BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
1. Pengertian Tindak Pidana
Di Indonesia hingga saat ini, para ahli pidana/sarjana hukum
belum memiliki kesamaan pendapat dalam mendefinisikan
mengenai Strafbaar feit. Strafbaar feit merupakan istilah bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan
berbagai arti di antaranya yaitu tindak pidana, delik, perbuatan
pidana, peristiwa pidana maupun perbuatan yang dapat di pidana.
Kata Strafbaar feit terdiri dari 3 kata, yakni straf, baar dan
feit. Berbagai istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari
strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukuman. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh, sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.1 Istilah tindak pidana merupakan
terjemahan dari “Strafbaar feit” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan Strafbaar feit itu sendiri, akan tetapi tindak pidana biasa disamakan dengan delik, yang berasal dari Bahasa Latin yakni kata delictum2.
Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (Strafbaar feit)
memuat beberapa unsur yakni:
1
Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, Grafindo, Jakarta ,2002, hlm. 69.
2
a. Suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu di larang dan di ancam dengan hukuman
oleh undang-undang;
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat di
pertanggung- jawabkan.3
Moeljatno memberikan definisi perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang di larang dalam undang-undang dan di ancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan itu”.4
Simons berpendapat bahwa Strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab,5 sedangkan menurut Van Hamel, Strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.6 Moeljatno menyimpulkan bahwa
feit dalam Strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah laku dan pengertian Strafbaar feit jika dihubungkan dengan kesalahan orang yang mengadakan kelakuan tadi. Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana, akan tetapi harus adanya kesalahan atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis yaitu tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld, ohne Schuld keine Strafe).7
3 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, 2011, Jakarta,
hlm. 48.
4Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Dalam Hukum
Pidana,1955, pidato diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis Ke IV
Universitas Gadjah Mada, di Stitihinggil Yogyakarta pada tanggal 19 Desember
1955, hlm.17.
Dalam buku Hukum Pidana Indonesia, P. A. F.
Lamintang, berpendapat bahwa Strafbaar feit atau perbuatan
yang dapat di hukum adalah suatu “pelanggaran norma” atau Normovertreding (gangguan terhadap tertib-hukum), yang dapat dipersalahkan kepada pelanggar, sehingga perlu adanya penghukuman demi terpeliharanya tertib-hukum dan dijaminnya kepentingan umum8. Normovertreding dimaksudkan suatu sikap atau perilaku atau Gendraging, yang dilihat dari penampilannya dari luar adalah bertentangan dengan hukum, sehingga melanggar hukum dan antara sikap dan perilaku itu terdapat suatu hubungan yang demikian rupa dengan si pelanggar, sehingga ia dapat dipersalahkan karena pelanggaran hukum tersebut, atau dengan perkataan lain ia telah bersalah karenanya.9
Sedangkan Bambang Poernomo berpendapat bahwa
perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut: “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana di larang dan di ancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.”10
Pada tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana
yang termuat dalam KUHP. Pasal-pasal yang terdapat dalam
KUHP memiliki unsur-unsur yang terkandung dari sebuah
tindak pidana sehingga seseorang yang telah melanggar dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan yang telah ditetapkan. Di dalam
perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta)
oleh perbuatan adanya kelakuan serta akibat yang ditimbulkan
karenanya. Dua hal tersebut yaitu kelakuan dan akibat.11
8 P. A. F. Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1983, hlm. 5.
9 Ibid hlm. 5.
10 Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1992, hlm. 130.
11 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015,
Belum adanya kesatuan pendapat para ahli pidana dalam
merumuskan pengertian tindak pidana di Indonesia, hal ini dapat
dibuktikan dengan pidato Prof. Moeljatno pada Tahun 1955 yang
berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana”.
Dalam pidato tersebut, Prof. Moeljatno membedakan “dapat dipidananya perbuatan” (de strafbaarheid van het feit” atau “het verboden zijr in het feit”), dengan “Dapat dipidananya orang” (“strafbaarheid van de person”).12 Dengan demikian maka
dipisahkan “Perbuatan pidana” (Criminal Act / Actus Reus) dan
“Pertanggungjawaban pidana” (Criminal Liability / Mens Rea).
Unsur-unsur perbuatan pidana adalah perbuatan manusia,
memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil), dan
bersifat melawan hukum (syarat materiil). Berkaitan dengan isi
perbuatan pidana, ada dua pandangan yaitu pandangan monistis
dan pandangan dualistis. Aliran Monistis yaitu suatu pandangan
yang menyatukan antara unsur perbuatan pidana dan unsur
pertanggungjawaban pidana. Pada aliran monistis ketika melihat
apakah orang yang dapat melakukan perbuatan pidana perlu di
lihat apakah orang tersebut dapat dipertanggung jawabkan atau
12 M. Haryanto, Bahan Ajar Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen
tidak. Jika tidak dapat dipertanggungjawabkan maka tidak dapat
di pidana. Dalam hal ini, aliran monistis melihat keseluruhan
syarat untuk adanya pidana itu yang mana merupakan sifat dari
perbuatan.
Dalam hal ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman,
bahwa di dalam pengertian perbuatan/tindak pidana sudah
tercakup didalamnya perbuatan yang di larang (tindakan pidana)
dan pertanggungjawaban pidana/kesalahan (Criminal
responsibility).
Berbeda dengan aliran monistis, aliran dualistis adalah
pandangan yang memisahkan perbuatan pidana dan unsur
pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini Moeljatno
memisahkan antara unsur perbuatan pidana dan unsur
pertanggung jawaban pidana. Di dalam perbuatan pidana harus
terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan adanya
kelakuan serta akibat yang ditimbulkan karenanya. Dua hal
tersebut akan memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia).
Hal-hal tersebut adalah:
a. Kelakuan dan akibat, untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula adanya:
b. Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal;
d. Biasanya dengan adanya perbuatan yang tertentu seperti dirumuskan dengan unsur-unsur di atas maka sifat pantang dilakukannya perbuatan itu sudah tampak dan wajar. Sifat melawan hukumnya perbuatan, tidak perlu dirumuskan lagi sebagai elemen atau unsur tersendiri.
e. Unsur melawan hukum dalam rumusan delik yang menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan.13
Jika menjelaskan apa yang telah dikemukakan di atas,
maka kejadian alam lahir (dunia) dimaksudkan bahwa
terjadinya tindak pidana/perbuatan pidana. Dalam hal ini Prof.
Moeljatno adalah salah satu penganut pandangan dualistis.
Menurut pandangan dualistis dalam memisahkan antara
unsur tindak pidana dan unsur pertanggungjawaban pidana,
pada pandangan dualistis dalam terjadinya tindak pidana tidak
hanya cukup dengan adanya perbuatan pidana akan tetapi harus
adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Perbuatan
pidana adalah perbuatan yang di larang oleh suatu aturan
hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.14
Moeljatno menjelaskan bahwa kelakuan dan akibat
untuk adanya perbuatan pidana biasanya diperlukan pula
13
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Edisi Revisi,)Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 64-69.
adanya kelakuan atau tindakan yang menghasilkan akibat.
Akan tetapi, tidak selamanya kelakuan dan akibat terjadi pada
waktu yang sama, demikian pula tidak selamanya kelakuan dan
akibat terjadi pada tempat yang sama. Kemudian, hal ikhwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan hal ikhwal ini
di bagi menjadi dua bagian yaitu yang mengenai diri orang
yang melakukan perbuatan dan yang mengenai di luar diri si
pelaku. Karena keadaan tambahan tersebut dinamakan
unsur-unsur yang memberatkan pidana, contoh konkret elemen ini
adalah ketentuan Pasal 351 KUHP yang berbunyi:
a. Penganiayaan di ancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah di ancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
c. Jika mengakibatkan mati, di ancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.15
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Hukum pidana berpokok pada dua hal, yaitu perbuatan yang
dapat di pidana (Verbrechen/crime atau perbuatan jahat) dan pidana. Perbuatan pidana harus dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
a) Dalam arti kriminologi: disebut juga sebagai perbuatan jahat, sebagai gejala masyarakat di pandang secara konkrit sebagaimana terwujud dalam masyarakat, ialah perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto.
b) Dalam arti hukum pidana: ialah perbuatan pidana dalam wujud
in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana.16
Dalam tindak pidana terdapat dua unsur yaitu unsur
subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah
unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku tindak pidana atau yang
berhubungan dengan diri pelaku serta termasuk didalamnya
yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus
dilakukan.17
Sedangkan dalam pertanggungjawaban pidana terdapat
dua unsur yaitu adanya kesalahan (kesengajaan/kealpaan) dan
16 M. Haryanto, Op., Cit,. hlm. 60.
17 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesai. PT. Citra
kemampuan bertanggungjawab. Definisi kesalahan bertalian
dengan dua hal, yaitu sifat dapat dicelanya (verwijtbaarheid) perbuatan dan sifat dapat dihindarkannya (vermijdbaarheid) perbuatan yang melawan hukum.18
Menurut M. Haryanto, Kesalahan adalah kebebasan
kehendak manusia, di mana akan berkaitan dengan dua teori
yaitu determinisme (manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak, sehingga mengakui adanya kesalahan) dan
indeterminisme (manusia mempunyai kebebasan kehendak, sehingga mengakui adanya kesalahan).19 Kesalahan di bagi menjadi dua yaitu kesalahan dalam arti umum dan kesalahan
dalam arti juridis. Kesalahan dalam arti umum yaitu tentang sesuatu hal yang tidak benar seperti contoh matahari terbit dari
barat, seharusnya yang benar adalah matahari terbit dari timur.
Sedangkan kesalahan dalam arti juridis menerangkan keadaan
psikhe seseorang yang melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga perbuatan itu dapat dipertanggung- jawabkan
kepadanya, kemudian menerangkan bentuk kesalahan dalam
18 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana , Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta, 2016, hlm. 158.
Undang-Undang yang berupa Kesengajaan (dolus) dan Kealpaan (Culpa).20
Menurut Memorie van Toelichting, Kesengajaan adalah perbuatan yang dikehendaki dan diketahui. Ada dua (2) teori
kesengajaan yaitu:
1) Wills Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang dikehendaki pada waktu berbuat).
2) Voorstelling Theorie (teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui serta apa yang akan terjadi pada waktu akan
berbuat.21
Kemudian dalam kesengajaan dari kesadaran terdiri dari
dua (2) yaitu kesengajaan berwarna, artinya dalam kesengajaan
tersimpul adanya kesadaran tentang sifat melawan hukumnya
perbuatan, dan kesengajaan tidak berwarna artinya dalam
kesengajaan cukup apabila yang berbuat menghendaki
perbuatannya.22
Tiga (3) corak kesengajaan yaitu:
a) Kesengajaan sebagai maksud, yaitu dalam hal ini kesengajaaan ditujukan langsung pada maksud yang dikehendaki pelaku;
b) Kesengajaan sebagai keharusan, yaitu kesengajaan ditujukan pada maksud tertentu, tetapi untuk mencapai
maksud tertentu harus timbul akibat lain yang tidak menjadi maksud si pelaku;
c) Kesengajaan sebagai kemungkinan, yaitu kesengajaan yang ditujukan pada maksud tertentu, tatapi pelaku telah berpikir bahwa jika maksud itu terwujud ataupun tidak terwujud ada kemungkinan akibat lain yang akan terjadi.23
Kemudian, Kealpaan menurut Memorie van Toelichting
dalam kealpaan pada diri pelaku terdapat: Kekurangan
pemikiran yang diperlukan; Kekurangan pengetahuan yang
diperlukan; Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.24 Dalam kealpaan, ada dua (2) syarat untuk adanya
kealpaan yaitu: tidak adanya penghati-hati dan tidak adanya
penduga-duga. Ada dua (2) macam kealpaan yaitu kealpaan yang
di sadari (apabila pembuat menyadari tentang apa yang diperbuat
beserta akibatnya, tetapi ia berpikir akibat itu tidak akan timbul)
dan kealpaan yang tidak disadari yaitu pembuat tidak menyadari
kemungkinan akan timbulnya akibat, padahal seharusnya pelaku
dapat menduga sebelumnya.25
Menurut Prof. Edward O. S. Hiariej, definisi
pertanggung- jawaban seperti yang telah diutarakan oleh van
Hamel telah memberi ukuran mengenai kemampuan
bertanggungjawab yang meliputi tiga hal: pertama, mampu
memahami secara sungguh-sungguh akibat dari perbuatan;
kedua, mampu untuk menginsyafi bahwa perbuatan itu
bertentangan dengan ketertiban masyarakat; ketiga, mampu
untuk menentukan kehendak berbuat.26
Pertanggungjawaban pidana atau liability sangat lekat dengan tindak pidana. Hal ini disebabkan karena tanpa adanya
tindak pidana maka tidak akan menimbulkan
pertanggungjawaban pidana sehingga adanya sanksi bagi yang
memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana. Dalam hal
menentukan seseorang bersalah atau tidak, maka akan dilihat
adanya kesalahan serta adanya perbuatan yang dilakukan
bertentangan dengan hukum atau sering disebut bersifat
melawan hukum. Jikalau suatu tindak pidana telah memenuhi
rumusan delik di dalam undang-undang hal itu harus di lihat
bahwa seseorang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Dalam hukum pidana di kenal asas geen straf zonder schuld yang artinya tidak dapat di pidana tanpa ada kesalahan.
26 Eddy O. S. Hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana , Cahaya Atma Pusaka,
Memperhatikan uraian di atas, maka dalam tindak pidana
terdapat dua unsur tindak pidana yaitu unsur obyektif dan unsur
subyektif, yang oleh P. A. F. Lamintang dijelaskan sebagai
berikut:
Unsur-unsur subyektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, sedangkan unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.27 Unsur-unsur subyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging
seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang
terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad
seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5. Perasaan takut seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur obyektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai
seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
27 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, cetakan
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.28
Sifat melawan hukum selalu dianggap sebagai syarat di
dalam setiap rumusan delik walaupun unsur tersebut oleh
perumus undang-undang tidak dinyatakan secara tegas sebagai
salah satu unsur dari delik yang bersangkutan.
3. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Menghilangkan Nyawa
Orang lain
Menghilangkan nyawa orang lain artinya orang yang
melakukan perbuatan, baik sengaja ataupun direncanakan, baik
sadar maupun tidak sadar, telah menyebabkan orang lain
kehilangan nyawa (meninggal dunia). Pada dasarnya, unsur
menghilangkan nyawa di atur dalam Pasal 338, 339 dan 340 KUHP.
Akan tetapi pada Pasal 340 KUHP adalah pasal kekhususan di mana
harus adanya unsur perencanaan terlebih dahulu. Sehingga
unsur-unsur pokok dalam pasal 338, 339 dan 340 KUHP (barangsiapa
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain) adalah sama
terkecuali dalam Pasal 339 adanya unsur tujuan lain sedangkan
pada Pasal 340 KUHP karena adanya unsur perencanaan terlebih
dahulu dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
Tindak pidana yang diatur dalam pasal 338 KUHP
merupakan tindak pidana dalam bentuk pokok yaitu tindak pidana
yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua
unsur-unsurnya. Pasal 338 KUHP berbunyi: “Barangsiapa sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Dalam hal
pembunuhan biasa, dimana pelaksanaan pembunuhan yang
dimaksud dalam Pasal 338 KUHP itu dilakukan pada waktu dan
niat yang timbul bersamaan, akan tetapi dalam pembunuhan
berencana timbulnya niat setelah itu mengatur rencana cara untuk
menghilangkan nyawa seseorang kemudian melaksanakan niat dan
rencana untuk menghilangkan nyawa seseorang.
Dalam perbuatan pembunuhan yang mengacu pada Pasal 338
KUHP harus adanya perbuatan, perbuatan itu berupa
menghilangkan nyawa seseorang serta adanya hubungan sebab
akibat (Causal verband) perbuatan serta akibat perbuatan tersebut (kematian seseorang). Dalam pembunuhan biasa pada Pasal 338
KUHP yang berbunyi : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
unsur yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Dua unsur tersebut
akan dijabarkan sebagai berikut:
a) Unsur subyektif: perbuatan dengan sengaja.
Dolus yang berarti dengan sengaja yaitu bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul
seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk
tanpa direncanakan terlebih dahulu, dalam rumusan unsur
Pasal 338 KUHP yaitu unsur objektif dalam Pasal 338 adalah
perbuatan menghilangkan nyawa serta obyeknya adalah nyawa
orang lain, sedangkan unsur subjektif dalam Pasal 338 adalah
dengan sengaja (si pelaku mengetahui dan memiliki kehendak
menghilangkan nyawa orang lain).
b) Unsur obyektif: perbuatan menghilangkan nyawa orang lain.
a) Unsur obyektif pada pasal ini yaitu menghilangkan nyawa
orang lain dan diikuti serta didahului dengan tindak pidana
lain; sedangkan;
b) Unsur subyektifnya adalah dengan sengaja dan dengan
maksud, telah menyiapkan atau memudahkan dalam
melakukan tindak pidana yang akan atau sedang
dilakukan, untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri
sendiri atau orang lain dalam tindak pidana yang dilakukan
dan untuk dapat menjamin dapat dikuasainya benda yang
diperoleh dengan cara melawan hukum, saat seorang
pelaku melakukan tindak pidana.
Kemudian dalam Pasal 340 KUHP yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih
dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun”, dalam Pasal ini terdapat dua unsur yaitu: (1) Unsur Subyektif adalah dengan sengaja dan dengan
(2) Unsur Obyektif adalah adanya perbuatan menghilangkan
nyawa, dalam hal ini tindakan menghilangkan nyawa orang
lain di mana obyeknya ada nyawa orang lain.
Pada Pasal 340 KUHP adalah suatu perbuatan yang
disengaja untuk menghilangkan nyawa orang lain yang
terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu (Met voorbedachte rade). Pada Pasal 340 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa yang sengaja dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan
dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.”
Dalam hal pembunuhan berencana, terdapat dalam Pasal
340 KUHP, dalam Pasal 340 KUHP adalah keharusan dimana
seseorang dalam melakukan tindak pidana (menghilangkan
nyawa) harus memiliki rencana terlebih dahulu (dalam
melakukan tindak pidana perbunuhan seseorang telah memiliki
rencana sebelum membunuh seseorang terlepas dari apa tujuan
seseorang tersebut membunuh. Dalam pembunuhan berencana
benar-benar telah direncanakan dengan matang/baik oleh
untuk menghilangkan nyawa orang dalam suatu keadaan yang
sadar.
Berdasarkan Bahasa Belanda “moord” atau pembunuhan
berencana adalah perbuatan yang sengaja menghilangkan nyawa
orang lain akan tetapi perbuatan tersebut telah direncanakan
terlebih dahulu.29 Direncanakan terlebih dahulu (voorbedachte rade) sama halnya dengan adanya maksud serta dilakukannya maksud tersebut sehingga menyebabkan meninggalnya orang
lain serta si pembunuh dengan tenang dan telah memikirkan
terlebih dahulu cara-cara dalam menghilangkan nyawa orang
lain tersebut.
Kemudian dalam hal pembunuhan berencana, di dalam
diri pelaku pembunuhan, si pelaku telah berpikir serta berencana
dalam menghilangkan nyawa seseorang, sehingga dalam hal ini
pembunuhan berencana telah direncanakan terlebih dahulu
dengan berpikir secara tenang dan terstruktur oleh si pelaku
pembunuhan. Berbeda halnya dengan pembunuhan biasa, dalam
hal si pelaku mengambil keputusan untuk menghilangkan nyawa
seseorang serta pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan.
Dengan demikian, pembunuhan berencana yang dilakukan
oleh terdakwa adalah dengan direncanakan terlebih dahulu,
seperti telah memiliki cara-cara dalam menghabisi nyawa orang
atau dengan cara mencari bantuan orang lain/bekerja sama dalam
menghilang nyawa orang lain. Hal tersebut dilakukan sebelum
melaksanakan niat jahat yang telah dipikirkan terlebih dahulu.
Dalam hal pembunuhan berencana, jika salah satu unsur di atas
telah terpenuhi, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai pelaku
tindak pidana pembunuhan berencana setelah adanya bukti-bukti
dan saksi.
KUHP memberikan pengertian serta hukuman yang
berbeda pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP ) dan
pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Hal ini karena dalam
pembunuhan berencana kejahatan dan niatnya untuk melakukan
pidana menjadi hal yang memberatkan si pelaku. Memberatkan
si pelaku karena telah memiliki niat dan rencana dalam
membunuh seseorang. Pembunuhan berencana jika dikaitkan
dengan penegak hukum maka bagi penegak hukum dalam hal
menentukan apakah ada rencana atau tidak dalam pembunuhan
Pada dasarnya dalam Pasal 338 KUHP dan 340 KUHP
sama, akan tetapi yang membedakan adalah dalam Pasal 340
KUHP harus adanya unsur perencanaan, dimana si pelaku harus
lebih dulu memiliki rencana dalam melakukan tindak pidana
(pembunuhan). Dalam Pasal 338 KUHP di atur mengenai
pembunuhan akan tetapi dalam Pasal 340 KUHP adanya
kekhususan karena adanya perencanaan terlebih dahulu. Di lihat
dari unsur obyektif dan subyektif dalam Pasal 338 dan 340
KUHP pun sama, yang membedakan hanyalah unsur adanya
perencanaan pada Pasal 340 KUHP.
Berbeda halnya dalam Pasal 338 KUHP, seseorang dapat
membunuh walaupun tidak memiliki niat atau rencana terlebih
dahulu, seperti contohnya seseorang yang melindungi diri dari
orang yang ingin mencelakainya ataupun contoh lain adalah
seseorang yang berkendara dan mengalami kecelakaan sehingga
4. Motif Dalam Tindak Pidana
Dalam lingkungan masyarakat, kita banyak mendengarkan
berita melalui surat kabar maupun televisi bahwa selalu dikatakan
motif dari suatu perbuatan pidana akan dibuktikan. Hal ini
membuat masyarakat berpikir akan hal yang menyebabkan
seseorang melakukan pembunuhan. Salah satu hal yang sering
dikatakan oleh masyarakat pada umumnya adalah menanyakan
motif seseorang melakukan pembunuhan atau motif pelaku dalam
melakukan tindak pidana. Apapun bentuk kejahatan yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana, maka yang akan ditanyakan
oleh masyarakat yang tidak mengetahui hukum adalah
menanyakan motif seseorang melakukan tindak pidana serta
melihat motif apa di balik seseorang melakukan tindak pidana.
Berangkat dari hal tersebut maka Penulis akan menjelaskan
mengenai motif dalam tindak pidana.
Pengertian motif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia:
motif/mo·tif alasan (sebab) seseorang melakukan sesuatu.
Merujuk pengertian motif di dalamBlack’s Law Dictionary yaitu:
in accordance with his states of mind or emotion30.( Motive yang berarti penyebab atau alasan yang menggerakkan dan melakukan
tindakan. Sebuah ide, kepercayaan atau emosi yang mendorong
atau menghasut pikiran seseorang untuk bertindak sesuai dengan
keadaan atau emosi).
Menurut Eldar & Laist, motif adalah alasan atau kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak pidana. Atau dengan kata lain, motif adalah alasan yang melatarbelakangi tindakan (reason for action).31 Dengan pengertian seperti ini, motif bisa bertumpang tindih dengan kesengajaan. Hal ini digambarkan oleh Glanville Williams sebagai berikut: dalam tindak pidana pencurian, pelaku memiliki kesengajaan untuk masuk ke dalam rumah dengan maksud mengambil barang milik orang lain dengan sengaja pula. Di sini tindakan “mengambil
barang milik orang lain” merupakan kesengajaan. Namun, dari sisi lain, tindakan “mengambil barang milik orang lain” merupakan motif yang melatarbelakangi tindakan “masuk ke dalam rumah.” Dengan demikian, tindakan “mengambil barang milik orang lain”
bisa dilihat sebagai unsur kesengajaan, namun juga bisa dilihat sebagai motif bagi tindakan yang mendahului, yakni tindakan
“masuk ke dalam rumah32”. Pembedaan antara motif dengan
kesengajaan juga tampak dari ilustrasi berikut: di sebuah ruas jalan, seseorang (A) secara sengaja mendorong orang lain (B) hingga B terpelanting ke pinggir jalan dan mengalami luka-luka. Belakangan diketahui bahwa A mendorong B karena A melihat ada mobil yang melaju kencang ke arah B dan pasti B akan tertabrak jika ia tidak menyingkir. Dalam ilustrasi ini, unsur kesengajaan tampak pada tindakan A yang dengan sengaja mendorong B. Namun ada pula aspek lain, yakni motif atau latarbelakang tindakan A mendorong B, yaitu keinginan untuk menghindar kan B dari tertabrak mobil.
30 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary 6th end, , Centennial
Edition (1891-1991).
31 Antony Duff Kutipan dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The
Irrelevance of Motive and The Rule of Law”, hlm. 2 dan 5.
32 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The
Menurut pandangan konvensional dalam hukum pidana, motif seorang pelaku tindak pidana, apakah itu motif yang baik atau tidak baik, tidaklah relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana. Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa mempertimbangkan motif pelaku untuk menentukan pertanggung jawaban pidana akan menimbulkan kesulitan dan ketidakpastian.33 Meskipun motif dianggap tidak relevan untuk menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku, dalam praktik motif bisa dipertimbangkan oleh jaksa untuk menentukan berat atau ringannya tuntutan dan oleh hakim untuk menentukan berat atau ringannya pidana. Secara historis, gagasan yang menganggap bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan untuk menentukan tanggung jawab pidana seorang pelaku tindak pidana ditegaskan oleh Cesare Beccaria yang mengatakan bahwa kalau motif setiap pelaku tindak pidana harus dipertimbangkan untuk menentukan tanggung jawab pidananya, itu ibarat menerapkan hukum pidana yang berbeda-beda untuk masing-masing pelaku, karena masing-masing-masing-masing pelaku mungkin memiliki motif yang berbeda-beda.34
Pada abad ke-20, salah satu sarjana yang mendukung gagasan bahwa motif tidak perlu dipertimbangkan dalam menentukan tanggung jawab pidana adalah Jerome Hall. Hall mengatakan bahwa kalau motif menjadi unsur yang harus dipertimbangkan, maka hal ini akan memberi kemungkinan bagi setiap orang untuk menilai sendiri perbuatan yang akan mereka lakukan, termasuk perbuatan pidana. Dalam hal seseorang menilai bahwa motifnya benar, ia akan melakukan sebuah perbuatan. Sebaliknya, kalau ia menilai motifnya tidak benar, ia tidak akan melakukan perbuatan itu. Jadi, menurut Hall, dalam keadaan seperti ini ada tidaknya pertanggungjawaban pidana akan menjadi sangat subjektif.35
Motif dapat diartikan sebagai daya yang menggerakkan seseorang untuk melakukan atau bertingkah laku, memiliki niat serta melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang telah
33 Ibid, hlm.2.
34 Beccaria dalam Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of
Motive and The Rule of Law”, hlm. 3.
35 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule
diinginkan serta memiliki tujuan yang ingin dicapai. Akan tetapi, motif dalam hal ini akan dijadikan oleh penegak hukum (dalam hal ini hakim) menjadikan salah satu dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Motif juga merupakan dorongan yang ada didalam diri seseorang dan dorongan itu diwujudkan dalam tindakan. Tindakan tersebut biasanya menyalahi peraturan yang berlaku. Jikalau seseorang melakukan sesuatu, maka motivasi tersebut merupakan keadaan yang ada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan faktor-faktor dalam menggerakkan seseorang melakukan hal tersebut.
Motif dipergunakan untuk menjelaskan mengapa seseorang melakukan tindak pidana. Motif berbeda dari kesengajaan (intent). Kesengajaan merupakan salah satu unsur yang terdapat dalam hampir semua tindak pidana. Namun, motif biasanya bukan merupakan unsur tindak pidana. Penuntutan dalam perkara pidana tidak perlu membuktikan bahwa terdakwa memiliki motif di dalam melakukan tindak pidana. Motif umumnya dibuktikan oleh penuntut umum untuk lebih meyakinkan hakim bahwa terdakwa bersalah.36
Example: John and Sue have been happily married for 30 years. John is diagnosed with a terminal illness and is in constant pain. After living in agony for several months, he repeatedly asks Sue to kill him. After much deliberation, Sue shoots and kills John. Sue’s intent was to kill. Her motive was to
stop her husband’s pain. She’s guilty of murder even though her
motive may have been compassionate37. Terjemahannya: Sebagai contoh John dan Sue sudah menjalani 30 tahun perkawinan yang bahagia. John di diagnosa menderita penyakit parah dan selalu merasa kesakitan. Setelah menderita selama beberapa bulan, John terus-menerus memohon kepada Sue untuk mengakhiri hidupnya. Setelah mem- pertimbangkan permintaan itu, Sue akhirnya menembak dan membunuh John.
36
http://www.nolo.com/legal-encyclopedia/is-motive-required-criminal-offense.html di akses pada tanggal 29 April 2017 pukul 19.00 WIB.
37
Dalam hal ini Sue memiliki kesengajaan untuk
membunuh John dengan motif menghentikan penderitaan
suaminya. Sue akan dianggap bersalah, meskipun tindak
pidananya dilakukan dengan motif belas kasihan.
Pandangan motif menurut hukum pidana, bahwa motif
pelaku entah baik atau buruk tidak relevan untuk melaksanakan
tanggungjawab pidana. Pandangan ini didasari anggapan bahwa
mempertimbangkan motif pelaku akan menimbulkan kesulitan
dalam penerapan pidana.38 Argumen untuk mendukung
pendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan atau
dipertimbangkan adalah argumen bahwa secara eksplisit motif
tidak di sebut sebagai salah satu unsur tindak pidana.39 Menurut
pandangan ini membuktikan motif tidak disebut sebagai unsur
tindak pidana akan menyimpang dari prinsip kepastian hukum.40
38 Shachar Eldar& Elkana Laist, “The Irrelevance of Motive and The Rule of
Law”, hlm. 1.
5. Hubungan Motif Dengan Unsur Tindak Pidana
Apabila motif dibuktikan dengan melihat perilaku
terdakwa maka adanya beberapa perilaku/tindakan yang
dilakukan karena alasan serta adanya perilaku yang dikarenakan
oleh motif. Sebagai contoh dalam pembunuhan yang disengaja,
pasti memiliki motif. Di mana adanya kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Contohnya Si A yang telah
beristri berselingkuh dengan si B wanita muda. Hasil hubungan si
A dan si B, akhirnya si B pun hamil. Maka si A ingin membunuh
si B karena si B memintai pertanggungjawaban pada si A,
sedangkan si A telah memiliki istri. Karena takut diketahui oleh
istrinya, maka si A pun membunuh si B. Hal tersebut dilakukan
oleh si A karena motif agar terlepas dari pertanggungjawaban.
Kemudian dalam hal pembunuhan yang dilakukan untuk
membela diri seperti contoh, rumah si A di rampok oleh
sekelompok orang. Selain merampok, para perampok juga ingin
menganiaya si A. Untuk membela diri maka si A pun melawan
dan menyerang para perampok sehingga ada 2 orang korban yang
meninggal yaitu si B dan si C. Dalam contoh kasus seperti ini,
maka si A tidak memiliki perencanaan untuk membunuh si B dan
jiwa yang melampaui batas maka si A melakukan hal tersebut
karena jikalau si A tidak melakukan hal tersebut maka yang
menjadi korban adalah si A.
Pada dasarnya, motif dalam tindak pidana memiliki
hubungan dengan unsur tindak pidana. Dalam hal ini motif dapat
termasuk dalam unsur subyektif. Karena motif adalah suatu
kehendak yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku,
sehingga dalam melakukan tindak pidana, seseorang telah
memiliki motif tersebut. Dalam melakukan perbuatan tersebut,
pelaku telah memiliki tujuan-tujuan tertentu. Motif juga dapat
diartikan sebagai suatu hal yang mendorong si pelaku untuk
melakukan tindak pidana.
B. PEMBUKTIAN DALAM PERKARA PIDANA
1. Definisi Pembuktian
Dalam persidangan salah satu hal yang terpenting
adalah pembuktian dimana semua alat bukti akan dihadirkan
didalam persidangan serta akan menjadi tolok ukur bagi
penegak hukum (hakim) dalam membuat pertimbangan
dalam memutuskan perkara pidana. Menurut M. Yahya
Harahap, Pembuktian merupakan ketentuan yang berisi
undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwa
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan
yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan41.
Hakim dalam proses pembuktian dalam persidangan di
Indonesia menggunakan 4 (empat) prinsip yang berdasarkan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu:
a) Dalam Pasal 183 KUHAP dibutuhkan adanya 2 (dua) alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
b) Dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP dimana hal yang sudah diketahui tidak perlu dibuktikan. Dalam Pasal 184 ayat (2) berbunyi:
“Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
c) Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP satu saksi bukan saksi. Jika berbicara mengenai pasal ini, maka akan dikenal dengan prinsip dalam hukum pidana yaitu Unus testis nullum testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) ini berbunyi :
“Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
d) Dalam Pasal 189 ayat (4) KUHAP bahwa pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut
41 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah Dan Penerapan KUHAP
umum membuktikan kesalahan terdakwa. Pasal 189 ayat (4) berbunyi:
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai
dengan alat bukti yang lain”.
2. Teori Pembuktian Melalui Alat Bukti
a. Teori Pembuktian
Dalam pemeriksaan perkara pidana, hakim akan
memeriksa dan selanjutnya akan menjatuhkan putusan
terhadap perkara yang diperiksa, akan tetapi harus adanya
pembuktian apakah benar apa yang telah didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa. Hakim dalam
memeriksa perkara dengan tujuan untuk ditemukannya
kebenaran materiil dan untuk menemukan kebenaran
mengalami kesulitan karena:42
a. Kebenaran materiil yang akan ditemukan tersebut sudah
lampau waktu (terlalu lama);
b. Oleh karena itu alat-alat bukti berupa saksi-saksi menjadi
relatif dan kabur.
Pembuktian ialah mencari kebenaran akan peristiwa-peristiwa hingga dengan demikian akan diperoleh kepastian bagi Hakim tentang kebenaran peristiwa tertentu. Perkara
42 M. Haryanto, Hukum Acara Pidana, Universitas Kristen Satya Wacana,
pidana dibawa ke persidangan dengan maksud untuk memperoleh keputusan yang setimpal atas perbuatan Terdakwa, unsur keyakinan Hakim dipersyaratkan bagi perkara pidana.43
Dalam teori pembuktian, ada 3 (tiga teori) yaitu:
1. Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Positif (Positief Wetelijke Bewijs Theorie): yaitu teori-teori pembuktian yang mendasarkan pada alat-alat bukti yang terdapat dalam Undang-Undang. Dikatakan pembuktian secara positif, karena jika telah terbukti perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti dalam Undang-Undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali, sehingga teori pembuktian ini disebut juga
Formele Bewijstheorie.
2. Teori berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction Intime): yaitu teori ini berdasarkan pada pendapat bahwa pengakuan terdakwa tidak selalu dapat
membuktikan kebenaran. Oleh karena itu
bagaimanapun diperlukan juga keyakinan hakim. Teori ini mendasarkan pada keyakinan hati nurani hakim bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya oleh Penuntut Umum.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas alasan yang logis (La Conviction Rais Onnee): yaitu dengan teori ini maka di dalam Hakim memutuskan seseorang bersalah harus berdasarkan keyakinannya, keyakinan tersebut harus didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (Conslusie) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Teori ini disebut juga teori pembuktian bebas, karena dengan teori hakim
bebas untuk menyebut alasan-alasan tentang
keyakinannya (Vrije Bewijdtheorie). Dalam teori ini terbagi menjadi dua yaitu
a. Teori Pembuktian Berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis (Conviction Raisonnee): teori ini berpangkal pada keyakinan hakim yang
43 Martiman Prodjohamidjojo, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, Ghalia
didasarkan pada suatu kesimpulan (Conclusi) yang logis, yang tidak didasarkan pada Undang-Undang, tetapi menurut Ilmu Pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan digunakan.
b. Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara negatif (Negatif Wettelijke Bewijs Theori): teori ini berpangkal tolak dari aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif dalam Undang-Undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim.44
Teori pembuktian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana serta berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan:
“Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
Pengadilan, karena alat bukti pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.45
Teori pembuktian jika mengacu pada KUHAP maka
terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yaitu:
1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua alat bukti) yang
sah.
2. Dengan alat bukti tersebut menimbulkan keyakinan
hakim.46
Pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana terdapat dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal
44 M. Haryanto, (2013) Op. Cit, hlm. 117-119.
45 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
202. Adapun tujuan dari pembuktian adalah mencari dan
menetapkan kebenaran-kebenaran yang terdapat pada suatu
perkara, jadi bukan untuk mencari-cari kesalahan terdakwa.47 Hal ini dilakukan untuk mencegah agar tidak adanya
kesalahan dalam menjatuhi pidana pada seorang yang tidak
bersalah. Oleh karena itu, hakim didalam pembuktian di
persidangan harus benar-benar memastikan apakah peristiwa
pidana tersebut terjadi, kemudian memastikan apakah
kejadian tersebut adalah tindak pidana atau bukan, serta
melihat bukti-bukti yang ada atau alasan-alasan yang
menyebabkan peristiwa tersebut.
b. Alat bukti Dan Fungsi Alat bukti Dalam Perkara Pidana
Proses untuk mencari alat bukti dalam hukum pidana
yaitu sesuatu hal yang harus diverifikasi pada saat sidang
pengadilan dan apa yang terjadi diluar sidang. Maka akan
berdasarkan pada Pasal 184 KUHAP yang berbunyi:
Alat-alat bukti yang sah ialah:
(1) a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa
47 Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, mandar
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Alat-alat bukti yang telah dijelaskan diatas akan dijelaskan satu
persatu yaitu:
1. Keterangan Saksi
Salah satu alat bukti yaitu keterangan saksi,
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi adalah:48 a. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi,
kecuali yang tercantum dalam Pasal 168 KUHAP:
(1) Keluarga sedarah/semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa.
(2) Saudara terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa juga yang mempunyai hubungan perkawinan dan anak-anak saudara Terdakwa sampai derajat ke tiga.
(3) Suami atau istri terdakwa meski sudah bercerai.
b. Menurut Pasal 170 KUHAP, mereka yang kerena pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi.
c. Menurut Pasal 160 KUHAP, pengucapan sumpah oleh saksi adalah merupakan syarat mutlak kesaksian sebagai alat bukti, hal ini dapat dibuktikan:
1. Apabila saksi menolak mengucapkan sumpah atau janji, pemeriksaan tetap dilakukan, dan berdasarkan surat penetapan hakim ketua sidang
saksi yang menolak mengucapkan sumpah dapat di sandera di Rutan selama 14 hari. Hal ini di atur dalam Pasal 161 ayat (1) KUHAP. 2. Apabila telah disandera, tetapi saksi tetap
menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji, maka saksi tersebut tetap dapat dimintai keterangan yang diberikan dapat menguatkan keyakinan hakim, tetapi bukan kesaksian menurut Undang-undang dan juga bukan merupakan alat bukti petunjuk.
3. Apabila kesaksian diberikan dibawah sumpah, maka merupakan dasar atau sumber keyakinan hakim.
4. Kekecualian memberi kesaksian di bawah sumpah yaitu:
(a) Bagi mereka yang belum cukup umur 15 tahun atau belum kawin.
(b) Orang sakit ingatan, walaupun kadang-kadang normal (psikopat), karena mereka tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna di depan hakim.
Alat bukti berikutnya adalah Isi dan Nilai Keterangan
berarti agar suatu keterangan saksi mempunyai nilai sebagai
keterangan saksi, maka isi keterangan harus memenuhi syarat
sebagai berikut:49
1) Menurut Pasal 185 ayat (5) KUHAP, keterangan saksi bukan merupakan pendapat atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja.
2) Menurut Penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi bukan keterangan yang diperoleh dari orang lain atau Testimonium de Auditu atau Hearsay Evidence.
3) Menurut Pasal 1 ayat (27) KUHAP keterangan saksi harus menerangkan apa yang dilihat, didengar atau dialami sendiri.
4) Menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi harus diucapkan di depan hakim atau di sidang pengadilan agar keterangan saksi tersebut dapat dipakai sebagai alat bukti. Hal ini bertujuan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi itu, yaitu tentang kebenaran keterangan saksi apakah yang diterangkan tersebut sesuai yang ia lihat, ia dengar dan ia alami sendiri.
5)Menurut Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya (Unus Testis Nullus Testis). Ketentuan tentang seorang saksi tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya ada
kekecualiannya yaitu sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 184 yang mengatakan bahwa dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim didukung satu alat bukti saja.
6) Menurut Pasal 185 ayat (4) KUHAP, keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sama apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian/keadaan tertentu.
2. Keterangan Ahli
Alat bukti selanjutnya adalah keterangan ahli. Alat bukti
dimaksud dengan keterangan ahli yaitu:50
a. Tentang apa yang dimaksud ahli dalam KUHAP maupun Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tidak memenuhi jawaban.
b. Menurut Pasal 186 KUHAP: Keterangan ahli ialah apa yang seseorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan. c. Menurut Penjelasan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli
tersebut dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh
penyidik/penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah pada waktu menerima jabatan/pekerjaan.
d. KUHAP tidak pernah memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan keterangan ahli.
e. Keterangan ahli sebagai alat bukti menurut Undang-Undang, menurut Pasal 161 ayat (1) KUHAP harus diberikan dengan mengucapkan sumpah/janji dan menurut Pasal 161 ayat (2) KUHAP jika keterangan ahli diberikan dengan tidak mengucapkan sumpah/janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah tetapi hanyalah keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. f. Isi keterangan ahli adalah penilaian mengenai hal-hal yang
sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal itu.
g. Keterangan ahli di persidangan = Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 KUHAP, sedangkan;
h. Keterangan ahli yang diberikan secara tertulis = Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP.
3. Surat
Kemudian, dalam hal alat bukti Surat yang diatur dalam
Pasal 187 KUHAP, dimaksudkan bahwa surat yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang, surat yang dibuat menurut peraturan
perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat, surat
keterangan seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya dan surat lain dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Surat-surat yang dimaksudkan sebagai alat bukti dalam
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
“Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya; d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain”.
Dari bunyi pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa arti surat yang dimaksud adalah tiga jenis surat yaitu surat authentik (akta otentik) yaitu surat-surat yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang, dimana isi surat itu berkuasa untuk membuatnya dan berkuasa pula ditempat dimana surat itu dibuat. Berikutnya surat dibawah tangan yaitu akte-akte yang dibuat di bawah tangan yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, daftar-daftar dan surat-surat lain, yang tidak dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Surat tersebut juga dilegalisasi dihadapan pejabat yang berwenang, maka kekuatan disamakan dengan akte yang dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. Surat biasa adalah semua surat yang memberikan bukti dimana isinya ada hubungan dengan perkara yang sedang disidangkan, misalnya surat yang dibuat oleh seseorang ketika yang bersangkutan akan melakukan sesuatu hal, seperti bunuh diri. Dalam surat tersebut, biasanya menjelaskan alasan mengapa seseorang melakukan tindakan bunuh diri tersebut.51
4. Petunjuk
Petunjuk adalah suatu kejadian-kejadian atau keadaan atau hal
lain, yang keadaannya dan persamaannya satu sama lain maupun
dengan peristiwa itu sendiri.52 Jika merujuk pada Pasal 188
KUHAP:
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.keterangan saksi;
b.surat;
c.keterangan terdakwa.
(3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Jika ingin membuktikan kesalahan terdakwa maka
diperlukan beberapa petunjuk dalam melihat kesalahan
terdakwa. Sehingga dengan kejadian yang terjadi bisa
menjadikan petunjuk-petunjuk untuk peristiwa pidana, karena
dalam hal tindak pidana terjadi maka akan ada kaitannya dengan
hubungan yang masuk akal. Petunjuk dalam hal ini juga dapat
berupa keterangan saksi, surat-surat yang berkaitan dengan
peristiwa pidana serta keterangan terdakwa.
Petunjuk dalam alat bukti dimaksudkan bahwa adanya
suatu kejadian atau keadaan yang sesuai antara satu maupun
yang lain dalam hal tindak pidana dan menandakan adanya suatu
tindak pidana dan siapa pelakunya. Kemudian dalam menilai
kekuatan pembuktian dari petunjuk-petunjuk tersebut, maka
akan menjadi kewenangan hakim dalam memutuskan.
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam alat bukti adalah sebagai alat
bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan oleh sebab itu
semua yang dikatakan oleh terdakwa haruslah didengar sehingga
dapat dinilai apakah yang dikatakan terdakwa adalah
penyangkalan, pengakuan ataupun perbuatan. Keterangan
terdakwa sebagai alat bukti dengan demikian lebih luas
pengertiannya dari pengakuan terdakwa, bahkan menurut
Memorie Van Toelichting Ned. Sv Penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti yang sah dengan demikian keterangan
terdakwa yang menyangkal dakwaan tetapi membenarkan
beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus pada
Keterangan terdakwa mempunyai sifat yang sama dengan
keterangan saksi, sehingga kekuatan pembuktiannya diserahkan
kepada hakim.53
Pada Pasal 183 KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah,ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Fungsi alat bukti didalam perkara pidana adalah guna
melihat kejelasan dalam memutuskan terdakwa bersalah atau
benar dalam sidang di pengadilan. Dengan adanya alat bukti
tersebut, maka suatu kasus pidana akan semakin jelas. Dalam
KUHAP, alat bukti terdapat dalam pasal 184 yang berbunyi:
“Alat bukti yang sah ialah: keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, keterangan terdakwa”. Fungsi alat bukti adalah untuk membangun keyakinan hakim bahwa sekurang-kurangnya
dua alat bukti sah telah terjadi tindak pidana serta seorang
terdakwa yang bersalah melakukannya.
3. Proses Pembuktian
Pembuktian dalam hukum acara pidana adalah tahapan
terjadinya suatu proses, cara, perbuatan membuktikan apakah
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dalam persidangan
di pengadilan terbukti atau tidak. Pembuktian merupakan
tindakan untuk menghadirkan alat-alat bukti yang
dibenarkan/ditentukan oleh undang-undang, untuk membukti-
kan apakah benar terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dan
sebagai orang yang patut dipersalahkan dalam perkara tersebut.
Dalam pembuktian, akan dilakukan kegiatan membuktikan yaitu
dengan menghadirkan alat bukti dan barang bukti dan
melakukan verifikasi untuk memperoleh kebenaran.
Dalam proses membuktikan bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa harus dilakukan melalui proses pemeriksaan
di depan pengadilan. Menurut M. Haryanto dalam buku
Hukum Acara Pidana, ada dua hal yang diperhatikan oleh
Hakim dalam hal pembuktian yaitu:
1. Kepentingan Masyarakat, yaitu bahwa seseorang yang telah melanggar ketentuan pidana dalam KUHP atau UU Hukum Pidana di luar KUHP harus mendapatkan hukuman setimpal dengan kesalahannya.
2.Kepentingan Terdakwa, yaitu terdakwa harus
hukuman sesuai dengan kesalahannya. Prinsip ini seperti
dikemukakan oleh Socrates bahwa “lebih baik melepaskan seribu orang penjahat daripada menghukum seorang yang tidak bersalah”.
Yang dimaksudkan dengan pembuktian adalah
pembuktian bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggung jawabkannya.
Sehingga ada dua hal yang dibuktikan, yaitu: kebenaran peristiwa pidana yang didakwakan (unsur obyektif) dan kebenaran terdakwa sebagai pelaku yang dapat bertanggungjawabkan (unsur subyektif).54
Kemudian, dalam buku Eddy O. S. Hiariej, mengutip
pendapat William R. Bell, bahwa faktor-faktor yang berkaitan
dengan pembuktian adalah sebagai berikut:
Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu, dalam konteks perkara pidana, ketika menyidik suatu kasus biasanya polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa unsur-unsur kejahatan yang disangkakan? Apa kesalahan tersangka yang harus dibuktikan? Fakta-fakta mana yang harus dibuktikan? Bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung oleh bukti-bukti lainnya.
Bukti tidak boleh didasarkan pada persangkaan yang tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta.
Dasar pembuktian, yang dimaksudnya adalah
pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang sah.
Berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan bukti, harus dilakukan dengan cara-cara sesuai dengan hukum.55
Sehingga didalam proses pembuktian dalam persidangan
yang akan dilakukan dalam pengungkapan fakta yaitu melalui
pemeriksaan saksi, pemeriksaan ahli dan pemeriksaan barang
bukti dan alat bukti. Dengan demikian mengungkapkan fakta
serta alat-alat bukti ke muka sidang oleh Jaksa Penuntut Umum,
Penasehat Hukum, dan majelis Hakim akan melakukan
penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum,
Jaksa Penuntut Umum pembuktian dalam arti kedua ini
dilakukannya dalam surat tuntutannya (requisitoir), kemudian Penasehat Hukum dapat mengajukan pembuktiannya yang
dilakukan dengan cara nota pembelaan (pledooi), dan terakhir Majelis Hakim akan membaca vonnis atau putusan akhir pada kasus tersebut.
55 Eddy O. S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta,
C. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA
1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaats), kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum
positif.56 Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan
pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia
tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan
menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara
imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif.57
Oleh karena itu, dengan adanya kewenangan tersebut
maka dalam hal melaksanakan tugas serta pertimbangan hakim
dalam persidangan haruslah bersih, profesional, arif serta
bijaksana. Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argumen atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai
pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus
perkara.58
56 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif
Hukum Progresif, Sinar Grafika, 2014, hlm. 1.
57 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 93.
58 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, Citra
Salah satu hal yang terpenting dalam menentukan
terwujudnya suatu nilai keadilan adalah pertimbangan hakim
yang mengandung keadilan bagi para pihak yang berperkara.
Dalam pertimbangan hakim haruslah disikapi dengan cermat,
baik serta teliti. Hal ini agar para pihak yang berperkara
merasakan keadilan. Karena putusan hakim merupakan
serangkaian dalam proses penjatuhan pidana pada seseorang
maka hakim harus berpedoman pada pembuktian dalam hal
menentukan seseorang benar melakukan tindak pidana. Apabila
dalam hasil persidangan, terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana maka putusan hakim
haruslah lepas dari segala tuntutan hukum yang ada atau putusan
pembebasan (vrjspraak).
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan
memutuskan serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di
suatu sidang pengadilan, dengan menjatuhkan suatu putusan,
yang disebut dengan putusan hakim.59
Putusan Hakim akan begitu dihargai dan mempunyai
nilai kewibawaan, jika putusan tersebut dapat merefleksikan rasa
keadilan hukum masyarakat dan juga merupakan sarana bagi
masyarakat pencari keadilan untuk mendapatkan kebenaran dan
keadilan.60 Sejatinya pelaksanaan tugas dan kewenangan seorang hakim dilakukan dalam kerangka menegakkan
kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang dicita-citakan
selama ini, dengan berpedoman pada hukum, undang-undang
dan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.61
2. Kewajiban Hakim Dalam Memutuskan Perkara Pidana
a. Hal-hal Yang harus Dipertimbangkan Hakim Dalam
Perkara Pidana
Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus
memperhatikan serta mengusahakan semaksimal mungkin
agar jangan sampai putusan tersebut memungkinkan
timbulnya perkara baru (sedapat mungkin para pihak dalam
perkara tidak mengajukan banding atau upaya hukum
lainnya).62
Menurut Ahmad Rifai, dalam memeriksa dan
mengadili suatu perkara pidana, dan kemudian menjatuhkan
putusan, seorang hakim harus melakukan 3 (tiga) tahap
tindakan dipersidangan yaitu:
1. Tahap Mengkonstatir
Dalam tahap ini, hakim akan mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Untuk memastikan hal tersebut, maka diperlukan pembuktian dan oleh karena itu hakim harus bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum, di mana dalam perkara pidana dapat diketemukan dalam Pasal 184 KUHAP.
2. Tahap Mengkualifikasi
Pada tahap ini, hakim mengkualifisir dengan menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar-benar terjadi itu, termasuk hubungan hukum apa atau yang bagaimana atau menemukan hukum untuk peristiwa hukum (apakah itu pencurian, penganiayaan, perzinahan, perjudian, atau peralihan hak, perbuatan melawan hukum, dan sebagainya).
Jika peristiwa sudah terbukti dan peraturan hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya akan mudah, tetapi jika tidak jelas atau tidak tegas hukumnya, maka hakim bukan lagi harus menemukan hukumnya saja, tetapi lebih dari itu ia harus menciptakan hukum, yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan keseluruhan
sistem perundang-undangan dan memenuhi
pandangan serta kebutuhan masyarakat atau zamannya.
3. Tahap Mengkonstituir
Dalam Rancangan Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), faktor-faktor yang
memperingan dan memperberat pidana terdapat pada Pasal 132,
133,134, dan 135. Pasal 132 RUU KUHP berbunyi:
Faktor yang memperingan pidana meliputi: 1) Percobaan melakukan tindak pidana; 2) Pembantuan terjadinya tindak pidana;
3) Penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
4) Tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; 5) Pemberian ganti kerugian yang layak perbaikan
kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;
6) Tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
7) Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 133 berbunyi:
(1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.
(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup. Maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
(3) Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Pasal 134 berbunyi: “faktor yang memperberat pidana meliputi: a. Pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang di lakukan
oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan
b. Penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c. Penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;
d. Tindak pidana yang dilakukan oleh dewasa bersama-sama dengan anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun; e. Tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu,
bersama-sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;
f. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam;
g. Tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h. Pengulangan tindak pidana; atau
i. Faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam
masyarakat.”
Pasal 135 berbunyi: “pemberatan pidana adalah penambahan 1/3
(satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana”.
Kemudian hal yang meringankan dalam putusan hakim
dalam Rancangan Undang-Undang KUHP terdapat pada Pasal
34 dan 35 yang berbunyi:
Pasal 34: “setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda atau orang
lain, tidak dipidana”. Pasal 35: “termasuk alasan pembenar adalah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana di maksud dalam Pasal 11 ayat (2)”.
Hal-hal yang memberatkan yaitu bahwa perbuatan
seorang terdakwa telah melanggar peraturan yang berlaku serta
merugikan orang lain. Hal-hal yang meringankan adalah