• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Oleh:

HAFDA ZURAIDA NIM: 034314007

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Teruntuk

Alm. Bapakku tercinta, terima kasih atas semuanya...

Ibuku tercinta, yang tak hentinya mendoakan dan menanyakan perkembangan skripsiku... Terima kasih atas semuanya, bu... Serta tak lupa kepada adik-adikku, Satria Dharmana dan Setyo Bekti

Nugroho, aku sayang kalian... Serta,

Almamater Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

MOTTO

Penentu keberhasilan adalah kamu sendiri.

(5)
(6)

vi ABSTRAK Hafda Zuraida

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Skripsi yang berjudul “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942” ini membahas tentang tiga permasalahan. Pertama membahas tentang latar belakang kemunculan batik di Yogyakarta, kedua tentang monopoli kraton terhadap batik dan yang ketiga membahas tentang peran Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri pada tahun 1935 sampai 1942.

Skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan batik yang muncul di Yogyakarta dan menyebar sampai ke daerah Imogiri. Sehingga dari permasalahan diatas akan terlihat proses kemunculan dan perkembangan batik di Yogyakarta.

Untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan diatas, akan digunakan metode penelitian berupa studi pustaka dan wawancara. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang mencakup: heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial dan budaya. Skripsi ini ditulis secara deskriptif analitis.

Dari penulisan ini, dapat dilihat bahwa batik tidak hanya dihasilkan oleh para perempuan dari kraton. Batik juga dihasilkan oleh wanita dari luar kraton. Feodalisme kraton terhadap batik mengakibatkan motif batik tertentu hanya boleh dipakai oleh kalangan keluarga raja. Tetapi setelah sistem feodal kraton mengalami kemerosotan, akhirnya batik bisa dinikmati oleh semua kalangan. Salah satu tokoh yang menyebabkan meluasnya motif dan menyebarnya kesenian batik adalah Djogo Pertiwi. Meskipun pada awalnya membuat motif khusus kraton, beliau juga mengajarkan seni membatik kepada masyarakat Imogiri.

(7)

vii

SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA

The title of this thesis is “Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”. This thesis is focused on three problems: 1. the background of the appearance of Batik in Yogyakarta. 2. The kraton’s monopoly the batik. 3. Djogo Pertiwi’s role to expand batik in Imogiri on 1935 to 1942.

The aim of this thesis is to describe the development of batik that appear in Yogyakarta and spread to Imogiri. From the problems above, it will be seen the process of the appearance and the development of batik in Yogyakarta.

To get answer of the problem above, it will be used the research method such as the form of book study and interview. The method which is used on this thesis writing is historical method including heuristic, verification, interpretation and historiography. The approach which used is social and culture approach. This thesis is written by descriptive analytive.

From this thesis, we can see that batik is not only produced by women from Kraton. Batik is also produced by women from outer Kraton. Kraton have feudalism to batik that certain batik motif just can wear by the Royal family. However, after Kraton’s feudal system of batik had experince decline. Finally, batik can enjoy by all people. Djogo Pertiwi is one of the figures who spread motif and art of batik. Beside of making special motif Kraton, she also teaches the art of making batik to Imogiri people.

(8)
(9)

ix

Puncak pencapaian penulisan skripsi ini telah berakhir. Tidak luput, penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan petunjuk kepada penulis dalam setiap lantunan doa yang dipanjatkan. Penulis juga tak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah yang telah memberikan nasehat serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

3. Romo Dr. G. Budi Subanar, SJ selaku dosen pembimbing, dengan penuh kesabaran telah memberikan saran, masukan, pikiran serta meluangkan waktu untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno, M. Hum., selaku dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu untuk senantiasa membantu memberi dukungan dan saran pada penulis, sejak awal kuliah sampai menyelesaikan skripsi.

(10)

x

Lucia Juningsih, M. Hum., Bapak Dr. Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum., dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo. Serta dosen-dosen lain yang telah memberikan ilmu bagi penulis selama penulis menempuh studi di Universitas Sanata Dharma.

6. Mas Tri, di sekretariat Fakultas Sastra, yang selalu melayani keperluan administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah.

7. Segenap staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

8. Teman-teman Jurusan Ilmu Sejarah, Mbak Upi, Mbak Yus, Ajeng, Mamik, Nana, Ekarama, Hananto, Markus, Daniel, Yuhan, Yossi, Yasser, Halim, Elang, Darwin, Agus, Aloy, Banar, Ifa, Theo, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya. 9. Teman-teman angkatan 2003 Sundari, Reni, Mariati, Anggi, Yoga, Domi,

Dedy, Ruperno, terima kasih atas dorongannya. Kalian akan selalu menjadi teman-teman yang akan selalu ku-ingat. Keep contact ya...

10. Inneke dan Irena, terima kasih atas semuanya, baik kala suka dan duka persahabatan kita selama ini. Keep contact ya...

11. Keluarga besar Ibuku di Magelang dan Yogyakarta. Pakde-Budhe, Oom-Tante, sepupuku Iing dan suami, Mas Isa, Mbak Ayu, dan Angga, terima kasih atas semangat dan doanya.

(11)
(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN DAN MOTTO... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PUBLIKASI ILMIAH ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik ... 19

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram ... 23

C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung ... 29

D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik ... 34

BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA ... 40

(13)

xiii

BAB IV. PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM PENGEMBANGAN

SENI MEMBATIK 1935-1942 ... 54

A. Keadaan Geografis Wilayah Penelitian ... 55

B. Perkembangan Batik di Imogiri ... 56

C. Proses Pembelajaran Djogo Pertiwi Dalam Membatik ... 60

D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan ... 65

E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942 ... 73

F. Unsur-Unsur Kebaruan yang Diciptakan Oleh Djogo Pertiwi ... 82

BAB V. PENUTUP ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(14)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bermacam-macam suku yang tersebar di berbagai wilayah di Nusantara. Setiap suku di Indonesia memiliki ciri khas keseniannya masing-masing. Salah satu kesenian yang terkenal adalah batik. Brandes mengatakan bahwa batik sudah dikenal sejak jaman prasejarah, bahkan menjadi salah satu kemampuan asli manusia Indonesia sebelum masuknya budaya asing. Batik merupakan suatu bentuk dari kesenian yang dalam pembuatannya mempunyai nilai tersendiri. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan memiliki tujuh unsur yaitu, bahasa, teknologi, ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Seni batik tulis termasuk dalam unsur-unsur kebudayaan dan menjadi salah satu ciri khas suatu wilayah tertentu.

(15)

Proses pembuatan pola atau motif yang rumit, membuat seorang pembatik harus lebih sabar dan telaten demi menghasilkan sebuah karya seni. Kemudian dalam wilayah teknologi, batik mampu memadukan nilai seninya. Dalam sebuah kain batik, setiap garis yang digambarkan untuk membuat corak atau motif diperhitungkan sehingga bisa tergambar rapi dan teratur. Menurut Kartini Parmono, keindahan bentuk tercipta karena perpaduan yang harmonis dari variasi susunan bentuk, garis, titik-titik, dan warna yang terpadu secara harmonis yang ditangkap dengan penglihatan atau panca indra.1

Batik dianggap sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai tinggi. Keindahan dari setiap garis yang ditorehkan canting ke dalam kain memiliki makna dan simbol. Pastinya seorang pembatik dalam membuat kain batik memiliki alasan, mengapa dia membuat corak yang seperti itu. Menurut Kartini Parmono, seni batik tradisional merupakan sistem simbol. Simbol-simbol tersebut diciptakan karena adanya hasrat untuk menyampaikan pesan-pesan serta amanat untuk diwariskan ke generasi penerus sebagai pembentuk watak dan kepribadian.2 Setiap corak yang dilukiskan bisa dianggap sebagai simbol untuk memberikan arti yang bermakna bagi setiap individu yang melihat maupun yang memakainya.

1

Kartini Parmono, “Simbolisme Batik Tradisional”, Jurnal Filsafat, No. 23, November, Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 1995, hlm 30.

2

(16)

3

Menurut motif dan warnanya, batik dibedakan menjadi dua macam yaitu batik pedalaman (juga disebut sebagai batik kraton) dan batik pesisiran.3 Batik pedalaman adalah batik yang tumbuh dan berkembang di lingkungan kraton dengan dasar-dasar filsafat kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang serasi, tertib dan seimbang.4 Motif yang digunakan adalah motif-motif yang diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan warna yang digunakan adalah warna coklat, biru, hitam, dan putih. Sedangkan batik pesisiran adalah batik berkembang di luar kraton dan tidak terikat pada alam pikiran Jawa. Para pembatik bebas untuk mengungkapkan ekspresi dalam karyanya.5

Di Jawa, perkembangan batik kraton (pedalaman) lebih dikenal di Yogyakarta dan Solo. Selama ini dua daerah tersebut menjadi pusat kebudayaan di mana sistem pemerintahan kerajaannya masih bertahan. Di dalam istana atau kraton sendiri, para penguasa, keluarga dekat beserta para abdi dalemnya masih memegang teguh adat dan tradisinya. Tradisi itu telah disampaikan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka. Dari kebiasaan yang turun temurun itulah, batik yang menjadi salah satu unsur budaya kraton, masih tetap eksis.

3

Ibid., hlm 29. 4

Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

5

(17)

Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang menjadi salah satu tempat penyebaran batik. Batik yang berasal dari wilayah ini disebut dengan batik kraton. Kraton menjadi salah satu pusat kebudayaan di Yogyakarta. Kesenian batik merupakan suatu bentuk kerajinan tangan yang berasal dari lingkungan kraton dan dalam pemakaiannya tidak bisa sembarangan orang bisa mengenakannya. Sehingga ketika seseorang mengenakan kain batik kraton maka mereka mempunyai hak istimewa yang dapat mengangkat kedudukannya.

Pada awal mulanya, batik merupakan sebuah kesenian tulis tradisional yang hanya dibuat oleh perempuan-perempuan dari kraton. Batik dihasilkan dari tangan-tangan perempuan di lingkungan kraton yang memiliki keahlian khusus dalam menorehkan canting. Dari tangan-tangan mereka yang menghasilkan karya batik ini, batik menjadi busana keprabon (busana kebesaran) para raja-raja di Kraton. Keahlian mereka telah diwariskan oleh para pendahulu secara turun temurun. Pekerjaan membatik dilakukan sebagai suatu kerja sambilan ketika para perempuan kraton itu mempunyai waktu luang.

Motif atau corak yang diajarkan dalam ketrampilan membatik sangat bermacam-macam. Masing-masing motif yang dihasilkan juga mempunyai makna yang sangat mendalam. Hal itu disebabkan karena batik diciptakan agar pemakainya dapat membawa kebaikan dan kebahagiaan.6 Batik muncul dari konsep estetika seni Jawa yang adiluhung sehingga mencerminkan nilai-nilai ketradisian dan dinamika

6

(18)

5

masyarakat pendukungnya.7 Orang-orang kraton mempunyai kekhasan tersendiri dalam membuat karya batik tulis. Mereka mengamalkan hal-hal yang menurut mereka masih dianggap sebagai tradisi nenek moyang.

Motif-motif batik yang sudah dibuat tidak bisa dipakai oleh sembarangan orang. Hanya beberapa kalangan saja yang bisa memakai motif-motif tertentu itu. Contoh motif-motif larangan, biasa untuk menyebut kain batik yang hanya dipakai oleh kalangan tertentu, misalnya seperti parang rusak, kawung, sidomukti, udan liris, semen rama, dan sawat. Batik dengan motif-motif tersebut hanya boleh dipakai oleh raja dan keluarga dekatnya saja.

Raja memerintah rakyatnya dengan kekuasaan feodal. Salah satu bentuk feodalisme suatu kerajaan dapat dilihat dari pemakaian batik ini. Dari gambar motif sebuah kain batik tersebut, bisa diketahui kedudukan sosialnya. Dengan kata lain, jika seorang raja memakai suatu motif batik yang menunjukkan kebesarannya maka rakyat harus menghormatinya. Kekuasaan feodal seorang raja membuat rakyat akan selalu patuh dan tidak melawan penguasa yang saat itu sedang memerintah, sehingga penguasa bisa melakukan kontrol terhadap rakyat di wilayah kekuasaannya. Kekuasaan feodal raja semakin lama semakin berkurang sehingga terjadilah proses defeodalisasi.

Proses pembatikan kemudian mengalami perkembangan, yang semula dikerjakan oleh perempuan-perempuan di lingkungan kraton dan berkembang

7

(19)

menjadi dikerjakan oleh perempuan di luar kraton. Motif-motif kebesaran raja tidak hanya dibuat oleh kalangan terbatas saja. Motif-motif larangan, seperti parang rusak, sawat, dan semen, sudah bisa dibuat dan dipakai oleh masyarakat luas.

Perluasan kemampuan membatik ini salah satunya dipelopori oleh Djogo Pertiwi. Seni pembuatan batik tidak hanya berada di kraton saja tetapi juga menyebar di beberapa wilayah di Yogyakarta. Salah satu wilayah yang masih bertahan untuk memproduksi batik adalah Imogiri. Imogiri terletak di sebelah selatan Kota Yogyakarta, tepatnya di dusun Pajimatan, kelurahan Girirejo. Di dusun Pajimatan itu juga terdapat suatu pemakaman raja-raja Mataram terdahulu. Penyebaran seni membatik ini terjadi ketika seseorang dari luar kraton bekerja menjadi abdi dalem kraton. Mereka mempunyai istri dari kalangan orang kraton yang mempunyai keahlian membatik. Dari istri-istri mereka, kesenian membatik kemudian menyebar luas ke wilayah-wilayah lain saat suaminya ditugaskan untuk menjaga dan merawat makam raja-raja Mataram.

(20)

7

Imogiri. Atas usaha dan kerja kerasnya untuk melestarikan batik, Djogo Pertiwi mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Suharto pada tahun 1994.

B. Batasan Masalah

Batik merupakan salah satu hasil kerajinan yang adiluhung (bernilai tinggi) sehingga tidak sembarang orang bisa memakainya. Pihak kraton telah membuat batik menjadi suatu bentuk monopolinya. Tetapi hal ini tidak bisa berlangsung lama, karena kemunculan Djogo Pertiwi yang kemudian menyebarkan keahlian membatik kepada masyarakat sekitar wilayah Imogiri. Batik yang awalnya hanya dimonopoli oleh kraton, mulai lepas dari monopoli kraton ketika di Imogiri muncul seorang tokoh bernama Djogo Pertiwi.

(21)

industri batik mengalami kelesuan kembali. Bahan baku untuk pembuatan batik sangat sulit untuk didapatkan.

C. Rumusan Masalah

Dalam menjelaskan judul skripsi ”Sejarah Batik Tradisional Imogiri 1935-1942”, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana latar belakang kemunculan motif batik gayaYogyakarta ? 2. Bagaimana dinamika perkembangan batik gaya Yogyakarta?

3. Bagaimana peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942?

D. Tujuan Penelitian

Batik merupakan kesenian asli dari Indonesia meskipun banyak juga yang berpendapat bahwa batik berasal dari luar Indonesia. Terlepas dari pendapat-pendapat itu, batik mengalami proses yang sangat panjang baik dalam sejarah maupun dalam proses pembuatannya.

(22)

9

E. Manfaat Penelitian

Penulisan ini merupakan salah satu bagian dari latihan kerja ilmiah. Pada pokok ini, ditempuh dengan cara, mulai dari pemilihan tema, perumusan masalah, pengumpulan bahan, sampai dengan pengolahannya sesuai dengan cara kerja ilmu sejarah. Penulisan ini difokuskan pada tema seperti tersebut diatas. Diolah melalui tahap-tahap yang akan diurai pada bagian selanjutnya sampai dengan tahap penulisannya.

Hasil penelitian yang disusun dalam skripsi ini diharapkan agar masyarakat bisa membuka pengetahuan baru dalam wacana kesejarahan mengenai sejarah batik terutama tentang proses sosial yang terjadi dalam perkembangan batik di Imogiri. Pengetahuan tentang batik sebagian besar hanya ditinjau dari proses pembuatannya, dan diharapkan dengan adanya tulisan ini masyarakat tahu akan sejarah kemunculan batik gaya Yogyakarta, dinamika batik gaya Yogyakarta, dan juga peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935 sampai 1942. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber sejarah sosial mengenai perkembangan batik di Imogiri.

(23)

Djogo Pertiwi yang mengembangkan batik di Imogiri dan dianggap sebagai perintis batik. Penulisan ini diharapkan bisa bermanfaat bagi masyarakat luas sehingga tidak hanya bermanfaat bagi kalangan akademisi saja.

F. Landasan Teori

Untuk menguraikan pertanyaaan-pertanyaan diatas, beberapa teori yang digunakan adalah sebagai berikut.

Dalam buku Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo mengemukakan bahwa

Proses akulturasi, artinya proses yang mencakup usaha masyarakat menghadapi pengaruh kultural dari luar dengan mencari bentuk penyesuaian terhadap komoditi, nilai, atau ideologi baru, suatu penyesuaian berdasarkan kondisi, disposisi, dan referensi kulturalnya, yang kesemuanya merupakan faktor-faktor kultural yang menentukan sikap terhadap pengaruh baru.8

Masyarakat Imogiri yang awalnya mempunyai suatu budaya sendiri, kemudian mendapat pengaruh dari kraton akibat masuknya budaya kraton, salah satunya adalah batik. Dalam perkembangannya, tradisi membatik menyebar luas ke masyarakat di wilayah Imogiri. Batik dari kraton masih sesuai dengan pakemnya, tetapi setelah masuk ke masyarakat Imogiri batik kraton mendapat pengaruh kultural dari budaya setempat sehingga mengakibatkan munculnya jenis atau motif batik yang baru.

8

(24)

11

Kemudian A.L. Kroeber membuat teori difusi/penyebaran unsur budaya. Teori ini berbicara mengenai perubahan dalam masyarakat dengan cara mencari asal/aslinya dalam masyarakat lain. Difusi adalah suatu proses yang biasanya tetapi tak seharusnya perlahan apabila unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu disebarkan. Apabila suatu penemuan yang baru diadopsi di suatu tempat maka adopsi berlangsung pula di daerah tetangga sehingga dalam berbagai kasus pengadopsian tersebut berjalan terus. Kemudian tersebar dalam lingkup waktu tertentu sehingga tempo penyebaran lewat ruang ditentukan oleh waktu.9 Batik merupakan suatu ekspresi seni yang awalnya dibuat hanya oleh wanita-wanita di lingkungan kraton. Kemudian hal ini menyebar melalui proses penyebaran ke daerah lainnya, seperti ke Imogiri dalam waktu tertentu.

Dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, Astrid Susanto menyebutkan bahwa Proses penyebaran unsur-unsur budaya adalah merujuk pada pengembangan/growth dan tradisi sebagai suatu proses merujuk pada pemeliharaan.10 Batik yang merupakan salah satu wujud dari unsur kesenian, disebarkan kepada masyarakat luas agar bisa mengalami perkembangan. Motif atau coraknya dapat berganti-ganti sesuai dengan perkembangan batik. Batik juga merupakan tradisi dari nenek moyang yang diturunkan baik kepada anak-cucunya maupun kepada masyarakat demi terpeliharanya kesenian membatik. Pemeliharaan kesenian batik

9

Judistira K. Garna, Teori-Teori Perubahan Sosial, Bandung: Program Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, 1992, hlm. 73-74.

10

(25)

bisa dengan cara mewariskannya secara turun temurun. Begitu juga batik di Yogyakarta yang diwariskan ketrampilannya secara turun temurun kemudian akan senantiasa berkembang.

Menurut Astrid Susanto lagi dalam buku Teori-Teori Perubahan Sosial, perubahan sosial diberi arti sebagai development/perkembangan yang merupakan perubahan tertuju kepada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, sehingga akan dinikmati pula oleh individu.11 Perkembangan batik kemudian menyebar ke wilayah Imogiri. Di Imogiri, batik membuat perubahan pada kehidupan masyarakatnya. Keahlian membatik yang dikuasai oleh Djogo Pertiwi membuat masyarakatnya tertarik untuk mempelajari seni batik. Masyarakat yang diberi pelajaran tentang membatik itu mengakibatkan terjadinya perkembangan batik di Imogiri dan menyebabkan perubahan yang membawa mereka ke arah kemajuan.

Sartono juga mengemukakan tentang teori perubahan sosial yaitu sebagai berikut

Perubahan sosial adalah gejala yang inheren dalam setiap perkembangan dan pertumbuhan (development). Teori developmentalisme menggambarkan bahwa masyarakat mengalami pertumbuhan atau perkembangan, suatu proses yang analog dengan proses organis; tidak hanya ada tambahan besarnya entitas, tetapi juga meningkatnya kemampuan serta kapasitas untuk mempertahankan eksistensi, adaptasi terhadap lingkungan, serta lebih efektif mencapai tujuannya.12

Setiap kehidupan masyarakat pasti mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat pengaruh dari suatu proses kehidupan. Kemampuan yang

11

Ibid., hlm. 7. 12

(26)

13

dimiliki oleh setiap individu dalam suatu lingkungan masyarakat juga dipengaruhi oleh proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi. Seperti halnya Djogo Pertiwi, kemampuan yang dimilikinya meningkat sehingga dia akan terus mempertahankan eksistensinya dalam dunia batik. Perubahan sosial di dalam masyarakat Imogiri juga mengalami perkembangan dan pertumbuhan akibat masuknya ketrampilan membatik. Mereka mampu mempelajarinya dan mempertahankan eksistensinya sebagai pembatik.

G. Kajian Pustaka

Pembahasan tentang batik telah banyak dibahas dalam buku atau pustaka. Diantaranya adalah buku berjudul Sejarah Batik Yogyakarta, karangan A. N. Suyanto. Buku ini membahas tentang sejarah perkembangan batik di Yogyakarta pada masa pemerintahan sultan-sultan Yogya. Selain itu juga berisi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dan perkembangan batik, bentuk dan fungsi batik di Yogyakarta. dalam buku ini periode yang dibahas adalah sejak zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII sampai zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono X. Pada masa-masa itu dapat dilihat bagaimana perubahan dan perkembangan bentuk, motif maupun fungsi kain batik dari setiap pemerintahan yang berkuasa.

(27)

awal mulanya hanya dikerjakan oleh orang-orang kraton sehingga kemudian menyebar sampai Imogiri dengan mengungkapkan peran abdi dalem penjaga makam raja-raja Mataram. Masyarakat Imogiri mendapat ilmu dengan mempelajari seni membatik. Sebuah proses sosial penyebaran ketrampilan membatik dari orang-orang kraton kepada masyarakat Imogiri. Tesis ini juga menyinggung sedikit tentang peranan Djogo Pertiwi dalam melestarikan ketrampilan membatik kepada masyarakat Imogiri.

Buku Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah Mengenai Latar Belakang Kehidupan Bangsa Indonesia, Adat Istiadat dan Seni Budaya, karangan Biranul Anas dari Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII. Buku ini menerangkan tentang kesenian membatik yang muncul di Jawa pada sekitar akhir abad 18, dan kemudian batik mengalami proses penyebaran. Dari proses tersebut bisa dibedakan antara batik kraton dengan batik pasisiran. Buku ini juga menjelaskan tentang tujuan dan fungsi batik, cara membuat batik, dan hubungan antara batik dengan kraton.

Terdapat sebuah artikel yang berjudul Pasang Surut Batik Tulis Tadisional Bantul: Studi Kasus batik Tulis Imogiri tahun 1970-1998 ditulis oleh Suhartinah Sudjiono, diambil dari Seri Penerbitan Penelitian Sejarah dan Budaya Patra Widya, Vol. 7 No. 3, September 2006. Artikel ini membahas tentang awal mula munculnya batik di Imogiri dan juga menyinggung sedikit tentang Djogo Pertiwi.

(28)

15

itu juga menggunakan artikel-artikel yang terdapat pada Jurnal Filsafat, Jurnal

Kebudayaan “Selarong”, dan artikel-artikel dalam internet. Dengan bantuan

buku-buku tersebut, skripsi ini secara khas akan membahas tentang hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan batik di Yogyakarta, sistem feodal kraton yang menguasai batik, serta peran seorang Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik.

H. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan ini adalah studi pustaka dan studi lapangan. Dalam meneliti melalui studi pustaka, menggunakan sumber tertulis dari buku-buku yang relevan sehingga dapat membantu dalam menganalisis dan mendeskripsikan sejarah penulisan batik ini. Bahan-bahan yang dipakai/digunakan antara lain telah disebutkan dalam tinjauan pustaka. Dokumen-dokumen lain yang digunakan adalah seperti artikel-artikel dalam jurnal, koran, dan juga melalui situs-situs di internet.

Kemudian proses pengumpulan selanjutnya adalah studi lapangan yang dilakukan melalui metode wawancara. Narasumber yang diwawancarai diantaranya adalah anak menantu Djogo Pertiwi yang menjadi penerus usaha batik Djogo Pertiwi sekaligus muridnya, kemudian ketua Dusun Pajimatan, dan pemerhati batik. Narasumber tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan dengan topik dan permasalahan yang akan dibahas oleh penulis.

(29)

data-data baik yang primer maupun yang sekunder. Kedua, kritik sumber, yaitu dari sekian banyak sumber tersebut dipilih dan diperbandingkan kembali sumber-sumber yang lebih relevan agar lebih dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya (sumber dapat dipercaya kebenarannya) guna penulisan skripsi ini. Ketiga, interpretasi, yaitu penafsiran atas sumber maupun data yang telah ditemukan. Keempat, adalah historiografi yang merupakan tahap terakhir, yaitu tahap penulisan.

I. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini akan disusun ke dalam lima bab dengan urut-urutan sebagai berikut:

Bab I, membahas tentang latar belakang yang menjadi dasar penelitian ini. Bab II, membahas tentang kemunculan motif batik gaya Yogyakarta. Bab ini akan dibagi menjadi sub-sub bab yang meliputi bagaimana keadaan masyarakat Yogyakarta pada saat kemunculan batik, batik sebagai suatu warisan dari kerajaan Mataram, motif atau pola batik yang bersifat adiluhung, dan pembatasan pemakaian kain batik.

(30)

17

Bab IV, membahas tentang peran dan fungsi Djogo Pertiwi dalam mengembangkan batik di Imogiri tahun 1935-1942. Dalam bab ini juga akan diuraikan menjadi sub-sub bab yang meliputi keadaan geografis wilayah penelitian, kemudian kemunculan batik di Imogiri, proses pembelajaran Djogo Pertiwi dalam membatik, proses penyebaran seni membatik di dusun Pajimatan, proses sosial dalam mengembangkan batik di dusun Pajimatan pada tahun 1935-1942. Sub bab terakhir membahas unsur-unsur kebaruan yang diciptakan oleh Djogo Pertiwi.

(31)

18

SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA

Banyak kontroversi mengenai kapan munculnya batik di Indonesia. Ada beberapa pendapat dari tokoh-tokoh mengenai kemunculan batik. Masih terdapat perdebatan mengenai kapan tepatnya batik mulai ada di Indonesia. Namun ada yang menyebutkan bahwa batik merupakan hasil budaya dari orang Indonesia sendiri. Apapun hal yang menjadi perdebatan mengenai kapan kemunculan batik, batik telah menjadi suatu seni yang telah banyak dipelajari oleh banyak orang di Indonesia, salah satunya di Yogyakarta.

(32)

19

A. Keadaan Masyarakat Yogyakarta Pada Saat Kemunculan Batik

Corak (gaya) batik di Yogyakarta tidak lepas dari perpecahan yang terjadi dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut kemudian berakhir dengan adanya Perjanjian Giyanti. Konflik suksesi atau perebutan kekuasaan mewarnai perpecahan dalam Kerajaan Mataram. Perpecahan tersebut terjadi karena adanya konflik antara Pakubuwono II dengan Pangeran Mangkubumi yang memperebutkan tahta Kerajaan Mataram. Kerajaan Mataram memang sudah sejak lama mengalami konflik perebutan kekuasaan. Perdebatan mengenai siapa yang pantas menduduki tahta Kerajaan Mataram selalu terjadi. Hal itu tidak lepas juga dari campur tangan dari pihak Pemerintah Belanda antara lain dengan memanas-manasi salah satu pihak keluarga Raja. Pihak Belanda mengambil keuntungan dari terjadinya konflik ini karena mereka bisa dekat dengan pihak kraton sehingga bisa dimanfaatkan, salah satunya untuk memperluas wilayah jajahannya.

(33)

dunia. Peristiwa yang juga disebut dengan Palihan Nagari ini juga menjadi titik tolak berdirinya Kraton Yogyakarta.1

Sebelum terjadi perpecahan, Kerajaan Mataram mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas. Dibawah pemerintahan Sultan Agung, Mataram dibagi menjadi beberapa daerah kekuasaan dengan kraton sebagai pusatnya. Daerah-daerah kekuasaan tersebut diurutkan menjadi sebagai berikut: daerah pertama, di mana Kraton menjadi pusatnya disebut dengan wilayah Kutanegara. Di sinilah didirikan istana kerajaan atau kraton. Raja mengatur segala urusan pemerintahannya di dalam istana. Daerah kedua yang mengitari Kutanegara disebut dengan Negara Agung, kemudian wilayah yang berada diluar Negara Agung disebut dengan Mancanegara, dan yang terakhir wilayah kekuasaan yang paling luar dari Kerajaan Mataram disebut dengan Pasisiran.2 Konflik dengan pihak Kolonial Belanda membuat wilayah kekuasaan kerajaan Mataram menjadi semakin sempit dengan diadakannya Perjanjian Giyanti.

Batik sebenarnya sudah digunakan pada masa Kerajaan Majapahit dan berkembang sampai pada masa kerajaan-kerajan Jawa seperti Mataram. Seiring dengan terjadinya perpecahan dalam Kerajaan Mataram, batik juga kemudian tetap diproduksi dan digunakan di Kraton Yogyakarta. Hanya saja terdapat motif-motif

1

A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 13-15.

2

(34)

21

tertentu dan berbeda yang dipakai oleh orang-orang Kraton dan oleh masyarakat biasa.

Diferensiasi pemakaian batik pada masa itu tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat Jawa yang terbagi dalam kelas-kelas atau yang biasa disebut dengan stratifikasi yang didasarkan pada kedudukan dan status. Masyarakat Jawa sendiri digolongkan menjadi beberapa kelas atau lapisan, yaitu sebagai berikut:

1. Bagian pertama adalah lapisan atas atau biasa disebut dengan lapisan orang besar (wong agung, priyayi). Kelompok ini masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu bangsawan atau ningrat dan abdi dalem. Orang-orang yang termasuk dalam lapisan bangsawan atau ningrat ini didasarkan pada kerabat atau keturunan yang masih sedarah dengan raja. Kemudian orang-orang yang termasuk golongan abdi dalem, mereka sebetulnya priyayi tetapi berasal dari wong cilik.

2. Bagian kedua adalah lapisan bawah, yang termasuk dalam lapisan ini ialah rakyat biasa atau wong cilik. Mereka kebanyakan bekerja sebagai buruh, perajin, pedagang, dan pegawai rendahan. Di lapisan ini juga masih dibagi lagi penggolongannya berdasarkan pada kepemilikan tanah. Mereka adalah petani pemilik tanah, petani penggarap, dan buruh tani.3

3

(35)

Penduduk Jawa khususnya pedalaman, menganut sistem pertanian agraris yang berarti bahwa tanah merupakan sumber daya alam yang sangat penting. Tanah telah menjadi sesuatu hal yang sangat berperan penting dalam masa itu. Raja, yang memegang kekuasaan tertinggi, dianggap sebagai pemilik semua tanah yang ada di wilayahnya. Pejabat-pejabat daerah yang diserahi kekuasaan untuk mengatur salah satu wilayah suatu kerajaan akan mendapat gaji berupa tanah untuk digarap. Pejabat tersebut dipilih yang masih mempunyai darah bangsawan dari kerajaan. Para petani cilik yang menduduki lapisan masyarakat paling bawah, nantinya yang akan menggarap tanah itu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia sangat akrab dengan makanan pokoknya yaitu beras. Padi menjadi tanaman yang wajib untuk ditanam oleh masyarakat Jawa. Setiap butir padi yang tumbuh, akan diberikan kepada Raja sebagai bagian dari upeti yang diambil dari sawah merupakan salah satu dari sistem feodal yang berlaku selama ratusan tahun.4 Rakyat kecil yang berada di lapisan masyarakat paling bawah mempunyai kewajiban untuk mematuhi apa yang yang diperintahkan oleh pejabat daerah. Hasil-hasil dari tanah garapan itu kemudian akan diserahkan kepada raja dan disebut dengan upeti. Penguasa pusat akan selalu mengawasi pekerjaan peajabat-pejabatnya di daerah sehingga dapat memperkecil terjadinya kecurangan.

4

(36)

23

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban, Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5

Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga, motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang, tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah mengakar dalam masyarakat.

5

(37)

Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan, kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi, pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia. Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri tersendiri.

Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk, kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam. Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut. Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang-parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.8 Meskipun Yogyakarta dan

6

Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm. 29.

7

(38)

25

Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.

Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra, hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar dengan daerah taklukan yang luas.

Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I, membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku

8

(39)

Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9

Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman kerajaan Mataram.10 Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11. Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan, kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.

9

Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya.

10

A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3. 11

(40)

27

Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.

Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton. Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12

Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan. Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,

12

(41)

Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.

Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan di dalam kraton.13 Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14 Batik Kraton juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15

Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.

13

Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13.

14

Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden.

15

(42)

29

C. Motif atau Pola Batik yang Bersifat Adiluhung

Masyarakat Jawa sejak zaman dahulu sangat menjunjung tinggi ajaran nenek moyang. Begitu juga dalam menjalani kehidupannya, mereka memperhatikan beberapa hal. Hal ini berkaitan dengan adat dan tradisi nenek moyang yang tercermin dalam masyarakat Jawa. Adat dan tradisi tersebut adalah suatu peraturan yang tidak tertulis. Peraturan itu mengatur tentang hubungan antara manusia dengan sesama, manusia dengan penciptanya, dan manusia dengan lingkungannya. Pelanggaran terhadap peraturan itu akan mendapat sangsi dari masyarakat setempat maupun dari Sang Pencipta. Hal ini kemudian berpengaruh pada nilai-nilai budaya adiluhung. Setiap manusia harus saling menghormati, rukun, dan menjaga perdamaian dengan sesamanya maupun dengan lingkungan. Sikap ini merupakan dasar dari kehidupan bermasyarakat orang Jawa. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawa dalam segala aspek kehidupannya lebih dikenal dengan sebutan kejawen. Masyarakat Jawa sangat mendalami ilmu yang menjadi falsafah hidup mereka sehingga dapat menjadi manusia Jawa seutuhnya. Awalnya kepercayaan ini disebut dengan ilmu kebatinan yang merupakan percampuran antara budaya asli Jawa dengan Hindu, Budha, dan Islam.16 Sebelum melakukan sesuatu, masyarakat terkadang akan melaksanakan sebuah ritual untuk memenuhi suatu persyaratan. Ritual tersebut sering mendekati

16

(43)

hal-hal yang berbau mistik. Hal-hal yang berbau mistik atau gaib sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa. Mereka percaya bahwa ada beberapa tempat yang dihuni oleh makhluk gaib. Di tempat-tempat tertentu dipercaya menjadi tempat yang sakral atau keramat sehingga masyarakat wajib meletakkan sesaji agar makhluk gaib itu tidak menganggu. Makhluk-makhluk gaib itu dipercaya dan dianggap sebagai roh leluhur atau nenek moyang yang akan menjaga anak cucu mereka. Sebelum melakukan ritual itu, masyarakat juga mengenal ilmu titen yaitu dengan mencermati tanda-tanda alam. Alam merupakan suatu hal yang tidak bisa diremehkan peranannya. Satu hal lagi yang tidak bisa dipisahkan dalam ritual masyarakat Jawa adalah laku prihatin. Mereka harus melakukan sesuatu agar keinginannya tercapai. Misalnya orang akan berpuasa agar keinginannya tercapai.

Masyarakat Jawa juga sangat memperhatikan keharmonisan, keseimbangan, dan keserasian dalam menjalankan hidup. Ketika membuat batik, para perempuan menerapkan ajaran-ajaran hidup yang diajarkan oleh nenek moyang mereka. Motif atau pola yang digambarkan lewat sebuah canthing mengekspresikan segala curahan hati pembatiknya. Susunan bentuk garis, titik-titik dan warnanya yang terpadu secara harmonis menimbulkan keindahan tersendiri maka terkandung pesan dan harapan ke arah kehidupan yang baik bagi pemakainya.17 Sehingga tidak sembarang orang bisa menggambar suatu motif batik tanpa mengetahui maknanya.

17

(44)

31

Berdasarkan motifnya, batik pedalaman atau yang lebih dikenal dengan batik kraton, biasanya bersifat simbolik, filosofis dan mempunyai arti-arti magis yang ada maknanya. Motif ini diciptakan dari hasil pengamatan alam sekitar dan bersifat monumental. Warna-warna yang digunakan lebih bersifat sederhana. Warna pada batik kraton biasanya terdiri dari tiga unsur, yaitu coklat atau merah, biru atau hitam, dan putih. Dalam agama Hindu, ketiga warna ini merupakan simbol dari sumber kehidupan. Warna-warna itu dapat diartikan Brahma untuk warna merah, Syiwa untuk warna biru atau hitam, dan Wisnu untuk warna putih.18 Tetapi, pada sebagian besar kain batik warna yang lebih dominan adalah warna coklat soga.

Motif-motif yang ditorehkan dengan canthing dalam sebuah kain, dibuat dengan konsep yang adiluhung atau memiliki nilai yang indah dan tinggi. Tidak ada motif yang dibuat dengan asal-asalan tanpa ada makna dibalik pembuatannya. Proses pembuatan batik dianggap sebagai media perenungan dan meditasi. Mereka mencurahkan segala kemampuannya untuk membuat batik. Tidak jarang seorang pembatik harus melakukan ritual puasa terlebih dahulu agar dapat membuat kain batik yang bermakna. Proses ini juga menjadi sebuah pencapaian kemurnian serta kemuliaan dalam rangka mengabdi pada Tuhan Yang Maha Esa.19 Di dalam sebuah kain batik, terkandung makna simbolik yang berguna bagi kesejahteraan hidup manusia. Kehendak dan kemampuan yang dimiliki para pembatik menghasilkan suatu

18

Sewan Susanto, Seni Kerajinan Batik Indonesia, Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, Lembaga Penelitian dan Pendidikan Industri, 1980, hlm. 174.

19

(45)

karya yang indah. Keindahan suatu kain batik tercipta dari perpaduan bentuk garis-garis dan warna yang serasi. Sehingga maknanya akan membawa kebaikan bagi pemakainya.20

Kegiatan membatik yang dikerjakan dengan sepenuh hati melalui tahap-tahap seperti puasa dan meditasi, nantinya sangat berpengaruh pada hasil kain batiknya. Semakin penting arti pembuatan suatu kain batik, maka semakin lama puasa dan meditasi yang dilakukan oleh pembatik. Pengaruh budaya yang diilhami oleh seni-seni dari kraton, membuat masyarakatnya, baik yang bekerja di dalam maupun masyarakat luar tembok kraton, merasa dekat dengan pihak kraton dan menyadari bahwa budaya ini (seperti misalnya tradisi membatik, menari, dan tata krama) wajib dilestarikan. Masyarakat Jawa pedalaman atau yang dekat dengan wilayah Kraton, mempunyai ungkapan yaitu mbathik manah, yang berarti menciptakan batik melalui totalitas pencurahan jiwa dan raga.21

Motif-motif yang dihasilkan oleh pembatik ada bermacam-macam dan setiap motif tersebut ada maknanya masing-masing. Beberapa motif yang sering dipakai di antaranya adalah:

1. Parang Rusak

Motif ini mempunyai makna yang dalam dan luhur sehingga pemakaian motif ini hanya diperuntukkan bagi para bangsawan dalam acara-acara

20

Kartini Parmono, loc.cit. 21

(46)

33

tertentu. Sesuai dengan arti parang rusak, yaitu perang atau menyingkirkan segala yang rusak atau melawan segala macam godaan. Makna dari motif ini adalah agar manusia di dalam hidupnya dapat mengendalikan nafsunya sehingga mempunyai watak dan perilaku yang luhur.

b. Kawung

Motif ini diilhami oleh sebuah pohon kawung atau sejenis pohon palem atau yang lebih dikenal dengan kolang kaling. Maknanya adalah jika dilihat semua bagian dari pohon kawung sangat bermanfaat bagi manusia sehingga penggunanya diharapkan bisa berguna bagi bangsa dan negaranya.

c. Grompol

Grompol berarti berkumpul atau bersatu. Pemakai kain ini diharapkan agar semua hal-hal yang baik seperti rezeki, kebahagiaan, dan keturunan sehingga bisa berkumpul menjadi satu dan hidup secara rukun.

d. Sido Mukti

(47)

e. Semen Rama

Motif ini terdiri dari berbagai macam, seperti semen gedhe, sawat gurda, dan semen huk. Motif ini melambangkan kesetiaan seorang istri.

f. Truntum

Motif ini melambangkan cinta yang bersemi kembali. Bagi pemakainya, motif ini berarti akan menuntun kedua mempelai pengantin dalam memasuki kehidupan rumah tangganya sehingga diharapkan akan terus langgeng dengan kasih sayang yang akan terus bersemi atau tumbuh (truntum).22

D. Pembatasan Pemakaian Kain Batik

Beberapa motif batik tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Ada beberapa ketentuan yang mengatur tentang siapa-siapa yang berhak memakai motif-motif tersebut. Sebagian besar motif-motif itu diciptakan dalam lingkungan kraton sehingga nilai dan maknanya sangat tinggi. Batik telah menjadi bagian yang tidak lepas dari kehidupan kraton. Pembuatnya juga berasal dari dalam kraton. Sejak zaman kerajaan Mataram, batik telah menjadi bagian dari busana para raja dan keluarganya. Selain itu pemakaian batik juga berfungsi untuk menyelenggarakan upacara-upacara kraton, seperti grebeg, daur hidup, penyambutan tamu, dan pertunjukan tari.

22

(48)

35

Batik menjadi salah satu bagian dari barang-barang kebesaran dan diciptakan untuk memperkuat kedudukan dan peranan kosmis raja, istana, dan pemerintahan. Ini adalah salah satu upaya untuk memperoleh ketentraman, keselamatan, dan kesejahteraan raja, kerajaan dan rakyatnya. Batik juga berfungsi untuk menunjukkan kewibawaan raja dan kraton.23 Setiap orang yang memakai suatu kain batik akan dapat dilihat tinggi rendahnya kedudukannya dalam pemerintahan.

Dari beberapa motif batik itu, ada yang digolongkan menjadi motif larangan. Motif ini hanya boleh dipakai oleh raja dan para keluarganya. Jadi mereka yang mempunyai keturunan raja dan ningrat yang bisa memakai motif itu. Masyarakat biasa dilarang dan tidak boleh memakainya. Beberapa motif larangan itu adalah Parang Rusak, yang digambarkan seperti “pedang” yang tidak sempurna atau rusak; Sawat, digambarkan dengan bentuk sayap-sayap besar seperti burung garuda; Cemukiran, digambarkan dengan bentuk teratai dan digunakan sebagai ragam hias pinggir kain; Udan Liris digambarkan dengan garis-garis sejajar diagonal; Rujak Sente, mirip dengan Udan Liris dengan bentuk garis diagonal; Kawung, digambarkan dengan bentuk bulat lonjong24; dan Semen, digambarkan dengan sulur-suluran tanaman. Motif ini sering digabungkan dengan ragam hias tambahan seperti Sawat (sayap).25 Pemakaian motif-motif tersebut ditulis dalam peraturan sebagai berikut:

23

A. N. Suyanto, op.cit., hlm 30. 24

Biranul Anas, op. cit., hlm. 64-65.

(49)

a. Motif yang digunakan untuk raja, putra mahkota dan permaisuri atau istri: - Semua jenis dari motif Parang Rusak

- Sembagen Huk - Garuda Ageng

b. Khusus untuk para anggota keluarga yang bergelar pangeran serta keturunan penguasa:

- Semua corak Semen dengan sayap garuda berganda maupun tunggal - Udan Liris

c. Keluarga jauh yang bergelar Raden Mas atau Raden: - Semua corak Semen tanpa bentuk-bentuk sayap - Kawung

- Rujak Sente, mirip Udan Liris yang umumnya menggunakan garis-garis diagonal bercorak.26

Kraton Yogyakarta dan Solo mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam menentukan pemakaian motif batik tertentu, tetapi pada dasarnya sama. Tindakan ini dibuat agar kedudukan raja yang kharismatik bisa tetap terjaga. Pihak kraton Yogyakarta kemudian pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII (tahun 1921-1939), peraturan ini dibuat dan ditegaskan lagi dalam Undang-Undang penggunaan busana

26

(50)

37

keprabon yaitu Pranatan Dalem Bab Jenenge Panganggo Keprabon Ing Karaton Nagari Ngajogjakarta Hadiningrat tahun 1927.27 Dalam undang undang ini diatur tentang pemakaian busana keprabon dan larangan motif-motif batik tradisional tertentu. Sehingga melalui pakaiannya dapat dibedakan status dan kedudukannya. Selain mengatur tentang pemakaian kain batik, undang-undang ini juga mengatur tentang pakaian, peralatan, dan aksesoris yang dipakai para bangsawan beserta abdi dalemnya.

Motif Parang Rusak bervariasi terutama sesuai dengan ukuran “pedangnya”. Motif ini dibagi menjadi tiga, yaitu pertama, yang terkecil dinamakan Parang Rusak Klithik (berukuran kecil) dengan ukuran 4 cm, yang berukuran sedang adalah Parang Rusak Gendreh dengan ukuran 8-10 cm, dan yang paling besar disebut Parang Rusak Barong dengan ukuran 10-12 cm.28 Menurut tradisi Parang Rusak Barong adalah sebuah corak sakral, digunakan hanya untuk busana raja yang paling megah atau sebagai bagian persembahan bagi arwah-arwah leluhur kerajaan yang dihormati. Motif yang terakhir ini hanya diperuntukkan bagi raja atau sultan. Sedangkan untuk Parang Klithik boleh dipakai oleh keluarga sultan, seperti istri dan putra-putri raja.29

Masyarakat Jawa tradisional pada khususnya mempunyai pakaian yang didasarkan pada kegunaannya. Wujud kain batik pada dasarnya dapat dibuat menjadi

27

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 7. 28

Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 19.

29

(51)

berbagai macam bahan busana yang memiliki fungsinya masing-masing. Beberapa wujud dari kain itu adalah sebagai berikut:

- Bebet, tapih (bahasa Jawa ngoko/kasar), atau sinjang (bahasa Jawa krama madya/bahasa halus tengah), atau nyamping (bahasa Jawa krama inggil/bahasa halus) adalah kain panjang yang biasa digunakan oleh kaum pria dan wanita. Bebet adalah kain yang digunakan oleh para pria, sedangkan tapih adalah yang digunakan oleh para wanita.

- Dodot (bahasa Jawa ngoko), atau kampuh (bahasa Jawa krama inggil) adalah sejenis kain batik dalam wujud ukuran yang besar. Kain dodot digunakan bagi bangsawan dan abdi dalem.

- Iket, atau udheng (bahasa Jawa ngoko), atau dhestar (bahasa Jawa krama inggil) adalah kain batik yang dipakai untuk ikat kepala.

- Kemben (bahasa Jawa ngoko), atau semekan (bahasa Jawa krama inggil) adalah kain batik yang berfungsi sebagai penutup dada wanita.

(52)

39

- Sarung (bahasa Jawa ngoko) atau sande (bahasa Jawa krama) adalah kain batik yang kedua ujungnya dijahit sehingga bentuknya menyerupai tabung.30 Jenis-jenis pakaian di atas sangat melekat pada kehidupan masyarakat Jawa tradisional. Penggunaannya juga hanya pada acara-acara tertentu, mulai dari acara resmi maupun untuk pakaian sehari-hari. Tidak semua masyarakat dapat menggunakan pakaian-pakaian tersebut, karena jenisnya disesuaikan dengan status dan kedudukan si pemakai. Misalnya untuk kampuh, yang dibuat dengan motif larangan, masyarakat biasa tidak boleh memakai dan hanya kaum bangsawan saja yang boleh memakainya. Kampuh termasuk dalam busana kebesaran raja. Pemakaiannya-pun hanya pada saat acara-acara tertentu.

30

(53)

40

BAB III

DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

Sejak zaman kerajaan Mataram, batik telah menjadi busana kebesaran bagi para penguasa. Ketentuan-ketentuan penggunaan batik dengan motif tertentu tertuang dalam undang-undang. Peraturan ini dibuat sedemikian rupa sehingga masyarakat umum tidak boleh melanggarnya. Sebelum Mataran pecah menjadi dua, raja terbesar pada masa itu adalah Sultan Agung yang mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas. Kemudian setelah Mataram terpecah menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta, banyak terjadi perebutan kekuasaaan antar keluarga sendiri. Tetapi hal itu tidak mengurangi wibawa sang raja.

A. Sistem Feodal Kraton

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, raja merupakan penguasa atas tanah beserta isinya di seluruh wilayah kekuasaannya. Raja juga mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak pada bawahannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodal berarti hal yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan yang berhubungan dengan sikap dan cara hidup.1

1

(54)

41

Sistem ini sudah berlaku sejak Indonesia dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda di sekitar abad 18.

Seperti diketahui pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi beberapa lapisan sosial. Pembentukan lapisan-lapisan ini berdasarkan pada tingkat ekonomi masyarakat. Lapisan pertama adalah golongan bangsawan atau priyayi dan lapisan kedua adalah lapisan wong cilik atau rakyat jelata. Mereka berada pada posisi yang berbeda. Golongan bangsawan berada pada lapisan teratas kehidupan sosial masyarakat dan golongan wong cilik berada pada lapisan terbawah kehidupan sosial masyarakat.2 Golongan bangsawan ini menduduki posisi teratas karena mereka mempunyai pertalian darah dengan raja. Di dalam lingkungan kraton-pun masih terdapat pembagian kelas-kelas, yang pertama adalah golongan ningrat, yang ditentukan oleh sistem kekerabatan dan pangkat serta kedudukan dalam pemerintahan, sedangkan yang kedua adalah abdi dalem, yang merupakan pejabat dari tingkat atas sampai bawah.

Pembagian sistem sosial di atas, menyebabkan timbulnya sikap feodalisme. Dalam pemerintahan kerajaan Jawa, kelas bangsawan akan selalu menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka berhak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh rakyat meskipun kekuasaannya berada di bawah perintah langsung raja. Pada lapisan ini terdiri dari anggota keluarga raja dan juga para pejabat kerajaan, Mereka dapat bekerja di dalam kerajaan secara turun temurun.

2

(55)

Sedangkan kelas rakyat hanya akan selalu menjadi pihak yang selalu tunduk kepada raja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terbentuknya feodalisme. Kekuasaan raja bersifat absolut. Pada zaman Hindu-Buda, raja dianggap sebagai titisan Tuhan atau dewa yang mempunyai kesaktian dan berkuasa atas semua wilayah yang menjadi taklukannya. Adanya pembagian kelas dalam masyarakat mengakibatkan feodalisme tumbuh subur. Mereka yang berada dalam lapisan atas akan terus menjadi pihak yang selalu berkuasa dan dihormati, sedangkan yang berada di lapisan bawah akan selalu menjadi pihak yang diperintah dan harus menghormati yang berkuasa. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan antara lord (penguasa) dan vazal (hamba/rakyat).

Feodalisme juga berarti suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat sehingga mereka yang menjadi bangsawan maupun priyayi mempunyai kekuasaan yang besar setelah raja. Rakyat yang sebagian besar terdiri dari wong cilik, harus tetap menghormati kelas ningrat tersebut. Hal ini menimbulkan jurang perbedaan antara bangsawan dengan rakyat.

(56)

43

segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia.3 Tak hanya itu kekuasaan raja digambarkan sebagai bau dhendha nyakrawati yang berarti raja adalah pemelihara hukum dan penguasa dunia, berbudi bawa leksana berarti meluap budi luhur mulianya, dan ambeg adil paramarta berarti bersikap adil terhadap sesama.4 Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan raja tidak terlalu absolut dengan sistem pemerintahan yang tidak terlalu mengekang.

Besarnya kekuasaan raja yang disebut di atas, membuat rakyat hanya bisa patuh terhadap apa yang diperintahkan raja kepadanya. Tanah yang hanya dimiliki oleh raja dikelolakan kepada para pejabat kerajaan dan kemudian rakyat yang menggarapnya. Setelah menghasilkan sesuatu, misalnya hasil bumi, maka harus diserahkan kembali pada raja. Kekuasaan tetap berpusat pada raja, meskipun ada beberapa pegawai yang ditunjuk untuk menjadi wakil raja di daerah.

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton

Dalam memperkuat kekuasaan raja, ada beberapa cara untuk melakukan pembinaan kekuasaan.5 Salah satunya adalah pengembangan kebudayaan kraton.

3

Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm 77.

4

Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 29. Kekuasaan raja yang besar terlihat dalam 7 kekuasaan, salah satunya adalah gelar-gelar yang disandang.

5

(57)

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan kebudayaan kraton tampak dalam cara berpakaian, cara mengambil sikap, dan cara berbicara.6 Menurut Biranul Anas, berbagai ketentuan tentang perilaku yang mengatur keluarga raja beserta para pejabat kraton dalam bertindak, berbicara dan berbusana bisa menumbuhkan feodalisme.7 Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahannya, Raja juga mempunyai simbol-simbol yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Barang atau simbol kekuasaan itu antara lain seperti payung, tombak, pakaian, keris, dan kain batik yang merupakan bagian dari penunjang kelengkapan gaya. Tiap barang mempunyai fungsinya masing-masing ketika sudah dipakai pada acara tertentu.

Batik tradisional adalah suatu kain yang pada umumnya dihasilkan oleh para perempuan. Tak terkecuali perempuan di dalam kraton, yang juga mempunyai ketrampilan dalam membuat batik. Bagi para perempuan kraton, batik diproduksi untuk keperluan kraton. Ketrampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh kaum perempuan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, batik merupakan salah satu alat kelengkapan yang berguna untuk mendukung kebesaran seorang raja yang memakainya.

6

Ibid., hlm. 88. 7

(58)

45

Beberapa alat atau simbol menjadi sesuatu hal yang dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Pemakaian motif batik dalam lingkungan masyarakat Jawa termasuk dalam feodalisasi kerajaan. Pemakaian batik dibedakan menjadi dua, batik yang dipakai oleh bangsawan dan batik yang dipakai oleh rakyat. Kedua jenis batik yang dibedakan itu didasarkan pada motifnya.

Ketika Sultan Hamengku Buwono II memerintah, pada tanggal 2 Agustus 1792 dikeluarkanlah perintah bagi para pejabat yang berisi etiket yang benar dan terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan para pengikutnya. Dalam peraturan ini terdapat 18 ketentuan (prakara) yang berhubungan dengan hukum pemerintahan seperti penggunaan tandu, payung, kuda, tipe atau motif batik, dan keris.8

Pengaturan tentang pemakaian batik terdapat pada ketentuan nomor 17. Ketentuan ini mencakup tentang pakaian yang dipakai oleh keluarga raja terutama anak dari raja. Disini juga terdapat larangan-larangan pemakaian motif batik. Dalam peraturan ini tertulis larangan pemakaian sebagai berikut9:

…ana dening mungguh kang rupa jajarit, kang ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng…

8

P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University Press, 1980, hlm. 104.

9

(59)

(jarit atau kain yang saya larang untuk dipakai adalah batik sawat, batik parang rusak, batik cumengkirang, batik kawung, batik telacap, batik huk, batik sembagen dengan motif lung-lungan, batik semen, batik barong dengan motif lar, dan kain lurik ginggang kenthing, kain lurik hitam)

Peraturan ini juga menjelaskan tentang pakaian yang dipakai oleh putra keturunan dari Ki Adipati Anom Hamengkunegara yaitu batik modang, dan lurik larog. Hal ini juga berlaku pada putra Mantri Jero Pinilih yang dilarang memakai batik dengan motif-motif tersebut.10

Peraturan yang serupa dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang memerintah tahun 1927, beliau mengeluarkan lagi undang-undang baru yang memuat aturan pemakaian busana dan kain batik. Masyarakat biasa tidak boleh memakai motif-motif yang hanya dipakai oleh raja.

Kedudukan pejabat yang berada di dalam kraton berbeda-beda menurut tingkat sosialnya. Pegawai kerajaan ada yang berasal dari keluarga sultan dan ada juga yang diangkat dari rakyat biasa. Hubungan antara para pejabat tersebut diatur pula dalam Instruction for Royal Officials.11 Para pejabat ketika akan bertemu dengan pejabat yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, ketika pegawai bawahan ketika bertemu

10

Ibid. 11

(60)

47

dengan pejabat tinggi, sikapnya berbeda-beda. Sampai pada pembantunya pun, di situ ditulis bagaimana caranya bersikap ketika bertemu dengan bangsawan. 12

Pada bab II telah disebutkan bahwa ada beberapa bentuk pakaian yang dipakai oleh raja dan pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Pemakaian ini ditentukan oleh upacara kebesaran atau ceremonial, atau pada saat-saat tertentu. Salah satu pakaian kebesaran raja adalah kampuh. Kain ini sangat besar ukurannya dan sering dipakai pada saat melaksanakan upacara resmi kraton.

Keperluan pemakaian kain batik tertentu diberlakukan pula pada acara-acara tertentu. Busana yang dipakai oleh kalangan kraton dibagi menjadi dua yaitu busana resmi dan tak resmi. Busana resmi yaitu busana yang dipakai pada saat upacara adat maupun acara kerajaan. Sedangkan busana tak resmi yaitu busana yang dipakai pada kegiatan sehari-hari.

Busana resmi pada saat upacara adat kraton dibagi menjadi dua yaitu upacara alit dan upacara ageng.

1. Upacara alit dilaksananakan seperti pada saat upacara tetesan, dan tarapan. Upacara tetesan adalah upacara sunat/khitan yang dilakukan oleh anak perempuan yang berusia 6-8 tahun. Busana yang dikenakan adalah sabukwala. Sedangkan upacara tarapan adalah upacara inisiasi haid pertama bagi anak perempuan yang berusia 9-12 tahun. Busana yang dikenakan yaitu

12

Referensi

Dokumen terkait