• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Gaya Komunikasi dan Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Gaya Komunikasi dan Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Swasta di Kota Medan"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gaya Komunikasi

2.1.1 Pengertian Gaya Komunikasi

Gaya komunikasi (communication style) didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antar pribadi yang terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu (a specialized set of interpersonal behaviors that are used in a given situation). Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokallik, bahasa badan, penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak. Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis (Parwiyanto, 2000).

(2)

Ada empat tipe dasar menurut Ehow (2012) yang digunakan untuk menggambarkan gaya komunikasi seseorang:

1. Komunikasi pasif

(3)

2. Agresif

(4)

3. Pasif-agresif

Gaya komunikasi agresif adalah jika seorang komunikator pasif-agresif, tidak berhubungan langsung dengan masalah, tampaknya tidak memiliki masalah luar dengan orang lain, sedangkan secara tidak langsung mengekspresikan kemarahan dan frustrasi. Sebagai komunikator pasif-agresif, menggunakan sarkasme, penolakan dan bahasa tubuh membingungkan. Dapat mencoba untuk melemahkan atau bahkan sabotase orang lain. Akibatnya, merasa tidak berdaya dan tidak efektif. Memiliki kesulitan memperoleh kepercayaan sejak lain tidak melihat sebagai stabil atau mudah, dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dengan langsung berurusan dengan masalah. Komunikator Pasif-agresif menghindari konfrontasi langsung namun upaya untuk mendapatkan bahkan melalui manipulasi. Mereka sering merasa tidak berdaya dan kesal. Mereka sering mengatakan "ya" ketika mereka benar-benar ingin mengatakan "tidak." Pasif-agresif komunikator sering sarkastis dan berbicara unkindly tentang orang-orang di belakang punggung mereka. Mereka mungkin bergumam untuk diri mereka dari pada menghadapi orang atau masalah.

4. Tegas

(5)

Akibatnya, merasa memegang kendali dan lain-lain merasa betah dan terhubung. Menerima tanggung jawab untuk masalah dan pilihan dan berdiri sendiri. Tidak mencoba untuk mengendalikan orang lain. (Ehow, 2012 ).

Gaya komunikasi dipengaruhi situasi, bukan kepada tipe seseorang, gaya komunikasi ini bukan tergantung pada tipe seseorang melainkan kepada situasi yang dihadapi. Setiap orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbeda-beda ketika mereka sedang gembira, sedih, marah, tertarik atau bosan. Begitu juga seseorang yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru dikenal dan dengan anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Selain itu gaya yang digunakan dipengaruhi oleh banyak faktor, gaya komunikasi adalah sesuatu yang dinamis dan sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu yang relatif. Sedangkan gaya komunikasi menurut Tubbs dan Sylvia Moss (2002), yang akan kita jadikan acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) The controlling style

(6)

Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada umpan balik, kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi mereka. Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir dengan pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi pandangan-pandangannya.

Pesan-pesan yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak berusaha ‘menjual’ gagasan agar dibicarakan bersama namun lebih pada usaha menjelaskan kepada orang lain apa yang dilakukannya.

The controlling style of communication ini sering dipakai untuk mempersuasi orang lain supaya bekerja dan bertindak secara efektif, dan pada umumnya dalam bentuk kritik. Namun demkian, gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, tidak jarang bernada negatif sehingga menyebabkan orang lain memberi respons atau tanggapan yang negatif pula.

2) The equalitarian style

(7)

Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi yang bermakna kesamaan ini, adalah orang-orang yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi serta kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang lain baik dalam konteks pribadi maupun dalam lingkup hubungan kerja. The equalitarian style ini akan memudahkan tindak komunikasi dalam organisasi, sebab gaya ini efektif dalam memelihara empati dan kerja sama, khususnya dalam situasi untuk mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang kompleks. Gaya komunikasi ini pula yang menjamin berlangsungnya tindakan share/berbagi informasi di antara para anggota dalam suatu organisasi.

3) The structuring style

(8)

4) The dynamic style

Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-oriented). The dynamic style of communication ini sering dipakai oleh para juru kampanye ataupun supervisor yang membawa para wiraniaga (salesmen atau saleswomen). Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini adalah mestimulasi atau merangsang pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan lebih baik. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa karyawan atau bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang kritis tersebut.

5) The relinguishing style

(9)

6) The withdrawal style

Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antar pribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. Dalam deskripsi yang kongkrit adalah ketika seseorang mengatakan: “Saya tidak ingin dilibatkan dalam persoalan ini”. Pernyataan ini bermakna bahwa ia mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga mengindikasikan suatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, gaya ini tidak layak dipakai dalam konteks komunikasi organisasi. Gambaran umum yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa the equalitarian style of communication merupakan gaya komunikasi yang ideal. Sementara tiga gaya komunikasi lainnya: structuring, dynamic dan relinguishing dapat digunakan secara strategis untuk menghasilkan efek yang bermanfaat bagi organisasi. Dan dua gaya komunikasi terakhir: controlling dan withdrawal mempunyai kecenderungan menghalangi berlangsungnya interaksi yang bermanfaat.

(10)

Setiap orang memiliki gaya komunikasi masing-masing. Norton (1983) mengemukakan gaya komunikasi dibagi menjadi sepuluh yaitu:

1. Dominant: yaitu komunikator dominan dalam berinteraksi. Orang seperti cenderung ingin menguasai pembicaraan dan tidak suka dipotong pembicaraanya;

2. Dramatic: yaitu dalam berkomunikasi sering berlebihan, menggunakan hal-hal yang mengandung kiasan, cerita dan permainan suara;

3. Animated expressive yaitu: komunikator cenderung menggunakan bahasa non verbal, untuk memberi warna dalam berkomunikasi, seperti kontak mata, ekspresi wajah dan gerak badan;

4. Open: yaitu komunikator bersifat terbuka, ramah tamah, tidak ada rahasia sehingga timbul rasa percaya dan terbentuk komunikasi dua arah;

5. Argumentative: yaitu komunikator yang cenderung suka berargumen dan agresif dalam berkomunikasi;

6. Relaxad: yaitu komunikator lebih tenang dan menyenangkan;

7. Friendly: yaitu komuniator yang berifat positif dan saling mendukung terhadap orang lain;

8. Attentative: yaitu komunikator berinteraksi dengan orang lain dengan menjadi pendengar yang aktif, empati dan sensitif;

9. Precise: yaitu komunikator lebih fokus pada ketelitian, dokumentasi dan bukti dalam informasi dan argumentasi;

(11)

Proses komunikasi seseorang dipengaruhi oleh gaya komunikasi seseorang. Gaya komunikasi adalah suatu kekhasan yang dimiliki setiap orang dan gaya komunikasi antara orang yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan antara gaya komunikasi satu orang dengan yang lain dapat berupa perbedaan dalam ciri-ciri model dalam berkomunikasi, tata cara berkomunikasi, cara berekpresi dalam berkomunikasi dan tanggapan yang diberikan atau ditujjukan pada saat berkomunikasi (Sumiar dkk, 1999).

2.1.2 Faktor Pendorong Gaya Komunikasi

Ada tujuh komponen yang diidentifikasikan sebagai penyebab gaya interaksi-tujuh hal yang mampu merefleksikan atau memberikan pandangan mengenai interaksi setiap individu. Dengan demikian faktor yang mempengaruhi gaya komunikasi, antara lain:

1. Kondisi fisik

Sesuai dengan penjelasan di atas terlihat jelas bahwasannya kondisi fisik di mana kita melakukan komunikasi sangat mempengaruh gaya komunikasi. Seperti halnya ketika kegiatan komunikasi itu dilakukan dengan kapasitas minim dalam bertatap muka, hal tersebut akan berakibat pada ketidak nyamanan dan kurangnya kepastian antara si pengirim dan penerima pesan. Selain itu dapat menimbulkan ketidaksesuaian atau kenyamanan antara kedua belah pihak.

2. Peran

(12)

dan dengan demikian mereka akan sering melakukan komunikasi antar satu dengan lainnya.

3. Konteks histories

Sejarah mempengaruhi setiap interaksi. Sejarah bangsabangsa, tradisi spiritual, perusahaan, dan masyarakat dengan mudah dapat mempengaruhi bagaimana kita memandang satu sama lain, dengan demikian dapat mempengaruhi gaya komunikasi.

4. Kronologi

Bagaimana interaksi itu cocok menjadi serangkaian peristiwa yang mempengaruhi pilihan gaya komunikasi seseorang. Hal tersebut akan membuat perbedaan, jika itu adalah pertama kalinya seseorang berinteraksi tentang sesuatu atau kesepuluh kalinya, jika interaksi masa lalu seseorang telah berhasil atau tidak menyenangkan. Maka akan membuat suatu perbedaan terhadap gaya komunikasi seseorang.

5. Bahasa

(13)

6. Hubungan

Seberapa baik kita tahu orang lain, dan seberapa banyak kita suka atau percaya dia dan sebaliknya. Hal ini akan mempengaruhi bagaimana kita berkomunikasi. Selain itu, pola kita mengembangkan hubungan tertentu dari waktu ke waktu sering memberikan efek kumulatif pada interaksi selanjutnya antara mitra relasional.

7. Kendala

Metode yang seseorang gunakan untuk berkomunikasi (misalnya, beberapa orang membenci e-mail atau panggilan telepon) dan waktu yang kita miliki hanya tersedia untuk berinteraksi dengan metode di atas. Jenis kendala tersebut akan mempengaruhi cara kita berkomunikasi.

2.1.3 Hambatan Dalam Gaya Komuniksai

1) Hambatan teknis keterbatasan fasilitas dan peralatan komunikasi

Dari sisi teknologi, hambatan teknis ini semakin berkurang dengan adanya temuan baru dibidang kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, sehingga saluran komunikasi dapat diandalkan dan efesien sebagai media komunikasi.

2) Hambatan semantik

(14)

dapat mengakibatkan kata yang dipakai ditafsirkan sangat berbeda dari apa yang dimaksudkan sebenarnya.

Untuk menghindari salah komunikasi semacam ini, seorang komunikator harus memilih kata-kata yang tepat sesuai dengan karakteristik komunikannya, dan melihat kemungkinan penafsiran terhadap kata-kata yang dipakainya.

3) Hambatan manusiawi/hambatan yang berasal dari perbedaan individual manusia

Terjadi karena adanya faktor, perbedaan umur, emosi dan prasangka pribadi, persepsi, kecakapan atau ketidakcakapan, kemampuan atau ketidakmampuan alat-alat pancaindera seseorang.

2.1.4 Gaya Komunikasi Kepala Ruangan

(15)

Rouco (2012), gaya komunikasi kepala ruangan adalah faktor kunci pada setiap pemimpin, harus dimiliki untuk meningkatkan budaya kerja perawat, yang berarti bahwa ia harus memiliki satu set keterampilan yang membantu untuk menjadi komunikator yang baik. Untuk ini, kepercayaan diri adalah penting untuk seorang kepala ruangan sehingga benar menggunakan kualitas mereka, memberikan perasaan aman dan kehadiran (Goleman, Boyatzis & Mckee, 2013). Selain itu, kontrol diri membantu kepala ruangan mengatasi tindakan negatif dalam situasi yang menyebabkan stress (Viera , 2002).

(16)

2.1.5 Alat Ukur Gaya Komunikasi

Sousa dan Rouco (2014) mengatakan bahwa alat pengukuran mengguanakan pengkajian yang efektif memungkinkan kepala ruangan dapat menggunakan gaya komunikasi berfokus pada tindakan prioritas (25% hal yang merupakan masalah yang sebenarnya) dan kompetensi gaya komunikasi yang secara spesifik seperti gaya komunikasi tegas, gaya komunikasi yang sering marah, gaya komunikasi yang ingin menang sendiri dan gaya kominikasi yang cenderung diam atau tidak banyak untuk berbicara.

Berikut ini ada beberapa alat penilai yang biasa digunakan untuk menilai gaya komunikasi dalam suatu budaya kerja layanan keperawatan:

a. CSQ (communication style questionnaire)

(17)

b. daftar tilik

Ada beberapa jenis alat penilai yang berupa daftar tilik yakni skala berat, daftar tilik paksaan, daftar tilik sederhana. Skala berat, daftar tilik yang sering digunakan, terdiri dari pernyataan gaya komunikasi yang mewakili gaya komunikasi dan setiap pernyataan memiliki skor berat yang menyertainya. Daftar tilik paksaan mensyaratkan agar memilih gaya komunikasi yang tidak digunakan dan diinginkan untuk setiap kepala ruangan. Sedangkan daftar tilik sederhana berupa deskriptif yang terdiri dari berbagai kata atau frase yang menjelaskan beragam gaya komunikasi setiap kepala ruangan. Kelemahan setiap daftar tilik adalah tidak adanya seperangkat standar gaya komunikasi dan komponen tertentu tidak dibahas.

2.1.6 Hasil Ukur

(18)

2.2 Kepemimpinan

2.2.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain. Dengan kata lain kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lainuntuk menggerakkan orang-orang tersebut agar dengan penuh pengertian dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pemimpin tersebut. Kepemimpinan manajerial ditandai dengansifat manajerial dan keterampilan manajerial yang mengarah ke pemberdayaan.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Karena posisi manajemen terdiri atas tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu biasa mengasumsikan suatu peran kepemimpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi tersebut dan terdapat enam ciri yang terlihat dari seorang pemimpin yaitu: 1. ambisi dan energy, 2. hasrat untuk memimpin, 3. kejujuran dan integritas, 4. kepercayaan diri, 5. kecerdasan, 6. pengetahuan yang relevan dengan tugas pekerjaannya (Robbins, 2006).

(19)

seseorang pimpinan untuk mengarahkan bawahannya dalam mencapai tujuan organisasi.

2.2.2 Teori-Teori Kepemimpinan 1) teori “trait” (bakat)

Teori ini menekankan bahwa setiap orang adalah pemimpin (pimpinan dibawa sejak lahir bukan didapatkan) dan mereka mempunyai karakteristik tertentu yang membuatmereka lebih baik dari orang lain, teori ini disebut dengan “Great Man Theory”. Banyak peneliti tentang riwayat kehidupan Great Man Theory. Tetapi menurut teori kontemporer, kepemimpinan seseorang dapat dikembangkan bukan hanya pembawa sejak lahir, dimana teori trait mengabaikan dampak atau pengaruh dari siapa pengasuh. Situasi, dan lingkungan lainnya (Marqus dan Huston,1998 dalam Arwani 2006).

(20)

2) teori perilaku

Nursalam (2002) menyatakan bahwa teori perilaku lebih menekankan kepada apa yang dilakukan pemimpin dan bagaimana seorang manajer menjalankan fungsinya. Perilaku sering dilihat sebagai suatu rentang dari sebuah perilaku otoriter ke demokrat atau dari fokus suatu produksi ke fokus pegawai. Tentang teori prilaku terdapat teori X dan teori Y dari McGregor yang dihubungkan dengan motivasi dari Moslow yang menyatakan bahwa setiap manusia merupakan kehidupan individu secara keseluruhan yang mengadakan interaksi dengan dunia individu lain (Swanburg, 2000).

2.2.3 Fungsi Kepemimpinan

Kepemimpinan dapat diterapkan yang mengandung beberapa konsep dasar penting dimana fungsi kepemimpinan dijalankan. Beberapa konsep itu antara lain Leadership is an art of giving; motivational leadership; entrepreneurship;

(21)

pemahaman tentang kebutuhan orang lain, memiliki dan mengatur energi, serta kemampuan mengambil tindakan yang dirasakan perlu untuk memenuhi kepentingan orang banyak.

Dalam kemampuan mengantisipasi bargaining, ini masa depan, pemimpinyang menjalankan terhadap fungsi kepemimpinannya memerlukan kemampuan yang efektif secara internal maupun eksternal (Chowdury, 2003). Kemampuan untuk pemimpin melakukan upaya peningkatan diri dan organisasinya serta menilai berbagai asupan dan umpan balik dari lingkungan sebagai hal yang penting dalam mengambil keputusan.

Oleh karena itu, pemimpin seperti ini perlu untuk mengenali lebih mendalam masyarakat dimana ia memimpin baik didalam maupun diluar. Dia juga selayaknya mengenali keinginan lingkungan tentang keluaran yang dihasilkan organisasi melalui kepemimpinannya. Seorang pemimpin keperawatan tidak akan berhasil melakukan fungsinya apabila tidak memiliki kemampuan mengatur waktu, mengendalikan stress, baik yang dialaminya maupun orang lain (bawahan), dan juga mengatasi konflik yang terjadi baik internal maupun eksternal, baik individu, maupun kelompok (managing time, stress, and conflict).

(22)

Kepemimpinan memerlukan seseorang pemimpin yang mampu membawa perubahan/pembaharuan tanpa menimbulkan kecemasan dan ketidak pastian situasi akibat perubahan/pembaharuan tersebut pada orang yang terlibat didalamnya. Konsep ini seyogyanya mendasari sifat kepemimpinan yang visioner dan futuristik. Hal ini karena pemimpin yang berorientasi ke masa depan dan mengetahui pilihan masa depan yang terbaik untuk bawahannya akan mampu membawa perubahan/pembaharuan kedalam kehidupan kerja para bawahannya dengan sebaik-baiknya melalui perencanaan yang matang dan waktu yang tepat. 2.2.4 Kegiatan Kepemimpinan

(23)

2.2.5 Gaya Kepemimpinan

Gaya adalah sebagai cara penampilan karakteristik atau tersendiri / khusus. Follet (1940) mendefinisikan gaya sebagai hak istimewa tersendiri dari si ahli, dengan hasil akhirnya tanpa menimbulkan isu sampingan. Gillies (1970) dalam Nursalam (2000) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan dapat diidentifikasikan berdasarkan perilaku pimpinan itu sendiri.

Perilaku seseorang dipengaruhi oleh adanya pengalaman bertahun-tahun dalam kehidupannya. Oleh karena itu, kepribadian seseorang akan mempengaruhi gaya kepemimpinan yang digunakan. Gaya kepemimpinan cenderung sangat bervariasi dan berbeda-beda.

Gaya yang dikembangkan oleh seorang pemimpin dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Ketiganya akan menentukan sejauh mana ia akan melakukan pengawasan terhadap kelompok yang dipimpin. Faktor kekuatan yang pertama bersumber pada dirinya sendiri sebagai pemimpin. faktor kedua bersumber pada kelompok yang dipempin, dan faktor yang ketiga tergantung pada situasi (Muninjaya, 1999). Secara mendasar gaya kepemimpinan dibedakan atas empat macam berdasarkan kekuasaan dan wewenang, yaitu otokratik, demokratik, participation, dan laisez-faire atau free rain.

Keempat tipe atau gaya kepemimpinan tersebut satu sama lain memiliki karakteristik yang berbeda (Gillies, 1986).

(24)

mempertanggung jawab untuk semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan serta memotivasi bawahannya dengan menggunakan sanjungan, kesalahan, dan penghargaan. Pemimpin menetukan semua tujuan yang akan dicapai dalam pengambilan keputusan (Gillies, 1986). Seorang pemimpin yang menggunakan gaya ini biasanya akan menentukan semua keputusan yang berkaitan dengan seluruh kegiatannya dan memerintah seluruh anggotanya untuk mematuhi dan melaksanakannya (DepKes, 1990).

b. gaya kepemimpinan demokratis: merupakan kepemimpinan yang menghargai sifat dan kemampuan setiap staf. Menggunakan kekuasaan posisi dan pribadinya untuk mendorong ide-ide dari staf, memotivasi kelompok untuk menentukan tujuan sendiri. Membuat perencanaan, mengontrol dalam penerapannya, informasi diberikan seluas-luasnya dan terbuka (Nursalam, 2002). Prinsipnya pemimpin melibatkan kelompok dalam pengambilan keputusan dan memberikan tanggung jawab pada karyawannya (La Monica, 1986).

(25)

d. gaya kepemimpinan laisserz faire: disebut juga bebas tindak atau membiarkan. Merupakan pimpinan ofisial, karyawan menentukan sendiri kegiatan tanpa pangarah, supervisi, dan koordinasi. Staf / bawahan mengevaluasi pekaryaan sesuai dengan cara sendiri. Pimpinan hanya sebagai sumber informasi dan pengendali secara minimal atau sebagai fasilitator (Nursalam. 2002).

2.2.6 Ciri-Ciri Pemimpin

Menurut Kabul (2005) pemimpin yang dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang tepat akan dapat memuaskan bawahannya sehingga pegawai menjadi lebih giat bekerja sehingga kinerja pegawai dapat terbentuk. Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwa dalam usaha untuk meningkatkan prestasi kerja dibutuhkan ciri-ciri pemimpin yang berperilaku partisipasif. Brown dalam Suhana (2007) menemukan bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan dan tugas terhadap komitmen organisasi. Temuannya menunjukkan bahwa perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan yang meliputi membangun kepercayaan, memberikan inspirasi, visi, mendorong kreativitas dan menekankan pengembangan berpengaruh secara positif pada komitmen afektif karyawan. Sementara perilaku kepemimpinan yang berorientasi pada tugas juga berpengaruh terhadap komitmen afektif karyawan, meski tingkat pengaruhnya lebih rendah.

(26)

2. pemimpin menjelaskan bagaimana memenuhi harapan tersebut, 3. pemimpin mengemukakan kriteria dalam melakukan evaluasi dari kinerja secara efektif, 4.

pemimpin memberikan umpan balik ketika karyawan telah mencapai sasaran, dan 5. pemimpin mengalokasikan imbalan berdasarkan hasil yang telah mereka capai.

Teori Path Goal (Yulk, 1989) mengatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang memengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Teori ini menyatakan bahwa situasi yang berbeda masyarakat gaya kepemimpinan yang berbeda. Bawahan dengan locus of control internal kepuasan kerjanya akan lebih tinggi dengan gaya kepemimpinan yang partisipatif sedangkan bawahan dengan locus of control eksternal kepuasan kerjanya akan lebih tinggi dengan gaya direktif.

(27)

2.2.7 Pemimpin dalam Keperawatan

Kepemimpinan merupakan gaya memimpin yang dapat menghasilkan keluaran melalui pengaturan kinerja orang lain. Pemimpin harus mampu memastikan bahwa bawahan melaksanakan pekerjaannya berdasarkan keterampilan yang dimiliki dan komitmen terhadap pekerjaan untuk menghasilkan keluaran yang terbaik. Kepemimpinan timbul sebagai hasil sinergis berbagai keterampilan mulai dari administrative (perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan pengawasan), keterampilan teknis (pengelolaan, pemasaran, dan teknis procedural) dan keterampilan interpersonal (Nurahmah, 2005).

Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan kemampuan dan keterampilan seorang manajer keperawatan dalam mempengaruhi perawat lain di bawah pengawasannya untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawab dalam memberikan pelayanan keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai. Pemberian pelayanan keperawatan merupakan suatu kegiatan yang komplek dan melibatkan berbagai individu. Agar tujuan keperawatan tercapai diperlukan berbagai kegiatan dalam menerapkan keterampilan kepemimpinan (Nurahmah, 2005).

Menurut Kron (1981), kegiatan tersebut meliputi: 1. perencanaan dan pengorganisasian, manajer keperawatan dituntut untuk mampu membuat rencana

kegiatan keperawatan baik yang bersifat teknis atau non teknis keperawatan, 2. penugasan dan pengarahan, manajer keperawatan bertanggung jawab dalam hal

(28)

4. mendorong kerja sama dan partisipasi, manajer keperawatan dituntut agar dapat membangun kinerja dalam tim, 5. koordinasi, diperlukan sebagai sarana konsolidasi proses pelayanan keperawatan yang dilaksanakan, 6. evaluasi penampilan kerja, manajer keperawatan perlu melakukan penilaian terhadap efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi bawahannya.

Kepemimpinan dalam keperawatan dapat ditumbuhkan lebih optimal, selain dengan menguasai keterampilan di atas tetapi juga apabila seorang manajer keperawatan mampu memperlihatkan keterampilan dalam menghadapi orang lain dengan efektif. Keterampilan tersebut yaitu: 1. kepiawaian dalam menggunakan posisi, 2. kemampuan dalam memecahkan masalah secara efektif, 3. ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan, 3. mampu menjadi media dalam penyelesaian konflik kinerja, dan 5. mempunyai keterampilan dalam komunikasi dan advokasi (Gillies, 2994).

2.2.8 Cara Pengukuran Kepemimpinan

Rouco, (2012) mengatakan bahwa alat pengkajian kepemimpinan keperawatan yang efektif harus memungkinkan seorang kepala ruangan dalam memimpin harus fokus pada tindakan prioritas. Berikut ini ada beberapa alat penilaian yang digunakan dalam menilai kepemimpinan seorang kepala ruangan.

a. LPI (leadership practices inventory)

(29)

b. LCQ (leadership competences questionnaire)

Skala ini merupakan metode pengukuran seorang kepemimpinan keperawatan yang terdiri dari enam dimensi berdasarkan standar yang telah disusun yang terdiri dari: pemimpin yang berorientasi pada tugas, kepemimpinan membuat keputusan, kepemimpinan yang memiliki pandangan kedepan, pemimpin yang menyelesaikan konflik manajemen, kepemimpinan yang ikut ambil bagian dan kelakuan kepemimpinan.

2.4.9 Hasil Ukur

(30)

2.3. Budaya Kerja

2.3.1 Pengertian Budaya Kerja

Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujudnya sebagai kerja atau bekerja (Getting, dkk 2001). Menurut Triguno dalam Daryatmi (2002) budaya kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi prilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan prilaku sunber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.

Wolseley dan Camplbell dalam Triguno (1995) menyatakan bahwa orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap:

1. menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran.

2. memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak menyukai penyimpangan dan pertentangan.

(31)

4. mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dalam bidangnya.

5. memahami dan menghargai lingkungannya.

6. berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumag tangga, masyarakat dan organisasinya serta penuh rasa tanggung jawab.

Keberhasilan pelaksanaan program budaya kerja antara lain dapat dilihat dari peningkatan tanggung jawab, peningkatan kedisiplinan dan kepatuhan pada norma/aturan, terjalinnya komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan semua tingkatan, peningkatan partisipasi dan kepedulian, peningkatan kesempatan untuk pemecahan masalah serta berkurangnya tingkat kemangkiran dan keluhan.

Adapun budaya kerja menurut Hadari Nawawi (2003) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia menjelaskan bahwa: budaya kerja adalah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, pelanggaran terhadap kebiasaan ini memang tidak ada sangsi tegas, namun dari perilaku organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut merupakan kebiasaan yang harus ditaati dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.

(32)

Budaya kerja adalah cara pandang atau cara seseorang memberikan makna terhadap kerja. Dengan demikian budaya kerja dapat dipahami sebagai cara pandang serta suasana hati yang membutuhkan keyakinan yang kuat atas dasar nilai-nilai yang diyakininya, serta memiliki semangat yang tinggi dan bersungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik (Departemen Agama RI, 2009). 2.3.2 Terbentuknya Budaya Kerja

Budaya kerja berbeda antara organisasi satu dengan yang lainnya, dalam hal ini dikarenakan landasan dan sikap perilaku yang dicerminkan oleh setiap orang dalam organisasi berbeda. Budaya kerja yang terbentuk secara positif akan bermanfaat karena setiap anggota dalam suatu organisasi membutuhkan sumbang saran, pendapat bahkan kritik yang bersifat membangun dari ruang lingkup pekerjaan demi kemajuan di lembaga tersebut. Budaya kerja akan berakibat buruk jika pegawai dalam suatu organisasi mengeluarkan pendapat yang berbeda hal itu dikarenakan adanya perbedaan setiap individu dalam mengeluarkan pendapat, tenaga dan pikirannya, karena setiap individu mempunyai kemampuan dan keahliannya sesuai bidang masing-masing.

(33)

a. disiplin: perilaku yang senantiasa berpijak pada peraturan dan norma yang berlaku didalam maupun diluar perusahaan.

Disiplin meliputi ketaatan terhadap peraturan perundang-undang, prosedur, waktu kerja, dan berkomunikasi dengan mitra.

b. keterbukaan: kesiapan untuk memberi dan menerima informasi yang benar dari sesama mitra kerja untuk kepentingan perusahaan.

c. saling menghargai: perilaku yang menunjukkan penghargaan terhadap individu, tugas dan tanggung jawab orang lain sesame mitra kerja.

d. kerjasama: kesediaan untuk memberi dan menerima kontribusi dari mitra kerja dalam mencapai sasaran dan target perusahaan (Arozieleroy, 2013).

Kesuksesan organisasi bermula dari adanya disiplin menerapkan nilai-nilai inti perusahaan. Konsistensi dalam menerapkan kedisiplinan dalam setiap tindakan, penegakan aturan dan kebijakan akan mendorong munculnya kondisi keterbukaan, yaitu keadaan yang jadi prasangka negatif karena segala sesuatu disampaikan melalui fakta dan data yang akurat (informasi yang benar). Selanjutnya, situasi yang penuh dengan keterbukaan akan meningkatkan komunikasi horizontal dan vertikal, membina hubungan personal baik formal maupun informal diantara jajaran manajemen, sehingga timbul sikap saling menghargai.

(34)

Fungsi budaya kerja bertujuan untuk membangun keyakinan sumberdaya manusia atau menanamkan nilai-nilai tertentu yang melandasi atau mempengaruhi sikap dan perilaku yang konsisten serta komitmen membiasakan suatu carakerja di lingkungan masing-masing. Suatu keyakinan dan komitmen kuat merefleksikan nilai-nilai tertentu, misalnya membiasakan kerja berkualitas, sesuai standar, atau sesuai ekspektasi pelanggan (organisasi), efektif atau produktif dan efesien. 2.3.3 Unsur-Unsur Budaya Kerja

Budaya kerja adalah berpijak dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa atau masyarakat Indonesia yang diolah sedemikian rupa menjadi nilai-nilai baru yang akan menjadi sikap dan perilaku manajemen yang diharapkan dalam upaya menghadapi tantangan baru.

Budaya kerja tidak akan muncul begitu saja, akan tetapi harus diupayakan dengan sungguh-sungguh melalui proses yang terkendali dengan melibatkan semua sumber daya manusia dalam seperangkat sistem, alat-alat dan teknik pendukung.

Budaya kerja akan menjadi kenyataan melalui proses panjang, karena perubahan nilai-nilai lama menjadi nilai-nilai baru akan memakan waktu untuk menjadi kebiasaan dan tak henti-hentinya terus melakukan penyempurnaan.

Komponen-komponen budaya kerja menurut Ndraha (2009) yaitu: 1. anggapan dasar tentang kerja

(35)

2. sikap terhadap pekerjaan

Manusia menunjukkan berbagai sikap terhadap kerja. Sikap adalah kecenderungan jiwa terhadap sesuatu. Kecenderungan itu berkisar antara menerima sepenuhnya atau menolak sekeras-kerasnya.

3. perilaku ketika bekerja

Dan sikap terhadap bekerja, lahir perilaku ketika bekerja. Perilaku menunjukkan bagaimana seseorang bekerja.

4. lingkungan kerja dan alat kerja

Dalam lingkungan, manusia membangun lingkungan kerja yang nyaman dan menggunakan alat (teknologi) agar ia bekerja efektif, efesien dan produktif. 5. etos kerja

Istilah ethos diartikan sebagai watak atau semangat fundamental buadaya,berbagai ungkapan yang menunjukkan kepercayaan, kebiasaan danperilaku suatu keompok masyarakat. Jadi etos berkaitan erat dengan budaya kerja.

(36)

2.3.4 Budaya Kerja Layanan Keperawatan

Gillies (1989) menyatakan manajer/kepala ruangan harus mengatur bawahan kedalam fungsi kelompok kerja yang baik. Sebuah kelompok dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang lahir terdiri dari beberapa individu berbagai minat sama, nilai dan norma-norma yang berinteraksi satu sama lain pada dasar yang tetap memiliki karakter mudah diperkirakan. Cartwright dan Zander (1960) juga mengatakan bahwa semua sasaran kelompok terbagi kedalam dua jenis: (1) prestasi beberapa tujuan kelompok tertentu dan (2) pemeliharaan atau penguatan kelompok itu sendiri.

(37)

Budaya kerja layanan keperawatan telah terbukti memiliki dampak pada kesehatan cara profesional menanggapi risiko (Annandale, 1996;. Boreham et al, 2000), stres kerja (Biron et al., 2006), dan ketidakpastian (Meyerson, 1994). Budaya kerja layanan keperawatan juga dapat mengaruh profesional kesehatan untuk mengadopsi pedoman klinis (Ouimet et al., 2006) dan adopsi inovasi klinis dan manajerial lainnya (Bate, 2000; Manley, 2000). Studi juga membahas ketegangan profesional layanan keperawatan di rumah sakit. Pengalaman antara budaya profesional mereka dan budaya kerja (Finley et al., 2004). Unit layanan keperawatan dapat menambah wawasan, cenderung memperlakukan budaya kerja sebagai ketentuan dasar yang harus dipertahankan dari pada melihat apakah ada budaya yang khas dalam rumah sakit, dan bagaimana hal ini dapat mempengaruhi perawatan dan pengalaman bekerja.

(38)

2.3.4.1 Hubungan Dengan Pasien

Hubungan dengan pasien bervariasi karena sejumlah faktor khusus unit yang berbeda, tidak sedikit yang mampu untuk mengontrol yang hampir mustahil di unit layanan keperawatan. Di ruang darurat, misalnya, dokter dan perawat menemukan kesulitan untuk memiliki jenis interaksi yang bermakna dengan pasien karena waktu mereka dengan mereka begitu singkat, biasanya mereka tidak lama untuk mengembangkan jenis hubungan dengan mereka. Banyak peserta melaporkan bahwa mereka berada di bawah tekanan untuk mengobati banyak orang mungkin untuk keperluan pasien. Ketika individu Kondisi yang diperlukan lebih banyak waktu dan perhatian, beberapa peserta mengakui bahwa mereka interaksi yang tegang. Perawat, khususnya, mengeluh kasar dan bahkan memusuhi pasien. Ketika ada kesempatan untuk interaksi yang lebih lama, karena ini mungkin karena komplikasi dengan wanita atau bayinya, interaksi ini juga yang sulit. Perawat merawat orang untuk jangka waktu menyatakan bahwa interaksi mereka dengan orang-orang yang cukup positif dan profesional.

2.3.4.2 Hubungan Dengan Rekan-Rekan

(39)

Artinya, setiap orang terlepas status mereka yang sebenarnya, diperlakukan dengan hormat dan sebagai orang yang sama. Selanjutnya, ada kesediaan untuk mendengarkan orang lain dan belajar dari pengalaman mereka. Pendekatan kerja sama tim dan suasana kerja yang mendukung di unit pelayanan keperawatan profesional kesehatan tetap ada untuk jangka waktu yang lama. Peserta dari layanan keperawatan lainnya berbicara tentang konflik dan kelompok, dalam berbagai derajat, saat menjelaskan hubungan mereka dengan rekan-rekan. Konflik hadir di antara perawat di antara dua kelompok perawat yang bekerja shift berlawanan.

2.3.4.3 Hubungan Dengan Manajemen

Hubungan dengan manajemen di unit pelayanan keperawatan yang berbeda, perbedaan antara terbuka dan tertutup bersatu datang. Secara khusus, dua unit pelaporan hubungan terburuk dengan manajemen lokal yang ruang gawat darurat dan perawatan bersalin. Dalam kedua kasus, informan mengeluhkan kepemimpinan yang buruk dan omset tinggi di antara manajer perawat. Perubahan konstan ini membingungkan untuk jumlah peserta yang terhalang dari mengembangkan apapun yang berarti hubungan dengan administrator ini, dia unit gawat darurat telah melalui Saya tidak tahu berapa banyak manajer. Mereka hanya datang, mereka pergi dan apa pun yang mereka katakan mereka akan lakukan, tidak ada yang memperhatikan sekarang, karena mereka akan.

(40)

tidak ada yang dilakukan tentang hal itu, Namun, yang bersimpati dengan manajemen lokal dan menyatakan bahwa mereka mencoba yang terbaik untuk menyenangkan semua orang; tapi, sering tangan mereka terikat. Kepala ruangan mengklaim bahwa bahwa apa yang diperbuatnya adalah adil, didekati, dan selaras dengan kebutuhan unit. Beberapa peserta unit layanan keperawatan berkomentar bahwa kepemimpinan efektif karena manajemen mendengarkan pandangan mereka dan bekerja sama untuk mengatasi kekhawatiran staf, mendengarkan dan meminta pendapat dan mengambil menjadi pertimbangan.

2.3.5 Alat Ukur Budaya Kerja

Kernnerly et al (2015) mengemukakan bahwa alat untuk mengukur budaya kerja digunakan untuk mempermudah dalam pengukuran budaya kerja yang terdiri dari beberapa dimensi yang akan dinilai.

Fokus pada pengukuran budaya kerja memberikan umpan balik terhadap perilaku setiap perawat dalam melakukan pekerjaannya, sehingga akan mempermudah pihak instansi dalam menilai setiap budaya kerja mereka. Berikut ini ada beberapa alat penilai yang biasa digunakan dalam menilai budaya kerja perawat.

a. NCAT (nursing culture assessment)

(41)

Intrumen ini dengan menggunakan Skala Godman Ya dan Tidak. Dikatakan Baik jika skor = (16 - 30) dan dikatakan Buruk jika skor = (1 – 15). Instrumen ini diberikan kepada perawat pelaksana saat peneliti telah mendapat izin penelitian dari tempat penelitian.

b. OCI (organizational culture inventory)

Pengukuran budaya kerja ini merupakan skala pengukurang yang dikempangkan oleh Cooke & Lafferty (1986), dalam pengukuran ini yang akan diukur adalah kelakuan responden dalam bekerja. Instrumen pengukuran ini terdiri dari tiga dimensi yang akan dinilai yaitu: budaya yang membangun, diam/sifat bertahan dan bersikap menyerang/sikap bertahan. Masing-masing responden dapat dinilai dengan memberikan nilai satu sampai lima.

c. WES (work environment scala)

Skala ini merupakan metode pengukuran yang dapat menilai budaya kerja berdasarkan pengaturan dalam bekerja yang terdiri dari tiga dimensi yang akan dinilai yaitu: perilaku yang tumbuh, sistem perubahan kerja dan hubungan dalam bekerja (Moos, 1994).

2.3.6 Hasil Ukur

(42)

Studi yang dilakukan terhadap budaya kerja pada dasarnya setiap orang memiliki penampilan tersendiri dalam bekerja dan memiliki kecerdasan dalam beradaptasi, perawat memiliki tenaga yang kuat untuk memiliki teknik dan mimpi dalam memperbaiki budaya kerjanya agar lebih baik lagi (Nanda, 2006).

2.4 Teori Keperawatan “Sistem Terbuka dalam Melakukan Interaksi” Menurut Imogene M King

(43)

2.4.2 Aplikasi Teori Sistem Terbuka dalam Melakukan Interaksi dalam Gaya Komunikasi dan Kepemimpinan Kepala Ruangan terhadap Budaya Kerja Unit Pelayanan Keperawatan

Imogene M King memandang budaya kerja unit pelayanan keperawatan sebagai suatu proses interaksi dalam melakukan pekerjaan keperawatan dan sebagai suatu kesatuan yang utuh. Unit pelayanan keperawatan terdiri dari 3 (tiga) sistem yaitu sistem personal sebagai gaya komunikasi, sistem interpersonal sebagai kepemimpinan kepala ruangan dan sistem sosial. Sistem personal merupakan sistem terbuka dimana didalamnya terdapat persepsi adanya pola tumbang, gambaran tubuh ruang dan waktu dari individu dengan lingkungannya. Sistem interpersonal adalah interaksi, komunikasi tanggapan,

peran dan tekanan antara dua individu di dalam sistem interpersonal secara bersama-sama untuk membentuk sistem yang lebih besar yang dikenal sebagai sistem sosial. Sistem sosial didefinisikan sebagai suatu batasan sistem yang teratur dalam peran sosialnya, perilaku dan praktek yang dikembangkan untuk menjaga nilai-nilai (contoh: keluarga, kelompok agama, sistem pendidikan dan lain-lain).

(44)

Berdasarkan hal tersebut, maka manusia diasumsikan memiliki 3 (tiga) kebutuhan dasar yaitu: kebutuhan terhadap informasi kesehatan, kebutuhan terhadap pencegahan penyakit dan kebutuhan terhadap perawatan ketika sakit. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, King mengemukakan pendekatan teori yang terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:

1. aksi, merupakan proses awal hubungan dua individu dalam berperilaku, memahami dan mengenal kondisi;

2. interaksi, suatu bentuk kerja sama yang saling mempengaruhi dan terjadi dalam berkomunikasi;

3. transaksi, merupakan kondisi di mana antara perawat dan kklien terjadi suatu persetujuan dalam tindakan keperawatan yang akan dilakukan.

2.4. 3 Hubungan Teori Imogene M King dengan Konsep Utama Teori

Pembahasan kerangka kerja konseptualnya, King menunjukkan teori tentang pencapaian tujuan dengan 4 (empat) konsep utama yang terdiri dari: manusia, kesehatan, lingkungan/masyarakat dan pelayanan keperawatan dimana konsep ini didefinisikan dan dibahas oleh King. Pembahasan tersebut seperti yang diuraikan di bawah ini:

1. Manusia

Sebagai makhluk yang berorientasi sosial, rasional, perasaan pengendalian dan berorientasi waktu. Dari keyakinan ini King menghasilkan beberapa asumsi-asumsi yang spesifik pada interaksi perawat dan klien, antara lain:

a. persebsi perawat dan klien mempengaruhi proses interaksi;

(45)

c. individu mempunyai hak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri;

d. individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka;

e. professional kesehatan mempunyai tanggung jawab untuk membagi informasi; f. individu mempunyai hak untuk menerima atau menolak pelayanan kesehatan; g. tujuan yang direncanakan oleh professional kesehatan mungkin tidak sama

dengan tujuan dari penerima pelayanan. 2. Kesehatan

Pengalaman dinamis kehidupan manusia, sehat dipandang sebagai keadaan fungsional yang normal dan sakit dipandang sebagai gangguan dari keadaan fungsionlnya atau penyimpangan dari keadaan normal yaitu sembuh.

2.5 Pelayanan Keperawatan

2.5.1 Pengertian Pelayanan Keperawatan

(46)

Pelayanan keperawatan mencakup seluruh rentang pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh perawat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lain untuk mencapai tujuan promosi dan pembinaan kesehatan, pencegahan penyakit, diagnosa dini, penyembuhan dan kesembuhan dari penyakit atau kecelakaan dan rehabilitasi, dengan menggunakan metoda keperawatan yang selanjutnya disebut sebagai proses keperawatan. Proses ini mempunyai kerangka dasar ilmiah, dengan pendekatan pemecahan masalah, yang intinya adalah pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Dengan demikian terjadi pergeseran dari tindakan yang didasarkan atas penugasan atau perintah dokter, menjadi tindakan yang lebih bersifat mandiri dengan menggunakan metoda pendekatan dan tindakan keperawatan yang bersifat logik dan sistematis.

Dengan melihat keperawatan sebagai suatu sistem, kita dapat melihat secara sistematis pelayanan keperawatan dengan permasalahan yang sering dijumpai di rumah sakit.

1. pertama, masukan yang tendiri dari tenaga paramedis keperawatan, organisasi dan tata laksana keperawatan di rumah sakit, sarana dan prasarana keperawatan serta pasien yang dilayani.

2. kedua, proses manajemen keperawatan.

(47)

Pada dasarnya peran dan tugas perawat di rumah sakit adalah:

1. perawatan dasar yaitu kegiatan atau proses memberikan asuhan perorangan untuk memenuhi kebutuhan fisik pasien yang tidak dapat dilakukan sendiri karena dihambat oleh keadaan sakitnya. Sebagai contoh memandikan pasien, menyiapkan tempat tidur, memberi makan.

2. perawatan teknis untuk memenuhi kebutuhan klinis pasien, seperti mengukur suhu tubuh, mengukur tekanan darah, membantu operasi dan memberikan pelayanan di unit terapi khusus yang menuntut pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman lebih tinggi, serta sudah menjurus ke arah spesia lisasi keperawatan tetapi keputusan tetap di tangan dokter.

3. kegiatan memantau (observasi) dan melapor keadaan pasien kepada dokter, dalam hal ini perawat berperan sebagai sumber informasi klinis.

4. kegiatan memenuhi kebutuhan emosional pasien dan non-fisik pasien karena perawat merupakan pendamping pasien selama 24 jam per hari.

5. kegiatan bukan perawatan seperti memelihara kebersihan, tugas administrasi dan manajemen. Kegiatan ini harus lebih ditangani dengan seksama karena perawat ikut menentukan keberhasilan manajemen rumah sakit.

(48)

2.6 Kepala Ruangan

2.6.1 Pengertian Kepala Ruangan

Kepala ruangan adalah seorang tenaga perawatan professional yang diberi tanggung jawab dan wewenang dalam mengelola kegiatan pelayanan keperawatan di satu ruang rawat.

2.6.2 Peran Kepala Ruangan

Kepala Ruangan diberi tanggung jawab untuk memperkerjakan, mengembangkan dan mengevaluasi stafnya. Mereka di berikan tanggung jawab untuk pengembangan anggaran tahunan unit yang di pimpinnya dan memegang kewenangan untuk mengatur unit sesuai tugas dan tanggung jawabya, memantau kualitas perawatan, menghadapi masalah tenaga kerjanya, dan melakukan hal-hal tersebut dengan biaya yang efektif (Potter & Perry, 2005).

(49)

2.6.3 Fungsi Kepala Ruangan

Adapun fungsi kepala ruangan menurut Marquis dan Houston (2000) sebagai berikut :

1. perencanaan

Dimulai dengan penerapan filosofi, tujuan, sasaran, kebijaksanaan, dan peraturan-peraturan, membuat perencanaan jangka panjang dan jangka pendek untuk mencapai visi, misi, dan tujuan organisasi, menetapkan biaya-biaya untuk setiap kegiatan serta merencanakan dan pengelolaan rencana perubahan. 2. pengorganisasian

Meliputi pembentukan struktur untuk melaksanakan perencanaan, menetapkan metode pemberian asuhan keperawatan kepada pasien yang paling tepat, mengelompokkan kegiatan untuk mencapai tujuaan unit, serta melakukan peran dan fungsi dalam organisasi dan menggunakan power serta wewenang dengan tepat.

3. ketenagaan

Pengaturan ketenagaan dimulai dari rekrutmen, interview, mencari, orientasi dari staf baru, penjadwalan, pengembangan staf, dan sosial isasi staf, dan sosialisasi staf.

4. pengarahan

(50)

5. pengawasan

Meliputi penampilan kerja, pengawasan umum, pengawasan etika aspek legal, dan pengawasan pofesional. Seorang manejer dalam mengerjakan kelima fugsinnya tersebut sehari-hari akan bergerak dalam berbagai bidang penjualan, pembelian, produksi, personalia dan lain-lain.

2.6.4 Kepala Ruangan sebagai Manager Keperawatan

Sebagai manajer keperawatan, uraian tugas kepala ruangan menurut Depkes (1994) adalah sebagai berikut:

a. melaksanakan fungsi perencanaan, meliputi:

1) melaksanakan jumlah dan kategori tenaga serta tenaga lain sesuai kebutuhan; 2) merencanakan jumlah jenis peralatan perawatan yang diperlukan;

3) merencanakan dan menentukan jenis kegiatan/asuhan keperawatan yang akan diselenggarakan sesuai kebutuhan pasien;

b. melaksanakan fungsi pergerakan dan pelaksanaan, meliputi:

1) mengatur dan mengkoordinasi seluruh kegiatan pelayanan di ruang rawat; 2) menyusun dan mengatur daftar dinas tenaga perawatan dan tenaga lain sesuai

dengan kebutuhan dan ketentuan/ peraturan yang berlaku (bulanan, mingguan, harian);

3) melaksanakan program orientasi kepada tenaga keperawatan satu atau tenaga lain yang bekerja di ruang rawat;

4) memberi pengarahan dan motivasi kepada perawatan untuk melaksanakan asuhan keperawatan sesuai standart;

(51)

6) mengenal jenis dan kegunaan barang peralatan serta mengusahakan pengadaan sesuai kebutuhan pasien agar pelayanan optimal;

7) menyusun permintaan rutin meliputi kebutuhan alat, obat, dan bahan lain yang diperlukan di ruang rawat;

8) mengatur dan mengkoordinasikan pemeliharaan peralatan agar selalu dalam keadaan siap pakai;

9) mempertanggung jawabkan pelaksanaan inventaris peralatan;

10) melaksanakan program orientasi kepada pasien dan keluarganya meliputi tentang peraturan rumah sakit, tata tertib ruangan, fasilitas yang ada dan cara penggunaannya;

11) mendampingi dokter selama kunjungan keliling untuk memeriksa pasien dan mencatat program pengobatan;

12) mengelompokan pasien dan mengatur penempatannya di ruang rawat untuk tingkat kegawatan, infeksi dan non infeksi, untuk memudahkan pemberian asuhan keperawatan;

13) mengadakan pendekataan kepada setiap pasien yang dirawat untuk mengetahui keadaan dan menampung keluhan serta membantu memecahkan masalah yang sedang dialami pasien;

14) menjaga perasaan pasien agar merasa aman dan terlindung selama pelaksanaan pelayanan berlangsung;

15) memberikan penyuluhan kesehatan terhadap pasien/ keluarga dalam batas wewenangnya;

(52)

17) memelihara dan mengembangkan sistem pencatatan data pelayanan asuhan keperawatan dan kegiatan yang dilakukan secara tepat dan benar;

18) mengadakan kerja sama yang baik dengan kepala ruang lain, seluruh kepala seksi, kepala bidang, kepala instansi, dan kepala UPF di Rumah Saki; 19) menciptakan dan memelihara suasana kerja antara petugas kesehatan lain,

pasien dan keluarga pasien yang dirawat;

20) memberi motivasi tenaga non keperawatan dalam memelihara kebersihan ruangan dan lingkungan;

21) meneliti pengisian formulir sensus harian pasien di ruangan;

22) memelihara dan meneliti pengisian daftar pemintaan makanan berdasarkan macam dan jenis makanan pasien kemudian memeriksa/ meneliti ulang saat pengkajianya;

23) memeiihara buku register dan bekas catatan medis;

24) membuat laporan harian mengenai pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan serta kegiatan Iain di ruang rawat;

c. melaksanakan fungsi pengawasan, pengendalian dan penelitian, meliputi : 1. mengawasi dan menilai pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah

ditentukan, melaksanakan penilain terhadap upaya peningkatan pengetahuan keterampilan di bidang perwatan;

(53)

3. mengawasi dan mengendalikan pendaya gunaan peralatan perawatan serta obat-obatan secara efektif dan efisien;

4. mengawasi pelaksanaan system pencatatan dan pelaporan kegiatan asuhan keperawatan serta mencatat kegiatan lain di ruang rawat;

2.7 Kerangka Teori

Gaya kominikasi merupakan masalah yang utama yang patut mendapat perhatian organisasi (Martinez, 2012), gaya komunikasi mempengaruhi budaya kerja. Hasil penelitian lain juga menyatakan bahwa manajemen rumah sakit harus memperhatikan gaya komunikasi kepala ruagan karena berpengaruh terhadap budaya kerja perawat (Santa Maria, 2013). Hasil penelitian Williams (2014) menunjukkan bahwa 67% dari perawat melaporkan bahwa mereka memiliki komunikasi yang buruk, sementara 25% dan 8% masing-masing berada pada gaya komunikasi menengah dan baik. Hal ini berarti pihak manajemen rumah sakit belum sepenuhnya menerapkan aspek-aspek gaya komunikasi. Menurut Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss (2002) menyebutkan bahwa terdapat enam faktor utama untuk menganalisis gaya komunikasi yaitu: (1) the controlling style (Gaya komunikasi mengendalikan), (2) the equaliturian style (Gaya komunikasi dua arah dilandasi kesamaan), (3) the structuring style (Gaya komunikasi berstruktur),

(4) the dynamic style (Gaya komunikasi yang dinamis dan agresif), (5) the relinguishing style (Gaya komunikasi memberi saran atau masukan) dan

(54)

Sedangkan Norton (1983) menyatakan komponen gaya komunikasi adalah: (1) dominant, (2) dramatic, (3) animated expressive, (4) open, (5) argumentative, (6) relaxad (7) friendly, (8) attentative, (9) preceise, (10) impression leaving.

Hasil penelitian dari Gillies (1994), yang mengatakan selain gaya komunikasi kepemimpinan juga mempunyai pengaruh terhadap budaya kerja dimana pada dasarnya kepemimpinan yang baik akan menghasilkan budaya kerja yang baik pula. Gillies (1994), menjelaskan ada lima komponen dalam kepemimpinan keperawatan yaitu: (1) kepiawaian dalam menggunakan posisi, (2) kemampuan dalam memecahkan masalah secara efektif, (3) ketegasan sikap dan komitmen dalam mengambil keputusan, (4) mampu menjadi media dalam penyelesaian konflik kinerja, dan (5) mempunyai keterampilan dalam komunikasi dan avokasi. Selanjutnya, Robbins (2006) menjelaskan ada lima komponen dari kepemimpinan yaitu: (1) ambisi dan energy, (2) hasrat untuk memimpin, (3) kejujuran dan integritas, (4) kepercayaan diri dan (5) kecerdasan. Selanjutnya,

(55)

Gambar 2.1. Kerangka Teori Peneliti 6. the withdrawal style Ehow (2012):

3. animated expressive, 4. open,

10.impression leaving.

Budaya Kerja

1. anggapan dasar tentang kerja 2. sikap terhadap pekerjaan 3. perilaku ketika bekerja

4. lingkungan kerja dan alat kerja

3. ketegasan sikap dan

komitmen dalam mengambil keputusan

(56)

2.8 Kerangka Konsep

Peneliti ingin mengetahui tentang pengaruh gaya komunikasi dan kepemimpinan kepala ruangan terhadap budaya kerja unit pelayanan keperawatan. Berdasarkan tinjauan kepustakaan pengembangan kerangka konsep meliputi gaya komunikasi dan kepemimpinan kepala ruangan terhadap budaya kerja.

Tubbs dan Sylvia (2002) dalam teorinya menyatakan gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal berupa vokallik, bahasa badan, penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak. Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan hubungan yang harmonis. Masih menurut Stewartd L. Tubbs dan Sylvia (2002) komponen gaya komunikasi adalah: (1) the controlling style (Gaya komunikasi mengendalikan), (2) the equaliturian style (Gaya komunikasi dua arah dilandasi kesamaan), (3) the structuring style (Gaya komunikasi berstruktur), (4) the dynamic style (Gaya komunikasi yang dinamis dan agresif), (5) the relinguishing style (Gaya komunikasi memberi saran atau masukan) dan (6) the withdrawal style (Gaya komunikasi menghindari persoalan).

(57)
(58)

Faktor teori pendukung dan perumusan masalah yang dikemukakan, berikut disajikan kerangka konsep yang berfungsi sebagai penuntun, sekaligus mencerminkan alur berfikir yang merupakan dasar bagi perumusan hipotesis :

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian Gaya Komunikasi (X1)

Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss (2002):

6. the withdrawal style

Kepemimpinan (X2)

3. ketegasan sikap dan komitmen dalam mengambil keputusan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Teori Peneliti
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

(3) ANALISIS SWOT MENGHASILKAN FORMULASI STRATEGI YAITU A) MEMPERTAHANKAN DAN MEMPERLUAS JARINGAN PEMASARAN SERTA B) MENINGKATKAN KUALITAS PRODUK MELALUI PENINGKATAN

Several projects are fighting for conservation of turtles and the Parisada Hindu Dharma Indonesia (the highest Hindu council) issued a decree against the use of

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa daerah axilla dan femoral merupakan letak pembuluh darah besar merupakan upaya memberikan rangsangan pada area preoptik

Dari penjelasan di atas dapat ditarik intisari masalah yang ada dalam penelitian ini, yakni masih terdapatnya kekurangan yang ada pada tempat penampungan Tenaga Kerja Indonesia yang

yang akan dilakukan dengan penelitian sebelumnya adalah pada. variabel sikap

The supervisor sends messages to each of the three worker actors asking them to perform their specific tasks.. When each worker completes its task, it sends a message back to

Surat yang memberi perintah pada bank untuk membayar sejumlah uang kepada pihak penerima pembayaran

untuk pengembangan produk IKM makanan Kota Pangkalpinang berdasarkan skala prioritas adalah 1) Inkubator bisnis, 2) Menciptakan ekosistem wirausaha, 3) Pembuatan galery