MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF
UNTUK MENINGKATKAN PENGENDALIAN
DIRI
ANAK USIA DINI DI PAUD KOTA SALATIGA
TAHUN 2014
DISERTASI
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar
Doktor Bimbingan dan Konseling
PROMOVENDUS
Lilik Sriyanti
NIM 1005076
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH PASCA SARJANA
==================================================================
Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk
Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di PAUD
Kota Salatiga Tahun 2014
Oleh
Lilik Sriyanti
Dra, Bimbingan Konseling UKSW Salatiga, 1988
M.Si, Psikologi UGM Yogyakarta, 2002
Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling
© Lilik Sriyanti
Universitas Pendidikan Indonesia
Maret 2015
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,
Abstrak
Lilik Sriyanti, 2015. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di Kota Salatiga Tahun 2014. Disertasi. Dibimbing oleh : Prof. Dr. H. Muh Surya (Promotor); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Kopromotor); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Anggota).
Pengendalian diri merupakan kondisi psikologis yang mempengaruhi terbentuknya perilaku lain. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa perilaku negatif dan destruktif bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Saat ini fenomena kenakalan anak dan remaja sangat memprihatinkan, hal tersebut sesungguhnya dapat direduksi apabila sejak dini anak dilatih untuk mengembangkan pengendalian diri yang baik. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak usia dini mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan cenderung impulsive, sementara pola pengasuhan orang tua dan kerjasama guru–orang tua yang belum tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengembangkan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif merupakan kerangka acuan yang digunakan dalam melaksanakan bimbingan dan konseling dengan melibatkan pihak lain yang kompeten terhadap masalah yang dihadapi anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan Reseach and Development (R & D), dengan subjek penelitian sebanyak 27 anak PAUD. Kolaborator yang dilibatkan adalah 3 kepala sekolah, 3 orang guru dan 27 orang tua siswa. Questionaire, observasi, wawancara, tes digunakan sebagai tehnik pengumpul data. Kondisi pengendalian diri anak usia dini sebelum penerapan model dalam kategori rendah dan kolaborasi yang terjalin antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam kategori kurang tepat. Model bimbingan konseling kolaboratif dikembangkan melalui uji pakar, uji kepraktisan serta uji lapangan yang dilakukan secara sistematis dan terencana sehingga menghasilkan model yang dapat meningkatkan pengendalian diri anak. Melalui uji t, Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Berdasar hasil tersebut, direkomendasikan agar lembaga PAUD menerapkan model ini sebagai bagian dari program sekolah, guru BK di PAUD dapat menggunakan esensi model ini untuk mengembangkan aspek perkembangan anak lainnya, peneliti berikutnya dapat mengadopsi model ini pada aspek perkembangan anak lain serta memperbaiki desain penelitian yang digunakan.
Abstract
Lilik Sriyanti, 2015. Collaborative Guidance and Counseling Model to Improve Early Childhood Self-Control on Salatiga 2014. Dissertation. Supervised by Prof. Dr. H. Muh Surya (Promoter); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Copromoter); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Member).
Self controlling was a psychological condition which affected the formation of other behaviour. Many research concluded that negative and destructive behaviours were rooted from low self controlling. Nowadays, Juvenile delinquency phenomenon was apprehending, tt actually could be reduced if children were skilled with well self controlling from their early childhood. Other research result showed that early childhood had low self controlling even tended to be impulsive, while parents‟ way in taking them care and the inappropriateness of teacher-parents collaboration. Based on the background, this research was aimed to developed Colaborative Guidance and Counseling Model to increase early childhood self controlling. Colaborative Guidance and Counseling Model was reference framework that was used in conducting guidance and counseling. It involved the other element who knew well problems faced by children. The research was used Reseach and Development (R & D) approach, involved 27 kindergarten students as subject of research. Collaborator were 3 School principals, 4 teachers and 27 parents as informants. Questionnaires, observations, interview, and tests were used in the technique of collecting the data. The condition of early childhood‟s self controlling before the model implemented was low and the collaboration among school principals, teachers and parents was inappropriate. Colaborative Guidance and Counseling Model which was developed through systematic and well-planned expert testing, practical testing and field testing resulted a model that could develop child‟s self controlling and improve collaboration among principals, teachers, and parents. Through t-test, it can be concluded that Colaborative Guidance and Counseling Model was effective to develop early childhood self controlling. Based on the result of the study, it was recommended to all Early Childhood Education to implement this model as part of school program and to guidance and counselling teacher in Early Childhood Education could use the gist of this model to improve other aspect of children development. Then, to the next researcher, this model could be adopted to study the other aspect of children development and to correct the research design which was used.
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ... ii
Pernyataan Keaslian ... iii
Abstrak ... iv
Kata Pengantar ... vi
Ucapan Terimakasih... viii
Daftar Isi... x
Daftar Tabel ... xv
Daftar Bagan ... xviii
Daftar Grafik ... xix
Daftar Lampiran ... xxi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah Penelitian ... 11
C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 13
D. Tujuan Penelitian ... 14
E. Manfaat Penelitian ... 15
BAB II BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI ... 16
A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 16
1. Konsep Model Kolaborasi ... 16
2. Konsep Bimbingan Konseling Kolaboratif ... 21
B. Anak Usia Dini ... 28
1. Konsep Anak Usia Dini ... 28
2. Karakteristik dan Tugas Perkembangan Anak Usia Dini ... 30
C. Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini ... 35
1. Hakekat Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini ... 35
Dini ... 41
4. Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini ... 43
D. Pengendalian Diri ... 45
1. Pengertian dan Fungsi Pengendalian diri ... 45
2. Jenis Pengendalian diri ... 49
3. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian diri ... 53
4. Metode Membentuk Pengendalian diri ... 54
5. Peran orang tua terhadap pembentukan pengendalian diri ... 57
6. Hubungan Pengendalian diri dengan Perkembangan Perilaku Anak ... 58
E. Pentingnya Kolaborasi dalam Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di TK/ PAUD... 60
F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 65
G. Hipotesis ... 67
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 68
A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 68
B. Langkah Penelitian ... 70
1. Studi Pendahuluan ... 71
2. Merancang Model Hipotetik ... 71
3. Perbaikan Rancangan Model ... 72
4. Uji Coba Lapangan ... 73
5. Tahap Perbaikan Model II ... 73
6. Diseminasi dan Pengembangan Model Akhir ... 74
C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 75
D. Definisi Operasional... 76
1. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 76
2. Pengendalian diri anak usia dini ... 77
E. Pengembangan Instrumen ... 78
1. Kisi-kisi Instrumen ... 78
2. Penimbangan Instrumen ... 85
F. Teknik Pengumpulan Data ... 89
1. Observasi ... 89
2. Wawancara ... 90
3. Tes ... 91
4. Angket ... 91
G. Teknik Analisis Data ... 92
1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 92
2. Uji Normalitas ... 92
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 96
A. Hasil Penelitian ... 96
1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 96
a. Profil Pengendalian Emosi Anak Usia Dini ... 97
b. ProfilPengendalian Pikiran Anak Usia Dini ... 99
c. Profil Pengendalian Perilaku Anak Usia Dini ... 101
2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ... 104
3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 106
a. Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 106
b. Validasi Model ... 115
c. Perbaikan Model ... 118
d. Uji Coba Model ... 119
e. Evaluasi Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 120
f. Pengembangan Model Akhir ... 122
4. Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini .. 123
b. Profil Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan
Orang Tua dalam Pelaksanaan BKK ... 127
c. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BKK ... 135
d. Materi Kegiatan BKK ... 136
e. Evaluasi terhadap kegiatan BKK ... 137
5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Uji coba Terbatas ... 139
a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling b. Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru ... 139
c. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua Hasil Uji Coba Terbatas... 142
6. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 147
a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru ... 147
b. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua .... 153
B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 158
1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 158
2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ... 162
4. Pelaksanaan Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan
Orang Tua ... 169
5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 174
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 180
A. Kesimpulan ... 180
B. Implemetasi dan Rekomendasi ... 184
Daftar Pustaka ... 189
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dunia pendidikan di Indonesia mempunyai tantangan besar untuk menyiapkan
generasi emas menyambut satu abad kemerdekaan Indonesia tahun 2045 yang akan
datang. Salah satu tantangan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah
perubahan perilaku peserta didik, bergesernya gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari
harapan pendidik sebagai dampak arus globalisasi dan era informasi yang melanda
seluruh pelosok negeri. Menyiapkan generasi yang yang tangguh, berakhlak mulia,
cakap dan kreatif menjadi tugas utama pendidikan yang harus didukung oleh semua
unsur pendidikan termasuk menjadi tugas bidang Bimbingan dan Konseling. Tugas ini
sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, pasal 3 menyebutkan, bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat, membentuk manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
(Undang-Undang No. 20, Tahun 2003).
Tercapainya bangsa yang bermartabat, beriman dan bertakwa diperlukan kondisi
mental yang tangguh, yang mampu mengontrol diri agar terhindar dari perilaku yang
tidak bertanggungjawab. Salah satu kondisi mental yang dapat mendukung
terwujudnya bangsa yang bermartabat dan beriman adalah kemampuan seseorang
mengontrol semua perilaku dan tindakannya, atau dikenal dengan pengendalian diri.
Pengendalian diri atau self control merupakan kemampuan untuk menahan keinginan
dan dorongan sesaat yang bertentangan dengan norma atau aturan yang berlaku (Berk,
1993, hlm. 455). Pengendalian diri juga merupakan kemampuan menunda keinginan
Kemampuan seseorang mengontrol dirinya akan mempengaruhi terbentuknya
perilaku lainnya. Berbagai penelitian dalam psikologi menunjukkan bahwa pengendalian
diri merupakan fungsi psikologis yang sangat penting dan menentukan kesehatan fisik
dan kesehatan mental seseorang (Skinner, 1996, hlm. 549). Skinner menuliskan
berbagai hasil penelitian sebelumnya (Baltes & Baltes, 1986; Fiske & Taylor, 1991;
Thomson & Spacapan, 1991) bahwa pengendalian diri seseorang juga berhubungan
dengan kesuksesan, berhubungan dengan kesehatan, prestasi, motivasi, coping,
kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan atau kegagalan
dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian Finkel & W Keith (2001, hlm. 274-275)
menyimpulkan bahwa pengendalian diri berhubungan dengan kemampuan membangun
hubungan antar pribadi yang romantis dengan pasangan. Hasil yang diterbitkan dalam
Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa pemuda yang
mendapatkan penilaian memiliki kontrol rendah di masa anak-anak, ternyata
menghadapi masalah kesehatan, keuangan dan penyalahgunaan obat terlarang,
memiliki catatan kriminal dan cenderung menjadi orang tua tunggal
(http://www.go4healthylife.com). Penelitian tersebut juga dilakukan terhadap 500
pasangan kembar, ternyata pasangan kembar yang mempunyai pengendalian diri
rendah menunjukkan perilaku merokok lebih awal, terlibat dalam perilaku antisosial dan
mempunyai prestasi rendah di sekolah. Mischel (dalam Mischel, Shoda, & Rodriguez,
2006, hlm. 480), pernah melakukan eksperimen marshmallow terhadap anak usia 4-6
tahun. Anak-anak yang dapat mengontrol dirinya untuk tidak mengambil kue ternyata di
kemudian hari mempunyai prestasi akademik yang lebih tinggi dan mempunyai
lingkungan sosial yang lebih bagus.
Pengendalian diri sangat penting bagi kesuksesan dalam berbagai bidang
kehidupan. Terbentuknya perilaku yang baik, positif dan produktif memerlukan
pengendalian diri yang kuat. Keharmonisan membangun hubungan dengan orang lain,
kebiasaan belajar yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat,
perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain dipengaruhi oleh
kemampuan pengendalian diri (self control). Penelitian Tangney, Baumeister, & Boone
(2004) menyimpulkan bahwa pelajar yang mempunyai pengendalian diri tinggi memiliki
penyesuaian diri yang lebih baik, memiliki kemampuan membangun hubungan
interpersonal dan mempunyai prestasi yang lebih baik. Pengendalian diri lebih
Seligman, 2006, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 72-73). Orang dengan
pengendalian diri tinggi mempunyai kemungkinan kecil untuk mengkonsumsi alkohol,
terlibat dalam tindak kriminalitas serta terhindari dari perilaku nakal, lebih bisa menjaga
kesehatannya dan mempunyai perilaku sehat (Baumeister & Vohs, 2007, hlm. 355).
Orang yang ketika anak-anak yang mempunyai kemampuan menahan diri atau menunda
kepuasan menunjukkan prestasi akademik dan penyesuaian sosial yang lebih baik
(Mischel, dkk. hlm. 478-479).
Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan asosial di kalangan pelajar makin
meningkat. Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan oleh geng,
penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif banyak menghiasi
media elektronik maupun media cetak. Salah satu stasiun televisi memberitakan
beberapa pasang remaja di Samarinda ditemukan mabuk, sementara dua siswa di
lainnya ditemukan sedang berbuat mesum di pinggir jalan (Berita Pagi Trans-7, 4
Pebruari 2013). Beberapa siswa SD melakukan penganiayaan hingga menyebabkan
teman sekelasnya meninggal (Metro Hari Ini, 2014). Fenomena perilaku menyimpang di
kalangan anak dan remaja terlihat dengan beredarnya rekaman video sekelompok siswi
SMP yang sedang berpesta rokok dan minuman keras di Mandar Sulawesi (Liputan Enam
Pagi SCTV, 27 Pebruari, 2013), serta siswa SMP di Semarang melakukan penodongan dan
membacok korbannya untuk mendapatkan handphone (Suara Merdeka, 25 Pebruari
2013). Dua siswa SMP terpaksa harus ujian nasional di tahanan karena ketahuan
mencuri tabung gas elpiji (Merdeka.com, 8 Mei 2014).
Berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan tersebut tidak akan terjadi apabila
sejak dini anak sudah mendapat bimbingan dalam mengembangkan pengendalian
dirinya. Hasil penelitian Childs (2005) terhadap 3907 subjek dari berbagai ras dan etnis di
Florida, menemukan bahwa rendahnya pengendalian diri menjadi prediktor terhadap
tindak kekerasan, temuan ini diperkuat dari hasil penelitian Baron (2003), Evan dkk,
(1997), Burton dkk (1998), yang menyatakan bahawa rendahnya pengendalian diri
menjadi prediksi dari tindak kejahatan dan penggunaan obat terlarang. McMullen (1999,
hlm.28), mendukung temuan diatas bahwa rendahnya pengendalian diri berkaitan
dengan tindak kriminal dan perilaku menyimpang. Sementara Wood dkk (dalam
McMullen 1999, hlm. 29) menemukan pengaruh rendahnya pengendalian diri dengan
tersebut dipertajam oleh pandangan Messina dan Messina (2006) yang menyatakan
bahwa self-destructive bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Selain
berhubungan dengan perilaku destruktif, pengendalian diri juga berhubungan dengan
psikopathologi terutama narsisme dan psikopath, sebagai bentuk antisosial (Vaughn,
2007, hlm. 816), serta berkaitan perilaku yang membahayakan seperti bunuh diri, seks
bebas, penggunaan narkoba, ceroboh dalam mengemudi dan kekerasan (Bogg
&Roberts, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 2).
Layanan bimbingan dan konseling khususnya untuk meningkatkan pengendalian
diri harus mulai dilaksanakan di PAUD agar sejak dini anak belajar tentang perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai kehidupan serta menyiapkan anak untuk mengikuti tugas
belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu alasan pemberian layanan
bimbingan dan konseling bagi anak usia dini adalah berkembangnya paradigma baru
dalam bimbingan dan konseling bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling
saat ini menjadi lebih terbuka dan berada dalam berbagai adegan dan tataran
kehidupan seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, industri dan bisnis, rumah sakit dan
lembaga pemasyarakatan, untuk semua rentang perkembangan mulai dari kanak-kanak
sampai usia lanjut, dan diperuntukkan bagi individu yang normal maupun yang
berkebutuhan khusus (Kartadinadata, 2001, hlm. 7).
Bimbingan dan konseling merupakan layanan bantuan yang diberikan pada
berbagai jenis pendidikan dan dalam berbagai seting kehidupan, artinya bimbingan
dan konseling tidak hanya dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, melainkan harus
mulai dikembangkan layanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan nonformal
yaitu bagi anak PAUD, guru dan orang tua. Hal tersebut sejalan dengan salah satu
prinsip bimbingan yaitu bimbingan dilaksanakan dalam berbagai seting kehidupan,
artinya bimbingan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, melainkan bisa berlangsung
dalam seting keluarga, lembaga pemerintah maupun swasta (Departemen Pendidikan
Nasional, 2007, hlm. 203-204). Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi anak
prasekolah diperkuat adanya ekspektasi kinerja konselor yang sudah dimulai sejak
jenjang Taman-Kanak-kanak, sebagaimana tertuang dalam Rambu-rambu
Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, bahwa
ekspektasi kinerja konselor sudah dimulai sejak jenjang Taman Kanak-kanak hingga
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di PAUD sebagai aktualisasi penyiapan
generasi emas tahun 2045 nanti. Kemendikbud mempunyai agenda besar menyiapkan
generasi emas sebagai hadiah seratus tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045
melalui gerakan PAUDisasi. Grand design pendidikan Indonesia yang diagendakan
adalah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak usia dini, karena anak
usia PAUD saat ini nanti yang akan memimpin bangsa, menggantikan generasi tua di
tahun 2045 nanti (http://www.mediaindonesia.com).
Salah satu bentuk perhatian terhadap anak usia dini adalah memberikan layanan
bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian dirinya. Pengendalian diri
sudah harus dilatihkan sejak usia prasekolah, hal ini karena berbagai literatur
menyatakan bahwa pengendalian diri anak usia ini masih rendah dan cenderung
impulsive (Logue, 1995, hlm.8; Hurlock 1978, hlm. 208-209)). Hasil survei di TK/PAUD
Kota Salatiga (2012) tentang perilaku yang sering muncul pada anak , dari 35 orang guru
TK/RA/PAUD, 85% menyatakan anak sering berebut mainan dan tidak mau mengalah,
75 % menyatakan anak sering mengganggu anak lain, 65 % tidak patuh, 78 %
menyatakan anak sering menyela pembicaraan, 56 % menyatakan
berteriak/mengumpat pada saat marah. Perilaku lain seperti mengejek teman,
melempar benda pada saat marah, berkelahi, tidak sabar menunggu giliran merengek
untuk mendapatkan sesuatu,tidak mau melaksanakan tugas dan tidak mau merapikan
barang pribadinya dinyatakan kadang-kadang muncul pada anak.
Sementara hasil survei terhadap 150 orang tua siswa TK/RA/PAUD di Salatiga dan
sekitarnya, 85% menyatakan anak sering tidak mau mengalah, 73% menyatakan anak
sering berkelahi, 60 % menyatakan anak sering menangis untuk menyatakan keinginan,
sementara 80 % orang tua menyatakan anak tidak mau merapikan barang miliknya, 75%
kadang-kadang anak tidak sabar menunggu giliran, 75 % anak tidak mau mengerjakan
tugas hingga selesai, 75% kadang-kadang anak berteriak-teriak untuk menyatakan
keinginan. Berdasar hasil survei tersebut menunjukkan anak usia prasekolah
mempunyai pengendalian diri yang cenderung rendah.
Berbagai perilaku yang muncul pada anak usia PAUD tersebut menjadi tantangan
bagi guru dan orang tua. Kadarharutami (2011, hlm. 19-22) menuliskan tantangan
dalam mengasuh anak usia dini antara lain anak sangat aktif, tidak bisa diam, sering
emosinya, belum bisa mematuhi jadwal kegiatan rutin dan mulai suka melawan atau
menghindar bila diminta melakukan sesuatu. Tidak semua orang tua dan guru
menggunakan cara yang tepat dalam mengatasi beberapa perilaku anak yang tidak
sejalan dengan harapan guru dan orang tua. Hasil surve terhadap 30 guru dan 150 orang
tua PAUD di Salatiga dan sekitarnya, 75 % orang tua menyatakan tidak berusaha mencari
penyebab kemarahan anak, 74% guru menyatakan hal yang sama. 75 % orang tua dan
49 % guru menyatakan sering kesulitan untuk membuat anak tertib, 73 % orang tua
menyatakan ikut jengkel ketika anak marah-marah, sementara 68 % guru menyatakan
sering hanya bisa bersabar dalam menghadapi kenakalan anak. 78 % orang tua sering
mengalah untuk mengerjakan tugas anak ketika anak tidak mau mengerjakan, 71 %
kadang-kadang membentak apabila anak tidak patuh, 64 % kadang memukul bila anak
sulit diatur, 60% guru menyatakan kadang-kadang mengalah merapikan mainan anak,
57% kadang-kadang membentak apabila anak membuat keributan, 57% kadang-kadang
mendidik kedisiplinan secara paksa, 68 % guru menyatakan kadang-kadang sulit
mengatasi anak yang rewel di kelas, 56 % guru sering tidak ada waktu untuk mencari
sumber penyebab kenakalan anak.
Perilaku yang tidak mendapatkan penanganan dengan tepat dapat menimbulkan
problem perilaku yang lebih komplek juga dapat menimbulkan kekacauan di dalam
kelas, suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif sehingga perlu penanganan
secara seksama. Hasil penelitian Morey dkk. (ACA, 2006) menyimpulkan bahwa
bimbingan dan konseling dapat mengatasi kekacauan di dalam kelas. Morrison (2012,
hlm. 344) mengupas beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa akar dari
kenakalan dan perilaku menyimpang ada dalam usia dini.
Bimbingan dan konseling untuk membentuk pengendalian diri anak pada usia
dini sangat penting sebagai fondasi terbentuknya perilaku baik yang berguna bagi
perkembangan anak sebagai totalitas. Sholehuddin (2010, hlm. 108) menyatakan
bahwa pendidikan untuk anak usia dini merupakan fondasi yang kuat bagi
terbentuknya generasi yang berkualitas.
Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini merupakan program krusial yang
harus dilaksanakan karena lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa emas
yang paling tepat bagi pembentukaan kepribadian. Pengasuhan anak pada lima tahun
diri sebagai salah satu aspek dari perkembangan emosi dan sosial merupakan faktor
penting bagi kesiapan anak masuk sekolah dari pada keterampilan akademis (Johnson,
Gallagher, Cook, & Wong; Lin, Lawrence, and Gorrell; Piotrkowski, Botsko & Matthews;
Wesley & Buysse dalam Muelle, 2010, hlm. 1). Freud (dalam Corey, 2005, hlm. 13)
mengatakan bahwa perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya
berpengaruh terhadap perkembangan anak di masa mendatang. Lima tahun pertama
menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak di masa berikutnya. Usia prasekolah
berada pada fase emas perkembangan, yang perlu mendapat perhatian seksama.
Kehidupan awal masa anak menjadi fondasi bagi penyesuaian terhadap kehidupan
berikutnya (Hurlock, 1978, hlm. 151). Muelle (2010, hlm. 50) menyatakan bahwa
pengendalian diri sebagai salah satu spektrum dari perkembangan sosial dan emosi
dapat menjadi prediksi keberhasilan akademik anak di Taman Kanak-kanak hingga kelas
tiga. Muelle (2010, hlm. 19) menyatakan bahwa kemampuan mengontrol diri, bekerja
dengan anak-anak lainnya, mengatasi konflik, bekerja dalam kelompok merupakan
syarat kesiapan anak masuk sekolah. Kadarharutami (2011, hlm. 16-18) menuliskan
bahwa belajar menunda dan pengendalikan keinginan, menunjukkan perasaan dengan
cara yang sehat, berani mengemukakan keinginan merupakan sebagian kemampuan
yang harus diajarkan pada anak usia dini.
Pentingnya melatih pengendalian diri anak prasekolah juga muncul dari orang tua
dan guru sebagai pribadi yang banyak mengetahui perilaku anak atau muridnya
sehari-hari. Muelle (2010, hlm.1) mengutip berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa
guru memandang kesiapan anak masuk Taman Kanak-kanak dan sukses belajar di
Taman Kanak-kanak apabila anak menunjukkan kemampuan mengontrol diri seperti
dapat bekerja secara mandiri, mengikuti aturan di kelas, menunjukkan keterampilan
sosial yang positif, dapat bermain dengan anak lain dengan baik dan dapat
mengkomunikasikan perasaannya. Baik orang tua maupun guru merasa bahwa
keterampilan sosial merupakan kemampuan paling penting bagi anak agar siap dan
sukses masuk sekolah (Piotrkowski, dkk. dalam Muelle, 2010, hlm. 18). Pentingnya aspek
pengendalian diri bagi anak usia dini juga terbukti dari hasil penelitian McAllister, dkk.
(dalam Muelle, 2010, hlm. 19), menyatakan orang tua siswa merasa bahwa keterampilan
dengan kemampuan dalam bidang akademik dan berpikir sebagai syarat kesiapan
belajar sekolah.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia prasekolah perlu melibatkan
beberapa pihak agar hasil dicapai lebih optimal. Orang tua dan guru adalah dua pribadi
yang lebih dekat dengan anak dan berinteraksi lebih intensif, karena itu melibatkan
guru dan orang tua dalam pelaksanaan bimbingan akan mengefektifkan tercapainya
tujuan bimbingan dan konseling. Efektivitas bimbingan dan konseling kolaboratif sudah
dibuktikan dari hasil penelitian Ginintasasi (2012) bahwa bimbingan dan konseling
kolaboratif efektif bagi penanganan anak autis, hasil penelitian Hidayat (2010)
menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa,
serta Soendari (2011) menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan
perilaku adaptif anak tunagrahita ringan di Sekolah Dasar. Demikian juga dengan
penelitian Becicka (2000) menyimpulkan bahwa kolaborasi konselor dengan guru dapat
meningkatkan kompetensi sosial siswa. Penelitian terbaru dilakukan oleh Chotijah
(2013) berhasil membuktikan bahwa bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk
meningkatkan prestasi belajar anak dengan kesulitan belajar. Proses pendidikan di
sekolah yang dilaksanakan secara kolaboratif didukung oleh pandangan Lassonde (2010,
hlm. 4-5) yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan yang dilaksanakan secara
kolaboratif dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan dapat berkembang secara
profesional. Lassonde menuliskan : “ We can and must make collaborative learning a priority in our profesional development. Collaboration with interested colleagues can
help us overcome those not-enough time feelings”.
Kolaborasi dalam layanan pendidikan di Taman Kanak-kanak, khususnya antara
guru dan orang tua menjadi sangat penting dan mendesak karena selama ini kerjasama
antara pihak sekolah dengan orang tua belum berjalan optimal. Hal ini dibuktikan
dengan hasil surve di 20 TK di Salatiga dan sekitarnya terungkap bahwa kerjasama
antara guru dengan orang tua masih belum serasi, artinya langkah pendidikan dan
penanganan terhadap persoalan yang dihadapi anak masih jalan sendiri-sendiri. Tujuh
orang guru dari 20 TK//RA menyatakan gaya pengasuhan orang tua sering tidak sejalan
dengan program sekolah, tiga orang guru menyatakan orang tua sering tidak mau
menerima apabila mendapatkan laporan tentang perilaku yang kurang baik pada anak.
kebingungan dalam diri anak tentang apa yang harus dilakukan. Kurangnya kerjasama
antara orang tua dengan guru juga terlihat dari tidak kembalinya beberapa angket yang
diberikan oleh pihak sekolah kepada orang tua. Keserasian cara membimbing antara
guru dengan orang tua akan meningkatkan efektivitas hasil bimbingan. Sebagaimana
hasil penelitian Sholehuddin (2010, hlm. 117-118) yang menyimpulkan bahwa
pembelajaran yang berbasis bimbingan kolaboratif dapat lebih memberdayakan Taman
Kanak- kanak, kolaboratif yang dimaksud dalam penelitian tersebut meliputi peneliti,
guru dan orang tua.
Kaloborasi dalam layanan bimbingan dan konseling berpijak pada salah satu
prinsip bimbingan, yaitu bimbingan sebagai usaha bersama (Departemen Pendidikan
Nasional, 2007, hlm. 203-204), artinya bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab
konselor, melainkan perlu kerjasama antara personil sekolah (guru), orang tua dan
pihak lain. Prayitno (1998, hlm. 27) menyatakan bahwa kerjasama antara guru, guru
pembimbing dan orang tua sangat menentukan hasil pelayanan bimbingan. Pentingnya
kerjasama dalam layanan bimbingan didukung oleh pendapat Dinkmeyer dan Caldwell
(1970, hlm. 4-5) yang menyatakan karena pengaruh orang tua sangat besar dalam
kehidupan anak, maka pelaksanaan bimbingan dan konseling lebih banyak melibatkan
orang tua. Demikian juga dengan pandangan Murro dan Kottman (1995, hlm. 53-54)
mengungkapkan bahwa beberapa jenis layanan bimbingan dan konseling tidak langsung
ditujukan kepada murid melainkan melalui orang tua, guru dan orang dewasa lainnya.
Bimbingan dan Konseling kolaboratif didasari oleh asas keterpaduan (Depertemen
Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 2006), hal ini mensyaratkan pelaksanaan bimbingan di
sekolah oleh beberapa pihak yang saling menunjang dan terpadu. Demikian juga dengan
Biasco (dalam Yusuf, 2009: 63) menyatakan bahwa bimbingan akan berlangsung efektif apabila ada kerja sama dengan personil sekolah dan personil di luar sekolah seperti
orang tua siswa dan para spesialis. Bimbingan dan konseling kolaboratif
mengasumsikan bahwa konselor bukan satu-satunya sumber yang dapat mengatasi
persoalan anak (Bertolino dan Bill O’Hanlon , 2002). Kolaborasi akan menyamakan pemahaman antara guru dan dengan orang tua dalam melakukan intervensi terhadap
anak, sehingga tidak terjadi kesenjangan yang dapat merugikan anak. Tujuan kolaborasi
adalah untuk mendapatkan pemecahan masalah yang terbaik dan pemecahan masalah
konsultasi kolaborasi dapat menghasilkan program yang lebih komprehensif dan
integratif.
Layanan bimbingan dan konseling untuk anak usia dini memerlukan keterlibatan
orang tua atau keluarga, sebagaimana pendapat Henderson dan Thompson (2011, hlm.
528) dalam buku Counseling Children memaparkan pentingnya konselor
mengembangkan upaya meningkatkan kemampuan anak dengan berkolaborasi dengan
orang dewasa lainnya. Demikian juga dengan Gerldard & Geldard (2012, hlm. 3-5)
menuliskan tentang tujuan konseling untuk orang tua dan anak dalam pelaksanaan
konseling anak. Hal yang sama diungkap oleh Morrison (2012, hlm. 88) bahwa keluarga
merupakan lembaga yang paling penting bagi pendidikan dan perkembangan anak dan
orang tua adalah pendidik utama.
Berdasar latar belakang sebagaimana diuraikan sebelumnya maka perlu
dikembangkan model bimbingan dan konseling kolaboratif antara orang tua, guru dan
kepala sekolah untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.
B. Identifikasi Masalah Penelitian
Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan antisosial di kalangan anak dan
remaja makin meningkat. Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan,
penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif lainnya banyak
menghiasi media cetak dan elektronik. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tindak
kejahatan dan perilaku destruktif bersumber dari rendahnya pengendalian diri
seseorang (Evan dkk,; Burton dkk. dalam McMullen 1999, hlm. 28). Bahkan kesehatan
jiwa seseorang, narsisme, psikopath dan perilaku antisosial dipengaruhi oleh
kemampuan seseorang dalam mengontrol dirinya sendiri (Vaughn, 2007, hlm. 81).
terhadap resiko remaja melakukan perilaku seksual dan penggunaan alkohol. Karakteristik khas anak usia dini berada dalam masa perkembangan dengan
kemampuan yang terbatas dalam berbagai aspek. Pada masa ini berlangsung fase
trotzalter, yang ditandai dengan sikap membangkang, keras kepala, menentang, emosi
meluap-meluap tidak patuh dan cenderung tidak patuh pada orang tua (Kartono, 2000,
hlm. 53-54). Anak usia ini juga mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan
cenderung impulsive (Logue, 1995, hlm. 8), mempunyai daya imitasi yang kuat dan
bersifat egosentris (Hurlock, 1978, hlm. 210 ). Daya imitasi yang kuat memungkinkan
anak meniru perilaku buruk yang ada di sekitar anak, termasuk mengimitasi cara orang
tua merespon situasi yang mengganggu. Karakteristik anak yang keras kepala dan
cenderung membangkang tersebut menuntut strategi dan penanganan yang tepat agar
tidak memicu lahirnya problem perilaku baru yang lebih buruk.
Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa orang tua dan guru belum
mempunyai kemampuan yang tepat dalam mengatasi berbagai problem perilaku pada
anak serta belum ada kerja sama yang selaras antara sekolah dengan orang tua.
Penanganan yang salah terhadap perilaku anak dapat memicu timbulnya perilaku yang
lebih buruk, yang menghambat perkembangan anak di masa berikutnya. Sementara,
lima tahun kehidupan anak merupakan golden age, peletak dasar kepribadian yang
besar perannya bagi perkembangan anak di masa berikutnya. Dampak buruk gaya
pengasuhan yang salah terbukti dari hasil penelitian Ayunita (2012) terhadap perilaku
anak prasekolah, yang menyimpulkan bahwa perilaku temper tantrum terjadi karena
pengasuhan orang tua yang tidak konsisten serta terjadi karena mengimitasi perilaku
orang tua ketika marah. Demikian juga penelitian Pragoyo dan Hidayati (2011),
menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter berdampak terhadap perilaku
anak.
Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini krusial harus dilaksanakan sebagai
upaya menyiapkan generasi emas di tahun 2045 yang akan datang, sebagai mana
dicanangkan sebagai grand design kemendiknas beberapa tahun lalu. Bimbingan dan
konseling bagi anak usia dini ini sebagai realisasi dari ekspektasi kinerja konselor yaitu
bimbingan dan konseling sudah mulai dilaksanakan di jenjang Taman Kanak-kanak, serta
menunjang prinsip bimbingan, bahwa bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan
pendidikan formal maupun nonformal, seting keluarga dan dapat dilaksanakan dalam
lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk dapat dilaksanakan di TK/RA. Sementara
ini belum banyak pakar bimbingan dan konseling yang menaruh perhatian pada
pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini, khususnya di TK/RA.
Proses pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan orang tua. Guru tidak bisa melakukan segalanya untuk membantu perkembangan anak yang optimal, karena itu perlu keterlibatan orang tua agar pelaksanaan kegiatan di sekolah berkesinambungan kegiatan anak di rumah. Keterlibatan orang tua juga penting karena waktu anak lebih banyak bersama orang tua di rumah dari pada di sekolah. Sementara ini kerja sama antara orang tua dan guru belum berjalan efektif dan belum optimal (hasil survee pendahuluan). Kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua masih belum dilakukan secara sistematis dan terprogram, karena itu perlu adanya bimbingan dan konseling kolaboratif agar proses bimbingan berjalan secara konsisten dan berkesinambungan (Bredekamp, 1996).
C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Pengendalian diri merupakan soft skill yang penting bagi terbentuknya kepribadian dan sukses hidup seseorang. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengendalian diri berkorelasi dengan kesehatan fisik dan kesehatan mental seseorang, menentukan prestasi, motivasi, perilaku koping, kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan perilaku destruktif bersumber dari pengendalian diri yang rendah.
dalam pengasuhan. Untuk itu perlu bimbingan yang tepat agar dapat mengarahkan perilaku anak sejalan dengan tuntutan guru dan orang tua. Intervensi yang salah terhadap perilaku anak diatas dapat menyebabkan gangguan perilaku yang lebih komplek, yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak di masa berikutnya.
Saat ini masih belum ada kesamaan langkah antara guru dan orang tua dalam penanganan perilaku anak, bahkan orang tua cenderung lebih buruk cara pengasuhannya. Kondisi ini dapat membingungkan anak dalam menentukan perilaku mana yang harus dilakukan. Karena itu diperlukan model bimbingan kolaboratif antara guru dan orang tua agar pelaksanaan bimbingan berjalan konsisten dan berkesinambungan. Penelitian ini berusaha menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
Secara khusus rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana profil pengendalian diri pada anak usia dini?
2. Bagaimana profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua? 3. Bagaimana proses pengembangan model bimbingan dan konseling
kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini? 4. Bagaimana pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala
sekolah, guru dan orang tua untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini?
5. Apakah model bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
2. Menemukan profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua, sebagai dasar penyusunan model bimbingan dan konseling kolaboratif; 3. Mendeskripsikan proses pengembangan model bimbingan dan konseling
kolaboratif yang efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
4. Mendeskripsikan pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam upaya meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.
5. Untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.
E.Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat baik secara praktis maupun
manfaat teoritis untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
bimbingan dan konseling anak. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi TK/RA dan lembaga pendidikan anak usia dini lainnya dalam mengembangkan program kegiatan sekolah secara umum, dengan berkolaborasi dengan orang tua;
2. Model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan bagi guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini;
3. Temuan penelitian dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemerhati anak sebagai salah satu model dalam mengembangkan pengendalian diri anak serta untuk mengembangkan aspek lain melalui kolaborasi dengan orang tua;
4. Hasil penelitian ini manfaat bagi orang tua dalam membantu dan membiasakan anak mengendalikan diri.
BAB II
BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI
A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif 1. Konsep Model Kolaborasi
Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) mengemukakan bahwa “model refers to
the representation from which a final product is abstracted of its inherent worth” .
Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya. Mills et al (1989, hlm. 4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep. Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model, yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (2005 : 10) menggunakan komponen-komponen:
introduction, key concept, the therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.
Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model merupakan perangkat
demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010, hlm.
44) mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an intructional design with describes the process of specifying and producing environment situsional with cause the student to interact in such away that spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Reigeluth (1999, hlm. 78) mengemukakan bahwa “intructional model is merely a set of strategi components, it is complate method with all of it parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran merupakan suatu kumpulan tentang
komponen-komponen strategi, hal itu merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.
Pengertian dan komponen model dikemukan oleh Joyce & Weil (2014, hlm. 1) yang menyatakan “a model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term course of studies) to design instructional materials and to guide instructional in the class room and other settings, selanjutnya Joyce & Weil (2014, hlm. 191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung dalam model pembelajaran: a) orientasi, orientasi model mencakup tujuan, asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model; b) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan yang konkret di kelas; c) sistem sosial yang dikembangkan, gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat mereka di kelas; d) prinsip-prinsip mereaksi, bagaimana guru menghargai dan merespon siswa; e) sistem penunjang yang diharapkan, gambaran tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah belajar; dan f) dampak instruksional dan penyerta, dampak yang ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung.
Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya bekerja sama. Bekerja sama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim dan merupakan cara yang
digunakan para profesional untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana diungkap
keputusan dari beberapa pengetahuan dan keterampilan yang terpisah-pisah menjadi
lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council, 2010, hlm. 4). Lebih jauh
dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja yang positif yang melibatkan
beberapa profesional, melainkan sebuah cara kerja untuk mengorganisir, melaksanakan
jaringan kerjasama dalam kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan
sumber daya yang tersedia. Curtis dan Van Home (2014, hlm. 160) mendefinisikan
kolaborasi sebagai dua atau lebih orang merencanakan, memecahkan masalah dan
mencapai hasil yang diinginkan. Proses kolaborasi melibatkan tujuan yang sama,
komunikasi dua arah, dan aktivitas kerja sama. Kolaborasi merupakan merupakan
sebuah kerja sama dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1987), yang menyatakan
bahwa kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah keikutsertaan
individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal
antar anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai
arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan
bersama dan melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol &
Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa: “ in collaboration, planning and implementing are
joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim. Kolaborasi dalam bimbingan dan konseling juga diarahkan pada
kesamaan tujuan serta keterlibatan secara aktif dari pihak yang berkolaborasi.
Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996: 76) mengemukakan beberapa
karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a) adanya kesetaraan hubungan; b) tujuan
bersama; c) tanggung jawab terhadap hasil; d) mampu menjadi sumber; e) kepercayaan,
kerja sama antara antara kolaborator didasarkan pada sikap saling percaya; f)
kepentingan subjek menjadi tujuan utama. Sementara Lassonde (2010,hlm, 3)
menjelaskan bahwa kolaborasi dalam dunia pedidikan bisa dilakukan melalui beberapa
cara yaitu : a) kelompok datang bersama-ama untuk mensuport satu sama lain dalam
suatu komunitas belajar; b) datang secara face to face; c) berkomunikasi secara online
atau menggunakana metode komunikasi lainnya. lebih jauh diuaikan bahwa tujuan dari
kolaborasi adalah untuk menemukan topik yang menarik yang berhubungan kegiatan
belajar mengajar di kelas atau masalah sekolah yang lebih luas, bisa juga membahas
bagaimana siswa belajar, bagaimana cara mengajar yang terbaik, atau isu lain sesuai
Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat diartikan sebagai
pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu
suatu kegiatan tertentu melalui kerja sama antara beberapa orang yang terlibat dalam
merancang model. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam merancang model adalah orang
yang mengetahui tentang substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa
melibatkan masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak
lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model. Dalam penelitian ini
yang dilibatkan dalam kolaborasi adalah orang tua, guru dan kepala sekolah guna
menghasilkan sebuah model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan
pengendalian diri anak usia dini. Kolaborasi tidak hanya dilakukan pada saat merancang
konsep model, melainkan terus berlangsung sampai penerapan dan evaluasi. Dalam
aspek penerapan model, diupayakan ada kejelasan peran dan tugas dari masing-masing
kolaborator, dan masing-masing menjalankan peran dan tugasnya secara maksimal
sesuai prinsip kolaborasi.
Dalam dunia pendidikan kolaborasi antar beberapa pihak yang berkompeten
terhadap perkembangan anak sangat dibutuhkan. National Parent Technical Assistance
Center/ NPTAC (2008, hlm. 5) menguraikan manfaat kolaboratif dalam dunia pendidikan
sebagai berikut.
a) Meningkatkan pemahaman mengenai keadaan siswa melalui berbagai sudut pandang yang berbeda.
b) Meningkatkan kemampuan untuk mengatasi hambatan secara lebih luas. c) Membagikan berbagai strategi instruksi kepada sesama anggota kelompok
kolaboratif
d) Berbagi ide mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan siswa. e) Meningkatkan konsistensi dan komunikasi.
f) Memaksimalkan waktu yang dimiliki melalui kerja sama dan pengorganisasian sumber daya dan personel yang ada.
g) Saling berbagi keputusan yang diambil. h) Berbagi tanggung jawab.
Ada beberapa model kolaboratif yang digunakan saat ini (NPTAC, 2008: 5). Semua
baik.Masing-masing model memiliki fungsi spesifik dan berpotensi meningkatkan hubungan
kolaboratif antara orang tua dan guru. Beberapa model yang banyak digunakan adalah
sebagai berikut di bawah ini.
a. Aturan Kelompok (policy groups)
Kelompok (grup) baik lokal daerah tertentu maupun nasional yang biasanya
terdiri dari para profesional dan orang tua yang bersama-sama bertujuan
memecahkan suatu permasalahan tertentu.
b. Program kerja sama orang tua dan profesional (parent-faculty partnership programs)
Program pelatihan bagi para calon guru untuk berkolaborasi dengan para
profesional dan orang tua yang memiliki stabilitas tertentu.
c. Pelatihan (co-training)
Profesional pendidikan khusus dan para orang tua dapat berpartisipasi di
sekolah ataupun lembaga lain dengan memberikan pelatihan, berkomunikasi,
kolaborasi, intervensi perilaku yang positif maupun hal lain terhadap staf sekolah
maupun orang tua lainnya.
d. Analisis materi (material review)
Orang tua (baik perorangan maupun kelompok) dapat me review materi yang
dikembangkan oleh para profesional, dengan tujuan agar materi tersebut dapat
memenuhi kebutuhan para orang tua yang mengikuti pelatihan tertentu.
e. Orang tua sebagai pelatih (parents as trainers)
Orang tua dapat melatih staf sekolah berbagai strategi yang bertujuan
meningkatkan keterlibatan orang tua lainnya, namun, model ini masih cukup sulit
dan jarang dapat terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia.
f. Profesional sebagai pelatih (professionals as trainers)
Para profesional dapat berdiskusi dengan kelompok orang tua mengenai
cara-cara efektif yang dapat dilakukan oleh mereka untuk meningkatkan keterlibatannya
dalam pendidikan dan mendukung perkembangan anak-anak mereka.
resource centers model)
Sebuah lembaga yang memberikan informasi dan pelatihan yang bertujuan
membantu orang tua. Keuntungan lain bagi orang tua adalah dapat berhubungan
dengan orang tua lain yang memiliki permasalahan yang sama, sedangkan bagi para
profesional kegiatan ini dapat memberikan informasi mengenai apa yang dibutuhkan
oleh para orang tua sebenarnya dan bagaimana pendapat mereka terhadap kegiatan
tersebut.
Bentuk kolaborasi lainnya dikemukakan oleh Miskel et.al (dalam Lawyer, 2007,
hlm 3), yaitu ada bentuk kolaborasi formal dan informal. Kolaborasi formal
mempunyai karakteristik yaitu mempunyai peraturan, petunjuk, tehnik dan biasanya
dilakukan oleh administrator sekolah. Bentuk kolaborasi formal antara lain teaching
teams (tim guru), axchanging classes (pertukaran kelas), co-teaching (mengajar
bersama), peer coaching (mengajar sejawat), study group (belajar bersama),
Kolaborasi informal muncul atas inisiatif personal guru, bisa berupa obrolan antara
guru.
2. Konsep Bimbingan dan Konseling Kolaboratif
Bimbingan dan konseling kolaboratif (BKK) diprakarsai oleh Bertolino dan
Bill O‟Hanlon (2002, hlm.12) menyatakan bahwa konselor bukan sebagai singgle
expert didalam proses konseling. Sumber pemecahan masalah terdapat di masyarakat serta pada jaringan sosial yang diciptakan konselor. Pelaksanaan bimbingan dan konseling perlu melibatkan banyak pihak, seperti guru, orang tua serta ahli lain yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Cook & Frend (dalam Henderson, 2011, hlm.541) menguraikan kolaborasi dalam konseling anak sebagai
berikut. “Collaboration as a style for direct intection between at least two coequal parties voluntaril engaged in sahre decission making as they work toward a
common goal”.
siswanya dengan memberikan kurikulum yang berarti, pengajaran yang efektif, dan dukungan yang diperlukan bagi setiap siswanya.
Pentingnya kolaborasi dalam dunia pendidikan diungkap oleh Lassonde (2010, hlm.6) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalitas pendidik tidak hanya cukup dilakukan melalui workshop, karena kegiatan semacam ini kurang ada tindak lanjut serta tidak selalu diimplementasikan. Kolaborasi yang dilaksanakan dengan melibatkan komponen pendidikan lebih mendukung perkembangan profesionalitas guru dan besar perannya untuk kemajuan sekolah. Lebih jauh ditekankan bahwa pemecahan masalah belajar anak dan masalah pendidikan lainnya jauh lebih efektif bila dilaksanakan secara kolaboratif.
Berangkat dari pendapat diatas, BKK pada dasarnya merupakan kelompok atau tim, karena itu diantara anggota kelompok harus mempunyai tujuan yang sama serta saling berinteraksi satu sama lain dalam mencapai tujuan. Walau antara anggota kelompok mempunyai kesamaan peran tetapi harus ada pemimpin yang mengarahkan jalannya kelompok. Dalam hal ini guru bimbingan dan konseling dapat berperan sebagai pimpinan kelompok.
Keys et al (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 542) menyatakan : Collaborative consultation is a model that actively involve parents, educators, youths, and counselors as equal participants and axperts in problem solving a specific issue...it is the sharing and transaferring of knowledge and information between and among all team members that enables the group to determine and carry out a more comprehensive plan
Berdasar uraian tersebut, dapat dipahami bahwa model kolaborasi antara
konselor sekolah dengan pihak lain yang terkait dapat menghasilkan rencana yang
komprehensif. Kolaborasi merupakan proses mendiskusikan dan berbagi pengetahuan
dan informasi diantara anggota yang terlibat dalam kolaborasi. Lebih jauh Harrison
(2004) menjelaskan peran yang dapat dimainkan kolaborator, yaitu dapat menciptakan
model, tujuan, dan strategi untuk mengembangkan anak dan keluarga. Untuk
memahami perkembangan anak dan problem lainnya, konselor perlu menggunakan
Berkaitan dengan pelaksanaan BKK, Bertolino (2002, hlm, 13) menyatakan
konselor tidak harus memaksakan satu strategi yang telah ditentukan apabila kemudian
ditemukan kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam kondisi demikian konselor
dapat menciptakan berbagai kemungkinan, kreatifitas dan langkah-langkah baru saat
sudah mulai berinteraksi dengan para kolaborator. Lebih jauh Bertolino (2002, hlm.18)
mengemukakan beberapa aspek yang harus diperhatikan konselor agar kolaborasi
meraih hasil yang maksimal.
a. Menyesuaikan, mendukung atau memenuhi kebutuhan klien. b. Menyesuaikan dan memenuhi keinginan klien.
c. Menekankan pada kemampuan, kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki klien.
d. Memaksimalkan lingkungan dan jaringan pendukung yang ada di sekitar klien. e. Memperhatikan perubahan spontan yang mungkin terjadi pada proses
kolaborasi.
f. Menekankan pada empati, penghormatan dan kejujuran diri klien. g. Meningkatkan keinginan, harapan dan kontrol diri klien.
h. Berkontribusi terhadap harga diri, rasa percaya diri dan pemahaman klien. Dalam dunia pendidikan Lassonde (2010 : 4) mengemukakan pentingnya
kolaborasi yaitu “...are finding that the process privides professional delevopment opportunities for them to reflect on their practic and learn nes knowledge”. Kelompok
akan membaca dan sharing ide tentang berbagai informasi baru. Lassonde (2010, hlm
6-7) menguraikan tujuan kolaborasi dalam dunia pendidikan yaitu : 1) advancing student
learning, 2) mengeksplorasi beberapa pilihan, pandangn baru dan ide, 3) mempelajari
metode dan pendekatan baru to advance our teaching, menemukan pengetahuan dan
keterampilan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum, 4) menemukan
pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran
praktis di kelas. Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi berdampak pada peningkatan
profesionalitas guru, kepuasan hidup perbaikan dalam kegiatan belajar mengajar dan
perubahan sekolah secara menyeluruh. USDOE Departemen Pendidikan AS (dalam
Lassonde, 2010, hlm.7) mempertegas manfaat dari sebuah kolaborasi dalam dunia
pendidikan yaitu : 1) meningkatkan pengetahuan guru, 2) districtwide improvment plan,
mengembangkan keterampilan guru dalam mengelola kelas 5) membantu guru
mengintepretasi dan menggunakan data asasmen dalam kegiatan mengajar di kelas.
Sawyer (2007, hlm.4) menambahkan bahwa tolok ukur keberhasilan kolaborasi adalah
persepsi guru tentang lingkungan sekolah serta peningkatan pengalaman guru dalam
mengajar.
Sawyer (2007, hlm.2) kolaborasi guru bertujuan meningkatkan kapasitas guru,
memberikan kesempatan untuk meningkatkan profesionalitas dalam parameter
lingkungan sekolah dan yang paling utama adalah untuk meningkatkan profesionalitas
dan dan kepuasan guru. Horn (dalam Sawyer, 2007, hlm 3) menyatakan bahwa
kolaborasi guru merupakan suatu aktifitas untuk menciptakan dasar pengetahuan
pedagogik yang didistribusikan antar guru dalam sebuah sekolah dari pada dilaksanakan
oleh guru secara personal.
Kolaborasi dengan guru dalam proses bimbingan dan konseling merupakan salah
satu implementasi dari prinsip bimbingan yang berbunyi “ bimbingan merupakan usaha
bersama”, bimbingan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab konselor
melainkan juga menjadi tugas kepala sekolah dan guru sebagai team work dalam
kegiatan bimbingan (Yusuf, 2009: 64). Karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling
harus diupayakan agar dapat melibatkan sumber-sumber lain yang mendukung
tercapainya tujuan bimbingan. Bimbingan sebagai usaha bersama mengindikasikan
bahwa proses bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab guru pembimbing,
melainkan juga menjadi tanggung jawab personil sekolah lainnya serta orang tua siswa.
Upaya yang dilakukan secara bersama-sama memungkin pelaksanaan bimbingan
menjadi lebih efektif dan berkesinambungan.
Dieker dan Barnett, (1996, hlm. 7) mengemukakan bahwa: “ The one point that clearly developed from this relationship was that both of us had expertise in many areas,
and combining these skills made both teachers more effective in meeting the needs of all
students”. Salah satu poin yang dikembangkan melalui hubungan (relationship) ini adalah masing-masing memiliki keahlian dalam berbagai bidang dan pengkombinasian
keterampilan-keterampilan ini membuat guru dan orang tua lebih efektif dalam
menemukan kebutuhan-kebutuhan semua siswa. Baik guru maupun orang tua
masing-masing mempunyai kekuatan yang berbeda yang membantu siswa, paduan dua
bagi kemajuan siswa disampaikan oleh Kirk (1986, hlm. 154-156), mengemukakan
bahwa “classroom teachers cannot do everything. They often need the help of support
personel, of parents, counselors and psychologists”. Para guru kelas tidak dapat melakukan segalanya, karena itu memerlukan bantuan personil lain, baik dari psikolog,
konselor sekolah, maupun para orang tua siswa. Hal ini pula yang terjadi pada anak
PAUD dan di lembaga pendikan anak usia dini, paduan kekuatan antara guru dan orang
menjadi modal sukses bagi perkembangan anak.
Harrison (dalam Henderson & Thompson, 2001, hlm. 541) memaparkan tujuan
dari kolaborasi dipusatkan pada hubungan timbal balik dan tretmen. Tujuan pertama
difokuskan pada perkembangan hubungan kerja dengan semua anggota yang
berkolaborasi. Tujuan kedua merujuk pada tretmen, menemukan kemungkinan solusi
yang terbaik untuk klien. Kolaborasi dibutuhkan agar menghasilkan pemecahan masalah
yang efektif. Henderson & Thompson (2011, hlm. 541-542) menuliskan beberapa
pendapat dan hasil penelitian tentang kolaborasi dalam konseling anak, diantaranya
Becicka dalam penelitian yang bertujuan mengembangkan kompetensi emosi dan sosial
anak, juga dilakukan Sink yang dalam kesimpulan penelitiannya menekankan pentingnya
konselor sekolah berkolaborasi baik dengan sekolah maupun komunitas yang lebih luas.
Taylor & Adelman (2000, hlm.201) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan
proses hubungan antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam kontek konseling di
sekolah, Geroski dkk (1997, hlm. 235) menyatakan konselor sekolah dapat menempuh
jalan kolaborasi dengan tim dalam memberikan layanan, hal ini bertujuan mendapatkan
pemahanan yang lebih komprehensif tentang anak. Ketika konselor menangkap
tanda-tanda khusus adanya problem perilaku siswa, kemudian menyiapkan intervensi,
bantuan dan merefer kepada orang yang tepat.
Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76) menyebutkan beberapa
karakteristik kolaborasi sebagai berikut.
a. Landasan kolaborasi adalah sukarela. Kolaborasi akan terjadi kalau ada keterbukaan dan kesiapan untuk berpartisipasi dalam kegiatan.
pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang satu tidak merasa lebih tinggi dari yang lain.
c. Kolaborasi hanya akan terjadi apabila ada tujuan bersama.
d. Penerimaan perbedaan antara anggota kelompok yang dilandasi oleh tujuan bersama diantara mereka.
e. Kolaborasi termasuk tanggungjawab terhadap hasil. Salah satu ciri dari kolaborasi adalah adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai. Walaupun hasil yang dicapai baik atau kurang baik, maka tanggungjawab bersama ini merupakan salah satu ciri kolaborasi.
f. Pihak-pihak yang berkolaborasi mampu menjadi sumber dalam memberikan konstribusi terhadap kegiatan yang dilakukan. Kontribusi ini termasuk partisipasi dalam waktu, keahlian, tempat atau perlengkapan dan asset lainnya. g. Dasar kolaborasi adalah kepercayaan dan interes. Kepercayaan merupakan
salah satu dasar terjadinya kolaborasi. Kepercayaan adalah nilai dari sebuah keputusan. Disamping itu respek dari partisipan merupakan landasan dari sebuah kolaborasi. Jadi pengalaman kolaborasi akan dimiliki apabila ada rasa percaya dan interes dari masing-masing pihak. Landasan ini yang akan membawa kolaborasi yang berhasil dan sukses.
Sementara Brown dkk (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 528)
mengemukakan karakteristik kolaborasi dalam konseling sebagai berikut.
a. Proses problem solving. b. Komunikasi.
c. Kejelasan peran.
d. Membangun hubungan yang menghargai dan saling percaya. e. Menggunakan informasi khusus untuk mencapai tujuan. f. Mendiskusikan sumber-sumber.
g. Mendorong perubahan dan peningkatan.
Suatu kegiatan dapat dikatakan bersifat kolaborasi, apabila dilandasi dengan
kesukarelaan, kesetaraan hubungan, kepercayaan, respek (interes) memiliki tujuan
bersama, adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai dan