• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 86-95)

BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

E. Proses Sosial Perkembangan Batik Dusun Pajimatan Tahun 1935-1942

Mereka yang belajar di tempat Djogo Pertiwi ada beberapa tingkat usia, tetapi pada dasarnya perempuan yang sudah menginjak usia dewasa diharuskan menguasai suatu ketrampilan. Menurut Sarjuni, karena memang ketrampilan membatik dilakukan secara turun temurun, rata-rata perempuan kalau sudah agak besar lalu belajar membatik. Perempuan dari umur las-lasan atau belasan tahun, sampai yang sudah tua kira-kira umur 50 tahun datang untuk belajar membatik.35

Sarjuni merupakan salah seorang murid dari Djogo Pertiwi. Ia sekarang meneruskan usaha ibunya menjadi pembatik dan penjual batik. Meskipun ia hanya seorang anak menantu dari Djogo Pertiwi, selalu berusaha untuk melestarikan budaya membatik. Dari pernikahannya, Djogo Pertiwi memang tidak bisa mendapatkan keturunan.36 Karena tidak ada lagi yang meneruskan usahanya, maka anak menantunya yaitu Sarjuni-lah yang mengikuti jejaknya. Dia menikah dengan anak angkat Djogo pertiwi yaitu Sarjuni. Nama aslinya adalah Duriah. Ia lebih dikenal

35

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 36

dengan Ibu Sarjuni, sama seperti pada Djogo Pertiwi yang lebih dikenal dengan nama suaminya.

Menurut Ibu Slamet,37 pengajaran seni membatik Djogo Pertiwi sangat membantu dalam bidang pendidikan bagi perempuan. Seperti yang dikatakan pada sub bab sebelumnya, bahwa perempuan wajib mempunyai ketrampilan yang berhubungan dengan kodratnya sebagai wanita. Sarana pendidikan itu memberikan kesempatan pada perempuan sekitar Imogiri untuk meningkatkan kemampuan agar bisa menghadapi tuntutan zaman. Mereka ingin ikut berpartisipasi dalam melestarikan budaya Jawa di lingkungan Pajimatan. Karena ingin membantu kesejahteraan keluarganya, Ibu Slamet yang mulanya hanya belajar membatik, akhirnya juga ikut bekerja pada Djogo Pertiwi.

Kemajuan ketrampilan membatik yang mulai dimiliki oleh penduduk di Imogiri, khususnya oleh sebagian kaum wanita, disadari sebagai suatu proses untuk memelihara dan melestarikan budaya yang telah ada secara turun temurun.38 Selain itu perkembangan seni membatik di Pajimatan merupakan usaha untuk mempertahankan hidup atau sebagai penopang kehidupan rumah tangga ditiap individu maupun keluarga. Sebagain besar penduduk Pajimatan juga menggunakan batik sebagai mata pencaharian pokok.39

37

Wawancara dengan Ibu Slamet, murid dari Djogo Pertiwi, 70 tahun, tanggal 3 Februari 2010.

38

Hal ini juga disampaikan dalam wawancara dengan Ibu Sarjuni. 39

75

Perempuan sangat besar perannya dalam kehidupan. Meskipun kadang perempuan hanya dianggap konco wingking, kita tidak bisa menyepelekan peran wanita. Kebudayaan ditentukan oleh perempuan. Salah satunya adalah membatik. Dahulu sebelum munculnya cap, batik dibuat oleh perempuan. Meskipun mereka tidak sekolah, para perempuan bisa pintar dalam mengurus rumah tangga.40 Pada umumnya ibu mempunyai sumber penghidupan sendiri yaitu berjual beli di pasar, membuka warung bahan makanan, membatik, dan lain-lain.41

Pembelajaran ketrampilan membatik yang diajarkan oleh Djogo Pertiwi membantu para perempuan untuk mendapatkan penghasilan sehingga bisa membantu meringankan beban suami yang menjadi kepala keluarga.42 Masyarakat Pajimatan tertarik dengan keahlian Djogo Pertiwi sehingga mereka tertarik dan mulai ikut belajar membatik. Meskipun sudah banyak yang belajar kepadanya, tidak banyak juga pembatik yang mampu mengikuti jejaknya meskipun sudah lama bekerja dengannya. Cara ini sedikit demi sedikit dapat membantu mengembangkan usaha batik milik Djogo Pertiwi.

Orang-orang yang datang ke tempat Djogo Pertiwi di Pajimatan ada yang berniat untuk belajar dan untuk bekerja. Orang-orang itu menyadari bahwa kelak dia harus tahu mengenai kewajibannya untuk berbakti kepada suami karena hanya

40

Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009. 41

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta, op.cit., hlm..228. 42

Fungsi dalam pembelajaran membatik ini juga disampaikan oleh Ibu Sarjuni, Ibu Jariyah Asih dan Ibu Slamet dalam wawancaranya.

dengan jalan itu mereka bisa mendapatkan kebahagiaan hidup sehingga dapat melayani keperluan suami. Para perempuan ini juga akan menjadi calon ibu bagi anak-anaknya kelak. Pada sekitar tahun 1900-1942, pendidikan yang diterapkan bagi anak perempuan adalah pendidikan rumah tangga. Anak-anak perempuan diharuskan selalu membantu pekerjaan ibunya menjalankan urusan rumah tangga, serta urusan yang berkenaan dengan mata pencaharian ibunya.43 Pada tahap selanjutnya dengan ketrampilan yang dimiliki, perempuan mempunyai sumber penghidupan sendiri. Mereka termotivasi untuk membantu suami dalam mendapatkan penghasilan untuk membantu kebutuhan rumah tangga.

Djogo Pertiwi menjadikan murid-muridnya sebagai anak angkat, dengan memberikan modal kecil untuk membuat batik. Mereka sering diberi kain oleh Djogo Pertiwi dan diminta untuk membuat karya batik apapun. Setelah selesai, kain-kain itu dibeli oleh Djogo Pertiwi dan disetorkan ke toko-toko batik di Yogyakarta. Ketika itu Djogo Pertiwi banyak mendapat pesanan batik sehingga membuat dirinya dikenal sebagai juragan batik di Dusun Pajimatan. Menurut Sarjuni, ada juga juragan batik yang memesan kain yang masih berupa mori batikan (masih setengah jadi), lalu mereka beli dan diproses sendiri. Proses untuk membuat satu kain batik saja membutuhkan waktu antara 6 sampai 8 bulan, dan itu-pun tergantung dari motifnya.

Dalam mengembangkan usaha batiknya, Djogo Pertiwi mulanya hanya mempekerjakan sekitar 5 orang perajin. Lama kelamaan, dia juga memberi bantuan

43

77

pendidikan dan batik tulis, terutama motif tradisional. Sehingga jumlahnya meningkat menjadi 100 orang. Mereka tersebar di Dusun Pajimatan, Giriloyo dan Banyu Sumurup.44 Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan seni membatik di wilayah Imogiri mengalami perkembangan dan pertumbuhan seiring minat masyarakat untuk mempelajari batik.

Ketika para pembatik Pajimatan mendapat banyak pesanan dari kraton, mereka kewalahan sehingga mendatangkan pembatik yang berasal dari Giriloyo. Perempuan Giriloyo belajar kemudian bekerja membatik di Pajimatan. Bahkan batik Giriloyo lebih terkenal daripada batik Pajimatan. Padahal awalnya mereka belajar membatik di Pajimatan.45

Antara tahun 1935-1942, Yogyakarta diperintah oleh Sultan Hamengku Buwono VIII dan Sultan Hamengku Buwono IX. Ketika Yogyakarta berada di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), kekuasaannya semakin dipersempit oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemerintahan Sultan menanda-tangani kontrak politik dengan Belanda pada tahun 1921, yang disebut dengan Acte van Verband, yang isinya mengatur tentang bahwa pemerintah kolonial Belanda turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan kerajaan.46 Kontrak politik ini

44

Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 158.

45

Wawancara dengan Ibu Siti Jariyah Asih, 59 thn,, tanggal 2 November 2009. Lihat Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm. 13.

46

A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 60-61.

mengakibatkan merosotnya kewibawaan Sultan Hamengku Buwono VIII. Pemerintah kolonial Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa dengan cara mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat kepada kaum bangsawan. Tak hanya kekuasaan Sultan yang merosot tetapi juga kaum bangsawan atau priyayi. Golongan bangsawan atau priyayi yang semula dianggap mempunyai derajat yang tinggi, mulai berkurang.

Dalam lingkungan kraton, tradisi batik pada masa ini masih tetap lestari. Hal ini berkaitan dengan pembelajaran ketrampilan yang harus dimiliki oleh setiap wanita kraton. Masa pingitan juga dikenal dalam lingkungan kraton. Ketrampilan yang dikuasai seperti dalam hal berumah tangga yaitu memasak, menyiapkan sajian di meja makan, menyulam, dan membatik. Ketrampilan membatik dianggap sebagai kepandaian utama, karena suatu kain batik yang dikerjakan merupakan kebanggaan bagi seorang suami.

Lingkungan di luar kraton Yogyakarta, seperti misalnya pada Dusun Pajimatan, memang banyak yang mendapat suami sebagai seorang abdi dalem. Secara tidak langsung, perempuan di Pajimatan mendapat pengaruh dari kraton ketika membuat batik. Di Dusun ini juga, kraton memenuhi kebutuhannya akan batik. Menurut Sarjuni, pihak kraton sering memesan batik, modelnya beli sekaligus pesan sekalian mbatikke (disuruh membatikkan). Orang-orang dahulu masih banyak yang memakai kain batik atau jarikan, jadi masih agak gayeng atau maju.47 Apalagi ketika

47

79

makam raja-raja Imogiri sudah banyak dikunjungi orang yang mau ziarah maupun para wisatawan. Sebelum masuk ke makam, para pengunjung diharuskan mengganti pakaiannya dengan kemben dan jarik atau kain batik. Hal ini membuktikan bahwa peran makam yang sangat penting, kebutuhan batik sangat diperlukan dan masyarakat dapat memanfaatkannya sebagai sumber penghasilan.

Kalangan masyarakat pedesaan mengalami sedikit kekurangan modal mengingat banyak perubahan yang terjadi pada saat itu. Mulanya pada abad 20-an, berdiri perusahaan batik yang didirikan oleh Jepang di Yogyakarta. Hal ini menyebabkan Jepang mengekspor produk kain mori ke Indonesia pada tahun 1927 dan menggeser kain batik mori dari Belanda yang telah mendahului. Kemudian China yang sudah masuk ke Indonesia, menguasai sistem pemasaran kain mori. Pembatik-pembatik di Yogyakarta mengalami kesulitan untuk bersaing dengan produksi kain batik perusahaan-perusahaan asing. Sehingga mereka membutuhkan modal agar bisa terus berproduksi untuk menyaingi perusahaan-perusahaan tersebut. Pada tahun 1939 didirikanlah gabungan koperasi batik yang membantu para pembatik agar bisa membeli mori dan bahan batik langsung pada importir.48

Kehidupan dunia usaha batik milik Djogo Pertiwi juga mengalami apa yang dinamakan pasang surut. Sarjuni tidak mengemukakan secara persis, kapan usaha

48

A. N. Suyanto, op.cit., hlm. 69-70. Lihat juga dalam Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia, Jilid II, Jakarta, hlm. 196. Industri batik di Yogya, Solo, dan Pekalongan mengalami penurunan, tidak seperti industri lainnya, sehingga mengakibatkan para pembatik itu tergabung dalam koperasi. Untuk pembentukan koperasi lihat juga dalam Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 264.

batik milik Djogo Pertiwi mengalami masa kemajuan maupun kemunduran antara tahun 1935-1942. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang mengiringi tahun-tahun tersebut menunjukkan bahwa memang usaha pembatikan pada sekitar tahun 1930 mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan terjadinya Malaise yaitu krisis ekonomi yang sangat besar pada masa itu. Sebelumnya batik mengalami masa kejayaan, ketika berdirinya koperasi batik. Industri batik pada tahun-tahun terjadinya Malaise, mengalami penurunan. Harga-harga bahan yang mahal dan pasaran yang lesu mengakibatkan jumlah usaha batik menjadi berkurang pada tahun 1935.49 Industri batik milik Djogo Pertiwi masih tergolong kecil sehingga membutuhkan modal yang dipinjam dari koperasi agar usaha tersebut bisa lebih berkembang.

Sultan Hamengku Buwono VIII sangat memperhatikan seni yang lainnya seperti seni tari dan karawitan. Seni tari erat kaitannya dengan seni batik. Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa kain batik juga digunakan untuk keperluan tari pertunjukan seperti tari beksan lawung dan bedhaya. Pertunjukan tari ini semula hanya dipertunjukkan di kalangan bangsawan dan priyayi saja, tetapi Sultan kemudian mengijinkan agar seni ini diajarkan pada masyarakat umum.50

Sultan Hamengku Buwono VIII memerintah sampai tahun 1939, selanjutnya digantikan oleh anaknya yaitu G.R.M. Dorojatun yang kemudian dikenal dengan nama Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan Hamengku Buwono IX memerintah dari

49 W. J. O’Malley, Indonesia di Masa Malaise: Studi terhadap Sumatera

Timur dan Yogyakarta di Tahun 1930-an, Prisma, No. 8, Agustus, Th. XII, hlm. 45.

50 Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, Sekaring Jagad Ngayogyakarta

81

tahun 1939-1988. Pada masa ini, sultan masih terikat kontrak dengan pemerintah kolonial Belanda. Pihak Belanda dibawah pemerintahan Gubernur Lucien Adam, masih ikut campur dalam pemerintahan Sultan. Sehingga pemerintahan sultan berada di bawah pengaruh pemerintah kolonial Belanda.

Sultan Hamengku Buwono IX melanjutkan hal-hal yang dirintis oleh ayahnya dalam bidang kebudayaan. Pemakaian motif kain batik tertentu yang berdasarkan pada kedudukan dan status sosial masyarakat masih diperhatikan. Namun ada motif-motif lain yang sudah ditiru oleh masyarakat meskipun ada yang termasuk dalam motif larangan. Keluarnya motif ini salah satunya karena pertunjukan tari yang sejak pemerintahan Hamengku Buwono VIII dipertunjukkan kepada masyarakat umum.

Pada awal masa Sultan Hamengku Buwono IX, para remaja perempuan di sekitar Imogiri berminat untuk belajar membatik kepada tangga terdekat. Mulanya para perempuan ini belajar dari tahap nerusi. Lama kelamaan ketrampilannya meningkat sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi, misalnya nglowong atau memberi isen-isen.51 Di tempat usaha batik Djogo Pertiwi juga didatangi para perempuan yang berniat belajar membatik. Mereka yang datang tak hanya berasal dari Pajimatan, tetapi juga dari daerah-daerah lain di sekitar Pajimatan. Pada masa ini pekerjaan membatik dilakukan sebagai mata pencaharian pokok dan juga pekerjaan sambilan pada waktu senggang.

51

Ketika Jepang melakukan pendudukan di Indonesia pada tahun 1942, situasi sosial ekonomi memprihatinkan dan tidak menentu, seperti halnya di Yogyakarta. Barang-barang kebutuhan sehari-hari menjadi sangat mahal dan sulit didapatkan.52 Bahkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membatik pada umumnya sangat sulit didapatkan. Sehingga untuk menghemat proses, bahan yang dipakai disederhanakan, seperti misalnya ukuran kain yang dipakai lebih kecil yaitu dengan panjang 180 cm dan lebar 90 cm. Kain ini kemudian diberi nama kain keci (kecil) dan ketika sudah selesai dibatik disebut dengan batik becak.53

Pelaksanaan upacara-upacara kebesaran di kraton seperti Pasowanan, Garebeg, dan Jumenengan tidak lagi diadakan secara lengkap sesuai dengan tata caranya seperti zaman dahulu. Upacara-upacara tersebut bahkan sempat ditiadakan selama Jepang berkuasa. Untuk upacara seperti pernikahan, tata caranya masih seperti biasanya dengan memakai kain motif khusus untuk pernikahan. Hal ini bertujuan agar pernikahan pengantin itu mendapat berkah dari makna motif batik yang dipakai.

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 86-95)