensasi

(rukhshah) dan lazimah. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan persoalan hukum, hakim, makhum 'alaih (orang yang dibebani) dan

mahkum fih.

4. Kriteria orang yang berhak melakukan penggalian hukum (istinbath) dan seluk-beluknya, seperti masalah mujtahid dan hasil ijtihadnya.

5. Pembahasan masalah kaidah-kaidah/teori-teori yang akan dipakai untuk mengistinbathkan hukum dan metode mengaplikasikan teori-teorirtya.

E. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul-Fiqh dan Fiqh

Dari penjelasan obyek pembahasan dan kajian ushul-fiqh diatas, maka ruang lingkup (sistimatika) pembahasan ushul-fiqh adalah :

1. Pembakuan klasifikasi hukum dalam sistem kajian syari'ah, seperti : a. Pembakuan hukum taklifi, hukum wadl'iy dan hukum ikhtiyar.

b. Pembakuan istilah-istilah tekhnis yang lazirn dipakai dalam proses pembahasan syari'ah.

(57)

al-38

Syathibiy dalam kitabnya al-Muwafaqat), seperti status ijab, fardlu, nadb, shah, fasih, bathil, ibahah, karahah, rukhshah, 'azimah, syarat sah dan syarat wajib, syarat hakiki dan syarat ja'liy dan sebagainya. c. Pembakuan tentang siapa pemegang otoritas hukum (al-hakim) dan

siapa pula subyek mahkum 'alaih (mukallaf) beserta persolan-persoalan di.dalamnya.

2. Dalil-dalil hukum, yang mencakup:

a. Dalil-dalil yang berkedudukan sebagai sumber hukum pokok

(mashadir asasi).

b. Dalil-dalil ijtihadiy yang berkedudukan sebagai sumber hukum skunder (mashadir thaba'iy) beserta penetapan ranking (martabat) kehujjahan masing-masing dalil dengan berbagai kemungkinan yang membayanginya, seperti masalah-masalah sebagai berikut:

1) Masalah fungsi sunnah atau hadis sebagal penjelas atau bayan bagi al-Qur'an.

2) Masalah jenis sunnah/hadis qauliyyah lebih kuat menunjukan hukum dari pada sunnah/hadis fi'liyyah.

3) Masalah hadis ahad dan sebagainya.

3. Penjelasan masalah metode (cara) mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Maksudnya adalah metode atas kaidah (cara berfikir) dalam menarik petunjuk hukum dari nash syar'i al-Qur'an dan sunnah/hadis. Hal ini dilakukan melalui:

(58)

39 pengembangan manthuq dan mafhum.

b. Pendekatan kontekstual (qu'idah mainazviyyah), seperti pola penentuan illat hukum untuk teori qiyas, proses terjadinya ijma dan sebagainya Metode penyingkapan kasus ta'arudl (kontradiksi) antara dalil nash dan dalil ijtihad, begitu juga masalah teori nasakh dan tarjih. 4. Mujtahid dan Ijtihad. Hal ini penekanan uraiannya pada sisi persyaratan,

tingkatan, obyek dan berbagai permasalahan ijtihad. Begitu juga masalah

ifta', ittiba', taqlid, madzhab beserta pembahasan masing-masing.

Ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan maksud ini, maka Alyasa Abu bakar (1991:177) menyebutkan bahwa setiap perintah dan larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum) dan tujuannya masing-masing.

Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau

yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut. Untuk

(59)

40

antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang yang mendasarinya (Causal-Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘illat (Khallâf, 1972:49) hukum atau Ta‘lîl al-Ahkâm )

ماك حلأا ل يلعت

(, yaitu teori ke-‘illat-an

hukum.

Teori ke-‘illat-an hukum atau ‘illat hukum (ta‘lîl al-ahkâm) pada prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang apa yang menjadi ‘illat atau manâth al-hukm )

مك لِا طانم

(, yaitu pautan hukum serta apa pula yang

menjadi indikator bahwa ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut. Di samping itu, prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu ‘illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu ‘illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang ‘illat hukum ini juga

akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan

hukum (maqâshid al-syarî‘ah). Faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang ‘illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi ‘illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak

dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘. Bertitik tolak dari sini ulama ushul merumuskan teori ‘illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan istinbâth al-ahkâm (penggalian dan penetapan hukum).

(60)

41

dan tidak adanya ‘illat (al-Subkî, 1984:71). Artinya ‘illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallâf (1972:50) menyebutkan:

"

"ا ه م ك ح ع م لا ا هللع عم ام د عو ادو ج و ماك حلأا رو د ت

Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi oleh ada dan tidak adanya ‘illat, bukan oleh hikmahnya.

Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat menjadi kata kunci yang sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi

suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.

F. Adat Istiadat (Urf) dalam Perspektif Hukum Islam

Sejak kedatangan Islam di Indonesia, umat Islam telah mengalami bermacam-macam kondisi, hambatan, dan tantangan. Setelah Islam berkembang dan menyebar ke berbagai wilayah di nusantara pada abad XIII sampai abad XV, ia harus berhadapan dengan kaum kolonial sejak abad XVI. Karena itu, tradisi hukum Islam yang sudah mulai mendapatkan tempat pada masyarakat harus berjuang melawan kebijakan pemerintah kolonial yang cenderung memberikan keuntungan (advantage) pada hukum perdata Barat, hukum adat. Lebih jauh lagi, pada masa berikutnya, hukum Islam termasuk juga hukum adat- dianggap tidak lagi compatible untuk diaplikasikan di Indonesia, sebuah asumsi yang masih banyak dianut oleh beberapa sarjana di Indonesia (Truna dan Ropi, 2002:97). Berdasarkan

(61)

42

hukum sehingga merupakan sebuah kaidah pasti bahwa hukum haruslah

adaptable terhadap kebutuhan sosial, norma, tradisi, dan kebiasaan masyarakat lainnya. Di sisi lain, hukum bisa berfungsi sebagai instrumen untuk perubahan evolusioner atau revolusioner ketika digunakan sebagai alat merekayasa masyarakat / a tool of social engineering (Rahardjo, 1991:191).

Hukum Islam juga sangat bersifat adaptable dan fleksibel terhadap perubahan-perubahan selama hal tersebut mengacu kepada maqâshid

al-syari‘ah yakni untuk merealisasikan kemaslahatan umum. Lebih jauh lagi

dikatakan bahwa ‘urf / ‘âdah dianggap sebagai faktor yang sangat menentukan pada perubahan hukum dalam teori hukum Islam (ushûl fiqh). Kerangka teoritis inilah yang kemudian selain menyiratkan adanya mutual relationship antara hukum dan masyarakat, juga dapat meyakinkan kita bahwa perkembangan setiap hukum dapat dan harus dilihat dari perspektif sosialnya.

1. Definisi ‘Urf atau Adah

Sebagai tradisi lokal (local custom) yang mengatur interaksi masyarakat, kata urf atau adah menurut pendapat sebagian ahli bahasa memiliki kandungan makna yang sama yaitu kebiasaan atau tradisi masyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun temurun dengan tanpa membedakan tradisi yang mempunyai sanksi dan yang tidak mempunyai sanksi (Anoname, 1999:21).

(62)

43

sebagai sebuah tradisi yang baik sedangkan kata al-‘âdah sendiri diartikan sebagai tradisi yang netral dalam arti bisa baik atau buruk.

Sementara itu, Ali ibn Muhammad al-Jurjaniy (1999:44)

memberikan suatu makna yang berbeda dalam mengartikan kata ‘urf

dan al-âdah dengan perkataanya yaitu ‘Urf adalah sesuatu yang diyakini oleh jiwa melalui persetujuan atau persaksian akal dan kemudian diterima oleh akal sehat dan keberadaan ‘urf sendiri dikenal sebagai dasar hukum (hujjah). Sementara itu, adat diartikan sebagai yang dianut atau dilaksanakan oleh masyarakat atas dasar pertimbangan rasional.

Searah dengan penjelasan di atas, ‘urf diartikan sebagai sesuatu yang telah diketahui dan dikerjakan oleh manusia kebanyakan, baik berupa perkataan, perbuatan atau segala sesuatu yang mereka tinggalkan (Khalâf, 1978/1398:124). Dijelaskan juga bahwa ‘urf dapat dipahami sebagai kebiasaan mayoritas umat Islam baik berupa perkataan dan atau perbuatan (Harun, 1997:138). Bersinggungan dengan pendapat yang terakhir, dijelaskan bahwa pengertian ‘urf mencakup sikap saling pengertian diantara manusia atas perbedaan tingkatan diantara mereka, baik dari

keumumannya ataupun kekhususannya (Syafi’I, 1999:128).

2. Macam-Macam ‘Urf atau ‘Adah

Klasifikasi ‘urf atau ‘adat dapat ditinjau dari beberapa sudut pandang, antara lain:

a. Materi yang biasa dilakukan, yang dalam hal ini terbagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu:

1) Al-‘urf al-lafdziy yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan

Gambar

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk .....................................................................
Tabel 3.1.
Tabel 3.2.
Tabel 3.3.
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tiap warga luar yang sudah diberi izin keimigrasian (singgah, kunjungan, izin tinggal terbatas dan izin tinggal tetap).Wajib dketahui kehadirannya sewaktu yang

Dalam hadis tersebut dapat dipahami dan diambil maknanya bahwa dalam melakukan perdangan (dalam hal ini pembiayaan dengan akad murabahah) dibolehkan oleh Rasulullah SAW

Namun semakin maraknya penerapan murabahah sehingga menuai kritikan terhadap pelaksanaan murabahah, penggunakan akad wakalah serta penentuan margin.Pokok

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui bagaimanakah kondisi arah kiblat masjid dan mushola di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, (2) Bagaimanakah metode

Dapat diketahui juga bahwa masyarakat Desa Girirejo belum sepenuhnya dapat memenuhi hak dan kewajibannya sebagai suami istri secara penuh sehingga pasangan pelaku nikah usia

Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: (1) Apa faktor-faktor penyebab terjadinya pernikahan usia dini di Dusun Ngronggo Salatiga?,(2) Bagaimana

Untuk mengetahui sudah sesuaikah pergaulan dan hubungan mahasiswa mahasiswi IAIN Salatiga dengan ajaran Islam, jadi dalam hal ini peneliti akan membahas mengenai ta‟aruf mahasiswa

telah terjadi kesepakatan antara penjual dengan pembeli, dan tidak ada paksaan atau tekanan dan sudah memenuhi unsur perjanjian atau akad sebagaimana hasil