TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Irigasi
Irigasi atau pengairan adalah suatu usaha untuk memberikan air guna
keperluan pertanian yang dilakukan dengan tertib dan teratur untuk daerah
pertanian yang membutuhkannya dan kemudian air itu dipergunakan secara tertib
dan teratur dan dibuang ke saluran pembuang. Pengairan selanjutnya diartikan
sebagai pemanfaatan serta pengaturan air dan sumber-sumber air yang meliputi
irigasi, pengembangan daerah rawa, pengendalian dan pengaturan banjir, serta
usaha perbaikan sungai, waduk dan penyediaan air minum, air perkotaan dan air
industri (Ambler, 1991).
Sebagian besar sumber air untuk irigasi adalah air permukaan yang berasal
dari air hujan dan pencairan salju. Air ini secara alami mengalir di sungai-sungai
yang membawanya ke laut. Jika dimanfaatkan untuk irigasi, sungai dibendung dan
dialirkan melalui saluran-saluran buatan ke daerah pertanian atau air terlebih
dahulu ditampung di dalam waduk yang selanjutnya dialirkan secara teratur
melalui jaringan irigasi ke daerah pertanian. Adapun faktor-faktor yang
menentukan pemilihan metode pemberian air irigasi adalah distribusi musiman
hujan, kemiringan lereng dan bentuk permukaan lahan, suplai air, rotasi tanaman
dan permeabilitas tanah lapisan bawah. Metode pendistribusian air irigasi dapat
dibagi menjadi irigasi permukaan, irigasi lapisan bawah, sprinkler, drip atau trickle (Hakim, dkk., 1986).
Berdasarkan sudut pandangnya irigasi dikelompokan menjadi irigasi aliran
dan irigasi angkat yang lebih dikenal dengan sebutan irigasi pompa. Irigasi aliran
persawahan dilakukan dengan cara pengaliran. Sedangkan irigasi angkat adalah
tipe irigasi yang penyampaian airnya ke areal pertanaman dilakukan dengan cara
pemompaan, bangunan airnya berupa pompa bukan bendungan atau waduk
(Dumairy, 1992).
Jaringan Irigasi
Pasandaran (1991) mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi empat jenis
berdasarkan segi konstruksi jaringan irigasinya, yaitu:
1. Irigasi sederhana
adalah sistem irigasi yang sistem konstruksinya dilakukan dengan
sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur
sehingga air irigasinya tidak teratur dan efisiensinya rendah.
2. Irigasi setengah teknis
adalah suatu sistem irigasi dengan konstruksi pintu pengatur dan alat
pengukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya
sedang.
3. Irigasi teknis
adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi alat pengatur dan pengukur air
pada bangunan pengembalian, bangunan bagi dan bangunan sadap
sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap sehingga
diharapkan efisiensinya tinggi.
4. Irigasi teknis maju
adalah suatu sistem irigasi yang airnya dapat diatur dan terukur pada
Di dalam peraturan yang ada (PP No 20/2006) dikemukakan pengertian
jaringan irigasi adalah saluran, bangunan dan bangunan pelengkapnya yang
merupakan satu kesatuan yang diperlukan untuk penyediaan, pembagian,
pemberian, penggunaan dan pembuangan air irigasi. Selanjutnya secara
operasional dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu jaringan irigasi primer,
sekunder dan tersier. Dari ketiga kelompok jaringan tersebut, yang langsung
berfungsi sebagai prasarana pelayanan air irigasi ke dalam petakan sawah adalah
jaringan irigasi tersier yang terdiri dai saluran tersier, saluran kuarter dan saluran
pembuang serta bangunan pelengkapnya (Direktorat Jendral Pengairan, 1986).
Debit Air
Debit air adalah suatu koefisien yang menyatakan banyaknya air yang
mengalir dari suatu sumber persatuan waktu, biasanya diukur dalam satuan liter
per detik. Pengukuran debit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain:
1. Pengukuran debit dengan bendung
2. Pengukuran debit berdasarkan kerapatan larutan obat
3. Pengukuran kecepatan aliran dan luas penampang melintang, dalam hal ini
untuk mengukur kecepatan arus digunakan pelampung atau pengukur arus
dengan kincir
4. Pengukuran dengan menggunakan alat-alat tertentu seperti pengukuran
arus magnetis dan pengukuran arus gelombang supersonis
(Dumairy, 1992).
Pengukuran debit air dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak
tentang kecepatan aliran (v) dan luas penampang aliran (A), sehingga terdapat
rumus pengukuran debit air sebagai berikut:
Q = v x A ...(1)
dimana: Q = debit air (m3/detik)
v = kecepatan aliran (m/detik)
A = luas penampang aliran (m2).
Tentang kecepatan aliran dapat diukur dengan pelampung (metode pelampung),
dengan alat ukur (current meter) atau dengan menggunakan rumus. Pengukuran kecepatan aliran dengan pelampung (float method) dapat dengan mudah dilakukan walaupun keadaan permukaan air sungai tinggi dan selain itu karena dalam
pelaksanaanya tidak dipengaruhi oleh kotoran atau kayu-kayuan yang
terhanyutkan, maka cara inilah yang sering digunakan. Tempat yang sebaiknya
dipilih untuk pengukuran kecepatan aliran yaitu bagian sungai atau saluran yang
lurus dengan dimensi seragam, sehingga lebar permukaan air dapat dibagi
kedalam beberapa bagian dengan jarak lebar antara 0,25 m sampai 3 m atau lebih
tergantung lebar permukaan. Pada setiap bagian lebar tadi diapungkan suatu
pelampung, waktu mengalirnya dicatat/diukur dengan stopwatch, dengan cara demikian dihitung kecepatan aliran dan selanjutnya diadakan perhitungan debit
yaitu: kecepatan aliran x luas penampang melintangnya. Kecepatan rata-rata aliran
pada penampang bagian sungai atau saluran yang diukur adalah kecepatan
pelampung permukaan dikalikan dengan koefisien 0,70 atau 0,90 tergantung dari
keadaan sungai saluran dan arah angin, koefisien yang sering digunakan 0,8. Alat
aliran pada keadaan air sungai sedang membanjir karena hasilnya akan kurang
teliti (Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Menurut Asdak (1995) pengukuran debit aliran yang paling sederhana
dapat dilakukan dengan metode apung. Caranya dengan menempatkan benda yang
tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan
mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari suatu
titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan. Kecepatan aliran
juga bisa diukur dengan menggunakan alat ukur current meter.
Alat ukur arus adalah alat untuk mengukur kecepatan aliran. Apabila alat
ini ditempatkan pada suatu titik kedalaman tertentu maka kecepatan aliran pada
titik tersebut akan dapat ditentukan berdasarkan jumlah pengukuran dan lamanya
pengukuran. Apabila keadaan lapangan tidak memungkinkan untuk melakukan
pengukuran dengan menggunakan alat ukur arus maka pengukuran dapat
dilakukan dengan alat pelampung. Alat pelampung yang digunakan dapat
mengapung seluruhnya atau sebagian melayang dalam air (Lubis, dkk., 1993).
Debit air juga dapat diukur secara langsung dengan menggunakan sekat
ukur tipe Cipolleti atau Thomson (Segitiga 90o). Persamaan Cipolleti yang
menunjukkan pengaliran adalah:
Q = 0.0186 LH3/2 ...(2)
Dimana Q dalam liter tiap detik, L dan H adalah dalam sentimeter. Untuk sekat
ukur segitiga 90o (tipe Thomsom) persamaannya adalah:
Q = 0.0138 H5/2...(3)
Sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) baik digunakan untuk pengukuran aliran
yang tidak lebih dari 112 l/det atau aliran dengan debit relatif kecil, selain itu
sekat ukur segitiga 90o (tipe Thomson) juga sangat mudah konstruksi dan
pengaplikasiannya (Lenka, 1991).
Kehilangan Air
Agar suatu areal lahan pertanian mendapatkan air pengairan yang cukup,
maka dalam memperkirakan kebutuhan airnya perlu diperhatikan berbagai faktor
yang berpengaruh atas kebutuhan dan ketersediaan airnya seperti: jenis dan sifat
tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim, keadaan topografi, luas areal
pertanaman dan kehilangan air selama pengairan dan penyalurannya. Kehilangan
air pengairan selama penyaluran antara lain disebabkan oleh: evaporasi,
evapotranspirasi, perkolasi perembesan dan kebocoran
(Kartasapoetra dan Sutedjo, 1994).
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi merupakan gabungan proses evaporasi dan transpirasi.
Evaporasi adalah peristiwa air menjadi uap naik ke udara dan berlangsung terus
menerus dari permukaan air, permukaan tanah, padang rumput, persawahan, hutan
dan lain-lain, sedangkan transpirasi adalah peristiwa perpindahan air dari tanah ke
atmosfer melalui akar, batang dan daun (Sosrodarsono dan Takeda, 1985).
Di lapangan proses evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersamaan dan
sulit dipisahkan satu dengan lainnya. Oleh karena itu kehilangan air akibat kedua
evapotranspirasi merupakan jumlah air yang diperlukan tanaman
(Islami dan Wani, 1995).
Kebutuhan air tanaman yaitu jumlah air yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan evapotranspirasi tanaman agar tanaman dapat tumbuh dengan baik atau
kebutuhan air tanaman adalah sejumlah air yang dibutuhkan untuk mengganti air
yang hilang akibat penguapan. Pengaruh karakteristik tanaman terhadap
kebutuhan air tanaman diberikan oleh koefisien tanaman (Kc) yang menyatakan
hubungan antara ETo dengan ET tanaman. Nilai Kc beragam tergantung terhadap
jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman (Suroso, 2010).
Michael (1978) menyatakan hubungan antara nilai F dengan
evapotranspirasi potensial, menggambarkan suhu untuk daerah dengan sedikit
varietas tanaman. Faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi
tanaman, sehingga hubungan antara F dalam persamaan Blaney dan Criddle,
dimana t dalam (℃) dapat dihitung dengan persamaan:
F=P (0,46 t +8,13)
Sehingga menurut Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) persamaan untuk
menentukan nilai evapotranspirasi, yaitu:
U =K P (45,7 t+813)
100 ...(4)
K = Kt × Ke
Kt = 0,311 t + 0,240
Dimana: U = evapotranspirasi bulanan (mm)
t = suhu rata-rata bulanan (℃)
Ke = koefisien tanaman
Persamaan ini merupakan persamaan yang penggunaannya lebih luas dalam
menentukan nilai evapotranspirasi. Ciri khas persamaan Blaney Criddle yaitu
dengan memperhitungkan koefisien tanaman.
Doorenbos and Pruitt (1984) menolak penggunaan koefisien tanaman (K)
secara normal dalam persamaan Blaney-Criddle karena nilai koefisien tanaman
(K) bergantung pada kondisi lokal dan variasi yang begitu banyak membuat
pemilihan nilai menjadi sulit, hubungan antara nilai f dan evapotranspirasi
potensial yang dikemukakan Blaney-Criddle cukup menggambarkan cakupan luas
dari suhu untuk daerah yang memiliki sedikit varietas dengan kelembapan relatif
dan ketika nilai evapotranspirasi potensial ditemukan dengan menggunakan
metode standart, faktor tanaman dapat menentukan nilai evapotranspirasi tanaman
sehingga diperoleh hubungan faktor f dalam persamaan Blaney-Criddle.
f = p (0,46t + 8,13) t dalam oC
atau
f = 25,4 txp
100 t dalam
o
F...(5)
dimana:
t = rata-rata suhu maksimum dan minimum dalam oC atau oF dalam bulan yang
ditentukan.
p = rata-rata persentase jam siang hari tahunan untuk garis lintang dan bulan yang
ditentukan.
Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air ke bawah dari zona tidak jenuh yang terletak
di antara permukaan tanah sampai ke permukaan air tanah (zona jenuh). Daya
dipengaruhi oleh kondisi tanah dalam zona tidak jenuh, yang terletak di antara
permukaan tanah dengan permukaan air tanah (Soemarto, 1995).
Salah satu cara menentukan laju perkolasi di lapangan adalah dengan
metode silinder. Pengukuran dengan metode silinder yaitu dengan membenamkan
pipa ke tanah sedalam 30 – 40 cm, lalu diisi air setinggi 10 cm (h1). Laju perkolasi
dihitung dengan rumus:
P = h1- h2
t1- t2 mm/hari...(6)
Dimana: P = laju perkolasi (mm/hari)
h1-h2 = beda tinggi air dalam sulinder waktu t1 dan t2 (mm)
t1-t2 = selisih waktu pengamatan tinggi air (hari)
(Hariyanto, 1987).
Rembesan
Rembesan air dari saluran irigasi merupakan persoalan yang serius. Bukan
hanya kehilangan air, melainkan juga persoalan drainase adalah kerap kali
membebani daerah sekitarnya yang lebih rendah. Kadang-kadang air merembes
keluar dari saluran masuk kembali ke sungai yang di lembah dimana air ini tidak
dapat diarahkan kembali atau masuk ke suatu aquifer yang dipakai lagi. Metode yang sangat umum digunakan dalam pengukuran rembesan adalah metode inflow-outflow terdiri dari pengukuran aliran yang masuk dan aliran yang keluar dari suatu penampang saluran yang dipilihnya. Ketelitian cara ini meningkat dengan
perbedaan antara hasil banyaknya aliran masuk dan aliran keluar
(Hansen, dkk., 1992).
Kartasapoetra dan Sutedjo (1994) menyatakan bahwa perembesan air dan
(horisontal) terutama terjadi pada saluran-saluran pengairan yang dibangun pada
tanah-tanah tanpa dilapisi tembok, sedang pada saluran yang dilapisi (kecuali
dalam keadaan retak-retak) kehilangan air sehubungan dengan terjadinya
perembesan dan kebocoran tidak terjadi. Untuk menghitung kehilangan air
pengairan sehubung dengan berlangsungnya perembesan pada saluran
pengairannya, berdasarkan cara empiris yaitu dengan menghitung konduktivitas
hidrolik tanah, kamiringan saluran serta beberapa parameter.
Untuk menghitung besarnya nilai rembesan dapat digunakan rumus
sebagai berikut:
Rembesan = kehilangan air di saluran–(Evapotranspirasi+Perkolasi)...(7)
Efisiensi Irigasi
Efisiensi pengairan merupakan suatu rasio atau perbandingan antara
jumlah air yang nyata bermanfaat bagi tanaman yang diusahakan terhadap jumlah
air yang tersedia atau yang diberikan dinyatakan dalam satuan persentase. Dalam
hal ini dikenal tiga macam efisiensi, yaitu efisiensi penyaluran air, efisiensi
pemberian air dan efisiensi penyimpanan air (Dumairy, 1992).
Jumlah air yang tersedia bagi tanaman di areal persawahan dapat
berkurang karena adanya evaporasi permukaan, limpasan air dan perkolasi.
Efisiensi irigasi adalah perbandingan antara air yang digunakan oleh tanaman atau
yang bermanfaat bagi tanaman dengan jumlah air yang tersedia yang dinyatakan
dalam satuan persen (Lenka, 1991).
Konsep efisiensi pemberian air irigasi yang paling awal untuk
mengevaluasi kehilangan air adalah efisiensi saluran pembawa air. Kebanyakan
disalurkan sering berlebihan. Efisiensi saluran pembawa yang diformulasikan
untuk mengevaluasi kehilangan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
Ee=100× Wf
Wr...(8)
Dimana: Ee = efisiensi saluran pembawa air
Wf = air yang dialurkan ke sawah
Wr = air yang diambil dari sungai/waduk
(Susanto, 2006).
Menurut Direktorat Sumber Daya Air (2010), pada umumnya kehilangan
air di jaringan irigasi dapat dibagi-bagi sebagai berikut 12,5 % sampai 20 % di
petak tersier (antara bangunan sadap tersier dan sawah) 5 % sampai 10 % di
saluran sekunder dan 5 % sampai 10 % di saluran utama.
Efisiensi irigasi dapat ditingkatkan dengan penjadwalan irigasi.
Penjadwalan irigasi berarti perencanaan waktu dan jumlah pemberian air irigasi
sesuai dengan kebutuhan air tanaman. Suplai air yang terbatas dapat menurunkan
produksi tanaman, sedangkan suplai air yang berlebih selain dapat menurunkan
produksi tanaman juga dapat meningkatkan jumlah air irigasi yang hilang dalam
bentuk perkolasi (Raes, 1987).
Kemiringan
Tepi saluran tanah biasanya dibuat miring sedemikian rupa seperti
kemampuan tanah berdiri bila keadaan basah. Kemiringan tepi berbeda dari tiga
horizontal dan satu vertikal (bagi material yang sangat stabil). Hubungan antara
kedalamannya atau dapat sepuluh kali atau lebih besar dari kedalamannya.
Potongan melintang hidrolik terbaik pada keadaan bangunan yang sesuai adalah:
b = 2d tan θ
2...(9)
(Hansen, dkk., 1992)
Mawardi (2007) menyatakan bahwa dalam desain hidrolik sebuah saluran
pembawa terdapat dua parameter pokok yang harus ditentukan apabila kapasitas
rencana yang diperlukan sudah diketahui, yaitu:
1. Perbandingan kedalaman air dengan lebar dasar
2. Kemiringan memanjang saluran
Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf muka air
yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan tinggi
air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan kehilangan
tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan talud
saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya
rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah
lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5-2,5. Untuk jenis tanah pasir
lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25.
Sifat Fisik Tanah
Sifat fisik tanah merupakan sifat tanah yang berhubungan dengan
bentuk/kondisi tanah asli, yang termasuk diantaranya adalah tekstur, struktur,
porositas, stabilitas, konsistensi warna maupun suhu tanah. Sifat tanah berperan
dalam aktivitas perakaran tanaman, baik dalam hal absorbsi unsur hara, air
maupun oksigen juga sebagai pembatas gerakan akar tanaman
Tekstur Tanah
Ukuran relatif partikel tanah dinyatakan dalam istilah tekstur, yang
mengacu pada kehalusan atau kekerasan tanah. Lebih khasnya tekstur adalah
perbandingan relatif pasir, debu dan tanah liat. Partikel debu terasa halus seperti
tepung dan mempunyai sedikit kecenderungan untuk saling melekat atau
menempel pada partikel lain. Tanah dengan kapasitas terbesar untuk menahan air
melawan tarikan gravitasi merupakan ciri utama tanah liat. Tanah berdebu
mempunyai kapasitas besar untuk menyimpan air yang tersedia untuk
pertumbuhan tanaman. Pada tanah yang bertekstur lebih halus, kadar air pada
tegangan air yangsama lebih tinggi dibandingkan tanah bertekstur kasar. Dengan
demikian tanah bertekstur halus lebih kuat menahan air dibanding tanah yang
bertekstur kasar (Foth, 1994).
Menurut Hanafiah (2005), berdasarkan kelas teksturnya maka tanah
digolongkan menjadi tanah bertekstur kasar atau tanah berpasir, berarti tanah yang
mengandung minimal 70 % pasir yaitu bertekstur pasir atau pasir berlempung.
Tanah bertekstur halus atau kasar berliat, berarti tanah yang mengandung minimal
37,5 % liat atau bertekstur liat, liat berdebu atau liat berpasir. Tanah bertekstur
sedang atau tanah berlempung, terdiri dari tanah bertekstur sedang tetapi agak
kasar meliputi tanah yang bertekstur lempung berpasir (sandy loam) atau lempung berpasir halus, tanah bertekstur sedang meliputi yang bertekstur berlempung
Hubungan tekstur tanah dengan daya menahan air dan ketersediaan hara
tanah yaitu tanah dengan tekstur liat mempunyai luas permukaan yang lebih besar
sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi, sebaliknya
tanah yang bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang kecil sehingga sulit
menyerap (menahan) air dan unsur hara. Tanah bertesktur halus lebih aktif dalam
reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar (Hadjowigeno 2007).
Tanah berpasir memiliki porositas rendah (< 40 %), sebagian besar ruang
pori berukuran besar sehingga aerasinya baik, daya hantar air cepat, tetapi
kemampuan menyimpan air dan zat hara rendah. Tanah liat memiliki porositas
yang relatif tinggi (60 %), tetapi sebagian besar merupakan pori berukuran kecil
sehingga daya hantar air sangat lambat dan sirkulasi udara kurang lancar.
Kemampuan menyimpan air dan hara tanaman tinggi. Tanah berlempung
merupakan tanah dengan proporsi pasir, debu dan liat sedemikian rupa sehingga
sifatnya berada diantara tanah berpasir dan berliat. Jadi aerasi dan tata udara serta
air cukup baik, kemampuan menyimpan dan menyediakan air untuk tanaman
tinggi (Islami dan Wani, 1995).
Kerapatan Massa Tanah (Bulk Density)
Kerapatan massa adalah berat per unit volume tanah yang dikeringkan
dengan oven yang biasanya dinyatakan dalam g/cm3. Setiap perubahan dalam
struktur tanah mungkin untuk mengubah jumlah ruang-ruang pori dan juga berat
per unit volume (Foth, 1994).
ρb= Ms
Vt = Ms
Vs+Va+Vw ……….(10)
𝜌𝜌b = kerapatan massa (bulk density) (g/cm3) Ms = massa tanah (g)
Vt = volume total tanah (volume ring) (cm3)
Tanah yang lebih padat mempunyai bulk density yang lebih besar. Pada tanah mineral bagian atas mempunyai kandungan bulk density yang lebih rendah dibandingkan tanah dibawahnya. Bulk density dilapangan tersusun atas tanah-tanah mineral yang umumnya berkisar 1,0 – 1,6 g/cm3. Tanah organik memiliki
nilai bulk density yang lebih rendah, misalnya dapat mencapai 0,1 – 0,9 g/cm3 pada bahan organik. Bulk density atau kerapatan massa tanah banyak
mempengaruhi sifat fisik tanah, seperti porositas, kekuatan, daya dukung,
kemampuan tanah menyimpan air drainase dan lain-lain. Sifat fisik tanah ini
banyak bersangkutan dengan penggunaan tanah dalam berbagai keadaan
(Hardjowigeno, 2003).
Bulk density sangat berhubungan dengan particle density, jika particle density tanah sangat besar maka bulk density juga besar. Hal ini dikarenakan partikel density berbanding lurus dengan bulk density, namun apabila tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi maka partikel density dan bulk density akan rendah. Dapat dikatakan bahwa particle density berbanding terbalik dengan kadar air. Hal ini terjadi jika suatu tanah memiliki tingkat kadar air yang tinggi dalam
menyerap air tanah, maka kepadatan tanah menjadi rendah karena pori-pori di
dalam tanah besar sehingga tanah yang memiliki pori besar akan lebih mudah
memasukkan air di dalam agregat tanah (Hanafiah, 2005).
dipengaruhi oleh tekstur tanah, kandungan bahan organik tanah, dan struktur
tanah atau lebih khusus bagian rongga pori tanah. Nilai porositas pada tanah
pertanian bervariasi dari 40 % sampai 60 %.
Menurut Nurmi, dkk (2009) nilai bulk density berbanding terbalik dengan ruang pori total tanah. Nilai bulk density yang tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut lebih padat dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki nilai bulk density yang lebih rendah. Semakin padat suatu tanah, volume pori pada tanah tersebut semakin rendah. Mustofa (2007) menyatakan bahwa nilai bobot isi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik,
pemadatan oleh alat-alat pertanian, tekstur, struktur, kandungan air tanah, dan
lain-lain. Pengolahan tanah yang sangat intensif akan menaikkan bobot isi. Hal ini
disebabkan pengolahan tanah yang intensif akan menekan ruang pori menjadi
lebih sedikit dibandingkan dengan tanah yang tidak pernah diolah.
Kerapatan Partikel Tanah (Particel Density)
Kerapatan partikel tanah menunjukkan perbandingan antara massa tanah
kering terhadap volume tanah kering dengan persamaan :
𝜌𝜌s =
Ms
Vs ………(11)
Dimana,
𝜌𝜌s = Kerapatan partikel (g/cm3)
Vs = Volume tanah (cm3)
(Hilel, 1981).
Besarnya kerapatan partikel tanah pertanian bervariasi diantara 2,2 g/cm3
sampai 2,8 g/cm3, dipengaruhi terutama oleh kandungan bahan organik tanah dan
menyebabkan tanah mempunyai bobot jenis partikel (particel density) rendah. Tanah Andosol misalnya, nilai kerapatan partikel hanya 2,2 – 2,4 g/cm3
(Islami dan Wani, 1995).
Kandungan bahan organik di dalam tanah sangat mempengaruhi kerapatan
butir tanah. Semakin banyak kandungan bahan organik yang terkandung dalam
tanah, maka makin kecil nilai kerapatan partikelnya. Selain itu, dalam volume
yang sama, bahan organik memiliki berat yang lebih kecil daripada benda padat
tanah mineral yang lain. Sehingga jumlah bahan organik dalam tanah
mempengaruhi kerapatan butir. Akibatnya tanah permukaan kerapatan butirnya
lebih kecil daripada sub soil. Dengan adanya bahan organik, menyebabkan nilai kerapatan partikelsemakin kecil (Hanafiah, 2005).
Porositas Tanah
Porositas adalah proporsi ruang pori total (ruang kosong) yang dapat
ditempati oleh udara dan air, serta merupakan indikator kondisi drainase dan
aerasi tanah. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori-pori kasar (makro) dan
pori-pori halus (mikro). Pori-pori kasar berisi udara atau air gravitasi (air yang
mudah hilang karena gaya gravitasi), sedangkan pori-pori halus berisi air kapiler
atau udara. Tanah-tanah pasir mempunyai pori-pori kasar lebih banyak daripada
tanah liat. Tanah yang banyak mengandung pori-pori kasar sulit menahan air
sehingga tanahnya mudah kekeringan. Tanah liat mempunyai pori total (jumlah
pori-pori makro + mikro) lebih tinggi daripada tanah pasir (Hardjowigeno, 2007).
Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan
tekstur tanah. Porositas tanah tinggi jika kandungan bahan organik tinggi. Tanah
tanah-tanah dengan struktur massive/pejal. Tanah bertekstur kasar (pori makro) memiliki porositas lebih kecil daripada tanah bertekstur halus (pori mikro),
sehingga sulit menahan air (Hardjowigeno, 2007).
Pengaruh pemadatan terhadap permeabilitas tanah adalah memperlambat
permeabilitas tanah karena pori kecil yang menghambat gerakan air tanah makin
meninggi. Selanjutnya permeabilitas akan meningkat bila: 1) agregasi butir-butir
tanah menjadi remah, 2) adanya bahan organik, 3) terdapat saluran bekas lubang
yang terdekomposisi, dan 4) porositas tanah yang tinggi. Pengaruh pemadatan
terhadap permeabilitas tanah terjadi karena pori kecil yang menghambat gerakan
air meningkat (Sarief, 1989).
Untuk menghitung persentase ruang pori (θ) yaitu dengan
membandingkan nilai kerapatan massa dan kerapatan partikel dengan persamaan:
θ = �1-Bd
Pd�
×100%...(12)
Dimana: θ = porositas (%)
Bd = Kerapatan massa (g/cm3)
Pd = Kerapatan partikel (g/cm3)
(Hansen, dkk, 1992).
Bahan Organik Tanah
Bahan organik adalah segala bahan-bahan atau sisa-sisa yang berasal dari
tanaman, hewan dan manusia yang terdapat di permukaan atau di dalam tanah
dengan tingkat pelapukan yang berbeda (Hasibuan, 2006). Bahan organik
merupakan bahan pemantap agregat tanah yang baik. Bahan organik merupakan
salah satu bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisik,
Kohnke (1968) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai
sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, membantu keharaan tanaman
melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya,
menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan
agregat-agregat tanah, memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, serta
membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.
Rancangan Saluran
Kegiatan perencanaan diharapkan untuk dapat mencapai sasaran dengan
jalan mengembangkan jaringan-jaringan pengairan, baik jaringan-jaringan utama
maupun jaringan-jaringan tersier. Jaringan-jaringan tersier ini lah yang nantinya
akan melaksanakan kewajiban-kewajiban.
a. Membagi air secara merata dan adil ke sawah-sawah, sehingga sawah yang
jauh dari pintu penyadap pun dapat pula menerima air.
b. Bila ternyata keadaan air pengairan berkurang, melalui saluran tersier ini
dapat dibagi-bagi secara bergilir (rotasi) kepada saluran-saluran sub
tersier/petak-petak tersier.
c. Menampung dan membuang kelebihan air (air hujan dan sebagainya) agar
tidak mengganggu pertumbuhan tanaman.
Dengan adanya efisiensi penggunaan air dari pengairan, maka tidak mustahil
kemungkinan dapat terjadinya peningkatan luas areal padi pada musim kemarau.
Dalam pengembangan jaringan pengairan/irigasi tersier diperlukan
perencanaan-perencanaan yang matang dan terarah. Kegiatan perencanaan-perencanaan tersier meliputi
kegiatan pembuatan rencana pendahuluan sebelum disesuaikan dengan keadaan
pengukuran profil saluran melintang dan memanjang. Akhirnya penentuan disain
capasity berikut sistem rotasi, mendimensi bangunan-bangunan dan saluran-saluran (Soekarto dan Hartoyo, 1981).
Dalam merancang saluran, faktor-faktor yang perlu di perhatikan adalah:
1. Debit
Debit dapat diukur dengan menggunakan rumus:
Q = v × A
Dimana: Q = debit air (m3/detik)
v = Kecepatan aliran (m/detik)
A = luas penampang aliran (m2)
2. Kecepatan aliran
Menurut Basak (1999) kecepatan dari pengukuran aliran pada aliran
permukaan disebut dengan kecepatan permukaan. Kecepatan pada setiap
kedalaman di saluran ataupun sungai tidaklah sama. Ini ditemukan melalui
observasi, dimana kecepatan pada kedalaman 0,6 D merupakan kecepatan
rata-rata, dimana “D” adalah kedalaman air pada saluran atau sungai. Setelah
penelitian yang panjang dengan saluran yang bervariasi, Chezy dan Manning
menetapkan persamaan untuk memperoleh kecepatan dari suatu aliran. Untuk
disain saluran dengan jenis tanah non-alluvial, koefisien kekerasan memiliki
peranan penting, namun faktor lain seperti sedimentasi tidak berperan penting.
Disini, kecepatan aliran permukaan dianggap sangat dekat terhadap kecepatan
kritis. Untuk itu persamaan kecepatan oleh Chezy atau Manning sesuai untuk
Persamaan Kecepatan menurut Chezy
Konstanta Chezy ‘C’ dapat dikalkulasikan sebagai berrikut:
a. Formula Bazin
C = 87
1 + K
√R
...(14)
Dimana: K = konstanta Bazin
b. Formula Kutter
Dimana: N = koefisien kekasaran
Persamaan Kecepatan oleh Manning
V = 1
Nilai N (koefisien kekasaran) dapat dilihat pada Tabel 2, sebagai berikut:
Tabel 1. Nilai Koefisien Kekasaran (N)
Bahan N
Tanah 0.0225
Tembok/semen 0.02
Sumber: Basak (1999)
Ketentuan:
a) Jika nilai K tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut:
untuk saluran tidak disemen K = 1,30-1,75
untuk saluran yang disemen K = 0,45-0,85
b) Jika nilai N tidak diberikan maka dapat diasumsikan sebagai berikut:
untuk saluran tidak disemen K = 0,0225
untuk saluran yang disemen K = 0,333
3. Kecepatan Aliran Kritis
Kecepatan kritis merupakan kecepatan aliran air yang tidak menyebabkan
pengendapan ataupun penggerusan di dasar saluran. Kecepatan kritis disimbolkan
dengan ‘Vo’. Nilai dari Vo dapat diperoleh malalui persamaan yang diungkapkan
oleh Kennedy, yaitu:
V0 = 0,546 × D0,64...(17)
Dimana D adalah kedalaman air.
Rasio kecepatan kritis adalah perbandingan antara kecepatan aliran ‘V’
terhadap kecepatan kritis ‘V0’ disebut sebagai rasio kecepatan kritis.
CVR = V
V0
atau m = V
V0
...(18)
Jika m = 1 berarti tidak terjadi pengendapan atau penggerusan, jika m > 1 akan
terjadi penggerusan dan jika m < 1 akan terjadi pengendapan. Maka melalui nilai
m ini kondisi saluran dapat diprediksi terjadi penggerusan atau pengendapan.
4. Kemiringan saluran
Menurut Soekarto dan Hartoyo (1981), dalam merencanakan saluran
kemiringan medan lapangan kecil berarti harus menghemat kehilangan energi.
Dalam merencanakan dipilih suatu kemiringan dasar (i) yang sesuai dengan
keadaan/kemiringan lapangan, namun harus diperhatikan juga agar kecepatan
aliran (V) masih dalam batas-batas yang diizinkan. Bila kecepatan (V) terlalu
besar, maka akan membahayakan saluran karena akan terjadi proses penggerusan
dasar maupun tebing saluran. Bila kecepatan terlalu kecil, maka akan terjadi
endapan sehingga saluran akan cepat menjadi dangkal.
Kemiringan memanjang saluran ditentukan berdasarkan kemiringan taraf
muka air yang diperlukan. Ketinggian taraf muka air ini direncanakan berdasarkan
tinggi air di sawah yang diperlukan yang selanjutnya dihitung berdasarkan
kehilangan tinggi tekan di setiap bangunan dan di sepanjang saluran. Kemiringan
talud saluran bergantung kepada jenis tanah, kedalaman saluran dan terjadinya
rembesan air. Kemiringan minimum talud saluran pembawa untuk jenis tanah
lempung pasiran, tanah pasiran kohesif yaitu 1,5 - 2,5. Untuk jenis tanah pasir
lanauan 2-3 dan untuk jenis batu < 0,25 (Mawardi, 2007).
5. Penampang melintang saluran basah
Mays (2001) menyatakan bahwa penampang saluran basah dari saluran
irigasi ada beberapa jenis, yaitu penampang berbentuk persegi, trapesium, segitiga
dan berbentuk gelang (lingkaran). Penampang yang umum digunakan yaitu
berbentuk persegi dan trapesium. Selain biaya yang murah juga mudah dalam
pembuatannya.
6. Kedalaman hidrolik
Perbandingan antara luas penampang saluran terhadap perimeter basah
R= A
Pw
... (19)
Dimana: A = luas penampang saluran
Pw = perimeter basah
(Basak, 1999).
Luas (A) untuk geometri saluran yang berbentuk persegi dapat diperoleh
dengan menggunakan rumus:
A = Bw× y...(20)
Untuk mengetahui perimeter basah (P) dari geometri saluran yang berbentuk
persegi dapat diperoleh melalui rumus:
Pw = Bw+ 2y...(21)
Dimana: A = luas penampang aliran
Pw = perimeter basah
Bw = lebar dasar saluran
y = tinggi air pada saluran
(Mays, 2001).
Sedangkan untuk geometri saluran berbentuk trapesium, luasnya (A) dapat
diperoleh dengan rumus:
A = (b + zy)y
Pw = b + 2y (�(1+z)2
dimana: b = lebar dasar
y = kedalaman aliran
m = kemiringan dinding saluran
Untuk geometri saluran berbentuk segitiga, luasnya (A) dapat diperoleh dengan
A = zy2
Pw = 2y√1+z2