• Tidak ada hasil yang ditemukan

William Placher dan Suara Kekristenan da

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "William Placher dan Suara Kekristenan da"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Yose Emeraldo T. NIM : 52140002

Paper Akhir Filsafat Ilmu

William C. Placher – Suara Kekristenan dalam Pluralitas

Dalam tulisannya ini William Placher mengajukan gagasan unapologetic theology, suatu gagasan yang terdengar aneh (dari namanya) namun sesungguhnya memiliki makna yang mendalam. Apologetik dapat dipandang sebagai usaha untuk menjelaskan dan membela kekristenan dari pandangan-pandangan dan kritik non-Kristiani. Ini tentu baik tetapi juga ada resiko para apologet ini akhirnya terkesan defensif dan tidak mau dikritik. Disisi lain dalam ber-apologetik seringkali individu kehilangan suara unik kekristenan. Hal ini akibat hadirnya positifisme dan keyakinan akan adanya kriteria rasionalitas dan kebenaran yang universal. Akibatnya kekristenan kemudian menyesuaikan diri dengan anggapan tersebut sehingga nilai-nilai kekristenan pun berubah (lebih lunak?) agar dapat diterima (dianggap rasional) dan berbicara dalam lingkup publik. Bagi Placher ini menyebabkan kekristenan kehilangan suara khasnya. Maka dari itulah ia mengajukan unapologetic theology, cara berteologi yang tidak apologet, yang menampilkan kekhasan dan keberbedaannya tanpa berusaha menyamakan diri dengan pemikiran luar.

Gagasan ini menurut saya bisa lahir karena gagasan positifisme mulai hancur dan ditinggalkan. Tidak lagi dipercaya bahwa ada kriteria rasional dan kebenaran universal. Timbul kesadaran pluralisme tidak hanya dalam artian beda budaya, beda suku tetapi dalam intelektualitas, cara berpikir dan bernalar juga. Nah kesadaran pluralisme ini sendiri membawa bahaya yaitu relatifisme, pandangan bahwa karena yang ada hanyalah kebenaran-kebenaran ‘lokal’ (kebenaran-kebenaran dalam suatu cara pikir kelompok tertentu) maka tidak ada kebenaran sama sekali yang perlu dipegang. Akibatnya orang menjadi apatis dan pragmatis. Menurut saya kehadiran unapologetic theology dalam kondisi demikian menjadi penangkal yang mencegah orang menjadi relatifis. Meski demikian, mendorong orang mempertahankan suara khasnya beresiko membawa orang bersikap arogan, intoleran, chauvinis dan bisa kembali jatuh kepada positifis (kali ini pemikirannya sendiri yang menjadi kriteria universal). Oleh karena itulah Placher mengajukan model berdialog yang sungguh-sungguh pluralis untuk dipakai dalam konteks dunia yang pluralis.

(2)

penglihatan yang meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari suatu titik pandang (vantage point). Horizon bisa sempit bisa lebar, bisa berubah dan diperluas (atau dipersempit?) namun yang pasti horizon mempengaruhi apa yang kita lihat. Bagi Placher kesadaran ini penting. Kita tidak bisa berharap untuk menemukan kesamaan dahulu baru berdialog dengan pihak lain. Kadangkala sulit (atau mustahil?) menemukan hal demikian dan akibat dari usaha mencari kesamaan tersebut adalah mengenyahkan pihak-pihak yang kita anggap tidak memiliki kesamaan tersebut (dalam bahasa Rawls dan Rorty disebut gila) dan berbicara dengan yang terbatas (yang waras) saja. Hal yang demikian memang bukan pluralisme yang sungguh-sungguh, kalau tidak bisa dibilang palsu ya saya sebut saja setengah hati. Berangkat dari kesadaran akan horizon kita akan mendorong kita menyadari bahwa orang lain juga memiliki horizonnya masing-masing juga. Dalam perspektif post-modernisme, horizon setiap orang tidaklah mampu menangkap keseluruhan realitas. Ia tidaklah sempurna. Dialog merupakan pertemuan antara horizon-horizon tersebut yang dapat saling mempengaruhi dan menyebabkan terjadinya fusion of horizon. Fusion of horizon tidak berarti kita selangkah lebih dekat pada kesempurnaan tetapi merupakan perpaduan horizon-horizon yang akan lebih akomodatif dan baik bagi para pemilik horizon tersebut.

Selanjutnya Placher mengajak kita untuk menempatkan suara setiap pihak dalam posisi yang setara satu sama lain. Placher dalam menanggapi perdebatan antara Gadamer dan Habermas mengenai posisi tradisi dan otoritas dalam dialog menyatakan bahwa otoritas dan tradisi memang kadangkala dapat menghambat fusion of horizon karena ‘memaksa’ orang terpaku dan kaku mengikuti cara berpikir tertentu (yang ditentukan tradisi dan otoritas) namun menolak sepenuhnya otoritas dan tradisi akan membawa pada penyingkiran suara-suara yang diwarnai kuat oleh otoritas dan tradisi. Penyingkiran dan penolakan ini pun sebenarnya adalah tradisi dan otoritas sendiri juga. Tradisi untuk menyingkirkan tradisi (yang lebih lama/kuno).

Unapologetic theology dalam bingkai dialog pluralis ini mengajak kita mengambil posisi ditengah-tengah antara pandangan positifisme dan pandangan relatifisme, menyadari pluralitas kebenaran namun juga tetap setia dan teguh dalam kebenaran yang kita anut. Pemikiran tersebut kemudian dikenakan dalam tiga kondisi praktis yaitu :

1. Percakapan antara agama dan ilmu pengetahuan 2. Percakapan antara agama satu dengan agama yang lain

(3)

kondisi nomor satu, saya rasa di Indonesia tidak terjadi pertentangan (atau tidak tampak?) antara agama dan ilmu pengetahuan. Kemungkinan karena di negara Indonesia ini keagamaan merupakan pokok hal yang penting dan (masih) menduduki posisi istimewa dibandingkan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan di Barat dimana rasionalitas ilmu pengetahuan menjadi hal yang cukup dominan, menggeser agama dari posisi istimewa dalam masyarakat, meletakkannya pada posisi yang (kalau bisa dibilang) sejajar sehingga pertentangan dan berdebatan kuat antara ilmu pengetahuan dan agama dapat terjadi. Dalam kondisi nomor dua saya tertarik dengan penerapan dialog yang pluralis, sedangkan pada nomor tiga saya tertarik tentang penerapan unapologetic theology terkait kehadiran Kekristenan dalam diskusi publik.

Terkait perihal pola pikir beragama di Indonesia sejauh ini saya orang-orang sering jatuh kepada kedua ekstrim pemikiran diatas. Ada yang berpola pikir positifisme sehingga menjadi fundamentalis, kadang sampai taraf ekstrimis (mungkin yang kita sebut Islam Garis Keras) dan di ekstrim lain adalah pola pikir relatifis yang berpandangan bahwa semua sama saja (tercermin dalam budaya populer seperti film cinTa1). Pola pikir positifis ini mendorong

adanya konflik-konflik berdasar agama di Indonesia termasuk perang dan penindasan. Untuk mengatasinya kemudian muncul usaha-usaha mencapai kerukunan umat beragam yang seringkali bersifat relatifis. Menurut saya ada dua strategi relatifis yang ada. Pertama adalah menyamaratakan semua agama yang berbeda tersebut. Ini tampak dalam kalimat-kalimat yang sering muncul mengenai antar-agama adalah seperti, “Semua agama mengajarkan yang baik”, “tidak ada agama yang buruk.”, “Banyak jalan menuju ke Roma.”, dst.

Saya setuju dengan Placher bahwa mungkin memang ada kesamaan antar agama tetapi sebenarnya seringkali mereka menunjuk ke arah yang berbeda-beda. Jadi tidak bisa disamakan begitu saja, “mereka bicara hal yang sama tapi cuma kata-katanya beda”. Ambil contoh Kekristenan, Tuhan Kristen, Yesus Kristus turun kedunia, mati sebagai penebusan dosa manusia. Ini jelas berbeda dengan Islam atau Hindu atau Budha dimana tidak ada (setahu saya) Tuhan yang turun dan mati sebagai penebusan dosa. Penyamarataan begitu saja mau tidak mau membuat kita mengabaikan bagian-bagian tertentu dari keyakinan iman kita. Ini membawa kita menjadi kehilangan suara khas kita.

Pola pikir yang kedua menurut saya adalah berpikir mengenai kesamaan yang ada, “daripada bicara tentang perbedaan agama mending fokus pada fakta bahwa kita sama-sama orang Indonesia”. Menurut saya ini merupakan salah satu bentuk relatifisme (namun juga positifme) karena perbedaan pendapatnya dianggap tidak penting dan yang dipentingkan

(4)

adalah kesamaan bersama (common ground). Ini sesungguhnya pengalihan dari masalah semata. Tujuannya baik agar tidak sembarangan berkonflik (sampai konflik fisik) dan agar tercipta kedamaian serta toleransi. Tapi jika sekadar demikian maka masalah utamanya tidaklah selesai. Saya masih tetap berpandangan berbeda dengan dia dan (mungkin dalam hati) saya masih tidak terima dengan pandangannya tersebut. Ini ibarat seorang ibu, yang melerai kedua anaknya yang berkelahi soal menu makan siang bersama, dengan berkata “sudah jangan berkelahi, kalian kan saudara.” Masalahnya tidak selesai. Keduanya diam dan tidak saling bercakap-cakap. Yang diperlukan sesungguhnya adalah kesadaran bahwa perbedaan tersebut merupakan hal yang wajar dan mengkikis pemikiran dan pra-anggapan bahwa “saya benar, yang lain salah!” Disamping itu pola pikir semacam ini mengasumsikan selalu ada kesamaan bersama. Seandainya tidak ditemukan kesamaan bersama apakah toleransi akan keberbedaan itu tidak bisa dilakukan? Maka dari itu dibutuhkan model percakapan pluralis yang sungguh-sungguh berdasar prinsip yang diajukan Placher diatas.

Dalam tulisannya, Placher mengajukan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam menjalankan dialog antar-agama yang sungguh-sungguh pluralis. Saya akan berusaha sedikit mengomentari dan melihat visibilitas dan pelaksanaan praktis dari prinsip-prinsip tersebut :

a. Sadari bahwa kita berbicara dari sudut pandang tertentu (entah sudut pandang Protestan, Budha, Islam, dst) dan tidak mungkin menjadi netral bebas nilai untuk menjadi penentu atau pemegang kriteria universal. Sadari bahwa masing-masing khas dan memiliki sudut pandangnya sendiri. Kesadaran semacam inilah yang saya rasa masih kurang dalam diri orang Indonesia. Meski demikian membangun kesadaran semacam ini gampang-gampang sulit. Gampang karena dalam komunikasi sehari-hari kita sudah banyak menekankan hal ini (kesadaran bahwa setiap orang memiliki sudut pandangnya sendiri). Disisi lain menjadi sulit karena topik yang dibahas adalah mengenai agama dimana orang masih memegang keyakinan akan Kebenaran Mutlak dari agamanya (setidaknya itu yang saya lihat dalam Kekristenan). Kegagalan ini saya rasa karena agama dipandang sebagai pemberian ilahi tanpa cacat cela dan bukan sebagai horizon manusia tentang Allah. Bisa juga ini hasil dari pemikiran ala Pencerahan (Enlightment). Rekonstruksi pemikiran perlu pertama-tama diawali dari dekontruksi pemahaman ini dan menggantikannya dengan pola pikir Post-Modernisme. Baru ide Placher dapat diterima secara lebih baik.

(5)

Menurut saya ini berarti membuka diri pada kehadiran orang-orang konservatif bahkan mungkin ekstrimis-fundamentalis. Hal ini kadang terasa sulit karena adanya kelompok-kelompok garis keras yang dirasa mengutamakan kekerasan fisik dalam rangka mensukseskan pemikirannya (walaupun akibatnya justru tidak sukses). Jika penghalang ini dapat diatasi maka saya yakin dialog antar-umat dapat berlangsung lebih akomodatif, dalam arti meliputi berbagai pandangan dan aliran yang berbeda dalam agama-agama yang berdialog tersebut.

c. Sadari bahwa dialog antar agama berarti dialog antara agama Kristen dan agama Budha, atau agama Kristen dengan Islam. Bukan agama Kristen dan non-Kristen. Kadang memang ada godaan untuk mencari kesamaan diantara agama-agama lain dan kemudian menyamaratakannya. Hindari pemikiran semacam itu.

Satu pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah “mengapa melakukan dialog?”. Mengapa tidak menjauhkan diri dari pengaruh luar, mengisolasi diri seperti Uni Soviet dengan kebijakan Tirai Besinya pada Era Perang Dingin atau Jepang dengan kebijakan Sakoku-nya pada era keshogunan Tokugawa? Placher sendiri memandang kebijakan mengisolasi diri dari percakapan merupakan sebuah pilihan yang bisa diambil dan tidak bisa dilarang juga. Secara implisit Placher berpandangan bahwa setiap orang memiliki haknya dalam mengambil keputusan untuk berdialog atau tidak. Bahkan ketika berdialog pun orang bisa hadir dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda pula. Bagi Placher tidak ada justifikasi universal mengapa orang harus berdialog. Masing-masing memiliki alasan dan tujuannya sendiri sesuai dengan tradisi, pemikiran dan nilai-nilainya sendiri. Meski demikian menurut Placher dialog membawa beberapa manfaat seperti memperdalam dan memperkaya pemahaman seseorang akan nilai, gagasan, keyakinan dan iman yang dimilikinya, membawa orang lain untuk mengikuti nilai, gagasan, keyakinan dan iman yang dimilikinya, dan membantu menyadari kekeliruan diri atau kemungkinan bahwa saya salah.

(6)

horizon tersebut tidak mampu menangkap keseluruhan realitas dengan utuh). Saya menyebut paradoks ini dengan slogan “percaya namun tidak percaya”, “yakin tetapi tidak yakin.”

Selanjutnya dalam penerapan di konteks nomer 3 yaitu mengenai cara berteologi, saya secara khusus menyempitkan pada konteks pengambilan keputusan etis praktis dalam masyarakat. Bagi saya penjelasan Placher terasa kurang memuaskan. Ia memulai diskusi dengan kondisi hipotesis dimana seorang non-Kristen menanyakan mengapa masyarakat yang non-kristiani harus mengikuti atau melaksanakan kebijakan yang kristiani (hal 166)? Placher sendiri kemudian mengajukan tiga poin jawaban:

1) Ketika kita mengetahui yang kita imani, menginterpretasikan isu seluas mungkin dalam terang iman kita, dan mempraktekkan iman kita tersebut maka ini memiliki kekuatan persuasi yang besar dalam masyarakat. Kalau demikian tidakkah akan terjadi kontes persuasi antar pihak?

2) Dalam usaha tersebut perlu mencari kesamaan tujuan dengan orang beragama lain dalam isu ini (spesifik-partikular) meskipun alasannya berbeda. Jadikan kesamaan itu titik mulai untuk berdiskusi. Menurut saya tidakkah ini menjadi terlalu pragmatis? Seperti kata pepatah “musuh dari musuh saya adalah teman.” Tidak peduli alasannya selama tujuannya sama maka kita mau bekerjasama.

3) Tidak ada fondasi legal tertentu untuk menentukan kebijakan publik yang tepat dalam masyarakat yang pluralis. Mulailah dengan common ground dalam isu tersebut untuk membahasnya.

Menurut saya jawaban Placher pun tidak serta merta menjawab pertanyaan seorang non-Kristen diatas secara eksplisit (samar-samar jika direnungkan mungkin memang ada prinsip-prinsip yang diajukan yang bisa dipakai, namun saya masih bingung perihal prinsip menerapkan dan mendukung keyakinan agama dalam kebijakan-kebijakan publik di negara yang pluralis. Misal contoh tentang makan. Islam tidak boleh makan babi dan Protestan tidak bermasalah dalam makan babi. Seandainya pihak Islam mengambil sikap unapologetic dalam kebijakan publik, apakah salah mengusahakan larangan berjualan masakan berbahan daging babi? Apakah orang bebas mengkonsumsi babi kalau dia ingin. Jika opsi kedua yang digolkan bukankah suara Keislaman akhirnya berbicara hanya untuk komunitasnya sendiri? Maka kebijakan ini kehilangan dampak pada komunitas.

(7)

sungguh-sungguh pemikiran Placher maka sepertinya ia berpandangan bahwa langkah kerja, dinamika dan solusi bagi tiap-tiap persoalan mungkin sangat konkrit lokal karena kita mengakui tidak ada standar universal yang menjadi penentu dan kriteria. Kita yang harus menggumulkan isu dalam konteks kita, berdialog dengan pihak-pihak lain dalam konteks kita, dan akhirnya menemukan jawaban dan solusinya sendiri dalam konteks kita.

Referensi

Dokumen terkait

Pengobatan merupakan suatu proses ilmiah yang dilakukan oleh dokter berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan pemeriksaan. Dalam proses

Pada penginderaan jauh menggunakan satelit akan menghasilkan data citra dan salah satu data citra satelit yang digunakan untuk memantau area pertanian adalah data cita

Metode yang digunakan terhadap “Analisis Semiotik Dalam Kumpulan Puisi Love Poems ‘Aku dan Kamu’ Saduran Sapardi Djoko Damono,” adalah metode kualitatif deskriptif..

Saat suhu yang diinginkan tercapai, masukkan sampel, dan tutup pintu dengan rapat... Nama alat

Uskup mempunyai kepenuhan sakramen tahbisan, maka ia menjadi “pengurus rahmat imamat tertinggi”, terutama dalam Ekaristi… Gereja Kristus sungguh hadir dalam jemaat beriman

Uji ini digunakan untuk menentukan hubungan antara kedua variabel (variabel independen dan variabel dependen) yang ada dalam penelitian ini, yaitu menguji hubungan antara

Menentukan kualitas telur terutama bagian isi dalam telur dapat diketahui dengan peneropongan dan melakukan penilaian kualitas internal telur dengan memecahkan telur kemudian

Irna Istiyana. Peningkatan hasil belajar lompat jauh gaya jongkok melalui Bankasbotik pada SD Negeri Cokro Tahun Pelajaran 2011/2012. Jurusan Pendidikan Jasmani, Kesehatan