• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF UNTUK MENINGKATKAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI DI PAUD KOTA SALATIGA TAHUN 2014 DISERTASI Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Doktor Bimbingan dan Konseling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF UNTUK MENINGKATKAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI DI PAUD KOTA SALATIGA TAHUN 2014 DISERTASI Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Doktor Bimbingan dan Konseling"

Copied!
199
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL BIMBINGAN DAN KONSELING KOLABORATIF

UNTUK MENINGKATKAN PENGENDALIAN

DIRI

ANAK USIA DINI DI PAUD KOTA SALATIGA

TAHUN 2014

DISERTASI

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar

Doktor Bimbingan dan Konseling

PROMOVENDUS

Lilik Sriyanti

NIM 1005076

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

SEKOLAH PASCA SARJANA

(2)

==================================================================

Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk

Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di PAUD

Kota Salatiga Tahun 2014

Oleh

Lilik Sriyanti

Dra, Bimbingan Konseling UKSW Salatiga, 1988

M.Si, Psikologi UGM Yogyakarta, 2002

Sebuah Disertasi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Doktor Pendidikan (Dr.) pada Program Studi Bimbingan dan Konseling

© Lilik Sriyanti

Universitas Pendidikan Indonesia

Maret 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian,

(3)
(4)
(5)

Abstrak

Lilik Sriyanti, 2015. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini di Kota Salatiga Tahun 2014. Disertasi. Dibimbing oleh : Prof. Dr. H. Muh Surya (Promotor); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Kopromotor); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Anggota).

Pengendalian diri merupakan kondisi psikologis yang mempengaruhi terbentuknya perilaku lain. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa perilaku negatif dan destruktif bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Saat ini fenomena kenakalan anak dan remaja sangat memprihatinkan, hal tersebut sesungguhnya dapat direduksi apabila sejak dini anak dilatih untuk mengembangkan pengendalian diri yang baik. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak usia dini mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan cenderung impulsive, sementara pola pengasuhan orang tua dan kerjasama guru–orang tua yang belum tepat. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan mengembangkan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif merupakan kerangka acuan yang digunakan dalam melaksanakan bimbingan dan konseling dengan melibatkan pihak lain yang kompeten terhadap masalah yang dihadapi anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan Reseach and Development (R & D), dengan subjek penelitian sebanyak 27 anak PAUD. Kolaborator yang dilibatkan adalah 3 kepala sekolah, 3 orang guru dan 27 orang tua siswa. Questionaire, observasi, wawancara, tes digunakan sebagai tehnik pengumpul data. Kondisi pengendalian diri anak usia dini sebelum penerapan model dalam kategori rendah dan kolaborasi yang terjalin antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam kategori kurang tepat. Model bimbingan konseling kolaboratif dikembangkan melalui uji pakar, uji kepraktisan serta uji lapangan yang dilakukan secara sistematis dan terencana sehingga menghasilkan model yang dapat meningkatkan pengendalian diri anak. Melalui uji t, Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif terbukti efektif untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini. Berdasar hasil tersebut, direkomendasikan agar lembaga PAUD menerapkan model ini sebagai bagian dari program sekolah, guru BK di PAUD dapat menggunakan esensi model ini untuk mengembangkan aspek perkembangan anak lainnya, peneliti berikutnya dapat mengadopsi model ini pada aspek perkembangan anak lain serta memperbaiki desain penelitian yang digunakan.

(6)

Abstract

Lilik Sriyanti, 2015. Collaborative Guidance and Counseling Model to Improve Early Childhood Self-Control on Salatiga 2014. Dissertation. Supervised by Prof. Dr. H. Muh Surya (Promoter); Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M.Pd. (Copromoter); Prof.Dr.H.Ahmad Juntika Nurihsan, M.Pd. (Member).

Self controlling was a psychological condition which affected the formation of other behaviour. Many research concluded that negative and destructive behaviours were rooted from low self controlling. Nowadays, Juvenile delinquency phenomenon was apprehending, tt actually could be reduced if children were skilled with well self controlling from their early childhood. Other research result showed that early childhood had low self controlling even tended to be impulsive, while parents‟ way in taking them care and the inappropriateness of teacher-parents collaboration. Based on the background, this research was aimed to developed Colaborative Guidance and Counseling Model to increase early childhood self controlling. Colaborative Guidance and Counseling Model was reference framework that was used in conducting guidance and counseling. It involved the other element who knew well problems faced by children. The research was used Reseach and Development (R & D) approach, involved 27 kindergarten students as subject of research. Collaborator were 3 School principals, 4 teachers and 27 parents as informants. Questionnaires, observations, interview, and tests were used in the technique of collecting the data. The condition of early childhood‟s self controlling before the model implemented was low and the collaboration among school principals, teachers and parents was inappropriate. Colaborative Guidance and Counseling Model which was developed through systematic and well-planned expert testing, practical testing and field testing resulted a model that could develop child‟s self controlling and improve collaboration among principals, teachers, and parents. Through t-test, it can be concluded that Colaborative Guidance and Counseling Model was effective to develop early childhood self controlling. Based on the result of the study, it was recommended to all Early Childhood Education to implement this model as part of school program and to guidance and counselling teacher in Early Childhood Education could use the gist of this model to improve other aspect of children development. Then, to the next researcher, this model could be adopted to study the other aspect of children development and to correct the research design which was used.

(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ... ii

Pernyataan Keaslian ... iii

Abstrak ... iv

Kata Pengantar ... vi

Ucapan Terimakasih... viii

Daftar Isi... x

Daftar Tabel ... xv

Daftar Bagan ... xviii

Daftar Grafik ... xix

Daftar Lampiran ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah Penelitian ... 11

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Manfaat Penelitian ... 15

BAB II BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI ... 16

A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 16

1. Konsep Model Kolaborasi ... 16

2. Konsep Bimbingan Konseling Kolaboratif ... 21

B. Anak Usia Dini ... 28

1. Konsep Anak Usia Dini ... 28

2. Karakteristik dan Tugas Perkembangan Anak Usia Dini ... 30

C. Bimbingan Konseling untuk Anak Usia Dini ... 35

1. Hakekat Bimbingan dan Konseling bagi Anak Usia Dini ... 35

(8)

Dini ... 41

4. Permasalahan Perkembangan Anak Usia Dini ... 43

D. Pengendalian Diri ... 45

1. Pengertian dan Fungsi Pengendalian diri ... 45

2. Jenis Pengendalian diri ... 49

3. Faktor yang Mempengaruhi Pengendalian diri ... 53

4. Metode Membentuk Pengendalian diri ... 54

5. Peran orang tua terhadap pembentukan pengendalian diri ... 57

6. Hubungan Pengendalian diri dengan Perkembangan Perilaku Anak ... 58

E. Pentingnya Kolaborasi dalam Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di TK/ PAUD... 60

F. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 65

G. Hipotesis ... 67

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 68

A. Pendekatan dan Metode Penelitian ... 68

B. Langkah Penelitian ... 70

1. Studi Pendahuluan ... 71

2. Merancang Model Hipotetik ... 71

3. Perbaikan Rancangan Model ... 72

4. Uji Coba Lapangan ... 73

5. Tahap Perbaikan Model II ... 73

6. Diseminasi dan Pengembangan Model Akhir ... 74

C. Subjek dan Lokasi Penelitian ... 75

D. Definisi Operasional... 76

1. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 76

2. Pengendalian diri anak usia dini ... 77

E. Pengembangan Instrumen ... 78

1. Kisi-kisi Instrumen ... 78

2. Penimbangan Instrumen ... 85

(9)

F. Teknik Pengumpulan Data ... 89

1. Observasi ... 89

2. Wawancara ... 90

3. Tes ... 91

4. Angket ... 91

G. Teknik Analisis Data ... 92

1. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 92

2. Uji Normalitas ... 92

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 96

A. Hasil Penelitian ... 96

1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 96

a. Profil Pengendalian Emosi Anak Usia Dini ... 97

b. ProfilPengendalian Pikiran Anak Usia Dini ... 99

c. Profil Pengendalian Perilaku Anak Usia Dini ... 101

2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ... 104

3. Proses Pengembangan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 106

a. Model Hipotetik Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 106

b. Validasi Model ... 115

c. Perbaikan Model ... 118

d. Uji Coba Model ... 119

e. Evaluasi Pelaksanaan Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif ... 120

f. Pengembangan Model Akhir ... 122

4. Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling Kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini .. 123

(10)

b. Profil Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan

Orang Tua dalam Pelaksanaan BKK ... 127

c. Waktu dan Tempat Pelaksanaan BKK ... 135

d. Materi Kegiatan BKK ... 136

e. Evaluasi terhadap kegiatan BKK ... 137

5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Uji coba Terbatas ... 139

a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling b. Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru ... 139

c. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua Hasil Uji Coba Terbatas... 142

6. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 147

a. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Guru ... 147

b. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling Kolaborasi dalam Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini Berdasarkan Penilaian Orang Tua .... 153

B. Pembahasan Hasil Penelitian ... 158

1. Profil Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 158

2. Profil Kolaborasi antara Kepala sekolah, Guru dan Orang tua ... 162

(11)

4. Pelaksanaan Kolaborasi antara Kepala Sekolah, Guru dan

Orang Tua ... 169

5. Efektivitas Model Bimbingan dan Konseling kolaboratif untuk Meningkatkan Pengendalian Diri Anak Usia Dini ... 174

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 180

A. Kesimpulan ... 180

B. Implemetasi dan Rekomendasi ... 184

Daftar Pustaka ... 189

(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Dunia pendidikan di Indonesia mempunyai tantangan besar untuk menyiapkan

generasi emas menyambut satu abad kemerdekaan Indonesia tahun 2045 yang akan

datang. Salah satu tantangan yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah

perubahan perilaku peserta didik, bergesernya gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari

harapan pendidik sebagai dampak arus globalisasi dan era informasi yang melanda

seluruh pelosok negeri. Menyiapkan generasi yang yang tangguh, berakhlak mulia,

cakap dan kreatif menjadi tugas utama pendidikan yang harus didukung oleh semua

unsur pendidikan termasuk menjadi tugas bidang Bimbingan dan Konseling. Tugas ini

sejalan dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam

Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan, pasal 3 menyebutkan, bahwa

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat, membentuk manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

(Undang-Undang No. 20, Tahun 2003).

Tercapainya bangsa yang bermartabat, beriman dan bertakwa diperlukan kondisi

mental yang tangguh, yang mampu mengontrol diri agar terhindar dari perilaku yang

tidak bertanggungjawab. Salah satu kondisi mental yang dapat mendukung

terwujudnya bangsa yang bermartabat dan beriman adalah kemampuan seseorang

mengontrol semua perilaku dan tindakannya, atau dikenal dengan pengendalian diri.

Pengendalian diri atau self control merupakan kemampuan untuk menahan keinginan

dan dorongan sesaat yang bertentangan dengan norma atau aturan yang berlaku (Berk,

1993, hlm. 455). Pengendalian diri juga merupakan kemampuan menunda keinginan

(13)

Kemampuan seseorang mengontrol dirinya akan mempengaruhi terbentuknya

perilaku lainnya. Berbagai penelitian dalam psikologi menunjukkan bahwa pengendalian

diri merupakan fungsi psikologis yang sangat penting dan menentukan kesehatan fisik

dan kesehatan mental seseorang (Skinner, 1996, hlm. 549). Skinner menuliskan

berbagai hasil penelitian sebelumnya (Baltes & Baltes, 1986; Fiske & Taylor, 1991;

Thomson & Spacapan, 1991) bahwa pengendalian diri seseorang juga berhubungan

dengan kesuksesan, berhubungan dengan kesehatan, prestasi, motivasi, coping,

kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan atau kegagalan

dalam berbagai aspek kehidupan. Penelitian Finkel & W Keith (2001, hlm. 274-275)

menyimpulkan bahwa pengendalian diri berhubungan dengan kemampuan membangun

hubungan antar pribadi yang romantis dengan pasangan. Hasil yang diterbitkan dalam

Proceedings of the National Academy of Sciences menemukan bahwa pemuda yang

mendapatkan penilaian memiliki kontrol rendah di masa anak-anak, ternyata

menghadapi masalah kesehatan, keuangan dan penyalahgunaan obat terlarang,

memiliki catatan kriminal dan cenderung menjadi orang tua tunggal

(http://www.go4healthylife.com). Penelitian tersebut juga dilakukan terhadap 500

pasangan kembar, ternyata pasangan kembar yang mempunyai pengendalian diri

rendah menunjukkan perilaku merokok lebih awal, terlibat dalam perilaku antisosial dan

mempunyai prestasi rendah di sekolah. Mischel (dalam Mischel, Shoda, & Rodriguez,

2006, hlm. 480), pernah melakukan eksperimen marshmallow terhadap anak usia 4-6

tahun. Anak-anak yang dapat mengontrol dirinya untuk tidak mengambil kue ternyata di

kemudian hari mempunyai prestasi akademik yang lebih tinggi dan mempunyai

lingkungan sosial yang lebih bagus.

Pengendalian diri sangat penting bagi kesuksesan dalam berbagai bidang

kehidupan. Terbentuknya perilaku yang baik, positif dan produktif memerlukan

pengendalian diri yang kuat. Keharmonisan membangun hubungan dengan orang lain,

kebiasaan belajar yang benar, kedisiplinan, perilaku tertib di sekolah dan di masyarakat,

perilaku seksual sehat, serta pembentukan kebiasaan hidup lain dipengaruhi oleh

kemampuan pengendalian diri (self control). Penelitian Tangney, Baumeister, & Boone

(2004) menyimpulkan bahwa pelajar yang mempunyai pengendalian diri tinggi memiliki

penyesuaian diri yang lebih baik, memiliki kemampuan membangun hubungan

interpersonal dan mempunyai prestasi yang lebih baik. Pengendalian diri lebih

(14)

Seligman, 2006, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 72-73). Orang dengan

pengendalian diri tinggi mempunyai kemungkinan kecil untuk mengkonsumsi alkohol,

terlibat dalam tindak kriminalitas serta terhindari dari perilaku nakal, lebih bisa menjaga

kesehatannya dan mempunyai perilaku sehat (Baumeister & Vohs, 2007, hlm. 355).

Orang yang ketika anak-anak yang mempunyai kemampuan menahan diri atau menunda

kepuasan menunjukkan prestasi akademik dan penyesuaian sosial yang lebih baik

(Mischel, dkk. hlm. 478-479).

Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan asosial di kalangan pelajar makin

meningkat. Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan oleh geng,

penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif banyak menghiasi

media elektronik maupun media cetak. Salah satu stasiun televisi memberitakan

beberapa pasang remaja di Samarinda ditemukan mabuk, sementara dua siswa di

lainnya ditemukan sedang berbuat mesum di pinggir jalan (Berita Pagi Trans-7, 4

Pebruari 2013). Beberapa siswa SD melakukan penganiayaan hingga menyebabkan

teman sekelasnya meninggal (Metro Hari Ini, 2014). Fenomena perilaku menyimpang di

kalangan anak dan remaja terlihat dengan beredarnya rekaman video sekelompok siswi

SMP yang sedang berpesta rokok dan minuman keras di Mandar Sulawesi (Liputan Enam

Pagi SCTV, 27 Pebruari, 2013), serta siswa SMP di Semarang melakukan penodongan dan

membacok korbannya untuk mendapatkan handphone (Suara Merdeka, 25 Pebruari

2013). Dua siswa SMP terpaksa harus ujian nasional di tahanan karena ketahuan

mencuri tabung gas elpiji (Merdeka.com, 8 Mei 2014).

Berbagai bentuk pelanggaran dan kejahatan tersebut tidak akan terjadi apabila

sejak dini anak sudah mendapat bimbingan dalam mengembangkan pengendalian

dirinya. Hasil penelitian Childs (2005) terhadap 3907 subjek dari berbagai ras dan etnis di

Florida, menemukan bahwa rendahnya pengendalian diri menjadi prediktor terhadap

tindak kekerasan, temuan ini diperkuat dari hasil penelitian Baron (2003), Evan dkk,

(1997), Burton dkk (1998), yang menyatakan bahawa rendahnya pengendalian diri

menjadi prediksi dari tindak kejahatan dan penggunaan obat terlarang. McMullen (1999,

hlm.28), mendukung temuan diatas bahwa rendahnya pengendalian diri berkaitan

dengan tindak kriminal dan perilaku menyimpang. Sementara Wood dkk (dalam

McMullen 1999, hlm. 29) menemukan pengaruh rendahnya pengendalian diri dengan

(15)

tersebut dipertajam oleh pandangan Messina dan Messina (2006) yang menyatakan

bahwa self-destructive bersumber dari pengendalian diri yang rendah. Selain

berhubungan dengan perilaku destruktif, pengendalian diri juga berhubungan dengan

psikopathologi terutama narsisme dan psikopath, sebagai bentuk antisosial (Vaughn,

2007, hlm. 816), serta berkaitan perilaku yang membahayakan seperti bunuh diri, seks

bebas, penggunaan narkoba, ceroboh dalam mengemudi dan kekerasan (Bogg

&Roberts, dalam McCullough & Brian, 2009, hlm. 2).

Layanan bimbingan dan konseling khususnya untuk meningkatkan pengendalian

diri harus mulai dilaksanakan di PAUD agar sejak dini anak belajar tentang perilaku yang

sesuai dengan nilai-nilai kehidupan serta menyiapkan anak untuk mengikuti tugas

belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu alasan pemberian layanan

bimbingan dan konseling bagi anak usia dini adalah berkembangnya paradigma baru

dalam bimbingan dan konseling bahwa target populasi layanan bimbingan dan konseling

saat ini menjadi lebih terbuka dan berada dalam berbagai adegan dan tataran

kehidupan seperti di sekolah, luar sekolah, keluarga, industri dan bisnis, rumah sakit dan

lembaga pemasyarakatan, untuk semua rentang perkembangan mulai dari kanak-kanak

sampai usia lanjut, dan diperuntukkan bagi individu yang normal maupun yang

berkebutuhan khusus (Kartadinadata, 2001, hlm. 7).

Bimbingan dan konseling merupakan layanan bantuan yang diberikan pada

berbagai jenis pendidikan dan dalam berbagai seting kehidupan, artinya bimbingan

dan konseling tidak hanya dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, melainkan harus

mulai dikembangkan layanan bimbingan dan konseling pada jalur pendidikan nonformal

yaitu bagi anak PAUD, guru dan orang tua. Hal tersebut sejalan dengan salah satu

prinsip bimbingan yaitu bimbingan dilaksanakan dalam berbagai seting kehidupan,

artinya bimbingan tidak hanya dilaksanakan di sekolah, melainkan bisa berlangsung

dalam seting keluarga, lembaga pemerintah maupun swasta (Departemen Pendidikan

Nasional, 2007, hlm. 203-204). Pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling bagi anak

prasekolah diperkuat adanya ekspektasi kinerja konselor yang sudah dimulai sejak

jenjang Taman-Kanak-kanak, sebagaimana tertuang dalam Rambu-rambu

Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal, bahwa

ekspektasi kinerja konselor sudah dimulai sejak jenjang Taman Kanak-kanak hingga

(16)

Pelaksanaan bimbingan dan konseling di PAUD sebagai aktualisasi penyiapan

generasi emas tahun 2045 nanti. Kemendikbud mempunyai agenda besar menyiapkan

generasi emas sebagai hadiah seratus tahun kemerdekaan Indonesia tahun 2045

melalui gerakan PAUDisasi. Grand design pendidikan Indonesia yang diagendakan

adalah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan anak usia dini, karena anak

usia PAUD saat ini nanti yang akan memimpin bangsa, menggantikan generasi tua di

tahun 2045 nanti (http://www.mediaindonesia.com).

Salah satu bentuk perhatian terhadap anak usia dini adalah memberikan layanan

bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian dirinya. Pengendalian diri

sudah harus dilatihkan sejak usia prasekolah, hal ini karena berbagai literatur

menyatakan bahwa pengendalian diri anak usia ini masih rendah dan cenderung

impulsive (Logue, 1995, hlm.8; Hurlock 1978, hlm. 208-209)). Hasil survei di TK/PAUD

Kota Salatiga (2012) tentang perilaku yang sering muncul pada anak , dari 35 orang guru

TK/RA/PAUD, 85% menyatakan anak sering berebut mainan dan tidak mau mengalah,

75 % menyatakan anak sering mengganggu anak lain, 65 % tidak patuh, 78 %

menyatakan anak sering menyela pembicaraan, 56 % menyatakan

berteriak/mengumpat pada saat marah. Perilaku lain seperti mengejek teman,

melempar benda pada saat marah, berkelahi, tidak sabar menunggu giliran merengek

untuk mendapatkan sesuatu,tidak mau melaksanakan tugas dan tidak mau merapikan

barang pribadinya dinyatakan kadang-kadang muncul pada anak.

Sementara hasil survei terhadap 150 orang tua siswa TK/RA/PAUD di Salatiga dan

sekitarnya, 85% menyatakan anak sering tidak mau mengalah, 73% menyatakan anak

sering berkelahi, 60 % menyatakan anak sering menangis untuk menyatakan keinginan,

sementara 80 % orang tua menyatakan anak tidak mau merapikan barang miliknya, 75%

kadang-kadang anak tidak sabar menunggu giliran, 75 % anak tidak mau mengerjakan

tugas hingga selesai, 75% kadang-kadang anak berteriak-teriak untuk menyatakan

keinginan. Berdasar hasil survei tersebut menunjukkan anak usia prasekolah

mempunyai pengendalian diri yang cenderung rendah.

Berbagai perilaku yang muncul pada anak usia PAUD tersebut menjadi tantangan

bagi guru dan orang tua. Kadarharutami (2011, hlm. 19-22) menuliskan tantangan

dalam mengasuh anak usia dini antara lain anak sangat aktif, tidak bisa diam, sering

(17)

emosinya, belum bisa mematuhi jadwal kegiatan rutin dan mulai suka melawan atau

menghindar bila diminta melakukan sesuatu. Tidak semua orang tua dan guru

menggunakan cara yang tepat dalam mengatasi beberapa perilaku anak yang tidak

sejalan dengan harapan guru dan orang tua. Hasil surve terhadap 30 guru dan 150 orang

tua PAUD di Salatiga dan sekitarnya, 75 % orang tua menyatakan tidak berusaha mencari

penyebab kemarahan anak, 74% guru menyatakan hal yang sama. 75 % orang tua dan

49 % guru menyatakan sering kesulitan untuk membuat anak tertib, 73 % orang tua

menyatakan ikut jengkel ketika anak marah-marah, sementara 68 % guru menyatakan

sering hanya bisa bersabar dalam menghadapi kenakalan anak. 78 % orang tua sering

mengalah untuk mengerjakan tugas anak ketika anak tidak mau mengerjakan, 71 %

kadang-kadang membentak apabila anak tidak patuh, 64 % kadang memukul bila anak

sulit diatur, 60% guru menyatakan kadang-kadang mengalah merapikan mainan anak,

57% kadang-kadang membentak apabila anak membuat keributan, 57% kadang-kadang

mendidik kedisiplinan secara paksa, 68 % guru menyatakan kadang-kadang sulit

mengatasi anak yang rewel di kelas, 56 % guru sering tidak ada waktu untuk mencari

sumber penyebab kenakalan anak.

Perilaku yang tidak mendapatkan penanganan dengan tepat dapat menimbulkan

problem perilaku yang lebih komplek juga dapat menimbulkan kekacauan di dalam

kelas, suasana pembelajaran menjadi kurang kondusif sehingga perlu penanganan

secara seksama. Hasil penelitian Morey dkk. (ACA, 2006) menyimpulkan bahwa

bimbingan dan konseling dapat mengatasi kekacauan di dalam kelas. Morrison (2012,

hlm. 344) mengupas beberapa hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa akar dari

kenakalan dan perilaku menyimpang ada dalam usia dini.

Bimbingan dan konseling untuk membentuk pengendalian diri anak pada usia

dini sangat penting sebagai fondasi terbentuknya perilaku baik yang berguna bagi

perkembangan anak sebagai totalitas. Sholehuddin (2010, hlm. 108) menyatakan

bahwa pendidikan untuk anak usia dini merupakan fondasi yang kuat bagi

terbentuknya generasi yang berkualitas.

Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini merupakan program krusial yang

harus dilaksanakan karena lima tahun pertama kehidupan anak merupakan masa emas

yang paling tepat bagi pembentukaan kepribadian. Pengasuhan anak pada lima tahun

(18)

diri sebagai salah satu aspek dari perkembangan emosi dan sosial merupakan faktor

penting bagi kesiapan anak masuk sekolah dari pada keterampilan akademis (Johnson,

Gallagher, Cook, & Wong; Lin, Lawrence, and Gorrell; Piotrkowski, Botsko & Matthews;

Wesley & Buysse dalam Muelle, 2010, hlm. 1). Freud (dalam Corey, 2005, hlm. 13)

mengatakan bahwa perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya

berpengaruh terhadap perkembangan anak di masa mendatang. Lima tahun pertama

menjadi peletak dasar bagi perkembangan anak di masa berikutnya. Usia prasekolah

berada pada fase emas perkembangan, yang perlu mendapat perhatian seksama.

Kehidupan awal masa anak menjadi fondasi bagi penyesuaian terhadap kehidupan

berikutnya (Hurlock, 1978, hlm. 151). Muelle (2010, hlm. 50) menyatakan bahwa

pengendalian diri sebagai salah satu spektrum dari perkembangan sosial dan emosi

dapat menjadi prediksi keberhasilan akademik anak di Taman Kanak-kanak hingga kelas

tiga. Muelle (2010, hlm. 19) menyatakan bahwa kemampuan mengontrol diri, bekerja

dengan anak-anak lainnya, mengatasi konflik, bekerja dalam kelompok merupakan

syarat kesiapan anak masuk sekolah. Kadarharutami (2011, hlm. 16-18) menuliskan

bahwa belajar menunda dan pengendalikan keinginan, menunjukkan perasaan dengan

cara yang sehat, berani mengemukakan keinginan merupakan sebagian kemampuan

yang harus diajarkan pada anak usia dini.

Pentingnya melatih pengendalian diri anak prasekolah juga muncul dari orang tua

dan guru sebagai pribadi yang banyak mengetahui perilaku anak atau muridnya

sehari-hari. Muelle (2010, hlm.1) mengutip berbagai hasil penelitian menyimpulkan bahwa

guru memandang kesiapan anak masuk Taman Kanak-kanak dan sukses belajar di

Taman Kanak-kanak apabila anak menunjukkan kemampuan mengontrol diri seperti

dapat bekerja secara mandiri, mengikuti aturan di kelas, menunjukkan keterampilan

sosial yang positif, dapat bermain dengan anak lain dengan baik dan dapat

mengkomunikasikan perasaannya. Baik orang tua maupun guru merasa bahwa

keterampilan sosial merupakan kemampuan paling penting bagi anak agar siap dan

sukses masuk sekolah (Piotrkowski, dkk. dalam Muelle, 2010, hlm. 18). Pentingnya aspek

pengendalian diri bagi anak usia dini juga terbukti dari hasil penelitian McAllister, dkk.

(dalam Muelle, 2010, hlm. 19), menyatakan orang tua siswa merasa bahwa keterampilan

(19)

dengan kemampuan dalam bidang akademik dan berpikir sebagai syarat kesiapan

belajar sekolah.

Pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia prasekolah perlu melibatkan

beberapa pihak agar hasil dicapai lebih optimal. Orang tua dan guru adalah dua pribadi

yang lebih dekat dengan anak dan berinteraksi lebih intensif, karena itu melibatkan

guru dan orang tua dalam pelaksanaan bimbingan akan mengefektifkan tercapainya

tujuan bimbingan dan konseling. Efektivitas bimbingan dan konseling kolaboratif sudah

dibuktikan dari hasil penelitian Ginintasasi (2012) bahwa bimbingan dan konseling

kolaboratif efektif bagi penanganan anak autis, hasil penelitian Hidayat (2010)

menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan keterampilan belajar siswa,

serta Soendari (2011) menyimpulkan bimbingan kolaboratif dapat meningkatkan

perilaku adaptif anak tunagrahita ringan di Sekolah Dasar. Demikian juga dengan

penelitian Becicka (2000) menyimpulkan bahwa kolaborasi konselor dengan guru dapat

meningkatkan kompetensi sosial siswa. Penelitian terbaru dilakukan oleh Chotijah

(2013) berhasil membuktikan bahwa bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk

meningkatkan prestasi belajar anak dengan kesulitan belajar. Proses pendidikan di

sekolah yang dilaksanakan secara kolaboratif didukung oleh pandangan Lassonde (2010,

hlm. 4-5) yang menyatakan bahwa kegiatan pendidikan yang dilaksanakan secara

kolaboratif dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan dapat berkembang secara

profesional. Lassonde menuliskan : “ We can and must make collaborative learning a priority in our profesional development. Collaboration with interested colleagues can

help us overcome those not-enough time feelings”.

Kolaborasi dalam layanan pendidikan di Taman Kanak-kanak, khususnya antara

guru dan orang tua menjadi sangat penting dan mendesak karena selama ini kerjasama

antara pihak sekolah dengan orang tua belum berjalan optimal. Hal ini dibuktikan

dengan hasil surve di 20 TK di Salatiga dan sekitarnya terungkap bahwa kerjasama

antara guru dengan orang tua masih belum serasi, artinya langkah pendidikan dan

penanganan terhadap persoalan yang dihadapi anak masih jalan sendiri-sendiri. Tujuh

orang guru dari 20 TK//RA menyatakan gaya pengasuhan orang tua sering tidak sejalan

dengan program sekolah, tiga orang guru menyatakan orang tua sering tidak mau

menerima apabila mendapatkan laporan tentang perilaku yang kurang baik pada anak.

(20)

kebingungan dalam diri anak tentang apa yang harus dilakukan. Kurangnya kerjasama

antara orang tua dengan guru juga terlihat dari tidak kembalinya beberapa angket yang

diberikan oleh pihak sekolah kepada orang tua. Keserasian cara membimbing antara

guru dengan orang tua akan meningkatkan efektivitas hasil bimbingan. Sebagaimana

hasil penelitian Sholehuddin (2010, hlm. 117-118) yang menyimpulkan bahwa

pembelajaran yang berbasis bimbingan kolaboratif dapat lebih memberdayakan Taman

Kanak- kanak, kolaboratif yang dimaksud dalam penelitian tersebut meliputi peneliti,

guru dan orang tua.

Kaloborasi dalam layanan bimbingan dan konseling berpijak pada salah satu

prinsip bimbingan, yaitu bimbingan sebagai usaha bersama (Departemen Pendidikan

Nasional, 2007, hlm. 203-204), artinya bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab

konselor, melainkan perlu kerjasama antara personil sekolah (guru), orang tua dan

pihak lain. Prayitno (1998, hlm. 27) menyatakan bahwa kerjasama antara guru, guru

pembimbing dan orang tua sangat menentukan hasil pelayanan bimbingan. Pentingnya

kerjasama dalam layanan bimbingan didukung oleh pendapat Dinkmeyer dan Caldwell

(1970, hlm. 4-5) yang menyatakan karena pengaruh orang tua sangat besar dalam

kehidupan anak, maka pelaksanaan bimbingan dan konseling lebih banyak melibatkan

orang tua. Demikian juga dengan pandangan Murro dan Kottman (1995, hlm. 53-54)

mengungkapkan bahwa beberapa jenis layanan bimbingan dan konseling tidak langsung

ditujukan kepada murid melainkan melalui orang tua, guru dan orang dewasa lainnya.

Bimbingan dan Konseling kolaboratif didasari oleh asas keterpaduan (Depertemen

Pendidikan Nasional, 2007, hlm. 2006), hal ini mensyaratkan pelaksanaan bimbingan di

sekolah oleh beberapa pihak yang saling menunjang dan terpadu. Demikian juga dengan

Biasco (dalam Yusuf, 2009: 63) menyatakan bahwa bimbingan akan berlangsung efektif apabila ada kerja sama dengan personil sekolah dan personil di luar sekolah seperti

orang tua siswa dan para spesialis. Bimbingan dan konseling kolaboratif

mengasumsikan bahwa konselor bukan satu-satunya sumber yang dapat mengatasi

persoalan anak (Bertolino dan Bill O’Hanlon , 2002). Kolaborasi akan menyamakan pemahaman antara guru dan dengan orang tua dalam melakukan intervensi terhadap

anak, sehingga tidak terjadi kesenjangan yang dapat merugikan anak. Tujuan kolaborasi

adalah untuk mendapatkan pemecahan masalah yang terbaik dan pemecahan masalah

(21)

konsultasi kolaborasi dapat menghasilkan program yang lebih komprehensif dan

integratif.

Layanan bimbingan dan konseling untuk anak usia dini memerlukan keterlibatan

orang tua atau keluarga, sebagaimana pendapat Henderson dan Thompson (2011, hlm.

528) dalam buku Counseling Children memaparkan pentingnya konselor

mengembangkan upaya meningkatkan kemampuan anak dengan berkolaborasi dengan

orang dewasa lainnya. Demikian juga dengan Gerldard & Geldard (2012, hlm. 3-5)

menuliskan tentang tujuan konseling untuk orang tua dan anak dalam pelaksanaan

konseling anak. Hal yang sama diungkap oleh Morrison (2012, hlm. 88) bahwa keluarga

merupakan lembaga yang paling penting bagi pendidikan dan perkembangan anak dan

orang tua adalah pendidik utama.

Berdasar latar belakang sebagaimana diuraikan sebelumnya maka perlu

dikembangkan model bimbingan dan konseling kolaboratif antara orang tua, guru dan

kepala sekolah untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Saat ini, fenomena perilaku destruktif dan antisosial di kalangan anak dan

remaja makin meningkat. Pemberitaan tentang tawuran antar pelajar, pengeroyokan,

penggunaan obat terlarang, pemerkosaan dan perilaku destruktif lainnya banyak

menghiasi media cetak dan elektronik. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tindak

kejahatan dan perilaku destruktif bersumber dari rendahnya pengendalian diri

seseorang (Evan dkk,; Burton dkk. dalam McMullen 1999, hlm. 28). Bahkan kesehatan

jiwa seseorang, narsisme, psikopath dan perilaku antisosial dipengaruhi oleh

kemampuan seseorang dalam mengontrol dirinya sendiri (Vaughn, 2007, hlm. 81).

(22)

terhadap resiko remaja melakukan perilaku seksual dan penggunaan alkohol. Karakteristik khas anak usia dini berada dalam masa perkembangan dengan

kemampuan yang terbatas dalam berbagai aspek. Pada masa ini berlangsung fase

trotzalter, yang ditandai dengan sikap membangkang, keras kepala, menentang, emosi

meluap-meluap tidak patuh dan cenderung tidak patuh pada orang tua (Kartono, 2000,

hlm. 53-54). Anak usia ini juga mempunyai pengendalian diri yang rendah bahkan

cenderung impulsive (Logue, 1995, hlm. 8), mempunyai daya imitasi yang kuat dan

bersifat egosentris (Hurlock, 1978, hlm. 210 ). Daya imitasi yang kuat memungkinkan

anak meniru perilaku buruk yang ada di sekitar anak, termasuk mengimitasi cara orang

tua merespon situasi yang mengganggu. Karakteristik anak yang keras kepala dan

cenderung membangkang tersebut menuntut strategi dan penanganan yang tepat agar

tidak memicu lahirnya problem perilaku baru yang lebih buruk.

Hasil survei pendahuluan menunjukkan bahwa orang tua dan guru belum

mempunyai kemampuan yang tepat dalam mengatasi berbagai problem perilaku pada

anak serta belum ada kerja sama yang selaras antara sekolah dengan orang tua.

Penanganan yang salah terhadap perilaku anak dapat memicu timbulnya perilaku yang

lebih buruk, yang menghambat perkembangan anak di masa berikutnya. Sementara,

lima tahun kehidupan anak merupakan golden age, peletak dasar kepribadian yang

besar perannya bagi perkembangan anak di masa berikutnya. Dampak buruk gaya

pengasuhan yang salah terbukti dari hasil penelitian Ayunita (2012) terhadap perilaku

anak prasekolah, yang menyimpulkan bahwa perilaku temper tantrum terjadi karena

pengasuhan orang tua yang tidak konsisten serta terjadi karena mengimitasi perilaku

orang tua ketika marah. Demikian juga penelitian Pragoyo dan Hidayati (2011),

menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua yang otoriter berdampak terhadap perilaku

anak.

Bimbingan dan konseling bagi anak usia dini krusial harus dilaksanakan sebagai

upaya menyiapkan generasi emas di tahun 2045 yang akan datang, sebagai mana

dicanangkan sebagai grand design kemendiknas beberapa tahun lalu. Bimbingan dan

konseling bagi anak usia dini ini sebagai realisasi dari ekspektasi kinerja konselor yaitu

bimbingan dan konseling sudah mulai dilaksanakan di jenjang Taman Kanak-kanak, serta

menunjang prinsip bimbingan, bahwa bimbingan dan konseling dapat dilaksanakan

(23)

pendidikan formal maupun nonformal, seting keluarga dan dapat dilaksanakan dalam

lembaga pemerintah maupun swasta, termasuk dapat dilaksanakan di TK/RA. Sementara

ini belum banyak pakar bimbingan dan konseling yang menaruh perhatian pada

pelaksanaan bimbingan dan konseling bagi anak usia dini, khususnya di TK/RA.

Proses pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara guru dan orang tua. Guru tidak bisa melakukan segalanya untuk membantu perkembangan anak yang optimal, karena itu perlu keterlibatan orang tua agar pelaksanaan kegiatan di sekolah berkesinambungan kegiatan anak di rumah. Keterlibatan orang tua juga penting karena waktu anak lebih banyak bersama orang tua di rumah dari pada di sekolah. Sementara ini kerja sama antara orang tua dan guru belum berjalan efektif dan belum optimal (hasil survee pendahuluan). Kerjasama antara pihak sekolah dan orang tua masih belum dilakukan secara sistematis dan terprogram, karena itu perlu adanya bimbingan dan konseling kolaboratif agar proses bimbingan berjalan secara konsisten dan berkesinambungan (Bredekamp, 1996).

C. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Pengendalian diri merupakan soft skill yang penting bagi terbentuknya kepribadian dan sukses hidup seseorang. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa pengendalian diri berkorelasi dengan kesehatan fisik dan kesehatan mental seseorang, menentukan prestasi, motivasi, perilaku koping, kemampuan menyesuaikan diri serta berhubungan dengan keberhasilan dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan perilaku destruktif bersumber dari pengendalian diri yang rendah.

(24)

dalam pengasuhan. Untuk itu perlu bimbingan yang tepat agar dapat mengarahkan perilaku anak sejalan dengan tuntutan guru dan orang tua. Intervensi yang salah terhadap perilaku anak diatas dapat menyebabkan gangguan perilaku yang lebih komplek, yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak di masa berikutnya.

Saat ini masih belum ada kesamaan langkah antara guru dan orang tua dalam penanganan perilaku anak, bahkan orang tua cenderung lebih buruk cara pengasuhannya. Kondisi ini dapat membingungkan anak dalam menentukan perilaku mana yang harus dilakukan. Karena itu diperlukan model bimbingan kolaboratif antara guru dan orang tua agar pelaksanaan bimbingan berjalan konsisten dan berkesinambungan. Penelitian ini berusaha menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.

Secara khusus rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana profil pengendalian diri pada anak usia dini?

2. Bagaimana profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua? 3. Bagaimana proses pengembangan model bimbingan dan konseling

kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini? 4. Bagaimana pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala

sekolah, guru dan orang tua untuk meningkatkan pengendalian diri anak usia dini?

5. Apakah model bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menghasilkan model bimbingan dan konseling kolaboratif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.

(25)

2. Menemukan profil kolaborasi antara kepala sekolah, guru dan orang tua, sebagai dasar penyusunan model bimbingan dan konseling kolaboratif; 3. Mendeskripsikan proses pengembangan model bimbingan dan konseling

kolaboratif yang efektif untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.

4. Mendeskripsikan pelaksanaan bimbingan dan konseling kolaboratif antara kepala sekolah, guru dan orang tua dalam upaya meningkatkan pengendalian diri anak usia dini.

5. Untuk menguji efektivitas model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dapat meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini.

E.Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat baik secara praktis maupun

manfaat teoritis untuk perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang

bimbingan dan konseling anak. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini bermanfaat bagi TK/RA dan lembaga pendidikan anak usia dini lainnya dalam mengembangkan program kegiatan sekolah secara umum, dengan berkolaborasi dengan orang tua;

2. Model bimbingan dan konseling kolaboratif yang dihasilkan dari penelitian ini dapat digunakan sebagai panduan bagi guru bimbingan dan konseling untuk meningkatkan pengendalian diri pada anak usia dini;

3. Temuan penelitian dapat digunakan sebagai rujukan bagi pemerhati anak sebagai salah satu model dalam mengembangkan pengendalian diri anak serta untuk mengembangkan aspek lain melalui kolaborasi dengan orang tua;

4. Hasil penelitian ini manfaat bagi orang tua dalam membantu dan membiasakan anak mengendalikan diri.

(26)

BAB II

BIMBINGAN KONSELING KOLABORATIF DAN PENGENDALIAN DIRI ANAK USIA DINI

A. Model Bimbingan dan Konseling Kolaboratif 1. Konsep Model Kolaborasi

Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) mengemukakan bahwa “model refers to

the representation from which a final product is abstracted of its inherent worth” .

Model menunjuk pada gambaran dari sebuah hasil akhir yang diabstraksikan karena nilai-nilai yang melekat atau telah menjadi sifatnya. Mills et al (1989, hlm. 4) mengemukakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat, sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi oleh model itu. Jadi model atau pola pada hakikatnya merupakan visualisasi atau konstruksi konkret dari suatu konsep. Visualisasi atau konstruksi itu dirumuskan melalui upaya mental berupa cara berpikir (ways of thinking) tertentu untuk melakukan konkretisasi atau fenomena abstrak. Selanjutnya Shertzer & Stone (1982, hlm. 62) menjelaskan komponen-komponen yang terkandung dalam sebuah model, yaitu: historical context, rational, and/or basic assumtion, advantages and disadvantages outcomes and/or implication. Sedangkan Corey (2005 : 10) menggunakan komponen-komponen:

introduction, key concept, the therapeutic, process, aplication: therapeuthic, techniques and pocedures.

Kartadinata (2008) mengemukakan bahwa: “model merupakan perangkat

(27)

demikian, dapat dikatakan bahwa model adalah suatu rencana atau pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu suatu kegiatan tertentu.Dalam konteks pembelajaran, Chauhan (Rochyadi, E. 2010, hlm.

44) mengemukakan bahwa “model of teaching can be defined as an intructional design with describes the process of specifying and producing environment situsional with cause the student to interact in such away that spesific change occurs in the behavior”. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Reigeluth (1999, hlm. 78) mengemukakan bahwa “intructional model is merely a set of strategi components, it is complate method with all of it parts (elementary components) describes in details”. Model pembelajaran merupakan suatu kumpulan tentang

komponen-komponen strategi, hal itu merupakan suatu metode yang lengkap yang menguraikan semua bagian-bagiannya (komponen-komponen dasar) secara rinci.

Pengertian dan komponen model dikemukan oleh Joyce & Weil (2014, hlm. 1) yang menyatakan “a model of teaching is a plan or pattern that can be used to shape curriculum (long-term course of studies) to design instructional materials and to guide instructional in the class room and other settings, selanjutnya Joyce & Weil (2014, hlm. 191-194) mengemukakan enam komponen yang terkandung dalam model pembelajaran: a) orientasi, orientasi model mencakup tujuan, asumsi teoretik, prinsip dan konsep umum, yang terkandung dalam model; b) pentahapan (syntax) gambaran model yang diuraikan dalam serangkaian kegiatan yang konkret di kelas; c) sistem sosial yang dikembangkan, gambaran peran dan hubungan guru-siswa dan norma apa yang mengikat mereka di kelas; d) prinsip-prinsip mereaksi, bagaimana guru menghargai dan merespon siswa; e) sistem penunjang yang diharapkan, gambaran tentang pemanfaatan fasilitas pendukung yang mendorong siswa mudah belajar; dan f) dampak instruksional dan penyerta, dampak yang ditimbulkan baik langsung maupun tidak langsung.

Kolaborasi berasal dari bahasa Inggris ‘collaborate’ yang artinya bekerja sama. Bekerja sama pada umumnya diperlukan dalam sebuah tim dan merupakan cara yang

digunakan para profesional untuk mencapai tujuan bersama, sebagaimana diungkap

(28)

keputusan dari beberapa pengetahuan dan keterampilan yang terpisah-pisah menjadi

lebih sinergi (National Health and Medical Reseach Council, 2010, hlm. 4). Lebih jauh

dijelaskan bahwa kolaborasi tidak sekedar bekerja yang positif yang melibatkan

beberapa profesional, melainkan sebuah cara kerja untuk mengorganisir, melaksanakan

jaringan kerjasama dalam kelompok secara efektif dan komprehensif dengan melibatkan

sumber daya yang tersedia. Curtis dan Van Home (2014, hlm. 160) mendefinisikan

kolaborasi sebagai dua atau lebih orang merencanakan, memecahkan masalah dan

mencapai hasil yang diinginkan. Proses kolaborasi melibatkan tujuan yang sama,

komunikasi dua arah, dan aktivitas kerja sama. Kolaborasi merupakan merupakan

sebuah kerja sama dikemukakan oleh Johnson & Johnson (1987), yang menyatakan

bahwa kerjasama (cooperating, collaborate, joining together) adalah keikutsertaan

individu-individu dalam suatu kegiatan yang membentuk suatu hubungan interpersonal

antar anggota dalam sebuah tim. Individu yang terlibat dalam kolaborasi mempunyai

arah dan tujuan yang tidak berbeda, karenanya tim harus melakukan perencanaan

bersama dan melaksanakannya secara bersama pula, sebagaimana diungkap oleh Idol &

Baran (dalam Schmidt 1999) bahwa: “ in collaboration, planning and implementing are

joint effort”. Keberhasilan sebuah tim memerlukan partisipasi dan keterlibatan secara aktif dari anggota tim. Kolaborasi dalam bimbingan dan konseling juga diarahkan pada

kesamaan tujuan serta keterlibatan secara aktif dari pihak yang berkolaborasi.

Cook & Frend (dalam Frans & Bursuck 1996: 76) mengemukakan beberapa

karakteristik dalam sebuah kolaborasi yaitu : a) adanya kesetaraan hubungan; b) tujuan

bersama; c) tanggung jawab terhadap hasil; d) mampu menjadi sumber; e) kepercayaan,

kerja sama antara antara kolaborator didasarkan pada sikap saling percaya; f)

kepentingan subjek menjadi tujuan utama. Sementara Lassonde (2010,hlm, 3)

menjelaskan bahwa kolaborasi dalam dunia pedidikan bisa dilakukan melalui beberapa

cara yaitu : a) kelompok datang bersama-ama untuk mensuport satu sama lain dalam

suatu komunitas belajar; b) datang secara face to face; c) berkomunikasi secara online

atau menggunakana metode komunikasi lainnya. lebih jauh diuaikan bahwa tujuan dari

kolaborasi adalah untuk menemukan topik yang menarik yang berhubungan kegiatan

belajar mengajar di kelas atau masalah sekolah yang lebih luas, bisa juga membahas

bagaimana siswa belajar, bagaimana cara mengajar yang terbaik, atau isu lain sesuai

(29)

Berdasar berbagai pengertian diatas, model kolaboratif dapat diartikan sebagai

pola kegiatan yang dapat digunakan untuk membentuk, merancang, dan memandu

suatu kegiatan tertentu melalui kerja sama antara beberapa orang yang terlibat dalam

merancang model. Pihak-pihak yang dilibatkan dalam merancang model adalah orang

yang mengetahui tentang substansi masalah yang sedang dikaji. Kolaborasi bisa

melibatkan masyarakat, pakar dalam bidang keahlian tertentu, mahasiswa serta pihak

lain yang dianggap bisa berkontribusi dalam pengembangan model. Dalam penelitian ini

yang dilibatkan dalam kolaborasi adalah orang tua, guru dan kepala sekolah guna

menghasilkan sebuah model bimbingan dan konseling untuk meningkatkan

pengendalian diri anak usia dini. Kolaborasi tidak hanya dilakukan pada saat merancang

konsep model, melainkan terus berlangsung sampai penerapan dan evaluasi. Dalam

aspek penerapan model, diupayakan ada kejelasan peran dan tugas dari masing-masing

kolaborator, dan masing-masing menjalankan peran dan tugasnya secara maksimal

sesuai prinsip kolaborasi.

Dalam dunia pendidikan kolaborasi antar beberapa pihak yang berkompeten

terhadap perkembangan anak sangat dibutuhkan. National Parent Technical Assistance

Center/ NPTAC (2008, hlm. 5) menguraikan manfaat kolaboratif dalam dunia pendidikan

sebagai berikut.

a) Meningkatkan pemahaman mengenai keadaan siswa melalui berbagai sudut pandang yang berbeda.

b) Meningkatkan kemampuan untuk mengatasi hambatan secara lebih luas. c) Membagikan berbagai strategi instruksi kepada sesama anggota kelompok

kolaboratif

d) Berbagi ide mengenai bagaimana memenuhi kebutuhan siswa. e) Meningkatkan konsistensi dan komunikasi.

f) Memaksimalkan waktu yang dimiliki melalui kerja sama dan pengorganisasian sumber daya dan personel yang ada.

g) Saling berbagi keputusan yang diambil. h) Berbagi tanggung jawab.

Ada beberapa model kolaboratif yang digunakan saat ini (NPTAC, 2008: 5). Semua

(30)

baik.Masing-masing model memiliki fungsi spesifik dan berpotensi meningkatkan hubungan

kolaboratif antara orang tua dan guru. Beberapa model yang banyak digunakan adalah

sebagai berikut di bawah ini.

a. Aturan Kelompok (policy groups)

Kelompok (grup) baik lokal daerah tertentu maupun nasional yang biasanya

terdiri dari para profesional dan orang tua yang bersama-sama bertujuan

memecahkan suatu permasalahan tertentu.

b. Program kerja sama orang tua dan profesional (parent-faculty partnership programs)

Program pelatihan bagi para calon guru untuk berkolaborasi dengan para

profesional dan orang tua yang memiliki stabilitas tertentu.

c. Pelatihan (co-training)

Profesional pendidikan khusus dan para orang tua dapat berpartisipasi di

sekolah ataupun lembaga lain dengan memberikan pelatihan, berkomunikasi,

kolaborasi, intervensi perilaku yang positif maupun hal lain terhadap staf sekolah

maupun orang tua lainnya.

d. Analisis materi (material review)

Orang tua (baik perorangan maupun kelompok) dapat me review materi yang

dikembangkan oleh para profesional, dengan tujuan agar materi tersebut dapat

memenuhi kebutuhan para orang tua yang mengikuti pelatihan tertentu.

e. Orang tua sebagai pelatih (parents as trainers)

Orang tua dapat melatih staf sekolah berbagai strategi yang bertujuan

meningkatkan keterlibatan orang tua lainnya, namun, model ini masih cukup sulit

dan jarang dapat terjadi di sekolah-sekolah di Indonesia.

f. Profesional sebagai pelatih (professionals as trainers)

Para profesional dapat berdiskusi dengan kelompok orang tua mengenai

cara-cara efektif yang dapat dilakukan oleh mereka untuk meningkatkan keterlibatannya

dalam pendidikan dan mendukung perkembangan anak-anak mereka.

(31)

resource centers model)

Sebuah lembaga yang memberikan informasi dan pelatihan yang bertujuan

membantu orang tua. Keuntungan lain bagi orang tua adalah dapat berhubungan

dengan orang tua lain yang memiliki permasalahan yang sama, sedangkan bagi para

profesional kegiatan ini dapat memberikan informasi mengenai apa yang dibutuhkan

oleh para orang tua sebenarnya dan bagaimana pendapat mereka terhadap kegiatan

tersebut.

Bentuk kolaborasi lainnya dikemukakan oleh Miskel et.al (dalam Lawyer, 2007,

hlm 3), yaitu ada bentuk kolaborasi formal dan informal. Kolaborasi formal

mempunyai karakteristik yaitu mempunyai peraturan, petunjuk, tehnik dan biasanya

dilakukan oleh administrator sekolah. Bentuk kolaborasi formal antara lain teaching

teams (tim guru), axchanging classes (pertukaran kelas), co-teaching (mengajar

bersama), peer coaching (mengajar sejawat), study group (belajar bersama),

Kolaborasi informal muncul atas inisiatif personal guru, bisa berupa obrolan antara

guru.

2. Konsep Bimbingan dan Konseling Kolaboratif

Bimbingan dan konseling kolaboratif (BKK) diprakarsai oleh Bertolino dan

Bill O‟Hanlon (2002, hlm.12) menyatakan bahwa konselor bukan sebagai singgle

expert didalam proses konseling. Sumber pemecahan masalah terdapat di masyarakat serta pada jaringan sosial yang diciptakan konselor. Pelaksanaan bimbingan dan konseling perlu melibatkan banyak pihak, seperti guru, orang tua serta ahli lain yang terkait dengan masalah yang dihadapi. Cook & Frend (dalam Henderson, 2011, hlm.541) menguraikan kolaborasi dalam konseling anak sebagai

berikut. “Collaboration as a style for direct intection between at least two coequal parties voluntaril engaged in sahre decission making as they work toward a

common goal”.

(32)

siswanya dengan memberikan kurikulum yang berarti, pengajaran yang efektif, dan dukungan yang diperlukan bagi setiap siswanya.

Pentingnya kolaborasi dalam dunia pendidikan diungkap oleh Lassonde (2010, hlm.6) yang menyatakan bahwa untuk meningkatkan profesionalitas pendidik tidak hanya cukup dilakukan melalui workshop, karena kegiatan semacam ini kurang ada tindak lanjut serta tidak selalu diimplementasikan. Kolaborasi yang dilaksanakan dengan melibatkan komponen pendidikan lebih mendukung perkembangan profesionalitas guru dan besar perannya untuk kemajuan sekolah. Lebih jauh ditekankan bahwa pemecahan masalah belajar anak dan masalah pendidikan lainnya jauh lebih efektif bila dilaksanakan secara kolaboratif.

Berangkat dari pendapat diatas, BKK pada dasarnya merupakan kelompok atau tim, karena itu diantara anggota kelompok harus mempunyai tujuan yang sama serta saling berinteraksi satu sama lain dalam mencapai tujuan. Walau antara anggota kelompok mempunyai kesamaan peran tetapi harus ada pemimpin yang mengarahkan jalannya kelompok. Dalam hal ini guru bimbingan dan konseling dapat berperan sebagai pimpinan kelompok.

Keys et al (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 542) menyatakan : Collaborative consultation is a model that actively involve parents, educators, youths, and counselors as equal participants and axperts in problem solving a specific issue...it is the sharing and transaferring of knowledge and information between and among all team members that enables the group to determine and carry out a more comprehensive plan

Berdasar uraian tersebut, dapat dipahami bahwa model kolaborasi antara

konselor sekolah dengan pihak lain yang terkait dapat menghasilkan rencana yang

komprehensif. Kolaborasi merupakan proses mendiskusikan dan berbagi pengetahuan

dan informasi diantara anggota yang terlibat dalam kolaborasi. Lebih jauh Harrison

(2004) menjelaskan peran yang dapat dimainkan kolaborator, yaitu dapat menciptakan

model, tujuan, dan strategi untuk mengembangkan anak dan keluarga. Untuk

memahami perkembangan anak dan problem lainnya, konselor perlu menggunakan

(33)

Berkaitan dengan pelaksanaan BKK, Bertolino (2002, hlm, 13) menyatakan

konselor tidak harus memaksakan satu strategi yang telah ditentukan apabila kemudian

ditemukan kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam kondisi demikian konselor

dapat menciptakan berbagai kemungkinan, kreatifitas dan langkah-langkah baru saat

sudah mulai berinteraksi dengan para kolaborator. Lebih jauh Bertolino (2002, hlm.18)

mengemukakan beberapa aspek yang harus diperhatikan konselor agar kolaborasi

meraih hasil yang maksimal.

a. Menyesuaikan, mendukung atau memenuhi kebutuhan klien. b. Menyesuaikan dan memenuhi keinginan klien.

c. Menekankan pada kemampuan, kebutuhan dan sumber daya yang dimiliki klien.

d. Memaksimalkan lingkungan dan jaringan pendukung yang ada di sekitar klien. e. Memperhatikan perubahan spontan yang mungkin terjadi pada proses

kolaborasi.

f. Menekankan pada empati, penghormatan dan kejujuran diri klien. g. Meningkatkan keinginan, harapan dan kontrol diri klien.

h. Berkontribusi terhadap harga diri, rasa percaya diri dan pemahaman klien. Dalam dunia pendidikan Lassonde (2010 : 4) mengemukakan pentingnya

kolaborasi yaitu “...are finding that the process privides professional delevopment opportunities for them to reflect on their practic and learn nes knowledge”. Kelompok

akan membaca dan sharing ide tentang berbagai informasi baru. Lassonde (2010, hlm

6-7) menguraikan tujuan kolaborasi dalam dunia pendidikan yaitu : 1) advancing student

learning, 2) mengeksplorasi beberapa pilihan, pandangn baru dan ide, 3) mempelajari

metode dan pendekatan baru to advance our teaching, menemukan pengetahuan dan

keterampilan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum, 4) menemukan

pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran

praktis di kelas. Lebih jauh dijelaskan bahwa kolaborasi berdampak pada peningkatan

profesionalitas guru, kepuasan hidup perbaikan dalam kegiatan belajar mengajar dan

perubahan sekolah secara menyeluruh. USDOE Departemen Pendidikan AS (dalam

Lassonde, 2010, hlm.7) mempertegas manfaat dari sebuah kolaborasi dalam dunia

pendidikan yaitu : 1) meningkatkan pengetahuan guru, 2) districtwide improvment plan,

(34)

mengembangkan keterampilan guru dalam mengelola kelas 5) membantu guru

mengintepretasi dan menggunakan data asasmen dalam kegiatan mengajar di kelas.

Sawyer (2007, hlm.4) menambahkan bahwa tolok ukur keberhasilan kolaborasi adalah

persepsi guru tentang lingkungan sekolah serta peningkatan pengalaman guru dalam

mengajar.

Sawyer (2007, hlm.2) kolaborasi guru bertujuan meningkatkan kapasitas guru,

memberikan kesempatan untuk meningkatkan profesionalitas dalam parameter

lingkungan sekolah dan yang paling utama adalah untuk meningkatkan profesionalitas

dan dan kepuasan guru. Horn (dalam Sawyer, 2007, hlm 3) menyatakan bahwa

kolaborasi guru merupakan suatu aktifitas untuk menciptakan dasar pengetahuan

pedagogik yang didistribusikan antar guru dalam sebuah sekolah dari pada dilaksanakan

oleh guru secara personal.

Kolaborasi dengan guru dalam proses bimbingan dan konseling merupakan salah

satu implementasi dari prinsip bimbingan yang berbunyi “ bimbingan merupakan usaha

bersama”, bimbingan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab konselor

melainkan juga menjadi tugas kepala sekolah dan guru sebagai team work dalam

kegiatan bimbingan (Yusuf, 2009: 64). Karena itu, pelaksanaan bimbingan dan konseling

harus diupayakan agar dapat melibatkan sumber-sumber lain yang mendukung

tercapainya tujuan bimbingan. Bimbingan sebagai usaha bersama mengindikasikan

bahwa proses bimbingan bukan hanya menjadi tanggung jawab guru pembimbing,

melainkan juga menjadi tanggung jawab personil sekolah lainnya serta orang tua siswa.

Upaya yang dilakukan secara bersama-sama memungkin pelaksanaan bimbingan

menjadi lebih efektif dan berkesinambungan.

Dieker dan Barnett, (1996, hlm. 7) mengemukakan bahwa: “ The one point that clearly developed from this relationship was that both of us had expertise in many areas,

and combining these skills made both teachers more effective in meeting the needs of all

students”. Salah satu poin yang dikembangkan melalui hubungan (relationship) ini adalah masing-masing memiliki keahlian dalam berbagai bidang dan pengkombinasian

keterampilan-keterampilan ini membuat guru dan orang tua lebih efektif dalam

menemukan kebutuhan-kebutuhan semua siswa. Baik guru maupun orang tua

masing-masing mempunyai kekuatan yang berbeda yang membantu siswa, paduan dua

(35)

bagi kemajuan siswa disampaikan oleh Kirk (1986, hlm. 154-156), mengemukakan

bahwa “classroom teachers cannot do everything. They often need the help of support

personel, of parents, counselors and psychologists”. Para guru kelas tidak dapat melakukan segalanya, karena itu memerlukan bantuan personil lain, baik dari psikolog,

konselor sekolah, maupun para orang tua siswa. Hal ini pula yang terjadi pada anak

PAUD dan di lembaga pendikan anak usia dini, paduan kekuatan antara guru dan orang

menjadi modal sukses bagi perkembangan anak.

Harrison (dalam Henderson & Thompson, 2001, hlm. 541) memaparkan tujuan

dari kolaborasi dipusatkan pada hubungan timbal balik dan tretmen. Tujuan pertama

difokuskan pada perkembangan hubungan kerja dengan semua anggota yang

berkolaborasi. Tujuan kedua merujuk pada tretmen, menemukan kemungkinan solusi

yang terbaik untuk klien. Kolaborasi dibutuhkan agar menghasilkan pemecahan masalah

yang efektif. Henderson & Thompson (2011, hlm. 541-542) menuliskan beberapa

pendapat dan hasil penelitian tentang kolaborasi dalam konseling anak, diantaranya

Becicka dalam penelitian yang bertujuan mengembangkan kompetensi emosi dan sosial

anak, juga dilakukan Sink yang dalam kesimpulan penelitiannya menekankan pentingnya

konselor sekolah berkolaborasi baik dengan sekolah maupun komunitas yang lebih luas.

Taylor & Adelman (2000, hlm.201) menyatakan bahwa kolaborasi merupakan

proses hubungan antara sekolah, keluarga dan masyarakat. Dalam kontek konseling di

sekolah, Geroski dkk (1997, hlm. 235) menyatakan konselor sekolah dapat menempuh

jalan kolaborasi dengan tim dalam memberikan layanan, hal ini bertujuan mendapatkan

pemahanan yang lebih komprehensif tentang anak. Ketika konselor menangkap

tanda-tanda khusus adanya problem perilaku siswa, kemudian menyiapkan intervensi,

bantuan dan merefer kepada orang yang tepat.

Cook and Frend (dalam Frans dan Bursuck, 1996, hlm. 76) menyebutkan beberapa

karakteristik kolaborasi sebagai berikut.

a. Landasan kolaborasi adalah sukarela. Kolaborasi akan terjadi kalau ada keterbukaan dan kesiapan untuk berpartisipasi dalam kegiatan.

(36)

pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang satu tidak merasa lebih tinggi dari yang lain.

c. Kolaborasi hanya akan terjadi apabila ada tujuan bersama.

d. Penerimaan perbedaan antara anggota kelompok yang dilandasi oleh tujuan bersama diantara mereka.

e. Kolaborasi termasuk tanggungjawab terhadap hasil. Salah satu ciri dari kolaborasi adalah adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai. Walaupun hasil yang dicapai baik atau kurang baik, maka tanggungjawab bersama ini merupakan salah satu ciri kolaborasi.

f. Pihak-pihak yang berkolaborasi mampu menjadi sumber dalam memberikan konstribusi terhadap kegiatan yang dilakukan. Kontribusi ini termasuk partisipasi dalam waktu, keahlian, tempat atau perlengkapan dan asset lainnya. g. Dasar kolaborasi adalah kepercayaan dan interes. Kepercayaan merupakan

salah satu dasar terjadinya kolaborasi. Kepercayaan adalah nilai dari sebuah keputusan. Disamping itu respek dari partisipan merupakan landasan dari sebuah kolaborasi. Jadi pengalaman kolaborasi akan dimiliki apabila ada rasa percaya dan interes dari masing-masing pihak. Landasan ini yang akan membawa kolaborasi yang berhasil dan sukses.

Sementara Brown dkk (dalam Henderson & Thompson, 2011, hlm. 528)

mengemukakan karakteristik kolaborasi dalam konseling sebagai berikut.

a. Proses problem solving. b. Komunikasi.

c. Kejelasan peran.

d. Membangun hubungan yang menghargai dan saling percaya. e. Menggunakan informasi khusus untuk mencapai tujuan. f. Mendiskusikan sumber-sumber.

g. Mendorong perubahan dan peningkatan.

Suatu kegiatan dapat dikatakan bersifat kolaborasi, apabila dilandasi dengan

kesukarelaan, kesetaraan hubungan, kepercayaan, respek (interes) memiliki tujuan

bersama, adanya tanggungjawab bersama terhadap keputusan hasil yang dicapai dan

Gambar

Tabel 3.2
Tabel 3.3 Kisi-kisi Pedoman Observasi Kegiatan Guru
Tabel 3.4
Tabel 3.6
+7

Referensi

Dokumen terkait

1 Penyampaian atau penjelasan guru tentang cara bermain estafet  Penyampai an atau penjelasan guru cukup karena sebagian anak masih bermain sendiri, karena posisi guru

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji keefektifan teknik self instruction untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi lisan dalam proses pembelajaran pada

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penggunaan permainan kartu kata dalam pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar Bahasa Indonesia dalam membuat pantun pada siswa

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan kasih dan rahmat-Nya sehingga peneliti memperoleh kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakan

Saya tidak dapat menjelaskan dengan tepat emosi yang sedang saya alami kepada orang lain.. Saya tidak dapat mengontrol rasa marah saya

Luky, Ahmad Isfiantoro 2013 “Pengembangan Media Gambar Gerak Berformat Graphic Interchange Format (GIF) Untuk Mencegah Perilaku Merokok Melalui Layanan Informasi Siswa Kelas XI-IPA-1

Dapat membantu guru dalam proses pembelajaran, memperjelas materi yang disampaikan, meningkatkan kesadaran guru akan pentingnya penggunaan media pembelajaran, dan

Penulisan Skripsi ini membahas tentang “ Hubungan Antara Faktor Pendorong Perilaku Membeli Aksesoris yang Sedang Trend dengan Kepercayaan Diri pada Siswi Jurusan