• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Manajemen Bencana berbasis komunitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Manajemen Bencana berbasis komunitas "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Nama : Ermawan Prawiroharjo NIM : 125030600111046

PENGELOLAAN MANAJEMEN BENCANA BELAJAR DARI BENCANA LUAPAN LUMPUR SIDOARJO

Lebih dari delapan bulan bencana menyemburnya lumpur panas di Porong Sidoarjo (LuSi) belum ada tanda-tanda mau berhenti bahkan volume air lumpur yang keluar semakin membesar dan meninggi akan membentuk gunung lumpur. Pemunculan LuSi dan peningkatan volume ini akan mengakibatkan konsekuensi kejadian beruntun seperti tabrakan karambol yaitu tenggelamnya sawah, permukiman, jalan tol, pabrik, rel kereta api, jaringan pipa gas industri, jaringan telekomunikasi, jaringan PLN, jaringan pipa air dan infrastruktur lainnya. Konsekuensi selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya pengungsian, pengangguran, rusaknya jaringan telekomunikasi, jaringan PLN, dan jaringan jalan sampai terganggunya perekonomian Jawa Timur. Oleh karenanya penanganannya menjadi sangat rumit, membutuhkan banyak pihak, banyak disiplin ilmu, banyak dana, dan penuh resiko.

Bencana luapan lumpur Sidoarjo merupakan salah satu contoh bencana yang dipicu oleh kegiatan industri (man made disaster) dan menjadi bencana yang luar biasa serta tak terkendali. Hal ini terjadi karena pengeboran yang dilakukan oleh pihak PT Lapindo Brantas telah menembus suatu struktur geologi diapir yang banyak mengandung air asin, lumpur dan gas bertekanan tinggi. Diapir merupakan salah satu jenis struktur geologi, sebagian besar berbentuk seperti cendawan dan terbentuk sebagai akibat adanya tekanan alami dari arah horisontal dan vertikal. Diapir yang sudah keluar dipermukaan bumi baik terjadi alami atau akibat pengeboran disebut gunung lumpur (mud volcano).

Kejadian bencana industri luapan lumpur panas ini merupakan salah satu kasus dari banyak kasus bencana industri yang pernah terjadi di Indonesia. Kita sudah banyak mengalami peristiwa bencana yang dipicu oleh aktivitas manusia seperti beberapa kecelakaan yang pernah terjadi antara lain : (1) Tanggal 5 November 1993 PT. Indorayon Utama, Porsea, Kab. Tapanuli Utara terjadi kebocoran dan ledakan tangki penampung Chlorine, (2) Tahun 1994 PT. Pupuk Iskandar Muda, Lhokseumawe, Kab. Aceh Utara terjadi kebocoran amoniak.(3) Tahun 1995 Tangki BBM di Cilacap, Jateng terjadi ledakan dan kebakaran tanki penimbun BBM, (4) Tanggal 25 Maret 99 PT. Ajinomoto Mojokerto Kebocoran gas amoniak (NH3), (5) Tahun 2002 PG. Ngadirejo Kediri terjadi tumpahan tetes masuk K.Brantas, (6) Tanggal 20 Januari 2004 PT. Petrowidada Gresik terjadi ledakan unit maleic anhydride dan phytalic anhydride, (7) Akhir Mei 2006 PT Lapindo Brantas Inc. Terjadi ”under ground blow out” yang menyebabkan keluarnya lumpur panas di sumur explorasi.

(2)

Industri umumnya sudah mempunyai standar-standar (SOP) khusus pada kondisi emergensi sehingga bila terjadi kecelakaan industri dapat di lokalisir di dalam kawasan industri. Pada kenyataannya beberapa kasus dampaknya meluas melampaui batas-batas kawasan industrinya dan mempengaruhi kawasan di sekitar, seperti berdampak pada permukiman, infrastruktur, lingkungan dan lain sebagianya. Satu contoh tahun 1984 di Bhopal India terjadi kecelakaan industri yang menyebabkan banyak korban dan kemudian disusul kejadian lainnya seperti Sandoz warehouse fire dekat Basel in 1986 yang mengakibatkan kontaminasi berat Sungai Rheine, pecahnya kapal tanker milik Exxon Valdez dan lain sebagainya.

Dampak yang diakibatkan oleh bencana bisa berlangsung singkat maupun sangat lama. Besar kecilnya kerugian dan luasan dampak akibat kecelakaan tersebut sangat tergantung pada reaksi penanganan dini di dalam kawasan industri tersebut dan masyarakat lingkungan yang ada sekitarnya. Tulisan ini mencoba untuk menambah wawasan baru bagi kita untuk segera melakukan perubahan paradigma lama dan membuat bersama-sama paradigma baru untuk saling kerja sama antara industri-pemerintah lokal dan komunitas masyarakat di sekitar industri.

Perencanaan Kedaruratan Terpadu (APELL)

Berdasarkan kejadian bencana yang terkait dengan industri baik di luar negeri maupun di dalam negeri menunjukkan bahwa ada suatu yang kurang pas saat perencanaan kedaruratan pihak industri. Salah satunya keterlibatan komunitas masyarakat lokal di sekitar industri. Keadaan ini bila terus berlanjut akan terjadi distorsi antara pihak industri, pemerintah lokal dan masyarakat, Kita sudah mendengar semuanya bahwa banyak pabrik-pabrik yang mulai bermasalah dengan masyarakat di sekitarnya yang mengakibatkan pabrik-pabrik itu terganggu aktivitasnya seperti ada pelemparan, pencegatan dan pembakaran bahkan masyarakat mulai memblokir dan menduduki pabrik untuk memaksakan tuntunnya (Rakyat P Kangean menduduki instalasi stasiun gas alam Energi Mega Persada di Pulau Kangean dan lain-lain.

(3)

APELL dibentuk tahun 1988 atas dasar banyaknya kejadian kecelakaan industri yang mengakibatkan banyak korban gangguan kesehatan dan kerusakan lingkungan. Prinsip dasar APELL berupaya meningkatkan (1) kesadaran, kepedulian dari masyarakat, industri/ usahawan dan pemerintah daerah maupun pusat, (2) meningkatkan kesiapsiagaan penanggulangan bencana melibatkan seluruh masyarakat, bersama industri dan pemerintah lokal apabila terjadi keadaan darurat akibat kecelakaan atau bencana industri yang mengancam keselamatan lingkungan. Fokus APELL mengutamakan peningkatan kesadaran menghadapi situasi darurat bersama-sama dengan semua pihak stakeholder setempat (lokal) atas adanya dampak yang ditimbulkan.

Pelaksanaan proses APELL akan melibatkan pendudukdan seluruh masyarakat baik lokal, regional, maupun internasional. Batas territorial atau yuridiksi sebaiknya tidak membatasi partisipasi semua unsur yang terkait di dalam proses, sebaliknya menggarisbawahi kebutuhan dalam mengembangkan rancangan penanggulangan keadaan darurat yang terkoordinasi

Ada tiga mitra sangat penting yang harus dilibatkan dalam APELL agar bisa berhasil: 1.Otoritas lokal (pemerintah local). Ini boleh meliputi tingkat provinsi, kabupaten, kota besar atau pejabat kota, yang telah ditetapkan atau dipilih yang bertanggung jawab untuk keselamatan, kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan di wilayah mereka. Otoritas inilah yang berhak melakukan manejemen sumber daya yang dimiliki dalam menghadapi kondisi kedaruratan, sehingga saat terjadi bencana industri seluruh sumber daya yang dipunyai bisa digunakan dengan baik.

2. Industri. Manajer pabrik industri baik milik pemerintah maupun perusahaan pribadi bertanggung jawab atas keselamatan dan pencegahan kecelakaan. Prosedur standar operasi dalam menyiapkan tindakan darurat spesifik di dalam pabrik sudah dipersiapkan dan selalu meninjau ulang (up date). Pemimpin industri yang sedang tumbuh dan berkembang mereka

mempunyai posisi yang terbaik untuk saling berhubungan dengan para pemimpin masyarakat dan otoritas lokal untuk menciptakan kesadaran, dan memberi keterangan yang benar bagaimana fasilitas yang industri beroperasi dan bagaimana bisa mempengaruhi lingkungannya serta siap membantu menyiapkan rencana tanggap darurrat.

3. Komunitas lokal. Terdiri dari mayarakat lokal di sekitar industri dan kelompok yang berminat. seperti organisasi/LSM lingkungan, kesehatan, organisasi sosial, media dan organisasi kegamaan serta pimpinan organisasi bidang pendidikan, yang mewakili konstituen masyarakat. Ada mitra lain yang juga sangat penting misalnya organisasi non pemerintah ( NGO).

APELL memberi informasi dan mendidik cara-cara pengambilan keputusan bagi masyarakat lokal akan adanya ancaman terhadap komunitas mereka. Setelah diketahui adanya potensi resiko akibat kecelakaan industri, maka pemerintah lokal, industri, dan tokoh-tokoh masyarakat segera membentuk kelompok kordinasi. Kelompok kordinasi ini selanjutnya merencanakan 10 langkah aksi yaitu :

Langkah ke 1 Melakukan komitmen bersama-sama. Pada langkah ini tiap stakeholder (pemerintah-industri-komunitas) mengadakan tukar pikiran, saling berterus terang misalnya pihak industri mengemukakan secara detail apa yang mau dilakukan, keuntungan apa yang akan diperoleh untuk daerah itu atau untuk negara dan risiko yang mungkin terjadi serta cara mengurangi risiko. Koordinasikan seluruh usulan dari masing-masing stakeholder sehingga menjadi perencanaan yang terpadu. Langkah ini bisa dilakukan bersamaan dengan perencanaan kawasan industri, sebelum industri didirikan, setelah industri didirikan atau saat dan setelah bencana terjadi.

(4)

ini dilakukan bersama untuk mengidentifikasi ancaman, analisa risiko yang akan terjadi dan untuk mengurangi risiko seminimal mungkin. Bersama-sama membuat peta risiko atau peta bahaya. Ini penting untuk komunitas lokal karena batas-batas peta yang dibuat akan melewati rumah dan tanah mereka sehingga akan mempengaruhi aktivitas mereka.

Langkah 3-7 Perencanaan sistem tanggap darurat. Langkah ini dimaksudkan agar dalam perencanaan yang dibuat tidak melakukan kesalahan-kesalahn yang tidak diinginkan mengingat peta yang dibuat mempunyai konsekuensi gangguan terhadap masyarakat dan infrastruktur di sekitarnya. Pada langkah ini sudah dibentuk satuan tanggap darurat komunitas, tim rescue, sistem komando dan pimpinan komando tiap zonasi peta bahaya.

Suatu contoh mekanisme sistem tanggap darurat terhadap bencana industri seperti tergambar di bawah ini :

.

Tanggap darurat tingkat komunitas

Team tanggap darurat

Perlindungan fisik Emergency Shutdown

Alarm tanda bahaya Alarm bahaya 1

PROSES

Gambar Sistem zonasi keselamatan

Langkah 8-10 Upaya komunikasi, monitoring, sosialisasi dan pendidikan komunitas. Perencanaan final yang sudah disetujui bersama dibuat dalam bentuk tertulis, sederhana, terdistribusi ke semua anggota komunitas, selalu dikomunikasikan, diuji dan selalu dikaji ulang dan diperbaharui.

APELL sebuah contoh atau model penyelesaian yang sudah dikembangkan oleh PBB cukup lama, mungkinkah kita, bangsa Indonesia bisa mengakomodasi program tersebut?.APELL berbeda dengan community development (COMDEV) atau corporate social responsibility (CSR), karena APELL didasarkan pada keadaan darurat yang ditimbulkan oleh industri.

PENERAPAN PERSPEKTIF MANAJEMEN BENCANA

Dalam perspektif manajemen bencana, sengketa lingkungan dapat direduksi dengan melakukan pengurangan total risiko (total risk reduction). Pengurangan risiko total merupakan pada dasarnya adalah menerapkan prinsip kehati-hatian pada setiap tahapan manajemen bencana (disaster management). Manajemen bencana merupakan kegiatan yang meliputi aspek perencanaan dan penanggulangan bencana, pada sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana. Langkah siklus penanggulangan bencana perlu diterapkan secara utuh.

(5)

berpotensi menjadi ancaman (hazard) terhadap keberadaan aset penghidupan dan jiwa manusia. Ancaman tersebut perlahan-lahan maupun tiba-tiba akan berpotensi menjadi sebuah bencana (disaster), sehingga menyebabkan hilangnya jiwa manusia, harta benda dan lingkungan. Kejadian ini terjadi di luar kemampuan adaptasi masyarakat dengan sumber-dayanya. Berkenaan dengan hal tersebut maka perlu dipahami potensi risiko (risk) yang mungkin muncul, yaitu besarnya kerugian atau kemungkinan hilangnya (jiwa, korban, kerusakan dan kerugian ekonomi) yang disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Resiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekwesi suatu bahaya. Jika potensi risiko pada pelaksanaan kegiatan jauh lebih besar dari manfaatnya, maka kehati-hatian perlu dilipat-gandakan.

Upaya mengurangi kerentanan (vulnerability) yang melekat, yaitu sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekwensi (fisik, sosial, ekonomi dan perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana, misalnya: menebang hutan, penambangan batu, membakar hutan.

Siklus penanggulangan bencana yang perlu dilakukan secara utuh. Upaya pencegahan (prevention) terhadap munculnya dampak adalah perlakuan utama. Untuk mencegah banjir maka perlu mendorong usaha masyarakat membuat sumur resapan, dan sebaliknya mencegah penebangan hutan. Agar tidak terjadi kebocoran limbah, maka perlu disusun save procedure dan kontrol terhadap kepatuhan perlakuan. Walaupun pencegahan sudah dilakukan, sementara peluang adanya kejadian masih ada, maka perlu dilakukan upaya-upaya mitigasi (mitigation), yaitu upaya-upaya-upaya-upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Ada 2 bentuk mitigasi, yaitu mitigasi struktural eberupa pembuatan infrastruktur pendorong minimalisasi dampak, serta mitigasi non struktural berupa penyusuan peraturan, pengelolaan tata ruang dan pelatihan.

Usaha-usaha di atas perlu didukung dengan upaya kesiapsiagaan (preparedness), yaitu melakukan upaya untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian langkah-langkah yang tepat, efektif dan siap siaga. Kecenderungan selama ini upaya kesiapsiagaan tidak dilakukan oleh sumber pencemar. PT KAI dan PT IIU dan masyarakat di sekitarnya misalnya, merasa tidak perlu melakukan kesiapsiagaan tergadap kemungkinan pencemaran yang dilakukan olehnya. Misalnya : penyiapan sarana komunikasi, pos komando dan penyiapan lokasi evakuasi. Di dalam usaha kesiapsiagaan ini juga dilakukan penguatan sistem peringatan dini (early warning system), yaitu upaya untuk memberikan tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Upaya ini misalnya dengan membuat perangkat yang akan menginformasikan ke masyarakat apabila terjadi kenaikan kandungan unsur yang tidak diinginkan di sungai atau sumur di sekitar sumber ancaman. Pemberian peringatan dini harus (1) menjangkau masyarakat (accesible), (2) segera (immediate), (3) tegas tidak membingungkan (coherent), (4) bersifat resmi (official)

Pada akhirnya jika bencana dari sumber ancaman terpaksa harus terjadi, maka tindakan tanggap darurat (response), yaitu upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk menanggulangi dampak yang ditimbulkan dan mengurangi dampak lebih besar, terutama berupa penyelamatan korban dan harta benda. Secara sinergis juga diperlukan bantuan darurat (relief), yaitu upaya memberikan bantuan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar berupa : pangan, sandang, tempat tinggal sementara, kesehatan, sanitasi dan air bersih.

(6)

kembali prasarana dan sarana pada keadaan semula. Upaya yang dilakukan bukan sekedar memperbaiki prasarana dan pelayanan dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll) tetapi termasuk fungsi-fungsi ekologis. Upaya tersebut, dalam jangka pendek umumnya terdiri dari usaha rehabilitasi (rehabilitation), yaitu upaya untuk membantu masyarakat memperbaiki rumahnya, fasilitas umum dan fasilitas sosial penting, dan menghidupkan kembali roda perekonomian dan fungsi ekologis setelah bencana terjadi. Penyelesaian masalah lingkungan sejauh ini hanya melakukan tindakan fisik ini, yang umumnya belum menyentuh rehabilitasi fungsi ekologis. Selanjutnya rekonstruksi (reconstruction) merupakan upaya jangka menengah dan jangka panjang guna perbaikan fisik, sosial dan ekonomi untuk mengembalikan kehidupan masyarakat pada kondisi yang sama atau lebih baik dari sebelumnya.

AKAR MASALAH PENYELESAIAN MASALAH

Jika perspektif tersebut dipahami dan bisa diterapkan secara utuh, niscaya permasalahan lingkungan tidak akan terjadi. Setidaknya, akan segera teratasi secara mendasar, sehingga tidak menyisakan masalah yang berpotensi konflik. Kesulitan pemahaman dan penerapan perspektif tersebut dipercaya disebabkan oleh beberapa hal fignifikan.

Akar masalah utama munculnya permasalahan lingkungan dan lambatnya penyelesaian masalah lingkungan disebabkan oleh kesadaran publik atas permasalahan lingkungan yang terjadi selama ini belum optimal. Kesadaran ditingkat masyarakat akan bahaya permasalahan linglungan belum dipahami sebagai suatu hal yang sebenarnya dapat mengancam kelangsungan hidup mereka bahkan ancaman ini dapat berlanjut sampai pada generasi-generasi setelah mereka. Hal ini juga dikarenakan selama ini apa yang mereka ketahui dan pahami lebih banyak pada kewajiban-kewajiban mereka dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman sebenarnya akan hak-hak mereka akibat sosialisasi dan diseminasi informasi mengenai pencemaran juga kurang.

Perhatian pemerintah ataupun aparat yang berwenang dalam melakukan pengelolaan, pengawasan dan pengendalian pencemaran dirasakan masih lemah. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kasus pencemaran, tindakan proaktif dari pemerintah ataupun aparat seperti kepolisian, kejaksaan, ataupun kehakiman sendiri dalam menangani kasus sangat kurang. Keberpihakan pemerintah ataupun aparat lebih condong pada kepentingan investasi ataupun modal, daripada akibat langsung pencemaran tersebut terhadap masyarakat ataupun lingkungan.

Belum adanya langkah sinergis dari pemerintah dan aparat penegak hukum dalam mengatasi permasalahan lingkungan menjadi kendala dalam proses penyelesaian kasus-kasus pencemaran. Peranan pemerintah kota/ kabupaten dalam hal ini kantor Pedal kota atau Kabupaten dan Bapedalda propinsi dalam belum dapat menggambarkan proses penanganan secara jelas. Pola penanganan yang tidak jelas ini pula yang menghambat ditingkat masyarakat untuk berperanserta dalam pengelolaan, pengendalian dan pengawasan terhadap pencemaran.

(7)

terhadap kasus lingkungan seharusnya dilakukan segera setelah adanya informasi tentang masalah itu sendiri tanpa harus adanya aduan dari masyarakat yang menjadi korban, karena sebenarnya kasus lingkungan bukan merupakan delik aduan. Selain itu juga porsi penyelesaian kasus-kasus lingkungan yang bukan sebagai kasus prioritas dikalangan penegak hukum berakibat pada lamanya proses penyelesaian kasus.

REKOMENDASI

Penanganan masalah lingkungan secara menyeluruh, baik melalui mengurangi dampak maupun menghilangkan penyebab, bukan pekerjaan yang sederhana. Para pelaku pekerja lingkungan perlu melakukan transformasi manajemen secara menyeluruh dan sinergis, baik secara struktural maupun proses. Individu, keluarga, komunitas dan unit sosial yang lebih tinggi, maupun pemerintah daerah dan pusat perlu melakukan transformasi perilaku, kebijakan, hukum dan institusi. Direkomendasikan para pihak melakukan penanganan masalah lingkungan dengan mereduksi kerentanan dan kondisi tidak aman, tekanan-tekanan dinamis dan akar permasalahan.

Pada akhirnya yang diperlukan adalah kemampuan dan keseriusan masyarakat dan pemerintah menerapkan perspektif manajemen lingkungan dalam setiap kebijakan dan praktek pengelolaan sumberdaya. Hal tersebut baru bisa diwujudkan apabila masyarakat dan pemerintah memahami permasalahan lingkungan secara utuh. Dan akhirnya, marilah masalah lingkungan ini kita tangani secara selaras dan sinergis. Bangunan keselarasan antara penanganan sebab dan dampak masih diperlukan, selama masalah lingkungan itu hadir.

Gambar

Gambar  Sistem zonasi keselamatan

Referensi

Dokumen terkait

Yang hendak dibuktikan dalam makalah ini adalah banyak teks-teks eskatologis atau tentang akhir zaman dalam Alkitab khususnya Perjanjian Baru sangat dipengaruhi oleh

Seorang mukmin yang sejati tidak akan pernah merasa puas apabila ia hanya berada pada tahap menghampirkan diri kepada Allah dengan jalan mengerjakan segala yang fardu sahaja, tetapi

Dengan memperhatikan teori dan hasil-hasil penelitian yang relevan maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan STEM dengan integrasi model PjBL dapat memperbaiki kemampuan kognitif

Menyusun daftar pertanyaan atas hal-hal yang belum dapat dipahami dari kegiatan mengmati dan membaca yang akan diajukan kepada guru berkaitan dengan materi Kehidupan politik pada

a) Pembelajaran masih gaduh dan kurang terkendali saat pada saat siswa mulai diminta untuk membuat materinya sendiri dengan menggunakan metode mind mapping. b) Guru masih kaku

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian eksperimen yang berjudul "Pengaruh Perbandingan

Kondisi dari pure bundling inilah yang kemudian dapat dikatakan memiliki kesamaan dengan suatu konsep tying agreement, dimana jika dilihat definisi dari tying agreement, pada

Hal ini mengindikasikan bahwa usia dan masa kerja berpengaruh positif terhadap hubungan antara kompensasi dan employee engagement tetapi sama sekali tidak