• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Feodal Kraton

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 53-68)

BAB III. DINAMIKA BATIK GAYA YOGYAKARTA

A. Sistem Feodal Kraton

Pada masa kerajaan-kerajaan di Jawa, raja merupakan penguasa atas tanah beserta isinya di seluruh wilayah kekuasaannya. Raja juga mempunyai kekuasaan yang absolut atau mutlak pada bawahannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, feodal berarti hal yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan yang berhubungan dengan sikap dan cara hidup.1

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 241.

41

Sistem ini sudah berlaku sejak Indonesia dijajah oleh pemerintah kolonial Belanda di sekitar abad 18.

Seperti diketahui pada pembahasan bab sebelumnya, bahwa masyarakat Jawa terbagi menjadi beberapa lapisan sosial. Pembentukan lapisan-lapisan ini berdasarkan pada tingkat ekonomi masyarakat. Lapisan pertama adalah golongan bangsawan atau priyayi dan lapisan kedua adalah lapisan wong cilik atau rakyat jelata. Mereka berada pada posisi yang berbeda. Golongan bangsawan berada pada lapisan teratas kehidupan sosial masyarakat dan golongan wong cilik berada pada lapisan terbawah kehidupan sosial masyarakat.2 Golongan bangsawan ini menduduki posisi teratas karena mereka mempunyai pertalian darah dengan raja. Di dalam lingkungan kraton-pun masih terdapat pembagian kelas-kelas, yang pertama adalah golongan ningrat, yang ditentukan oleh sistem kekerabatan dan pangkat serta kedudukan dalam pemerintahan, sedangkan yang kedua adalah abdi dalem, yang merupakan pejabat dari tingkat atas sampai bawah.

Pembagian sistem sosial di atas, menyebabkan timbulnya sikap feodalisme. Dalam pemerintahan kerajaan Jawa, kelas bangsawan akan selalu menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka berhak menentukan apa yang harus dikerjakan oleh rakyat meskipun kekuasaannya berada di bawah perintah langsung raja. Pada lapisan ini terdiri dari anggota keluarga raja dan juga para pejabat kerajaan, Mereka dapat bekerja di dalam kerajaan secara turun temurun.

2

A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 24-25.

Sedangkan kelas rakyat hanya akan selalu menjadi pihak yang selalu tunduk kepada raja. Hal ini juga menjadi salah satu sebab terbentuknya feodalisme. Kekuasaan raja bersifat absolut. Pada zaman Hindu-Buda, raja dianggap sebagai titisan Tuhan atau dewa yang mempunyai kesaktian dan berkuasa atas semua wilayah yang menjadi taklukannya. Adanya pembagian kelas dalam masyarakat mengakibatkan feodalisme tumbuh subur. Mereka yang berada dalam lapisan atas akan terus menjadi pihak yang selalu berkuasa dan dihormati, sedangkan yang berada di lapisan bawah akan selalu menjadi pihak yang diperintah dan harus menghormati yang berkuasa. Hubungan ini juga disebut dengan hubungan antara lord (penguasa) dan vazal (hamba/rakyat).

Feodalisme juga berarti suatu sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat sehingga mereka yang menjadi bangsawan maupun priyayi mempunyai kekuasaan yang besar setelah raja. Rakyat yang sebagian besar terdiri dari wong cilik, harus tetap menghormati kelas ningrat tersebut. Hal ini menimbulkan jurang perbedaan antara bangsawan dengan rakyat.

Sistem feodalisme di Jawa didasarkan pada kosmologi kekuasaan Jawa yang bersumber pada paham dewa raja kultus. Raja yang dianggap sebagai titisan dewa dengan segala kesaktian yang dimilikinya sangat diagung-agungkan. Seperti dalam buku Moedjanto, kekuasaan raja-raja Jawa mempunyai konsep yang disebut dengan Raja Gung Binathara. Kekuasaan ini menunjukkan bahwa raja-raja mempunyai kekuasaan yang sangat besar sehingga rakyatnya mengakui raja sebagai pemilik

43

segala sesuatu, baik harta benda maupun manusia.3 Tak hanya itu kekuasaan raja digambarkan sebagai bau dhendha nyakrawati yang berarti raja adalah pemelihara hukum dan penguasa dunia, berbudi bawa leksana berarti meluap budi luhur mulianya, dan ambeg adil paramarta berarti bersikap adil terhadap sesama.4 Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan raja tidak terlalu absolut dengan sistem pemerintahan yang tidak terlalu mengekang.

Besarnya kekuasaan raja yang disebut di atas, membuat rakyat hanya bisa patuh terhadap apa yang diperintahkan raja kepadanya. Tanah yang hanya dimiliki oleh raja dikelolakan kepada para pejabat kerajaan dan kemudian rakyat yang menggarapnya. Setelah menghasilkan sesuatu, misalnya hasil bumi, maka harus diserahkan kembali pada raja. Kekuasaan tetap berpusat pada raja, meskipun ada beberapa pegawai yang ditunjuk untuk menjadi wakil raja di daerah.

B. Penerapan Feodalisme Dalam Kehidupan di Kraton

Dalam memperkuat kekuasaan raja, ada beberapa cara untuk melakukan pembinaan kekuasaan.5 Salah satunya adalah pengembangan kebudayaan kraton.

3

Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm 77.

4

Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 29. Kekuasaan raja yang besar terlihat dalam 7 kekuasaan, salah satunya adalah gelar-gelar yang disandang.

5

Beberapa hal yang harus dilakukan dalam mengembangkan kebudayaan kraton tampak dalam cara berpakaian, cara mengambil sikap, dan cara berbicara.6 Menurut Biranul Anas, berbagai ketentuan tentang perilaku yang mengatur keluarga raja beserta para pejabat kraton dalam bertindak, berbicara dan berbusana bisa menumbuhkan feodalisme.7 Dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahannya, Raja juga mempunyai simbol-simbol yang digunakan untuk melegitimasi kekuasaannya. Barang atau simbol kekuasaan itu antara lain seperti payung, tombak, pakaian, keris, dan kain batik yang merupakan bagian dari penunjang kelengkapan gaya. Tiap barang mempunyai fungsinya masing-masing ketika sudah dipakai pada acara tertentu.

Batik tradisional adalah suatu kain yang pada umumnya dihasilkan oleh para perempuan. Tak terkecuali perempuan di dalam kraton, yang juga mempunyai ketrampilan dalam membuat batik. Bagi para perempuan kraton, batik diproduksi untuk keperluan kraton. Ketrampilan ini sangat penting untuk dimiliki oleh kaum perempuan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, batik merupakan salah satu alat kelengkapan yang berguna untuk mendukung kebesaran seorang raja yang memakainya.

6

Ibid., hlm. 88. 7

Biranul Anas, Indonesia Indah: Batik, Jilid 8, Seri Penerbitan Buku Indonesia Indah, Yayasan Harapan Kita/BP3 TMII, 1997, hlm. 5.

45

Beberapa alat atau simbol menjadi sesuatu hal yang dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan raja. Pemakaian motif batik dalam lingkungan masyarakat Jawa termasuk dalam feodalisasi kerajaan. Pemakaian batik dibedakan menjadi dua, batik yang dipakai oleh bangsawan dan batik yang dipakai oleh rakyat. Kedua jenis batik yang dibedakan itu didasarkan pada motifnya.

Ketika Sultan Hamengku Buwono II memerintah, pada tanggal 2 Agustus 1792 dikeluarkanlah perintah bagi para pejabat yang berisi etiket yang benar dan terperinci dalam pertemuan antara anggota keluarga kerajaan, pejabat pemerintahan senior, dan para pengikutnya. Dalam peraturan ini terdapat 18 ketentuan (prakara) yang berhubungan dengan hukum pemerintahan seperti penggunaan tandu, payung, kuda, tipe atau motif batik, dan keris.8

Pengaturan tentang pemakaian batik terdapat pada ketentuan nomor 17. Ketentuan ini mencakup tentang pakaian yang dipakai oleh keluarga raja terutama anak dari raja. Disini juga terdapat larangan-larangan pemakaian motif batik. Dalam peraturan ini tertulis larangan pemakaian sebagai berikut9:

…ana dening mungguh kang rupa jajarit, kang ingsun larangi, bathik sawat, bathik parang rusak, bathik cumengkirang, bathik kawung, bathik telacap, bathik huk, bathik sembagen kang nganggo lung-lungan, bathik semen, bathik barong kang mawa lar, lan lurik ginggang kenthing, lurik ireng…

8

P. B. R. Carey (ed), The Archive of Yogyakarta, London: Oxford University Press, 1980, hlm. 104.

9

(jarit atau kain yang saya larang untuk dipakai adalah batik sawat, batik parang rusak, batik cumengkirang, batik kawung, batik telacap, batik huk, batik sembagen dengan motif lung-lungan, batik semen, batik barong dengan motif lar, dan kain lurik ginggang kenthing, kain lurik hitam)

Peraturan ini juga menjelaskan tentang pakaian yang dipakai oleh putra keturunan dari Ki Adipati Anom Hamengkunegara yaitu batik modang, dan lurik larog. Hal ini juga berlaku pada putra Mantri Jero Pinilih yang dilarang memakai batik dengan motif-motif tersebut.10

Peraturan yang serupa dikeluarkan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII yang memerintah tahun 1927, beliau mengeluarkan lagi undang-undang baru yang memuat aturan pemakaian busana dan kain batik. Masyarakat biasa tidak boleh memakai motif-motif yang hanya dipakai oleh raja.

Kedudukan pejabat yang berada di dalam kraton berbeda-beda menurut tingkat sosialnya. Pegawai kerajaan ada yang berasal dari keluarga sultan dan ada juga yang diangkat dari rakyat biasa. Hubungan antara para pejabat tersebut diatur pula dalam Instruction for Royal Officials.11 Para pejabat ketika akan bertemu dengan pejabat yang lebih tinggi ataupun sebaliknya, ketika pegawai bawahan ketika bertemu

10

Ibid. 11

Ibid., hlm. 104. Peraturan ini judulnya ditulis dalam bahasa Inggris, tetapi isi atau pasal-pasal ketentuan yang termuat dalam peraturan ini, tetap tertulis dalam bahasa Jawa.

47

dengan pejabat tinggi, sikapnya berbeda-beda. Sampai pada pembantunya pun, di situ ditulis bagaimana caranya bersikap ketika bertemu dengan bangsawan. 12

Pada bab II telah disebutkan bahwa ada beberapa bentuk pakaian yang dipakai oleh raja dan pemakaiannya tidak bisa sembarangan. Pemakaian ini ditentukan oleh upacara kebesaran atau ceremonial, atau pada saat-saat tertentu. Salah satu pakaian kebesaran raja adalah kampuh. Kain ini sangat besar ukurannya dan sering dipakai pada saat melaksanakan upacara resmi kraton.

Keperluan pemakaian kain batik tertentu diberlakukan pula pada acara-acara tertentu. Busana yang dipakai oleh kalangan kraton dibagi menjadi dua yaitu busana resmi dan tak resmi. Busana resmi yaitu busana yang dipakai pada saat upacara adat maupun acara kerajaan. Sedangkan busana tak resmi yaitu busana yang dipakai pada kegiatan sehari-hari.

Busana resmi pada saat upacara adat kraton dibagi menjadi dua yaitu upacara alit dan upacara ageng.

1. Upacara alit dilaksananakan seperti pada saat upacara tetesan, dan tarapan. Upacara tetesan adalah upacara sunat/khitan yang dilakukan oleh anak perempuan yang berusia 6-8 tahun. Busana yang dikenakan adalah sabukwala. Sedangkan upacara tarapan adalah upacara inisiasi haid pertama bagi anak perempuan yang berusia 9-12 tahun. Busana yang dikenakan yaitu

12

pinjung. Namun, pemakaian busana ini berbeda berdasarkan tingkatan kedudukan setiap anak.

2. Upacara ageng dilaksananakan seperti pada upacara garebeg, jumenengan dalem (penobatan raja), pasowanan, sedan (upacara kematian saat pemakaman), dan upacara daur hidup seperti perkawinan, mitoni, dan supitan. Pada upacara jumenengan (penobatan raja) dan saat menerima tamu agung, memakai busana sikepan beludru, celana cindhe dengan kampuh bermotif parang rusak barong dan ngumbar kunca. Dan bagian kepala memakai kuluk kanigoro serta sumping emas berbentuk daun mangkara yang menghiasi kedua telinga.13 Sebenarnya busana yang dipakai dalam upacara ageng sebagian besar hampir sama dengan busana kebesaran beserta kelengkapan yang disebutkan seperti di atas. Untuk anggota keluarga yang lain, kain yang dipakai dibedakan motifnya. Misalnya untuk para putra mahkota kain batik yang dipakai adalah parang rusak gendreh. Upacara supitan dilakukan oleh anak laki-laki yang berusia 13-15 tahun, dengan memakai baju srimpi. Pada saat upacara perkawinan, kedua mempelai memakai motif truntum, grompol dan semen. Seni pertunjukan tari juga termasuk dalam upacara ageng. Pertunjukan tari wayang wong, Beksan Lawung dan Bedhaya ditampilkan dalam acara-acara ageng seperti yang telah disebutkan di atas. Motif-motif yang dipakai seperti parang rusak, kawung dan slobok. Motif-motif itu hanya

13

49

boleh dipakai oleh raja, namun pada saat akan digunakan untuk pertunjukan, motif tersebut bisa dipakai sesuai dengan peran yang akan dimainkan.14

Sedangkan untuk busana tak resmi yaitu untuk pakaian sehari-hari, kain yang dipakai berupa motif semen, ceplok, atau gringsing.15 Pemakaian busana maupun kain batik berbeda-beda menurut kedudukan sosial dalam kraton dan juga besar kecilnya usia (anak-anak, remaja, dewasa).

Penyelenggaraan upacara telah dilaksanakan secara turun temurun walaupun nantinya akan ada pengurangan tata cara oleh Belanda. Prosesi upacara yang dilaksanakan oleh kraton mempunyai nilai kesakralan tersendiri. Sehingga kelengkapan alat maupun simbol-simbolnya sangat menentukan dalam proses upacara.

Sikap-sikap lain yang menjadi kefeodalan di sekitar lingkungan kerajaan adalah cara mengambil sikap badan, yaitu ketika menghadap pada raja semua orang yang lebih rendah kedudukannya harus menyembah. Kemudian dalam hal berbicara, ada beberapa jenis penggunaan bahasa dalam kehidupan orang Jawa. Pemakaian bahasa dalam masyarakat dibedakan menjadi tiga yaitu krama inggil, krama madya, dan ngoko. Ketika berbicara kepada seseorang yang lebih tinggi kedudukannya, maka

14

Ibid., hlm. 67. 15

Untuk lebih jelas mengenai busana resmi dan tak resmi dalam lingkungan kraton, lihat dalam Mari S. Condronegoro, Busana Adat 1877-1937 Kraton Yogyakarta, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995, hlm. 21-38 dan A. N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, Yogyakarta: Rumah Penerbitan Merapi, 2002, hlm. 35-41.

seseorang harus menggunakan bahasa halus atau krama inggil. Penggunaan bahasa krama madya digunakan ketika lawan bicaranya orang yang hampir sejajar tetapi bermaksud ingin tetap menghormati orang itu. Kemudian ketika berbicara dengan orang yang sama kedudukannya bisa menggunakan bahasa ngoko.16

Jadi kekuatan feodal pada kerajaan di Jawa khususnya Mataram, terdapat pada unsur kekuasaan yang turun temurun, disertai dengan gelar-gelar yang disandang oleh raja, dan kekuasaan absolut.17 Ketika Islam masuk ke Indonesia, raja dianggap sebagai wali Allah sehingga dia mempunyai gelar yaitu Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping.18 Gelar tersebut berarti bahwa sultan atau raja mempunyai peran untuk memelihara atau melindungi dunia, merangkap sebagai pimpinan utama angkatan perang, sebagai wakil Tuhan, dan juga sebagai pimpinan serta pengatur agama.

16

Untuk melihat tingkatan-tingkatan bahasa yang digunakan dalam masyarakat Jawa, lihat dalam G. Moedjanto, The Concept of Power In Javanese Culture, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1986, hlm. 55-59.

17

G. Moedjanto, op. cit., hlm. 88. 18

Pemberian gelar ini tergantung pada Sultan/raja yang memerintah. Misalnya untuk Sultan Hamengku Buwono VIII, gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping VIII (wolu). Begitu juga dengan seterusnya.

51

C. Kemerosotan Feodalisme Dalam Kehidupan Kerajaan

Indonesia termasuk sebagai salah satu negara jajahan Belanda. untuk melancarkan misinya, pemerintah kolonial Belanda melakukan kerjasama dengan pemerintah setempat. Pemerintah kolonial menginginkan agar rakyat patuh dengan mereka. Tujuan para penjajah datang ke Indonesia adalah untuk mengambil sumber daya alam dengan memanfaatkan sumber daya manusia Indonesia.

Kehidupan rakyat semakin menderita akibat penjajahan Belanda. Sehingga mengakibatkan perlawanan-perlawanan yang diadakan oleh rakyat. Timbul peperangan antara pihak rakyat Indonesia dan pemerintah Belanda. Namun hal ini tak mengurangi minat Pemerintah kolonial untuk terus mengeksploitasi sumber daya di Indonesia. Untuk memperlancar proses itu, salah satunya diadakanlah perjanjian politik dengan pihak pemerintah yang dalam hal ini adalah kraton. Perjanjian ini mengontrol seluruh kehidupan pemerintah dan juga masyarakat.

Pemerintah Belanda mengeluarkan Hormat Circulaire pada tahun 1904.19 Peraturan ini dikeluarkan karena Belanda berusaha mengurangi kehidupan feodal dalam masyarakat Jawa. Pemerintah Belanda mengurangi berbagai cara penghormatan rakyat terhadap kaum bangsawan dan menjadikan kemerosotan kekuasaan para bangsawan. Rakyat juga rupanya sudah ingin lepas dari belenggu feodalisme.

19

Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Sosiologi Indonesia Jilid II, Jakarta, hlm. 220.

Orang-orang Belanda mulai menduduki posisi dalam pemerintahan menggantikan para bangsawan. Dengan pendidikan yang sudah didapat, orang-orang Belanda ditempatkan pada struktur birokrasi kerajaan. Hal ini menimbulkan posisi pemerintah kolonial Belanda yang juga harus dipatuhi oleh rakyat.

Perubahan-perubahan dalam pemakaian alat-alat kebesaran raja dan tata cara penyelenggaraan upacara dilaksanakan sesuai dengan aturan yang diterapkan oleh Belanda. Pemakaian segala perlengkapan busana yang dipakai untuk upacara ageng sudah mulai berkurang. Misalnya ketika mengadakan upacara penyambutan tamu dan Garebeg, Sultan tidak lagi memakai berbagai perlengkapan tanda dan pakaian kebesaran.20 Hanya barang-barang tertentu saja yang masih dipakai, seperti misalnya kain kampuh yang bermotif parang rusak barong. Tata cara upacara pada masa ini telah disederhanakan dan harus seizin pemerintah Belanda.

Ketika Pemerintah Belanda akan menghadap Raja, mereka diharuskan melakukan penghormatan. Namun, setelah dikeluarkan peraturan ini mereka tidak harus melakukan penghormatan. Meskipun pemerintah Belanda menetapkan peraturan undang-undang yang mengurangi kekuasaan feodal bangsawan, batik masih menjadi kain eksklusif yang dipakai dan menunjukkan tingkat sosial pemakainya.

Pemakaian batik tidak lagi terbatas pada kalangan kraton saja. Ketrampilan membatik dan motif-motif larangan-pun menyebar ke daerah-daerah. Motif dan

20

Lihat dalam A. N. Suyanto, op. cit., hlm. 62. Pemakaian atribut pakaian bagi pejabat-pejabat kraton tidak lagi lengkap seperti sebelumnya.

53

ketrampilan batik tidak lagi menjadi suatu hal yang hanya dikuasai pihak kraton. Semua kalangan mulai dapat menikmati hasil budaya Jawa itu tanpa takut dibayang-bayangi kekuasaan feodal.

54

PERAN DAN FUNGSI DJOGO PERTIWI DALAM

PENGEMBANGAN SENI MEMBATIK 1935-1942

Batik di Yogyakarta telah mengalami perluasan dalam hal seni dan pembuatannya. Ketrampilan membatik ini tidak hanya dibuat oleh wanita-wanita di lingkungan kraton, sampai meluas di seluruh wilayah Provinsi Yogyakarta. Salah satunya adalah wilayah Kabupaten Bantul, tepatnya di Dusun Pajimatan, Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri.

Di wilayah ini pada zaman dahulu merupakan daerah yang terkenal dengan batiknya, dan sampai sekarang-pun masih terkenal. Banyak para penduduknya yang bekerja sebagai pembatik karena bersuamikan abdi dalem kraton. Hal ini berhubungan dengan pembangunan makam raja-raja Mataram yang terletak di perbukitan Imogiri. Para abdi dalem tersebut bertugas sebagai juru kunci makam raja-raja Mataram. Imogiri menjadi salah satu pusat industri pembuatan batik sehingga kerajinan ini sangat berpotensi bagi penduduk sekitarnya.

55

Dalam dokumen SEJARAH BATIK TRADISIONAL IMOGIRI 1935-1942 (Halaman 53-68)