• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA

BERCERAI

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Margarita Novita Prastiwi

NIM : 089114089

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Jika aku harus bertumbuh, aku harus melepaskan diri dari

masa laluku. Aku harus menyadari bahwa aku adalah aku

yang tunggal dan satu-satunya, seorang pribadi yang

sedang berproses, selalu dan selama-lamanya belajar,

berubah, bertumbuh. Satu-satunya realitas yang penting

adalah siapa aku sekarang ini. Aku sekarang bukan aku

yang dahulu. Aku sekarang belum tentu aku yang akan

datang.

~John Powell SJ

Penelitian ini aku persembahkan untuk :

Kedua orangtuaku,

Kakakku,

Keluargaku,

dan

(5)
(6)

vi

KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI

Margarita Novita Prastiwi

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kecemasan yang terjadi pada anak-anak dari keluarga bercerai. Peneliti menggunakan data dokumen laporan praktikum CAT yang tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dokumen laporan CAT tersebut diambil berdasarkan pelaksanaan pengetesan mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 dengan subjek usia enam hingga 11 tahun dan berasal dari keluarga bercerai. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti mendapatkan sembilan dokumen tes CAT. Dengan menggunakan analisis tematik, diperoleh hasil bahwa kecemasan yang relatif banyak muncul pada anak-anak dari keluarga bercerai adalah kecemasan terkait menghadapi kesulitan. Di samping itu juga muncul cukup banyak kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan, dan kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang. Kecemasan-kecemasan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan dalam hal kehadiran orangtua dan kualitas hubungan antara orangtua dengan anak.

(7)

vii

THE ANXIETY IN CHILDREN FROM DIVORCED FAMILIES

Margarita Novita Prastiwi

ABSTRACT

This research was conducted to reveal the anxiety that occurs in children from a divorce parents. The Researcher used data CAT lab report document that is available at the Laboratory of the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University. The CAT report document is retrieved by the implementation of testing from 2005 to 2011 with a subject aged six to 11 years and come from a divorce parents. Based on the criteria, the researcher gets nine CAT test papers. By using thematic analysis, the anxiety that often emerge in children from divorced families is facing difficulties related to anxiety. Beside that, there also emerge many anxieties in children concerns about loneliness / isolation, and anxiety-related to attention and affection. Those anxieties can be caused by changes in the presence of the parents and the quality of relationship between parents and children.

(8)
(9)

ix

KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ucapkan puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala

rahmat dan berkahnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini menjadi salah satu syarat bagi mahasiswa untuk

menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Dalam rangka memenuhi syarat

tersebut, maka penulis mengangkat judul “KECEMASAN PADA ANAK DARI

KELUARGA BERCERAI.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan berhasil sebagimana

mestinya. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih

sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing

akademik dan pembimbing skripsi, yang dengan sabar membimbing dan teliti

memeriksa serta memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Ibu Debri Pristinella, M. Si. dan Ibu M.M. Nimas Eki Suprawati, M. Si., Psi.

selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi

saya untuk menjadikan skripsi ini semakin baik.

(10)

x

5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah membimbing maupun membantu

penulis menuntut ilmu dan berproses di Fakultas Psikologi USD ini. Mas Muji,

Mas Donny, Mas Gandung, Bu Nanik, dan Pak Gik terima kasih atas bantuan,

motivasi, maupun dukungan selama ini.

6. Kakak-kakak angkatan yang laporan CAT-nya sudah digunakan dalam

penelitian ini. Terima kasih.

7. Bapak, Ibu, Kakak, dan semua keluargaku yang sudah memberikan dukungan

dan doa.

8. Sahabat-sahabatku tersayang, Intan, Ciput, Oshien, Desy, teman-teman satu

bimbingan Vita, Riana, Ayu, Gigi, Stella, dan seluruh sahabatku angkatan 2008

Psikologi USD yang tidak bisa aku sebutin satu per satu. Terima kasih buat

dukungan kalian.

9. Sahabat-sahabatku di Paroki St. Thomas Rasul: Garage Communitydan Romo Patricius Hartono, terima kasih atas dukungan kalian. Terima kasih juga buat

Mas Dony “Mendon” yang sudah membantu secara teknis.

Penelitian ini jauh dari sempurna, maka dari itu kritik serta saran sangat

peneliti harapkan.

Yogyakarta, 7 Februari 2013

Penulis,

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR SKEMA... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan... 5

D. Manfaat ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 6

A. Kecemasan... 6

(12)

xii

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecemasan

... 6

B. Anak-anak Usia Akhir ... 9

C. Perceraian ... 11

1. Pengertian Perceraian ... 11

2. Dampak Perceraian Pada Anak ... 12

D. CAT(Children’s Apperception Test)... 15

E. Kecemasan Pada Anak dari Keluarga Bercerai ... 17

F. Pertanyaan Penelitian ... 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 21

A. Jenis Penelitian ... 21

B. Fokus Penelitian ... 21

C. Subjek Penelitian ... 22

D. Metode Pengumpulan Data ... 22

E. Analisis Tematik... 23

F. Pemeriksaan Keabsahan Data... 25

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 27

A. Pelaksanaan Penelitian ... 27

B. Hasil Penelitian... 28

C. Pembahasan ... 39

BAB V. PENUTUP... 44

A. Kesimpulan ... 44

(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA... 46

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 28

Tabel 2. Kategori Jenis Kecemasan ... 29

(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perceraian merupakan hal yang sebenarnya tidak diinginkan dalam

kehidupan rumah tangga, karena kehidupan perkawinan harus diakhiri dengan

suami istri yang berpisah. Melewati krisis akibat perceraian tidak semudah

membalikkan telapak tangan, karena berdampak pada berbagai konsekuensi.

Secara hukum perceraian itu sendiri menuntut adanya keputusan tindak lanjut

dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan hak asuh anak dan

pembagian harta. Harta setelah perceraian yang didapat selama perkawinan

merupakan harta bersama, seperti yang tertuang dalam pasal 35 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain mengenai pembagian harta

setelah perceraian juga terdapat pembagian hak asuh anak. Hak asuh anak

terhadap anak di bawah 12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang

tertuang dalam Hukum Kompilasi Islam pasal 105 huruf a. Bagi anak di atas

12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan siapa anak tersebut akan

tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya. Hal ini dikarenakan ayah atau ibu

mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat dan mendidik anak, seperti

yang tertuang dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perceraian adalah putusnya hubungan sebagai suami istri atau talak

(KBBI Pusat Bahasa, 2008). Ketika suami istri bercerai, maka tugas dan

peran sebagai suami dan istri juga berakhir, demikian juga peran sebagai

(16)

Oktaria (2011) berpendapat dalam blognya dengan melihat

kasus-kasus yang terjadi di masyarakat bahwa orang tua yang akan bercerai sudah

menyiapkan mental untuk hidup berpisah satu sama lain dan pengambilan

keputusan juga hanya terjadi pada orangtua tanpa melibatkan anak. Berbeda

dengan anak. Anak yang semula tidak mengetahui permasalahan orang

tuanya tiba-tiba harus menghadapi situasi orang tua berpisah. Anak harus

beradaptasi dengan kondisi orang tua yang semula bertengkar dan kemudian

bercerai. Situasi ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi anak. Anak yang

berhasil beradaptasi tidak akan mengalami masalah dan tidak mengalami

kesulitan dalam perkembangannya. Tetapi jika tidak, kondisi psikologis anak

akan terganggu. Ketika orang tuanya bertengkar anak menjadi merasa takut,

bingung, dan sedih. Selain itu, perceraian juga akan menimbulkan kecemasan,

karena anak akan merasa dirinya ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai.

Tidak jarang anak merasa menjadi memiliki perasaan bahwa dirinya berbeda

dengan anak-anak lain yang orang tuanya tidak bercerai. Anak juga akan

merasa cemas akan hidup yang tidak bermakna, karena hidupnya yang semula

nyaman dengan kedua orang tua kini tidak lagi. Cemas jika masa depannya

yang tanpa sosok ayah atau ibu menjadi berantakan.

Dibandingkan dampak yang lain, masalah kecemasan pada anak

mendapatkan perhatian lebih dan merupakan masalah psikologis yang

memiliki prevalensi cukup besar. Menurut Freud (dalam Semiun, 2006),

kecemasan adalah suatu keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan

(17)

yang akan datang. Freud mengemukakan tiga jenis kecemasan, yaitu

kecemasan neurotik, kecemasan moral, dan kecemasan realistik.

Kecemasan pada anak bisa memburuk seiring waktu (Kendall dalam

Suroso, 2011) dan menimbulkan akibat-akibat yang serius pada orang

dewasa, seperti gangguan kecemasan berkelanjutan, depresi mayor,

keinginan bunuh diri, dan perawatan inap karena gangguan psikiatrik

(Achenbach, Alloy, Kelly, et.al dalam Suroso, 2011). Kecemasan itu sendiri

mempunyai dampak bagi perkembangan anak atau bagi masa depan anak.

Menurut Wyman (dalam Jasinski, 2003), anak-anak yang mengalami

kecemasan akan memiliki lebih sedikit teman dekat dan tidak terlibat dalam

kegiatan seperti teman-temannya. Kecemasan juga dapat mempengaruhi

kemampuan anak untuk berkonsentrasi di sekolah atau hadir di sekolah

(keterlibatan dalam sekolah) dan kompetensi kognitif anak berkurang. Selain

itu juga dapat menyebabkan masalah perilaku (Jasinski, 2003).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perceraian menimbulkan

kecemasan bagi anak. Jasinski (2003), menyebutkan bahwa perceraian pada

dasarnya diasosiasikan dengan kecemasan anak-anak. Dalam penelitiannya

Jasinski melakukan perbandingan tingkat kecemasan antara anak dari

keluarga bercerai dan anak dengan orangtua utuh. Tingkat kecemasan

anak-anak korban perceraian lebih tinggi daripada anak-anak dengan orangtua utuh.

Demikian juga dengan artikel yang ditulis oleh Rodriquez dan Arnold (1998),

yang menyebutkan bahwa efek dari perceraian orangtua salah satunya adalah

(18)

lebih lanjut mengenai jenis-jenis kecemasan yang muncul dan hanya sekedar

kecemasan sebagai dampak dari perceraian orangtua.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecemasan apa saja yang

dialami oleh anak-anak dari keluarga bercerai. Maka dari itu, peneliti

menggunakan pendekatan kualitatif analisis interpretatif. Analisis interpretatif

ini bertujuan mengungkapkan secara detail bagaimana subjek mengalami

dunia personal dan sosialnya. Tujuan utama analisis interpretatif yaitu

memperoleh makna dari berbagai pengalaman, peristiwa, dan status subjek.

Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal subjek serta

menekankan pada persepsi atau pendapat subjek tentang objek atau peristiwa

(Smith, 2009).

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil CAT(Children Apperception Test). CAT merupakan tes proyektif bercerita (story telling), dengan stimulus terdiri dari sepuluh gambar situasi ambigu. Anak diminta

untuk bercerita sesuai gambar yang disajikan. Melalui gambar yang disajikan

dalam CAT ini, anak dapat memproyeksikan kebutuhan atau

dorongan-dorongan, dinamika hubungan interpersonal, konflik, dan kecemasan akan

sesuatu (Bellak, 1997). CAT dapat menggali data yang tidak dapat diperoleh

melalui metode lain (wawancara dan observasi), karena dapat

mengekspresikan ide-ide yang terlalu mengancam bagi anak untuk

(19)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah peneliti sampaikan

di atas, maka peneliti ingin mengetahui apa saja kecemasan yang terjadi pada

anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT?

C. Tujuan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui gambaran

kecemasan yang terjadi pada anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari

CAT.

D. Manfaat

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi kepribadian dan psikologi

perkembangan anak, khususnya mengenai kecemasan pada anak dari keluarga

bercerai

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi keluarga-keluarga khususnya keluarga bercerai, psikolog, dan praktisi

(20)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

1. Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah keadaan mood yang ditandai dengan ketegangan tubuh, dan khawatir akan bahaya di masa depan atau

ketidakberdayaan (Mash & Wolfe, 1999). Menurut Chaplin (2008),

kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan

keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk

ketakutan tersebut.

Menurut Freud (dalam Semiun, 2006), kecemasan adalah suatu

keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan disertai dengan sensasi

fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang.

Freud mengemukakan bahwa ego menjadi tempat kecemasan dan hanya

ego yang dapat menghasilkan dan merasakan kecemasan.

Maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan keadaan

perasaan yang tidak menyenangkan, tertekan, kekhawatiran akan kejadian

di masa mendatang.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecemasan

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecemasan adalah

(21)

a. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari anak itu

sendiri, seperti misalnya :

1) Sensitivitas anak terhadap peristiwa yang berpotensi mengancam.

Anak yang terlalu sensitif dengan kondisi mengancam

akan lebih mengalami kecemasan dibanding dengan anak yang

kurang sensitif (Wenar & Kerig, 2000).

2) Kemampuan anak menghadapi hal-hal yang menakutkan.

Anak mengalami kecemasan ketika tidak biasa

menghadapi hal-hal yang menakutkan (Wenar & Kerig, 2000).

3) Temperamen

Menurut Wenar & Kerig (2000), temperamen yang

menyebabkan kecemasan dikenal dengan behavior inhibition. Kondisi ini terlihat pada anak yang pemalu, pendiam, penakut,

dan menghindari tantangan. Anak dengan behavior inhibition

akan meningkatkan resiko kecemasan daripada anak dengan

behavior uninhibition.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kecemasan

(22)

1) Pola asuh orangtua

Orangtua yang memiliki pola asuh

overprotective/overcontrolleddan pola asuh rigid akan membatasi kebebasan anaknya dan orangtua terlalu berharap terhadap anak.

Hal ini menyebabkan anak merasa tidak diterima oleh

orangtuanya dan akan timbul kecemasan pada anak (Mash &

Wolfe, 1999). Menurut Hatherington (dalam Bukatko, 2008),

orangtua yang bercerai memiliki pola asuh otoriter. Hal ini yang

menyebabkan anak mengalami kecemasan karena orangtua

menentukan aturan baru yang cukup ketat terhadap anaknya.

2) Attachment

Anak dengan insecure attachment lebih menunjukkan kecemasan daripada anak dengan secure attachment. Hal ini dikarenakan anak tidak mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan.

Anak akan menjadi merasa tidak bebas, tidak aman, dan merasa

takut (Wenar & Kerig, 2000).

c. Faktor Pembelajaran

Teori pembelajaran menekankan bahwa ketakutan dan

kecemasan dipelajari melalui pengkondisian klasikal dan

pengkondisian operan. Dalam pengkondisian klasikal, ketakutan

(23)

menakutkan. Sebagai contoh, anak akan merasa ketakutan ketika

sedang berada di kamar sendirian dan disertai dengan suara-suara

menakutkan. Hal tersebut membuat anak menjadi ketakutan ketika

harus berada di kamar sendirian. Prinsip pengkondisian operan yaitu

bahwa perilaku yang kemudian dilanjutkan dengan pemberianreward

atau reinforcement. Suatu hal akan dianggap menakutkan, jika terdapat reward otomatis setiap kali anak menghindari objek atau situasi menakutkan. Dengan demikian, melalui proses penguatan

negatif, menghindari stimulus menakutkan menjadi respon yang

dipelajari, hal ini berfungsi mempertahankan ketakutan anak (Mash &

Wolfe, 1999). Sebagai contoh, ketika seorang anak menghindari

kesendirian maka akan diberi reward oleh orangtuanya, maka anak akan menghindari kesendirian. Menghindari kesendirian tersebut

menjadi respon yang dipelajari dan hal ini akan mempertahankan anak

menjadi tetap cemas ketika sendiri.

B. Anak-anak Usia Akhir

Masa pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan

yang terentang dari usia kira-kira enam hingga 11 tahun, yang kira-kira setara

dengan tahun-tahun sekolah dasar. Periode ini kadang-kadang disebut

masa-masa sekolah dasar (Santrock, 2002). Menurut Papalia (2009), masa-masa

kanak-kanak berada pada usia lima atau enam sampai 11 tahun. Masa sekolah atau

(24)

tahun (Havighurst dalam Desmita, 2009). Menurut Bukatko dan Berk (2008),

masa pertengahan dan akhir anak-anak berawal pada usia enam hingga 11

tahun.

Anak usia sekolah mengalami emosi tertentu yang dikendalikan oleh

rasa tanggung jawab. Jika anak merasa bersalah maka anak cenderung

menebus kesalahan. Selain itu, ketika orangtua atau orang lain menyalahkan

atau mengkritik anak, maka anak akan merasa malu yang intens yang dapat menyebabkan penurunan tajam dalam harga diri disertai dengan depresi dan

kemarahan (Berk, 2008). Dalam usia ini anak menerima suatu peran yang

baru, berinteraksi dan mengembangkan hubungan dengan orang-orang baru

yang penting lainnya, mengadopsi kelompok acuan baru, dan

mengembangkan standar-standar baru untuk menilai diri mereka sendiri

(Santrock, 2002).

Ketika anak-anak memasuki masa pertengahan dan akhir anak-anak,

para orangtua hanya memberi sedikit waktunya untuk mereka. Meskipun

demikian, orangtua tetap menjadi pelaku-pelaku sosialisasi yang sangat

penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Anak dan orangtua membagi

pengaturan perilaku, konflik dengan saudara kandung membantu

perkembangan keterampilan untuk resolusi konflik, dan persahabatan menjadi

semakin dekat (Santrock, 2002).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rentang usia

anak-anak berada pada 6 sampai 11-12 tahun. Pada masa ini, anak-anak

(25)

kontrol diri pada anak juga telah meningkat dengan adanya konflik-konflik

yang muncul, baik dengan saudara maupun orang tua. Di samping itu, pada

masa ini anak-anak mengalami perkembangan pemahaman diri.

C. Perceraian

1. Pergertian Perceraian

Menurut KBBI Pusat Bahasa (2008), perceraian adalah putusnya

hubungan sebagai suami istri atau talak.

Menurut Yusuf (2004), perceraian orang tua adalah keadaan

keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan. Menurut Save

(2002), perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar

dan penyesuaian utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan

perilaku karena kehilangan satu orang tua.

Maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah terputusnya

hubungan perkawinan antara suami istri, menyebabkan keluarga tidak

harmonis, dan berdampak buruk bagi anak.

Anak-anak dari keluarga bercerai adalah anak yang berasal dari

keluarga dengan orangtua yang tidak dapat menjalankan perannya sebagai

(26)

2. Dampak Perceraian pada Anak

a. Secara hukum

Secara legal formal, perceraian menuntut adanya keputusan

tindak lanjut dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan

hak asuh anak dan pembagian harta. Harta setelah perceraian yang

didapat selama perkawinan merupakan harta bersama. Hal ini seperti

yang tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974. Di samping itu, hak asuh anak terhadap anak di bawah

12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang tertuang dalam

Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a. Meskipun demikian, bagi

anak di atas 12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan

siapa anak tersebut akan tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya.

Hal ini dikarenakan ayah atau ibu mempunyai kewajiban yang sama

dalam merawat dan mendidik anak, seperti yang tertuang dalam

Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

Menurut KHI, dampak perceraian secara hukum menuntut

seorang ayah untuk bertanggung jawab atas kebutuhan dan biaya

pemeliharaan anak. Jika tidak demikian maka pengadilan akan

menuntut ibu untuk ikut bertanggung jawab atas kebutuhan anak.

Seorang ayah akan menafkai anaknya hingga dewasa dan dapat

mengurus diri (sekitar usia 21 tahun). Dalam jangka waktu tertentu,

seorang istri juga dapat meminta nafkah kepada suaminya pasca

(27)

b. Secara psikologis

Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih

merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang

pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Periode

penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak

daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orang tua.

Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1989) telah menemukan

bahwa kebanyakan anak melalui tahap dalam penyesuaian ini:

penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada

mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar menawar dalam

usaha mempersatukan orang tua, depresi dan akhirnya penerimaan

perceraian (Hurlock, 1989).

Perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab

mereka cenderung membuat anak menjadi berbeda dalam mata

kelompok sebaya. Jika anak ditanya di mana orang tuanya atau

mengapa mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti

orang tua yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa

malu. Di samping itu, mereka mungkin merasa bersalah jika mereka

menikmati waktu bersama orang tua yang tidak ada (Hurlock, 1989).

Perlakuan orang tua kepada anak pasca perceraian biasanya

berubah. Hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada anak-anak

(28)

dari perilaku orang tua yang semula menerima anak dan akhirnya

menolak dan tidak mencintainya, maka hal ini akan menyebabkan

anak menjadi cemas, merasa tidak aman akan sesuatu hal yang

mengancam dirinya, dan merasa ditolak (Hurlock, 1989).

Menurut Save (1990), setiap tingkat usia anak dalam

menyesuaikan diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan

penyelesaian berbeda. Kelompok anak prasekolah pada saat kasus ini

terjadi memiliki kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila

menghadapi masalah dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu

sering tidak betah, tidak menerima cara hidup baru. Anak tidak akrab

dengan orangtuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu

ingin mencari ketenangan.

Periode penyesuaian anak yang terburuk yaitu satu tahun

setelah perceraian. Anak memperlihatkan karakter yang negatif

seperti kebingungan dan ketidakpatuhan. Meskipun demikian,

setelah dua tahun perceraian efek tersebut berkurang terutama pada

anak perempuan. Di sisi lain, setelah enam tahun, anak laki-laki

kembali memperlihatkan ketidakpatuhan, relasi buruk dengan teman

sebaya, dan rendahnya harga diri (Hatherington dalam Bukatko,

2008).

Penyesuaian anak terhadap perceraian sebagian bergantung

pada usia atau kematangan anak, gender, temperamen, dan

(29)

muda cenderung lebih cemas mengenai perceraian, memiliki

persepsi yang kurang realistis mengenai penyebabnya, dan

menyalahkan diri mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka dapat

beradaptasi lebih cepat daripada anak yang lebih tua, yang memiliki

pemahaman lebih baik mengenai apa yang sedang terjadi. Anak-anak

usia sekolah bisa saja takut akan penelantaran dan penolakan. Anak

laki-laki umumnya merasa lebih sulit beradaptasi dibandingkan anak

perempuan (Bray, Hetherington, Stanley-Hagan, et al. dalam

Papalia, 2009). Kebanyakan anak dengan orang tua bercerai

menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi perceraian

meningkatkan risiko masalah pada masa remaja atau dewasa, seperti

perilaku antisosial. (Kelly & Emery dalam Papalia, 2009).

Dengan demikian, banyak dampak negatif yang terjadi pada

anak-anak akibat perceraian orang tua. Anak-anak merasa berbeda

dengan teman sebaya, kesulitan penyesuaian hidup dengan orangtua

tunggal, dan adanya kecemasan yang mengikutinya. Kecemasan ini

adalah kecemasan anak akan penolakan, ketidaknyamanan, dan

kehilangan kasih sayang.

D. CAT(Children’s Apperception Test)

CAT merupakan tes dengan menggunakan teknik proyektif aperseptif

atau disebut juga tes apersepsi. Apersepsi adalah interpretasi yang bermakna

(30)

sudah merupakan sesuatu yang bermakna individual (meaningfulness)

(Prihanto, 1993).

CAT merupakan sebuah bentuk tes proyektif yang dirancang untuk

memahami dinamika anak-anak dalam menghadapi masalah-masalah dalam

perkembangannya. Menurut Bellak (1997), CAT digunakan untuk memahami

relasi subjek dengan figur lain dan dorongannya. Gambar-gambar dalam CAT

ini dirancang untuk memunculkan respon mengenai masalah makan secara

khusus dan masalah oral secara umum, masalah persaingan antar saudara,

relasi dengan figur orang tua, fantasi tentang agresi, tentang penerimaan

dunia orang dewasa, ketakutan terkait kesendirian di malam hari, dinamika

hubungan interpersonal, kumpulan drive, dan pertahanan diri mereka. Selain itu, CAT juga mampu mengungkapkan kecemasan. Ragam kecemasan pada

anak-anak menurut Bellak, kecemasan terkait dengan kondisi bahaya fisik,

misalnya disakiti oleh oranglain, binatang buas; kecemasan akan hukuman

yang kemungkinan dihadapi; kecemasan akan kehilangan atau berkurangnya

kasih sayang dari orang tua atau orang sekitar; kecemasan akan penolakan;

kecemasan akan situasi kesendirian dan kesepian; dan kecemasan akan

berkurangnya atau kehilangan dukungan.

(31)

dengan tokoh binatang. CAT-H lebih efektif untuk anak usia tujuh hingga 10

tahun terutama dengan IQ tinggi (Bellak, 1997).

CAT terdiri dari 10 kartu bergambar, baik itu CAT animal maupun CAT-H. Masing-masing kartu terdapat tema-tema tertentu. Tema-tema

tersebut antara lain :

1. Kartu 1 : deprivasi oral

2. Kartu 2 : permainan, ketakutan akan agresi, simbol masturbasi

3. Kartu 3 : gender, kebingungan peran, konflik antara kepatuhan dan

otonomi

4. Kartu 4 : persaingan antar saudara, relasi dengan figur ibu

5. Kartu 5 : mengamati, menduga, kebingungan, keterlibatan emosional

anak

6. Kartu 6 : kecemburuan terhadap kedekatan orangtua, menginginkan

otonomi dari orangtua

7. Kartu 7 : agresifitas dalam hidup anak, ketakutan terhadap agresi

8. Kartu 8 : hubungan dengan orangtua, relasi ibu dan anaknya

9. Kartu 9 : ketakutan akan gelap, ditinggalkan sendiri, rasa ingin tahu

pada apa yang terjadi di ruangan sebelah

10. Kartu 10: hukuman, konsep moral anak, toilet training

E. Kecemasan pada Anak dari Keluarga Bercerai

Perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis,

(32)

dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama

bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena kehilangan

satu orang tua.

Secara psikologis, anak yang berasal dari keluarga bercerai

memperoleh banyak tekanan, karena suasana rumah kurang harmonis. Selain

itu, keadaan lingkungan juga mengharuskan anak melakukan penyesuaian diri

terhadap perubahan-perubahan. Hal ini dikarenakan tekanan dan keadaan

lingkungan sebagai akibat dari perceraian kedua orang tuanya, menyebabkan

anak merasa dirinya tidak aman. Padahal, anak pada usia sekolah adalah anak

yang merasa takut diejek, takut tercela, takut kehilangan miliknya, takut akan

penyakit dan takut akan gagal di sekolah. Rasa tidak aman yang

menyelubungi tersebut juga akan menimbulkan perasaan inferior pada anak

terhadap kemampuan dan kedudukannya. Anak merasa rendah diri, menjadi

takut untuk memperluas pergaulannya dengan teman-temannya (Gunarsa,

2003).

Menurut Save (1990), setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan

diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda.

Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi ada

kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah

dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak

menerima cara hidup baru. Ia tidak akrab dengan orangtuanya. Anak ini

(33)

Dalam kasus perceraian, kecemasan selalu mengikuti anak yang

menjadi korban perceraian orang tua. Kecemasan merupakan sesuatu yang

tidak jelas, adanya perasaan gelisah yang disebabkan oleh ketakutan terhadap

sesuatu yang tidak diduga akan terjadi, proses emosi yang bercampur baur,

yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan

pertentangan batin. Menurut Singgih (1995), kecemasan merupakan suatu

perubahan suasana hati, perubahan di dalam dirinya sendiri yang timbul dari

dalam tanpa adanya perangsang dari luar. Istilah kecemasan juga dipakai

untuk menunjukkan suatu respons emosional yang tidak menyenangkan.

Kecemasan selalu didapatkan pada anak-anak yang mengalami gangguan

emosional.

Dengan demikian, banyak dampak negatif yang terjadi pada

anak-anak akibat perceraian orang tua. Anak-anak-anak merasa berbeda dengan teman

sebaya, kesulitan penyesuaian hidup dengan orangtua tunggal, dan adanya

kecemasan yang mengikutinya. Kecemasan ini adalah kecemasan anak akan

(34)

Skema 1: Kerangka Penelitian: Gambaran Dampak Perceraian Orangtua

F. Pertanyaan Penelitian

Apa saja kecemasan yang terjadi pada anak dari keluarga bercerai

yang diperoleh dari CAT?

Keluarga Bercerai (perceraian orangtua)

Dampak secara Hukum :

 Pembagian harta  Penentuan hak

asuh anak Faktor-faktor yang

mempengaruhi

terbentuknya kecemasan :

 Faktor Internal  Faktor Eksternal

 Faktor Pembelajaran Dampak Psikologis: Kecemasan, depresi,

stress, perasaan ditolak

Kecemasan :

Apa saja kecemasan pada

anak dari keluarga

dengan orangtua

(35)

21

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis

interpretatif. Analisis interpretatif ini bertujuan mengungkapkan secara detail

bagaimana subjek mengalami dunia personal dan sosialnya. Tujuan utama

analisis interpretatif yaitu memperoleh makna dari berbagai pengalaman,

peristiwa, dan status subjek. Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi

pengalaman personal subjek serta menekankan pada persepsi atau pendapat

subjek tentang objek atau peristiwa (Smith, 2009).

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis untuk memperoleh

kecemasan akibat dari perceraian orangtua.

B. Fokus Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecemasan pada anak-anak

dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT. Kecemasan merupakan

proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang

mengalami tekanan perasaan, perasaan gelisah, dan keadaan mental yang

tidak enak akan sesuatu yang dibayangkan, dan suatu perubahan suasana hati

(36)

Dalam penelitian ini kecemasan dapat ditemukan dari sebagian atau

keseluruhan cerita dalam CAT. Dari cerita-cerita CAT dapat ditemukan

jenis-jenis kecemasan pada anak-anak, antara lain kecemasan yang berhubungan

dengan bahaya fisik, hukuman, takut karena kurangnya atau kehilangan kasih

sayang, penolakan, dan kesendirian (kesepian, kurangnya dukungan). Hal ini

akan menjadi berharga untuk dicatat dalam konteks pertahanan anak terhadap

ketakutan yang dihadapinya (Bellak, 1997).

C. Subjek Penelitian

Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria

tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya dan berdasarkan teori atau

konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian.

Subjek dalam penelitian ini memiliki beberapa karakteristik sebagai

berikut:

a. Subjek berada pada masa pertengahan anak-anak (middle childhood)

yaitu usia enam hingga 11 tahun sesuai tahap perkembangan Bukatko

dan Berk (2008)

b. Subjek merupakan anak dari orang tua yang bercerai.

c. Perceraian orang tua terjadi dalam masa kehidupan subjek, yaitu ketika

subjek sudah lahir.

D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

(37)

tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan. Dokumen

memiliki beberapa kelebihan, antara lain: dokumen merupakan sumber yang

stabil, kaya, dan mendorong; sebagai bukti untuk suatu pengujian; sifatnya

alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada dalam konteks (Guba dan

Lincoln dalam Moleong, 2009), dan dapat menggali data yang tidak dapat

diperoleh melalui metode lain (wawancara dan observasi). Dalam penelitian

ini, dokumen yang digunakan sebagai data penelitian meliputi respon CAT

dan data latar belakang subjek.

1. Data Utama : Respon CAT

Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, CAT merupakan

tes proyektif apersepsi atau tes bercerita (story telling). CAT terdiri dari sepuluh gambar dengan situasi yang tidak terstruktur dan ambigu.

Melalui gambar yang disajikan dalam CAT ini, anak dapat

memproyeksikan dan akan lebih mudah mengekspresikan kebutuhan,

konflik, kecemasan, dan dinamika hubungan interpersonal. Selain itu,

menurut Wenar dan Kerig (2000), melalui CAT anak akan lebih mudah

mengekspresikan ide-ide yang terlalu mengancam untuk dibicarakan

secara langsung.

Prosedur dalam CAT tersebut, yaitu anak diberikan 10 kartu

dengan situasi ambigu, kemudian anak diminta untuk bercerita sesuai

gambar yang disajikan. Cerita tersebut meliputi apa yang terjadi, apa

yang dipikirkan oleh tokoh, apa yang dirasakan, dan akhir ceritanya

(38)

2. Data Pelengkap : Dokumen latar belakang subjek

Selain menggunakan data CAT, peneliti juga menggunakan data

latar belakang untuk mendapatkan data secara lebih mendalam dan

menyeluruh terkait dengan munculnya kecemasan pada anak. Data latar

belakang diperoleh berdasarkan wawancara dan observasi. Latar

belakang tersebut meliputi kehidupan intrapersonal subjek (konsep diri

subjek) dan kehidupan interpersonal subjek yang meliputi riwayat

keluarga, pandangan subjek terhadap orang tua, relasi dengan keluarga

dan teman sebaya.

E. Analisis Tematik

Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis

tematik. Analisis tematik dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap

tema-tema yang mengandung kecemasan terkait dengan keluarga.

Tahap-tahap analisis tematik tersebut yaitu:

1. Tema Deskriptif

Tema deskriptif merupakan ringkasan cerita yang mempunyai

arti untuk menjelaskan psikodinamika subjek. Pada tahap ini cerita

subjek yang mengandung arti kecemasan (awal, tengah, dan akhir

cerita) diringkas dan dimasukkan ke dalam satu kolom tema deskriptif.

2. Tema Interpretif

Tema interpretif merupakan tema yang dinyatakan dalam

(39)

cerita dalam tema deskriptif digeneralisasikan menjadi kalimat umum

yang mengandung sebab akibat.

3. Tema Diagnostik

Tema diagnostik merupakan pernyataan yang definitif dan sifat

hipotesis dihilangkan. Pada tahap ini, peneliti menentukan jenis

kecemasan berdasarkan tema deskriptif, tema interpretif, dan latar

belakang subjek (Bellak, 1997).

Dalam penelitian ini, peneliti membatasi analisis tematik pada

tema-tema kecemasan dan yang berkaitan dengan keluarga.

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian dilakukan dengan mengupayakan

dependabilitas penelitian. Menurut Poerwandari (2005), dependabilitas sama

dengan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Dependabilitas dalam

penelitian ini diketahui dengan istilah diskursus. Diskursus yaitu sejauh mana

dan seintensif apa peneliti mau mendiskusikan temuan dan analisisnya

dengan orang lain (Sarantakos dalam Poerwandari, 2005). Diskursus dalam

penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

1. Peneliti melakukan analisis tematik terhadap cerita CAT berdasarkan tiga

(40)

2. Peneliti dengan seorang psikolog pembimbing skripsi melakukan diskusi.

Hal ini untuk memperoleh kesepakatan terhadap interpretasi atau makna

kecemasan.

3. Melakukan pengecekan kembali terhadap tema diagnostik (arti

kecemasan) untuk memastikan bahwa tidak terdapat arti kecemasan yang

(41)

27

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan Data

Peneliti menggunakan data dokumen laporan praktikum atau

pemeriksaan dengan CAT yang tersedia di Laboratorium Fakultas

Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dokumen laporan CAT tersebut

diambil berdasarkan pelaksanaan pengetesan mulai tahun 2005 hingga

tahun 2011 dengan subjek anak usia enam hingga 11 tahun dan berasal

dari keluarga bercerai. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti

mendapatkan sembilan dokumen laporan CAT, yaitu delapan buah

laporan CAT-H dan satu buah laporan CAT animal. Subjek laki-laki berjumlah lima anak dan empat anak perempuan.

2. Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan melakukan interpretasi atau

analisis tematik terhadap cerita-cerita yang mengandung kecemasan.

Analisis tematik dilakukan dengan mengidentifikasi tema deskriptif,

merumuskan tema interpretif, dan menentukan tema diagnostik. Cerita

subjek yang mengandung arti kecemasan (awal, tengah, dan akhir cerita)

diringkas dan dimasukkan ke dalam satu kolom tema deskriptif.

(42)

kalimat umum yang mengandung sebab akibat. Tahap terakhir peneliti

menentukan jenis kecemasan berdasarkan tema deskriptif, tema

interpretif, dan latar belakang subjek.

B. Hasil Penelitian

1. Deskripsi subjek penelitian

Berikut adalah deskripsi masing-masing subjek berdasarkan data

latar belakang dalam laporan hasil pemeriksaan CAT :

Tabel 1. Deskripsi subjek penelitian

No. Nama Jenis Kelamin Usia Urutan Kelahiran Usia Perceraian

1 FCS Laki-laki 11 tahun Anak pertama dari

dua bersaudara 3 tahun

2 NL Perempuan 10 tahun Anak kedua dari dua bersaudara

(tidak ada informasi)

3 ABM Laki-laki 10 tahun Anak ketiga dari

empat bersaudara 4 tahun 4 ASY Perempuan 7 tahun Anak tunggal 1 tahun

5 MM Laki-laki 10 tahun Anak pertama dari

dua bersaudara 1 tahun

6 TM Laki-laki 7 tahun Anak tunggal (tidak ada informasi) 7 F Perempuan 11 tahun Anak tunggal 3 tahun 8 NSM Perempuan 10 tahun Anak tunggal 2 tahun

9 APP Laki-laki 11 tahun Anak pertama dari tiga bersaudara

(tidak ada informasi)

2. Kecemasan yang muncul

Berdasarkan interpretasi yang telah dilakukan, maka diperoleh hasil

sebagai berikut:

(43)

b. Jenis kecemasan tersebut dikategorikan sesuai makna yang berdekatan.

Di bawah ini merupakan tabel kategori jenis kecemasan yang diperoleh:

Tabel 2. Kategori Jenis Kecemasan

No. Jenis Kecemasan Jumlah

2. Kecemasan akan kehilangan perhatian

dari orangtua 2

Kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang

3. Kecemasan akan diabaikan 1 4. Kecemasan akan penolakan (karena

tidak patuh) 6

5. Kecemasan akan kehilangan kasih

sayang 4

6. Kecemasan tidak ada yang merawat /

menjaga (pemeliharaan) 1

Kecemasan terkait pemenuhan kebutuhan

7.

Kecemasan akan orangtua yang tidak bisa membantu / memenuhi keperluan anak

3 8. Kecemasan ditinggalkan 7

Kecemasan terkait kesendirian/ keterpisahan

9. Kecemasan akan kesendirian 8 10. Kecemasan akan keterpisahan 3 11. Kecemasan akan kesepian 1 12. Kecemasan akan perlakuan yang tidak

baik dari orang tua 1

Kecemasan terkait relasi dalam keluarga

13. Kecemasan akan kekerasan ayah 1 14. Kecemasan akan keadaan saudaranya 1 15. Kecemasan akan kejadian yang

menyedihkan dalam keluarga 1 16. Kecemasan akan hubungan buruk

dalam keluarga 2

17. Kecemasan tidak dapat mengatasi

kesulitan yang dihadapi (jalan keluar) 1

Kecemasan terkait menghadapi kesulitan

18. Kecemasan akan ketidakberdayaan 2 19. Kecemasan akan bahaya 9 20. Kecemasan tidak mendapat bantuan

dari orang lain (di luar keluarga) 2 21. Kecemasan akan kekalahan dari orang

lain 2 Kecemasan terkait penilaian buruk

22. Kecemasan jika dinilai buruk 2

(44)

Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis kecemasan yang selalu

muncul di setiap subjek adalah kecemasan terkait menghadapi kesulitan,

yaitu kecemasan akan bahaya. Di samping itu juga kecemasan terkait

keadaan kesendirian/keterpisahan, yaitu kecemasan ditinggalkan dan

kecemasan akan kesendirian. Di sisi lain, kecemasan terkait perhatian dan

kasih sayang juga hampir dialami oleh sebagian besar subjek, subjek

mengalami kecemasan akan penolakan.

3. Kecemasan yang muncul dari masing-masing subjek

Berikut ini adalah penjelasan mengenai kecemasan pada

masing-masing subjek :

a. Subjek 1 (FCS)

Subjek 1 (FCS) yang kini tinggal bersama eyangnya, mengalami

kecemasan akan kekurangan/kehilangan materi yang dialami keluarga.

Kecemasan ini lebih dari sekali muncul dalam cerita FCS. Orang tua

FCS bercerai ketika FCS berumur 8 tahun. Mereka bercerai karena ayah

FCS tidak memiliki pekerjaan dan tidak dapat menghidupi keluarganya.

Selain itu, FCS juga memunculkan beragam kecemasan, diantaranya

kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang, kecemasan terkait

pemenuhan kebutuhan, kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan,

kecemasan terkait relasi dalam keluarga, kecemasan terkait menghadapi

(45)

b. Subjek 2 (NL)

Subjek 2 (NL) memunculkan berbagai jenis kecemasan.

Kecemasan yang sering muncul dalam ceritanya yaitu kecemasan

terkait perhatian dan kasih sayang dan kecemasan terkait menghadapi

kesulitan. Semenjak orangtua NL bercerai, relasi dalam keluarga

menjadi tidak harmonis. Ayah NL sama sekali tidak pernah menemui

NL lagi. Hal ini membuat NL menjadi tergantung pada ibunya.

Hubungan dengan kakak kandungnya juga sering diwarnai

pertengkaran. Di samping itu, NL juga memunculkan kecemasan terkait

pemeliharaan, kecemasan terkait pemenuhan kebutuhan, dan kecemasan

terkait kesendirian/keterpisahan.

c. Subjek 3 (ABM)

Dalam cerita ABM muncul beberapa kali kecemasan terkait

perhatian dan kasih sayang. Kecemasan terkait perhatian dan kasih

sayang muncul karena ABM harus patuh pada peraturan yang

ditetapkan oleh ibunya. Ibunya selalu memarahi ABM jika melanggar

aturan dari ibunya. Hal itu juga membuat ABM menjadi ketakutan.

Bahkan jika tidak patuh atau tidak hormat dengan ibunya maka akan

kualat dan tidak memiliki teman. Salah satu aturan yang terdapat dalam

keluarganya yaitu bahwa lingkungan harus bersih dan harus tidur siang

(46)

materi, kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan, kecemasan terkait

menghadapi kesulitan, dan kecemasan terkait penilaian buruk.

d. Subjek 4 (ASY)

Sebelum orangtuanya bercerai, sering terjadi pertengkaran yang

membuat ASY tertekan. Ketika perceraian belum terjadi, ASY sering

ditinggal bekerja kedua orangtuanya, sehingga ASY harus dititipkan

kepada kakek neneknya. Setelah orangtuanya bercerai, ASY tinggal

bersama ibunya. Ayahnya setiap malam menghubungi ASY, namun

ASY belum merasa puas. ASY sebenarnya merasa sedih atas perceraian

orangtua, namun subjek mengatakan sudah bisa menerima keadaan itu.

ASY mengalami kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan. Selain itu,

ASY juga memunculkan kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang

dan kecemasan terkait menghadapi kesulitan.

e. Subjek 5 (MM)

Subjek 5 (MM) adalah seorang anak laki-laki berusia 10 tahun.

MM tinggal bersama pakde dan budenya. Pakde dan budenya galak

terhadap MM. Bahkan sesekali ketika MM tidak disiplin, maka

pakdenya tak segan-segan untuk menyabet MM. Berdasarkan hasil

penelitian, diketahui bahwa MM sering memunculkan kecemasan

terkait menghadapi kesulitan. Di samping itu, MM juga memunculkan

kecemasan terrkait relasi dalam keluarga. Sebelumnya, karena orang tua

(47)

diterlantarkan oleh orang tuanya. Selain itu, kecemasan yang

dimunculkan MM juga terkait materi dan kecemasan terkait

kesendirian/keterpisahan.

f. Subjek 6 (TM)

Kehidupan TM bisa dikatakan sedang bermasalah, kedua

orangtuanya sedang menyelesaikan masalah perceraian. Semenjak

perceraian tersebut, TM tinggal bersama dengan ibunya. TM sangat

patuh kepada ibunya, dan tidak lagi berhubungan dengan ayahnya. Dulu

ayahnya sering memarahi ibunya. Berdasarkan hasil penelitian, TM

hanya sedikit memunculkan kecemasan dalam ceritanya. Kecemasan

tersebut adalah kecemasan terkait pemenuhan kebutuhan, kecemasan

terkait kesendirian/keterpisahan, dan kecemasan terkait menghadapi

kesulitan.

g. Subjek 7 (F)

Sejak orang tuanya bercerai, F tinggal dengan ibunya di

rumahnya yang dulu. Ayah F tidak pernah mengurusi F dan ibunya.

Sejak saat itu, F dan ibunya menjadi sangat tidak suka dengan ayahnya.

Selain itu, hidup mereka berubah terutama dalam hal ekonomi, karena

ibu F tidak bekerja. Dalam ceritanya, F memunculkan beragam

kecemasan, yaitu kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang,

(48)

dalam keluarga, kecemasan terkait menghadapi kesulitan, dan

kecemasan terkait penilaian buruk.

h. Subjek 8 (NSM)

Orangtua NSM bercerai ketika papanya bekerja di luar negeri.

NSM oleh papanya dititipkan kepada saudara iparnya dan tidak

bersama ibunya. Hal ini dikarenakan ibunya bekerja dan tidak pernah

memperhatikan NSM. NSM juga sangat sedih ketika orangtuanya

berpisah. Sebenarnya NSM ingin sekali mendamaikan orangtuanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa NSM mengalami kecemasan yang

cukup beragam, yaitu kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang dan

kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan. Di samping itu,

berdasarkan hasil penelitian NSM juga mengalami beberapa kecemasan

lain, yaitu kecemasan terkait materi dan kecemasan terkait menghadapi

kesulitan. Papa NSM semenjak bekerja di luar negeri, ekonomi

keluarga meningkat tapi tidak demikian dengan keharmonisan keluarga.

Keharmonisan keluarga justru semakin memburuk. NSM juga

mengalami kecemasan terkait relasi dalam keluarga.

i. Subjek 9 (APP)

APP lebih sering memunculkan sedikit kecemasan, yaitu

kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan dan kecemasan terkait

menghadapi kesulitan. Subjek merupakan anak pertama, memiliki adik

(49)

perempuan dan kakeknya, sedangkan adik laki-lakinya bersama kakek

dari ayahnya di Flores. Sebelumnya subjek dan keluarganya tinggal di

Jakarta, namun keluarganya kurang harmonis. Subjek mengalami

pengalaman kurang menyenangkan tentang ayah dan memiliki trauma

tentang pengalaman tersebut. Ayah subjek pergi meninggalkan keluarga

dengan tidak bertanggung jawab. Meskipun demikian, ibu memberikan

kasih sayang yang cukup kepada subjek.

Jenis kecemasan, identitas subjek, latar belakang, dan kecemasan yang

muncul pada setiap subjek dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 3. Ringkasan Kecemasan Tiap Subjek

No. Subjek

Jenis Kelamin /

Usia

Latar Belakang Keluarga Kecemasan yang Muncul

1. FCS Laki-laki / 11 tahun

Orangtua subjek bercerai pada saat subjek berumur 8 tahun dikarenakan ayah subjek tidak memiliki pekerjaan dan tidak dapat menghidupi

keluarga. Kini subjek telah memiliki seorang ayah tiri yang baik hati. Sedangkan ibunya adalah seorang yang tidak suka marah, baik dan sering merasa dirinya kecil dan lemah sehingga terpaksa memenuhi keinginan pemalak. Hal ini membuat eyangnya geram karena subjek jadi suka mencuri

(50)

uang dari toko eyangnya. 2. NL Perempuan

/ 10 tahun

Relasi di dalam keluarga subjek kurang harmonis karena ayah dan ibu subjek telah berpisah beberapa tahun yang lalu. Setelah perpisahan itu, ayah subjek sama sekali tidak pernah menemui subjek lagi. Hal ini membuat subjek benar-benar tergantung pada ibunya. Meskipun demikian, subjek merasa rindu akan kehadiran ayahnya. Hubungan dengan

Saat subjek berusia 6 tahun, subjek ditinggal ayahnya yang lagi subjek diasuh oleh ibunya sendiri yang berkerja keras memenuhi kebutuhan subjek dan kedua kakaknya.Ibu subjek menikah kembali dan dikaruniai seorang putra dari ayah tiri subjek. Meskipun demikian, setiap hari ibu subjek tetap menengok dan membantu mempersiapkan sekolah subjek. Ayah tiri subjek juga cukup perhatian.

(51)

10 tahun dan adik perempuannya diasuh subjek ketika hari raya. Subjek tidak tau bahwa orang tuanya telah bercerai. Pakde dan

Ayah dan ibu subjek saat ini telah berstatus bercerai. Subjek diasuh oleh ibu dan sangat patuh kepada ibunya. Relasi subjek dengan ayahnya berjalan biasa saja. Setelah resmi bercerai, ayah subjek tinggal di luar kota, subjek dan ayahnya jarang berkomunikasi, dan

(52)

Dari sembilan subjek ditemukan bahwa komposisi kecemasan yang

muncul berbeda satu sama lain. Pada dua subjek (subjek satu dan subjek

tujuh) muncul kecemasan yang cukup beragam, yaitu kecemasan terkait

materi, perhatian dan kasih sayang, pemenuhan kebutuhan,

kesendirian/keterpisahan, relasi dalam keluarga, menghadapi kesulitan,

penilaian buruk, dan hal irasional. Subjek dua, subjek tiga, dan subjek

delapan memunculkan kecemasan yang terkait materi, perhatian dan kasih

sayang, menghadapi kesulitan, dan kesendirian/keterpisahan. Di samping itu,

dari ketiga subjek tersebut, salah satunya terdapat kecemasan terkait

pemenuhan kebutuhan, relasi dalam keluarga, penilaian buruk, dan

pemeliharaan. Pada subjek lima, kecemasan yang muncul yaitu kecemasan

terkait materi, kesendirian/keterpisahan, relasi dalam keluarga, dan

menghadapi kesulitan. Subjek empat, subjek enam, dan subjek sembilan

hanya mengalami kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang, pemenuhan

kebutuhan, kesendirian/keterpisahan, dan menghadapi kesulitan. 9. APP Laki-laki /

11 tahun

Subjek dan keluarganya tinggal di Jakarta, namun keluarganya kurang harmonis. Subjek mengalami pengalaman kurang menyenangkan tentang ayah dan memiliki trauma tentang pengalaman tersebut. Ayah subjek pergi meninggalkan keluarga dengan tidak bertanggung jawab. Subjek tinggal bersama ibu dan saudaranya.

1) Kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan 2) Kecemasan terkait

(53)

C. Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setiap subjek mengalami

beberapa kecemasan. Kecemasan-kecemasan ini muncul berkaitan dengan

relasi atau keadaan dalam keluarga. Hal ini menegaskan pendapat Wallerstein

& Kelly (dalam Bukatko, 2008), bahwa anak-anak mengalami kesulitan

dalam menyesuaikan diri dengan perceraian orang tua. Dalam penelitian

Lazarus (2003), anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai juga akan

memiliki kecemasan dan mengalami kesulitan dalam penyesuaian. Selain itu,

berdasarkan hasil penelitian tidak diketahui perbedaan respon kecemasan

antara anak laki-laki dan perempuan seperti yang dikemukakan oleh

Hatherington, dkk (dalam Papalia, 2009).

Beberapa kecemasan disebabkan oleh masalah kehadiran orangtua.

Kecemasan yang dimunculkan oleh semua subjek adalah kecemasan akan

menghadapi kesulitan terkait kecemasan akan bahaya. Hal ini berkaitan

dengan latar belakang subjek yang mengalami berbagai pengalaman buruk

yang dihadapi ketika berada di dalam keluarga maupun dari orang-orang di

lingkungannya. Sebagai contoh, subjek lima mengalami kekerasan dari pakde

dan budenya. Bahkan ketika subjek tidak menuruti apa yang diinginkan oleh

mereka maka subjek akan disabet oleh pakdenya. Hal ini dikarenakan subjek

tinggal bersama pakde dan budenya setelah orangtuanya bercerai. Selain itu,

subjek satu juga mengalami kecemasan akan bahaya karena subjek sering

menemui pemalak yang sering memalaki subjek dan hal ini menyebabkan

(54)

seringkali mengatai subjek anak yang bodoh. Dalam artikel yang ditulis oleh

Tomi (2012), seorang anak dengan orangtua bercerai akan mengalami

ancaman, ketika orangtua saling berebut hak asuh anak. Kondisi ini bisa

membuat orangtua akan melakukan hal-hal yang sebenarnya mengancam

keselamatan anak. Sebagai contoh, salah satu orangtua akan melakukan

tindakan penculikan atau pemaksaan pada anak agar anak mau mengikuti

orangtuanya.

Beberapa subjek mengalami kecemasan akan

kesendirian/keterpisahan. Sebagian besar subjek ketika orangtuanya bercerai

ditinggalkan oleh sosok ayah. Beberapa subjek masih berhubungan melalui

telepon dengan orangtuanya yang tinggal terpisah dan merasa bahwa hal

tersebut tidak cukup baginya. Ada juga orangtua yang benar-benar

menelantarkan anak-anaknya dan hanya dititipkan kepada sanak saudaranya

yang belum tentu bisa merawat subjek dengan layak. Hal ini seperti yang

terjadi pada beberapa subjek yang tinggal bersama ibunya, namun karena

ibunya terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan maka subjek menjadi kurang

terurus dan dititipkan pada saudara.

Beberapa subjek juga mengalami beberapa kecemasan yang terkait

dengan masalah perhatian dan kasih sayang. Kecemasan terkait perhatian dan

kasih sayang yang dialami subjek adalah kecemasan akan penolakan yang

dikarenakan ketidakpatuhan terhadap orangtua dan kecemasan akan

diabaikan. Menurut Hatherington (dalam Bukatko, 2008), setelah berpisahnya

(55)

melakukan larangan untuk anak-anaknya, cenderung menguasai,

memperlihatkan sedikit kasih sayang, dan kurang tanggap terhadap anaknya.

Sebagian besar subjek memiliki aturan yang sangat ketat dalam keluarganya.

Hal ini dikarenakan subjek dituntut atau melakukan sesuatu yang terlalu

dibatasi oleh orangtua tunggal pasca perceraian, dan juga karena subjek juga

tinggal dengan kerabat lain tanpa ada orangtua yang mendampingi. Setelah

perceraian, beberapa subjek juga mengalami adanya peraturan-peraturan baru

yang ditentukan oleh orangtuanya.

Beberapa subjek mengalami kecemasan terkait materi. Kecemasan

yang muncul adalah kecemasan terkait pemenuhan kebutuhan/pemeliharaan

(tidak ada yang merawat/menjaga). Hal ini terlihat dari latar belakang subjek

yang menunjukkan bahwa beberapa orangtua subjek bercerai karena

permasalahan materi dan juga setelah perceraian mengalami permasalahan

terkait materi. Sebagai contoh, orangtua subjek delapan bercerai karena

ayahnya mengalami PHK dan akhirnya berangkat ke luar negeri untuk

bekerja. Kehidupan ekonomi membaik, tetapi tidak demikian dengan

hubungan antara ayah dan ibunya. Setelah perceraian, subjek tinggal dengan

kerabatnya karena ayahnya berada di luar negeri dan ibunya juga pergi

bekerja. Menurut artikel yang ditulis Pickar (2007), anak-anak dalam

keluarga bercerai itu kurang diperhatikan oleh orangtuanya. Hal ini

dikarenakan orangtua menghabiskan sedikit waktu dengan anak-anak mereka

dan terlalu sibuk dengan urusannya, sebagai contoh dengan lebih banyak

(56)

perceraian orangtua banyak memperhatikan anak-anaknya, namun ketika

perceraian terjadi, orangtua sering sibuk dengan urusannya sendiri.

Kecemasan lainnya yang dialami beberapa subjek adalah kecemasan

terkait penilaian buruk, seperti misalnya kecemasan akan kekalahan dari

orang lain, dan kecemasan jika dinilai buruk. Kecemasan tersebut

menegaskan tanggapan lingkungan terhadap anak yang dikemukakan oleh

Gunarsa (2003), yaitu bahwa anak yang berasal dari keluarga bercerai

merasakan dirinya tidak aman karena tekanan dan keadaan lingkungan. Anak

dipandang berbeda oleh masyarakat dan mengalami diskriminasi sosial dari

lingkungannya. Dalam penelitian Jaarsveld (2007), Debord & Firchow

menyebutkan bahwa anak usia pertengahan sedang menginginkan menjadi

menang, memimpin, dan menjadi yang pertama untuk dihargai. Pada

kenyataannya, anak usia sekolah adalah anak yang merasa takut diejek, takut

tercela, takut kehilangan miliknya, takut akan penyakit dan takut akan gagal

di sekolah.

Di samping kecemasan terkait kehadiran orangtua, perhatian dan kasih

sayang, materi, dan penilaian buruk, beberapa subjek juga mengalami

kecemasan terkait relasi dalam keluarga. Dalam artikel Pickar (2007), hal

yang menyakitkan jika salah satu atau kedua orangtua mencoba untuk

meminta anak di pihak mereka dalam proses perceraian. Dalam hal ini anak

mengalami kondisi yang tidak harmonis dalam keluarga. Di sisi lain, subjek

mengalami adanya kecemasan akan perlakuan yang tidak baik dari orangtua

(57)

mengalami bahwa ayahnya pergi dan tidak bertanggung jawab. Sebelum

perceraian berlangsung juga sempat disaksikan oleh anak yang tidak

mengetahui duduk persoalannya. Selain itu, orangtua subjek empat juga

sering bertengkar di hadapan subjek. Keadaan itu sangat membuat subjek

tertekan.

Dari berbagai kecemasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kecemasan-kecemasan yang muncul pada para subjek dapat dikaitkan dengan

perubahan situasi dalam keluarga, baik secara kuantitatif, yaitu terkait dengan

kehadiran dan secara kualitatif, yaitu terkait dengan perhatian dan kasih

(58)

44

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara umum, anak dari keluarga bercerai memunculkan berbagai

macam kecemasan. Kecemasan yang relatif banyak muncul adalah

kecemasan terkait menghadapi kesulitan, kecemasan terkait kehadiran

orangtua, kecemasan terkait perhatian dan kasih sayang, kecemasan terkait

materi, dan kecemasan terkait penilaian buruk. Dari berbagai kecemasan

tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecemasan-kecemasan yang muncul pada

para subjek dapat dikaitkan dengan perubahan situasi dalam keluarga, baik

secara kuantitatif, yaitu terkait dengan kehadiran dan secara kualitatif, yaitu

terkait dengan perhatian dan kasih sayang, serta relasi dalam keluarga.

B. Saran

Dengan mempertimbangkan keterbatasan penelitian di atas, maka

dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut :

1. Bagi peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya, peneliti mengusulkan agar interpretasi

dilakukan lebih dari dua orang. Selain itu, pengkategorian kecemasan

dalam penelitian ini tidak berdasarkan jenis-jenis kecemasan yang

(59)

disarankan untuk menggunakan jenis-jenis kecemasan menurut Bellak

dalam melakukan pengkategorian.

2. Bagi orangtua, khususnya orangtua yang bercerai

Kecemasan yang relatif banyak muncul adalah kecemasan terkait

dengan kehadiran orangtua dan kualitas hubungan. Dengan demikian

diharapkan orangtua yang bercerai tetap memperhatikan atau

mempertahankan kehadiran dirinya dalam kehidupan anak dan

mempertahankan perhatian dan kasih sayang terhadap anak.

3. Bagi psikolog dan praktisi anak

Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi bagi psikolog

atau praktisi anak mengenai ragam kecemasan yang muncul pada anak

dari keluarga bercerai, sehingga dapat melakukan penanganan pada anak

(60)

46

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Sumarwi. (2009). Kecenderungan anak berperilaku negatif ditinjau dari keharmonisan orangtua. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 29, 93-114.

Bellak, L., & Abrams, David M. (1997). The TAT, the CAT, and the SAT in clinical use (6th ed). Boston: Allyn and Bacon.

Berk, L.E. (2008).Infant and children, (6thed). USA: Pearson Education, Inc. Bukatko, D. (2008). Child and Adolescent Development: A cronological

approach. New York: Houghton Mifflin Company.

Chaplin, J. P. (2008).Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Daradjat, Zakiah Dr. (1996).Kesehatan mental. Jakarta: Gunung Agung.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, ed 4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Desmita, Dra., M. Si. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: Rosda.

Gunarsa, Singgih D. (2003). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Hurlock, Elizabeth B. (1989). Perkembangan anak, Jilid 2 (edisi keenam).

Jakarta: Erlangga.

Jaarsveld, Anna Wilhelmina Van. (2007). Divorce and Children in Middle Childhood: Parents’ contribution to minimise the impact. Diakses pada 25

Oktober 2012 dari

(61)

Jasinski, F. (2003).The impact of divorce on anxiety in elementary-aged children. Diakses pada 24 Oktober 2012 dari www2.uwstout.edu/content/.../2003jasinskif.pdf

Kagan, J. and Havemann, E. (1995). Psychology: An introduction (4thed). New York: Harcourt Brace Jovanovich, Inc.

Lazarus, Steven Psy. D. (2003).The Effects of Divorce on Children: How can we help. Diakses pada 10 November 2012 dari http://www.familyresource.com/downloads/slp1.pdf

Mash, E., Wolfe D. (1999). Abnormal child psychology. USA: Wadsworth Publishing Company.

.

Moleong, Lexy J. (2009).Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda. Mujahid, A. (2007). Perceraian menurut UU perkawinan. Diakses pada 18

Oktober 2011 dari http://almanaar.wordpress.com/2007/12/06/perceraian-menurut-uu-perkawinan/

Oktaria, Salma dr. (2011). Health News : Perceraian, solusi terbaikkah?. Diakses pada 04 Oktober 2011 dari http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2011/09/21/554/percera

ian--solusi-terbaikah-Papalia, Olds, & Feldman. (2009). Human development (10th ed). Jakarta: Salemba Humanika.

Pickar, Daniel PhD. (2003). Identifying children stress-responses to divorce. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2012 dari http://www.danielpickarphd.com/publications/Identifying-Childrens-Stress.pdf

(62)

Prihanto, S. (1993).TAT. Surabaya: Fakultas Psikologi.

Rodriquez, H. & Arnold, C. (1998). Children And Divorce: A snapshot. Diakses pada 10 November 2012 dari http://www.policyarchive.org/handle/10207/bitstreams/17944.pdf

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development:Perkembangan masa hidup (edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Save, M. D. (1990).Psikologi keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

__________ (2002).Psikologi keluarga. Jakarta: Cipta Jakarta. (Anggota IKAPI). Semiun, Yustinus OFM. (2006). Teori kepribadian dan terapi psikoanalitik

Freud. Yogyakarta: Kanisius.

Smith, J. A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan praktis metode riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tomi, A. (2012). Pemahaman hak asuh anak setelah perceraian terhadap perkembangan mental anak. Diakses pada 6 Desember 2012 dari https://imadiklus.googlecode.com/files/18%20Agustomi%20Pemahaman %20Hak%20Asuh%20Anak%20Setelah%20Perceraian.pdf

Utama, A. (2011). Pengertian perceraian. Diakses pada 22 November 2011 dari http://ilmupsikologi.wordpress.com/2011/03/28/pengertian-perceraian/

(63)

Gambar

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ...............................................................
gambar yang disajikan. Cerita tersebut meliputi apa yang terjadi, apa
Tabel 1. Deskripsi subjek penelitian
Tabel 2. Kategori Jenis Kecemasan
+5

Referensi

Dokumen terkait

perowi yang begitu banyak jumlahnya. Dengan memperhatikan setiap rangkaian sanad hadis di atas, baik ditinjau dari masa hidup, ataupun penjelasan dari masing-masing sanad

Dalam penelitian ini flo\ silomeri dua \!ama secara jelas menunjukkan perbedaaD anlara subpopulasi penderila !oP dan subyek dengan jaringan periodonsium sehat. Data-

Suatu tanda/gejala direkam sebagai kondisi utama, dengan indikasi kondisi terkait adalah suatu kondisi atau kondisi lain, reseleksi gejala tersebut sebagai “kondisi utama”. Bila

A. Menjadi Ketua Umum Pimpinan Organisasi Penyelenggara Pertinas Bakti Husada V 2016 adalah Kwartir Nasional Gerakan Pramuka c.q. Pimpinan Saka Bakti Husada Tingkat Nasional

Pada produk susu kental ini menggunakan kemasan primer berupa kaleng yang terbuat dari bahan plat timah dengan bahan pelapis atau enamel yang khusus yaitu enamel susu yang

Laccolith adalah tubuh batuan intrusi yang berbentuk cembung, dimana perlapisan batuan yang semula datar menjadi melengkung karena terdesak oleh intrusi ini,

Apabila terjadi perubahan tempat tugas atau status kepegawaian guru antar madrasah, antar jenis pendidikan dalam satu kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya, antar

Academic Motivation in Self-efficacy, Task value, Achievement Goal Orientations, and Attributional Beliefs, The Journal of Educational Research, 97:6, 287-298.. Bowman,