• Tidak ada hasil yang ditemukan

92649875 Analisis Teori Hubungan Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "92649875 Analisis Teori Hubungan Internasional"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I

Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer. Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa keamanan nasional adalah isu internasional paling penting.1

Liberalisme karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan

(2)

internasional; membawa kemungkinan sistem internasional yang damai; membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik internasional dan keadilan internasional.

Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan.2

Neorealisme

Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki, karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri, sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer. Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi ‘posisionalis defensif’, sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan dan memaksakan peraturan institusional.3

Neoliberalisme

Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama, karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting

(3)

dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat perjanjian-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut.4

Strukturalisme

Strukturalisme adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat dasar manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat. Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, ‘strukturalisme adalah sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan internasional (luar negeri). Strukturalisme memandang bahwa tata dunia kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems.

Assessment: The Clash of Perspectives

Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis, ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme, dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada 1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif.

(4)

Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua, konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis saling dibenturkan.)

Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.

Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.

Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif

Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya, kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan

(5)

hubungan dan membuat perjanjian.6 Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.

Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak. Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant, merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.

(Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual. Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan legitimate dengan illegitimate power.7 Namun, perbedaan yang diungkapkannya setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang konsepsi power yang standar.)

(Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar.8 Namun, Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang dinamis dan berubah.9)

(Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta?

(6)

Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang merupakan kawan maupun lawan suatu negara?10 Dapat kita lihat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal, konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam realisme.)

Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit mengagregasi faktor-faktor yang berperan dalam mengelaborasi fenomena. Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara epistemologis (liberalisme ideasional, liberalisme komersial, dan liberalisme republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.

Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana juga dalam pergaulan internasional antarnegara. Mereka tidak menerima argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi. Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima pandangan realis yang abai terhadap berbagai ancaman nonmiliter dan nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat

(7)

menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics dengan low politics.

(8)

Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis?

Menurut penulis, perspektif realisme dan liberalisme tidak selalu harus dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat melihat bahwa tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokoh-tokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan demokratis.

Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman berpendapat bahwa perhatian realisme atas pentingnya power, geopolitik, kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realis-idealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi realisme pasca-Perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill, yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan pemikiran kaum realis lainnya.11

(9)
(10)

Lampiran

Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang berorientasi rekreasi, bukan prokreasi

Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker, dalam film Spider-Man? “With great power, comes great responsibility.” Dalam film tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor laba-laba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan. Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai mendengarkan nasihat pamannya tersebut dan menggunakannya untuk menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero berkedok kostum ketat berjaring laba-laba.

Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu perjanjian internasional. Akhirnya, negara “Parker” menjadi polisi dunia dan menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme.

Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme

(11)

actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain.

Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari Negara tak lain ada untuk mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.

Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI. Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara terlalu dianggap memiliki peran sentral.

Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional, bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.

Realisme dan Peran Sentral Negara

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis (buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi.

(12)

Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam neo-realisme:

Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik. 2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik,

dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.

3. Politik didefinisikan sebagai memperluas power, mempertahankan, dan menunjukkan power.

4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule).

5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud Balance of Power atau Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang mendominasi system internasional.

6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan nasionalnya (national interest).

Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat peripheral.

2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya. Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap punya

power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain. Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.

Pluralisme dan Keberagaman Aktor

(13)

Berikut inti pemikiran Pluralis:

1. Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki kepentingan sendiri, pluralis menawarkan konsep complex interdependence. Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak terdapat hirarki dalam isu yang ada.

2. Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing.

3. Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis. 4. Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara

resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI.

Strukturalisme dan Sistem Internasional

Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI, strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap mengepalai banyak varian teori dibawahnya.

Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme:

(14)

2. Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya terhadap struktur luar.

3. Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada, seperti.:

· Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang negara sebagai aktor sentral.

· Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak terpengaruh oleh sistem ekonomi.

· Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender dalam hubungan sosial.

Neorealisme

Neorealisme

(15)

Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity)1 yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau, ,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan ini, politik internasional bersifat amoral.

Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain, realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.

Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesar-besarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain. Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema keamanan (security dilemma).

Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara, neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi

(16)

yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).

Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner, Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism, tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat dengan disiplin lain.

Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme. Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama. Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.

Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori yang reduksionis.

(17)

karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.

Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.

STRUKTURALISME DAN IMPLIKASINYA

Pengantar

(18)

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat) (Bagus, 1996: 1040)

Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996: 1040)

Ferdinand de Saussure

Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan strukturalisme.

(19)

mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu. Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia. Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:

1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan

secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis (penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman).

2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidah-kaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara

parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.

3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat asosiatif (sistem).

4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu

tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda (imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah.

(20)

Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya. de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam memahami kebudayaan, yaitu:

1. Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier,

penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra

bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang tidak bergetar.

2. Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah

tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature.

Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsur-unsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan konsep yang terekam.

3. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan

kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa,

menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah

pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati

bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada

individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar.

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh sesama warga masyarakatnya.

(21)

Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme, terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.

Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang unik karena berusaha mensintesakan kedua pendekatan metodologi dan epistemologi tersebut.

Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakan-tindakan praktis dalam kehidupan sosial.

Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya. Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran terdahulu.

Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal. Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.

Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.

(22)

oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur oleh dunia sosial.

Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai cara, yaitu:

 Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara

yang khusus (gaya hidup)

 Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)

 Sebagai perilaku yang mendarah daging

 Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)

 Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis

 Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang

karier.

Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan, rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan yang berbeda.

Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur lingkungan.

Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial, simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik (kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan politik membantu menata semua lingkungan yang lain.

(23)

menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.

Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri, hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan status.

Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena modallah yang memungkinkan orang untuk mengendalikan orang untuk mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.

Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:

 Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya

 Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi

 Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)

 Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.

 Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik

dan buruk.

Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan hubungan ketiga konsep tersebut.

Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi dan perbuatan beserta beragan jenis modal.

(24)

Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.

Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.

Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di dalamnya.

Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.

Strukturalisme dalam Kerangka Marxisme

(25)

alat-alat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki faktor-faktor produksi akan selalu mengeksploitasi kaum proletar yang membutuhkan kaum borjuis untuk bertahan hidup. Dalam ketergantungan proletar oleh kaum borjuis, upah yang didapatkan buruh jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya didapatkannya, selisih antara upah buruh yang seharusnya dan yang didapat inilah yang merupakan keuntungan nilai tambah yang diambil oleh kaum borjuis .

Marxisme mengasumsikan manusia sebagai makhluk materi, karena kehidupan manusia sejak dulu diwarnai dengan kebendaan dan kepemilikan pribadi yang menyebabkan manusia terus berkonflik memperebutkan materi yang merupakan faktor utama proses sosial politik (materialisme historis) . Prinsip dasar nya, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, tapi keadaan yang menentukan kesadaran . Disini berlaku dialektika materialisme, bila basis adalah ekonomi dan suprastrukur adalah politik, filsafat, sosial, agama, dan negara maka basis menentukan suprastruktur karena segala sesuatunya harus dapat dinilai dengan materi, oleh karena itu maka produksi harus dicapai sebanyak-banyaknya.

Agenda utama dari ajaran Marx adalah tatanan dunia baru tanpa ada dominasi dan eksploitasi serta tanpa adanya kelas. Tatanan dunia baru ini diyakini dapat dicapai dengan jalan revolusi yang pada awalnya akan diwarnai oleh konflik antar kelas, karena itu aktor utama dalam HI adalah kelas. Revolusi sosial menurut bayangan Marx adalah keadaan dimana alat-alat produksi akan berada di bawah kontrol proletar.

(26)

Kapitalisme yang mengglobal ini kemudian mendorong para Neo Marxis seperti Paul Baran, Raul Preabach, Andre Gunder Frank dan Immanuel Wallerstein untuk menggambarkan struktur dunia global dalam kerangka ekonomi yang dasarnya bersumber dari pemikiran Marxisme. Teori ini kemudian disebut sebagai teori strukturalisme global yang agenda utamanya adalah revolusi global yang hanya dapat dicapai dengan cara radikal agar bisa lepas dari struktur global yang eksploitatif.

A. Teori Imperialisme Lenin

Lenin meneruskan teori dari Marx dan mengatakan bahwa Kapitalisme telah memasuki era baru dengan terbentuknya ‘Monopoli Kapitalisme’. Struktur yang digambarkan imperialisme adalah kenyataan bahwa perusahaan multinasional akan menghadapkan pemilik modal pada konflik langsung dengan buruh global.

B. Teori Sistem Dunia Wallerstein

Berdasarkan kegiatan produksinya, sistem dunia dapat digolongkan menjadi 3 entitas,yaitu mini-system, world empire dan world economy. Sistem paling dasar adalah mini-system dimana kegiatan produksi hanya berdasarkan perburuan dan agrikultur tradisional. Sistem kedua, world empire, produk agrikultur digunakan sebagai komoditas utama untuk penyelenggaraan birokrasi dan militer. Sistem terakhir, the world economy, adalah sistem ekonomi dunia yang kapitalis dimana produksi yang dilakukan bertujuan untuk menciptakan keuntungan.

Sistem dunia ekonomi ini kemudian memunculkan bentuk hubungan negara dalam sistem dunia yang terbagi dalam negara core, semi-periphery dan periphery. Negara core yang negara yang memegang dominasi produksi adalah yang paling banyak mendapat keuntungan dari kapitalisme, berbeda dengan negara periphery yang dapat dikatakan menjadi objek eksploitasi pasar negara core. Kondisi ini kemudian memunculkan semi- periphery sebagai stabilitator (buffer zone) antara negara core dan negara semi periphery.

C. Teori Ketergantungan

Membagi dunia menjadi dunia maju dan negara Dunia Ketiga dimana negara Dunia Ketiga akan selalu tergantung pada negara maju, dan ketergantungannya itu dimanfaatkan oleh negara maju untuk mengeksploitasi mereka.

(27)

terkait dengan terus berkembangnya praktik eksploitasi, dari yang dulunya antar buruh-pemilik modal, lalu berkembang menjadi hubungan antar koloni-penjajah yang sekarang juga diikuti oleh kolonialisme gaya baru yang kemudian oleh Wallerstein diterjemahkan ke dalam analogi eksploitasi core-periphery.

Berbeda dengan 2 perspektif sebelumnya, realisme dan liberalism, yang melihat HI sebagai interaksi politik, maka marxisme dan strukturalisme ini lebih melihat dunia dalam sistem ekonomi. Walaupun pemikiran Marxis ini dianggap oleh sebagian besar telah luluh oleh runtuhnya Soviet, tetapi kenyataan akan adanya eksploitasi antar 2 kelas ini tidak akan pernah hilang walaupun impian Marx tentang dunia tanpa kelas menurut saya tidak kurang utopisnya dari utopis perdamaian abadi ala liberalisme. Marxisme juga berlawanan dengan konsep anarki ala realis, dan tidak sependapat dengan kerjasama ala liberalis, mengingat bahwa konstelasi dunia tidak akan terlepas dari konflik antar kelas.

Jika merunut kaitan antara marxisme dan strukturalisme maka kedua term di atas dapat ditarik garis singgung. Keduanya sama-sama berbicara tentang struktur yang ada dalam suatu entitas, bila marxisme berbicara tentang struktur dalam negara, maka strukturalisme lebih melihat kerangka sistem dunia. Dapat juga dikatakan bahwa pemikiran Marxis lah yang membangun pemikiran struktural. Walaupun berbicara tentang negara, namun saya lihat Marxis sangat skeptis terhadap eksistensi negara, terutama karena negara tidak menghalangi eksploitasi kapitalisme, juga kenyataan bahwa kaum proletar yang tidak menguasai faktor-faktor produksi, yang demikian juga tidak menguasai ekonomi-politik,telah termarjinalkan oleh kekuasaan negara.

POST MODERNISME, STRUKTURALISME, FILSAFAT HIDUP

A. Postmodernisme 1. Pengertian

(28)

menunjukkan pada kritik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi, dan ideologi modern.

2. Konteks Sosial yang Melahirkan : ”Penyimpangan Modernisme”

Munculnya pasca modernisme tidak dapat dilepaskan dari modernisme itu sendiri. Kita modernisme mengandung makna serbamaju, gemerlap dan progresif. Pengertian ini tidak berlebihan, modernisme mempunyai sisi gelap yang menyebabkan kehidupan manusia kehidupan disorientasi

”Sisi Gelap” mdoernisme, menurut Anthony Gidden dalam The Sonsequences of Modernity (1990), menimbulkan berkembang biaknya petaka bagi umat manusia. Pertama, penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa. Kedua, penindasan oleh yang kuat atas yang lemah. Ketiga, ketimpangan sosial yang kian parah. Keempat, kerusakan lingkungan hidup yang kian mengkhawatirkan. Produk akhir yang menimbulkan petaka tersebut, terutama dipicu oleh : Pertama, kapitalisme liberal yang menyaratkan kompetisi tiada akhir akan pertarungan pasar. Kedua, industrialisme yang mensyaratkan inovasi tiada henti untuk memenangkan persaingan pasar bebas. Ketiga, lemahnya kekuatan negara di dalam mengemban tugas minimalnya untuk menciptakan tertib sosial yang aman, rukun, damai dan adil” Pada taraf prktis, terdapat konsekensi buruk modernisme, antara lain : Pertama, pandangan dualistiknya yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek dan objek, spiritul-material, manusia-dunia, dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alm semena-mena. Hal ini telah mengakibatkan krisis ekologi. Kedua, pandangan modern yang bersifat objektivitas dan positivis, akhirnya menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkaya bagai mesin. Ketiga, modernisme memandang ilmu-ilmu positif-empiris mau tak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme, yakni orientasi hidup untuk memiliki dan menguasai hal-hal material. Aturan main utama adalah survival of the fittest, atau dalam skala yang besar : persingan pasar bebas. Kelima, militerisme. Kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekersan adlah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri. Setelah perang dingin selesai, kini agama menjadi kategori identits penting yang melegitimasi konflik dan tindak kekerasan. Munculnya fndamentalisme agama adalah contoh dari fenomena ini.

(29)

ilmuan untuk merevisi asumsi-asumsi yang mendasar bangunan sains modern. Krisis ini menjadi cikal bakal terjadinya revolusi ilmiah.

Krisis ini metode ilmiah dan lahirnya revolusi, dapat digambarkan tahap-tahapnya sebagai berikut :

Tahap I : paradigma ilmiah membimbimbing dan mengarahkan aktivitas ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science)

Tahap II : menumpuknya anomali menimbulkan krisis kepercayaan para ilmuwan terhadap paradigma. Paradigma mulai diperiks dan dipercayakan. Para ilmuwan mulai keluar dari jalur ilmu normal.

Tahap III : para ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sembari memperluas dan mengembangkan suatu paradigma tandingan yang dipandang bisa memecahkan masalah dan membimbing aktivitas ilmiah berikutnya.

Skema ketiga tahap tersebut sebagai berikut

3. Filsuf Awal Postmodernisme

Awal mula tumbangnya modernisme dan munculnya postmodernisme sebenarnya dapat dilacak pada filsafatnya Soren Kierkegaard (1813-1855), yang menentang rekonstruksi-rekonstruksi rasional dan masuk akal yang menentukan keabsahan kebenaran ilmu. Kriteria kebenaran yang berlaku bagi dunia modern adalah yang rasional dan objektif Kierkegaard justru berpendapat scbaliknya, bahwa kebenaran itu bersifat subjektif, "truth is subjectivity'. Pendapat tentang "kebenaran subjektif' ini menekankan pentingnya pengalaman dan relativitas, yang dialami oleh individu-individu."'

(30)

sosialisme dan di mana insting mengalami penurunan tajam.

Menurut Nietzsche, nihilisme adalah kondisi dimana "nilai-nilai tertinggi mendevalusi dirinya sendiri”. Nihilisme tak lain adalah "Kondisi postmodern", yakni berakhirnya segala metanarasi.

Dengan memproklamirkan "tuhan telah mati", Nietzsche berpandangan tidak ada kebenaran absolut lagi. Manusia harus bebas dari segala makna absolut yang menjamin dirinya dan dunianya. Manusia sendiri harus menciptakan dunia dan memberinya nilai, yakni nilai yang tidak, mengandung kebenaran mu dak atau rata dunia moral. Kalau suatu nilai atau kebenaran sudah mengarah menjadi absolut, manusia harus meninggalkannya. Nietzsche mengibaratkan, kalau sampan kita sudah aus dan tak dapat lagi digunakan untuk berlayar, sampan itu harus dihancurkan dan diganti dengan sampan yang baru. Menurut Nietzsche, hanya dengan cara ini kita dapat bebas dan terhindar dari mengabsolutkan sesuatu

Edmund Husserl. (1859-1938), juga dipandang sebagai tokoh penting perintis postmodernisme. Dalam karyanya The Idea of Phenomenology, Husserl mencoba mengatasi persoalan "subjek-objek" dengan cara membongkar se-cara efektif paham tentang "subjek epistemologis" dan "dunia objektif. Sejak itu, persoalan epistemologi dan juga tentang `ilmu" dan "keilmiahan" terus-menerus dipertanya¬kan. Dalam pencarian ini, Husserl menemukan fondasi absolut pengetahuan yang murni, yakni dalam subjektivitas transendental. Subyektifitas trnsedent, menurut Husserl, terletk pada Lebenswelt, yakni aliran kehidupan langsung sebelum terfleksikan, lapisan dasar yang kemudian memunculkan tematisasi dan teoritisasi ilmiah. Dengan demikian, yang disebut dengan ”dunia objektif” sebetulnya hanyalah penafsiran tertentu saja atas dunia pengalaman hidup sehari-hari (Lebenswelt) yang mengatasi dan mendahului kategori-kategori objektivistik maupun subjektivistik.

Di samping Kierkegaard, Nietszche, dan Husserl, M Keidegger (1889-1976) juga dipandang sebagai perintis postmodernisme. Heidegger sangat kritis terhadap filsafat modern tentang manusia. Manusia bukanlah segumpal substansi berpikir yang sadar diri, atau makhluk yang kerjanya memikirkan dan merumuskan ihwal; tetapi manusia adalah dasein, ia "ada dalam dunia". Hubungan manusia dengan kenyataan tidak semata-mata hubungan intelektual, subyek memahami obyek.

(31)

bagi lahirnya "pemikiran lain" yang terlupakan dari pemikiran modern. Pengetahuan, moral, sejarah, dan politik tidak lagi tunggal. Lokalitas mendapatkan penghargaan tersendiri. Kalaupun ingin mendapatkan patokan universal, jalan yang harus melalui konsensus. Pengetahuan bukan lagi soal pendasaran melainkan percakapan.

Fokus filsafat Heidegger terletak pada duatema. Pertama Heidegger memperlihatkan suatu anti-Cartesianisme, yaitu penolakan dualisme pikiran-tubuh, dan pembedaan antara subyek dan objek. Kedua, filsafat Heidegger sebagian besar adalah pencat terhadap autentisitas, atau apa yang mungkin lebih tepat dilukiskan sebagai ”kepunyaan sendiri”, yang dapat dimengerti dengan penjelasan tertentu, sebagai keutuhan. Pencarian terhadap autentisitas ini akan membawa kita ke dalam persoalan-persoalan abadi tentang haki diri dan arti kehidupan.

4. Teoretisi Postmodernisme 1) Francouis Lyotard

Dilahirkan di Versailles 10 Agustus 1924, dan meninggal di Paris tahun 21 April 1998. Dalam buku The Postmodern Condition, ia memperlihatkan bagaimana identifikasi pengetahuan bersama representasi, karakteristik masyarakat modern, tindakan yang kita tampilkan mereduksi ragam dari tindakan yang kita tampilkan dalam bahasa menjadi denotasi. Bahasa kemudian menjadi serangkaian pernyataan yang dapat diperlakukan sebagai benda, sebagai komoditas dalam masyarakat kapitalis. Bagi Lyotard pengetahuan rasional tidakbisa lagi dijadikan sebagai dasar bagi kritik, juga tidak memiliki emansipasi sebagaimana dijanjikan oleh para pemikir pemikir abad pertengahan. Pengetahuan adalah narasi teror Barat, sejauh yang dituju adalah membungkam cerita-cerita lain dengan menyajikan dirinya sebagai satu-satunya penjelasan yang benar dan absah.

Bagi Lyotard, postmodernisme itu sepertinya intensifikai dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan eksperimentasi dan revolusi kehidupan terns-mencrus. Lyota mengatakan, "Marilah kita perangi totalitas ... marilah kita hidupkan perbedaan. Kenyataannya, postmodernisme menjadi wadah pertemuan berbagai perspektif teoritis yang berbeda-beda : ”Ilmu pengetahuan postmodern bukanlah semata-mata menjadi alat penguasa; ilmu pengetahuan postmodern memperluas kepekaan kita terhadap pndangan yang berbeda dan memperkuat kemampuan kita untuk bertolernsi atas pendirian yang tak mau dibanding-bandingkan.

(32)

a. Discourse, Power and Knowledge

Pemikiran Nietzhe berimbs pada pemikiran Foucault. Faucoult memang tidak secara tegas menolak keuniversalan pengetahuan, tetapi dari pandangannya tentang wacana yng bersifat diskontinu” tampaklah penolakan itu. bagai Foucault , setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia secara khas, berbeda dengan era sejarah yang lain. Dengan kata lain, era historis yang berbeda tentunya memiliki perbedaan episteme untuk setiap periodenya. Pandangan diskontinuitasnya ini merupakan salah satu aspek dari gugatannya terhadap tema-tema modern seperti asal-muasal, tujuan akhir, kontinuitas, totalitas, dan subjek yang utuh.

Ada beberapa asumsi pemikiran pencerahan “klsik” yang ditolak oleh Foucault, yaitu: a) Pengetahuan itu tidak bersifat metafisis, transendental atau universal, tetapi khas untuk setiap waktu dan tempat

b) Tidak ada pengetahuan menyeluruh yang mampu menangkap karakter ”objektif” dunia, tetapi pengetahuan itu selalu mengambi perspektif

c) Pengetahuan tidak dilihat sebagai cara pemahaman yang netral dan murni, tetapi selalu terikat dengan rezim-rezim kekuasaan.

d) Pengetahuan sebagai wacana tidak muncul sebagai evolusi sejarah yang konstan, melainkan bersifat diskontinu.

(33)

b. Arkeologi Foucault

Jika kita memandang modernitas bermula pada abad ke 16 dan ke-17, maka karya Foucault bisa dilihat sebagai refleksi kritis atas perbedan antara bentuk-bentuk kebudayaan pra-modern dan modern. Dalam Madnes and Civilization (1961) Foucault mengawali gagasannya tentang ”arkeologi kebisuan penderita kegilaan” di dalam suatu dunia di mana penderita kegilaan menggantikan penyakit kusta sebagai kematian ”yang telah tiba”.

Menurut Foucault, “posisi liminal” penderita kegilaan di abad pertengahan terlihat dari disingkirkannya mereka secara sosial ke dalam ”bahtera untuk orang-orang sinting”. Humanisme renaissance berperan membebaskan suara penderita kegilaan sekaligus mengontrolnya dengan cara memasukkan kegilaan ke dalam ”semesta diskursus”, namun demikian, hanya dalam periode klasiklah penderita kegilaan direduksi menjadi kebisuan dengan jaln mengungkungnya dalam rumah-rumah sakit. Foucault berangkat dari gagasan tentang episteme atau ”bidang epsitemologis” yang mengatur syarat-syarat bagi pengetahuan yang mungkin. Menurut Foucault, terdapat tiga episteme berbeda-beda yang saling mendukung masa renaissance, period-periode klasik, dan abad ke-19, yang memisahkan period-periode klasik dengan abad ke-19 adalah bahwa yang terdahulu masih mempertahankan hubungan yang tak terbatas, sedangkan masa berikutnya meneguhkan perbatasan analitis.

c. Geneology of Knowledge

Gagasan tentang geneologi muncul sejak pidato inaugurasi Foucolt yang lantas diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Discourse on Language (1971 : 1972). Di sini gagasan tersebut muncul demi melengkapi analisis tentang aspek diskursu yang mirip sistem dengan suatu analisis tentang bagaimana aspek itu terbentuk. Tugas geneologi kekuasaan sesungguhnya adalah menganalisis silsilah pengetahuan.

Menurut Foucault, pembedaan Nietzsche antara asal usul (origin) dan silsilah (descent) adalah pembedaan antara presentasi sejarah sebagai terbentangnya suatu gagasan secar jelas serta sebagai fenomena yang murni kebetulan.

(34)

untuk memperbarui kedaulatan yang keropos.s edangkan dalam modernitas, adanya bentuk-bentuk baru ”penghukuman yang digeneralisasikan” disebbkan oleh adanya bentuk baru kekusan yang merembeas dan menjangkau setiap bagian tubuh sosial, dan yang tergambarkan paling jelas dalam Pnopaticon Bentham.

Serangan Foucault terhadap hipotesis ekspresif merupakan konsekuensi dari gagasan barunya tentang kekuasaan. Foucault bukannya mengonsepsi modernitas sebagai sumber pembatasan seks, namun sebagai penyebab penyebarannya, terseretnya seks ke dalam diskursus.

Di sini ia memperkenalkan gagasan tentang bio-power. Namun, pada volume-volume kelanjutannya ternyata dia tidak mengulas hal itu.

d. Kilas balik Filsafat Foucault

Foucault dalam karya use of Pleasure (1984a) dan Care of The Self (1984b) tidak mengonsentrasi diri pada kaidah internal atau regularitas formasi diskursif. Namun, kini mengarahkan perhatian pada hubungan antara manusia dan dunia.

Pengarahan arkeologi menuru “problematisasi” ini lebih merupakan suatu peralihan hermeneutis dalam pemikirannya mengenai kebudayaan.

Dalam dua buku itu Foucault kembali, meski dalam bentuk yang telah dimodifikasi, pada jenis gaya analisis komplementer yang pernah ia janjikan dalam pidato inaugarasinya

Dengan begitu, meski terdapat perubahan dalam programnya, tetap tertarik pada persoalan sentral berupa bagaimana manusia Barat akhirnya sebegitu jauh melibatkan dirinya sendiri dalam persoalan seksualitasnya

Karya Foucault mengenai sejarah dapat menimbulkan salah paham. Kontroversi mengenai karyanya pun tak jarang dijumpai.

3) Jacques Derrida (1930-2004 M)

Membahas filsuf yang satu ini pasti tidak akan lepas dari buh pikirannya tentang dekonstruksi. Istilah ini merupakan salah satu konsep kunci postmodernisme. Apa itu dekonstruksi ? Secara etimologis, dekonstruksi dalah berarti ”mengurai”, melepskan, dan membuka”. Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks secara interpretatif atau, katakanlah, suatu hermeneutik dengan cara radikal.

(35)

Dekonstruksi menunjukkan bahwa pembedaan dan antinomi konseptual pada akhirnya tidak terkontaminasi, dna karenanya juga tidak dapat dipertahankan. Makna tidak berdasarkan pada sebuah hierarki makna, melainkan terbentuk dalam sebuah jaringan acuan-acuan lewat momen suspensi.

Penagguhan ini, difereance, atau – Derrida menyebut demikian – spesialisasi atau temporalisasi ini berarti pula bahwa makna teks tidak bisa distabilkan. Teks tidak didekonstruksikan, melainkan mendekonstruksi dirinya sendiri. Dengan kata lain, makna dari teks itu ditunda atau ditangguhkan. Namun, menunda dan menagguhkan tidak berarti bahwa pembedaan hanyalah omong kosong belaka. Dengan pemahaman ini Derrida tidak ingin menyebarkan nihilisme.

Untuk tujuan tersebut dekonstruktivisme adalah sebuah cara berpikir yang senantiasa menantang kita untuk menjawab pertanyaan, bagaimana kita bisa membedakan sesuatu tanpa menilai dan tanpa memutuskan.

4) Richard Rorty (1931-2007)

Menurut Rorry, apa yang kita sebut sebagai filsafat selama ini telah menuju ke banyak tiotik kebuntuan di bidang epistemologi, metafisika, bahkan teori-teori moral. Berbeda dari para post-strukturalisme atau postmodernitas lainnya, dalam buku Philosophy and the Mirror of Nature, Rorty ingin menyudahi apa yang disebutnya “epsitemology centered philosophy” atau tradisi Cartesian-Kantian.

Menurutnya, dewasa ini merupakan ”the end of philosophy (as epistemology)”. Memang, dalam alam pikir modern, tugas pokok filsafat adalah mencari segala fondasi pengetahuan (foundasionlisme) dan tugas pokok subjek adalah mempresentasikan kenytaan objektif (representasionalisme)

Untuk memusnahkan epistemologi, dia memakai istilah Cadamer yaitu “hermeneutik”. Hermeneutik, baginya, bukan suatu disiplin, metode alternatif bagi epistemologi, ataupun program riset, melainkan “... suatu ungkapan pengharapan bahwa ruang kultural yang disisakn oleh kesudahan epistemologiu tidak akan terisi” Dalam memberikan penajaman di bidang filsafat, Rorty berusaha untuk menyatukan dan mengaplikasikan Dewey hegel dan Darwin dalam sintesis pragmatis antara historisisme dan anturalisme.

5) Jean Baudrillard (1929 – 2007)

(36)

sangat dipengaruhi oleh perspektif Marxian yang menitikberatkan pada masalah ekonomi . bedanya, kalau Marxian lebih memfokuskan pada produksi, Baudrillard memfokuskan dirinya pada masalah konsumsi. Menurut Baudrillard, objek konsumsi merupakan “sesuatu yang diorganisir oleh tatanan produksi” atau “perluasan kekuatan produktif yang diorganisir” Baudrillard menambahkan, konsumsi bukanlah tambahan kecil bagai puataran kapital … tetapi [merupakan] kekuatan produktif yang penting bagi kapital itu sendiri.

Secara umum, pemikiran Budrillard memusatkan perhatian pada kultur, yang dilihatnya mengalami revolusi besar-besaran dan merupakan bencana besar. Revolusi kultural itu menyebabkan massa menjadi semakin pasif ketimbang semakin berontak seperti yang diperkirakan pemikir Marxis. Dengan demikian, masa dilihat sebagai “lubang hitam” yang menyerap semua makna, informasi, komunikasi, pesan, dan sebagainya, menjadi tidak bermakna … masa menempuh jalan mereka sendiri, tak megindahkan upaya yang bertujuan memanipulasi mereka. Kekacauan, apatis, dan kelebaman in merupakan istilah yang pepat untuk melukiskan kejenuhan massa terhadap tand meida, simulasi, dan hiperrealitas.

6) Fredric Jamerson (1934)

Fredric Jamerson lahir 14 April 1934 di Cleverland, Ohio. Ia merupakan salah satu kritikan literatur berhaluan Marxis pling terkemuka. Kini ia menjabat sebagai Profesor of Comparative Literature di Duke University (Durham NC, USA), sekaligus mengepalai the Center for Cultural Theory.

George Ritzer dalam Postmodern Social Theory, menempatkan Jamerson ke dalam pemikir Amerika yang berhaluan postmodern bersama dengan Daniel Bell, kaum feminis (Sandra Harding, Judith Butler, Susan Bordo, dan lain-lain), dan teoritikus multikultural.

Jamerson jelas-jelas mengadopsi posisi Marxis untuk mengembangkan teori sosial budayanya. Namun demikian, ia menolak mengikuti pola dan klaim yang dikembangkan oleh para pengikut Marxis dari Prncis (seperti Lyotard, Baudrillrd dan Foucault) yang percaya bahwa teori Marxis termasuk ”narasinya(continuity).

Teori ” Logika Kultural Kapitalisme Akhir

Referensi

Dokumen terkait

DAFTAR LAMPIRAN ... Latar Belakang Penelitian ... Rumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... Sistematika Penulisan ... Pariwisata, wisata, wisatawan

Berdasarkan hasil observasi di kelas diketahui, bahwa: performance guru model bagus, tampak perencanaan pembelajaran yang matang, siswa antusias dalam melaksanakan

Karena probabilitas lebih besar dari 0,05, maka dapat diinterpretasikan bahwa kecerdasan emosi- onal yang terdiri dari kecakapan pribadi dan sosial dan kecerdasan

karya patung sebagai objek penelitian adalah taman air mancur Sri Baduga.. yang berada di situ buleud, yang terdapat sosok Patung Sri Baduga

Nilai kalor minyak pirolisis plastik LDPE yang paling tinggi diantara tiga variasi suhu yang ada yaitu pada suhu 700 o C yaitu sebesar 9583.45 kal/gr.Nilai kalor rata-rata

Penelitian yang dilaksanakan pada mata pelajaran Matematika materi keliling dan luas bangun datar(jajargenjang dan segitiga) kelas IV MI Muhammadiyah Tejobang dengan

Rongga patologis yang berisi pus (abses) ini terjadi dalam daerah periapikal, yang notabene adalah di dalam tulang.Untuk mencapai luar tubuh, maka abses ini

Setelah kelompok terbentuk, fasilitator akan memberikan tugas kepada seluruh peserta untuk berbicara dihadapan teman kelompoknya mengenai sebuah tema yang telah ditentukan