• Tidak ada hasil yang ditemukan

Review of Membangun Citra Baru Laki Laki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Review of Membangun Citra Baru Laki Laki"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Review of

Membangun Citra Baru Laki-Laki

1 Oleh: Muhammad Fachrizal Helmi

Kemarin waktu saya membaca sebuah buku mini, yang tebalnya hanya 40 halaman (hanya isi,

belum termasuk pengantar, daftar pustaka, dll). Buku ini dibuat sekecil mungkin, hingga dapat dengan

mudah dimasukan ke saku pakaian atau pun dibawa tangan biasa. Buku ini tidak berisi tentang

teori-teori yang bisa memusingkan otak dan bikin mual lambung. Buku ini didesain se-ringan dan se-simple

mungkin, hingga ketika saya (mungkin juga Anda) membaca, tidak merasakan jenuh sedikit pun. Buku

ini sangat renyah dan gurih sekali untuk dibaca, dan tentu saja, untuk memahami isi dari buku ini juga

sangat-sangat tidak sulit. Tetapi, pun demikian, tentu saja membaca buku ini pun harus dengan

perenungan dan pemahaman yang juga mendalam, walau pun pembahasan yang dibahas pun

sangat-sangat ringan, sangat-sangat dekat dengan keseharian kita semua.

Di dalam buku nan ringan ini, ada 3 bab penjelasan yaitu, 1) penjelasan mengenai konstruksi

sosial dan kekerasan berbasis gender, 2) penjelasan mengenai patriarki dan budaya penindasan,

3) serta, menjadi laki-laki baru, lalu penutup. Pada bab pertama pembahasannya yaitu mengenai

definisi konstruksi sosial, seks, dan gender, serta dampak konstruksi yang berbasis kekerasan gender.

Lalu, dalam bab kedua dibahas mengenai nilai budaya patriarkal, mitos tentang maskulinitas, dominasi

peran laki-laki terhadap perempuan, laki-laki dan budaya kekerasan, serta laki-laki sebagai korban

patriarki. Selanjutnya, pada bab ketiga, dibahas mengenai ajakan untuk menjadi seorang “laki-laki

baru” yang dilandasi atas kesadaran akan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di dalam tulisan-tulisan itu pun, disertai dengan data-data kuantitatif terkait jumlah kasus

kekerasan terhadap perempuan, serta memuat beberapa data yang dikutip dari media-media online yang

mewartakan pemberitaan yang menyeret laki-laki karena pengaruh budaya patriarki.

Langsung saja..

Kontruksi sosial, di dalam buku kecil ini dijelaskan, adalah suatu pelabelan atau stereotip yang

dilekatkan kepada perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi oleh pikiran dan tindakan kita sehari-hari.

Di dalam buku ini disinggung bagaimana seorang laki-laki dikonstruksikan sebagai seorang yang

memimpin, keras, kuat, pemberani, pencari nafkah utama, pelindung, agresif, mandiri, dominan, egois,

pintar, rasional, dan sifat maskulin lainnya. Konstruksi tersebut adalah konstruksi ‘ideal’ seorang laki

-laki dalam pandangan budaya patriarki. Sedangkan, di dalam buku dijelaskan bahwa seorang

perempuan adalah seorang emosional (perasa), lemah, sabar, dipimpin, dan tidak mandiri, dan lain

sebagainya, yang bertentangan atau berlainan dengan sifat yang melekat pada seorang laki-laki. Padahal

1 Buku membangun citra baru laki-laki (2011, Yayasan Jurnal Perempuan) ditulis oleh Carolina Monteiro,

(2)

tidak demikian. Baik laki-laki atau perempuan sangat mungkin berkebalikan, laki-laki perasa ada,

perempuan kuat pun ada.

Konstruksi yang melekat pada laki-laki dan perempuan tersebut, yang merupakan pengaruh

dari budaya patriarki, sejatinya sangat menyudutkan perempuan dalam segala hal. Perbedaan

perempuan dan laki-laki dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu, dari sudut pandang

seks/biologisnya dan sudut pandang gender. Perbedaan jenis alat reproduksi yaitu, penis yang dimiliki

oleh laki-laki dan vagina yang dimiliki oleh seorang perempuan adalah pembeda yang masuk ke dalam

kategori perbedaan biologis. Atau singkatnya, perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dilihat

dari segi seks ini adalah perbedaan yang sifatnya terberi (oleh yang Maha Memberi). Sedangkan, dari

sudut pandang gender, laki-laki dan perempuan sering dibedakan dengan pandangan-pandangan yang

memang telah terkonstruksi di dalam masyarakat. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, misalnya,

laki-laki dalam konstruksi sosial memiliki sifat sebagai seorang yang kuat (salah satunya), sedangkan

perempuan lemah (salah satunya).

Untuk lebih jelasnya, saya akan mengutip tabel yang membedakan perempuan dan laki-laki

(halaman 6, di dalam buku “membangun citra baru laki-laki) yang didasarkan pada seks dan gender:

Laki-Laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Seks/Biologis Seks/Biologis Gender/konstruksi

Kita akan melihat dengan jelas pada tabel di atas, betapapun, perbedaan yang dilihat dari sudut pandang

gender atau konstruksi sosial antara perempuan dan laki-laki di dalam tatanan sosial sungguh

menyudutkan satu sama lain. Kita bisa melihat betapapun perempuan dipandang sebagai seorang yang

(3)

mengambil contoh konstruksi sosial laki-laki yang dianggap sebagai seorang pemimpin, lalu perempuan

sebagai seorang yang dipimpin. Ini jelas tidak adil. Secara gamblang terlihat bahwa perempuan, dalam

konstruksi sosial yang berbasiskan patriarki tersebut, dipandang sebagai seorang yang harus selalu

patuh, dikendalikan, dan serba bergantung kepada yang memimpin (laki-laki). Gerak perempuan

dibatasi. Ada sekat yang tidak adil dalam pelabelan ini. Laki-laki dianggap memiliki peran superior dan

perempuan memiliki peran inferior. Hal tersebut, dari satu contoh kecil yang saya jelaskan, dapat timbul

sikap-sikap diskriminatif laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki sebagai seorang yang dikonstruksi

sebagai pemimpin, akan sapenak udele ngatur-ngatur perempuan. Melarang ini itu. Dan pada akhirnya,

ketidakadilan gender ini akan menjadi sesuatu yang tidak menguntungkan untuk perempuan.

Memang benar konstruksi sosial/gender yang melekat pada laki-laki lebih dominan sebagai

pengatur, sedangkan konstruksi sosial yang melekat pada perempuan memiliki kecenderungan sebagai

seorang yang diatur. Hal tersebut dapat dilihat dari konstruksi sosial laki-laki sebagai pemimpin dan

perempuan sebagai yang dipimpin. Pandangan tersebut hadir atas pengaruh pandangan patriarki yang

sudah sejak lama terbangun dalam masyarakat di banyak negara dunia. Akar sejarah patriarki,

dijelaskan di dalam buku, hadir ketika awal mula laki-laki mengenal sistem kepemilikan. Sistem

nomaden (berpindah-pindah) dikenal lebih dulu oleh manusia (terutama laki-laki) sebelum sistem

kepemilikan. Ketika laki-laki-laki mengenal sistem kepemilikan ini, maka, semua hal yang dirasa

dimiliki oleh laki-laki tersebut (harta barang) diturunkan atau diwariskan kepada anak laki-laki yang

segaris dengan ayahnya. Dan garis ibu serta anak perempuan terabaikan. Selain karena sistem

kepemilikan ini, ada juga hal yang memperkuat yaitu, pandangan-pandangan agama Semit (Yahudi,

Kristen, Islam) yang juga memposisikan perempuan selalu ada di bawah laki-laki.

Memang konstruksi sosial terhadap laki-laki dan perempuan yang seperti itu sulit dihilangkan,

tetapi bukan tidak mungkin, itu adalah optimisme yang tertuang di dalam buku nan tipis ini. Sebetulnya,

dengan adanya pandangan patriariki ini, kedua pihak laki dan perempuan sama-sama dirugikan satu

sama lain. Yaitu, dengan adanya konstruksi sosial/gender antara laki-laki yang harus demikian dengan

perempuan yang juga harus demikian, atau sebut saja laki dan perempuan yang ideal sesuai dengan

konstruksi sosialnya, akan menciptakan suatu batas kedirian (saya menyebutnya seperti itu). Laki-laki

harus begini, perempuan harus begini, kalau laki-laki tidak begini berarti bukan laki-laki. Begitu juga

dengan perempuan, kalau perempuan tidak begini berarti bukan perempuan.

Di sisi lain, konstruksi sosial yang melekat pada laki-laki pun (ke-superioritasan) pada akhirnya

akan menjadi pisau bermata dua. Di sisi lain katakanlah dapat menguntungkan untuk si laki-laki, tapi

di sisi lain, ketika konstruksi sosial atas dirinya tersebut tidak tercapai (misalnya; laki-laki harus kuat,

tapi ternyata lemah. Laki-laki harus keras, tapi ternyata lembut) maka si laki-laki tersebut tidak akan

(4)

dirugikan lagi ketimbang laki-laki. Karena, ada ruang dan gerak perempuan yang terpagar akibat

konstruksi tersebut.

Memang di dalam sosial, jika dilihat dari konstruksi sosial, kedudukan laki-laki lebih ‘super’

ketimbang perempuan. Tetapi tidak demikian indahnya. Romantisme citra laki-laki yang mengharuskan

untuk bersifat maskulin, keras, kuat, menafkahi, dan lain sebagainya, tidak seindah itu, tidak se-super

itu. Justru, dengan pandangan yang seperti itu, selain perempuan yang dirugikan, laki-laki pun sama

dirugikan. Jika kita lihat tabel di atas, maka, akan gamblang sekali betapapun jelas menjadi laki-laki

lebih sulit (lihat saja, misalnya, harus menafkahi) daripada perempuan. Karena, cakupan sektor yang

disentuhnya lebih luas dari perempuan (karena perempuan dibatasi sektor/ruangnya). Padahal, laki-laki

dan perempuan toh bisa saling mengisi satu sama lain, tidak perlu terlalu kaku harus begini dan begitu.

Ketika, misalnya, seorang laki-laki yang harus kuat, pemberani, atau pun tegas, maka, ketika

ada salah seorang laki-laki yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka laki-laki tersebut pun akan

menjadi korban yang ditolak oleh masyarakat. Contohnya adalah laki-laki yang sedikit kemayu, tentu

akan disebut sebagai laki-laki yang tidak laki-laki. Atau, ada juga, yang memang berusaha keras untuk

mencapai kriteria-kriteria tersebut. Misalnya kriteria kuat, pemberani, serta tegas. Mereka rela

melakukan apa saja, membunuh, menyiksa, atau apapun. Hal tersebut ditujukan untuk menunjang dan

melegitimasi konstruksi sosial yang menuntutnya untuk menjadi seorang yang kuat, tegas, dan

pemberani. Bila dengan cara tersebut tercapai, maka langgenglah. Tetapi, efek samping dari hal tersebut

adalah dipenjarakan, dihukum, atau apapun. Dan laki-laki dalam hal ini menjadi korban atas konstruksi

tersebut. Untuk lebih jelasnya, dapat membaca bukunya langsung.

Pada akhirnya, buku ini mengajak kita (laki-laki) untuk mengubah cara pikir yang seperti itu.

Cara pikir patriarki yang stereotip. Karena, pada dasarnya nilai-nilai patriarkal pun tidak sama sekali

membuat laki-laki memiliki kedudukan yang superior dibandingkan dengan perempuan yang inferior.

Dengan langgengnya nilai-nilai patriarkal tersebut, akan ada label-label yang justru dapat menjadi

bumerang untuk laki-laki, yang juga di sisi lain merugikan perempuan. Biar sama-sama enak, lebih

baik pandangan yang mengkonstruksi bahwa laki-laki harus begini, dan perempuan harus begini seperti

itu dihilangkan atau di-dekonstruksi.

Atas nama kemanusiaan, perempuan dan laki-laki pada hakikatnya sama (hakikat yang

dimaksud adalah hakikat kedudukan yang dilihat dari konstruksi sosialnya). Yang membedakan

laki dan perempuan cukuplah hanya dilihat dari sudut pandang biologisnya saja. Untuk kedudukan

laki-laki dan perempuan, keduanya sama. Berhak melakukan ini, berhak menjadi itu, berhak ini dan itu,

keduanya memiliki hak yang sama. Atas nama kemanusiaan, keberbedaan konstruksi sosial atas

keduanya harus perlahan diubah. Dan mulailah hidup dengan selaras satu sama lain. Serta, mulailah

(5)

laki-laki dan perempuan yang telah tarpatri di dalam pandangan masyarakat sudah seharusnya

di-dekonstruksi.

Selanjutnya, saya merekomendasikan kalian, khususnya para laki-laki, untuk membaca buku

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapat adalah terjadi interaksi pada rata-rata jumlah daun akibat perlakuan pemberian urea dan urine kelinci pada pengamatan ke-5, pemberian urea

Pertama : Mengangkat Dosen Penanggung Jawab Mata Kuliah Jurusan Kimia FMIPA Unila Semester Genap Tahun Akademik 2018/2019 yang namanya tercantum pada lampiran Surat Keputusan

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 11 Desember 2014, berupa wawancara tentang kerutinan melakukan praktik SADARI setiap bulan kepada

Profil Lulusan Diploma III Keperawatan Indonesia adalah sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan pada individu, keluarga, dan kelompok khusus di tatanan klinik dan komunitas

Maksud, dari membangun teologi yang utuh dalam pelayanan, yang menempatkan manusia secara adil sebagai laki-laki dan perempuan, salah satunya yaitu teologi yang dapat

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih