• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chapter II TRANSLATION AND SOURCE TEXT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Chapter II TRANSLATION AND SOURCE TEXT"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

Chapter II

TRANSLATION AND SOURCE TEXT

A. Target Text

Chapter I [1.1] “The Surfer” by Linda Cargill

[1.2] Diary,

[1.3] Lagi-lagi aku dihukum. Ibu tidak mau berhenti. Semua yang dilakukan hanya mengomel terus. Kalau tidak, “Jessie, kamu sudah potong rambut belum?”, “Aku pikir lebih baik kamu mulai diet. Kamu sudah bukan anak 12 tahun, tapi 17 tahun. Kamu harus mulai terlihat seperti gadis.”

[1.4 ]Aku berharap kalau ibu adalah temanku, bukan musuhku. Tapi kurasa ibu juga masih punya banyak masalahnya. Dan ayah. Minggu lalu, ia keluar dari rumah, hanya dengan membawa tasnya lalu pergi. Perceraian ini seharusnya ditentukan pada bulan ke-enam. Aku harap kalau ada seseorang yang bisa aku ajak untuk berbicara tentang ini. Aku berharap aku dapat memberitahu kepada ibu semua yang hanya kamu yang tahu, diary. Yang terjadi tentang diriku.

[1.5] Sebenarnya aku bisa menceritakan ke Nick, tapi dia itu laki. Dan kamu tahu laki-laki itu seperti apa. Terkadang mereka pendengar yang baik, tapi Nick bilang kalau dia langsung tertidur lelap di malam hari. Dia bahkan tidak ingat mimpinya. Ketika kami di pesta dan mencoba untuk saling menakut-nakutin dengan cerita, dia hanya terdiam. Dan lebih parahnya, aku menepuknya karena dia tertidur. Dia bilang kalau dia lelah karena kegiatan renang yang dia lakukan untuk tim, tapi aku pikir dia hanya bosan.

[1.6] Trish mungkin akan mendengarkan, tapi dia itu sinis. Hal terakhir yang aku inginkan darinya adalah candaannya. Sekarangpun aku bisa mendengarnya; “kamu tenggelam di mimpimu? Konyol. Aku mulas mendengarkanya”

[1.7] Selain itu, aku bukan mencoba untuk menakuti seseorang. Ini sangat nyata dan terasa aneh. Hampir setiap malam, aku langsung tidur ketika menutup mata. Aku terbiasa terbawa pikiran tentang apa saja yang aku lakukan tadi, tapi sekarang aku tidak bisa. Walaupun aku tidak capek, yang aku lakukan hanya menutup mata dan terbawa oleh arus – seperti di laut. Aku tidak bisa

(2)

bernafas. Seperti ada sesuatu yang hitam, gelap dan berat menimpa paru-paru dan membuatku tidak bisa bernafas. Itu memenuhi mulutku dan aku tidak bisa berbicara. Itu juga yang menutupi mataku sehingga aku tidak bisa melihat dan membuatku putus asa. Ketika paru-paruku mau meledak, aku bangun dengan terengah-engah. Aku merasa seperti berenang keatas dan memecahkan permukaan air. Baju tidurku selalu basah karena keringat

[1.8] Kamu tahu diary, aku berada di tim renang sejak kelas 9 (3 SMP). Aku tidak begitu hebat. Kecepatan biasa saja dan itu saja. Tapi aku tidak takut dengan air. Ada apa dengan ku? Aku akan menjadi gila kalau tidak berhenti sekarang.

[1.9] Jessie naik ke mobil dan pergi menjauh dari rumah. Dia berhasil memakirkan mobil tua itu ke salah satu tempat parkir di jalan 36th Streets, Atlantic. Satu - satunya keberuntungan yang dia miliki akhir-akhir ini. Tapi, itu di bulan mei, beberapa minggu sebelum musim turis dimulai.

[1.10] Setelah dia melewati area berumput di depan toko es krim, dia melewati patung. Orang-orang di Virginia Beach menyebutnya “The Norwegian Lady”. Patung perunggu setinggi 9 kaki ini seharusnya mengawasi siapapun yang pergi ke laut. Ini mengingatkan Jessie pada studi turnya di kelas 4, ketika guru memberitahu anak-anak tentang monumen yang dihadiahkan ke Pantai Virgina oleh orang-orang Norwegia. Patung ini memperingatkan tentang kecelakaan kapal, “The Norwegian Lady” yang tragis. Tahun patung perunggu itu terukir “1897”

[1.11] “The Norwegian Lady” menatap lurus ke cakrawala yang jauh, dimana langit dan laut bertemu.

[1.12] Jessie harus menunggu di sebelah monument itu untuk menunggu kereta lewat, membawa penumpang dari kamar hotel ke restoran dan taman bermain. Anak laki-laki yang membawa tongkat golf mainan yang terbuat dari plastik juga ikut naik. Semuanya tidak sadar dengan “The Norwegian Lady”, di sepanjang perjalanan dengan barang bawaannya, bergegas untuk makan siang, pertemuan bisnis atau hanya parkir.

[1.13] Semuanya sudah terbiasa dengan keberadaan patung. Jessie merasa agak murung sambil yang memperhatikan patung itu. Itu terjadi ketika dia mendengar suara.

(3)

[1.15] Jessie menatap orang dengan tinggi 6 kaki dengan tulang yang kurus dan berotot itu. Hanya Nick yang rambut merahnya acak-acak.

[1.16] Dia selalu mengejutkan Jessie dengan cara muncul dari mana saja. Mereka saling kenal sejak kecil, tapi Jessie berpikir kalau Nick terlalu menanggapinya. Terkadang Jessie berpikir kalau Nick selalu mengikutinya kemana saja. Hanya karena Nick lebih tua dibandingkan Jessie, Nick berpikir kalau dia adalah orang dewasa dan seperti kakak laki-laki.

[1.17] “Nick, jangan ganggu aku, mengerti?” jawabnya sambil tidak menghiraukan Nick. [1.18] Tapi Nick langsung menyusul Jessie. “Tunggu sebentar Jess! Aku-kan cuma tanya kamu mau kemana.”

[1.19] “Sana beritahu orang tua-ku. Kamu paling mahir dalam hal itu.” Jessie berjalan dengan cepat sebisanya menjauhi jalan dan mendekati laut. Dia memasukkan tangannya ke saku blazer1 hijau dan menundukkan kepalanya ke bawah, melihat sneaker2nya

[1.20] “Jess, kamu tahu kalau ini kan bukan salahku” Nick dapat menyusulnya dengan mudah. Kakinya sangat panjang sehingga tidak sesuai dengan proporsi tubuhnya. Ini mungkin alasan kenapa dia yang memimpin tim renang gaya dada.

[1.21] “Kamu dan ibumu belum check-in setelah pulang sekolah, dan dia menanggil aku. Aku harus memberitahu ibumu kalau kamu pergi ke pantai, maksudku -”

[1.22] “Maksudmu, kamu cuma pengadu!” Jessie berbalik dan menatap tajam Nick. “kamu sama dengan ibu dan yang lain, tidak mau membiarkan aku sendiri”

[1.23] “Jess, kamu tahu kalau ini tidak adil. Kamu yang memberi tahu kemana kamu akan pergi. Aku pikir ada sesuatu yang tidak benar” Nick mengangkat bahu “mungkin sesuatu terjadi dengan kamu..”

1 Blazer: semi-formal, casual jacket 2 Sneaker: kind of shoes – sport shoes

(4)

[1.24] “Begini ya tuan olimpic gaya dada, untuk informasi-mu, saya sudah berada di tim renang selama tiga tahun dan juga bisa berenang seperti anda. Jadi Saya bisa menjaga diri saya sendiri.”

[1.25] “Kamu mau pergi ke pantai lagi?” [1.26] “Kalau iya kenapa?

[1.27] “tidak apa-apa, hanya saja warga diminta untuk menjauh dari dermaga tua. Kamu ingat ada kejadian tenggelam di april? Mereka memasang pelampung pembatasan laut dimana saja. Beberapa jalan kayu ada yang hampir lepas atau sesuatu yang lain”

[1.28] “Huh, berhenti berperilaku seperti ibu-ibu dan biarkan aku sendiri!” Jessi pergi [1.29] Dermaga tua itu adalah tempat favoritnya Jessie. Sejak dia dapat mengendarai mobil di tahun ke 2 nya, itu menjadi tempat persembunyiannya, tempat spesial dimana bisa sendirian dengan tenang dan berpikir.

[1.30] Setelah sampai di tangga yang menuju ke pantai, Jessie melepas kedua sneaker dan menendangkan-nya. Dia lari di atas pasir dengan kaki telanjang. Terasa hangat ketika tersentuh. Di tengah bulan Mei, hanya beberapa minggu sebelum dimulainya musim turis di Hari pahlawan. Dingin di musim semi ini tidak biasa dan dia sangat merindukan hari pertama di musim panas. Dia bisa datang setiap hari setelah selesai kerja di kolam renang tempat dia bekerja sebagai petugas penjaga pantai.

[1.31] Seperti yang setiap kali dilakukan, Jessie lari ke tepi air dan membiarkan ombak datang berayun kekakinya sampai pasir menutupi-nya. Awalnya air terasa sangat dingin, tapi dia dengan cepat terbiasa.

[1.32] Jessie memandang ke arah pantai. Dia melihat pelampung merah yang menyebalkan. Semuanya bersikap seperti nenek-nenek hanya karena sepasang laki-laki terbunuh karena bermain di dermaga tua pada malam hari. Kepala mereka hancur seperti seseorang memukul mereka dengan papan atau batu. Mereka juga bisa saja saat mabuk, berkelahi dan jatuh dari dermaga, terhanyut sampai terbentur batu-batuan. Sudah pasti Jessie tidak akan melakukan hal yang bodoh pada dirinya sendiri.

(5)

[1.33] Jessie memanjat tumpukan batu diantara dermaga yang dulunya teluk kecil sampai ke dermaga lama. Sekarang semuanya menggunakan teluk Rudee , jarak beberapa mili dari pantai ke mercusuar. Ketika dia berjinjit dan menyipitkan mata, dia hampir tidak dapat melihat dari kejauan bersama dengan perahu nelayan, kapal kecil, kapal tur, dan kapal pesiar pribadi yang masuk dan keluar sepanjang hari.

[1.34] Jessie merasa akan jatuh, dengan tidak sadar dia melindungi dirinya jatuh ke blok-blok batu granite dengan tangannya, tapi dia jatuh lebih keras dari pada yang dia bayangkan. Tenaganya di tangan tidak cukup untuk menahannya, lutut dan sikunya terluka dan membuat memar. “Sial!” katanya sambil mengambil sapu tangan dari kantong untuk membalut lukanya.

[1.35] Jessie tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Biasanya, dia dapat menjaga keseimbangannya dimana saja. Mungkin karena kegemparan yang terjadi akhir-akhir ini. Jessie tidak akan membuat semua kejadian ini membuat dia bingung. Dia akan menjalankan kehidupannya seperti biasanya. Jessie turun dari bebatuan itu lebih hati-hati lalu harus memanjat dan berjalan di jalan kayu demarga tua yang rapuh. Jessie berhenti di tengah-tengah dan merasa bahwa tangannya berkeringat. “Ini konyol!” teriaknya. “sekarang kamu bersikap seperti orang brengsek, Jess.” Tetapi tiba-tiba dia merasakan firasat pertamakali sepanjang hidupnya. Untuk sementara, dia tidak dapat bernafas, merasa bahwa ada yang menyentuh bagian belakang lehernya dengan jari tangan yang dingin. Jantungnya berasa berdetak dan dia merasa pusing. Yang bisa dia lakukan hanyalah memegang pagar sampai kukunya seperti menusuk di kayu tua.

[1.36] Jessie menarik nafas untuk keberanian dan berputar balik. Tentu saja tidak ada siapapun dibelakangnya. Hanya ada beberapa tetesan kerigat digin yang mengalir di belakang lehernya. Dia sadar bahwa itu hanya beberapa tetesan keringat, tidak ada yang menyentuhnya.

[1.37] “Ini terlalu aneh!” keluh Jessie dan mencoba menertawakan diri sendiri. Dia terus melangkah dan melempar rambutnya ke belakang bahu agar tidak menutupi matanya.

[1.38] Sekarang Jessie sudah berada diatas dermaga berjalan turun kebawah seperti apa yang dia lakukan seperti biasanya, hati-hati untuk tidak memijak retakan karena takut akan apa yang akan terjadi. Ada beberapa ember kayu lama berserakan dan peti kayu lama yang berbau ikan yang ditinggalkan oleh nelayan dulu. Beberapa meter dari pantai, berlawanan dengan mercusuar

(6)

terdapat dermaga memancing yang baru. Jessie sering pergi kesana bersama Nick untuk memancing ikan untuk makan malam. Tapi, ini adalah tempat pribadinya.

[1.39] Jessie duduk di ujung dermaga, mengayunkan kakinya sampai tepi. Ini seperti dulu dengan angin meniupi wajahnya dan sinar matahari mengenai kepalanya. Sudah beberapa tahun lalu di musim semi, gugur, bahkan musim panas, Jessie datang kesitu setiap hari setelah pulang sekolah. Saat musim dingin, Jessie tidak sabar menanti pergantian musim, dan di hari yang hangat di bulan januari, Jessie dapat menemukan cairan-cairan es pada saat berjalan-jalan di pantai atau duduk di dermaga lama. Laut menarik perhatiannya.

[1.40] Jessie merasa sangat bahagia. Tidak ada yang salah. Dia dapat melihat mil demi mil. Jessie bisa saja duduk diam sampai burung camar datang di sebelahnya dan berhenti di atas pagar kayu atau tiang kayu yang tertancap di laut.

[1.41] Jessie menyalakan radionya. Dia menenangkan dirinya dengan musik. Tidak ada yang memarahi dia karena gagal di tes geografi. Ayahnya tidak dapat memberi tahu kalau dia mencela nama baik keluarganya dan tidak berarti apa-apa. Burung camar sangat bahagia dengan kumpulan serpihan-serpihan roti yang dibeli dari kantin sekolah. Sepertinya mereka meyukai Jessie apa adanya.

[1.42] Jessie duduk di dermaga sambil melihat ke laut , berpikir betapa baiknya jika orang tuanya bersikap seperti dulu pada saat dia masih kecil. Lalu Jessie mensadari sesuatu dari air kejauh. Pertamanya, dia tidak dapat melihat dengan jelas. Apakah itu lumba-lumba yang sedang melompat? Tapi itu terlalu besar untuk lumba-lumba, dan tidak begitu besar untuk kapal.

[1.43] Apapun itu, itu bergerak menuju tepi pantai dan maju dengan cepat.

[1.44] Jessie berdiri. Terlihat lah seseorang, seorang cewek diatas papan seluncur. Jessie pernah berseluncur beberapa kali dan berpikir bagaimana cewek itu dapat berseluncur sangat jauh di laut sampai seperti titik di horizon. Selancar itu belum memulai istirahat, ombak belem membentuk sampai mencapai kumpulan pasir. Kumpulan pasir itu dekat dengan pantai dan semua orang tau hal tersebut.

[1.45] Tapi Jessie hanya tahu apa yang dia lihat dan dia tidak salah bahwa sosok itu pastinya cewek dengan baju renang bewarna merah. Rambutnya yang panjang dan pirang

(7)

melambai-lambai seperti bendera karena terkena angin, dan dia memiliki kulit putih yang cantik dan mencolok dari semua yang pernah Jessie lihat. Papan seluncurnya diikat ke pergelangan kaki layaknya peseluncur yang lain, tapi anehnya dia tidak memakai pakaian selam. Masih terasa dingin di bulan Mei untuk hanya memakai baju renang saja. Pastinya temperature air diatas 60.

[1.46] Dengan segera, Jessie kehilangan keraguannya ketika melihat aksi akrobat orang itu. Sepertinya, dia bisa sampai di puncak ombak yang membentuk sabit dan panjang. Dia membentangkan tangannya seperti pesawat dari satu sisi ke sisi satunya dengan keseimbangan yang sempurna dan bungkukan kaki yang tepat. Dengan gaya yang sangat sempurna dan dengan mudah sehingga tanpa sadar Jessie menirukan gadis yang sedang berselancar itu, membungkukan kakinya sampai dia berdiri di ujung dermaga tua. Hanya pada saat akhir dia ingat untuk mundur.

[1.47] Seolah-olah masih kurang dengan keseimbangan yang sempurna untuk ahli selacar, dia menaikan kaki yang satunya dari papan dan berselancar di ombak hanya dengan satu kaki. Dan yang menakjubkannya, dia menarik kakinya kebelakang, menjaga keseimbangan dengan tangannya dulu dan berdiri dengan satu kaki lagi. Itu seperti ballerina yang bisa jalan dan menari diatas air. Jessie mendengar dirinya mengengap dan menutup mulutnya dengan tangannya.

[1.48] Gadis itu melihat kearah Jessie seperti dia dapat mendengar Jessie. Itu tidak mungkin karena dia sangat jauh. Gadis itu tidak terlihat sedikitpun kaget atau takut akan pelampung polisi. Dia hanya tersenyum dengan bibir merahnya dan melambai ke Jessie.

[1.49] Untuk sesaat, Jessie kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sudah sewajarnya untuk bersikap ramah kecuali hampir tidak ada satu orang –pun yang mempunyai kemampuan untuk melambai tangan dari atas papan seluncur tanpa jatuh. Dengan malunya, Jessie membalas lambaian tangan dengan malu.

[1.50] Jessie terkejut tidak pada hanya kemampuan gadis saja, tapi juga penampilannya. Sangat jelas bahwa gadis itu sangat cantik. Dia terlihat seumuran dengan Jessie, tapi tidak pasti. Dia terlihat dewasa dengan pakaian renangnya, terlihat seperti “Miss America Contest.” Dia mungkin cukup tinggi, tapi tidak ada sedikitpun lemak dibadannya. Semuanya otot, posisi juga yang pas dan pinggang.

[1.51] Hanya dengan menatapnya membuat Jessie merasa canggung. Jessie merasa dirinya hanyalah gadis dengan penampilan yang biasa saja. Tidak akan ada orang yang akan tertarik

(8)

dengannya di kerumunan. Di bioskop, banyak sekali kepala yang menutupi pandangannya. Diumur orang-orang pada umumnya dia cukup tinggi untuk menaiki roller coaster di taman bermain. Ketika dia komplain tentang temannya Trish, cewek paling tinggi dikelas, Trish tertawa meremehkan dan berkata “apa kamu mau jadi Frankenstien seperti aku?”

[1.52] Dengan rambut coklat yang bergelombang dan mata yang berwarna coklat, Jessie tahu kalau dia tidak bisa menanding rambut pirang yang lurus dan kulit putih gadis itu. Lebih parahnya, yang bisa Jessie pikirkan adalah kata-kata ibunya “ya ampun, akhir-akhir ini kamu tambah gemuk!” bagaimana dia bisa menjelaskan kepada ibunya bahwa dia memakan makanan di lemari es ketika dia takut tidur di malam hari?

[1.53] Sepertinya gadis di papan seluncur itu memberikan beberapa pertunjukan karena dia tahu bahwa Jessie melihatnya. Lagi-lagi dia berdiri dengan satu kaki, bahkan menjinjit lalu dengan mencolok salto diatas kepala, sambil memegang papan seluncur dengan kedua tangan. Ini adalah sesuatu yang belum pernah Jessie lihat dan berpikir tidak mungkin dilakukan. Jessie bertepuk tangan.

[1.54] Ombak yang luar biasa panjangnya itu akhirnya selesai. Gadis itu muncul lagi diatas permukaan laut. Dengan cepat dia naik ke atas permukaan papan seluncur dan sekali lagi melambaikan tangannya ke Jessie.

[1.55] Jessie berpikir bahwa akan lebih sopan untuk memperkenalkan dirinya. Dia menangkup tangannya dan berteriak sekeras-kerasnya, “Namaku Jessie, Jessie Rogers,”. Gadis itu tidak begitu jauh . “Kamu terlihat sangat hebat di atas papan itu.”

[1.56] “Makasih” balas gadis itu dengan tersenyum. “apakah kamu mau lihat yang lebih hebat?”

[1.57] Gadis itu bergerak dengan cepat sehingga tidak memberi kesempatan Jessie untuk membalas pertanyaannya. Dia menggunakan tangannya seperti menggali untuk mendorong papan seluncur melawan ombak ke arah laut. Bahunya yang berotot itu memberinya kekuatan untuk melawan bagian atas ombak. Angin darat bertiup dengan kencang

(9)

[1.58] “Hei!” panggil Jessie ke gadis itu. “apa kamu yakin akan melakukannya lagi? Mungkin sebentar lagi akan hujan.” Awan di langit mulai gelap dan sangat banyak kejadian sebelum badai.

[1.59] “aku suka air.” Jawabnya. Jessie hamper tidak dapat mendengarnya. Dia juga tidak pasti apa yang gadis itu katakan. Dia pergi kearah lain dan di cuaca seperti ini kata-katanya tidak masuk akal.

[1.60] Sebuah petir mengenai air yang jauh di laut

[1.61] “Bagus! Sangat bagus. Semua ini jadi salahku karena aku mendukungnya.” Pikir Jessie

[1.62] Orang asing itu naik lagi ke papan seluncurnya. Ombaknya lebih besar dari sebelumnya. Dia menaik-in kumpulan dari ombak setinggi sepuluh kaki yang hampir siap untuk memukul tumpukan pasir dan membentuk sabit putih. Air laut di sekitarnya telah berubah menjadi lebih gelap., tapi dia masih melakukan pertunjukan akrobatnya, berdiri dengan satu kaki, menyeimbangkan dengan tangannya, bahkan melakukan sedikit lompatan dari ujung papan ke ujung papan lain.

[1.63] Jessie ketakutan dan meletakkan tangannya di tenggorokannya. Apakah dia akan berhasil?

[1.64] Gadis itu lebih dekat dari yang pertama kali dia berseluncur terlihatannya seperti dia datang dari tepi, menaik-in ombak dengan sangat sempurna dari pantai. Dia sangat dekat dengan Jessie sehingga Jessie dapat melihat kalung dari kerang-kerang yang besar, kalung keristal bulat dengan pirus biru ditengah. Permata itu berwarna biru sama seperti mata gadis itu. Warnanya pucat dan tampak seolah-olah orang bisa menatapnya selamanya dan tidak pernah mencapai dasar. Bibir gadis itu menutup rapat dan muncul dengan senyum misterius. Wajahnya berseri-seri. Ini memancarkan cahaya. Gadis itu terlihat percaya diri dengan apa yang dia lakukan, walaupun Jessie tidak.

[1.65] Lalu terjadi hal yang diluar dugaan dan mengerikan. Ketika Jessie pergi ke pantai untuk menyapa kenalannya yang baru, gadis itu terpleset dari papannya dan dengan teriakan yang

(10)

mengerikan. Itu seharusnnya tidak mungkin terjadi karena airnya terlalu dangkal. Dia hampir dekat ditepi pantai, tapi tidak dapat disangkal bahwa ombak sangat ganas.

[1.66] Jessie hanya tercengah. Tapi, ketika dia melihat papan tanpa pemiliknya muncul dipermukaan air, ombak yang besar datang dan menutupi tepi pantai. Hanya dengan sekali sapuan ombak itu menutupin setengah dari pantai menghapus jejak kaki Jessie dan juga tanda-tanda kehidupan gadis itu.

[1.67] “Gawat! Kepalanya terbentur. Dia akan terbawa oleh ombak laut.” kata Jessie sambil panik. Jessie tidak bisa membiarkan itu terjadi. Dia akan merasa bersalah

[1.68] Jessie mengambil nafas dan menyelam ke laut dari dermaga. Mulutnya kemasukan air laut, tapi Jessie pernah ikut “penyelamatan” dan pernah melakukan beberapa penyelamatan pada saat dia bekerja di kolam renang. Dia juga pernah melakukan penyelamatan di laut. Dia tidak dapat melihat dengan baik di kedalaman yang gelap, tapi dia terbentur sesuatu. Benda itu solid and dense seperti badan manusia yang terhanyut. Sepertinya badannya terlilit dan ketika Jessie memegangnya, dia melihat rambut manusia yang pirang.

[1.69] Jessie meletak tangannya kedagu dan berenang ke daratan. Walaupun dia tidak bisa melihat gadis itu, dia dapat merasakan kalau itu dia. Pasti dia karena hanya dia yang badannya terhanyut di pantai. Itu pasti dia.

[1.70] Sebelum itu, dia harus berenang di air yang berombak. Tapi ini sulit dipercaya. Lautan bertambah kasar – cuaca seperti ini dimana lifeguard akan memasang bendera merah yang artinya “berbahaya untuk berselancar” dan memperigatkan semuanya untuk menjauh dari air yang kondisinya bahaya untuk berenang. Tidak ada yang bisa mempredeksi bahwa pagi ini akan ada badai ketika Jessie mendengar berita cuaca. Bahkan Jessie duduk di dermaga sambil mengayung-ayunkan kakinya dengan tersamar-samar mengingat mendengar sesuatu di radio seperti “cuaca cerah, persentase akan turun hujan di siang ini hanya 20%....” badai sebesar ini seharusnya tidak terjadi begitu saja.

[1.71] Arus bawah sangat ganas. Walaupun Jessie perenang yang kuat, tapi susah sekali untuk dia maju. Dia hampir sampai di tepi pantai, tapi dia tidak dapat meraihnya. Mendayung dengan tangan dan kaki sebisanya. Dan sepertinya badan gadis itu bertambah berat. Jessie hampir

(11)

tidak tahan, tapi dia tidak bisa melepaskan gadis itu begitu saja. Gadis itu akan mati dan dia akan merasa bersalah.

[1.72] Tetapi tangannya kehilangan tenaga sedikit demi sedikit. Seprtinya sesuatu menarik gadis itu ke arah yang lain

[1.73] Dengan panik, Jessie melihat kebelakang. Pantai yang tadinya dekat jadi semakin menjauh. Jessie juga terseret ke laut.

[1.74] Ketika kilat muncul, ombak yang besar datang dan menghantam Jessie, memisahkan Jessie dari gadis itu dan menyeret ke dalam perairan buih laut yang gelap. Jessie merasa badannya ditarik ke seluruh arah. Di saat bersamaan, arus menarik kaki dan tangan Jessie seperti memisahkan tangan dan kakinya dari tubuh Jessie. Dinding air telah menutupi kepalanya dan dia terlalu terpinta kemana-mana sehingga dia tidak tahu kemana arah ke atas. Dia tidak bisa lihat apa-apa kecuali kegelapan.

[1.75] Paru-parunya terasa akan meledak bila dia tidak bisa menghirup udara. Yang bisa dia pikirkan adalah “Aku akan mati!”, dan tiba-tiba dia teringat dengan mimpinya ketika tertimpah

dengan ombak yang lain. Entah mengapa dia tahu bahwa ini akan terjadi. Dia telah hidup dan menggalaminya di setiap malam berminggu-minggu, tapi dia tidak mendengarkannya. Dia tidak tahu bahwa ini adalah peringatan. Seharusnya Jessie menghindari pergi ke pantai atau dermaga, dan karena Jessie mengabaikan peringatan itu, dia akan mati.

[1.76] Gawat, dia tidak bisa! Dia mencoba melemaskan badannya sehingga dia bisa mengambang ke permukaan. Tapi terlalu banyak halangan untuk membuat rencana itu berhasil.dia juga tidak dapat melihat arah buih-buih pergi. Jessie harus mengira kemana arah ke atas. Tidak ada waktu lagi sebelum Jessie kemasukan air.

[1.77] Dengan sekuat tenaga, dia menendang, mendorong, dan menggayung ke atas dari kedalaman air yang gelap. Dan tiba-tiba, seseorang meraih pinggang Jessie. Jessie sudah tidak ada tenaga untuk melakukan perlawanan, tapi dia dibawa ke arah yang berlawanan dari arah berenangnya. Dengan lemas dia mencoba melepasnya dari jari-jarinya, tapi genggamannya seperti besi – kuat dan keras.

(12)

[1.78] Akhirnya mereka sampai ke permukaan air. Sulit untuk Jessie mengambil nafas dengan baik, dia terengah-engah.

[1.79] “Jessie, apakah kamu baik-baik saja?” muncul suara yang cukup dia kenal [1.80] Ternyata itu adalah Nick

Chapter II

[2.1] “Masih ada orang yang tenggelam di laut!’ kata Jessie sambil terengah-engah. Sekarang dia ingat dan mereka harus menyelamatkannya.

[2.2] Nick tidak mendengarkannya. Dia hanya bermaksud menarik Jessie ke tepi pantai melewat ombakan air. Dulu, Jessie selalu mengejek kemampuan Nick di teknik berenang gaya dadanya, tapi sekarang dia senang bahwa Nick yang terbaik di tim berenang sekolah Virgina Beach. Jessie tidak bisa berenang maju karena arus, tapi Nick menyimpulkan tangannya di badannya untuk melindunginya dan terus maju melawan ombak.

[2.3] Tapi, Jessie tidak merasa benar untuk meninggalkan tempat kejadian meskipun itu membahayakan dia.

[2.4] “Lihat Nick, badainya sudah tidak seburuk tadi. Mulai reda.” Katanya sambil terbatuk-batuk dan melangkah ke pasir yang basah. “Ayo kita kembali dan cari gadis itu lagi. Mungkin dia masih hidup.” Jessie menunjuk ke arah laut dengan ombak yang hitam, langsung menjadi terang dan warnanya berubah dari abu-abu menjadi hijau ke abu-abuan seperti awan yang tertiup. Ancaman badai hilang begitu saja. Dari atas, terlihat sinar matahari menuju laut.

[2.5] Nick hanya terdiam dan menatapnya dengan terkejut. Jessie lari ke laut.

[2.6] “Tunggu Jess!” Nick memgenggam meraih Jessie dan membalikan badannya ke hadapan Nick. “Apa yang kamu lakukan? Apa kamu sudah gila?”

[2.7] Jessie dengan cepat mengumpulkan tenaganya dan melepaskan dirinya dari genggaman Nick dengan kepala yang menentang. “Kalau kamu bisa bilang bahwa menyelamatkan orang hanya membuang waktu” lalu dia berbalik melanjutkan untuk pergi

[2.8] “Tunggu sebentar, Jess! Aku tidak sejahat itu. Disana tidak ada siapa-siapa.” [2.9] “Ada. Ada gadis di-“

(13)

[2.10] “Gadis seperti apa?”

[2.11] “Badannya tinggi dan berambut pirang. Kamu seharusnya tahu. Gadis yang berselancar.” Jessie mengentakkan kakinya.

[2.12] Dengan kerut dahinya, Nick menggelengkan kepalanya. “Selama ini aku melihatmu dari kejauhan, tapi aku tidak lihat siapa-siapa kecuali kamu.”

[2.13] “Tidak mungkin!”

[2.14] “Aku akui aku pikir kamu sudah mulai gila, duduk di dermaga dan berbicara sendiri di tengah badai. Tapi aku hanya mengira sampai kamu loncat ke laut dan mencoba menenggelamkan dirimu sendiri.”

[2.15] Jadi itu yang kamu pikirkan… Jessie tertampak pucat dan bulu kuduknya berdiri di lehernya

[2.16] Bagaimana mungkin Nick tidak melihat gadis itu? Dia tampak dengan jelas. Bahkan dia cukup mencolok, bukan sesuatu yang biasa tidak disadari. “Paling tidak kamu mendengar dia berbicara dengan aku? Jessie bertanya dengan suara tegang

[2.17] “Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?” Nick terlihat khawatir dan meletakan tangannya di dahinya. “Kalau benar ada gadis yang sedang berselancar, seharusnya kita melihat papannya terbawa ke pantai. Kamu ingat bahwa papan selancar pasti menggampun?”

[2.18] Jessie menggelengkan kepalanya dan menjauh dari Nick dia tidak tahu apa yang terjadi di sini, tapi dia tidak ada waktu untuk membantah Nick. Tidak di saat gadis itu bisa mati. Jessie melihat orang yang kebetulan lewat di jalan. “Tolong!” teriak Jessie. “Tolong ada yang tenggelam. Ada gadis di tengah laut,”

[2.19] Anak-anak yang berada di jalan lari mencari pertolongan. “Ada yang tenggelam! Ada yang tenggelam!” teriakan mereka menyebar ke segala arah. Mereka memberitahu kepada tamu hotel yang mulai keluar dari lobi hotel setelah badai berakhir untuk berjemur di kolam renang. Salah satu wanita tua mulai menangis. Semua mulai berkumpul di jalan, memandang laut untuk mencari badan korban. Polisi yang mengatur lalu lintas di jalan Atlantic, yang berada di deretan hotel dan motel mendengar teriakan orang, melihat keributan, dan lari sambil meniupkan peluitnya.

(14)

[2.20] “Yang disana, diharapkan untuk bubar sekarang juga! Menjauhlah dari sini. Kita akan memanggil ambulans darurat!” kata polisi

[2.21] “Ayo Jess, kita pergi dari sini!” Nick menggengam tangannya dan menariknya. “Apa kamu mau terlibat masalah?”

[2.22] “Tidak! Gadis itu masih disana!” Jessie melawan Nick di setiap langkah perjalanannya. “Apa kamu pikir aku bisa mengabaikannya?”

[2.23] Tapi kali ini Nick tidak berhenti. Dia benar-benar menarik Jessie pergi dari pantai dan membawanya naik ke tangga. Jelas Nick tidak peduli kalau Jessie memukul punggungnya ketika Nick membawanya dengan punggunnya. Nick dengan cepat pergi kejalan dimana dia memakirkan mobilnya.

[2.24] “Tunggu, Jessie! Nick!”

[2.25] Itu adalah Trish dan Dot yang berlari ke arah mereka dari shopping plaza di hotel Big Surf. Belanjaannya terkena celana jeans mereka. Mereka dapat melihat Trish dimana saja. Tingginya 6 kaki dengan rambut ikal yang hitam sampai di bahunya.

[2.26] “Apa yang terjadi di sini? Aku tahu ini tidak mungkin seperti Tarzan dan Jane, tapi ini terlihat aneh ketika kamu menyandang pundak Nick.” kata Trish sambil menarik nafas dan menyingkirkan rambutnya dari wajahnya.

[2.27] Nick melepaskan Jessie.

[2.28] Kalau suasana hatinya seperti biasa, Jessie hanya tertawa. Trish selalu terlihat aneh. Sepatunya tidak sama, dan celana jeansnya dilipat sampai betisnya. Dia selalu terihat senang dimana saja dan selalu membuat Jessie merasa baik apapun yang terjadi. Tapi dia merasa salah untuk merasakan apapun kecuali mati rasa karena syok.

[2.29] Tapi Jessie merasa bersyukur dengan usaha Trish.

[2.30] Kakak perempuan Trish yang berumur 16 tahun, Dot selalu terburu-buru. Dia menepuk bahu Trish. “Trish, sebaiknya kita pergi dari sini. Polisi menuju ke sini.” Dot adalah gadis kecil yang kurus dengan rambut kuncung yang selalu takut akan hal yang paling buruk terjadi.

(15)

Dia selalu terlihat mengetukan kakinya karena dia tidak bisa diam dengan tenang. Keduanya telah menjadi teman Jessie selamanya, dia tahu kalau mereka selalu menjadi kenyamanan untuk Jessie.

[2.31] Mereka mulai pergi menuju parkiran tapi ini semua telah telat.

[2.32] Suara peluit memberhentikan gerakan semuanya. “Baiklah, anak-anak! Berhenti! Aku melihat kalian di pantai.” Polisi yang bertampak galak mengejar mereka. Dia melepaskan topinya dan mengusap keringat dari alisnya.

[2.33] Nick telah mencoba untuk menghindar dari semua masalah ini. Dia menyeret kakinya dan memasukkan tangannya di kantongnya. Nick membiarkan Jessie untuk berbicara.

[2.34] “Aku lihat semuanya.” Jessie maju ke depan, menepukkan tangannya. “Aku bersama degan gadis yang tenggelam.” Dia tidak tahu masalah apa yang terlibat pada dirinya, tapi dia merasa harus memberitahu kenyataan.

[2.35] Mobil darurat telah tiba. Petugas yang lain melambaikan ke polisi yang sedang berbicara dengan mereka.

[2.36] “Aku tidak ada waktu. Kita akan berbicara lagi nanti.” Kata polisi. “Tunggu di sini sampai aku kembali.”

[2.37] “Makasih, Jess!” kata Trish sambil menghela nafas ketika polisi pergi dengan terburu-buru. Dia terlihat kesal seperti mereka dikembalakan ke suatu tempat di pagar dimana wartawan-wartawan mulai mempersiapkan kamera dan peralatan lainnya. Dia bersandar di pagar dengan 1 siku, memimbangkan dengan satu kaki. “Aku selalu ingin tahu rasanya ditangkap.”

[2.38] “Jess, apa yang terjadi?” bisik Dot yang terlihat gelisah.

[2.39] Nick bergabung dengan yang lainnya. Dia terlihat tidak ingin tatapan mata dengan siapapun.

[2.40] Polisi wanita dengan rambut hitam yang pendek, mulai datang dan mulai menulis semua fakta dan sosok dari Jessie. Dimana pertama kali Jessie bertemu dengan gadis tersebut? Siapa namanya? Bagaimana tampaknya? Berapa umur gadis itu? Apakah mereka telah berteman lama? Apakah mereka pernah bertengkar? Pensilnya bergerak dengan teliti di buku notes.

(16)

[2.41] “Tunggu sebentar, maksud kamu bahwa temanku Jessie terlibat sesuatu?” kata Nick memotong pembicaraan

[2.42] “Selama hidupnya, Jessie tidak pernah terlibat sesuatu.” Dot hampir mengaku dengan air matanya.

[2.43] “Ini yang kami coba untuk menentukannya.” Kata polisi wanita itu dengan wajah yang dingin dan tanpa emosi.

[2.44] Nick berdiri di dekat Jessie, mencoba membantunya dengan hovering presence. Dia bersandaran dan mengatakan dengan tenang, “Ini yang ingin aku hidari, Jess.” Nick menjawab polisi untuk membuat dia tidak mencolok sebisa mungkin. Nick tidak melihat gadis tersebut. Dia tidak pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya atau mengenal seseorang yang cocok dengan diskripsi tersebut – perempuan, kira-kira tujuh-belas tahun, tinggi, terlihat athelik, dan pirang dengan mata yang biru.

[2.45] “Aku akan menjawab semua pertanyaannya – pertanyaan apapun.” Jessie menatap Nick dengan cangguh. “Apapun mungkin dapat menolongnya untuk menemukan badannya dan mungkin membantu hidupnya. Kita selalu bisa berharap untuk keajaiban. Kamu seharusnya tahu itu, Nick Stevesion. Ayahmu seorang ahli bedah.”

[2.46] Sekarang kendaraan darurat mengeluarkan suara yang keras di jalan. Keramaian penonton digiring ke belakang tali oleh barisan polisi, yang sepertinya berkumpul disegala arah. Lalu lintas di jalan Atlantik telah dihentikan olah penghalang jalan dan memberi jarak yang cukup untuk mobil ambulans dan pemadam kebakaran ke taman. Orang-orang meninggalkan mobilnya hanya untuk melihat apa yang terjadi dan maju kedepan, menerobos penghalang sampai polisi mengancam mereka dengan tahanan.

[2.47] Mobil ambulans dengan sirene yang berbunyi keras dan lampu merah yang menyala menuju ke jalan dengan cepat. Alat bantuan pertama keluar dari truk beserta dengan alat-alat yang terlihat berguna dan pergi turun ke pantai. Mereka menyiapkan tandu dan selimut di dekat ujung air.

[2.48] Selanjutnya mobil van polisi menuju ke jalan dengan cepat sehingga jalan kayu tua retak dan dermaga kuno terguncang. Mereka menggunakan penutup muka dan sirip, melompat

(17)

dari pembatasan jalan dan menyelam ke laut. Helicopter bergerak terlihat berterbangan serendah mungkin untuk dapat menlihat lebih dekat. Kapal penjaga pantai dan kapal polisi dapat terdengar sembelum mereka sampai di tempat kejadian. Mereka melempar ke air menarik jaring dan rantai dianatara mereka.

[2.49] “lihat kait itu. Untuk apa mereka gunakan itu?” Tanya Dot

[2.50] Mereka perlu untuk mencari badannya.” Jawab Nick dengan suram tapi tenang [2.51] Dot meletakkan tangannya di lehernya dan menyembunyikan wajahnya di belakang pundak Jessie. Jessie merasa temannya menaggis dan dengan otomatis mengelus rambut Dot berkali-kali dan membisikan kata-kata yang menenangkan yang nantinya dia tidak bisa ingat. Setidaknya temannya terasa hangat – dan hidup. Gadis peselancar itu harusnya sudah mati. Tidak ada seorangpun dapat bertahan di sana tanpa bernafas. Jessie menelan ludah dengan keras.

[2.52] Orang asing itu terasa sangat penting, lebih hidup daripada orang lain yang pernah Jessie temui. Ekspresi wajahnya yang sangat bersemangat dan senyumnya menarik. Dia baru saja memancarkan energinya dengan aksi selancarnya yang liar. Dan semangatnya – untuk mencobai takdir ketika badai mulai datang! Kemana dia pergi? Sesaat dia puncak dunia. Tidak ada yang dapat menghentikannya. Dan selanjutnya…

[2.53] Jessie menggigit bibirnya. Ini seperti dia mengenal gadis tersebut. Air matanya ingin keluar, tapi Jessie menahannya meskipun tenggorokannya terasa panas. Dia harus diam demi Dot. Temannya yang sudah sedih dan Jessie merasa bertanggung jawab.

[2.54] Ayo hadapin. Jessie telah membiarkan gadis itu meninggal. Ini membuat dia menjadi pembunuh.

[2.55] Jessie merasa tangan yang kuat di pundaknya. Memancarkan kehangatan yang special dari tangan tersebut. Tidak perlu melihat, Jessie tahu bahwa itu pasti Nick. Terkadang Nick terasa menyebalkan di setiap waktu, tapi di situasi seperti ini Jessie memerlukan Nick.

[2.56] “Apakah gadis tersebut memberitahu sebelumnya bahwa dia akan bunuh diri?” Tanya wartawan KRRX-TV dengan memegang mic kearah Jessie

[2.57] “Aku…. Ah…” Jessie membasahi bibirnya. Tiba-tiba, tengorokannya terasa kering. Suaranya tidak dapat keluar.

(18)

[2.58] “Bisakah kalian melihat apa yang dia alami? Kenapa tidak kalian biarkan dia sendiri” Nick melangkah di depan Jessie. Dia berdiri dengan kaki yang menentang, melotot ke kuruman wartawan. Tapi wartawan mendorong Nick. “Apakah ini bagian dari perjanjian bunuh diri? Kita mendengar banyak tentang remaja akhir-akhir ini yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Bagaimana perasaan sebagai orang yang terselamat?”

[2.59] Wartawan Virginia Times mendekati Jessie untuk berteriak di teliganya, “Bagaimana rasanya hampir tenggelam?”

[2.60] Kerumunan pres, massa, lautan wajah. Ini membuatku sesak. Tiba-tiba Jessie ingat akan mimpinya tentang air laut hitam yang menekan paru-parunya, memaksa semua udara keluar. Jessie harus keluar dari sini. Polisi memberi tahu bahwa mereka sudah selesai dengan pertanyaannya – untuk saat ini. Sudah tidak ada yang dapat dilakukan.

[2.61] “Nick?” Jessie melihat sekelilingnya. Nick berada di samping Jessie. “Untuk kali ini kamu benar. Ayo pergi dari sini.”

[2.62] Nick mengambil tangan Jessie

[2.63] “Baik, semua, kalian sudah mendapatkan korbannya, aku yakin kalian dapat menjual banyak koran.” teriak Trish kepada wartawan, mencoba untuk membuka jalan melewati kerumunan dengan Dot. Tapi Nick yang memimpin jalan. Beberapa wartawan memaksa untuk mengikuti mereka dan berteriakan pertanyaan, tapi tidak ada yang memperhatikan.

[2.64] “Tunggu!” suara itu muncul dari pantai.

[2.65] “Ayo” kata Nick sambil melihat ke belakang dari bahunya.

[2.66] Salah satu dari penyelam. “Apakah ini punya kamu?” Dia menyerahkan kalung kerang laut dengan liontin kristal bulat. Itu adalah kalung yang dipakai gadis itu. Batu pirus yang ditengah Kristal tampak bersinar.

[2.67] Dot dan Trish kebingungan. Jessie tiba-tiba menangis dan berbalik. Nick menatapnya dengan ketakutan.

(19)

[2.68] “Aku bilang bahwa dia benar-benar ada.” Protest Jessie. Jessie dan temannya masuk ke mobil Nick dan menutup pintu mobil dengan keras. “Ini buktikannya.” Dia memegang kalung sampai di wajahnya.

[2.69] Ini sangat persis seperti yang gadis itu pakai. Jessie mengenggam rantai emas dirangkai dengan cangkang kecil berwarna karang. Ketika Jessie memegang itu dia langsung tahu kalau ini bukan kalung tiruan – ini terbuat dari kerang laut. Dipermukaan masing-masing tidak sempurna, tapi dipermukaannya bersinar dan berkilau seperti mengajak jari Jessie untuk menyentuh setiap cangkang, seluruh sudut dan lubang kecil.

[2.70] Di tengah-tengah untaian tergantung perhiasan liontin, kristal yang indah bagaikan berlian dengan api berlian yang cemerlang. Tapi yang paling indah dari semuanya adalah pirus berwarna biru kehijauan yang tertanam di pusat kristal. Bagaimana ini bisa terpasang disini kristal tanpa terusak?

[2.71] “Beruntung kamu memberitahu ke penyelam kalau kalung itu punyamu.” Trish menghela nafas dari kursi belakang mobil Nick. “Mungkin mereka akan menahan kita dengan banyak pertanyaan.”

[2.72] Nick mengantar semuanya pulang di saat jalan mulai ramai. Mereka memutuskan untuk meninggalkan mobil Jessie di parkiran dan kembali lagi nanti. Teman-teman Jessie tidak yakin untuk Jessie mengendarai mobil. Badan gadis itu masih belum ditemukan. Pencarian masih berlanjut, tapi juga tidak ada harapan. Semuanya ingin pulang dan menerusakan hidupnya. Kehebohan sudah berakhir.

[2.73] “Ya, kamu terlihat pucat dan syok sampai aku mengira kamu akan pingsan,” tambah Dot

[2.74] “Kenapa kalian bilang kalau kalung itu punya aku? Itu bohong!” kata Jessie bersikeras.

[2.75] “Ayo pergi dari sini. Aku yakin kamu akan merasa lebih baik setelah aku mengantar kamu pulang,” kata Nick terlihat khawatir

(20)

[2.76] “Itu gampang untukmu. Kamu tidak punya orang tua yang gila seperti aku.” Jessie berguman pelan ketika dia menyimpan kalung itu di sakunya. Jessie menantang dengan menyilangkan lengannya dan duduk membungkuk di kursinya.

[2.77] Jessie tahu kalau Jessie bersikap tidak adil kepada Nick. Itu bukan salah Nick bahwa dia berasal dari salah satu keluarga terkaya di Virginia Beach. Rumahnya adalah satu dari beberapa rumah pantai yang tersisa yang diketahui penduduk lokal sebagai “The Strip.” Dia tinggal dekat dengan hotel-hotel dan restorant yang mewah. Nick bisa keluar dari kamarnya, turun tangga dan keluar menginjak pasir. Dua saudara perempuannya yang mirip seperti ibunya dan tidak mirip dengan Nick, tinggal di sana – ada juga kedua orang tuanya.

[2.78] Ayah Nick adalah dokter bedah terkenal yang kerja di rumah sakit Norfolk Memorial. Dia menjual property keluarga yang lama warisan dari beberapa leluhur kapten laut.

[2.79] Ibu Nick adalah wanita yang sosalita. Dia selalu terlihat tinggi, dengan rambut pirangnya yang di sangul dan baju yang mewah. Dia tidak harus kerja tapi dia mengikuti semua klub wanita lokal, dan satu-satunya ibu yang Jessie tahu yang selalu di sana menunggu Nick pulang dari sekolah.

[2.80] Jessie menyalakan radio agar tidak gila. Dia telah meninggalkan pemutar radionya di pantai dan jarinya butuh sesuatu melakukan sesuatu. Dia menganti acak saluran dari stasiun ke stasiun lain, AM ke FM, dan diulang lagi. Madonna di salah satu stasiun dan Pearl Jame di stasiun lain.

[2.81] Nick menatap Jessie dengan suram.

[2.82] Kebetulan, atau begitulah tampaknya awalnya, Jessie menyalakan berita. Saat ini pukul enam, dan ada laporan lokal “Hari ini terjadi peristiwa tenggelam di pantai Strip, Atlantic,” kata penyiar berita seperti sebuah iklan yang merusak suasana.

[2.83] Jessie tidak bisa bergerak. Dia mendengar nafas Dot dan Trish. Nick memegang erat stir mobil dengan kedua tangannya. Ketika dia hampir sampai di jalan Pacific, lalu lintas menjadi padat. Ini saatnya jam sibuk, tetapi Nick sepertinya tidak sadar. Dia menuju lampu lalu lintas saat merah. Klakson berbunyi, tetapi Jessie hanya menyalakan radio. Dia harus mendengar ini.

(21)

[2.84] “Murid SMA lokal Virginia Beach, Jessie Rogers, adalah satu-satunya saksi di kejadian tenggelam itu sekitar jam lima sore di dermaga tua dekat Norwegian Lady Plaza. Menurut ceritanya, yang menurut hasil pemeriksaan polisi saat ini, seorang gadis SMA yang belum dikenal terlihat berselancar di daerah di mana sudah terjadi dua kali kasus tenggelam musim semi ini. Gadis yang hilang itu digambarkan memiliki tinggi sekitar enam kaki dengan rambut pirang panjang dan mata biru. Polisi tidak dapat menemukan tubuhnya. Kami tidak tahu apa yang dilakukan kedua gadis itu di pantai daerah larangan. Polisi belum mengungkapkan apakah mereka akan mendenda gadis yang selamat itu karena masuk tanpa izin.”

[2.85] “Pantai telah ditutup untuk umum sejak tanggal 1 April, ketika terjadi kasus tenggelam dua siswa SMA terjadi. Telah dibicarakan tentang pembongkaran dermaga tua untuk alasan keamanan, tetapi sejauh ini Kumpulan Sejarah Virginia Beach telah menghalang semua upaya. Mereka mengklaim bahwa dermaga ini adalah Tempat Bersejarah Nasional karena kedekatannya dengan Norwegian Lady Plaza dan harus dijaga dan direnovasi…”

[2.86] Nick mematikan radio.

[2.87] Terjadi keheningan dan kemudian Jessie berkata, “kalian semua, apakah kalian tahu berapa banyak masalah yang aku hadapi? Ibuku mendengarkan berita di perjalanan pulangnya. Tidak mungkin dia tidak akan tahu apa yang terjadi!”

[2.88] “Ya, aku selalu ingin menjadi terkenal,” kata Trish. "Sekarang aku tidak begitu yakin."

[2.89] “kamu pikir hanya kamu saja, Jess.” kata Dot. “Ibu kita akan tahu juga, dan kita akan dihukum selama sebulan - bahkan sepanjang musim panas bila ibu sangat marah.”

[2.90] Nick tidak berkata apapun. Dia hanya memperlambat kecepatan mobil setelah meninggalkan Virginia Beach Express dan jalan menuju Jalan Besar Neck yang dipenuhi pohon. Pohon-pohon ek membayangi mobil Saab hitamnya saat dia turun jalan. Tapi yang ditakutkan Jessie, mobil Chrysler K putih tua milik ibunya itu menepi jalan masuk di depan mereka - tepat di depan mereka. Perutnya terasa mual.

[2.91] Perlahan Jessie membuka pintu mobil Saab dan keluar, diikuti oleh teman-temannya. Mereka merasa bahwa Jessie membutuhkan dukungan mereka. Nick berada di belakangnya.

(22)

[2.92] Segala sesuatunya menjadi lebih buruk dari yang ditakutinya. Ibunya melompat keluar dari kursi pengemudi seperti kecepatan seekor kucing liar ketika dia melihat Jessie di kaca spion. Ibunya berdiri, mengetukkan kakinya. Dia mengenakan salah satu baju pekerja sederhana sesuai dengan rok hitam, jaket bergaris-garis hitam-putih, dan sepatu hak hitam. Dia tampak keras, seperti guru galak yang membuat generasi siswa SMA Virginia Beach takut langsung tunduk.

[2.93] Bu Rogers memiliki mata yang gelap dan tatapannya yang tampak tidak menyenangkan, terutama ketika menonjolkan kacamatanya. “Jessie Rogers,” katanya dengan nada suara yang tidak bercanda “Masuk ke rumah sekarang juga.”

[2.94] “Tapi-”

[2.95] “Aku bilang sekarang juga, gadis muda!” Bu Rogers selalu membuat satu titik untuk tidak mengangkat suaranya. Dia menunjukkan maksudnya dengan baik tanpa itu.

[2.96] “Bu Rogers, saya bisa menjelaskan.” Nick melangkah maju.

[2.97] “Nick Stieveson, saya terkejut, bahwa kamu terlibat dalam hal ini! Anak laki-laki yang baik sepertimu. Apa yang akan dikatakan oleh ibu dan ayahmu?"

[2.98] “Tapi itu tidak terjadi seperti yang anda pikirkan,” Nick dengan berani berbicara. [2.99] “Aku pikir kamu adalah lelaki yang bisa kami percayai. Aku pikir kamu memliki akal sehat dan berpengaruh yang baik untuk Jessie kami. Aku tidak mengira kamu mendukung kebiasaannya yang buruk”

[2.100] Jessie menghela nafas. “Kebiasaan buruk” Jessie adalah titik sakit ibunya dan juga ayahnya. Dia menuduh Jessie sejak kecil dengan mempunyai “Kebiasaan buruk” dan cenderung mendapatkan masalah. Pikirannya berkeliaran di sekolah. Dia tidak memperhatikan dengan cara ikut campur urusan orang lain, dan dia selalu tampak seperti “terbawa emosi” yang membuat dirinya sendiri terbawa masalah dengan ikut campur dalam masalah orang lain.

[2.101] Jessie menggantungkan kepalanya, terdiam. Tapi itu tidak seberapa dibandingkan dengan keterkejutannya ketika ayah keluar dari mobil ibunya bersama pengacara keluarga.

(23)

[2.103] Jika kehadiran ibu Jessie menakutkan, Ayahnya sepuluh kali lebih menakutkan. Dia adalah kepala sekolah di SMA dimana istrinya mengajar. Dia tidak hanya di atas orang lain, dia memiliki keberanian untuk mengintimidasi anak bermasalah. Jessie sering melihat ayahnya menjaga ketertiban peraturan sendirian. Itulah alasan SMA Virginia Beach memiliki tingkat kejahatan terendah dan kehadiran terbaik senegara bagian. Sekarang kehadiran yang menuju ke arahnya.

[2.104] “Jessie Rogers!” dia berdiri berhadapan dengan Jessie. “Aku mengandalkanmu untuk memberikan contoh yang baik untuk seluruh murid sekolah. Apa yang ingin kamu katakan untuk dirimu sendiri?”

[2.105] “Tidak ada.” katanya, menundukkan kepalanya. Tidak mungkin dia bisa membuat ayahnya mengerti. Tidak ada satu pun di antara mereka yang dapat mengerti. Mereka semua mengira Jessie sudah gila - oleh Nick, Trish dan Dot, orang tuanya. Mungkin dia gila. Dia membayangkan dia berbicara dengan orang asing dengan papan selancar. Dia bahkan berpikir dia merasakan tubuh yang setengah tenggelam di lengannya sebelum ditarik. Tapi, bagaimana itu bisa terjadi? Bagaimana bisa gadis itu menghilang tanpa jejak?

[2.106] “Pak Rogers,” Nick memotong pembicaraan, terdengar sehormat mungkin, “Dia hanya mencoba menyelamatkan gadis yang dia kira tenggelam. Dia pikir dia melihat seseorang di sana.”

[2.107] Kenapa dia tidak bilang kalau aku harus dirawat di rumah sakit jiwa? Kata Jessie pada dirinya sendiri.

[2.108] Trish dan Dot kaget dengan keberanian Nick untuk berhadapan dengan kepala sekolah

[2.109] Pak Rogers menarik napas dengan tajam. “Nick, aku maupun kamu tahu bahwa tidak ada alasan yang baik untuk berada di pantai pada hari ini. Itu tidak aman dan ditutup karena ada alasan yang bagus. Kamu melanggar hukum. Itu adalah sesuatu yang orang muda harus sedikit hormatkan. Kamu bisa saja mati.”

[2.110] “Jessie hampir saja mati,” Dot, suaranya melengkin, “Nick menyelamatkannya dari tenggelam.”

(24)

[2.111] Wajah bu Rogers memucat. Untuk sesaat Pak Rogers tidak dapat berkata-kata. Pengacara itu berdiri diam di samping mobil, menggenggam erat-erat gagang pintu.

[2.112] “Aku tahu, Ayah, aku tahu. Aku akan masuk,” kata Jessie akhirnya. Dia melewati semua orang menuju ke rumah dan mengunci diri di kamar tidurnya. Setelah itu dia shock dengan semua yang baru saja dia alami.

[2.113] Setelah itu Jessie menangis.

Chapter III

[3.1] Setelah teman-temannya dipulangkan, Jessie mendengarkan dari kamarnya ketika orangtuanya duduk di meja makan bersama pak Evans. Dia adalah pengacara keluarga dan orang tuanya telah lama mengenalnya. Mereka menyusun rencana pengasuhan anak mereka. Orang tuanya akan bercerai.

[3.2] “Di usia tujuh belas tahun, Jessie berada pada usia di mana hakim mungkin bertanya padanya siapa yang ingin dia tinggali,” kata Pak Evans, menjelaskan satu hal yang tidak pernah dipertimbangkan oleh siapa pun.

[3.3] “Kamu pikir Jessie sudah cukup dewasa, tapi jelas dia tidak bersikap seperti itu,” kata bu Rogers. Suaranya yang nyaring menembus pintu kamar Jessie, meskipun itu di lantai dua.

[3.4] “Jelas dia membutuhkan pengawasan orang tua,” kata pak Rogers dengan suaranya yang rendah. “Setidaknya kita setuju dengan itu.”

[3.5] Namun percakapan itu segera berubah menjadi sebuah pertempuran, masing-masing orang tua menyalahkan satu sama lain karena kesalahan penyimpangan putusan Jessie. Bu Rogers menuduh suaminya karena tidak melakukan kewajibannya. Pak Rogers menuduh istrinya karena tidak terlalu membantu Jessie untuk menangani “Kebiasaan buruk”nya. Mungkin bu Rogers tidak cukup tegas. Bagaimanapun juga, kerabat istrinya terlihat cukup kikuk dan kelompok pemimpi dan peminta-minta.

[3.6] “Semuanya berawal ketika dia masih kecil. Ingat ketika Jessie berjalan di jalan yang semennya baru dituangkan dan membuat sepatunya tersangkut?” Kata pak Rogers. “Kita baru saja membelikannya untuk ulang tahun keempatnya dan harus membuangnya.”

(25)

[3.7] “Ya,” kata bu Rogers, “Kamu seharusnya mengawasinya. Tapi kamu bertelepon dengan inspektur!”

[3.8] “Dia selalu impulsif,” komplain Pak Rogers. “Dia berlari ke jalan raya hanya untuk menyelamatkan kucing sialan itu. Mobil itu membelok dan menabrak pohon, dan kucing itu menggigitnya untuk semua kebaikannya.”

(26)

B. Source Text

Chapter I [1.1] “The Surfer” by Linda Cargill

[1.2] Dear diary,

[1.3] I’m grounded again. Mom just won't quit. All she does is nag, nag, nag. If it's not, “Jessie, haven’t you gotten your hair cut yet” it's, “I think you'd better go on a diet. You're not twelve years old anymore. You're seventeen. You should look like a young lady.”

[1.4] I wish Mom were my friend and not my enemy. But then I guess she's got too many problems of her own right now. And Dad, too. He finally moved out last week. Just packed his bags and left. The divorce is supposed to be final in six months. I really wish I had somebody to talk to. I wish I could tell her about it you know, Diary all about what only you know. What's been happening to me.

[1.5] I guess I could tell Nick, but he's a guy. And you know how guys are. Sometimes they're good listeners, but Nick says when he goes to sleep at night he just conks out. He doesn't even remember his dreams. When we have parties, and try to scare each other with stories, he kept his mouth shut. It gets worse. Sometimes I even have to elbow him in the ribs use he just falls asleep. He says he's tired from all that swimming he does for the team, but I think he just bored.

[1.6] Trish would probably listen, but she's such a cynic. The last thing I want is to be the butt of one of her jokes. I can just hear her now: “You keep drowning in your dreams? Ridiculous. Sounds like indigestion to me.”

[1.7] Besides, I'm not trying to scare anybody. This is very real and kind of weird. Almost every night now, I fall asleep as soon as I shut my eyes. I used to drift of gradually, thinking about everything I did during the day. But now I can't help myself Even when I don't feel really tired, all I have to do is shut my eyes and I'm dragged off by some undertow like in the ocean. I can't catch my breath. Something heavy, dark, and black presses down on my lungs, and I can't breathe. It fills my mouth, and I can't speak. It even covers my eyes so I can't see. I flail about hopelessly.

(27)

Just when my lungs are ready to burst, I wake up gasping. It feels as if I've been swimming upward and have just broken the surface of the water. My nightgown is always bathed in sweat.

[1.8] You know, Diary, I’ve been on the swim team since I was in ninth grade. I'm nothing great. Average time and all. But I've never been afraid of the water. What's wrong with me? I'm going to go crazy if this doesn't stop soon.

[1.9] Jessie got into her car and zoomed away from the house. She was able to nudge her old Buick into one of the few parking spaces next to the boardwalk at Atlantic and 36th Streets - the only luck she'd had lately. But then it was May, a few weeks before the tourist season started in earnest.

[1.10] As she crossed the grassy area in front of the ice cream store, she passed a statue. Everyone in Virginia Beach called it “The Norwegian Lady.” This nine-foot bronze sculpture was supposed to watch over all those who went out to sea. It reminded Jessie of her fourth-grade field trip, when the teacher told the class the monument had been a gift to Virginia Beach from the people of Norway. The statue commemorated the tragic wreck of the ship The Norwegian Lady. The date etched in bronze read “1897.”

[1.11] The Norwegian Lady kept her eyes fixed on the far distance, the horizon, where the sky met the sea.

[1.12] Jessie had to wait beside the monument for the boardwalk train to pass, taking passengers from their hotel rooms to restaurants and amusement parks. A little boy carrying a plastic miniature golf club rode on it. People didn't even seem to notice The Norwegian Lady as they walked up and down the boardwalk with their packages, hurrying to lunch, to a business appointment, or just because they were double-parked.

[1.13] People sort of got used to the statue's face after a while. Jessie noticed the statue, she thought, because she was feeling rather glum. That's when she heard a voice.

[1.14] “Hey, Jess, where are you going?” Nick said.

[1.15] Jessie looked up with a start at six feet of lanky bones and muscles. It was only Nick sporting his tousled head of red hair.

(28)

[1.16] He was always surprising her like that, showing up everywhere. They'd known each other since they were kids, but she thought Nick presumed too much. Sometimes she thought he was following her around. Just because he was a senior and she was only a junior, he thought he was all grown up and sort of like a big brother.

[1.17] “Look, Nick, I’m busy now. All right?” She shrugged him off.

[1.18] But he soon caught up with her. “Wait a minute, Jess! I just asked you where you are going.”

[1.19] “Go ahead and tell my parents, why don't you? You're good at that.” Jessie walked as fast as she could, keeping to the far side of the boardwalk, closest to the sea. She shoved her hands into the pockets of her green blazer and kept her head down, looking at her sneakers.

[1.20] “Look, Jess you know that wasn't my fault,” Nick kept up easily with her. His legs were so long they were almost out of proportion with the rest of him. That's probably why he was the lead breaststroker on the swim team.

[1.21] “You hadn’t checked in with your mom after school, and she called me. I had to tell her you were going to the beach. I mean –”

[1.22] “You mean, you’re just a snitch!” she turned around and glared at him. “You don’t want to give me any space – just like my mother and everbody else.”

[1.23] “Now, Jess, you know that's not fair. You told me where you were going. I thought there was something wrong.” He shrugged. “Maybe something happened to you- or something”

[1.24] “Well, Mr. Olympic Breaststroker, for your information, I've been on the swim team three years, and I can swim just as well as you can I can also take care of myself.”

[1.25] “You're going to the beach again?” [1.26] “What of it?"

(29)

[1.27] “Nothing, except...well, you know. The police have asked people to stay away from the old fishing pier. You remember the drownings in April? They've got buoys and lines up everywhere. Some old plankings are loose or something.”

[1.28] “Oh, stop acting like an old woman and leave me alone!” She stalked off.

[1.29] The old fishing pier was her favorite place. It always had been. Ever since she had gotten a car when she was a sophomore, it had been her hideaway, her special spot to be alone where it was quiet and she could think.

[1.30] As soon as Jessie reached the stairs leading down to the beach, she took them two at a time and then kicked off her sneakers. She ran through the sand in her bare feet. It felt warm to the touch. It was the middle of May, just a couple of weeks before the beginning of the tourist season on Memorial Day weekend. The weather had been unusually chilly this spring, and she longed like crazy for the first hot days of summer. She could come here every day then after she got off her job at the swimming pool where she worked as a lifeguard.

[1.31] Just as she always did, Jessie ran down to the water's edge and let the waves lap up over her feet until they were buried in the sand. At first, the water felt very chilly indeed, but she soon got used to it.

[1.32] Jessie looked out to sea. She saw those annoying red buoys. Everybody had to act like an old grandmother these days just because a couple of silly boys had been killed playing around the old pier after dark. Their heads had been smashed in as if someone hit them with boards or rocks. They could have gotten drunk, beat each other up, and then fallen off the pier to be washed up on the rocks. Jessie was certainly not about to do anything so silly herself.

[1.33] She climbed up on the pile of rocks between the pier and what used to be the inlet to an old bay. Now everyone used Rudee Inlet, several miles up the beach by the lighthouse. When she stood on her tiptoes and squinted, she could barely make it out in the distance, along with all the fishing boats, deep sea charters, tour boats, and private yachts that went in and out all day long. [1.34]J essie felt herself falling. Instinctively she put out her hands to cushion her landing on the jagged granite blocks. But she seemed to fall harder than she expected. The strength in her

(30)

hands did not prevent her from scraping her knee badly and bruising her elbow so that it turned black and blue. She said, "Oh, darm! and took out a pocket handkerchief to tie around her bleeding knee.

[1.35] She didn't know what had come over her. Usually she could keep her balance anywhere Maybe it was all the excitement lately. She certainly was not going to let the experience unnerve her. Jessie was going to go about her day as she always did. Jessie clambered down from the rocks more carefully than she had climbed up and started up the rickety wooden steps of the old pier She paused halfway up, feeling a sweat start under her arms. “This is silly!” she said aloud “Now you're acting like a jerk, Jess.” But she had suffered from sudden premonitions all herlife. For a moment she was breathless, think- ing she felt a cold finger touching the back of her neck. Her heart started pounding, and she felt giddy. It was all she could do to hold on tight to the railing, digging her fingernails into the old wood.

[1.36] Jessie took a deep breath for courage and spun around. There was no one behind her, of course. Only a cold droplet of sweat streamed down the back of her neck. She realized that's what it was all along-just drop- lets of sweat. No one had really touched her.

[1.37] “This is the outside of too much!” Jessie groaned, trying to laugh at herself. She kept climbing the steps, tossing her hair back over her shoulders to get it out of her eyes.

[1.38] Now that she was up on the pier, she was going to walk down to the end the way she always did, careful not to step on the cracks for fear of bad luck. There were old wooden buckets lying about, left there by fishermen of long ago-old crates that once smelled of fish. There was a new fishing pier a couple of miles down the beach in the opposite direc- tion from the lighthouse. She had often gone there with Nick to catch dinner on rented fish-ing poles. But this was her private place.

[1.39] She sat down on the end of the pier, dangling her feet over the edge. This was old times with the wind blowing in her face and the sun beating down on her head. Jessie had come here nearly every day after school for the past couple of years in the spring, the fall, and all during the long, hot summer. All winter long she would wait inpatiently for the season to change, and

(31)

warm day during the January thaw often be found strolling on the beach or sitting on the old pier. The sea drew her to it.

[1.40] She felt on top of the world here. Nothing could go wrong. She could see for miles and miles. Jessie could sit so still that a seagull would often wing by and land right next to her on top of a wooden railing or a mooring pole stuck into the sea.

[1.41] A flick of the switch turned her Walkman on. The music calmed her. No one here could yell at her for flunking her latest geometry test. Her father couldn't tell her she was a disgrace to the family and that she would never amount to anything. The seagulls were for the pocketful of bread crumbs she had brought from the school cafeteria. They seemed to like her just for being herself.

[1.42] Jessie was sitting on the pier looking out to sea thinking how much nicer it was when her parent used to bring her here as a child. Then she spotted something far out on the water. At first she could not make it out clearly. Was it a leaping dolphin? It was too large for that, but not so large as a ship or a boat.

[1.43] Whatever it was, it was moving toward shore. And it was moving rapidly.

[1.44] Jessie stood up. It looked like a person, a girl on a surfboard. Jessie had been surfing a few times herself and wondered how the girl, whoever she was, could have started so far out at sea that she seemed like a speck on the horizon. The surf did not begin to break, and the waves did not form, until they reached the sandbars. The sandbars were closer to the beach. Everybody knew that.

[1.45] But Jessie only knew what she saw. There was no doubt about it now. The figure was definitely a girl in a red, one-piece bathing suit. Her long, blond hair streamed out behind her in the wind like a flag, and she possessed the most striking, beautiful white skin Jessie had ever seen. The surfboard was tethered to her ankle the way all surfers did it, but it was odd that she didn't have a wet suit. It still was kind of chilly in May to go so far out in only a bathing suit. The water temperature must still be in the upper sixties.

(32)

[1.46] Soon Jessie's doubts were swallowed up in her admiration for the stranger's acrobatics She seemed to be just catching the peak of very long, cresting wave. She was planing with perfect balance, her knees bent just so and her long, slender arms thrust out to either side. The pose was so perfect and so efort lessly sustained that Jessie found herself imitating the girl on the surfboard, bending her own knees as she stood on the edge of the old pier. Only at the last moment did she remember to move back.

[1.47] As if that perfect balance was not enough for such an expert surfer, the girl now lifted one leg up from the board and rode the cresting wave with only one knee bent. And then, incredibly, she thrust that leg out behind her balancing herself first on her hands and then again on one foot. It was as if the stranger were a ballerina who could walk and dance on water! Jessie heard herself gasp and put her hands over her mouth.

[1.48] The stranger looked up just where Jessie was standing, almost as if she could hear Jessie. That was impossible because she was so far away. The girl did not look at all surprised or put off by all the police buoys. She merely smiled, curling her red lips upward, and waved at Jessie.

[1.49] For a moment, Jessie felt confused. She did not know why. It was perfectly natural to be friendly, except that almost no one had the skill to wave from a surfboard without falling. Shyly, she waved back.

[1.50] Jessie was surprised not merely by the girl's skill but by her looks. The stranger was clearly a raving beauty. She seemed about Jessie's age, but it was hard to tell for sure. She looked so grown up in that bathing suit, just like a contestant in a Miss America contest. She might be tall, but there was not an ounce of spare flesh on her body. Everything was all muscle, in the right places- and curves, in the right places, too.

[1.51] Just gazing at the girl made Jessie feel awkward. She was too average-looking herself, she guessed. Nobody ever noticed her in a crowd. In a movie theater there were just as many heads above hers blocking her view as below. She became tall enough to ride the roller coasters at the amusement park at just the same age as most everybody else. When she complained

(33)

to her friend Trish, who was the tallest girl in the class, Trish smirked and said, "Would you rather be a Frankenstein like me?"

[1.52] With her curly brown hair and hazel eyes, Jessie knew she couldn't compete with this stranger with the striking blond hair and white complexion. Even worse, Jessie could think of was her mother saying, "My, you've been putting on some weight lately" How could she explain to Mother that there was nothing to do but raid the refrigerator when she was afraid to sleep at night?

[1.53] The stranger on the surfboard seemed to be putting on a show now that she knew that Jessie was standing there watching her. She stood on one foot again, even on tiptoe, and then in a flash flipped over onto her head, holding on to the board with both hands. This was something else Jessie had never seen before and never thought possible. Jessie clapped.

[1.54] The extraordinarily long wave finally gave out. The girl went under only to surface again. She immediately scooted herself up on her surfboard belly first and waved once more at Jessie.

[1.55] Jessie thought it would be only polite to introduce herself. “My name's Jessie, Jessie Rogers,” she cupped her hands and called at the top of her lungs. The girl was barely within hailing distance. “You look like a pretty tough customer out there on that board.”

[1.56] “Thanks” the girl called back, smiling. “Do you want to see some more?”

[1.57] The girl moved so fast that Jessie did not even have a chance to answer. She used her hands to dig down into the waves and push her board farther out to sea. Her shoulder muscles gave her strength to fight the frothing tops of the waves. The onshore wind was pick ing up quite a bit.

[1.58] “Hey!" Jessie called after the girl. “Are you sure you want to go out there again? It looks like it might rain.” The sky was clouding up with dark blue and black clouds. They were big and puffy, just the sort of thing one expected before a storm.”

(34)

[1.59] “I like the water,” came the answer. Jessie barely heard it. She couldn't even be sure the girl had said it. She was turned in the other direction, and in this weather the words didn't make much sense.

[1.60] A jagged lightning bolt hit the water far out at sea.

[1.61] Great! Thought Jessie. Just great. Now it’s The stranger rose on her surfboard again. [1.62] The stranger rose on her surfboard again. The waves were bigger now. She be riding the hump of a ten-foot swell that about ready to hit the sandbar and crest into a white, frothy peak. All around her, but still she put on her acrobatic show, riding on one foot, balancing on hand, and even doing little leaps from one end of the board to the other.

[1.63] Jessie put her hand to her throat in fear. Could she possibly make it?

[1.64] The girl was closer now than she had been before on her first ride in. It looked as if she was coming in to shore, riding the wave perfectly all the way up the beach. She was near enough that Jessie could make out a necklace of shells from which hung a large, round crystal pendant with a blue turquoise center. The jewel was the same shade of blue as the girl's eyes. They were a limpid color and looked as pale as sunlight on the water. It seemed as if one could gaze into them forever and never reach the bottom. The girl's lips were pursed and turned up at the ends in a mysterious sort of smile. Her face was radiant. It gave off a glow. The stranger seemed to be confident of what she was doing - even if Jessie was not.

[1.65] Then a horrible, unexpected thing happened. Just as Jessie was about to run down to the beach to greet her new acquaintance the girl slipped off the board and with a terrible cry went under. It had to be impossible. The water was too shallow. She was almost ashore. But there was no denying the waves were fierce.

[1.66] Jessie waited a breathless moment for the girl to surface as she had the last time. But just when she thought she saw the surfboard bobbing up without the surfer, a huge wave came crashing ashore, burying it. The wave washed halfway up the beach, erasing Jessie's footprints in one fell swoop as well as any sign en he of life from the stranger.

Referensi

Dokumen terkait

penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kolom packing zeolit alam maka kadar bioetanol yang diperoleh lebih besar, hal ini menunjukkan bahwa zeolit alam mampu

Upotreba bakra kao katalizatora u reakciji 1,3-dipolarne cikloadicije azida i alkina omogućava selektivnu sintezu 1,4-disupstituiranog regioizomera 1,2,3-triazola,

Yine emrettim; uzak-yakından herhangi bir kişi gelip benim meclisime girdiği Zao.an, hangi tAifeden olursa olsun devlet sof- ramdan onu eli boş geri çevirmesinler.

Tujuan dari penelitian ini ada adalah, untuk menduga : (1) nilai intraclas, korelasi dan nilai heritabilitas bobot lahir dan bobot sapih pada domba Priangan, (2) korelasi genetik

Misalkan diduga dalam sebuah kolam, yang berisi dua jenis ikan, terdapat lebih banyak ikan patin daripada ikan gurami. Bagaimana membuktikan

Rekomendasi Pemupukan Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan, Kebun Tanah Raja, Medan.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan

perlindungan konsumen secara patut. f) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. g) hak untuk mendapatkan

Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian studi kasus ( case study ) dan bersifat kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini meliputi sumber primer yang diperoleh