• Tidak ada hasil yang ditemukan

REVIEW HUKUM HAK ASASI MANUSIA (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "REVIEW HUKUM HAK ASASI MANUSIA (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

REVIEW: HUKUM HAK ASASI MANUSIA

Fransiska Rachel

fransiskarachel@students.unnes.ac.id

DATA BUKU

Nama/Judul Buku : Hukum Hak Asasi Manusia

Penulis/Pengarang : Prof. Dr. Rahayu, S.H., M.Hum

Penerbit : Universitas Diponegoro Semarang

Tahun Terbit : 2015

Kota Penerbit : Semarang

Bahasa Buku : Bahasa Indonesia

Jumlah Halaman : 402 halaman

ISBN Buku : 978-979-70490-6-5

DISKUSI/PEMBAHASAN REVIEW

Pada dasarnya, sudah ada banyak buku yang membahas mengenai Hak Asasi Manusia. Banyak ahli yang memberikan pandangan berbeda mengenai HAM dari berbagai sudut pandang. Menurut Rahayu, Hak Asasi Manusia (HAM) dipahami sebagai hak yang secara kodrati dimiliki oleh setiap orang tanpa pengecualian dan keistimewaan baik berdasarkan golongan, kelompok maupun tingkat sosial tertentu, menempatkan HAM sebagai isu utama yang diperbincangkan berbagai kalangan di segala jaman. Manusia memerlukan jaminan perlindungan bagi hak-hak pribadi untuk mengekspresikan kepentingan masyarakat yang menghendaki agar perlindungan hak-hak tersebut ditindaklanjuti dengan pengaturan dalam hukum. Negara mempunyai kewajiban untuk menjamin HAM warganya dengan mengeluarkan peraturan yang khusus mengatur mengenai penegakan HAM seperti UU No. 39 Tahun 1999. Buku ini memberikan perkembangan informasi terkini berkaitan dengan pokok-pokok bahasan yang secara garis besar disusun dalam lima bab.

Dalam Bab 1 berisi mengenai istilah, pengertian, teori dan prinsip dasar HAM. Istilah yang digunakan dalam buku ini menggunakan bahasa Arab. Secara etimologis, Hak Asasi Manusia terbentuk dari tiga kata, yaitu hak, asasi dan manusia. Hak dan asasi berasal dari bahasa Arab, sedangkan manusia dalam Bahasa Indonesia. Berkaitan dengan definisi HAM, sampai saat ini belum terdapat kesatuan pendapat yang baku mengenai pengertian hak asasi manusia yang dapat diterima secara universal. Dalam UU No.39 Tahun 1999 Pasal 1 angka 1 mendefinisikan HAM sebagai:

(2)

wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.’

Dari berbagai pengertian para ahli dan juga menurut Undang-Undang, secara garis besar dapat dipahami bahwa HAM adalah hak-hak yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia itu sebagai manusia. Hak Asasi Manusia sudah melekat pada manusia sejak ia dalam kandungan dan lahir dalam keadaan hidup kecuali ada kepentingan yang menghendaki sampai ia meninggal dunia. HAM tidak boleh dicabut atau diganggu oleh siapapun dalam keadaan apapun.

Selanjutnya, dalam bab ini membahas mengenai teori-teori yang digunakan sebagai dasar pemahaman HAM, yaitu:

1. Teori Hukum Alam / Teori Hukum Kodrat (natural rights theory).

Teori ini berpandangan bahwa posisi masing-masing manusia dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, semua manusia apa pun statusnya tunduk pada otoritas Tuhan, dan karena itu tidak dapat dicabut oleh negara. HAM yang bersumber dari hak alamiah ini tidak memerlukan pengakuan, baik dari pemerintah maupun suatu sistem hukum.

2. Teori Hukum Positif

Teori positivisme menolak secara tegas pandangan teori hak kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena dianggap bahwa teori hak kodrati ini sumbernya tidak jelas. Menurut penganut teori positivism, suatu hak harus berasal dari sumber yang jelas seperti dari peraturan perundangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara.

3. Teori Universal (universal theory)

Teori ini berpandangan bahwa HAM bersifat universal, sehingga HAM dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada suatu negara. Teori ini menjadi kekuatan pendorong bagi pemahaman baru tentang universalitas HAM.

4. Teori Relativisme Budaya (cultural relativist theory)

Teori ini memandang bahwa HAM harus diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya hak yang bersifat universal. Tidak ada suatu hak yang bersifat universal, karena HAM harus dipahami dan dilihat dalam perspektif budaya suatu masyarakat atau negara.

Dalam Bab 2 membahas mengenai sejarah perkembangan pemenuhan HAM yang dijabarkan cukup jelas mulai dari Deklarasi Hak Hak Asasi Manusia dan Warganegara di Perancis, Magna Charta (1215), Petition of Rights (1628),

Habeas Corpus Act (1679), English Bill of Rights (1689) di Inggris, dan

Declaration of Independence (1776) di Amerika Serikat. Perbedaan perumusan berbagai hak dalam deklarasi-deklarasi (Inggris, Amerika dan Perancis) mempunyai kesamaan spirit yaitu tekanan pada humanisme yang menempatkan manusia sebagai titik tolak dan pusat pemenungan dan perjuangan mereka.

(3)

Indonesia yan berjiwakan gotong royong. Dengan demikian, Soekarno menginginkan negara yang akan didirikan adalah negara yang didasarkan atas asas kekeluargaan atau gotong royong, sehingga hak warga negara tidak perlu lagi dijamin di dalam Konstitusi.

Dalam Bab ini juga menjelaskan bagaimana perkembangan HAM dalam hukum Internasional maupun hukum Indonesia. Terdapat tabel-tabel yang merincikan mengenai HAM dalam Konstitusi RIS 1949, bagaimana kewajiban negara dalam Konstitusi RIS untuk menjamin penegakan HAM dan HAM dalam UUDS 1950. Tabel tersebut memudahkan pembaca untuk membandingkan muatan-muatan HAM dalam lingkup yang berbeda.

Selanjutnya, dalam Bab 3 berisi mengenai instrumen-instrumen hukum HAM internasional yang terdiri dari 9 instrumen, yaitu:

1. UDHR (Universal Declaration of Human Rights)

2. ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) 3. ICESCR (International Covenant on Economic and Social Rights) 4. CROC (Convention on The Rights of Child)

5. CAT (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman o Degrading Treatment or Punishment)

6. CEERD (Convention on the Elimination of Racial Discrimination)

7. CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)

8. CRPD (Convention on the Rights of Person with Dissabilities)

9. ICRMW (Convention on the Protection og the Rights of All Migrants Workers and Their Families)

Dokumen-dokumen tersebut menjadi acuan atau pedoman negara-negara dalam menjamin HAM warganegara-negaranya sehingga tidak ada lagi perbedaan tiap negara. Dalam tiap dokumen sudah tercantum masing-masing hak yang harus dijamin dan menjadi titik tolak dalam perkembangan hak-hak asasi manusia.

Instrumen hukum HAM tidak hanya dalam lingkup internasional saja. Dalam hukum nasional juga terdapat instrumen-instrumen hukum HAM, yaitu:

1. UUD Negara Republik Indonesia 1945 2. Peraturan Perundang-undangan lainnya

a. UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia b. UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

c. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT)

d. UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis

e. UU No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan pidana Anak f. UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

g. UU No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(4)

peraturan saja, karena manusia jaman sekarang buta akan peraturan. Mereka menganggap peraturan dibuat untuk dilanggar. Untuk itu, perlu adanya tindak lanjut pemerintah agar menindak tegas para pelanggar HAM.

Perlindungan HAM yang dibentuk pemerintah terealisasikan dalam berbagai komisi nasional yang dibentuk khusus untuk menjaga dan mengawasi jalannya HAM dimasyarakat seperti:

1. Komnas HAM

Pembentukan lembaga ini dilatarbelakangi oleh oleh situasi semakin memburuknya penghormatan HAM di dunia pasca Perang Dingin dan Perang Dunia II. Dewan Ekonomi dan Sosial PBB meminta agar negara-negara anggota mempertimbangkan keinginan membentuk kelompok informasi atau komite-komite HAM lokal di tiap-tiap negara. Komnas HAM sendiri mempunyai 4 fungsi pokok, yaitu pemantauan, penelitian/pengkajian, mediasi dan pendidikan yang kemudian dalam pelaksanaannya dibagi dalam 4 sub komisi, yaitu Sub Komisi Pemantauan, Sub Komisi Penyuluhan, Sub Komisi Pengkajian/Penelitian, dan Sub Komisi Mediasi. Anggota Komnas HAM terdiri dari 35 orang yang dipilih oleh DPR dan diresmikan oleh Presiden dengan masa jabatan 5 tahun dan berakhir dengan diangkat kembali hanya untuk 1 kali masa jabatan.

2. Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan merupakan sebuah institusi HAM yang dibentuk oleh negara untuk merespon isu hak-hak perempuan sebagai HAM. Komnas Perempuan bukan merupakan lembaga yang menerima dan menangani langsung korban kekerasan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi pendamping korban. Komnas Perempuan memantau bagaimana kasus tersdebut ditangani untuk memastikan lembaga penyedia layanan di Pemerintah dan di masyarakat memenuhi hak-hak korban. Mandat utama Komnas Perempuan adalah mengupayakan adanya kebijakan yang melindungi perempuan korban. Komnas Perempuan telah berhasil mendorong terbentuknya UU No.13 Tahun 2004 tentang PKDRT dan UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

Lembaga ini dibentuk untuk merespon berbagai laporan adanya kekerasan, penelantaran dan belum terpenuhinya hak-hak dasar anak di Indonesia. KPAI merupakan lembaga yang cukup unik, karena lembaga ini diperkenankan oleh UU untuk membentuk kelompok kerja di masyarakat dan juga membentuk perwakilan di daerah. KPAI terdiri dari 9 orang dengan masa jabatan 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Mekanisme kinerja KPAI didasarkan pada prinsip pemberdayaan, kemitraan, akuntabilitas, kredibilitas, efektivitas dan efisiensi.

4. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

(5)

LPSK diantaranya adalah memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, menerima permohonan dan melakukan pemeriksaan terhadap permohonan korban untuk perlindungan, memberikan keputusan pemberian perlindungan korban kejahatan, mengajukan ke pengadilan berupa hak kompensasi dan restitusi, dan menghentikan program perlindungan korban kejahatan.

Dengan adanya komisi nasional, penegakan HAM dapat terus dipantau sehingga dalam pelaksanaannya tidak akan jauh melenceng dari apa yang sudah menjadi ketetapan bersama dalam mencapai keadilan HAM. Namun, bagi kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perlu adanya pengadilan yang menangani kasus tersebut sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelanggar agar tidak mengulangi atau memicu timbulnya pelanggar HAM yang baru.

Adanya pengadilan HAM di Indonesia dilatarbelakangi oleh buruknya situasi di Timor Timur dimana terjadi beberapa pelangaran HAM berat seperti pembunuhan massal, penyiksaan dan penganiayaan, penghilangan paksa, kekerasan berbasis gender, pemindahan penduduk secara paksa dan pembumi-hangusan. Dewan Keamanan PBB meminta agar para pelaku pelanggaran berat HAM terebut mempertanggungjawabkan tindakannya dimuka pengadilan.

Pembentukan pengadilan HAM di Indonesia memang tidak lepas dari tekanan masyarakat internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk segera mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Ukuran standar internasional pengadilan HAM bila pengadilan nasional tersebut tidak ingin atau tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Alhasil, memang tidak dapat dipungkiri bila masih banyak terdapat kekurangan dalam pengadilan HAM Indonesia.

Dalam Bab 5 ini juga dijelaskan mengenai fenomena KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang timbul di era transisi politik dari suatu rezim otoriter ke rezim demokratis, terkait dengan persoalan penyelesaian kejahatan kemanusiaan yang dilakukan rezim sebelumnya. Disamping itu, mekanisme penyelesaian kejahatan masa lalu melalui pengadilan ini ternyata memiliki keterbatasan yang dijelaskan secara rinci dalam Bab 5 buku ini. KKR mempunyai keistimewaan dalam cakupan, ukuran dan mandatnya yang dapat dilihat bahwa KKR dibentuk untuk mencapai beberapa tujuan salah satunya yaitu memberikan assesment tentang akibat pelanggaran HAM terhadap diri korban, dimana Komisi dapat merekomendasikan beberapa cara untuk membantu korban menghadapi dan mengatasi masalahnya tersebut.

Secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan bagi pembaca yang ingin mempelajari mengenai hukum dan HAM di Indonesia maupun Internasional. Banyak pandangan para tokoh dari berbeda sudut pandang yang akan memberikan lebih wawasan mengenai HAM. Bahasa yang digunakan mudah dipahami, hanya saja memerlukan waktu yang extra atau lebih banyak untuk memahami isi dari buku ini, disamping karena isinya yang hanya tulisan dan tulisan, buku ini juga cukup tebal bagi pemula.

(6)

secara konseptual dalam hukum internasional maupun didalam hukum nasional Indonesia. Bab 3 secara khusus membahas tentang berbagai instrumen hukum HAM Internasional dan mekanisme pemantauannya. Bab 4 membahas tentang instrumen hukum HAM nasional Indonesia. Bab 5 menjelaskan tentang mekanisme perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. masingmasing bab sudha dijelaskan secara singkat seperti yang diatas dan lebih lengkapnya dapat dibaca pada buku ini.

Referensi

Dokumen terkait

pembelian/pembayaran langsung kepada Penyedia untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya yang menggunakan bukti pembelian dan kuitansi, serta Pengadaan Pekerjaan

Model Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi dan Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).. Jakarta:

ayam, dalam menyebutkan nama binatang sesuai dengan gambar yang diberikan anak hanya. mampu menyebutkan nama binatang ayam

Dari wawancara, observasi, dan kajian pustaka, upacara seba dapat diartikan sebagai berikut: (1) kegiatan puncak dari ritual religius masyarakat Baduy, setelah

izin dari Pengadilan agama. 2) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat. tanpa izin ari pengadilan agama, tidak memiliki

Realizing the importance of reflective practice in professional development of pre-service teachers, all teacher education institutions in Malaysia have put an emphasis

Pola Progresif : hitung harga FOB Pelabuhan muat- eksportir, hitung premi asuransi & hitung harga CIF pelabuhan bongkar (pembeli-importir).. Pola Reaktif : menghitung

Dari ketiga metode tersebut didapat permasalahan terkait pengadaan lahan adalah lahan yang berada di sekitar Universitas Diponegoro terbatas dan memiliki harga yang