BAB II
URAIAN TEORITIS KEPARIWISATAAN
2.1 Sejarah Munculnya Pariwisata
Pariwisata dewasa ini adalah sebuah mega bisnis. Jutaan orang
mengeluarkan triliunan dollar Amerika, meninggalkan rumah dan pekerjaan untuk
memuaskan atau membahagiakan diri (pleasure) dan untuk menghabiskan waktu luang (leisure). Hal ini menjadi bagian penting dalam kehidupan dan gaya hidup di negara –negara maju. Namun demikian memosisikan pariwisata sebagai bagian
esensial dalam kehidupan sehari – hari merupakan fenomena yang relatif baru.
Hal ini mulai terlihat sejak berakhirnya Perang Dunia II di saat mana pariwisata
meledak dalam skala besar sebagai salah satu kekuatan sosial dan ekonomi
(MacDonald, dalam Yoeti: 1996)
Sesungguhnya pariwisata telah dimulai sejak dimulainya peradaban
manusia itu sendiri, yang ditandai oleh adanya pergerakan manusia yang
melakukan ziarah atau perjalanan agama lainnya. Namun demikian tonggak –
tonggak sejarah dalam pariwisata sebagai fenomena modern dapat ditelusuri dari
perjalanan Marcopolo (1245-1324) yang menjelajahi Eropa, sampai ke Tiongkok,
untuk kemudian kembali ke Venesia, yang kemudian disusul perjalanan pangeran
Henry (1394-1460), Christoper Colombus (141-1506), dan Vasco DA Gama
(akhir abad XV). Sedangkan sebagai kegiatan ekonomi, pariwisata baru
berkembang pada awal abad ke-19; dan sebagai industri internasional, pariwisata
dimulai tahun 1869 (Crick; Graburn dan Jafari; Pitana dan Gayatri, dalam Yoeti:
Pada zaman prasejarah, manusia hidup berpindah–pindah (nomadism)
sehingga perjalanan yang jauh (tavelling) merupakan gaya dan cara untuk bertahan hidup. Orang primitif sering melintasi tempat yang jauh untuk mencari
makanan, minuman, pakaian, dan iklim yang mendukung kehidupannya (Leiper;
Theobald; MacDonald; dan Wang, dalam Yoeti: 1996). Sejarah panjang dari
nomaden mempengaruhi pikiran manusia sehingga secara tidak sadar membuat
aktivitas perjalanan (travel) secara insting menjadi perilaku yang alamiah. Seiring perjalanan waktu, orang dengan sengaja memperperlakukannya karena aktivitas
tersebut menyenangkan. Pada abad ke-11 sampai abad ke-15 dalam sejarah
peradaban barat, terjadi model baru perjalanan manusia untuk melakukan ziarah
ke tempat khusus untuk alasan religius.
Selanjutnya, abad ke-17 sampai abad ke-20 merupakan era perpindahan
dan perjalanan manusia melintasi negara (internasional) dan benua
(interkontinental). Ini adalah periode migrasi dimana jutaan manusia
meninggalkan satu benua untuk bermukim di benua lain (orang Inggris bermukim
dan menjadi penduduk Australia dan Amerika, orang China menjadi penduduk
Amerika, dan sebagainya). Pendatang tersebut membangun tempat tinggal baru
dan memulai beradaptasi dengan tempat baru seolah–olah sebagai ‘tempat
aslinya’. Beberapa orang yang telah mencapai tingkat kesejahteraan dan
mempunyai waktu luang mulai melakukan perjalanan bukan untuk mencari
tempat bermukim baru, tetapi untuk kesenangan dan mengisi waktu luang, atau
untuk alasan budaya. Fenomena terkhir inilah yang menjadi potret awal lahirnya
menurut Theobald, MacDonald dan Wang (dalam Yoeti: 1996), motivasi orang
berpergian juga bertambah, tidak hanya untuk berwisata tetapi juga untuk
berdagang (ekonomi), perjalanan religius, perang, migrasi, dan keperluan studi.
Istilah tour telah menjadi perbendaharaan kata dalam Bahasa Inggris sejak berabad–abad lalu, yang artinya adalah perjalanan ke suatu tempat yang mana
orang tersebut akan kembali ke titik awal dari mana dia berangkat. Kata tour berasal dari Bahasa Latin (Yunani) yang awalnya berarti ‘alat untuk membuat
lingkaran’. Journal of Tourism History mengklaim bahwa sebuah keluarga di Eropa, de la Tour, di tahun 1500-an mempunyai bisnis memberangkatkan orang. Nama keluarga ini kemudin menjadi istilah genetik untuk tour/tourist (Leiper, dalam Yoeti 1996). Namun istilah tour yang berarti ‘perjalanan’ baru secara luas dikenal dan dipakai setelah abad ke-16.
Beberapa bentuk perjalanan untuk tujuan yang menyenangkan
dikonotasikan dengan tour. Hal ini sedikit berbeda dengan istilah travel yang yang berasal dari kata travail yang secara literal berarti ‘sulit, menyiksa, menyakitkan’ sebagaimana kalimat “I was sorely travailed by my long journey”. Memang, sebelum munculnya alat transportasi modern seperti sekarang ini, perjalanan ke
tempat yang jauh umumnya sangat menyiksa, sulit, dan menyakitkan. Travel
merupakan bentuk dari kerja sedangkan tour yang kemudian menjadi tourism adalah bentuk dari leisure (kegiatan di waktu luang saat tidak ada pekerjaan atau mengambil tanggung jawab sehari–hari), namu keduanya tidaklah bersifat
Sekitar tahun 1740-an di Inggris Raya dan Eropa dikenal istilah Grand Tour yang berarti perjalanan yang cukup panjang tetapi bersifat menyenangkan untuk tujuan pendidikan dan tujuan lain yang bersifat budaya oleh orang muda
dari kelas atas. Oleh karenanya, leisure tour atau tourism dianggap memiliki cikal bakal dari perdaban Barat. Saat ini setiap tahun jutaan orang meniru pola tersebut,
yang secara luas dikenal sebagai kegiatan pariwisata.
Adam Smith (Leiper, dalam Pitana: 2009), seorang ekonom, menambah
akhiran ist ke kata tour untuk membentuk istilah baru di tahun 1770-an. Namun konotasi Adam Smith bersifat negatif dengan menganggap tourist sebagai orang yang mengerjakan sesuatu yang tidak penting sehingga kurang dihargai. Persepsi
Adam Smith disebabkan oleh karena pada zaman tersebut banyak orang
mengikuti ritual Grand Tour di kawasan Prancis dan Itali, yang kemudian kehilangan karakter dan jiwa yang menjadi alasan mengapa perjalanan tersebut
dilakukan. Ritual ini hanya dilakukan untuk mengikuti rute perjalanan yang sudah
ada dalam rangka mendapat pengalaman pribadi melihat situs, kota, dan objek
terkenal. Orang–orang yang diberi label wisatawan ada zaman Adam Smith ini, di
samping tidak tertarik dengan budaya dari tempat yang dikunjungi, jika tinggal
terlalu singkat untuk sekedar memahami sesuatu dibalik apa yang dilihat dalam
perjalanannya.
Umumnya perjalanan yang dilakukan dalam era Grand Tour ini adalah untuk kebutuhan hiburan dalam beragam bentuknya, dan kebanggaan status
dengan kemampuan mengkalim bahwa mereka sudah pernah ke suatu tempat dan
Tahun 1840-an Thomas Cook mulai memberangkatkan sekelompok orang
(group) dalam paket modern atau tour inklusif. Mula–mula dalam wilayah England dan kemudian berkembang di dataran Eropa. Istilah wisatawan di zaman
Adam Smith mulai mendapat sense bari di zaman Thomas Cook ini. Tahun 1840-an merupk1840-an awal dilakuk1840-annya perjal1840-an1840-an jauh deng1840-an menggunak1840-an sistem
transportasi massal.
Pada abad ke-20, khususnya periode tahun 1960 ke 1980, tampak adanya
peningkatan pesat pada jumlah orang yang melakukan perjalanan wisata. Lebih
dari 300 orang juta wisatawan internasional tiap tahunnya di beberapa negara
tujuan wisata. Sejumlah survai mencatat bahwa jumlah orang yang melakukan
perjalanan wisata di negaranya sendiri sebagai wisatawan domestik jauh lebih
besar dari wisatawan internasional.
Bagi Indonesia, jejak pariwisata dapat ditelusuri kembali ke dasawarsa
1910-an, yang ditandai dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, di Batavia. Badan pemerintahan ini sekaligus
juga bertindak sebagai tour operator dan travel agent, yang secara gencar mempromosikan Indonesia, khususnya Jawa – Bali. Pada 1926 berdiri pula, di
Jakarta, sebuah cabang dari Lislind (Lissonne Lindeman) yang pada 1928 berubah menjadi Nitour (Nederlandsche Indische Touriten Bereau), sebagai anak perusahaan pelayaran Belanda (KPM). KPM secara rutin melayani pelayaran yang
menghubungkan Batavia, Surabaya, Bali dan Makasar, dengan mengangkut
2.2 Pengertian Pariwisata
Pariwisata merupakan konsep yang sangat multidimensional layaknya
pengertian wisatawan. Tak bisa dihindari bahwa beberapa pengertian pariwisata
dipakai oleh para praktisi dengan tujuan dan perspektif yang berbeda sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai. Dalam Pitana (2009: 44) beberapa ahli
mendefinisikan pariwisata sebagai berikut:
“Tourism comprises the ideas an opinions people hold which shape their decisions about going on trips, about where to go (and where not to go) and what to do or nor to do, abaout how to relate to other tourists, locals and service personnel. And it is all the behavioural manifestations of those ideas opinions” (Leiper, 1995, dalam Richardson & Flicker, 2004: 6). “The activities of persons travelling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes” (WTO, dalam Richardson & Flicker, 2004: 6).
“The sum of the phenomena and relationship arising from the interaction of tourists, businesses, host governments, and host communities, in the process of attracting and hosting these tourists and other visitor” ( MacIntosh, 1980: 8)
“Tourism is the sum total of the phenomena and relationship arising from the interaction among tourists, business supplier, host goverment, host communities, origin governments, universities, community colleges and non-governenmental organisations, in the process of atracting, transporting, hosting, and managing these tourists and other visitors” (Weaver and Opperman, 2003: 3),
“Tourism is defined as the interrelated system that includes tourist and the associalted services that are propived and utilised (facilities, attractions, transportation, and acomodation) to aid in their movement” (Fannel, 1994: 4).
Definisi pariwisata memang tidak dapat persis sama di antara para ahli, hal
yang memang jamak terjadi dalam dunia akademis, sebagaimana juga bisa
ditemui pada berbagai disiplin ilmu lain.
Meskipun ada variasi batasan, ada beberapa komponen pokok secara
umum disepakati di dalam batasan pariwisata (khususnya pariwisata
internasional), yaitu sebagai berikut:
1. Traveller, yaitu orang yang melakukan perjalanan antar dua atau lebih lokalitas.
2. Visitor, yaitu orang yang melakukan perjalanan ke daerah yang bukan merupakan tempat tinggalnya, kurang dari 12 bulan, dan tujuan
perjalanannya bukanlah untuk terlibat dalam kegiatan untuk mencari
nafkah, pendapatan, dan penghidupan di suatu tempat tujuan.
3. Tourist, yaitu bagian dari visitor yang menghabiskan waktu paling tidak satu malam (24 jam) di daerah yang dikunjungi (WTO, dalam Pitana:
2009).
Semua definisi yang dikemukakan selalu mengandung beberapa unsur
pokok, yaitu:
1. Adanya unsur travel (perjalanan), yaitu pergerakan manusia dari satu
tempat ke tempat lain;
2. Adanya unsur ‘tinggal sementara’ di tempat yang bukan merupakan
3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari
penghidupan/pekerjaan di tempat yang dituju (Richardson and Fluker
2004, dalam Pitana: 2009).
Selanjutnya, Mathieson and Wall (1982, dalam Pitana: 2009) mengatakan
bahwa pariwisata mencakup tiga element utama, yaitu:
1. a dynamic element, yaitu travel ke suatu destinasi wisata ; 2. a static element, yaitu singgah di daerah tujuan, dan
3. a consequential element, atau akibat dari dua hal di atas (khususnya terhadap masyarakat lokal), yang meliputi dampak ekonomi, sosial, dan
fisik dari adanya kontak dengan wisatawan.
2.3 Pengertian Wisatawan
Pengertian umum biasanya dipakai dalam pemikiran dan komunikasi
sehari–hari ketika seseorang mendeskrisikan berbagai perilaku atau perwujudan,
baik orang maupun tempat yang touristy (temat yang banyak dikunjungi orang sehingga dapat dianggap daerah wisata) atau touristic (sifat yang mencerminkan seseorang berprilaku seperti seorang wisatawan). Beberapa kamus mencoba
menstandarisasi pengertian wisatawan tetapi tidak ada yang komprehensif karena
ada terlalu banyak variasi arti dan rujukan. Seseorang mungkin berprilaku seperti
seorang wisatawan, seperti berjalan – jalan sambil melihat pemandangan dan
memotret di sana–sisni. Terlebih lagi kalau, melihat penampilan fisik yang
mencerminkan bahwa orang tersebut adalah pengunjung dari daerah lain dalam
suatu negara atau dari luar negeri.
Sebagian orang mungkin membatasi pengertiannya tentang wisatawan
untuk orang asing, atau pengunjung dari negara lain. Sebagian lagi membatasi
pengertian wisatawan sebagai anggota dari suatu grup yang terorganisasi, yaitu
tour-group. Pengertian yang tumpang tindih ini terjadi karena beberapa pihak menghubungkan wisatawan dengan konotasi perilaku tertentu berdasarkan
berbagai prasangka perilaku yang dapat diamati. Persoalannya adalah berbagai
atribut yang melekat pada prsepsi seseorang untuk mengartikan apakah seseorang
itu wisatawan atau bukan, juga berbeda–beda.
Kata wisatawan (tourist) merujuk pada orang. Secara umum wisatawan menjadi subset atau bagian dari traveller atau visitor. Untuk dapat disebut sebagai wisatawan, seseorang haruslah seorang traveller atau seorang visitor. Seorang visitor adalah seorang traveller, tetapi tidak semua traveller adalah tourist. Traveller memiliki konesp yang lebih luas, yang dapat mengacu kepada orang yang mempunyai beragam peran dalam masyarakat yang melakukan kegiatan
rutin ke tempat kerja, sekolah dan lain sebagainya sebagai aktifitas sehari–hari.
Orang–orang menurut kategori ini tidak dapat dikatakan sebagai tourist.
Theobald (2005, dalam Damanik: 2006) mengemukakan beberapa elemen
yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan apakah seseorang dapat
dikatakan sebagai wisatawan atau tidak menurut standar internasional, yaitu
1. Tujuan perjalanan (purose of trip). Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan selain untuk tujuan bisnis (leisure traveling), walaupun ada kalanya sebuah perjalanan bisnis juga dapat diikuti oleh
kegiatan wisata (non-bisnis).
2. Jarak perjalanan dari tempat asal (distance traveled). Untuk tujuan statistik, ketika memerhitungkan jarak total ulang-alik (round trip) antar tempat tinggal dan tujuan wisata. Umumnya jarak yang dipakai bervariasi
antara 0-160 km (0-100 mil) tergantung ketentuan masing – masing
negara. Oleh karenanya, perjalanan yang dilakukan seseorang, walaupun
bukan untuk bisnis, tetapi bila kurang dari ketentuan yang ditetapkan,
maka orang tersebut tidak akan dihitung sebagai wisatawan.
Lamanya perjalanan (duration of trip). Umumnya definisi mengenai wisatawan yang mencakup perjalanan aling tidak satu matam (over night) ditemat yang menjadi tujuan perjalanan. Namun adakalanya persyaratan ini
dikesampingkan pada kasus perjalanan wisata yang memang didesain kurang dari
24 jam tetapi nyata–nyata berdampak pada kegiatan bisnis pariwisata, sebagai
restoran, atraksi wisata, hotel, dan sebagainya, di daerah tujuan wisata.
2.4 Objek dan Daya Tarik Wisata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang
kepariwisataan menyebutkan bahwa daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang
budaya dan hasil buatan manusia yang menjadi sarana atau tujuan kunjungan
wisatawan.
Daya tarik wisata juga disebut objek wisata merupakan potensi yang
menjadi pendorong kehadiran wisatawan ke suatu daerah tujuan wisata. Menurut
Suwantoro (1997:19) bahwa objek dan daya tarik wisata dikelompokkan atas :
a. Pengusahaan objek dan daya tarik wisata dikelompokkan ke dalam: pengusahaan objek dan daya tarik wisata alam, pengusahaan objek dan daya tarik wisata budaya, pengusahaan objek dan daya tarik wisata minat khusus.
b. Umumnya daya tarik suatu objek wisata berdasar pada:
• Adanya sumberdaya yang dapat menimbulkan rasa senang, indah, nayaman dan bersih.
• Adanya aksesbilitas yang tinggi untuk dapat mengunjunginya. • Adanya ciri khusus/spesifikasi yang bersifat langka.
• Adanya sarana dan prasarana penunjang untuk melayani para wisatawan yang hadir.
• Objek wisata alam mempunyai daya tarik karena keindahan alam, pegunungan, sungai, pantai, pasir, hutan dan sebagainya.
• Objek wisata budaya mempunyai daya tarik tinggi karena memiliki nilai khusus dalam bentuk atraksi kesenian, upacara-upacara adat, nilai luhur yang terkandung dalam suatu objek buah karya manusia pada masa lampau.
c. Pembangunan suatu objek wisata harus dirancang dengan bersumber pada potensi daya tarik yang memiliki objek tersebut dengan mengacu pada kriteria keberhasilan pengembangan yang meliputi berbagai kelayakan.
• Kelayakan Finansial
Studi kelayakan ini menyangkut perhitungan secara komersial dari pembangunan objek wisata tersebut.
• Kelayakan Sosial Ekonomi Regional
Studi kelayakan ini dilakukan untuk melihat apakah investasi yang ditanamkan untuk membangun suatu objek wisata juga akan memilki dampak sosial ekonomi secara regional, dapat menciptakan lapangan pekerjaan, dapat meningkatkan devisa dan sebagainya.
• Layak Teknis
• Layak Lingkungan
Analisis dampak lingkungan dapat dipergunakan sebagai acuan keegiatan pembangunan suatu objek wisata. Pembangunan objek wisata yang mengakibatkan rusaknya lingkungan harus dihentikan pembangunannya. Pembangunan objek wisata buaknlah untuk merusak lingkungan tetapi sekedar memanfaatkan sumberdaya alam untuk kebaikan manusia dan untuk meningkatkan kulitas hidup manusia sehingga menjadi keseimbangan, keselarasan dan keserasian.
2.5 Produk Industri Pariwisata
Produk adalah suatu barang yang ditawarkan pada konsumen untuk
memperoleh pendapatan (income) melalui sistem perdagangan yang umum berlaku. Produk industri pariwisata tidak banyak berbeda dengan komoditi yang
banyak diperdagangkan seperti yang kita ketahui. Dalam perdagangan produk
industri pariwisata, juga berlaku hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply).
Produk industri itu dikemas dari bermacam–macam produk perusahaan
kelompok industri periwisata yang dikonsumsi wisatawan dalam perjalanan
wisata yang dilakukannya. Produk–produk yang membentuk suatu paket wisata
(package tour) itu paling sedikit terdiri dari tempat duduk (seats) di pesawat, kamar hotel (rooms) tempat dimana akan menginap, makanan dan minuman (food and bavarages) di restoran, objek dan atraksi wisata yang akan dikunjungi.
Produk industri pariwisata tersebut merupakan produk line yaitu produk
yang penggunaannya dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Setiap hotel
pesawat (seats), kamar hotel (room), makanan dan minuman (food and beverages) di restoran, hiburan (entertainment), city sighseeing & tours, cenderamata (souvenirshops).
Bila tidak demikian, paket wisata yang dibelinya tidak akan memberikan
kepuasan kepada wisatwan, sehingga tujuan untuk bersenang–senang (to pleasure) yang diinginkan tidak dapat terwujud. Yang perlu kita ketahui dalam paket wisata yang disusun oleh BPW, berapa banyak yang ditambahkan untuk
membentuk paket wisata yang ditemani oleh calon wisatawan. Harus diingat,