14 BAB II
KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Karakter
2.1.1 Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan Karakter adalah proses kegiatan yang dilakukan dengan segala daya dan upaya secara sadar dan terencana untuk mengarahkan anak didik. Pendidikan karakter juga merupakan proses kegiatan yang mengarah pada peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan budi harmoni yang selalu mengajarkan, membimbing, dan membina setiap menusia untuk memiliki kompetensi intelektual, karakter, dan keterampilan menarik (Khan, 2010:34). Berdasarkan pandangan dari Khan menunjukkan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu cara yang dilakukan secara sengaja dengan menerapkan nilai – nilai untuk mengarahkan peserta didik ke arah yang lebih baik.
Menurut Kemendiknas (2011: 5 – 6) pendidikan karakter adalah pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan seluruh warga sekolah untuk memberikan keputusan baik-buruk, keteladanan, memelihara apa yang baik dan
15
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Hal ini berarti bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang dapat membentuk sikap dan perilaku warga sekolah. Nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan pada peserta didik, menurut naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, Kementerian Pendidikan Nasional telah merumuskan nilai-nilai karakter yang berjumlah delapan belas. Nilai-nilai ini bersumber dari empat hal penting yang melekat pada bangsa Indonesia, yaitu: agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Berikut ini nilai-nilai karakter tersebut dalam bentuk tabel (Kemendiknas, 2010: 9-10)
Tabel 2.1 Nilai – nilai karakter
No Nilai Karakter No Nilai Karakter 1 Religius 10 Semangat Kebangsaan 2 Jujur 11 Cinta Tanah Air 3 Toleransi 12 Menghargai Prestasi 4 Disiplin 13 Bersahabat/Komunikatif 5 Kerja Keras 14 Cinta Damai
6 Kreatif 15 Gemar Membaca 7 Mandiri 16 Peduli Lingkungan 8 Demokratis 17 Peduli sosial 9 Rasa Ingin Tahu 18 Tanggung Jawab
16
Pendidikan merupakan sebuah proses yang
membantu menumbuhkan, mengembangkan,
mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata, semacam proses penciptaan sebuah kultur dan tata keteraturan dalam diri ataupun dalam diri orang lain. Selain merupakan semacam proses domestifikasi, pendidikan juga berarti proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia seperti kemampuan akademik, relasional, bakat-bakat, talenta, kemampuan fisik, atau daya-daya seni (Albertus, 2010 : 53). Berdasarkan pendapat Albertus bahwa pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang menjadikan peserta didik lebih baik tidak hanya dibidang akademik melainkan dari segi sikap dan moral.
Dari beberapa pendapat tokoh diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang menekankan pada pengembangan dan pembentukan akhlak, watak, sifat baik atau positif pada diri peserta didik agar peserta didik paham, peduli dan bertindak berdasarkan nilai-nilai pendidikan karakter sehingga menjadikan peserta didik lebih baik.
17
2.1.2 Tujuan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter mempunyai tujuan meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang sesuai dengan standar kompetensi lulusan (Asmani, 2011:42). Hal ini berarti bahwa tujuan pendidikan karakter adalah adanya pembaharuan dalam diri seseorang dengan menanamkan nilai – nilai karakter. Menurut Wibowo (2012:22) pendidikan karakter mempunyai tujuan yaitu membentuk dan membangun pola pikir, perilaku, dan sikap peserta didik agar menjadi pribadi yang lebih baik, berakhlak mulia, berjiwa luhur, dan bertanggung jawab. Artinya tujuan pendidikan karakter baik adanya untuk mengubah seseorang menjadi pribadi menjadi lebih baik dalam sikap, perilaku maupun pola pikir.
Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional (2010:7) menjelaskan tujuan pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah :
a. Meningkatkan potensi peserta didik sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa
18
b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai dan tradisi budaya bangsa
c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab kepada peserta didik
d. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan
e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan.
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Nasional menyatakan bahwa pendidikan karakter pada intinya mempunyai tujuan membentuk bangsa yang tangguh, berakhlak mulia, bertoleran, kompetitif, bergotong royong, berjiwa patriotik, bermoral, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Tujuan utama dari pendidikan karakter adalah untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, mematuhi peraturan yang ada, berdisiplin dan
19
tangguh dan tidak menyimpang dari peraturan yang ditetapakan. Aturan yang ada diharapkan sesuai dengan nilai -nilai positif di masyarakat ataupun sekolah. Selain itu, dengan pendidikan karakter dapat mewujudkan manusia yang bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
2.1.3 Metode Pelaksanaan Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter yang efektif dan utuh
menyertakan tiga basis desain dalam
pemogramannya. Tiga basis yang dimaksud adalah basis kelas, basis kultur sekolah dan basis komunitas (Albertus, 2012:105 – 153; Kemendikbud, 2017: 27 – 46; Muslich, 2011:90 – 91).
1. Pendidikan Karakter Berbasis Kelas
Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terdiri dari dua ranah, yaitu (a) instruksional dan (b) non-instruksional. Ranah instruksional terkait dengan tindakan pembelajaran dan pengajaran di dalam kelas, yakni proses pembelajaran terhadap materi kurikulum yang diajarkan. Sedangkan ranah non-instruksional mengacu pada unsur-unsur di luar dinamika belajar mengajar didalam kelas, seperti motivasi, keterlibatan, manajemen kelas, pembuatan norma,
20
aturan dan prosedur, komitmen bersama, dan lingkungan fisik (Albertus, 2012: 108).
a. Ranah Instruksional
Desain pendidikan karakter berbasis kelas yang sifatnya instruksional dapat terjadi melalui dua cara, yaitu bersifat pengajaran tematis dan non-tematis (Albertus, 2012: 108). pengajaran non-tematis yaitu dengan memberikan materi pembelajaran tertentu tentang pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih satu tema tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan waktu khusus untuk pengembangan pembentukan karakter, baik melalui pengajaran tradisional, dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama. parsial selektif merupakan sifat pendidikan karakter berbasis kelas instruksional tematis, dimana program pendidikan karakter yang dilaksanakan sungguh membidik satu tema khusus atau memilih tema tertentu tentang nilai yang dipilih dan akan dibahas dalam pendidikan karakter (Albertus, 2012: 109).
Kedua, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis. Ini adalah sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan
21
karakter dengan mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi dalam kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi pembelajaran. Dalam proses pengajarannya tidak ditentukan ada tema khusus yang mau dibahas, tetapi terintegrasi dengan materi yang telah ada. Selain itu, tidak ada alokasi waktu khusus untuk melatih dan mengajarkan pembentukan karakter karena dengan model ini pembentukan karakter yang dilakukan terintegrasi melalui kurikulum yang ada dalam setiap mata pelajaran. Guru mempergunakan proses belajar mengajar sesuai dengan mata pelajaran yang diampunya untuk menanamkan nilai-nilai tertentu. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat silabus, yang didalamnya dimasukkan kolom ‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), beberapa nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses pembelajaran mesti disebut secara eksplisit (Albertus, 2012: 109 – 111).
b. Ranah Non-Instruksional
Ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas tertuju pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi
22
pembentukan atau pengembangan karakter peserta didik. Penciptaan lingkungan yang dimaksud meliputi manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun konsensus kelas.
Pertama, manajemen kelas berarti menciptakan dan menjaga sebuah lingkungan pembelajaran yang mendukung pengajaran dan meningkatkan prestasi peserta didik. Guru dan peserta didik berhadapan dan berdialog secara langsung sebagai pribadi. Secara bersama-sama mereka membentuk komunitas belajar. Perjumpaan dalam kelas terjadi secara terencana dan teratur melalui penjadwalan mata pelajaran yang diorganisir dan diarahkan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, yaitu penguasaan materi, keterampilan teknis, pengayaan pribadi tentang objek pembelajaran tertentu (Albertus, 2012: 112).
Kedua, pendampingan perwalian. Momen pembinaan wali kelas sesungguhnya menjadi tempat penting bagi penanaman nilai dan pembentukan karakter peserta didik. Peserta didik diajak berkumpul bersama melalui berbagai macam cara. Didalamnya warga kelas mengevaluasi dinamika kelas mereka, mengembangkan dinamika kelompok, mencoba mencari cara-cara penyelesaian konflik
23
secara damai. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam program perwalian kelas antara lain, saling menghormati, tanggung jawab bersama, saling membantu dalam proses belajar, pembelajaran demokrasi dengan mengajak peserta didik menentukan tujuan kelas secara bersama beserta cara-cara praktis untuk mencapai tujuan, keterbukaan dan persahabatan. Tujuan utama
pendampingan kelas adalah membangun
kesepakatan bersama kelas demi kemajuan dan keberhasilan mereka sebagai komunitas kelas yang belajar (Albertus, 2012: 112 – 115).
Ketiga, membangun konsensus kelas. Dasar dari pengembangan ini adalah hubungan timbal balik satu sama lain berdasarkan kepercayaan (trust), rasa hormat (respect), dan saling menumbuhkan dan merawat (caring). Kelas yang baik memiliki aturan bersama yang dipahami oleh setiap anggota komunitas kelas sehingga proses belajar mengajar menjadi lancar. Dalam mengembangkan konsensus kelas, keterlibatan setiap anggota kelas sangatlah diperlukan. Kesepakatan kelas mesti dipahami, disetujui dan disepakati oleh anggota komunitas kelas (Albertus, 2012 : 115 – 116).
24
Desain pendidikan karakter berbasis kelas menurut Muslich (2011: 90) yaitu desain yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan peserta didik sebagai pembelajar didalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan menolong, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan peserta didik yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk didalamnya adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman
Desain pendidikan karakter menurut Kemendikbud (2017:27 – 35) :
a. Pengintegrasian PPK dalam kurikulum artinya bahwa pendidik mengintegrasikan nilai-nilai utama PPK kedalam proses pembelajaran dalam setiap mata pelajaran. Langkah – langkah menerapkan PPK melalui pembelajaran dalam kurikulum, dapat dilaksanakan dengan cara:
25
1)Melaksanakan pembelajaran sesuai dengan skenario dalam RPP;
2)Melaksanakan penilaian otentik atas pembelajaran yang dilakukan;
3)Melakukan analisis KD melalui identifikasi nilai-nilai yang terkandung dengan materi pembelajaran;
4)Mendesain RPP yang memuat fokus penguatan karakter dengan memilih metode pembelajaran dan pengelolaan (manajemen kelas) yang relevan;
5)Melakukan refleksi dan evaluasi terhadap
keseluruhan proses pembelajaran
(Kemendikbud, 2017:27 – 28) b. PPK melalui manajemen kelas
Manajemen kelas (pengelolaan kelas) adalah momen pendidikan yang menempatkan para guru sebagai individu yang berwenang dan memiliki otonomi dalam proses pembelajaran. Dalam pengelolaan dan pengaturan kelas terdapat momen penguatan nilai-nilai karakter pendidikan karakter. Pengelolaan kelas berfokus pada bagaimana mempersiapkan peserta didik agar memiliki kesiapan fisik, mental, psikologis dan akademis untuk menjalani proses
26
pembelajaran secara lebih produktif (Kemendikbud, 2017: 28 – 29).
c. PPK melalui pilihan dan penggunaan metode pembelajaran
PPK terintegrasi dalam kurikulum dilakukan melalui pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode pembelajaran yang tepat. Melalui metode tersebut diharapkan peserta didik memiliki keterampilan yang dibutuhkan seperti kecakapan berpikir kritis, berpikir kreatif, kecakapan berkomunikasi, termasuk penguasaan bahasa internasional dan kerja sama dalam pembelajaran. Beberapa metode pembelajaran yang dapat dipilih guru secara kontekstual, antara lain: metode pembelajaran saintifik, metode inquiry/discovery learning, metode pembelajaran berbasis masalah, metode pembelajaran berbasis proyek, metode pembelajaran kooperatif dan metode pembelajaran berbasis teks. Penggunaan metode-metode pembelajaran tersebut dapat dilaksanakan dengan beberapa strategi, yaitu: pembelajaran kooperatif, presentasi, diskusi, debat, pemanfaatan TIK (Kemendikbud, 2017: 29 – 31).
27
d.PPK melalui pembelajaran tematis
PPK melalui pembelajaran tematis adalah suatu kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh satuan pendidikan dengan mengalokasikan waktu khusus untuk mengajarkan nilai – nilai tertentu (Kemendikbud, 2017: 32).
e. PPK melalui gerakan literasi
Gerakan literasi merupakan kegiatan mengasah kemampuan mengakses, memahami, mengolah dan memanfaatkan informasi secara kritis dan cerdas berlandaskan kegiatan membaca, menulis, menyimak dan berbicara. Setiap guru dapat mengajak peserta didik
membaca, menulis, menyimak dan
mengkomunikasikan secara teliti, cermat dan tepat tentang suatu tema atau topik yang ada diberbagai sumber, baik buku, surat kabardan internet. Oleh karena itu, keberadaan dan peranan pojok baca, perpustakaan sekolah dan jaringan internet menjadi penting untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran. kreativitas guru merupakan faktor penting dalam menyajikan program dan kegiatan membaca, menulis menyimak dan berbicara secara cerdas, agar peserta didik dapat
28
menginternalisasikan nilai – nilai positif yang terkandung didalamnya. Pembiasaan membaca buku non-pelajaran selama lima belas menit sebelum pelajaran dimulai sebagaimana diatur dalam Permendikbud No. 23 tentang penumbuhan Budi Pekerti perlu menjadi salah satu alternatif untuk menumbuhkan dan memulai gerakan literasi sekolah (Kemendikbud, 2017: 32 – 33)
f. PPK melalui layanan bimbingan dan konseling PPK dilakukan secara terintegrasi melalui pendampingan peserta didik dalam melalui bimbingan dan konseling. Peranan guru BK tidak terfokus hanya membantu peserta didik yang bermasalah, melainkan membantu semua peserta didik dalam pengembangan ragam potensi, meliputi pengembangan aspek belajar/akademik, karier, pribadi dan sosial. Bimbingan dan konseling disekolah dilaksanakan secara kolaboratif dengan para guru mata pelajaran, tenaga kependidikan, maupun orang tua dan pemangku kepentingan lainnya (Kemendikbud, 2017: 33)
Pendidikan karakter berbasis kelas adalah pendidikan karakter secara terintegrasi dalam proses
29
pembelajaran yaitu pengenalan nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai kedalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung didalam kelas maupun luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadari/peduli dan menginternalisasikan nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
2.Pendidikan Karakter Berbasis Kultur Sekolah
Dalam konteks pendidikan, kultur sekolah merupakan sebuah pola perilaku dan cara bertindak yang telah terbentuk secara otomatis menjadi bagian yang hidup dalam sebuah komunitas pendidikan. Dasar pola perilaku dan cara bertindaknya adalah norma sosial, peraturan sekolah, dan kebijakan pendidikan di tingkat lokal. Oleh karena itu kultur sekolah dapat dikatakan seperti kurikulum tersembunyi (hidden curriculum) yang lebih efektif memengaruhi pola perilaku dan cara berpikir seluruh anggota komunitas sekolah. Kultur sekolah berjiwa pendidikan karakter terbentuk ketika dalam merancang sebuah program, setiap individu dapat
30
bekerja sama satu sama lain melaksanakan visi dan misi sekolah melalui berbagai macam kegiatan (Albertus, 2012: 125 – 126).
Pada pendidikan karakter berbasis kultur sekolah terdapat integrasi antara idealisme lembaga pendidikan, yakni visi dan misi, dengan berbagai macam struktur yang mendefinisikan kinerja individu melalui cakupan tanggung jawabnya. Dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah, berbagai macam momen dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu. Momen pendidikan ini dapat bersifat struktural, polisional, dan eventual (Albertus, 2012: 126).
Momen pendidikan yang struktural adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural ini diantaranya adalah proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan sekolah, job description setiap jabatan dan kedudukan (Albertus, 2012: 127).
Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan on the spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan yang bersifat rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam
31
kerangka pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan peserta didik baru, ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, perwalian dan pengembagan professional guru. Sedangkan, yang bersifat tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orang tua murid, penerimaan rapor, dll (Albertus, 2012: 127 – 128).
Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa – peristiwa pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa tertentu yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga pendidikan, dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan eventual ini tidak dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya (Albertus, 2012: 128).
Sasaran pertama pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mengarah pada pertumbuhan lembaga pendidikan sebagai komunitas moral. Prinsip-prinsip moral dasar semestinya menjadi dasar bertindak dan pengambilan keputusan. Prinsip
32
– prinsip yang dimaksud adalah berbuat baik, jangan merusak, setiap individu berharga didalam dirinya, dan prinsip moral dasar tersebut mesti senantiasa diingat oleh para pendidik dan pengambil keputusan.
Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan sekolah merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater berbasis kultur sekolah. Mengembangkan kultur demokratis di sekolah tidak berarti menghapus otoritas yang dimiliki guru. Intinya adalah bagaimana setiap individu, terutama guru, menghayati tanggung jawab moral yang diembannya secara akuntabel dan transparan dalam kebersamaan dengan komunitas. Kehidupan bersama adalah tanggung jawab bersama dan melibatkan seluruh anggota untuk membangunnya. Dialog, komunikasi, kesediaan untuk saling mendengarkan dan menghargai perbedaan adalah ciri medasar sebuah komunitas demokratis. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis pengembangan kultur demokratis di sekolah, misalnya: proses pemilihan ketua kelas,ketua OSIS, dan kepengurusan lain atau
33
evaluasi atas kehidupan bersama (Albertus, 2012: 129 - 135).
Adapun momen – momen dalam dunia pendidikan yang dapat dijadikan sebagai pengembangan kultur sekolah antara lain:
1. Momen pengembangan diri seperti kelompok diskusi, jurnalistik, karyailmiah, seni teater, menggambar, dll.
2. Momen perayaan dan kekeluargaan, dies natalis, sekolah, atau syukuran kelulusan. 3. Apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang
lain.
4. Masa orientasi sekolah (MOS).
5. Pemilihan para pengurus OSIS, Dewan Kelas, Presidium.
6. Kebijakan pendidikan. 7. Kolegialitas antarguru.
8. Pengembangan professional guru. 9. Merawat tradisi sekolah.
10. Asosiasi guru-orang tua (Albertus, 2012: 135 142).
Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk
34
dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral itu mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran (Muslich, 2011:91).
Pendidikan karakter berbasis budaya sekolah merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan iklim dan lingkungan sekolah yang mendukung praksis PPK mengatasi ruang-ruang kelas dan melibatkan seluruh sistem, struktur dan perilaku pendidikan sekolah. Pengembangan PPK berbasis budaya sekolah termasuk didalamnya keseluruhan tata kelola sekolah, desain kurikulum serta pembuatan peraturan dan tata tertib sekolah. Penguatan pendidikan karakter berbasis budaya sekolah berfokus pada pembiasaan dan pembentukan budaya yang merepresentasikan nilai – nilai utama PPK yang menjadi prioritas satuan pendidikan. Pembiasaan ini diintegrasikan dalam keseluruhan kegiatan disekolah yang tercermin dari suasana dan lingkungan sekolah yang kondusif (Kemendikbud, 2017: 35-41)
35
Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar terbentuk nilai moral-sosial yang baik dan terbatinkan dalam diri peserta didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik oleh karena itu pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata tertib peraturan sekolah yang diterapkan dengan penuh disiplin dan konsisten. 3. Pendidikan karakter berbasis komunitas
Berbagai studi yang terkait peran masyarakat dalam pendidikan menunjukkan bahwa keberhasilan pendidikan (pendidikan karakter) bergantung pada kemitraan yang sinergis antara para pelaku pendidikan yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pondasi pendidikan karakter sebagaimana dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara diletakkan pada keluarga sebagai pendidik yang pertama dan utama. Namun demikian, lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi keberhasilannya. Praktik baik kolaborasi antar anggota masyarakat telah menjadi bagian dari tradisi Indonesia melalui
36
semangat gotong royong. Kepedulian menjadi kata kunci. Sekaranglah saatnya untuk melakukan penguatan pendidikan karakter yang berbasis komunitas/masyarakat. Kemitraan tri sentra pendidikan yaitu satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat dalam membangun ekosistem
pendidikan sejalan dengan visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu “Terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan berlandaskan gotong royong”. Komite Sekolah mempunyai peran besar dalam kemitraan ini termasuk dalam upaya Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang dilakukan untuk menyiapkan generasi emas 2045. Peningkatan peran komite sekolah dan keluarga dalam PPK sangat diperlukan (Kemendikbud, 2017: 24)
Lembaga pendidikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki ikatan yang erat dengan komunitas-komunitas lain, baik yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Komunitas-komunitas itu antara lain:-
a)Komunitas sekolah: peserta didik, guru, karyawan, staf sekolah, pengurus yayasan,dll. b)Komunitas keluarga: orang tua, wali peserta
37
c) Komunitas masyarakat: LSM, pengusaha, berbagai perkumpulan sosial, dll.
d)Komunitas politik: pejabat birokrasi negara bidang pendidikan, mulai dari pejabat di tingkat dinas pendidikan sampai kementrian pendidikan nasional ( Albertus, 2012: 143-153)
Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendiri. Masyarakat diluar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum dan negara juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka (Muslich, 2011:91).
Desain pendidikan karakter
berbasis masyarakat. Dalam pengembangan pendidikan karakter, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan pemerintah, juga memiliki tanggung jawab moral
untuk mengintegrasikan pembentukan
karakter peserta didik dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga pemerintah-negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang
setimpal, maka negara telah mendidik
38
menghargai makna tatanan sosial bersama. Praktik keseharian lembaga – lembaga negara pemerintah yang dipertontonkan kepada masyarakat, akan menjadi cermin dan contoh bagi pembentukan karakter warga masyarakatnya, termasuk peserta didik. Bila baik praktik yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara-pemerintah, maka masyarakat akan mendapatkan pendidikan karakter yang baik. Sebaliknya, jika praktik buruk yang dipertontonkan oleh lembaga-lembaga negara-pemerintah kepada masyarakat, maka peserta didik sebagai bagian dari masyarakat akan mendapatkan pelajaran buruk tentang pendidikan karakter.
2.2 Evaluasi Program
2.2.1 Pengertian Evaluasi Program
Untuk meningkatkan kualitas kinerja, dan produktifitas suatu lembaga dalam melaksanakan programnya perlu adanya evaluasi program. Evaluasi program adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk melihat tingkat keberhasilan program. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 2012:325). Berdasarkan pendapat Arikunto menunjukkan
39
bahwa berhasil tidaknya suatu program dapat diketahui dengan melakukan evaluasi.
Menurut Musa (2005: 8) evaluasi program adalah suatu kegiatan untuk memperoleh gambaran tentang keadaan suatu obyek yang dilakukan secara terencana, sistematik dengan arah dan tujuan yang jelas. Hal ini berarti bahwa dengan melakukan evaluasi program dapat membandingkan hasil yang dicapai dengan yang telah direncanakan.
Fattah (2006: 107) mengemukakan evaluasi program adalah pembuatan pertimbangan menurut perangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi program ada kriteria – kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dari beberapa defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Evaluasi program sebagai suatu proses pencarian informasi, penemuan informasi dan penetapan informasi yang dipaparkan secara sistematis tentang perencanaan, nilai, tujuan, manfaat, efektifitas dan kesesuaian sesuatu dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan.
2.2.2 Tujuan Evaluasi Program
Menurut Mulyatiningsih (2011: 114-115), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk :
40
1.Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain.
2.Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan.
Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian.
Tujuan diadakannya evaluasi program adalah untuk mengetahui pencapaian tujuan program dengan langkah mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagaimana dari komponen dan sub komponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya (Arikunto, 2008: 18). Hal ini berarti dengan mengevaluasi program maka dapat diketahui kendala-kendala yang dialami saat pelaksanaan program.
Tujuan evaluasi program seperti yang diuraikan oleh Roswati (2008:66-67) adalah sebagai
41
berikut: 1) menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang tindak lanjut suatu program di masa depan, 2) penundaan pengambilan keputusan, 3) penggeseran tanggung jawab, 4) pembenaran/justifikasi program, 5) memenuhi kebutuhan akreditasi, 6) laporan akutansi untuk pendanaan, 7) menjawab atas permintaan pemberi tugas, informasi yang diperlukan, 8) membantu staf mengembangkan program, 9) mempelajari dampak/akibat yang tidak sesuai dengan rencana, 10) mengadakan usaha perbaikan bagi program yang sedang berjalan, 11) menilai manfaat dari program yang sedang berjalan, 12) memberikan masukan bagi program baru. Berdasarkan uraian dari Roswita dapat diketahui tujuan dari evaluasi program sesungguhnya untuk mengetahui pelaksanaan, manfaat, pengaruh dan dampak dari program untuk selanjutnya dapat memberi masukan bagi program tersebut.
Dari beberapa pendapat tokoh diatas dapat disimpulkan tujuan dari evaluasi program adalah untuk mengetahui tingkat ketercapaian program, menelaah setiap hasil yang direncanakan, kekurangan serta kendala yang ada untuk menjadi
masukan bagi program tersebut untuk
42
1.2.3 Model – model Evaluasi Program
Dalam menentukan apakah sebuah model tepat bagi suatu jenis program, maka dianalisis masing – masing pihak yang akan dipasangkan. Dalam hal ini yang dipasangkan adalah program dengan jenisnya dan model evaluasi. Ada banyak model yang bisa digunakan untuk mengevaluasi suatu program. Meskipun antar satu dan lainnya berbeda namun maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan pengumpulan data atau informasi yang berkenan dengan objek yang dievaluasi yang tujuannya menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam menentukan tindak lanjut suatu program. Menurut Isaac (dalam Arikunto, 2009:40) membedakan adanya empat hal yang digunakan untuk membedakan ragam model evaluasi, yaitu (1) berorientasi pada tujuan program (good oriented), (2) berorientasi pada kegiatan keputusan (decision oriented), (3) berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang menanganinya (transactional oriented), (4) berorientasi pada pengaruh dan dampak program (research oriented).
Beberapa ahli evaluasi dikenal sebagai penemu model evaluasi program adalah Stufflebeam, Metfessel, Michael Scriven, Stake, dan Glaser.
43
Kaufman dan Thomas membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu:
1.Goal Oriented Evaluation Model, merupakan model yang muncul paling awal. Yang menjadi objek pengamatan pada model ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimulai. Evaluasi ini dlakukan secara berkesinambungan, terus-menerus, mencek seberapa jauh tujuan tersebut sudah terlaksana didalam proses pelaksanaan program. Model ini dikembangkan oleh Tyler.
2.Goal-Free Model, merupakan model yang dikembangkan oleh Michael Scriven. Menurut Michael Scriven, dalam melaksanakan evaluasi program evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan program. Yang perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah bagaimana kerjanya program, dengan jalan mengidentifikasi penampilan-penampilan yang terjadi, baik hal-hal positif (yaitu hal yang diharapkan) maupun hal-hal negatif (yang sebetulnya memang tidak diharapkan).
3.Formatif-Sumatif Evaluation Model, merupakan model yang dikembangkan oleh Michael Scriven.
44
Model ini menunjuk adanya tahapan dan lingkup objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu program masih berjalan (disebut evaluasi formatif) dan ketika program sudah selesai atau berakhir (disebut evaluasi sumatif).
4.Countenance Evaluation Model, merupakan model yang dikembangkan oleh Stake. Model ini menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok, yaitu (1) deskripsi (description) dan (2) pertimbangan (judgments); serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi program yaitu (1) anteseden (antecedents/context), (2) transaksi (transaction/process), dan (3) keluaran ( output-outcomes).
5.CSE-UCLA Evaluasi Model, terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan UCLA. CSE merupakan singkatan dari Center for the Study of Evaluation, sedangkan UCLA merupakan singkatan dari University of California in Los Angeles. Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil dan dampak. 6.CIPP Evaluation Model, adalah model yang
45
singkatan dari huruf awal empat buah kata, yaitu (1) Context Evaluation: evaluasi terhadap konteks, (2) Input Evaluation: evaluasi terhadap masukan, (3) Process Evaluation: evaluasi terhadap proses, (4) Product Evaluation: evaluasi terhadap hasil. 7.Decrepancy Model, adalah model yang
dikembangkan oleh Malcolm Provus. Model ini menekankan pada pandangan adanya kesenjangan didalam pelaksanaan program. Evaluasi program yang dilakukan oleh evaluator mengukur besarnya kesenjangan yang ada disetiap komponen.
1.2.4Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free Evaluation Model)
Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven (1973). Menurut Scriven model evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai pengaruh yang sesungguhnya, objektif yang ingin dicapai oleh program. Ia mengemukakan bahwa evaluator seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum melakukan evaluasi. Evaluator melakukan evaluasi untuk mengetahui pengaruh yang sesungguhnya dari operasi program. Pengaruh program yang sesungguhnya mungkin berbeda, lebih
46
banyak atau lebih luas dari tujuan yang dinyatakan dalam program. Seorang evaluator yang mengetahui tujuan program sebelum melakukan evaluasi terkooptasi oleh tujuan dan tidak akan memerhatikan pengaruh program diluar tujuan.
Gambar 2.1 Pengaruh Suatu Program (Wirawan, 2011:84)
Menurut Wirawan (2011:84), suatu program dapat mempunyai tiga jenis pengaruh (lihat Gambar).
1. Pengaruh sampingan yang negatif, yaitu
pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki oleh program.
2. Pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan
program. Suatu program mempunyai tujuan yang ditetapkan oleh rencana program. Tujuan program merupakan apa yang akan dicapai atau perubahan atau pengaruh yang diharapkan dengan layanan atau perlakuan program;
Pengaruh Program
Pengaruh sampingan positif diluar tujuan program yang
ditetapkan Pegaruh positif sesuai
dengan tujuan yang ditetapkan
Pengaruh sampingan yang negatif yang tidak
47
3. Pengaruh sampingan positif, yaitu pengaruh
positif program di luar pengaruh positif yang ditentukan oleh tujuan program.
Proses evaluasi dengan mempergunakan model evaluasi bebas tujuan dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 2.2 Model Evaluasi Bebas Tujuan (Wirawan, 2011:86)
2.3 Penelitian Relevan
Beberapa penelitian terdahulu memiliki relevansi dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Evaluator mempelajari cetak biru
2. Evaluator Mempelajari cetak biru program
Pengaruh sampingan program yang negatif yang tidak diharapkan Pengaruh sampingan positif di luar tujuan program
Pengaruh positif program yang
diharapkan oleh tujuan program
5. Menjaring, menganalisis data 4. Memastikan
pelaksanaan program telah mencapai tujuan
6. Menyusun laporan evaluasi hasil evaluasi 3. Mengembangkan
desain dan instrumen evaluasi
48
Penelitian “Evaluasi Program Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar Kulon Progo” oleh
Darmayanti (2013) menunjukkan bahwa:
implementasi pendidikan karakter belum tampak dalam kegiatan pembelajaran karena pengetahuan dan keterampilan guru yang masih minim tentang pendidikan karakter, kurangnya sarana prasarana pendukung, dukungan dari pemerintah (Dinas Pendidikan) dirasa masih kurang oleh sekolah khususnya dukungan dalam bentuk pelatihan pendidikan karakter bagi guru, monitoring dan evaluasi pendidikan karakter masih terbatas, serta penilaian sikap peserta didik yang belum terdokumentasi.
Penelitian “Pembentukan Karakter Peserta didik Melalui Pembelajaran Matematika” oleh Fadillah (2017), menunjukkan bahwa dalam pembelajaran dengan open ended tercipta suatu iklim pembelajaran, dimana peserta didik merasa kontribusi mereka dihargai. Peserta didik memiliki kebebasan dalam memecahkan masalah menurut kemampuan dan minatnya, peserta didik dengan kemampuan yang lebih tinggi dapat melakukan berbagai aktivitas matematika, dan peserta didik dengan kemampuan yang lebih rendah masih dapat
49
menyenangi aktivitas matematika menurut kemampuan mereka sendiri. Melalui kegiatan ini menimbulkan sikap menghargai, kerja keras, dan juga mandiri.
Penelitian “Pendidikan Karakter Terencana Melalui Pembelajaran Matematika” oleh Bilda (2016), menunjukkan bahwa penumbuhan karakter peserta didik melalui kerjasama di kelompoknya untuk memecahkan masalah secara jujur dan guru membimbing peserta didik agar berlaku jujur, kreatif, bekerjasama dengan baik, dan menghargai antar kelompok. Melalui kegiatan pembelajaran inilah, guru melatih peserta didik untuk bertanggung jawab, jujur serta taat.
Penelitian “Berpikir Kritis Melalui Pembelajaran Matematika Untuk Mendukung Pembentukan Karakter Peserta didik” oleh Rosnawati (2012), menunjukkan bahwa berpikir kritis merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya; meskipun berpikir kritis ini jarang mendapatkan perhatian dari para guru. Seperti halnya keterampilan yang lain, dalam keterampilan berpikir peserta didik perlu mengulang untuk melatihnya walaupun sebenarnya keterampilan ini sudah
50
menjadi bagian dari cara berpikirnya. Latihan rutin yang dilakukan peserta didik akan berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki peserta didik. Jika peserta didik mempelajari cara berpikir tingkat dalam hal ini berpikir kritis, diharapkan bahwa instruksi keterampilan berpikir kritis tersebut dapat dipakai sebagai alat yang potensial untuk melakukan penyaringan informasi dan meningkatkan pembentukan karakter yang pada akhirnya dengan kemampuan ini peningkatan kemampuan kognitif peserta didik akan diraih pula.
Penelitian “Integrating Character Building into Mathematics and Science Courses in Elementary School” oleh Sardjijo dan Ali (2017), menunjukkan bahwa menentukan jenis karakter ditemukan mudah bagi guru untuk diterapkan dalam RPP; tapi dalam implementasinya, katanya bahwa sebagian besar guru tidak mengerti tentang jenis karakter yang tertulis dalam RPP ditekankan dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran kedua mata kuliah tersebut masih didominasi oleh guru, sedangkan kegiatan inti dalam RPP mengklaim bahwa guru telah merencanakan melibatkan peserta
51
didik aktif melalui kegiatan eksplorasi, penjabaran dan konfirmasi.
Penelitian “Character Education Model In Mathematics And Natural Sciences Learning At Muhammadiyah Junior High School” oleh Hudha dkk (2014), menunjukkan bahwa model yang dikembangkan termasuk dalam kategori praktis pada siklus I dan sangat praktis pada siklus II. Model ini praktis karena beberapa alasan, yaitu 1) pengembangan model mengadopsi pola yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dikembangkan berdasarkan kondisi dan fleksibel, 2) model ini memungkinkan guru untuk menerapkan dan menyesuaikan dengan kondisi sekolah atau kelas yang diajarkan, 3) model yang telah dikembangkan melewati tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi yang melibatkan guru melalui proses diskusi dan persidangan dan didukung oleh nuansa lesson study. Efektivitas model termasuk dalam kategori kurang atau rendah dalam Siklus I dan cukup baik pada Siklus II. Nilai karakter sudah terintegrasi dalam pembelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Meski nilai karakter yang tampil hanya menyertakan kategori sedang, namun dengan
52
lembut dorong model guru untuk memperhatikan perhatian peserta didik terhadap aspek karakter.
Penelitian “Implementation Of Character-Building Education In Mathematics Teaching And Learning To Create Of Human Character” oleh Dwirahayu (2011) menunjukkan bahwa Matematika sebagai mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan memiliki enam nilai yang bisa diintegrasikan dalam proses belajar mengajar, yaitu: cermat, tekun, kerja keras, rasa ingin tahu, gigih. Berdasarkan lima nilai dalam pendidikan matematika dan berorientasi pada pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran matematika, seperti eksplorasi, penyelidikan. Penemuan bisa menjadi tujuan sukses dalam pendidikan khususnya matematika dan juga bisa menciptakan seorang manusia dengan karakter yang baik.
2.4 Kerangka Pikir
Karakteristik penelitian ini berawal dari adanya kegiatan program pendidikan karakter yang dijalankan oleh SMP Negeri 2 Waingapu, namun selama ini belum pernah diadakan evaluasi terhadap program tersebut. Maka penulis ingin mengevaluasi program pendidikan karakter yang terintegrasi dalam mata pelajaran matematika di sekolah tersebut
53
dengan menggunakan model Goal Free Evaluation . Skema kerangka berpikir peneliti yaitu:
Gambar 2.3 Kerangka Berpikir
Konsep Pendidikan Karakter Evaluasi Model Evaluasi Goal free Pengaruh Program PPK yang Terintegrasi dalam
Mata Pelajaran Matematika
Faktor – faktor yang Terkait dengan Program
PPK yang terintegrasi dalam Mata Pelajaran
Kegiatan Belajar Mengajar Implementasi Program PPK
Yang Terintegrasi Dalam
Mata Pelajaran Matematika
Rekomendasi : Berhenti, Lanjut, Menyebarkan, revisi ,