• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

PERKAWINAN POLIANDRI

(Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

SITI KARIMAH

NIM: 21112006

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)

PERKAWINAN POLIANDRI

(Studi Kasus Di Dusun Canggal Desa Sidoharjo

Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh :

SITI KARIMAH

NIM: 21112006

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(4)

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Penagajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan Hormat, Setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi,maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Siti Karimah

NIM : 211-12-006

Judul :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan

Kabupaten Semarang)

Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Salatiaga, 14 Marer2017

Pembimbing

Dr. Ilyya Muhsin, S.HI.,M.Si

(5)

KEMENTRIAN AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

(6)

PERYATAAN KEASLIAN

Yang bertandatangan di bawah ini

Nama : Siti Karimah

Nim : 211-12-006

Jurusan : Hukum Keluarga Islam

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi :PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal

Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi saya ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 14 Maret 2017 Yang Menyatakan

(7)

MOTTO





Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku,

ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk

Allah, Tuhan semesta alam

(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas limpahan rahmat serta karunian-Nya, skripsi ini penulis persembahkan untuk:

 Bapak dan Mamakku tercinta, Bapak Achwan dan Mamak Umi Salamah

karya ini terangkai dari keringat, air mata dan do’amu berdua. Setiap keringat dan air mata yang keluar karenaku menjelma dalam setiap huruf, setiap do’a yang terpanjat menyatu menyampuli karya hidupku.

 Kakakku yang akubanggakanMbakAprilliaNurLailatunnajah,

perjuanganmumenjadicambukdansemangatku.

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Alhamdulillahhirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang selalu memberikan rahmat serta hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul “PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang)” tanpa halangan yang berarti.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada nabi Agung nabi Akhiruzaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat serta pengikutnya yang senantiasa setia dan menjadikannya suritauladan. Beliaulah yang membawa umat manusia dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang dan semoga kita semua mendapatkan Syawaatnya nanti di yaumul qiyamah, Amin yarobbalalamim.

Penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah tulus ikhlas membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan bayak terima kasih kepada:

1. Dr . Rahmat Haryadi , M.Pd. , selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Dra. Siti Zumrotun, M, Ag. , Selaku Dekan Fakultas Syariah

3. Sukron Ma’mun, M. Si, selaku Ketua Jurusan AhwalAL Syakhshiyyah.

4. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M. Si, selaku dosen pembimbing yang dengan

(10)

5. Seluruh dosen IAIN Salatiga, yang telah memberikan ilmunya yang sangat bermanfaat.

6. Kedua orang tuadankakakpenulis yang

telahmemberikandanmencurahkansegalakemampuannyauntukmemenuhike inginanpenulisuntuktetapbersekolah.

Tanpamerekamungkinkaryainitidakakanpernahada.

7. Kanda, YundadanAdinda di HMI CabangSalatiga yang senantiasa member

masukandanhiburan di saatakulalaidalamperjuanganku.

8. Seluruhteman-temanseperjuanganku di Ahwal Al Syakhshiyyahangkatan

2012

atassegalasemangatdanhiburannyasehinggapenulismampumenyelesaikansk ripsiini.

9. Seluruh teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dan

mendukung dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis sepenuhnya sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang bersifat menbangun sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta pembaca pada umumnya. Amin.

Salatiga, 10Maret 2017

(11)

ABSTRAK

Karimah, Siti. 2017. PerkawinanPoliandri (StudiKasus di

DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten

Semarang). Skripsi.FakultasSyari’ah.JurusanAhwal al Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing: Dr. IlyyaMuhsin, S.HI.,M.Si.

Kata Kunci: perkawinandanpoliandri.

Penelitian ini berusaha menguak fenomena perkawinann terlarang yang

terjadi di masyarakat, perkawinan tersebut adalah perkawinan poliandriyang

dilakukan di Dusun Canggal Desa Sidoharjo. Dalam penelitian ini peneliti meneliti dua keluarga. Pertayaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?, (2) mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang? Dan (3) bagaimana dampak sosiologis, psikologis dan hukum perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?.

Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) dengan

pendekatan sosiologisdanpendekatanhukum.Lokasipenelitianiniberada di DusunCanggalDesaSidoharjoKecamatanSusukanKabupaten

Semarang.Teknikpengumpulan data padapenelitianinidengancaraobservasi, wawancaradandokumentasi.

(12)

DAFTAR ISI

Sampul

LembarBerlogo

Judul ... i

Nota Pembimbing ... ii

PengesahanKelulusan ... iii

Pernyataan Keaslian ... iv

Motto ... v

Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Abstrak ... ix

Daftar Isi ... x

Daftar Tabel ... xiv

Daftar Lampiran ... xv

BAB I PERILAKU PERKAWINAN POLIANDRI (Studi Kasus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang) A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Penegasan Istilah ... 8

(13)

G. Metodologi Penelitian ... 14

H. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI A. PERKAWINAN 1. Pengertian Perkawinan ... 21

2. Perkawinan menurut Hukum Islam... 23

3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia ... 29

B. BENTUK BENTUK KELUARGA 1. Pengertian Keluarga ... 29

2. Bentuk Keluarga ... 31

C. POLIANDRI 1. Pengertian Poliandri ... 37

2. Hukum Poliandri dalam Islam ... 43

3. Hukum Poliandri dalam Perundang-undangan ... 49

4. Poliandri dalam perspektif patologi sosial ... 51

5. Poliandri dalam Psikologi Keluarga Islam... 59

BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIANDRI DI DUSUN CANGGAL DESA SIDOHARJO KECAMATAN SUSUKAN KABUPATEN SEMARANG A. Gambaran Umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo 1. Profil Desa Sidoharjo ... 64

(14)

B. Profil Pelaku Perkawinan Poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang

1. Profil Ibu Mm ... 71

2. Profil Ibu L ... 73

C. Praktik Perkawinan Poliandrdi Dusun Canggal Desa sidoharjo 1. Proses Perkawinan Poliandri Ibu Mm dan Ibu L ... 75

2. Bentuk Perkawinan Poliandri ... 81

D. Faktor-faktor Penyebab Perkawinan Poliandri 1. Faktor Ekonomi ... 87

2. Faktor Administrasi ... 90

3. Faktor Usia ... 91

4. Faktor Ketidaktahuan ... 92

BAB IV DAMPAK PERKAWINAN POLIANDRI DARI BERBAGAI SISI A. Dampak Hukum Perkawinan Poliandri 1. Perkawinan Tidak Sah dan Hubungan Suami Istri Dihukumi zina ... 93

2. Perkawinan poliandri dapat dikatakan batal demi hukum ... 95

3. Perkawinan Poliandri Terancam Pidana 9 Bulan ... 96

4. Mendapat Masalah Kependudukan ... 97

B. Dampak Sosiologis Perkawinan Poliandri 1. Hubungan dengan suami PertamaTidak Harmonis ... 100

(15)

3. Mendapat Pertentangan dari Keluarga Kandung maupun

Keluarga Suami ... 102

4. Hubungan dengan Anak Kandung dari Suami Pertama maupun

Keluarga Kandung Terputus ... 103

5. Menjauh dari Masyarakat dan Mendapat Pengucilan dari

Masyarakat ... 104

C. Dampak Psikologis Perkawinan Poliandri

1. Malu dengan Tetangga ... 108 2. Taku Jika Suami Pertama Tahu ... 108

3. Rindu dan Merasa Bersalah kepada Anak dari Perkawinan

Pertama dan Keluarga Kandung ... 109

4. Tertekan dan Kasihan dengan Anak Hasil Perkawinan Kedua... 110

5. Bingung untuk Konsultasi ... 110 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 115 B. Saran ... 118 DATAR PUSTAKA ... 120

(16)

DAFTAR TABEL

1. Table 2.1 Daftar Informan Penelitian ... 16

2. Table 3.1 Fasilitas Pendidikan di Desa Sidoharjo... 66

3. Table 3. 2 Proful Pelaku Perkawinan Poliandri ... 74

4. Table 3. 3 Bentuk Keluarga Berdasarkan Pemukiman ... 83

5. Table 3. 4 BentukKeluargaBerdasarkanJenisAnggotaKeluarga ... 85

6. Table 3. 5 BentukKeluargaBerdasarkanBentukPerkawinan ... 86

7. Table 3. 6 BentukKeluargaBerdasarkanJenisPerkawinan ... 88

8. Table 4. 3 DampakHukumPerkawinanPoliandri ... 98

9. Table 4. 2 DampakSosiologisPerkawinanPoliandri ... 106

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LampiranI DaftarRiwayatHidup

LampiranII PenunjukanPembimbingSkripsi

LampiranIII PermohonanIzinPenelitian

LampiranIV DaftarNilai SKK

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan di muka bumi ini berpasang-pasangan terdiri dari laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan manusia berpasangan supaya melakukan perkawinan diantara mereka, satu orang laki-laki dengan satu orang perempuan. Firman Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 21 yang berbunyi sebagai berikut:



Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. Ar Rum: 21).

(19)

Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral, namun pada kenyataannya banyak dari kaum laki-laki melakukan perkawinan poligini atau yang sering disebut poligami yaitu perkawinan yang dilakukan dengan lebih dari satu orang perempuan. Praktik perkawinan poligami sudah dipraktikkan sejak sebelum dunia mengenal Islam. Kitab Suci agama-agama Samawi membolehkan perkawinan poligami, seperti agama Yahudi dan Nasrani. Perkawinan semacam inipun dianggap lumrah dikalangan bangsa Arab Jahiliyah, seorang laki-laki mengawini beberapa orang perempuan dan mereka menganggap perempuan-perempuan tersebut sebagai hak milik yang bisa digadaikan dan diperjualbelikan (Anshary, 2010: 85-86).

Pasca Islam datang, tidak lagi menjadikan suatu bentuk perkawinan poligini sebagai hukum yang wajib dan tidak pula mengharamkannya. Syariat Islam memberikan batasan kebolehan poligini hanya sampai empat orang dan memberikan syarat-syarat yang ketat pula seperti berlaku adil diantara para istri. Batasan dan syarat ini termuat dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 3 (Nuruddin, 2004: 157), yang berbunyi:

(20)

An-Sedangkan untuk satu orang perempuan dan banyak laki-laki atau sering disebut dengan poliandri, Islam sendiri melarangnya. Hal tersebut telah dilarang sesuai dengan Firman Allah sebagai berikut:



Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina (QS. An-Nisa:24). Dari ayat diatas jelas sekali bahwa seorang perempuan yang telah menikah diharamkan untuk dinikahi oleh laki-laki lain. Kata selanjutnya yang menyatakan bahwa “kecuali budak-budak yang kamu miliki” namun pada hakekatnya sekarang istilah perbudakan itu telah ditiadakan.

Hukum yang terdapat di Indonesia sendiri juga melarang adanya perkawinan poliandri tersebut, seperti halnya dalam pasal 3 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskan bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(21)

UU No. 1 tahun 1974 seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2) dan 4 UU ini.

Dalam pasal 3 ayat (2) tersebut diterangkan bahwa “pengadilan dapat memberikan izan kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 pada undang-undang ini juga menjelaskan mengenai alasan diperbolehkanya poligami. Sedangkan untuk poliandri tidak termasuk dalam pengecualian asas monogami perkawinan. Yang berarti bahwa dalam undang-undang ini melarang adanya perkawinan poliandri.

Selanjutnya, dalam pasal 40 KHI dinyatakan dilarang

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanta karena sang wanita dalam keadaan:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan

dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan

pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut dapat diambil kesimpulan juga jelas mengharamkan adanya praktik perkawinan poliandri.

(22)

Perkawinan poliandri menurut hukum Islam dan undang-undang di Indonesia sudah jelas melarangnya. Namun, sesuai informasi yang penulis dapat bahwa di Masyarakat Susukan yang notabennya merupakan lingkungan yang kental dengan tradisi Islam mengingat banyaknya pondok yang berada di Kecamatan Susukan ini namun, masih terdapat 6 perempuan yang melakukan praktik perkawinan poliandri terebut. Dari 6 (enam) perempuan tersebut 2 (dua) diantaranya berada di Dusun Canggal Desa Sidoharjo yang merupakan subyek penelitian ini.

Berdasarkan dari latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji dan meneliti secara langsung, bagaimana perilaku perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan. Alasan peneliti mengambil tempat penelitian di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang karena menurut data awal yang didapat bahwa di Dusun Canggal masih terdapat 2 (dua) perempuan yang mlakukan perkawinan poliandri.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa

Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?

2. Mengapa terjadi perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa

(23)

3. Bagaimana dampak hukum, sosiologis dan psikologis perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bagaimana praktik perkawinan poliandri di Dusun

Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab melakukan poliandri di

Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

3. Untuk mengetahui dampak hukum, sosiologis dan psikologis

perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

D. Kegunaan Penelitian

Dalam setiap penelitian tentunya diharapkan dapat berguna bagi peneliti pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Adapun kegunaan dari penelitian ini ialah:

1. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mencegah masyarakat untuk

melakukan praktik perkawinan poliandri.

2. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

(24)

perkawinan sebagai masukan demi terciptanya improvisasi dan reformasi hukum untuk lebih tanggap dan kritis akan adanya perubahan.

3. Dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

keilmuan penulis khususnya dan pembaca pada umumnya terkait perkawinan poliandri.

E. Penegasan Istilah

Untuk mendapatkan kejelasan di atas, perlu disajikan penegasan untuk memberi pemahaman dan batasan istilah yang ada supaya tidak ada kesalahan pemaknaan terhadap konsep kunci dalam penelitian ini.

1. Perkawinan dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1

tahun 1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

2. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang

wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan (Sugihastuti, 2007: 190).

F. Tinjauan pustaka

(25)

penelitian terdahulu ialah untuk melihat persamaan dan perbedaan sebagai bahan perbandingan dan landasan dalam penelitian ini. Adapun penelitian terdahulu ialah:

Penelitian yang pertama ialah penelitian yang dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Syari’ah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dengan judul

DAMPAK SOSIOLOGIS POLA PERKAWINAN POLIANDRI

(studi kasus di Desa Ngasem dan Desa Kranggan Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang). Penelitian tersebut memiliki dua rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana potret pelaku poliandri di Desa Ngasem dan Desa Krangan Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang?. 2. Bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh pola perkawinan poliandri dalam masyarakat?.

Hasil dari penelitian tersebut ialah: Pertama, perkawinan poliandri

(26)

Kedua, perkawinan poliandri yang dilakukan di Desa Krangan dan juga di Desa Ngasem, secrara sosiologis telah menimbulkan dampak negatif berupa keresahan bahkan memicu terjadinya konflik di dalam masyarakat. Selain itu, perkawinan poliandri tersebut dianggap dapat memberikan pengaruh negatif berupa perilaku gonta ganti pasangan yang dilakukan oleh seorang perempuan.

Penelitian yang kedua yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rita Apriliani. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Syari’ah di IAIN

Salatiga, dengan judul “PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA

POLIANDRI” (studi analisis Putusan Nomor 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL). Penelitian tersebut memiliki 3 rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana pandangan fiqih dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap

poliandri?. 2. Bagaiamana pertimbangan pemohon mengajukan

pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara No.

0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?. 3. Bagaimana pertimbangan hakim

Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara pembatalan perkawinan karena poliandri dalam putusan No. 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL?.

Dari penelitian tersebut, peneliti mendapatkan hasil berupa:

(27)

No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 40 dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).

Kedua, dasar pertimbangan pemohon mengajukan pembatalan perkawinan karena didapatkannya tindak poliandri yang dilakukan oleh Termohon II yang mana melanggar Undang-undang, dimana hal tersebut dapat dibatalkan sesuai bunyi pasal 24 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 71 huruf b dalam KHI. Dan kapasitas pemohon mengajukan permohonan tersebut telah sesuai bunyi pasal 23 UU No. Tahun 1974 dan pasal 73 KHI, dimana pemohon sebagi penjabat yang berwenang melakukan pembatalan perkawinan.

Ketiga, dasar pertimbangan Hakim memutus pembatalan perkawinan dalam perkara No. 0661/Pdt.G/2012/PA.SAL adalah sebagai berikut: dari keterangan saksi dan bukti-bukti yang diajukan serta pengakuan dari para Termohon dalam persidangan, maka terbukti bahwa Termohon I dan Termohon II telah melanggar aturan hukum yang harus dipenuhi apabila hendak menikah. Majelis Hakim dalam memutus perkara ini berdasarkan pasal 71 huruf b KHI memutuskan bahwa perkawinan antara Termohon I dan Termohon II dibatalkan, sebagaiamana fakta yang ditemukan Majelis Hakim bahwa dalam perkawinan tersebut Termohon II telah melakukan poliandri.

Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Faizah Yusma. Penelitian tersebut merupakan skripsi Fakultas Hukum di

(28)

POLIANDRI” (Studi putusan Pengadilan Agama No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit). Penelitian tersebut mempunyai dua rumusan masalah yaitu: 1. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan Agama Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit)?. 2. Apakah pembatalan perkawinan poliandri memiliki akibat hukum terhadap anak dan harta perkawinan?.

Dari penelitian tersebut, peneliti mendapat hasil bahwa: Pertama,

yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pembatalan perkawinan poliandri yang diajukan di Pengadilan Agama Situbondo (No. 1299/Pdt.G/2012/PA.Sit) yaitu, Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 24, pasal 3 ayat (1), pasal 9, pasal 28 ayat (2) huruf a dan pasal 22 Undang-undang Perkawinan. Selain pertimbangan-pertimbangan tersebut juga terdapat faktor lain yang dapat menjadikan perkawinan antara pemohon dan termohon dibatalkan oleh majelis hakim Pengadilan Agama Situbondo, yakni termohon tidak pernah hadir selama persidangan, sehingga permohonan pemohon dikabulkan dengan verstek.

(29)

sudah ada perkawinan yang terdahulu tidak akan ada pembagian harta bersama kecuali ditentukan lain oleh kedua belah pihak.

Penelitian selanjutnya ialah penelitian yang dilakukan oleh A. Ja’far. Penelitian tersebut diterbitkan di dalam jurnal Al-‘adalah Vol.10

No.3 tahun 2012 yang mempunyai judul: “LARANGAN MUSLIMAH

POLIANDRI: KAJIAN FILOSOFIS, NORMATIF YURIDIS,

PSIKOLOGIS, DAN SOSIOLOGIS”. Fokus penelitian tersebut ialah larangan Muslimah poliandri ditinjau dari perspektif filosofis, normatif yuridis, psikologis dan sosiologis. Dari hasil penelitian tersebut, peneliti mendapatkan hasil bahwa: dalam perspektif filosofis bahwa poliandri merupakan bentuk perkawinan yang dilarang, karena pada dasarnya bertentangan dengan fitrah atau kodrat sebagai wanita. Sementara dalam perspektif normatif bahwa poliandri hukumnya haram, hal ini berdasarkan dalil Al-Quran surat An-Nisa: 24 dan as-Sunnah hadis riwayat Ahmad. Dalam perspektif yuridis poliandri bertentangan dengan pasal 3 ayat 1, yakni bawa seorang istri hanya boleh menikah dengan seorang suami (asas monogami). Dalam perspektif psikologis bahwa poliandri sangat bertentangan dengan fitrah manusia, bahkan dapat mengganggu ketenangan hati atau jiwa. Dan dalam perspektif sosiologis bahwa poliandri dapat mendatangkan masalah, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, bahkan bertentangan dengan nilai-nilai sosial budaya.

(30)

sebelumnya memiliki fokus yang berbeda, yaitu: pertama,penelitian yang dilakukan oleh Nafisatul Mukhoiyaroh merupakan penelitian studi kasus yang tefokus pada pola perkawinan dan dampak sosiologis perkawinan

poliandri ditinjau dari perspektif patologi sosial. Kedua, penelitian yang

dilakukan oleh Rita Apriliyani merupakan studi putusan yang terfokus kepada hukum poliandri, alasan mengajukan pembatalan perkawinan poliandri dan alasan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam

memutuskan perkara. Ketiga, peneltian yang dilakukan oleh Faizah Yusma

merupakan penelitian studi putusan yang terfokus pada alasan hakim Pengadilan Agama Situbondo dalam memutus perkara dan akibat hukum

dari pembatalan perkawinan. Keempat, penelitian yang dilakukan oleh A.

Ja’far merupakan studi pustaka yang berkaitan dengan perspektif filosofis, normatif yuridis, psikologis dan sosiologis perkawinan poliandri.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti pada penelitian

ini dari penelitian sebelumnya ialah: Pertama, penelitian yang dilakukan

oleh Rita Apriliani, Faizah Yusma dan A. Ja’far merupakan penelitian pustaka, sedangkan penelitian ini merupakan penelitian studi kasus.

(31)

Indonesia dan Hukum Positif di Indonesia, selain dari hal tersebut penelitian ini mengidentifikasi bentuk perkawinan poliandri dengan teori sosiologi keluarga.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian ini ialah penelitian lapangan (field research) yaitu

peneliti terjun langsung ke lapangan guna mengadakan penelitian pada objek yang dibahas (Sutrisno,1981: 4). Pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis dan hukum normatif. Pendekatan sosiologis adalah melakukan penyelidikan dengan cara melihat fenomena masyarakat atau peristiwa sosial, politik dan budaya untuk memahami hukum yang berlaku di masyarakat (Soekanto, 1986: 5). Adapun pendekatan hukum normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada guna mengetahui hukum mengeni perkawinan poliandri (Soekanto, 2009: 13-14).

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data, dimana peneliti dalam meneliti terhadap informan diketahui secara jelas, sehingga antara informan dengan

peneliti terjadi interaksi secara wajar dan menghindari

(32)

3. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terfokus di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang. Alasan peneliti memilih lokasi di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang tersebut karena Dusun Canggal merupakan suatu daerah yang seluruh warganya beragama Islam. Selain karena masyarakat Dusun Canggal yang keseluruhannya beragama Islam juga lokasi Dusun Canggal yang berada tepat di dekat Pondok Pesantren Al Huda Petak dan juga Pondok Pesantren Al Futuh Grabagan, namun di Dusun Canggal masih terdapat dua orang perempuan yang melakukan praktik perkawinan poliandri.

4. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini terfokus pada informan penelitian. Adapun informan kunci dalam penelian ini ialah pelaku perkawinan poliandri, suami dari pelaku poliandri, penghulu yang menikahkan pelaku, keluarga pelaku poliandri dan tetangga sekitar pelaku poliandri yaitu warga Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ialah:

a) Wawancara (interview) yaitu bentuk komunikasi antara dua orang,

(33)

berdasarkan tujuan tertentu (Maslikhah, 2013: 321). Yang diwawancara pada penelitian ini ialah pelaku poliandri dengan menggunakan alat bantu perekam handphone. Adapun informan yang peneliti wawancara pada penelitian ini adalah:

No. Nama Informan Status Informan

1. Ibu Mm Pelaku 1

2. Bapak W Suami kedua pelaku 1

3. Bapak Sh Anak pelaku 1 sekaligus saksi

perkawinan poliandri

4. Ibu L Pelaku 2

5. Bapak R Suami kedua pelaku 2

6. Bapak Jr Penghulu perkawinan poliandri

pelaku 2

7. Ibu Su Warga Dusun Canggal

8. Ibu LT Warga Dusun Canggal

9. Ibu Sr Warga Dusun Canggal

Tabel 2.1 Daftar informan penelitian

b) Observasi yang digunakan ialah observasi terbuka dimana

kehadiran peneliti dalam meneliti terhadap informan diketahui secara terbuka, sehingga antara informan dengan peneliti terjadi hubungan atau interaksi secara wajar (Maslikhah, 2013: 322).

(34)

Sebagaimana penelitian kualitatif, maka analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik reduksi data, penyajian data dan verifikasi. Reduksi data merupakan proses memilih, menyederhanakan, abstraksi dan mentransformasi data kasar yang diperoleh. Penyajian data merupakan diskripsi kumpulan informasi yang memungkinkan untuk menarik kesimpulan dan mengambil tindakan. Verifikasi adalah mencari makna dari setiap gejala yang diperoleh dari lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur akusalitas, dan proposisi (Maslikhah, 2013: 323). Data juga dianalisis menggunakan teori sosiologi keluarga, psikologi kepribadian Islam dan patologi sosial.

7. Pengecekan Keabsahan Data

(35)

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan dan, 5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moelong, 2009: 331).

8. Tahap-Tahap Penelitian

Adapun tahap-tahap yang peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Tahap sebelum lapangan, yaitu hal-hal yang dilakukan sebelum

melakukan penelitian seperti peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang keluarga poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan.

b) Tahap pekerjaan lapangan yaitu peneliti terjun langsung ke

lapangan untuk mencari data-data yang diperlukan seperti wawancara kepada informan dan melakukan observasi.

c) Tahap analisa data, apabila semua data telah terkumpul dan dirasa

cukup maka tahap selanjutnya adalah menganalisa data-data tersebut dan menggambarkan hasil penelitian sehingga bisa memberi arti pada objek yang akan diteliti.

d) Tahap penulisan laporan yaitu apabila semua data telah terkumpul

(36)

H. Sistematika Penulisan

Agar dalam proposal ini mendapat gambaran yang jelas, maka sistematika penulisan ini akan dipaparkan dalam 5 bab.

Bab pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Adapun bab dua berupa kajian pustaka atau teori yang membahas mengenai perkawinan yang meliputi pengertian dan dasar hukum perkawinan menurut hukum Islam dan perkawinan menurut perundang-undanganan di Indonesia, bentuk-bentuk keluarga dan poliandri yang meliputi pengertian poliandri dan hukum poliandri dalam Islam dan perundang-undangan di Indonesia, poliandri menurut perspektif patologi sosial dan menurut psikologi kepribadian Islam.

Bab tiga berisi uraian data dan temuan yang diperoleh dari penelitian yang disajikan dalam tiga sub bab, yaitu: gambaran umum Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang, praktik perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang dan faktor-faktor penyebab perkawinan poliandri di Dusun Canggal Desa Sidoharjo Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang.

(37)
(38)

BAB II

TINJAUAN HUKUM PERKAWINAN POLIANDRI

A. Perkawinan

1. Pengertian

Perkawinan berasal dari bahasa Arab yaitu an nikah yang dapat

berarti al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul yang bermakna

bersetubuh, berkumpul dan akad (Nuruddin, 2004: 38). Sedangkan menurut terminologi, ada beberapa penjabaran definisi perkawinan dari kalangan para ulama fikih terkemuka (Imam Madzhab), sebagai berikut (Sarwat, 2011: 24-26):

Menurut Mazhab Al-Hanafi pernikahan adalah “akad yang berarti mendapatkan hak milik untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita yang tidak ada halangan untuk dinikahi secara syar’i” (Sarwat, 2011: 24).

Menurut Mazhab Maliki pernikahan adalah “sebuah akad yang menghalalkan hubungan seksualitas dengan wanita yang bukan mahram, bukan majusi, bukan budak ahli kitab dengan shighah” (Sarwat, 2011: 25).

(39)

Menurut mazhab Hambali pernikahan adalah “akad perkawinan atau akad yang diakui didalamnya lafadz nikah, tazwij dan lafadz yang punya makna sepadan” (Sarwat, 2011: 26).

Dari definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih diatas memberikan kesan bahwa pengertian pernikahan itu hanya dilihat dari segi biologis antara laki-laki dan perempuan yang semula dilarang menjadi diperbolehkan.

Dalam undang-undang perkawinan di Indonesia nomor 1 tahun 1974 pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwasannya “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sama halnya dengan undang-undang nomor 1 tahun 1974, dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa “perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau mitsaaqon gholidhan untuk mentaati perintah Allah

dan melaksanakannya merupakan ibadah”.

Kata mitsaaqon gholidhan diambil dari Firman Allah SWT

(40)

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat (QS. An-Nisa: 21). Berbeda dari definisi perkawinan menurut undang-undang perkawinan di Indonesia juga pada Kompilasi Hukum Islam ada sebuah persamaan bahwa perkawinan itu dilihat sebagai sebuah akad yang menimbulkan adanya hak dan kewajiban antara suami istri yang sebelumya tidak ada pada keduanya.

Dapat disimpulkan bahwa Pernikahan atau perkawinan adalah suatu aqad suci dan luhur antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami-istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga sakinah, penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni (Sudarsono, 1991: 62).

2. Perkawinan menurut hukum Islam

Hukum perkawinan merupakan bagian penting dari syari’at Islam, yang tidak terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak Islam. Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut Syari’at Islam mengikat kepada setiap muslim. Hukum Islam menempatkan lembaga perkawinan dalam bentuk ikatan sakral antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan atas dasar perasaan cinta dan kasih sayang, hal ini bisa kita lihat dari beberapa Firman Allah berikut ini:

(41)

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba-hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui (QS. An-Nuur: 32).

Dari Firman Allah tersebut diperintahkan kepada orang-orang yang masih sendiri baik seorang laki-laki yang belum mempunyai istri ataupun seorang perempuan yang belum bersuami supaya menikah. Dan bahwa seseorang yang takut jikalau mereka tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya setelah menikah karena mereka miskin maka Allah akan mencukupkan kebutuhan mereka.

Selain dari Firman Allah diatas, Nabiullah Muhammad SAW bersabda (Shiddieqy, 1952: 298), dalam haditsnya:

ﱡﺾَﻏَا ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ْجﱠوَﺰَـﺘَﻴْﻠَـﻓ َةَءﺎَﺒْﻟا ُﻢُﻜْﻨِﻣ َعﺎَﻄَﺘْﺳا ِﻦَﻣ ِبﺎَﺒﱠﺸﻟاَﺮَﺸْﻌَﻣﺎَﻳ

ْﻦَﻣَو ِجْﺮَﻔْﻠِﻟ ُﻦَﺼْﺣَاَوِﺮَﺼَﺒْﻠِﻟ

ٌءﺎَﺟِو ُﻪَﻟ ُﻪﱠﻧِﺎَﻓ ِمْﻮﱠﺼﻟﺎِﺑ ِﻪْﻴَﻠَﻌَـﻓ ْﻊِﻄَﺘْﺴَﻳ َْﱂ

(ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻣ)

Wahai jama’ah pemuda, barang siapa diantara kamu mempunyai kesanggupan membayar mas kawin dan belanja hari-hari maka hendaklah ia beristri. Karena beristri itu, lebih memejamkan mata dan lebih memlihara kemaluan. Dan barang siapa tiada sanggup membelanjakan istri, hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu, dapat mematahkan syahwat (HR Bukhori No. 552, 1371 H: 421- 422).

(42)

Namun bila belum sanggup, maka dianjurkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa dapat menjaga syahwat.

Dari hadits lain, nabi bersabda (Witanto, 2012: 60):

و ىرﺎﺨﺒﻟا ﻩاور) ﱢﲎِﻣ َﺲْﻴَﻠَـﻓ ِﱴﱠﻨُﺳ ْﻦَﻋ َﺐِﻏَر ْﻦَﻤَﻓ ِﱴﱠﻨُﺳ ُحﺎَﻜﱢﻨﻟَا

(ﻢﻠﺴﻣ

“Nikah (Kawin) itu adalah sunnahku,maka barangsiapa yang tidak beramal dengan sunnahku, bukanlah ia dari golonganku.” (Hr Bukhori No. 551, 1371 H: 421).

Dari sabda tersebut dapat diambil kesimpulan bahwasanya Rosulullah SAW mencela orang-orang muslim yang sudah mampu untuk menikah tidak menikah ataupun hidup membujang. Dan Nabi Muhammad SAW menganjurkan kepada umatnya untuk menikah.

Dari berbagai dalil di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan itu adalah sunatullah. Dan dari adanya perkawinan tersebut sangat banyak sekali manfaatnya seperti yang dikemukakan Aditya P

Manjorang dan Intan Aditya dalam bukunya The Law Of Love berikut

ini:

a. Mendapatkan keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan

hidup dan rasa kasih sayang;

b. Mendapatkan anak keturunan yang sah;

c. Menentramkan jiwa;

d. Memenuhi kebutuhan biologis;

e. Pengendalian hawa nafsu syahwatnya;

(43)

g. Mempunyai teman hidup;

h. Membina rumah tangga dan berjuang dalam menghadapi hidup.

Dalam ajaran Islam hukum pernikahan itu tidak bersifat mutlak, artinya hukum itu dapat berubah-ubah sesuai keadaan atau kondisional. Ada beberapa hukum bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan antara lain sebagai berikut:

a. Wajib, hukum ini diwajibkan bagi seseorang yang manakala ia

secara lahir maupun batin telah mampu untuk melangsungkan perkawinan dan ditakutkan jika tidak segera menikah maka ia akan terjerumus ke dalam perzinahan. Apabila perkawinan tersebut ditunda-tunda maka akan menimbulkan dosa bagi mereka.

b. Sunnah, hukum ini dikenakan bagi orang yang secara lahir maupun

batin telah mampu untuk menikah, namun ia tidak dikhawatirkan akan terjerumus kedalam perbuatan zina.

c. Haram, hukum ini dikenakan kepada orang yang belum mampu

secara lahir maupun batin dan ditakutkan ketika menikah akan membahayakan kondisi pasangannya.

d. Makruh, hukum ini dikenakan kepada laki-laki yang belum

(44)

e. Mubah, hukum ini dikenakan bagi orang-orang yang tidak memiliki pendorong atau penghalang apapun untuk menikah (Witanto, 2012: 68-70).

Sebuah perkawinan akan dikatakan sah apabila memenuhi semua rukun-rukun dan syarat yang melekat padanya. Menurut jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu. Rukun dan syarat yang harus terpenuhi dalam sebuah pernikahan ialah:

a. Calon suami, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam;

2) Laki-laki;

3) Jelas orangnya;

4) Dapat memberikan persetujuan;

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

b. Calon istri, syarat-syaratnya:

1) Beragama Islam;

2) Perempuan;

3) Jelas orangnya;

4) Dapat memberikan persetujuan;

5) Tidak terdapat halangan perkawinan.

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1) Laki-laki;

(45)

3) Mempunyai hak perwalian;

4) Tidak terdapat halangan perwalian.

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1) Minimal dua orang laki-laki;

2) Hadir dalam ijab qabul;

3) Dapat mengerti maksud akad;

4) Islam;

5) Dewasa.

e. Ijab qabul, syarat-syaratnya:

1) Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

2) Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai;

3) Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua

kata tersebut;

4) Antara ijab dan qabul bersamaan dan jelas maksudnya;

5) Orang yang terkait dengan ijab qabul tidak sedang ihram

(Nuruddin, 2004: 62-63).

3. Perkawinan menurut Perundang-undangan di Indonesia

(46)

perkawinan yang dikenal dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang diatur dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Bentuk-bentuk Keluarga

1. Pengertian Keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil yang ada dalam masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu atap dan saling berinteraksi satu sama lain dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI, 1998: 1).

Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera yang disebut dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dengan anaknya atau ibu dengan anaknya.

(47)

dan perempuan yang tidak memiliki hubungan darah, tetapi terikat tali perkawinan dengan atau tanpa/belum memiliki anak. Setidaknya keluarga berfungsi memenuhi dan memuaskan kebutuhan lahir dan batin, termasuk kebutuhan seksual (Soemanto, 2006: 18).

Menurut Ferri Efendi yang dikutup dari Salvicion G Bailon dan Aracelis Maglaya, keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain, dan di dalam peranannya masing-masing menciptakan dan mempertahankan kebudayaan (Ferry Efendi, 2009: 179).

Dari berbagai pengertian diatas, maka sekumpulan orang yang menetap dalam suatu atap yang sama dapat dikatakan menjadi suatu keluarga jika memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Memiliki ikatan batin dan emosional. Berarti para anggota

keluarga memiliki rasa kasih sayang dan kecintaan yang mendalam, termasuk kebanggaan terhadap eksistensinya.

b. Memiliki hubungan darah. Setiap anggota keluarga tersebut berada

dalam satu jalur keturunan kecuali suami dan isteri yang berasal dari garis keturunan yang berbeda.

c. Memiliki ikatan perkawinan. Pasangan pria wanita yang

(48)

menjadi pasangan suami isteri. Perkawinan ini bisa endogami, yakni kawin dengan golongannya sendiri atau eksogami, yaitu kawin di luar golongan sendiri.

d. Mempunyai kekayaan keluarga. Keluarga pasti mempunyai harta

benda untuk kelangsungan para anggotanya.

e. Memiliki tempat tinggal. Keluarga harus memiliki domisili dan

menempati rumah tertentu, baik itu milik sendiri maupun bukan.

f. Memiliki tujuan. Setiap keluarga pasti memiliki tujuan atau

cita-cita yang hendak dicapai seperti meneruskan keturunan, menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota. Setiap anggota keluarga saling berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sendiri-sendiri (Dipo, 2009: 15-16).

2. Bentuk Keluarga

(49)

Gambaran mengenai pembagian bentuk-bentuk keluarga sangat beraneka ragam. Keanekaragaman bentuk keluarga tersebut tergantung pada konteks keilmuan dan orang yang mengelompokkannya, namun secara umum bentuk-bentuk keluarga dilihat dari berbagai segi dapat dikelompokkan sebagai berikut (Sunarto, 1993: 159-160):

a. Bentuk keluarga berdasarkan garis keturunan

1) Patrilineal, keluarga yang berhubungan atau disusun melalui

jalur garis keturunan ayah, terdiri dari sanak saudara dalam beberapa generasi. Bentuk keluarga ini banyak dipraktekkan di negara-negara Arab maupun Eropa dan di Indonesia seperti yang dilakukan oleh suku Batak di Sumatra Utara.

2) Matrilineal, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara

sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis keturunan Ibu. Suku Padang merupakan salah satu contoh suku yang menggunakan struktur keluarga matrilineal.

3) Parental atau bilateral, keluarga sedarah yang terdiri dari sanak

(50)

b. Bentuk keluarga berdasarkan kekuasaan

1) Patriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah pihak suami.

2) Matriarhat, keluarga yang dominan dan memegang kekuasaan

dalam keluarga adalah pihak istri.

3) Equalitarium, keluarga yang memegang kekuasaan adalah

suami dan istri, atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan atas kesepakatan bersama.

c. Bentuk keluarga berdasarkan pemukiman

1) Patrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak suami.

2) Matrilokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal dengan keluarga sedarah dari pihak istri.

3) Neolokal, keberadaan tempat tinggal suatu keluarga yang

tinggal jauh dari keuarga keturunan suami maupun istri.

d. Bentuk keluarga berdasarkan anggota keluarga (Efendi, 2009: 183)

1) Traditional nuclear, keluarga inti (ayah, ibu dan anak) tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh saksi-saksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah.

(51)

anak dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja diluar rumah.

3) Middle age atau aing couple, suami sebagai pencari uang, istri di rumah, atau keduanya bekerja diluar rumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah, perkawinan atau meniti karier.

4) Dyadic nuclear, pasangan suami-istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak. Keduanya atau salah satu bekerja di luar rumah.

5) Single parent, keluarga dengan satu orang tua sebagai akibat dari perceraian atau kemaian pasangannya. Anak-anaknya dapat tinggal di dalam atau di luar rumah.

6) Dual caeerI, suami istri atau keduanya merupakan orang karier dan tidak mempunyai anak.

7) Commuter married, pasangan suami istri atau keduanya sama-sama bekerja dan tinggal terpisah pada jarak tertentu. Keduanya saling bertemu pada waktu-waktu tertentu.

8) Single adult, perempuan dewasa atau laki-laki dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah.

(52)

10) Institusional, anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam satu panti.

11) Communal, satu rumah terdiri atas dua atau lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama berbagi fasilitas.

12) Group marriage, satu rumah terdiri atas orang tua dan keturunannya dalam satu kesatuan keluarga.

13) Unmarried parent and child, ibu dan anak yang pernikahannya tidak dikehendaki dan kemudian anaknya diadopsi.

14) Cohabitating couple, dua orang atau satu pasangan yang bersama dan tinggal dalam satu rumah tanpa adanya tali ikatan perkawinan.

15) Common law family, keluarga yang terdiri dari seorang perempuan dan seorang laki-laki yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.

(53)

yang tinggal dalam satu rumah dan berorientasi pada satu kepala keluarga.

e. Bentuk keluarga berdasarkan bentuk perkawinan

1) Eksogami, keluarga yang terbetuk dari perkawinan antara

seseorang dengan orang yang berbeda golongan baik etnis, suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan, misalnya perkawinan antara anak suku batak dengan anak suku ambon.

2) Endogami, keluarga yang dibentuk dari perkawinan antara

etnis, suku, agama, wilayah, bangsa atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama.

3) Heterogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antar

kelas sosial yang berbeda, misalnya anak bangsawan menikah dengan anak petani.

4) Homogami, keluarga yang terbentuk dari perkawinan antara

kelas golongan sosial yang sama, misalnya anak pedagang yang menikah dengan anak pedagang.

f. Bentuk keluarga berdasarkan jenis perkawinan

1) Monogami, keluarga dimana terdapat seorang suami dan

seorang istri.

2) Poligami

Poligami terbagi menjadi dua bentuk yaitu:

a) Poligini adalah keluarga yang terdapat seorang suami

(54)

b) Poliandri adalah keluarga yang terdapat seorang istri dengan lebih dari satu suami.

C. Poliandri

1. Pengertian poliandri

Poliandri menurut Jahrani (1996: 33-34) ialah perkawinan antara satu orang wanita dengan beberapa orang laki-laki secara sekaligus.

Dalam Ensiklopedia Islam istilah poliandri merupakan jenis dari poligami. Poligami berasal dari bahasa Yunani yang berarti “suatu perkawinan yang lebih dari seorang”. Poligami dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu poliandri dan poligini. Poliandri berasal dari

kata polus yang berarti “banyak” dan andros yang berarti “laki-laki” ,

jadi poliandri adalah perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari

seorang laki-laki. Sedangkan poligini berasal dari kata polus dan gune

yang berarti “perempuan” jadi poligini ialah perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari seorang perempuan (Ensiklopedi Islam, 1994: 107).

(55)

a. Praktik poliandri yang dilakukan di berbagai negara bagian timur seperti Srilangka (Pulau Ceylon), bangsa Tibet, Bangsa Taudan di selatan India, sebagian bangsa Kenya, bangsa Masi dan Bahima di Afrika serta sebagian bangsa Eskimo. Hukum-hukum di negara tersebut membolehkan beberapa orang laki-laki yang bersaudara menikahi satu orang wanita pada satu hari di dalam jam yang berbeda. Berlakunya aturan poliandri ini mengharuskan beberapa orang laki-laki mencampuri satu perempuan secara bersamaan (Al-Ghaffar, 1984: 189). Jika laki-laki tertua menikahi seorang perempuan, maka perempuan tersebut sekaligus menjadi istri dari adik-adik suaminya. Dan suaminya sekaligus menjadi suami dari adik-adik perempuan tersebut. Masyarakat India membolehkan seorang perempuan bersuami lima, enam atau sepuluh orang. Bahkan seorang perempuan India boleh bersuami lebih dari sepuluh orang dengan syarat laki-laki yang akan dijadikan suami-suami tersebut bersaudara atau masih memiliki hubungan kekerabatan. Maka hukum ini berimplikasi bahwa pemuda-pemuda yang tidak memiliki saudara akan sulit untuk mendapatkan pasangan hidup (Jahrani, 1996: 33-34).

b. Bangsa Tahus di utara Meksiko terdapat praktik yang serupa

(56)

dianggap sebagai kepala suku. Hal ini dianggap sebagai kenangan suci dalam pernikahan dan percampuran (Al-Ghaffar, 1984: 189).

c. Sebagian masyarakat Eropa dan Amerika juga membolehkan

seorang perempuan untuk menikahi lebih dari satu orang laki-laki atas dasar kebebasan, karena menurut mereka kebebasan yang mutlak membolehkan hal tersebut (Al-Ghaffar, 1984: 190).

Perkawinan sebagaimana di ataspun juga pernah terjadi di dataran Arab. Jauh sebelum Islam datang, masyarakat Arab telah mengenal berbagai bentuk perkawinan. Bentuk-bentuk perkawinan tersebut diantaranya sebagai berikut (Aj-Jahrani, 1996: 6-12):

a. Perkawinan Istibdha’ (Jima)

Perkawinan jenis ini ialah perkawinan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang berstatus sebagai istri namun oleh suaminya ia diminta untuk melayani seorang laki-laki lain yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian dan kecerdasannya. Selama sang istri melayani si laki-laki maka sang suami tidak akan menggauli sang istri untuk beberapa saat sampai sang istri jelas akan kehamilannya. Tujuan dari perkawinan ini ialah agar sang istri melahirkan anak yang memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh si laki-laki yang telah menggauli sang istri tersebut.

b. Perkawinan ar-Rahthun (Poliandri)

(57)

cara menggauli seorang perempuan yang mereka kehendaki. Setelah sang perempuan hamil dan melahirkan, dia akan memanggil semua lakai-laki yang telah menggaulinya tersebut dan mengumpulkan mereka dan si perempuan tersebut akan memilih salah seorang laki-laki yang menggaulinya untuk menjadi nasab bagi anak yang telah dilahirkannya tersebut. Dan untuk laki-laki yang ditunjuk oleh sang perempuan tersebut tidak punya pilihan untuk menolaknya. Peristiwa semacam ini telah tecatat dalam sejarah pra islam, sebagaimana dalam sebuah riwayat sebagai berikut:

َﻋ ِﲔِﻨِﻣْﺆُﳌا ﱢمُأ ِﺚﻳِﺪَﺣ ِْﰲ

ُﺚْﻴَﺣ ،ْﻖﻳﱢﺪﱢﺼﻟا ٍﺮْﻜَﺑ ِﰊَا ِﺖْﻨِﺑ َﺔَﺸِﺋﺎ

َﻋ َنﻮُﻠُﺧْﺪَﻴَـﻓ ِةَﺮْﺸَﻌﻟا َنوُد ُﻂْﻫﱠﺮﻟا ُﻊِﻤَﺘَْﳚ َنﺎَﻛ :ُلﻮُﻘَـﺗ

ِةَأﺮ

َ

ﳌا ﻰَﻠ

Diceritakan dari Aisyah: “Kelompok laki-laki yang kurang dari sepuluh orang menggauli (mengawini) seorang wanita” (Aj Jahrani, 1996: 33).

c. Perkawinan al-Maqtu (Kebencian)

(58)

sang perempuan hingga usia sang anak mampu untuk menentukan apakah ia akan mengawini si perempuan tersebut atau tidak.

Al-Qur’an secara tegas dan jelas telah mengharamkan perkawinan jenis ini, hal tersebut termuat dalam Surat An-Nisa ayat 22 yang berbunyi:

Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh) (QS. An Nisa: 22).

d. Perkawinan Asy Syighar (Tukar menukar)

Perkawinan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa membayar mahar. Abu Hurairah r.a menyebutkan dalam hadits yang diriwayatkannya, bahwasannya Nabi Muhammad Saw bersabda:

َﺨﱢﺸﻟاَو

،َﻚَﺘْﺧُا ِﲏْﺟﱢوَز وَا َﻚَﺘَﻨْـﺑِا ِﲏْﺟﱢوَز ِﻞُﺟﱠﺮﻠِﻟ ﻞُﺟﱠﺮﻟا َلﻮُﻘَـﻳ ْنَا ُرﺎ

َﱵْﺧُا َﻚُﺟﱢوَزُاَو

(59)

e. Perkawinan dengan cara tukar menukar istri (Badal) (al-Ghaffar, 1984: 190)

Perkawinan yang dilakukan seperti halnya barter pada barang dagangan. Perkawinan jenis ini dilakukan dalam bentuk dimana seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain: “Berilah kesempatan bagi saya untuk mencampur istri anda, dan anda saya persilahkan untuk mencampuri istri saya.” Perkawinan jenis menganggap perempuan hanya sebagai objek dan layaknya sebuah barang dimana seorang perempuan yang telah bersuami harus mau untuk melayani laki-laki lain atas permintaan suaminya. Hal itu mereka lakukan tanpa adanya perceraian terlebih dahulu dan hanya untuk memuaskan libido seksual dan menghindari kebosanan serta dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

f. Perkawinan prostitusi (Al-Ghaffar, 1984: 190)

(60)

g. Praktik perkawinan yang paling buruk yang dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyah ialah perkawinan yang dilakukan oleh bangsa Jadis, dimana kepala suku Jadis memaksa laki-laki untuk mengawini anaknya sebelum malam pertama (Al-Ghaffar, 1984: 190).

2. Hukum poliandri dalam Islam

Seorang wanita yang sedang terikat dalam tali perkawinan dengan laki-laki lain haram dinikahi oleh siapapun. Keharaman itu berlaku selama sang suami masih hidup ataupun belum dicerai oleh suaminya. Bahkan perempuan yang sedang dalam tali ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki dilarang untuk dilamar baik secara terang-terangan maupun secara sindiran meskipun akan dikawini setelah si perempuan bercerai dengan suaminya dan telah selesai masa iddahnya.

Keharaman mengawini perempuan bersuami itu terdapat dalam surat An Nisa ayat 24 (Syarifuddin, 2006: 126-127) yang berbunyi:

(61)

menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. An Nisa’: 24).

ﺖﻨﺼﺤﻤﻟا

satu kata yang menghimpun banyak arti. Dikatakan

menghimpun, karena kata ini berarti Al Man’u (pencegahan).

Sementara pencegah terwujud melalui berbagai sarana, namun dalam hal ini pencegahan bagi para perempuan yang menjaga kesucian dan perempuan yang sudah bersuami adalah penjagaan kehormatan (Al Farran, 2007: 94-95).

Dalam ayat ini jelas bahwa perempuan-perempuan merdeka maupun budak-budak yang bersuami diharamkan untuk bagi laki-laki lain selain suaminya sampai mereka diceraiakan atau ditinggal mati oleh suami mereka, kecuali para tawanan perang. Karena para tawanan perang berbeda berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’.

(62)

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat (QS. Al-Baqarah: 234).

Dari ayat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa, pertama, masa iddah seorang perempuan yang ditinggal mati suaminya ialah empat bulan sepuluh hari. Kedua, Allah memperbolehkan ia memilih sesuai dengan pilihannya sendiri untuk berbuat kepada dirinya tanpa campur tangan keluarga almarhum suaminya (Al Ghaffar, 1984: 188).

Kemudian untuk seorang istri yang dicerai oleh suaminya maka masa iddah perempuan tersebut ialah tiga kali masa suci. Hal tersebut sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi:

(63)

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).

Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam mengatakan bahwa perempuan yang telah kawin dan telah berhubungan kelamin selama perkawinan kemudian ia ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya, maka ia harus menjalani masa iddah (masa tunggu beberapa waktu lamanya). Selama menjalani masa iddah, perempuan tidak boleh dipinang dengan perincian sebagai berikut:

a. Perempuan yang menjalani masa iddah karena talak Raj’i dan talak

bain haram dipinang baik secara terang-terangan maupun secara sindiran.

b. Perempuan yang menjalani masa iddah talak bain dan perempuan

yang menjalani iddah kematian haram dipinang secara terang-terangan namun boleh dipinang secara sindiran (Basyir, 2007: 9-20).

(64)

tetap melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara keduanya harus dibatalkan. Namun, ketika perkawinan tersebut dibatalkan dan si perempuan telah selesai masa iddahnya apakah mantan suami boleh mengawininya atau tidak , dalam hal ini menurutnya ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Malik, Al-Awza’iy dan Al-Laits pasangan yang kawin ketika san mempelai perempuan dalam masa iddah harus dipisahkan dan tidak boleh melangsungkan perkawinan lagi antara keduanya meskipun masa iddah si perempuan telah habis dan itu

berlaku untuk selamanya. Hal tersebut mengacu pada atsar shahabi

dari Sa’id bin al-Musayyab dan Sulaiman bin Yasar yang berbunyi:

َأ ﱠن

(65)

pertama dan kemudian menjalani iddah kedua sesudah itu keduanya tidak boleh berkumpul untuk selamanya.

Sedangkan menurut ulama lainnya, diantaranya Abu Hanifah, Imam As Syafi’i dan al-Tsauriy berpendapat bahwa antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah kemudian melangsungkan perkawinan maka perkawinan antara keduanya harus dipisahkan. Dan setelah dipisahkan kemudian masa iddah si perempuan telah habis maka si laki-laki boleh mengawini si perempuan tersebut. Alasanya menurutt mereka adalah perkawinan itu merupakan hak seseorang selama tidak ada dalil yang secara pasti

melarangnya. Dan menurut mereka atsar sahabi tersebut diatas belum

cukup kuat untuk melarang akan perkawinan mereka (Syaarifuddin, 2006: 123-124).

3. Hukum poliandri dalam perundang-undangan di Indonesia

(66)

disimpulkan bahwa, pada undang nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan melarang seorang wanita yang telah menikah melakukan pernikahan lagi dengan pria lainnya.

Kemudian Kompilasi Hukum Islam melarang perkawinan yang

bersifat mu’aqqat seperti yang termuat pada pasal 40 yang menyatakan

melarang perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, yaitu:

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu

perkawinan dengan pria lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa ‘iddah dengan

pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beraga Islam (Nuruddin, 2004:

150-151).

Dari pasal 40 Kompilasi Hukum Islam jelas bahwa seorang wanita dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria lain selama masih terikat tali perkawinan dengan suaminya ataupun masih dalam masa ‘iddah.

(67)

4. Poliandri dalam Perspektif Patologi Sosial

Setiap masyarakat mempunyai norma yang bersangkut paut dengan kesejahteraan kebendaan, kesehatan fisik, kesehatan mental serta penyesuaian diri individu atau kelompok sosial. Penyimpangan-penyimpangan terhadap norma-norma tersebut merupakan gejala abnormal yang merupakan masalah sosial.

Apabila kajian mengenai masalah sosial menggunakan paradigma yang berbeda maka akan mengakibatkan perbedaan cara pandang mengenai masalah sosial itu sendiri. Meskipun dalam kajian mengenai masalah sosial tersebut menggunakan paradigma yang sama namun menggunakan teori yang berbeda pun akan menghasilkan hasil kajian yang berbeda pula, bahkan dengan teori yang sama itu akan melahirkan perspektif yang berbeda.

Perspektif patologi sosial merupakan metode paling awal yang digunakan untuk memahami masalah sosial. Pada perspektif ini masalah sosial terjadi apabila individu atau masyarakat tidak berhasil mengatur dan menyesuaikan dengan kecepatan perubahan yang terjadi serta kegagalan dalam melakukan penyesuaian antar bagian masyarakat, sehingga akan mengganggu bekerjanya organisasi sosial. Dalam kondisi tersebut individu atau masyarakat dikatakan dalam keadaan sakit, maka masyarakat yang sehat adalah yang mampu

(68)

terjadi kondisi sebaliknya yaitu kondisi social maladjusmen (Soetomo, 2008: 77).

Dari analogi tersebut dapat didefinisikan patologi sosial sesuai

dengan Dictionary of Siciology yang dikutip oleh Soetomo (2008: 81).

Bahwa patologi sosial adalah suatu studi, disiplin atau ilmu

pengetahuan tentang disorganisasi sosial dan maladjusment, yang di

dalam dibahas mengenai arti, eksistensi, sebab-sebab, hasil dan tindakan perbaikan terhadap faktor-faktor yang mengganggu atau

mengurangi penyesuaian sosial (social adjusment).

Maladjusment dalam kenyataan bermasyarakat dapat terjadi pada individu ataupun kelompok atau bahkan masyarakat. Terjadi pada individu, apabila individu gagal dalam menyesuaikan diri dengan situasi dan perkembangan lingkungan dalam masyarakat. Kondisi patologi dalam kelompok atau masyarakat terjadi apabila kelompok atau masyarakat tersebut tidak ada penyesuaian antar unsur dalam sistem sosial. Namun, jika ada banyak individu dalam suatu kelompok

atau masyarakat mengalami maladjusment maka akan mendorong

terjadinya kehidupan masyarakat yang tidak sehat (Soetomo, 2008: 82).

(69)

tersebut dapat dipahami bahwa perilaku patologis atau tidak didasarkan pada nilai keseimbangan antara norma formal dalam bentuk hukum formal dan norma formal dalam bentuk norma sosial (Kartono, 2001: 1).

Perilaku patologis merupakan perilaku yang diekspresikan oleh seseorang atau beberapa anggota masyarakat baik yang disengaja maupun tidak disengaja, tidak menyesuaikan diri atau bertentangan dengan norma yang berlaku. Dapat dikatakan bahwa, semua bentuk perilaku warga masyarakat yang tidak sesuai degan norma dinamakan perilaku menyimpang (Kartono, 2001: 1).

Penyimpangan sosial atau perilaku menyimpang adalah tingkah laku, perbuatan atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan nilai-nilai, norma-norma dan hukum yang ada dalam masyarakat. Penyimpangan sosial ini dianggap sebagai sumber masalah sosial karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial (Soetomo, 2008: 94). Suatu perilaku dikategorikan sebagai masalah sosial apabila:

a. Semua bentuk perilaku yang melanggar atau memperkosa adat

istiadat masyarakat.

b. Situasi sosial yang dianggap oleh sebagian besar dari warga

(70)

Suatu perilaku masyarakat yang dianggap patologis, masalah sosial dan penyakit sosial pada umumnya mendapat reaksi berupa penolakan yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sanksi sosial terhadap pelaku patologis, baik berupa hukuman, penolakan, pengucilan bahkan pengasingan (Mukhayyorah, 2010: 17).

Suatu perilaku yang dikataakan menyimpang batasannya ditentukan oleh norma-norma kemasyarakatan yang berlaku dalam suatu kebudayaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa suatu tindakan yang mungkin pantas dan diterima dalam suatu situasi, mungkin tidak pantas diterapkan dalam situasi lainnya. Adanya anggapan bahwa suatu perilaku yang menyimpang dapat berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan lainnya, disebabkan karena suatu masyarakat terdapat perilaku atau perbuatan yang dianggap menyimpang, tetapi dalam masyarakat lain justru bukan suatu perbuatan yang menyimpang.

(71)

Mengenai peyimpangan sosial ini, Soekanto mengidentifikasi adanya dua tipe penyimpangan (Soekanto, 1988: 19), yaitu:

a. Penyimpang murni adalah perilaku yang tidak menaati peraturan

dan juga dianggap demikian oleh pihak lain. Dalam tipe ini seseorang dianggap melakukan tindakan tercela oleh pihak-pihak lain, meskipun seseorang tersebut tidak melakukan tindakan tersebut.

b. Penyimpangan tersembunyi adalah seseorang melakukan perbuatan

tercela akan tetapi tidak ada pihak-pihak lain yang bereaksi atau tidak ada yang melihatnya, sehingga oleh masyarakat dianggap tidak ada masalah.

Bentuk-bentuk penyimpangan sosial pada masyarakat dilihat dari berbagai sudut pandang (Kartono, 2001: 44), yaitu:

a. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan sifat.

Bentuk penyimpangan berdasarkan sifatnya dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Penyimpangan bersifat positif adalah bentuk penyimpangan

yang terarah pada nilai sosial yang berlaku dan dianggap ideal dalam masyarakat dan mempunyai dampak yang bersifat positif. Misalnya emansipasi wanita dalam masyarakat yang memunculkan wanita karier.

2) Penyimpangan bersifat negatif adalah penyimpangan dalam

(72)

rendah dan dianggap tercela dalam masyarakat. Misalnya pencurian, perampokan, pelacuran dan pemerkosaan.

Bentuk penyimpangan yang bersifat negatif dibedakan menjadi dua macam berdasarkan lama waktunya, yaitu:

Pertama, penyimpangan primer (primary deviation) adalah

penyimpangan sosial yang bersifat sementara dan biasanya

tidak diulang kembali. Seseorang yang melakukan

penyimpangan primer masih bisa diterima dalam masyarakat. Misalnya seorang yang menunda pembayaran pajak karena alasan keuangan yang tidak mencukupi.

Kedua, penyimpangan sekunder (secondary deviation) adalah penyimpangan sosial yang nyata dan dilakukan secara berulang-ulang bahkan menjadi kebiasaan dan menunjukkan ciri khas dari suatu kelompok. Seseorang yang melakukan penyimpangan sekunder biasanya tidak lagi diterima dalam masyarakat. Misalnya orang yang terbiasa minum-minuman keras dan selalu pulang dalam keadaan mabuk.

b. Bentuk penyimpangan sosial berdasarkan pelakunya

Bentuk penyimpangan berdasarkan pelakunya dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu:

1) Penyimpangan individu merupakan penyimpangan yang

Gambar

Tabel 2.1 Daftar informan penelitian
Gambar 3.1 Peta Desa Sidoharjo
Tabel 3.1 Fasilitas Pendidikan
Tabel 3.2 profil pelaku perkawinan poliandri
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ditetapkannya Peraturan Gubernur ini, maka Peraturan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberian Tambahan Penghasilan

Jika daya yang dimasukkan 1300

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini meliputi metode pengumpulan data dan metode perancangan basis data.. Secara garis besar sistem pengajaran dan

Pengaruh Upah,Nilai Produksi,dan Investasi terhadap Penyerapan Tenaga Kerja pada Industri Kecil Genteng di Kabupaten Banjarnegara (Fakultas Ekonomi,Universitas Negeri

Tujuan penelitian ini adalah menganalisa dan merancang aplikasi data warehouse untuk memperoleh informasi yang cepat, lengkap dan akurat mengenai data karyawan dalam

Di samping itu, pengamatan dan analisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran uang (M2) merupakan variabel kunci bagi otoritas moneter untuk menetapkan

Ketika pemerintah menerapkan liberalisasi perdagangan beras maka pasar beras Indonesia terintegrasi dengan pasar beras internasional dan harga beras dalam negeri akan

perataan laba dengan perusahaan yang tidak melakukan bahwa mempunyai. reaksi pasar