• Tidak ada hasil yang ditemukan

STANDAR EMISI EURO2 DAN INSTRUMEN EKONOMI SEBAGAI UPAYA REDUKSI EMISI KENDARAAN BERMOTOR DI DKI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STANDAR EMISI EURO2 DAN INSTRUMEN EKONOMI SEBAGAI UPAYA REDUKSI EMISI KENDARAAN BERMOTOR DI DKI JAKARTA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Nuraini Soleiman (nuraini@mail.ut.ac.id) Univervsitas Terbuka

R.C. Tarumingkeng Akhmad Fauzi Bunasor Sanim Institut Pertanian Bogor

ABSTRACT

Air pollution from vehicle emission becomes a major problem in Jakarta. These vehicle emissions worsen ambient air concentration because of increasing use of diesel engine for urban transportation, which exhaust particulate matter (PM10). The policy of reducing emission from automobile is stated by government by using the Euro2 emssion standard for cars. This article presents an assessment of Euro2 standard emission policy in Jakarta. Simulation method has used to estimate the health impact and economic loss before and after the use of the new emission standard. It was estimated that social-cost of health problems concerning this pollutant has reached approximately 6 triliun rupiah in year 2007, this value is about 8.8% of Jakarta RGDP in 2004. This social-cost will be reduced about 70%, after using the new policy emission standard. However, the level of vehicles emission cannot be monitored by this standar policy. Therefore, some economic instruments are introduced for additional policies to standar regulation for reducing the level of particulate matter pollution from vehicles emission.

Key words: air pollution, economic loss, emission standard, environmental policy, health problems, particulate matter

Partikel ebu yang berdiameter kecil dari 10 µmeter (PM10) , merupakan salah satu gas buang yang diemisikan kendaraan bermotor terutama yang berbahan bakar solar. Kontribusi sektor transportasi pada emisi total PM10 di Jakarta lebih dari 70% (Syahril, Resosudarmo, & Tomo, 2002). Hasil pemantauan konsentrasi ambien polutan ini di lima wilayah pemantauan di Jakarta telah melampaui baku mutu udara ambien (Tamin & Rachmatunisa, 2007).

Dampak yang disebabkan oleh PM10 pada kesehatan diantaranya adalah berbagai gangguan kesehatan dan dapat berakibat pada kematian (Ostro, 1994). PM10 merupakan polutan yang paling bermasalah yang berasal dari sektor transportasi (Walsh, 1996; Panyacosit, 2000; Quah & Tay, 2002). Kontak secara langsung atau kontak dalam konsentrasi kecil namun dalam periode waktu tertentu terhadap PM10 dapat menyebabkan hilangnya fungsi paru-paru (Liu & Liptak, 1999; McGranahan & Murray, 2003). Terdapat hubungan linier antara meningkatnya konsentrasi ambien PM10 dan tingkat mortalitas (Daniel., Dominici, Samet, & Zeger, 2002). Kenaikan 10 µgr/m3

(2)

misalnya untuk LRI (gangguan pernapasan pada anak-anak) akan meningkat antara 1,1% sampai 24,9% (El-Fadel, Aldeen, & Maroun, 2004; Voorhees, 2004).

Hubungan antara meningkatnya konsentrasi PM10 dengan meningkatnya perawatan rumah sakit akibat gangguan pernapasan (Respiratory Hospital Admission = RHA), membuktikan kenaikan 10 µgr/m3 akan meningkatkan RHA sebanyak 1% Wilson, Salloway, Wake, & Kelly, 2004). Dampak secara sosial dan ekonomi yang ditanggung masyarakat inilah yang menjadi pertimbangan utama kebijakan reduksi tingkat pencemaran harus dilakukan (Ostro, 1994; Lvovsky, Hudges, Maddison, Ostro, & Pearce, 2000; El-Fadel, Aldeen, & Maroun, 2004).

Secara nasional upaya reduksi emisi dari kendaraan bermotor telah diantisipasi pemerintah dengan keluarnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 141 tahun 2003, tentang ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor yang sedang diproduksi, yang menyatakan bahwa standar Euro2 akan diterapkan mulai Januari 2005 untuk kendaraan tipe baru dan Januari 2007 untuk kendaraan tipe produksi yang sudah beredar.

Artikel ini bertujuan mengkaji efektivitas kebijakan standar emisi kendaraan terhadap reduksi konsentrasi ambien, dampak kesehatan dan biaya sosial akibat pencemaran PM10 serta alternatif kebijakan instrumen ekonomi untuk pengendalian pencemaran PM10 dari kendaraan bermotor di Jakarta.

Data inventori emisi dan pembagian wilayah DKI Jakarta atas 23 grid diperoleh dari

penelitian sebelumnya (Syahril et al, 2002). Data kependudukan diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Untuk kepentingan model ini data kecepatan angin dan arah angin tersedia untuk periode 10 tahun diperoleh dari Badan Metereologi dan Geofisika (BMG). Tingkat pertumbuhan ekonomi diambil 2%, sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2000. Pertumbuhan kendaraan menggunakan tingkat pertumbuhan tahun 2000, direktorat Lalu-lintas Daerah Kepolisian Metro Jakarta (Ditlantas Polda Metro Jaya).

Model estimasi konsentrasi udara ambien menggunakan model Gaussian untuk urban area (Schnelle & Dey, 1999). Estimasi dampak kesehatan menggunakan fungsi Dose-response yang dikembangkan Ostro (1994). Estimasi nilai ekonomi kesehatan menggunakan cost of illness (COI), nilai ekonomi keterbatasan hari kerja (RAD) menggunakan upah minimum harian (UMR) Jakarta 2004, dan nilai prematur mortalitas menggunakan value of statistical life (VSL) dengan mengadopsi VSL yang digunakan Susandi (2004) dengan angka kematian kasar DKI Jakarta sebesar 0,036.

Dua skenario didisain untuk melihat perilaku model. Skenario bussiness as usual (BAU) merupakan keadaan dimana tidak ada perlakuan atau kebijakan yang diambil untuk reduksi tingkat pencemaran dari kendaraan bermotor. Pada kondisi BAU faktor emisi yang digunakan adalah faktor emisi tidak terkontrol. Sedangkan pada skenario Euro2, faktor emisi kendaraan yang digunakan adalah faktor emisi Euro2 dengan variabel lainnya pada kedua skenario adalah sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Skenario Bussiness as Usual (BAU)

Hasil simulasi model diberikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 menyimpulkan bahwa wilayah yang paling banyak menerima gangguan kesehatan adalah wilayah Jakarta Barat (Jakbar), dimana 24,1% penduduk Jakarta bermukim di wilayah tersebut. Sedangkan wilayah Jakarta Selatan (Jaksel) dengan penduduk 21,4% dari penduduk Jakarta, menerima dampak kesehatan terkecil.

(3)

Wilayah Jakarta Pusat (Jakpus) sekalipun jumlah penduduk hanya 9,1% dari penduduk Jakarta, namun dampak kesehatan pada penduduk di wilayah tersebut di atas 50% dari jumlah kasus yang terjadi di Jakarta Barat (Jakbar).

Tabel 1. Gangguan Kesehatan Dampak PM10 di Jakarta (kasus)

Jumlah Kasus Gangguan Kesehatan Tahun 2007

Jakpus Jakbar Jaksel Jakut Jaktim Total

RHA 960 1,662 790 1,308 1,008 5,729 ERV 18,841 32,613 15,493 25,652 19,783 112,382 RSD 14,647,188 25,352,977 12,044,476 19,941,724 15,379,186 87,365,552 RAD 1,840,904 3,186,440 1,513,787 2,506,337 1,932,903 10,980,370 LRI 36,387 62,982 29,921 49,539 38,205 217,034 AA 43,705 75,650 35,939 59,504 45,890 260,688 BC 4,898 8,479 4,028 6,669 5,143 29,217 PM 277 479 227 377 290 1,650

Wilayah Jakarta Utara (Jakut) dimana 17% penduduk Jakarta bermukim di wilayah tersebut, menerima dampak kesehatan terburuk setelah Jakarta Barat. Sementara itu, sebagian besar

penduduk Jakarta bermukim di wilayah Jakarta Timur (Jaktim) sekitar 28,2%, dan dampak kesehatan pada wilayah ini lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lainnya, kecuali Jaksel.

Biaya gangguan kesehatan dari dampak pencemaran merupakan kerugian ekonomi (economic loss) dari pencemaran udara. Tabel 2 memberikan nilai ekonomi dari masing-masing gangguan kesehatan per wilayah pada tahun 2007. Secara total, biaya ekternalitas pencemaran udara ini mencapai 8,8% dari PDRB Jakarta pada tahun 2004.

Di Indonesia biaya eksternalitas tersebut harus ditanggung oleh masyarakat. Tingginya biaya eksternalitas tersebut terhadap PDRB Jakarta menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mencapai tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di banyak negara biaya ekternalitas diinternalisasi ke dalam perhitungan PDRB/PDB. Dengan demikian, dampak dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat.

Tabel 2. Nilai Ekonomi Gangguan Kesehatan Dampak PM10

Nilai Ekonomi Kesehatan Tahun 2007 per Wilayah (Juta Rp.)

Jakpus Jakbar Jaktim Jaksel Jakut Total

RHA 1,050 1,818 1,103 864 1,430 6,265 ERV 8,651 14,973 9,083 7,113 11,778 51,598 RSD 477,132 825,873 500,977 392,349 649,602 2,845,933 RAD 41,420 71,695 43,490 34,060 56,393 247,058 LRI 1,185 2,052 1,245 975 1,614 7,070 AA 2,096 3,627 2,200 1,723 2,853 12,499 BC 445 770 467 366 606 2,653 PM 507,969 879,249 533,355 417,706 691,585 3,029,863 Total 6,202,940 Skenario Euro 2

(4)

Tabel 3. Reduksi Variabel Endogen Model Skenario Euro2

Variabel Endogen Skenario Euro2 (%)

Reduksi emisi kendaraan 58,6

Reduksi emisi total 48,3

Reduksi konsentrasi ambien 51,0

Reduksi gangguan kesehatan 69,9

Reduksi Prematur Mortalitas 69,9

Reduksi biaya sosial 69,9

Gambar 1 dan Gambar 2 memberikan perbandingan gangguan tingkat morbitas dan tingkat prematur mortalitas per skenario. Kedua gambar tersebut memberikan bahwa secara grafik kedua gangguan kesehatan menunjukkan kecenderungan yang sama namun dengan besaran yang berbeda. Dari gambar-gambar ini juga terlihat bahwa reduksi untuk masing-masing gangguan kesehatan dengan penggunaan stadar emisi Euro2 sangat signifikan.

Tingkat Morbiditas di Jakarta per Skenario

0 200 400 600 800 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 Tahun Juta Kasus BAU Euro2

Gambar 1. Tingkat morbiditas dampak pencemaran PM10 per skenario

Tingkat Prematur Mortalitas Dampak PM10 di Jakarta 0.00 5.00 10.00 15.00 2005 2007 2009 2011 2013 2015 2017 2019 2021 2023 2025 Tahun Ri b u Kasu s BAU Euro2

(5)

Tereduksinya tingkat morbiditas dan prematur mortalitas menggunakan skenario Euro2, akan berdampak pada menurunnya nilai ekonomi dari kedua gangguan kesehatan tersebut. Nilai ekonomi dari dampak pencemaran PM10 terhadap kesehatan manusia diberikan pada gambar 3.

Nilai Ekonomi Gangguan Kesehatan Dampak Pencemaran PM10 0,0 20,0 40,0 60,0 2005 2008 2011 2014 2017 2020 2023 Tahun Tril iun R p . BAU Euro2

Gambar 3. Nilai ekonomi gangguan kesehatan dampak pencemaran PM10 per skenario Menggunakan asumsi bahwa setiap kendaraan menggunakan standar emisi Euro2, sistem dinamis memperlihatkan bahwa kebijakan penetapan standar Euro2 merupakan kebijakan

pengendalian pencemaran udara yang sangat efektif mengatasi meningkatnya polusi udara dari kendaraan bermotor. Kebijakan penetapan standar membutuhkan adanya program memonitor emisi dari setiap kendaraan, yang merupakan bagian dari kebijakan ini. Dengan demikian, pada saat ini kebijakan Euro2 hanya dapat dilaksanakan untuk kendaraan baru, karena monitoring terhadap pelaksanaan standar emisi yang digunakan dapat dilakukan dengan mudah.

Untuk kendaraan yang sedang beroperasi atau kendaraan lama, penerapan standar emisi Euro2 membutuhkan pemasangan alat pengendali polusi atau polution control equipment (PCE) pada setiap kendaraan. Namun, kebijakan standar tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat untuk memonitor emisi dari setiap kendaraan, karena tidak cost-effective (Fullerton & West 2002). Dengan demikian, negara-negara di Eropa menggunakan kebijakan instrumen ekonomi sebagai alat kontrol emisi kendaraan (Beltran, 1996; O’Connor, 1996).

Kebijakan Lingkungan

Kebijakan lingkungan hidup terdiri dari kebijakan penetapan standar atau biasa disebut kebijakan command and control (CAC) dan kebijakan yang bergantung pada pasar atau market based policy yang biasanya menggunakan instrumen ekonomi. Kebijakan standar terdiri atas kebijakan standar emisi dan standar teknologi, standar emisi Euro2 merupakan contoh kebijakan standar emisi, sedangkan kebijakan penggunaan alat kontrol polusi (PCE) adalah contoh kebijakan standar teknologi. Indonesia pada saat ini masih menggunakan kebijakan CAC untuk mengatasi polusi udara dari kendaraan bermotor.

Untuk mengatasi besarnya jumlah kasus kesehatan dan nilai ekonomi (social-cost) akibat pencemaran udara dari kendaraan bermotor, di negara maju dilakukan dengan menginternalisasi

(6)

ekonomi bukan hanya dibutuhkan untuk menghimpun dana, tetapi juga sebagai instrumen untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat dalam berkendaraan sehingga dalam menurunkan jumlah kilometer perjalanan, yang merupakan salah satu variabel yang menentukan besarnya emisi kendaraan (Beltran, 1996; Fullerton & West, 2002).

Biaya perbaikan lingkungan atau abatemen cost sulit untuk dihitung, mengingat abatemen cost dari kendaraan sangat bergantung pada banyak faktor, diantaranya adalah faktor preferensi masyarakat dalam memilih kendaraan (Fullerton & Gan, 2005). Di samping itu, pencemaran udara dari kendaraan bermotor disebabkan juga oleh kondisi kendaraan, kendaraan tua yang tidak terawat merupakan penyebab polusi udara tertinggi (Small & Kazimi, 1994).

Instrumen pajak dapat digunakan untuk menginternalisasi biaya degradasi lingkungan (Beltran 1996; Fullerton & West, 2002). Pajak pada bahan bakar minyak (BBM) merupakan instrumen yang paling efektif dalam mereduksi polusi udara dari kendaraan bermotor (Fullerton & Gan, 2005). Namun demikian, penggunaan pajak BBM perlu memperhatikan kondisi wilayah lain, karena pajak BBM berlaku secara nasional, sedangkan pencemaran dari kendaraan bermotor hanya terjadi di wilayah perkotaan.

Di negara berkembang seperti Indonesia, pajak BBM digunakan untuk meningkatkan pendapatan negara, atau dengan kata lain biaya kerusakan lingkungan belum termasuk dalam perhitungan pajak BBM (Lvovsky et al., 2000). Dengan demikian instrumen pajak bahan bakar untuk mereduksi emisi kendaraan bermotor di negara berkembang tidak mencapai sasaran. Beberapa negara di Eropa menggunakan beberapa jenis pajak dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan di samping itu dapat menurunkan tingkat pencemaran, disebut instrumen environmental fiscal, contohnya adalah pajak pada bahan bakar dan pestisida (Beltran, 1996).

Karena itu, alasan bahwa negara masih membutuhkan dana untuk pembangunan, sehingga perbaikan lingkungan tidak pernah menjadi prioritas perlu dikaji lebih lanjut. Di samping itu,

menggunakan polluter pays principle di mana pencemar berkewajiban untuk melakukan perbaikan kerusakan lingkungan, maka penggunaan berbagai jenis instrumen ekonomi dalam mereduksi tingkat pencemaran udara dari kendaraan bermotor dapat dilakukan. Instrumen pajak kendaraan yang berdasarkan pada umur kendaraan misalnya dapat digunakan untuk menurunkan penggunaan kendaraan tua.

Kalaupun penggunaan kendaraan tua masih tetap tinggi maka perlu digunakan kebijakan penggunaan PCE atau alat kontrol polusi pada kendaraan tersebut. Pemasangan PCE pada setiap kendaraan membutuhkan biaya yang tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada masyarakat. Karena itu, dibutuhkan kebijakan subsidi terhadap PCE. Secara moral penggunaan subsidi merupakan penghargaan bagi pencemar, namun untuk mempercepat reduksi pencemaran udara maka kebijakan ini dapat diterima (Field & Field, 2002). Selain itu, dana subsidi terhadap PCE dapat diambilkan dari pendapatan pajak kendaraan.

Penelitian yang dilakukan di negara maju menunjukkan bahwa kombinasi antara kebijakan pajak pada BBM, pajak kendaraan berdasarkan umur kendaraan, dan subsidi terhadap PCE merupakan kebijakan terbaik dalam mereduksi emisi kendaraan (Fullerton & West, 2002). Namun penelitian penggunaan pajak BBM di negara-negara berkembang menunjukkan bahwa tingginya permintaan terhadap kendaraan menyebabkan pajak pada BBM tidak elastis terhadap penurunan emisi dari kendaraan (O’Connors, 1996). Di samping itu, pajak pada BBM merupakan kebijakan yang berlaku secara nasional, padahal pencemaran udara dari kendaraan bermotor hanya terjadi di wilayah perkotaan. Dengan demikian, penggunaan pajak BBM tidak dapat diterapkan di negara berkembang termasuk Indonesia. Pajak lain yang juga dapat diterapkan adalah pajak penggunaan

(7)

jalan atau road pricing, jenis pajak ini dapat sepenuhnya menginternalisasi ekternalitas dari penggunaan kendaraan (Chia, Tsui, & Whalley, 2001). Selain itu, penggunaan road pricing di Singapore dapat menurunkan tingkat kemacetan sampai 75% (Field & Field, 2002).

Hasil beberapa penelitian di atas menyimpulkan bahwa eksternalitas dari penggunaan kendaraan harus diinternalisasi dalam perhitungan PDB. Penggunaan instrumen pajak kendaraan dan pajak penggunaan jalan merupakan alternatif untuk melakukan internalisasi biaya kerusakan lingkungan dalam perhitungan PDB atau PDRB.

Pengendalian emisi dari kendaraan dilakukan menggunakan kebijakan penetapan standar emisi atau kebijakan CAC yang ada dan penggunaan instrumen ekonomi. Kebijakan penggunaan instrumen pajak dan subsidi terhadap penggunaan PCE merupakan kebijakan terbaik yang dapat diterapkan di Jakarta.

PENUTUP

Simulasi model menghasilkan bahwa kebijakan standar emisi yang diterapkan saat ini merupakan kebijakan yang efektif dalam mereduksi emisi kendaraan untuk kendaraan baru. Namun, dengan kebijakan ini tidak dapat dilakukan pengawasan dari emisi setiap kendaraan, yang

merupakan bagian dari kebijakan CAC tersebut. Karena itu, selain menggunakan kebijakan CAC dibutuhkan pula kebijakan lingkungan yang menggunakan instrumen ekonomi yang menganut polluter pays principle sebagai tambahan dari kebijakan CAC tersebut.

Untuk mengatasi besarnya biaya kerusakan lingkungan maka internalisasi biaya kerusakan lingkungan ke dalam perhitungan PDB harus dilakukan. Internalisasi biaya kerusakan tersebut dilakukan menggunakan pajak kendaraan dan pajak penggunaan jalan. Sedangkan, penggunaan instrumen ekonomi untuk mereduksi emisi dari kendaraan dibutuhkan kombinasi antara instrumen pajak dan subsidi terhadap PCE yang merupakan alternatif kebijakan terbaik dalam mengendalikan emisi dari kendaraan bermotor di Jakarta.

REFERENSI

Beltran, D.J. (1996). Environmental taxes: Implementation and environmental effectiveness. Environmental Issues Series, No.1. Compenhagen, Denmark.

Chia, N.C., Tsui A.K.C., & Whalley, J. (2001). Taxes and traffic in Asian Cities: Ownership and use taxes on Autos in Singapore. National Bureau of Economic Research (Working Paper No. W8278).

Daniel, M.J., Dominici, F., Samet, J.M., & Zeger, S.L. (2002). Estimating PM10-Mortality dose-response curves and treshhold level: An analysis of daily time-series for the 20 larges US cities.

El-Fadel, M., Aldeen, R.A.F., & Maroun, R. (2004). Impact of diesel policy banning on PM levels in urban areas. International Journal on Environment Studies, 61 (4), 427-436.

Field, B.C. & Field, M.K. (2002). Environmental economics: An introduction. New York: McGraw-Hill. Fullerton, D. & Gan, L. (2005). Cost effective policies to reduce vehicle emissions. National Bureau of

Economic Research. Working Paper No.11174.

Fullerton, D., & West, S.E. (2002). Can taxes on cars and gasoline mimic an unavailable tax on emissions? Journal of Environmental Economics and Managemen, 43, 135-157. Liu, D.H.F. & Liptak, B.G. (2000). Air pollution. Boca Raton: Lewis Publisher.

(8)

McGranahan, G. & Murray, F. (2003). Air pollution and health in rapidly developing countries. London: Earthscan Publication Ltd.

O’Connor, D. (1996). Applying economic instruments in developing countries: From theory to implementation. Paris: OECD Development Centre.

Ostro, B. (1994). Estimating the health effects of air pollutans: A method with an application to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1303. Diambil 18 Januari 2006, dari

http://wdsbeta.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/IW3P/IB/1994/05/01/00000 9265_3970716141007/Rendered/PDF/multi0page.pdf..

Panyacosit, L. (2000). A review of particulate matter and health: Focus on developing countries. Diambil 11 Januari 2006, dari http://www.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-005.pdf. Quah, E. & Tay L.B. (2002). The economic cost of particulate air pollution on health in Singapore.

Journal of Asian Economics. Diambil 11 Januari 2006, dari

http://www.unb.ca/courses/econ5755/DR%20Method-QuahBoon.pdf.

Schnelle, K.B. Jr. & Dey, P.R. (1999). Atmospheric dispersion modeling compliance guide. New York: McGraw-Hill.

Small, K.A. & Kazimi, C. (1994). On the costs of air pollution from motor vehicles. Diambil 11 Januari 2006, dari http://www.socsci.uci.edu/~ksmall/Small-Kazimi.pdf.

Susandi A. (2004). The impact of international GHG emissions reduction on Indonesia. Hamburg, German.

Syahril, S., Resosudarmo, B.P., & Tomo, H.S. (2002). Study on the air quality in Jakarta, Indonesia. Future trends, health impacts, economic value, and policy Options. Jakarta: Asian

Development Bank.

Tamin, R.D. & Rachmatunisa, A. (2007). Integrated air quality management in Indonesia. Jakarta: Ministry of Environment.

Voorhees, A.S. (2004). Feasibility of cost-benefit analysis for particulate matter air pollution control in Japan. International Journal on Environment Studies. 61 (30), 315-325.

Walsh, M.P. (1996). Environmental considerations for cleaner transportation fuels in Asia: Technical options. World Bank.

Wilson, A.M., Salloway, J.C., Wake, C.P., & Kelly, T. (2004). Air pollution and the demand for hospital services: A review. Journal of Environment International, 30, 1109-1118.

Gambar

Tabel 1. Gangguan Kesehatan Dampak PM10 di Jakarta (kasus)
Gambar 1. Tingkat morbiditas dampak pencemaran PM10 per skenario  Tingkat Prematur Mortalitas Dampak PM10
Gambar 3. Nilai ekonomi gangguan kesehatan dampak pencemaran PM10 per skenario  Menggunakan asumsi bahwa setiap kendaraan menggunakan standar emisi Euro2, sistem  dinamis memperlihatkan bahwa kebijakan penetapan standar Euro2 merupakan kebijakan

Referensi

Dokumen terkait

Persentase penyebaran droplet yang merata pada daun sisi atas pada perlakuan teknik penyemprotan dengan ayunan nozzle digerakkan ke depan menghadap ke bawah di

Subjek dapat bergeser menjadi objek dalam proses sintakstik yang dikenal sebagai kausatif, dan argumen yang bukan pasien dapat menduduki fungsi objek dengan proses

Prinsip kerja pengujian ini adalah jika ada kerusakan isolasi yang cukup besar, tegangan yang cukup besar diterapkan pada lilitan maka akan mengakibatkan breakdown pada

• Uji pasti Fisher berlaku untuk semua ukuran contoh (tidak hanya untuk ukuran contoh kecil). • Untuk ukuran contoh besar uji ini memerlukan waktu komputasi

Variabel Jumlah (N) Persentase (%) Ada 18 58,06 Tidak ada 13 41,94 Total 31 100 Berdasarkan tabel 4.3 didapatkan bahwa pada subjek penelitian ini jumlah pasien

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pencatatan secara langsung di lapangan (aktual) yang mana penelitian ini untuk mendapatkan data primer untuk tiap−tiap

diskusi Menjelaskan pengertian, kedudukan dan aplikasi konsep fisika Pengertian fisika statistik Kedudukan fisika Bisa dibuat diskusi tambahan di luar kelas statistik