• Tidak ada hasil yang ditemukan

Definisi Tafsir, Tawil, Al Dakhil dan Israiliyat PDF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Definisi Tafsir, Tawil, Al Dakhil dan Israiliyat PDF"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DEFINISI

TAFSÎR, TA’WÎL, AL-DAKHÎL DAN ISRĀILIYYĀT

MAKALAH

Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Al-Dakhîl fi al-Tafsir

DOSEN PEMBIMBING;

DR. FAIZAH ALI SYIBROMAILISI, MA

DISUSUN OLEH;

HASRUL

(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

(2)

A. Pendahuluan

Al-Quran merupakan petunjuk dalam ragam aspek kehidupan manusia, seperti sisi akidah, ibadah, akhlak, hukum, muamalah, dan berbegai aspek lainnya. Namun perlu diketahui, usaha untuk mengamalkan aspek-aspek tersebut tidak akan tercapai jika tidak didahului dengan proses pemahaman dan penghayatan terlebih dahulu. Nasihat dan petunjuk yang termuat di dalamnya tidak akan tercapai tanpa penjelasan dan perincian sebagaimana yang dikehendaki oleh ayat-ayat al-Quran. Disinilah letak peranan tafsir dan ta’wil untuk mehamahami pesan-pesan ayat al-Quran agar dapat diamalkan dalam kehidupan yang nyata.

Menurut Muhammad Ali al-Sha>bu>ny, keberkahan dari al-Quran yang besar itu sebenarnya hanya diperoleh dengan menghayati dan memahaminya, menuruti petunjuknya serta mengamalkan ajaran-ajarannya. Kemudian berpijak pada seluruh perintah dan yang dikehendakinya serta menjauhi segala yang dibenci dan dilarangnya.1 Inilah maksud dari firman Allah SWT:

berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.” (Q.S. Sha>d [38]: 29)

Penafsiran terhadap al-Quran telah dilakukan oleh Rasulullah Saw seiring dengan masa turunnya. Setelah wafatnya Rasulullah Saw, upaya penafsiran dilanjutkan oleh para

sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in yang disebut dengan periode mutaqaddimin. Setelah itu,

memasuki periode muta’akkhirin dan kini saatnya memasuki periode kontemporer.

Kegiatan tafsir tersebut dimaksudkan agar pesan-pesan Ilahi yang termaktub di dalamnya dapat dipahami dan disampaikan kepada manusia. Upaya ini terus berlangsung seiring dengan kehidupan umat Islam di setiap era yang menuntut berbagai jawaban, solusi bahkan penguatan dari al-Quran itu sendiri.2

Selain menggunakan kata Tafsir, upaya pemahaman dan pengungkapan makna-makna al-Quran sering juga diungkapkan dengan kata Ta’wil. Kedua kata ini merujuk pada satu tujuan, yaitu upaya untuk memahami kandungan ayat-ayat al-Quran. Terdapat berbagai macam latar belakang dan metode-metode yang dipakai oleh para ulama dalam mentafsiri atau mentakwili al-Qur’an demi kemaslahatan individual, kelompok maupun masyarakat Islam secara luas, maka lahirlah konsep permasalahan yang ada dalam pentafsiran al-Qur’an itu sendiri, yaitu al-dakhîl fi al-Tafsir al-Qur’an. Salah satu pembahasan penting dalam kajian al-dakhîl Fi al-Tafsir al-Qur’an ialah isrāiliyyāt. Bahasan inilah yang akan menjadi topik dalam makalah ini yang penguraiannya hanya sekilas definisinya saja. Poin-poin pembahasannya ialah; definisi Tafsir, definisi Ta’wil, definisi al-dakhîl, dan definisi isrāiliyyāt.

1Al-Shabuny, Al-Tibyan fi’ Ulum al-Quran terj. Aminuddin (Bandung, Pustaka Setia: 1998), Cet. I, hal. 241

2

Ulya Fikriyati, Tafsir Ilmi Nusantara; Antara Kepentingan Ideologis dan Pragmatis dalam “al-Burhan;

(3)

B. Definisi Tafsir dan Ta’wil 1. Definisi Tafsir

Tafsir ( ريسفت ) secara bahasa adalah masdar fassara (ََ يَّسَف ), yang mengikuti wazan

taf’il (لرعفت).3 Tasrifnya ialah ( َ يِسْفَتَ-َا ْرِسْفَت–ََ ِ سَفََي–َََ َّسَف ). Kata (ََ يَّسَف ) ini berasal dari kata fasara (ََ َسَف ) tanpa mentasydidkan sin-nya, masdaranya adalah al-fasr ( يسفلا ) yang kata kerjanya bisa pengikuti wazan (ب ضَيَ َ-ب ض) atau ( صنَيََ- صن ). Sehingga bisa disebut (َ َ سْفَيَ–َََ َسَف /َ ِسْفَيَ–َََ َسَف).4

Kata al-fasr ( يسفلا) memiliki beberapa arti, diantaranya menurut Murtadho Al-Zabidi dalam Taj Arusy mengartikannya dengan (فيشكلاوَ ينابلإا), yaitu penjelasan dan pengungkapan;5 Al-Suyuti dalam al-Itqan mengartikannya dengan (فيسكلاَوَ ايربلا), yaitu penjelasan dan pengungkapan;6 Al-Zahabi dan Al-Zarqani mengartikannya dengan ( ريربتلاَوَحايضيلاا) yaitu menjelaskan dan menerangkan. Lebih lanjut, Ibnu Mandzur menyebutkan dalam Lisan al-Arab, al-fasr ( يسفلا) berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata al-Tafsir ( ريسفلات ) berarti menyingkap apa yang dimaksud dari lafazh yang tidak jelas.7 Dalam al-Quran disebutkan:

Artinya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling

baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan [25]: 33)

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa kata tafsir digunakan secara bahasa untuk makna membuka benda yang sifatnya materi dan membuka makna yang bisa dijangkau akal. Namun, makna kedua inilah yang lebih banyak digunakan untuk kata tafsir, yaitu untuk mengungkapkan makna yang bisa dijangkau akal. Ini sejalan dengan pendapat Al-Raghib Al-Asfahani yang mengatakan bahwa kata al-fasr يسفلا( dan al-safr ( َفيسلا) adalah dua kata yang berdekatan makna dan lafaznya. Al-fasr ييسفلا( digunkaan untuk menampakkan makna yang abstrak, sedangkatan al-safr فييسلا( digunakan untuk menampakkan benda kepada penglihatan mata.8

Maka dikatakanlah, اييي اوَ يييعَ أ يييَم َالت فيييس (perempuan itu menampakkan mukanya) dan بيصلاَ فيسأ (waktu shubuh telah terang). Abu Hayyan juga menegaskan bahwa kata al-Tafsir ( ريسفلات ) juga punya makna al-tha’riyyah li al-Inthilaq (َََ يي علات لايطنلال), yaitu melepaskan atau membebaskan untuk bergerak.9 Pembentukan kata Al-fasr ( يسفلا) menjadi al-Tafsir ( ريسفلات ) menunjukkan arti taksir ( يرثكت), yaitu banyak dan sering berbuat. Dengan demikian, kata al-Tafsir رييسفتلا( mengandung makna kesungguhan membuka atau berulang-ulangnya upaya untuk membuka apa yang tertutup, menjelaskan yang musykil dan lain-lain terhadap ayat-ayat al-Quran.10

3 Ibnu Athiyyah, Al-Muharra al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz (Beirut: Darr al-Kitab al-Ilmiyah, 2007

M/1428 H), Cet. II, Juz I, h. 3

4 Ibnu Asyur, Al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Darr Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauziy: tt), Juz I, h. 10

5 Murtadho Al-Zabidi, Taj Arusy (Darr al-Hidayah: tt), Juz 13, h. 323

6 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, h. 184

7 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz V, h. 55

8 Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Quran (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), Cet. XIV, h. 456

9 Abu Hayyan, Bahr al-Muhit (Beirut: Darr al-Fikr, 1992 M/1412 M), Juz I, h. 26

(4)

Adapaun, tafsir menurut istilah diantaranya sebagai berikut:

a. Menurut Abu Hayyan, tafsir ialah ilmu yang membahas tentang pengucapan lafaz-lafaz al-Quran, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.11

b. Menurut Al-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmanya.12

c. Menurut al-Zarqani, tafsir adalah ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya sesuai dengan yang dikehendaki Allah menurut kemampuan manusia.13

Ketiga definisi di atas memiliki kesesuaian bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas maksud yang diinginkan oleh Allah SWT dalam al-Quran sesuai kemampuan manusia. Maka ia mencakup setiap sesuatu yang menjadi tempat bergantungnya pemahaman terhadap makna dan penjelasan yang dimaksudkan.

2. Definisi Ta’wi>l (ََ يساَرسلا). Seolah-olah yang melakukan penta’wilan menyiasati atau mengatur ucapan dan menempatkannya pada tempatnya.

Kata Ta’wil (لييوأت) banyak digunakan dalam ayat al-Quran dengan penggunaan yang berbeda-beda. Diantara ayat-ayat tersebut ialah:16

a. Ta’wil bermakna “ta’wil” sebagaimana penggunaanya dalam tafsir



Artinya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal

tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.” (Q.S. Ali Imran [3]: 7)

b. Ta’wil bermakna “datangnya apa yang diberitakan”

12 Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, 1988 M/ 1408 H), Juz II, h. 33

13 Al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Quran (Kairo, Darr al-Hadis, 2001 M/1422 H), Juz II, h. 7

14 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 183, Lihat juga Al-Alusi, Ruh

al-Ma’ani (Beirut: Darr al-Fikr, 1994 H/1414 H), Juz I, h. 13,

15 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz XI, h. 32

16

(5)

Artinya: “Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka

belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka

penjelasannya.” (Q.S. Yunus [10]: 39)

c. Ta’wil bermakna “akibat”

Artinya: “Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih

utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Nisa’ [4]: 59) d. Ta’wil bermakna “maksud dari impian”

dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (Q.S. Yusuf [12]: 100)

e. Ta’wil bermakna “tujuan suatu perbuatan”

Artinya: “Kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (Q.S. Yusuf [18]: 78)

Demikianlah beberapa makna ta’wil dalam al-Quran sebagimana disebutkan oleh Husein al-Zahabi dalam bukunya, Tafsir wa al-Mufassirun. Adapun menurut

istilah Ta’wil (ليوأت ) mempunyai beberapa makna, di antaranya:

a. Menurut Ulama Salaf/Mutaqaddimin, Ta’wil (لييوأت) adalah sinonim tafsir. Oleh karenanya, bila dikatakan tafsir al-Quran atau ta’wil al-Quran, maka pengertiannya sama. Ibnu Jarir Al-Thabari mengatakan dalam tafsirnya, “satu pendapat tentang

ta’wil firman ini” atau “ahli ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini”, yang dimaksud ialah ahli tafsir. Demikian pula ungkapan Mujahid, “Bahwasanya ulama mengetahui ta’wil al-Quran”, maksudnya ialah mengetahui tafsirnya.17

b. Menurut Ulama Mutaakhkhirin yang terdiri dari ulama ahli fiqih, ilmu kalam, hadis, dan tasawuf. Menurut mereka, Definisi ta’wil ialah:

هب نتقي ليلدل حوجرملا ىنعم ىلإ حجارلا ىنعملا نع ظفللا فرص

.

“Memalingkan lafazh dari makna rajih (yang lebih kuat) ke makna marjuh (dianggap kuat) karena adanya dalil yang mendukungnya.18

Misalnya, kata “دي” dalam ayat berikut:

17 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009),

h. 7-8

(6)

Artinya: “Tangan (kekuasaan) Allah di atas tangan (kekuasaan mereka).”

(Q.S. Al-Fath [48]: 10)

Arti yang kuat (rajih) dari kata (ديي) adalah tangan, sedangkan makna yang dianggap kuat (marjuh)-ny adalah kekuasaan. Para mufassir ketika memahami ayat

ini pada umumnya menggunakan ta’wil, yakni mengalihkan makna rajih (tangan)

kepada makna marjuh (kekuasaan) karena ada alasan bahwa kemustahilan Allah memiliki tangan dalam arti indrawi. Dengan demikian, makna ta’wil pada zaman ini mulai dibedakan dengan makna tafsir. Uraian perbedaannya akan diuraikan pada bahasan berikutnya secara tersendiri.

“Memalingkan suatu lafadh dari makna dhahirnya terhadap makna yang dikandungnya apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan ketentuan al-Kitab dan as-Sunnah.”

3. Perbedaan antara Tafsir dan Ta’wil

Tafsir dan ta’wil adalah adalah dua kata yang berdekatan atau sama maknanya.

Pandangan ini dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin, diantaranya Abu Ubaidah seperti disebutkan sebelumnya. Oleh karenanya, bila dikatakan tafsir al-Quran atau

ta’wil al-Quran, maka pengertiannya sama. Termasuk pengertian ini ialah doa

Artinya: “Ya Allah, berikanlah kepadanya kemampuan untuk memahami agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”19 (H.R. Ibnu Hibban)

Pada perkembangan selanjutnya, tafsir dan ta’wil mulai dibedakan akan maknanya masing-masing. Al-Zahabi menyatakan bahwa perbedaan tersebut berpangkal pada penggunaan kata-kata ta’wil oleh al-Quran, lalu para ahli ushul fiqih menggunakan istilah khsusus di dalamnya, ditambah dengan populernya pemakaian kata tersebut oleh ahli ilmu kalam. Sejak itulah, para ulama mulai berselih tentang

perbedaan tafsir, ta’wil, dan keterkaitan keduanya. Sampai Ibnu Hubeib al-Naisaburi

berkata; “telah muncul pada masa kami para ahli tafsir yang seandainya ditanya tentang perbedaan tafsir dan ta’wil, niscaya mereka tidak dapat menjelaskannya.20

Perbedaan tafsir dan ta’wil dapat dilihat dari beberapa pandangan ulama di

bawah ini:

1) Menurut Raghib Al-Asfihani, tafsir lebih umum dari ta’wil. Tafsir kebanyakan digunakan untuk lafaz sedangkan ta’wil lebih sering dipakai untuk yang bersifat

maknawi, seperti ta’wil (ta’bir) mimpi. Tafsir digunakan pada semua kitab, termasuk kitab Ilahi, adapun ta’wil lebih banyak digunakan untuk kitab-kitab Ilahi.

19 Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), Cet. II, Jilid XV, hal. 531

(7)

Tafsir juga lebih banyak digunakan untuk kosa kata, sedangkan ta’wil penggunaannya untuk susunan kalimat.21

2) Menurut Al-Maturidi, tafsir adalah memastikan bahwa yang dimaksud oleh lafaz

ini adalah makan ini. Jika didukung dengan dalil yang qath’i, maka ia shahih. Jika

tidak, maka ia adalah tafsir bi al-ra’yi yang dilarang. Sedangkan ta’wil ialah mertarjih salah satu dari beberapa kemungkinan tanpa memastikan dan bersaksi kepada Allah.22

3) Menurut Husein al-Zahabi, tafsir adalah kembali kepada riwayat, sedangkan ta’wil kembali kepada dirayah. Tafsir adalah mengungkap dan menjelaskan tentang apa yang dimaksud oleh Allah. Pengungkapan dan penjelasan tersebut tidak dapat dipastkan ketetapannya kecuali jika penjelasan itu datang dari Raslullah Saw atau datang dari sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu. Adapun ta’wil adalah mentarjih (mengunggulkan/menguatkan) salah satu makna dari beberapa kemungkinan makna yang ditujukan lafaz dengan dalil. Prosesnya yang melalui tarjih merupakan bagian dari ijtihad yang dicapai melalui pengetahuan tentang perbendaharaan lafaz, makna-maknanya dalam bahasa arab, penggunaannya dalam struktur kalimat, pengetahuan mengenai susunan dan gaya bahasa arab serta penyimpulan makna-makna darinya.23

Untuk memberikan kejelasan akan perbedaan tafsir dan ta’wil, perhatikan

contoh dibawah ini:



ةروس﴿

رجفلا

:

١٤

Artinya: “sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi.” (Q.S. Al-Fajr [89]: 14)

Tafsirnya adalah, kata دايص م( berasal dari kata (ديص لا). Dikatakan (هتديصر), maknanya sayaَmengawasi dia. Ta’wilnya ialah, peringatan agar tidak meremehkan perintah Allah dan mempersiapkan diri untuk menghadap dengan-Nya.24

21 Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Darr al-Fikr, tt), Juz 2, hal 183

22 Al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Quran (Kairo, Darr al-Hadis, 2001 M/1422 H), Juz II, hal. 9

23 Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mafassirun terj. Nabbani Idris (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 13.

(8)

C. Definisi Al- Dakhīl dan isrāiliyyāt 1. Definisi al-Dakhîl

Kata al-dakhîl (َ لَْرَِخََّديلََا) merupakan shigah mubalagah ( يةلابملاَ ةريصلا) yang berasal dari kata (َ لََخََدَع فَ–ََالاََخ ََمَْدََوَ–ََالاَْخ دَ–ََ ل خْدَيَ–َََلَ خََد) yang merupakan lawan dari kata (جو خلا). Beberapa arti dari kata al-dakhîl (لرخديلا) menurut bahasa ialah makar, rekayasa, aib, kerusakan, tamu, yang datang dari luar dan orang asing.25 Ibnu Mandzur mengartikan kata al-dakhîl dengan setiap kalimat atau bahasa yang dimasukkan ke dalam bahasa Arab dan bukan berasal dari bahasa Arab.26 Fairuzzabaadi dalam al-Muhit mendefinisikan kata al-dakhîl sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh manusia ataupun akalnya berupa penyakit atau sesuatu yang jelek.27 Selain itu, Ragīb Al

-Asfīhānī dalam kitabnya “Al-Mufradat fī Gāri’ib Al-Qur’an”, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan (َ لََخََّديلََا) secara etimologis adalah burung yang masuk didalam

pepohonan yang rimbun, yang dililitkan, dan dikumpulkan jadi satu.”28

Tinjauan lain dikemukakan oleh Ibrahim Abdurrahman Khalifah, beliau mengartikan al-dakhîl sebagai sesuatu yang masuk ke dalam tubuh ataupun akal manusia, berupa penyakit atau sesuatu yang jelek.29 Adapun Ali Mukhaimir mengartikannya sebagai setiap unsur asing yang masuk dan tidak sesuai dengan koridor-koridor lingkungan setempat, baik dari tutur kata dan lain semacamnya.30 Semua pengertian tersebut menggambarkan kerusakan pada materi yang dimasukinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sekilas makna al-dakhîl yang telah dikemukakan, semuanya mengarah pada satu titik temu bahwa kata al-dakhîl tidak keluar dari sesuatu yang masuk dari luar yang tidak memiliki asal sedikitpun dalam objek yang dimasukinya.

Berangkat dari pengertian diatas, al-Dakhīl juga diartikan sebagai bagian luar yang menyimpang, tidak ada keterkaitan dengan yang ada di dalam, dan yang di dalam juga tidak mencakup yang diluar itu, seperti seseorang yang berada diluar pintu, dia tidak berkaitan dengan apa yang ada di dalamnya, karena dia mempunyai bid’ah tertentu yang menyebabkannya terhalangi dari sifat keterkaitan.31 Akibat kerahasiaan (kesamaran) yang masuk tersebut, maka usaha untuk mengungkapkannya membutuhkan suatu pemikiran yang serius.

Sedangkan secara istilah, al-dakhîl (لرخديلا) menurut ulama tafsir sebagaimana yang telah didefinisikan Ibrahim Abdurrahman Khalifah adalah penafsiran al-Qur’an yang tidak memiliki sumber yang jelas dalam Islam, baik itu tafsir yang menggunakan riwayat-riwayat dari hadis dho’if (lemah) dan palsu, ataupun menafsirkannya dengan tafsiran yang sesat dari sang penafsir itu sendiri karena lalai atau ada unsur kesengajaan.32 Abdul Wahab Fayad memaknai al-dakhîl (لرخديلا) dengan menafsirkan

25 A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 392-393.

26 Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Beirut: Darr al-Sadr, tt), Cet. I, Juz XI, h. 239-242, Lihat Juga Ibrahim

Musthafa, Al-Mu’jam Al-Wasith (T.tp: Darr al-Nasr, t.t), Juz I, h. 275-276.

27 Fairuzzabaadi, Al-Kamus Al-Muhit (T.tp: tp, tt), Juz I, h. 1290-1291.

28 Raghib Al-Asfihani, Al-Mufradat fi’ Gari’ib al-Quran (Beirut: Darr al-Ilm, 1412 H), Juz I, h. 309.

29 Ibrahim Abdurrahman Khalifah, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), Juz I, h. 20.

30 Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), h. 15.

31 Abdul Wahhab Fayad, Al-Dakhīl fī TafsīrAl-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan, 1978), h. 13.

(9)

al-Qur’an dengan metode dan atau dengan cara yang bukan dari Islam.33 Sedangkan

Jum’ah Ali Abdul Qadir mendefinisikan al-dakhîl (لرخديلا) dengan penafsiran yang tidak memiliki orisinalitas agama dari sisi pemaknaan karena ada unsur kecacatan dalam penafsiran al-Qur’an yang ditafsiri secara tiba-tiba (kesengajaan), lalai atau kontemporisasi penafsiran yang disesuaikan dengan situasi kondisi kejadian setelah wafatnya nabi Muhammad Saw.34

Berdasarkan pengertian di atas, maka al-dakhîl (لرخديلا) dalam tafsir adalah suatu aib atau cacat yang bersumber dari pemikiran rusak atau unsur asing yang sengaja disisipkan ke dalam beberapa bentuk tafsir al-Qur’an. Dalam ruang lingkup tafsir, kata al-dakhîl (لرخديلا) berlawanan dengan kata al-Ashil (لريصلأا). Menurut bahasa, al-Ashil (لريصلأا) adalah sesuatu yang memiliki asal yang kuat dalam objek yang dimasukinya. Sedangkan menurut istilah, al-Ashil adalah Tafsir yang berlandaskan kepada al-Quran dan al-Sunnah atau pendapat sahabat dan tabi’in, atau berdasarkan ijtihad dan ro’yu yang sesuai dengan kaidah bahasa arab dan kaidah-kaidah dalam penafsiran.35

2. Definisi isrāiliyyāt

Kemunculan al-dakhîl dalam penafsiran disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya pengaruh khabar atau berita-berita israiliyyat. Secara bahasa, Isrāiliyyāt (تاريريا يسإ) adalah bentuk jamak dari kata isrāiliyyat ( ريريا يسإ( merupakan isim yang

dinisbatkan pada kata Isra’il yang berasal dari kata Ibrani.36isrāiliyyat ( ريريا يسإ( terdiri dari dua kata, yaitu “Isra” (ا يسإ) berarti hamba, dan “i>l” (ليري) berarti Tuhan, yang jika digabungkan akan bermakna hamba Tuhan.37 Dalam perspektif historis, Isra’il

berkaitan erat dengan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrahim a.s di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas itu disebut Bani Isra’il.38

Sedangkan Isrāiliyyāt menurut istilah para Ulama’ adalah perkataan atau ucapan yang mengarah pada cerita-cerita dan legenda-legenda yang dikaitkan dengan asal usul Yahudi ataupun Nashrani yang sebagian besar cerita didalamnya mengandung mitos tentang apa yang terjadi pada orang-orang terdahulu. Seperti halnya cerita-cerita tentang para Nabi dan Rasul. Isrāiliyyāt mayoritas berasal dari Taurat dan Injil. Sehingga sering kali ditemukan absurditas dan pertentangan dengan Al-Qur’ān, mengingat keberadaan keduanya yang tidak bisa dilepaskan dari tahrīf.39 Sementara

itu, Ahli Tafsīr dan Ḥadīṡ berpandangan bahwa Isrāiliyyāt secara terminologis adalah kisah atau peristiwa yang diriwayatkan dari sumber Isrāilīyat.40

33 Abdul Wahhab Fayad, Al-Dakhīl fī Tafsīr al-Qur’ān Al-Karīm (Mesir: Maṭba’ah Hasan, 1978), h. 14.

34Jum’ah Ali Abdul Qadir, Al-Dakhil Fi al-Dirasah al-Manhajiyah wa al-Namadij al-Tatbiqiyah (Kairo:

Al Azhar Press, 2006), h. 15.

35Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah Aram, Al-Sabil ila Ma’rifat al-Ashil wa al-Dakhil fi al-Tafsir

(Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, h. 45.

36Khalāf Muhammad Al-Husainī, Al-Yahūdiyyah bain Al-Masihiyyah wa Al-Islām (Mesir: Al-Muassasah

Al-'Ammah, 1964), h. 14.

37Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif,juz I (Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971), h. 14.

38 Husein Al-ahabi, Al-Isrā'iliyāt fī Al-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ (Kairo: Majma' Al-Buus Al-Islāmiyyah,

1971), h. 20.

39 Mihjah Gālib Abdurrahman,Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl(Kairo: Jamiah

Al-Azhar, 1998), h. 15.

40 Ahmad Muhammad Syakir, Umdah At-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir(Mesir: Dār Al-Ma’ārif, 1956),

(10)

Husein Al-Żahabī, mengemukakan pengertian Isrāiliyyāt sebagai kisah dan dongeng klasik atau kuno yang masuk ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang asal

periwayatannya dari sumber Yahudi, Nasrani atau yang lain.Sebagian Ahli tafsīr dan Ḥadīṡmemperluas lagi pengertian Isrāiliyyāt ini sehingga mencakup pula cerita-cerita yang sengaja deselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsīr dan Ḥadīṡ, yang tidak dijumpai sama sekali dasarnya dalam sumber-sumber lama.41 Definisi yang

cukup komperehensif tentang Isrāiliyyāt, juga dikemukakan oleh Ahmad Khalīl, bahwa Isrāiliyyāt adalah kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang berasal dari Ahli Kitab, baik yang ada hubungannya dengan ajaran agama mereka maupun tidak.42

Walaupun kata Isrāiliyyāt pada lahirnya merujuk pada riwayat yang bersumber

pada kalangan Yahudi, namun demikian dalam realitas, peristilahan ahli tafsīr dan

Ḥadīṡ mencakup juga riwayat yang bersumber dari kalangan Nasrani. Lebih populer

dan dominannya unsur Yahudi, dengan meminjam istilah Husain Aż-Żahabī, maka

penisbatan istilah Isrāiliyyāt hanyalah “min bāb al-taglīb”. Dominasi unsur Yahudi ini bisa jadi disebabkan karena sebagian besar mereka yang meriwayatkan kisah-kisah itu terdiri dari orang Yahudi yang memeluk Islam atau juga karena menonjolnya peranan mereka terhadap kaum Muslimin yang sudah sedemikian dekat semenjak permulaan Islam.43

3. Hubungan al-Dakhīl dengan Isrāiliyyāt

Setelah makna al-Dakhīl dan makna Isrāiliyyāt masing-masing terpaparkan dengan jelas sebagaimana diatas, maka konklusi mengenai hubungan antara keduanya terletak pada pengertian relenvansional bahwa al-Dakhīl memiliki arti lebih luas dan

umum dari pada Isrāiliyyāt. Karena al-Dakhīl memuat Isrāiliyyāt didalamnya, dan hal -hal lainnya seperti Ḥadīṡ-Ḥadīṡ yang ḍa’īf, dan Mauḍū’. Begitu juga memuat ta’wīl

-ta’wīl yang tidak bertendensikan pada sanad yang ṣahīh, dan menyeleweng dari ayat-ayat Al-Qur’ān baik berupa penyelewengan maknanya yang hakiki, dan dengan menggunakan dalil-dalil yang tidak sesuai dengan kebenaran maknanya. Begitu juga syaṭāhāt para Sufi dalam penafsiran mereka merupakan bagian dari al-Dakhīl. Semua itu disebut dengan al-Dakhīl.44

Sehingga kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa Isrāiliyyāt merupakan

bagian dari bagian-bagian yang dimiliki oleh al-Dakhīl. Dengan pengertian lain bahwa setiap Isrāiliyyāt adalah al-Dakhīl, namun setiap al-Dakhīl itu belum tentu

Isrāiliyyāt. Hubungan antara keduanya, al-Dakhīl dan Isrāiliyyāt adalah hubungan mengenai hal yang umum mutlaq dengan yang khusus spesifik. Sehubungan banyaknya ahli tafsir yang mengaitkan penafsirannya dengan israiliyyat, Yusuf Qardhawi mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat dua sebab dalam hal ini.45 Sebab pertama berdasarkan hadis Nabi:

41 Husein Al-ahabi, Al-Isrā'iliyāt fī At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ(Kairo: Majma' Al-Buus Al-Islāmiyyah,

1971), h. 20.

42Ahmad Khalīl, Dirāsat fī Al-Qur’ān(Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972), h.113.

43 Amin Al-Khullī, Manāhij At-Tajdīd(Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961), h. 277.

44Mihjah Gālib Abdurrahman,Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl,h. 16.

45 Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan al-Quran terj. Abdul hayyie al-Kattani dari judul asli “Kaifa

(11)

مل سو ه لع ْ مل ع نلا ن َّ وار م ع ن ب ْ د ب ع ن ع

و ل و ل ع او و ل ب : لا ق

ل ب ن ع او د ح و و يآ

. را نلا ن م ه د ع ق م َّ و ب ت ل ف اود م ع ت م ي ل ع ب ذ ك ن م و ، ج ر ح لا و ، ل ئا ر س إ

﴿

يراخبلا هاور

َ

Artinya: “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat dan bicaralah apa saja tentang Bani Israil tanpa ada larangan, dan siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah untuk mengambil tempatnya di neraka.”46 (H.R. al-Bukhari)

Ibnu Katsir menyebut hadis ini di dalam mukaddimah tafsirnya sebagai dalil bolehnya berbicara tentang isrāiliyyāt mengenai masalah yang tidak didustakan dalam agama Islam. Sebab kedua, banyak berita mengenai isrāiliyyāt yang berkaitan dengan masalah-masalah yang tidak dibicarakan oleh Islam dan tidak ada nash shahih yang ada di tengah kaum Muslimin yang membenarkan atau menolak berita itu. Muhammad Abdurrahim menyebutkan yang beliau kutip dari Ibnu Taimiyah bahwa penuturan riwayat-riwayat isrāiliyyāt itu diperbolehkan hanya sekedar sebagai

pelengkap (istisyhad), bukan untuk diyakini (I’tiqad).47

Namun, pada periode tabi’in seringkali terjadi penafsiran atau periwayatan yang tidak selektif dalam artian bahwa banyak periwayatan hadis tidak melalui jalur “kode

etik metodologi penelitian ”ilmu-ilmu Hadis, dengan tanpa menuliskan sanadnya secara lengkap. Akibatnya, banyak muncul periwayatan dalam penafsiran al-Quran yang terkena infiltrasi (tasarrub) isrāiliyyāt. Tokoh penting yang banyak meriwayatkan

isrāiliyyāt pada periode ini, di antaranya Ka’ab al Akhbar dan Wahb bin Munabbih.48 Keberagaman kitab tafsir yang memuat israiliyyahhasrn berbeda kuantitas dan kualitasnya antara satu kitab dengan kitab lainnya. Ada yang memberikan komentar dan ada juga yang tidak memberikan komentar. Dalam hal ini, Al-Dzahabi telah mengklasifikasikan kitab tafsir yang memunculkan kisah-kisah isrāiliyyāt:49

a. Tafsir yang meriwayatkan isrāiliyyāt lengkap dengan sanad dan beberapa kritikan terhadapnya. Tafsir yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir Al-Thabari (w.310 H) yang berjudul Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran.

b. Tafsir yang meriwayatkan isrāiliyyāt lengkap dengan sanad tapi kemudian menjelaskan kebatilan yang ada dalam sanad tersebut. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir Ibnu Katsir (w.774 H) yang bernama Tafsir al-Quran al-Azhim. c. Tafir yang meriwayatkan isrāiliyyāt dengan menyajikannya tanpa member

komentar, atau tidak menjelaskan mana riwayat riwayat yang benar dan mana yang salah. Tafsir yang termasuk dalam jenis ini ialah tafsir Muqatil ibn Sulayman (w. 150 H).

d. Tafsir yang meriwayatkan isrāiliyyāt tanpa sanad, dan kadang-kadang menunjukkan kelemahannya atau menyatakan dengan tegas ketidakshahihannya. Tetapi dalam meriwayatkan, terkadang tidak memberikan kritik sama sekali kendati

riwayat tersebut bertentangan dengan syari’at Islam.

46 Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari (Kairo: Darr al-Sya’ab, 1407 H/1987 M), Cet. I, Juz IV, h. 207.

47 Muhammad Abdurrahim, Penafsiran al-Quran Perspektif Nabi Muhammad Saw terj. Rosihon Anwar

dari Judul Asli “Al-Tafsir al-Nabawi: Khashaishuhu wa mashadiruhu” (Bandung: Pustaka Setia, 1999), Cet. I,

h. 80

48 Zainun Hasan Rifai, Kisah Isrāiliyyāt dalam Penafsiran al-Quran, dalam Ulum al-Quran; Studi

Khasanah Ilmu al-Quran/editor Sukardi K.D (Jakarta: Lentera, 2002), Cet. I, h. 280.

(12)

e. Tafsir yang meriwayatkan isrāiliyyāt tanpa sanad dan bertujuan menjelaskan kepalsuan dan kebatilannya. Tafsir yang termasuk klasifikasi ini adalah tafsir al-Alusi (w. 1270 H) yang berjudul Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Quran wa al-Sab’ al -Matsani

f. Kitab tafsir yang mengomentari dengan pedas para mufassir yang menyajikan israiliyyah dalam tafsirnya. Komentar-komentar tersebut berupa tuduhan yang tidak selayaknya pada pembawa kisah isrāiliyyāt ini, sebab di antara mereka terdiri dari sahabat-sahabat terpilih dan para tabi’in. Meskipun demikian, pengarang kitab ini juga terperangkap dalam situasi serupa dalam artian tanpa disadari dia menampilkan kisah isrāiliyyāt dalam tafsirnya. Termasuk dalam klasifikasi ini adalah tafsir susunan Rasyid Ridha (w. 1354 H) yang bernama Tafsir al-Manar.

4. Kitab-kitab tentang al-Dakhīl

Kitab-kitab induk yang dijadikan kajian sekaligus rujukan dalam studi

Ad-Dakhīl saat ini yaitu Ad-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Ibrāhim Khalīfah, Ushūl Ad-Dakhīl

fīTafsīr Aī at-Tanzīl karya Abdul Wahhāb An-Najjār, Ad-Dakhīl fi Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya Abdul Wahhāb Faiḍ, Ad-Dakhīl fī Tafsīr Al-Qur’ān Al-Karīm karya

Abdul Fatāh Khaḍar, Al-Kasyfu wa al-Bayānu ‘an ad-Dakhīl fi Tafsīr Aī Al-Qur’ān karya Abdurrahman, Ad-Dakhīl fī at-Tafsīr karya Mukhtār Marzūq, Ad-Dakhīl fī At

-Tafsīr karya Husain Sayyid Ridwān, Ad-Dakhīl fi at-Tafsīr karya Abdul Muhaimin,

dan Asbāb al-Khaṭā’ fī at-Tafsīr karya Mahmūd Muhammad Ya’qūb.50

Selain kitab-kitab di atas, terdapat beberapa karya referensional lainnya dalam bidang al-dakhīl fi al-tafsir, yaitu Al-Ittijāhāt al-Munḥarifah fi Tafsīr Al-Qur’ān Al

-Karīm karya Muhammad Husain Aż-Żahābī, munculnya karya ini setelah terbitnya Al-Itiijahāt karya Ramzī Na’nānah. Na’nānah menulis karyanya tersebut setelah Husein Aż-Żahābī menulis artikel Bida’ At-Tafāsir fī al-Maḍi wa al-Hāḍir, sebagai referensi dalam menulis kitabnya.51 Masih terdapat beberapa kitab yang sekilas membahas kajian al-Dahkil fi al-Tafsir, namun belum spesifik seperti yang disebutkan di atas dan juga masih menyatu dengan pembahasan kaidah-kaidah tafsir atau ulumul Quran pada umumnya.

SEKIAN

50 Mohamad Sobirin, Makalah Tradisi Kritik Tafsir; Studi al-Dakhil (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga,

2013), h. 6-7.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahim, Muhammad. Penafsiran al-Quran Perspektif Nabi Muhammad Saw terj. Rosihon Anwar dari Judul Asli “Al-Tafsir al-Nabawi: Khashaishuhu wa mashadiruhu”, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Abdurrahim, Muhammad. Penafsiran al-Quran Perspektif Nabi Muhammad Saw terj. Rosihon Anwar dari Judul Asli “Al-Tafsir al-Nabawi: Khashaishuhu wa mashadiruhu”, Cet. I, Bandung: Pustaka Setia, 1999

Abu Hayyan, Bahr al-Muhit, Beirut: Darr al-Fikr, 1992 M/1412 M

Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Cet. I, Kairo: Darr al-Sya’ab, 1407 H/1987 M

Al-Burhan; Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya al-Quran,” Volume XIII, No. 1, Jakarta: Institut PTIQ, Oktober 2013

Al-Husainī, Ahmad Muhammad Syakir. Umdah al-Tafsīr ‘an Al-Hafiz Ibnū Kasir,

Mesir: Dār Al-Ma’ārif, 1956

Al-Husainī, Khalāf Muhammad. Al-Yahūdiyyahbain Al-Masihiyyah wa Al-Islām

(Mesir: Al-Muassasah Al-'Ammah, 1964

Ali Mukhaimir, al-Dakhîl fi al-Tafsîr, (Jami’a al-Azhar, ttp, tt.), h. 15.

Al-Khullī, Amin. Manāhij At-Tajdīd, Kairo: Dār Al-Ma’rifah, 1961

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu al-Quran terj. Mudzakir dari judul asli

“Mabahis fi’ Ulum al-Quran”, Cet. XIV, Bogor: Pustaka LiteraAntarNusa, 2011

Al-Shabuny, Al-Tibyan fi’ Ulum al-Quran terj. Aminuddin, Cet. I , Bandung: Pustaka Setia,

Al-Suyuti, Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Beirut: Darr al-Fikr, tt

Al-Zabidi, Murtadho. Taj Arusy, Darr al-Hidayah: tt

Al-Zahabi, Husein. Al-Tafsir wa al-Mafassirun, terj. Nabbani Idris, Jakarta: Kalam Mulia, 2009

Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Quran, Beirut: Darr al-Fikr, 1988 M/ 1408 H

Al-Zarqani, Manahil al-Urfan fi Ulum al-Quran Kairo: Darr al-Hadis, 2001 M/1422 H

Aram, Muhammad Sa’id Muhammad Athiyyah. Al-Sabil ila Ma’rifat Ashil wa al-Dakhil fi al-Tafsir (Zaqaziq: Misr, 1998 M/1419 H), Jilid I, h. 45.

Asyur, Ibnu. Al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunis: Darr Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauziy: tt

Athiyyah, Ibnu. Al-Muharar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, Cet. II, Beirut: Darr al-Kitab al-Ilmiyah, 2007 M/1428 H

Fairuzzabaadi, Al-Kamus Al-Muhit (T.tp: tp, tt), Juz I, h. 1290-1291.

(14)

Hasan Rifai, Zainun. Kisah Israiliyah dalam Penafsiran al-Quran, dalam Ulum al-Quran; Studi Khasanah Ilmu al-Quran/editor Sukardi K.D, Cet. I, Jakarta: Lentera, 2002

Husain Az-Ẑahabi, Al-Isrā'iliyāt fī -At-Tafsīr wa Al-Ḥadīṡ, Kairo: Majma' Al-Buḥus Al-Islāmiyyah, 1971

Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Cet. II, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993

Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir, Cet. II, Bandung: Tafakur, 2009

Khalifah, Abdurrahman Khalifah. al-Dakhîl fi al-Tafsîr, Jami’a al-Azhar, ttp, tt.,

Khalīl, Ahmad. Dirāsat fī Al-Qur’ān, Mesir: Dār Al- Ma’arif, 1972

Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Cet. I, Beirut: Darr al-Sadr, tt

Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Cet. I, Beirut: Darr al-Sadr, tt

Mihjah Gālib Abdurrahman, Dirāsah Mauḍūiyyah wa Taṭbīqiyyah fī Ad-Dakhīl

Kairo: Jamiah Al-Azhar, 1998

Mohamad Sobirin, Makalah Tradisi Kritik Tafsir; Studi al-Dakhil, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013

Mohamad Sobirin, Makalah Tradisi Kritik Tafsir; Studi al-Dakhil, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2013

Muhammad Farid Wajdī, Dāirah Al-Ma'ārif, Beirut: Dār Al-Ma'rifah, 1971

Munawwir, A.W.. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997, h. 392-393.

Qadir, Jum’ah Ali Abdul. Al-Dakhil Fi Dirasah Manhajiyah wa Namadij al-Tatbiqiyah (Kairo: Al-Azhar Press, 2006), h. 15.

Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan al-Quran terj. Abdul Hayyie al-Kattani dari judul asli“Kaifa Nata’amalu ma’a al-Qur’an al-Azhim”, Jakarta: Gema Insani Pers, 1999

Raghib Al-Asfihani, Al-Mufradat fi’ Gari’ib al-Quran, Beirut: Darr al-Ilm, 1412 H

Rifai, Zainun Hasan. Kisah Israiliyah dalam Penafsiran al-Quran, dalam Ulum al-Quran; Studi Khasanah Ilmu al-Quran/editor Sukardi K.D, Cet. I, Jakarta: Lentera, 2002

Referensi

Dokumen terkait

Bagi umat Islam pemerhati dan peneliti al- Qur’an khususnya terkait kata al- ‘Afw dan a ṣ h- Ṣ hafh akan lebih baik jika mengkaji lebih mendalam tentang makna

Perbedaan tafsir dan takwil di satu pihak dan tarjamah di pihak lain adalah bahwa yang pertama berupaya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Quran yang notaben Bahasa Arab

inti isi halaman-halaman Tarjuman al-Mustafid, melihat rujukan tafsir secara sekilas, kemudian menyimpulkan: “Karya besar lain dari Abd al-Rauf ialah terjemah tafsir al-Qur’an

Dimana dalam kisah israiliyat tersebut diceritakan dialog antara iblis dan Allah SWT., yang menggambarkan bahwa iblis iri kepada Nabi Ayub dan meminta Allah untuk mengujinya, lalu Allah

16 Adapun Sayyid Quthb dalam tafsirnya Fi Dzilalil Qur‟an w.1386 H mengatakan bahwa thãghût adalah variasi bentuk dari kata “thughyan”, yang berarti segala sesuatu yang melampaui

Dengan demikian, analisis linguistik terhadap penjelasan Shihab menunjukkan bagaimana kata "ةمأ" umat digunakan dalam konteks Al-Qur'an dan hadis, serta bagaimana makna kata tersebut

Pembahasan Istilah Wasathiyyah dan Penggunaannya dalam Al-Qur`an Secara bahasa, kata wasath dipadankan dengan makna tengah-tengah tawassuth, adil, berimbang tawazun.7 Kata wasath

MAKNA KATA DOSA JARIAH DALAM AL-QUR’AN STUDI KITAB TAFSIR AL- MUNIR KARYA WAHBAH AZ-ZUHAILI ....