• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 36-42)

BAB II. SEJARAH BATIK DI YOGYAKARTA

B. Batik Sebagai Warisan dari Kerajaan Mataram

Kerajaan Mataram, khususnya Kerajaan Mataram Islam, dahulunya mempunyai daerah kekuasaaan yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah Pulau Jawa, menjadi daerah kekuasaan kerajaan tersebut. Dari keseluruhan raja yang pernah memerintah Kerajaan Mataram, Sultan Agung yang paling terkenal. Sultan Agung membawa Kerajaan Mataram mengalami masa kejayaannya. Sultan Agung memerintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Beliau memperluas wilayah Kerajaan Mataram dengan menaklukkan daerah-daerah di Pulau Jawa seperti Tuban, Jepara, Gresik, Cirebon, Madura dan Surabaya. Penaklukan ini mengakibatkan semua daerah tersebut jatuh dibawah kekuasaan Sultan Agung.5

Ada berbagai pendapat mengenai munculnya batik ke Indonesia. Di wilayah Jawa, seperti yang telah disebutkan pada awal bab, telah diproduksi sejak masa Kerajaan Majapahit. Ada yang menyebutkan bahwa batik dipengaruhi oleh kebudayaan India yang datang bersamaan dengan agama Hindu-Buda. Sehingga, motif-motif batik yang diciptakan ada hubungannya dengan budaya agama Hindu Buda. Percampuran antara budaya Jawa dengan budaya Hindu Buda atau yang juga disebut dengan akulturasi, tidak menyebabkan budaya Jawa asli itu menghilang, tetapi mengalami pertambahan dan memperkaya nilai budaya Jawa asli yang telah mengakar dalam masyarakat.

5

Menurut Brandes, bangsa Indonesia mempunyai 10 kepandaian yang menjadi unsur asli kebudayaan Indonesia. 10 unsur itu diantaranya adalah wayang, gamelan, kerajinan batik, kerajinan dari logam, sistem mata uang koin, navigasi, astronomi, pertanian irigasi, sistem metrik, dan kehidupan politik (birokrasi).6 Batik ternyata memang sebuah karya yang sudah menjadi salah satu budaya asli orang Indonesia. Meskipun banyak pengaruh yang datang dari luar, batik tetap mempunyai ciri tersendiri.

Kemudian ketika Islam mulai masuk ke Pulau Jawa, batik juga mendapat pengaruh dari Islam. Batik juga mengalami perkembangan pada masa Kerajaan Mataram. Sultan Agung menjadi seorang raja yang juga berperan dalam bidang kebudayaan. Di samping kegiatannya dalam berpolitik, Sultan Agung mencurahkan sebagian perhatiannya dalam hal seni batik. Ketika kebudayaan Islam masuk, kesenian membatik yang terlebih dahulu mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buda dan juga kebudayaan Indonesia lama juga mendapat pengaruh dari budaya Islam. Pada perkembangannya, agama-agama tersebut memberi banyak pengaruh dalam perkembangan batik. Masuknya pengaruh Islam memperkaya kesenian tersebut. Dalam dunia seni batik, Sultan Agung mengilhami pembuatan motif parang-parangan,7 dan menciptakan motif sembagen huk.8 Meskipun Yogyakarta dan

6

Asmito, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jakarta: Depdikbud, 1988, hlm. 29.

7

Sugiyamin, Seni Kerajinan Batik Tradisional Imogiri Yogyakarta, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, hlm. 131.

25

Surakarta tadinya merupakan satu kerajaan, tetapi warna batik buatan dari dua daerah kerajaan ini berbeda. Batik khas dari Yogyakarta warna yang lebih dominan adalah putih terang dan untuk batik khas Solo, warna yang lebih dominan adalah coklat.

Peran Sultan Agung dalam bidang kesenian membatik ini menjadikan beliau sebagai seorang budayawan. Selain sebagai orang yang berperan dalam bidang budaya, Sultan Agung juga memiliki minat dalam hal ilmu militer, filsafat, sastra, hukum, dan astronomi. Hasil karya dari Sultan Agung dalam bidang budaya antara lain perpaduan penanggalan tarikh Jawa (saka) dengan Islam (hijriyah) yang disebut dengan tarikh Jawa, kitab sastra gending, dan upacara garebeg. Selain itu Sultan Agung juga ditetapkan sebagai pahlawan nasional karena kekuasaannya yang besar dengan daerah taklukan yang luas.

Kerajaan Mataram Islam tumbuh menjadi kerajaan besar ditangan pemerintahan Sultan Agung. Kebudayaan sangat dijunjung tinggi pada masa Sultan Agung. Setelah Mataram terbagi menjadi dua, Pangeran Mangkubumi, yang setelah dinobatkan menjadi raja berganti nama menjadi Sultan Hamengku Buwono I, membawa semua barang-barang pusaka yang ada di kerajaan Mataram. Beliau hendak merawat barang-barang tersebut, termasuk kain batik. Sedangkan Paku

8

Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 66.

Buwono III, membuat kain batik dengan motif baru dan juga mendesain busana yang menjadi khas busana Jawa gaya Surakarta sampai sekarang.9

Ketika Yogyakarta di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, menetapkan pemakaian batik sebagai sebuah tradisi yang membudaya sejak zaman kerajaan Mataram.10 Batik tak hanya digunakan sebagai busana sehari-hari, tetapi juga dipakai dalam upacara-upacara resmi kerajaan atau upacara ageng seperti upacara supitan, jumenengan dalem, garebeg, tingalan dalem, dan perkawinan11. Peranan batik sebagai busana pada masa itu sangat penting karena penggunaannya dipakai hampir dari sejak manusia itu lahir sampai meninggal dunia. Ketika manusia itu lahir, meskipun belum bisa memakai batik, bayi sudah digendong dengan kain batik. Ketika sudah menginjak dewasa, batik digunakan untuk upacara supitan, kemudian pada saat mau menikah batik juga dipakai. Sampai pada akhirnya meninggal dunia, jenazah orang tersebut juga ditutup menggunakan kain batik.

9

Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 13. Dalam buku ini juga disebutkan bahwa kemudian terdapat perbedaan antara pakaian orang Yogyakarta dengan Surakarta atau Solo yang menimbulkan olok-olok antara keduanya.

10

A. N. Suyanto, op.cit., hlm 3. 11

Ibid., hlm. 6-7. Penggunaan kain batik yang berfungsi baik dalam kegiatan sehari-hari maupun resmi telah diterapkan dalam kehidupan di dalam keraton maupun oleh masyarakat. Lihat juga dalam buku Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 8. Lalu dalam buku Inger Inger McCabe Elliot, Batik Fabled Cloth of Java, Singapore: Periplus, 2004, hlm. 32, juga disebutkan bahwa batik digunakan hampir sebagai pakaian dan busana pada saat upacara atau ceremonial.

27

Tentunya motif yang dipakai dalam upacara-upacara tersebut berbeda-beda dan disesuaikan dengan arti atau makna motif batik dalam satu kain.

Batik kemudian menjadi salah satu alat-alat kebesaran yang menjadi simbol kebangsawanan dan memiliki peran yang sangat penting selain barang-barang seperti payung, pakaian adat, keris, dan tombak. Kegiatan upacara di Kraton memang sudah diwariskan dan dilaksanakan secara turun temurun. Perlengkapan yang dipakai pada setiap upacara harus selalu diperhatikan sesuai dengan aturan yang berlaku di Kraton. Sehingga penggunannya tidak boleh terlewatkan karena akan mempengaruhi kedudukan raja di lingkungannya. Raja merupakan pemimpin yang kharismatik dan sangat disegani oleh rakyatnya. Jika ketika ada kejanggalan dalam penyelenggaraan seperti misalnya upacara ageng, maka raja akan kehilangan kewibawaannya.12

Di Kraton, batik sangat akrab dengan perempuan. Batik merupakan sebuah karya seni yang berasal dari tangan para perempuan. Sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, batik telah dipakai sebagai busana keprabon atau busana kebesaran. Batik mulanya dibuat sebagai kebutuhan sandang para keluarga kerajaan. Kain batik juga mempunyai kaitan yang erat dengan kesenian tari. Kesenian ini juga sudah mulai ada sejak kerajaan Mataram berdiri. Kesenian batik dan tari merupakan salah satu bahan pendidikan yang diajarkan kepada para perempuan di Kraton. Tak hanya diajari membatik, mereka juga diajari untuk menari, pemakaian bahasa Jawa dengan benar, serta kesusastraan. Tarian yang diajarkan antara lain tari wayang wong,

12

Beksan Lawung, dan Bedhaya. Kain batik yang dipakai pada saat menari juga berbeda-beda motifnya tergantung dengan peran yang akan dimainkan.

Materi pendidikan yang diajarkan itu merupakan upaya dari pihak Kraton untuk melestarikan kebudayaan Mataram yang telah mengakar kuat dalam kehidupan di dalam kraton.13 Pengamalan nilai-nilai pendidikan ini berfungsi untuk memberikan contoh kepada masyarakat di sekitar Kraton. Dengan kata lain, warga di dalam Kraton yang dianggap sebagai priyayi atau bangsawan, mempunyai martabat yang tinggi, dapat menjadi panutan atau contoh bagi masyarakat sekitar.14 Batik Kraton juga menjadi produk yang mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa dan didukung oleh bangsawan Kraton berikut segenap tata budaya. Perilaku dan penampilan (termasuk dalam berbusana) dipandang perlu demi kekuatan serta kemutlakan kedudukan raja.15

Kesenian membatik telah diajarkan secara turun temurun sejak kekuasaan Mataram masih tetap dijaga kelestariannya oleh raja-raja berikutnya. Sehingga batik menjadi salah satu warisan kerajaan Mataram. Mataram telah menjadi pusat pengembangan budaya yang berpusat pada Kraton dan kebudayaannya merupakan hasil dari percampuran budaya Indonesia lama, Hindu-Buda, dan Islam.

13

Umar Kayam, “Ngayogyakarta”, dalam Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat, Jakarta: Wastraprema, 1990, hlm. 13.

14

Diibaratkan seperti para anggota dewan terhormat, DPR. Mereka telah dipilih oleh rakyat sehingga diharapkan agar dalam menjalankan pekerjaannya dapat menyampaikan aspirasi dari rakyat untuk disampaikan kepada presiden.

15

29

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 36-42)