• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 78-86)

BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

D. Proses Penyebaran Seni Batik di Dusun Pajimatan

Djogo Pertiwi telah mempunyai pengalaman yang sangat banyak dalam seni membatik. Ilmu tersebut sangat berguna bagi penduduk sekitar Imogiri. Sehingga Djogo Pertiwi ingin membagi ilmunya kepada penduduk di sekitarnya. Kemudian dia mengajarkan cara membatik kepada masyarakat di sekitar Imogiri khususnya di Dusun Pajimatan. Orang-orang dulu yang pintar membatik biasanya mengajarkan ilmunya kepada orang lain.20

Ketrampilan membatik yang diperoleh dari ibunya kemudian ketika dia bekerja sekaligus juga belajar membatik di Tjokro Soeharto, membuat penduduk sekitar Pajimatan tertarik dengan ketrampilan yang dimiliki olehnya. Maka ada beberapa orang yang berdatangan. Mereka dibina langsung oleh Djogo Pertiwi. Ada beberapa yang memang bekerja membatik di rumahnya dan ada pula yang berniat untuk belajar.21 Menurut Sarjuni, dari pihak Djogo Pertiwi maupun masyarakatnya juga sama-sama belajar membuat batik, jadi saling memenuhi kebutuhan antara yang mengajar dan yang diajar.

20

Wawancara dengan Ibu Larasati Suliantoro, tanggal 1 November 2009. 21

Pembuatan kain batik dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu dari proses pengolahan kain sampai pada proses pelepasan atau penghilangan malam pada kain. Sebelum membatik, alat-alat yang lebih dahulu, antara lain gawangan, wajan, kompor atau anglo, dan canthing. Gawangan adalah alat yang dibuat dari kayu untuk membentangkan kain ketika dibatik. Wajan adalah tempat yang dibuat dari baja, digunakan untuk mencairkan malam. Kompor atau anglo adalah tempat perapian atau pemanas, nantinya wajan yang sudah berisi malam ditaruh diatasnya. Terakhir adalah canthing, berfungsi untuk menggambar dan menuliskan cairan malam pada kain. Canthing mempunyai beberapa jenis yang dibedakan menurut fungsinya dan banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam.

Jenis canthing menurut fungsinya dibagi menjadi dua. Pertama, canthing reng-rengan adalah canthing yang berfungsi untuk ngengreng atau menulis dengan canthing mengikuti pola. Kedua, canthing isen-isen adalah canthing yang digunakan untuk mengisi pola-pola yang sudah dibatik. Lalu jenis canthing menurut banyaknya cucuk atau tempat keluarnya malam dibagi menjadi enam. Pertama, canthing cecekan, bentuk cucuknya tunggal dengan lubang kecil. Fungsinya untuk membuat titik-titik kecil dan membuat garis kecil. Kedua, canthing loron, bentuk cucuknya ada dua yang berfungsi untuk membuat garis rangkap. Ketiga, canthing telon, bentuk cucuk ada tiga. Pada saat digambarkan di atas kain batik akan terlihat tiga buah titik. Keempat, canthing prapatan, bentuk cucuknya ada empat yang nantinya dipergunakan untuk menggambar empat buah titik yang membentuk bujur sangkar. Kelima, canthing liman, bentuk cucuknya ada lima, gunanya untuk menggambar

67

bujur sangkar kecil yang dibentuk oleh empat buah cicik dan sebuah titik ditengahnya. Keenam, canthing byok, bentuk cucuknya ada tujuh, gunanya untuk menggambar lingkaran yang terdiri dari titik-titik.22

Hasil batikan agar menjadi bagus akan ditentukan oleh kualitas malam yang bagus juga. Malam yang digunakan ada dua jenis berdasarkan penggunaannya, pertama adalah malam klowongan, dipakai untuk membuat garis-garis klowong atau garis-garis pola. Kedua adalah malam tembokan, dipakai untuk menutupi bidang pada pola. Cairan malam yang digunakan berasal dari campuran gandarukem, damar mata kucing, malam tawon dan parafin. Semua bahan ini dicampur menjadi satu menurut takaran yang ditetapkan dalam pembuatan batik agar dapat menghasilkan batik yang berkualitas.23

Setelah menyiapkan alat-alat keperluan membatik, barulah dilakukan pekerjaan membatik. Berikut ini adalah tahap-tahap yang dilakukan untuk membuat batik:

1. Pengolahan Kain Mori

Pada tahap pertama sebelum membatik, kain yang akan dipakai harus dipersiapkan terlebih dahulu. Bahannya yaitu berupa kain mori. Untuk menghasilkan satu kain batik dibutuhkan panjang kurang lebih 2,5 meter

22

Hamzuri, Batik Klasik, Jakarta: Djambatan, 1981, hlm. 6-8. Lihat juga dalam Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 18-19.

23

Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, hlm. 25.

dan lebarnya kurang lebih 105 cm.24 Kain batik dengan ukuran panjang dan lebar tersebut akan dihasilkan kain yang biasa dipakai, biasa disebut dengan jarik, atau kain batik yang biasa digunakan seperti dalam penggunaannya bersamaan dengan baju kebaya. Berbeda lagi ukurannya untuk kain batik dodot yang panjangnya mencapai 3,5 meter dan lebarnya 210 cm. Kain yang dipakai oleh pembatik biasanya menggunakan jenis kain mori khusus batik primissima. Kain ini adalah salah satu jenis kain yang berkualitas bagus. Biasanya pembatik membeli dalam bentuk gulungan besar atau biasa disebut dengan piece25, dan nantinya dipotong-potong sesuai dengan ukuran kain batik pada umumnya. Dalam 1 gulung kain mori nantinya bisa dibuat menjadi 13 kain batik. Kain ini kemudian, pertama-tama, pada tepi kain dijahit atau diplipit agar serat-serat kain tidak mudah lepas. Baru kemudian kain dicuci dengan air panas. Hal ini bertujuan untuk mengilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada kain sehingga tidak menghambat proses pembatikan. Proses kedua adalah menganji. Kain mori yang sudah dicuci harus dikanji agar lilin/malam batik tidak meresap ke dalam kain dan dalam proses selanjutnya lilin/malam dapat mudah dihilangkan. Cara yang ketiga, adalah mengemplong. Kain yang sudah dikanji akan menjadi kaku setelah kering. Cara selanjutnya adalah mengemplong, kain itu

24

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 25

69

pukul dengan tongkat kayu agar menjadi lemas dan mudah untuk dibatik.26 Kain yang sudah dikemplong tersebut siap untuk dibuatkan pola.

2. Tahap Pembuatan Pola

Djogo Pertiwi mulai mengajarkan membatik pada tahap ini.27 Tahap ini mengenai cara menggambar pola-pola batik. Dalam mengajarkan membuat pola, Djogo Pertiwi mula-mula menggambar di atas kain, dengan pensil. Cara ini kemudian ditiru oleh anak-anak didiknya. Untuk membuat pola yang sudah pakem, seperti motif kraton, adalah dengan cara menggambar pola yang sudah diberikan dan ditentukan oleh Djogo Pertiwi sehingga murid tinggal menjiplaknya.28 Djogo Pertiwi mengajarkan cara membuat pola dengan tekun kepada para muridnya. Untuk membuat kain batik harus dengan cermat dan telaten, begitu juga ketika pertama kali menggambar suatu pola. Ketelitian dan ketekunan dalam membuat pola harus diperhatikan. Agar bisa menggambar satu pola dengan bagus, maka pembuatannya digambar secara berulang-ulang sampai murid itu bisa.29 Motif-motif yang dibuat seperti pola ceplok, kawung, lereng, dan semen. Setelah kain mori digambar pola menggunakan pensil sampai seluruh

26

Biranul Anas, op. cit., hlm. 20-23. 27

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 28

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. Proses ini juga dibenarkan oleh Ibu Siti Jariyah Asih dalam wawancaranya.

29

permukaan mori penuh dengan pola beserta isiannya.. Kemudian dilanjutkan membatik menggunakan canthing.30

3. Proses Pembatikan

Setelah selesai melakukan proses membuat pola, mulailah proses membatik. Djogo Pertiwi mengajari para murid cara untuk memegang canthing. Canthing tidak bisa dipegang secara sembarangan. Canthing harus dipegang secara lurus mendatar atau horizontal agar cairan malam yang di dalamnya tidak menggumpal.31 Cara memegang canthing berbeda dengan memegang pulpen maupun pensil seperti ketika menulis. Perbedaan itu disebabkan ujung cucuk canthing bentuknya melengkung dan berpipa besar, sedang pensil atau pulpen lurus. Memegang canthing dengan ujung-ujung ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah seperti memegang pensil untuk menulis tetapi tangkai canthing horizontal. Posisi ini bertujuan agar menjaga agar malam tidak tumpah.32 Proses selanjutnya adalah membatikkan malam ke atas kain mori. Malam yang berada di panci, di ambil dengan menggunakan canthing, tetapi harus ditiup terlebih dahulu. Akan tetapi, proses-proses selanjutnya dalam pembuatan batik masih dibagi lagi menjadi beberapa tahap, sebagai berikut: 30 Ibid.. 31 Ibid. 32 Hamzuri, op.cit., hlm. 15.

71

a. Nglowongi adalah proses ketika pola yang sudah digambar, dibatik dengan malam sehingga membentuk kerangka dari motif batik yang dibuat. Malam yang dipakai khusus untuk nglowongi yaitu malam klowongan.

b. Nerusi adalah membatik dengan mengikuti pola pembatikan pertama pada bekas tembusnya. Jadi kain sebelumnya telah dibalik lebih dahulu.

c. Tahap selanjutnya memberi isen-isen dan cecek pada kain. Tahap ini disebut juga dengan ngiseni dan nyeceki. Cara ini dengan menggunakan jenis-jenis canthing yang sudah dijelaskan diatas. d. Nemboki adalah proses menutup permukaan kain dengan lilin. Hal

ini dilakukan agar pada saat pewarnaan, kain tidak berubah warna dan tetap putih. Malam yang digunakan adalah malam tembokan. Malam ini kualitasnya sangat bagus karena akan menempel kuat pada kain dan tidak akan merusak pola yang sudah dibuat.

Diantara proses membatikkan malam diatas kain, pembatik harus memperhatikan tungku yang digunakan, dan harus sering ditipasi. Hal ini dilakukan agar bara api di tungku tetap menyala dan memanasi cairan malam sehingga tidak membeku.

Djogo Pertiwi hanya mengajarkan sampai disini saja. Untuk proses penyelesaiannya yaitu proses pewarnaannya, kain batik dibawa ke tukang yang biasa menangani pewarnaan. Biasanya kain batik yang sudah selesai dibatik, dibawa ke

Yogyakarta untuk diwarnai.33 Begitu pula dengan proses mbabar yang juga harus dibawa ke Yogyakarta. Daerah yang biasanya ditunjuk sebagai tempat untuk bagian ini seperti Prawirotaman dan Tirtodipuran.34 Kebanyakan yang melayani proses ini adalah para juragan besar batik. Disini juga dilakukan pembatikan dari tahap awal sampai tahap akhir ketika sudah jadi kain batik siap pakai, mampu mereka lakukan dengan tenaga sendiri.

Di Yogyakarta, warna yang dominan untuk kain batik adalah soga. Warna soga merupakan warna coklat yang didapat dari kulit pohon soga. Proses pewarnaan kain dengan warna coklat ini disebut nyoga dan kain batiknya disebut dengan batik sogan. Para pembatik sampai pada akhir abad ke 19, masih menggunakan pewarna alam. Meskipun pada akhir abad ini menyusul ditemukannya pewarna sintetis. Para pengusaha batik pada akhir abad 19, masih tetap menggunakan pewarna alam karena tingkat warnanya lebih bagus daripada pewarna sintetis. Warna lain adalah biru tua yang didapat dari daun tanaman indigo. Proses pewarnaan dengan warna biru ini disebut medel atau diwedel, dan kain batiknya biasa disebut dengan batik wedelan. Warna-warna ini merupakan warna khas kain batik gaya kraton, seperti Yogyakarta dan Surakarta.

Proses terakhir dari pembuatan kain batik ini adalah mbabar. Mbabar merupakan proses penghilangan lilin dengan cara dilorod, nglorod atau dikerok.

33

Wawancara dengan Ibu Sarjuni, 63 tahun, tanggal 30 Oktober 2009. 34

Ibid. Lihat juga Suhartinah Sudijono, Pasang Surut Batik Tulis Tradisional Bantul, Patra Widya, Vol. 7, No. 3, September 2006, hlm.19.

73

Melorod lilin yang menempel pada kain dilakukan dengan cara mencelup-celupkan kain pada air yang sudah mendidih secara berulang-ulang. Tentunya air panas yang digunakan untuk melorod bukan hanya air biasa, tetapi juga dicampur dengan zat kimia.

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 78-86)