• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB I"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Terorisme sebenarnya bukanlah fenomena baru. Namun, seiring dengan perkembangan

zaman, berbagai aspek terorisme pun juga turut berkembang. Modus operandi maupun sarana

untuk melakukan terorisme juga semakin bervariasi. Hakekat dari suatu perbuatan terorisme

mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk

perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan

individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut,

pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk

pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain1.

Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan rasa aman dan nyaman serta

terhindar dari berbagai macam bentuk kekerasan apapun termasuk kekerasan terror. Hak setiap

warga negara itu di junjung dalam falsafah Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G.

Pasal 28 G ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berisi rumusan bahwa:

“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari

1

(2)

ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Yang mana sekarang dirubah menjadi: Pasal 28 H ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.2

Hak untuk terhindar dari segala bentuk kekerasan apapun termasuk kekerasan terror, dan

mendapat rasa aman dan nyaman juga dapat dilihat dari Pasal 4 Undang-Undang No. 39 tahun

1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia, yang berisi:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak, beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.”3

Kata teroris (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’ yang berarti

membuat gemetar atau menggetarkan. Kata “Teror” juga dapat mengandung pengertian

kengerian. Tentu saja kengerian di hati dan di pikiran korban. Akan tetapi, hingga kini tidak ada

definisi terorisme yang dapat diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah “terorisme” adalah

suatu konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan

terjadinya pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Tidak ada

negara yang ingin dituduh menjadi pendukung terorisme dan menjadi tempat-tempat

perlindungan sekelompok terorisme. Tidak ada pula negara yang dianggap melakukan terorisme

karena menggunakan kekuatan (militer). Ada yang mengatakan, seorang bisa disebut sebagai

teoris juga disebut sebagai pejuang kebebasan. Hal ini tergantung dari sisi mana melihat tindakan

tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan, hingga saat ini tidak ada definisi terorisme yang dapat

2 Lihat Pasal 28G Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

3 Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi Manusia, Lembaran

(3)

diterima secara universal. Masing-masing negara mendefinisikan terorisme menurut kepentingan

dan keyakinan sendiri untuk mendukung kepentingan nasionalnya.4

Masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan

kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif

terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme.5 Sejalan dengan kian meningkatnya

modus, senjata teroris dan target yang dituju, pada tataran internasional telah lahir satu komitmen

internasional untuk melakukan perang global melawan terorisme.6 Dalam hukum pidana,

terorisme memiliki banyak aspek dan perbedaan dalam banyak hal dari bentuk kriminalitas

biasa. Indonesia sendiri telah menyadari akan bahaya terorisme. Karena itulah, maka pemerintah

berupaya membuat Undang (UU) khusus yang mengatur terorisme. Pentingnya

Undang-Undang khusus yang mengatur terorisme semakin dirasakan pemerintah setelah terjadi peristiwa

peledakan Bom Bali tanggal 12 oktober 2002 (Bom Bali I). Peristiwa Bom Bali I memberikan

akibat yang luar biasa terhadap Indonesia. Bukan hanya dampak traumatis, namun juga

merapuhnya bangunan sosial dan ekonomi dalam skala mikro maupun makro.7

Dalam perkembangan teroris di Indonesia, mulai diketahui bahwa kelompok teroris

membutuhkan dana dalam setiap aksi teror yang mereka lakukan. Dalam melakukan

pengumpulan dana, para teroris bekerja secara terorganisir, baik dalam kelompok kecil maupun

besar. Negara dapat berperan terlebih dahulu untuk mencegah kegiatan teroris dengan cara

memotong semua sumber pendanaan terhadap teroris karena pendanaan merupakan aspek yang

paling penting dalam sebuah kelompok atau organisasi, termasuk juga dengan kelompok teroris.

(4)

Tanpa dukungan dana yang kuat, rencana dan program yang telah disusun tidak dapat berjalan

dengan lancar serta tujuan yang hendak dicapai juga tidak akan berhasil seperti untuk biaya

hidup, tempat persembunyian, pelatihan militer, perakitan senjata, serta biaya bagi kelangsungan

hidup keluarga mereka. Bentuk pengumpulan dana teroris berisifat ilegal yaitu kegiatan yang

dilakukan dengan bentuk kegiatan seperti sumbangan anggota jaringan teror dan simpatisan baik

yang berada di dalam maupun luar negeri, dengan melakukan perbuatan tindak pidana seperti

perampokan bank dan lembaga keuangan milik pemerintah, toko emas, pengusaha Non muslim,

kejahatan ITE / cyber serta pencucian uang. Semakin banyaknya peristiwa terorisme yang terjadi

di Indonesia, yang terjadi pada awal tahun 2000 menyebabkan Indonesia disebut sebagai negara

yang rawan teroris. Biaya yang dibutuhkan oleh para teroris tidaklah sedikit tetapi sangat

terbilang banyak, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah. Sebagai contoh, seperti Bom

Bali I yang membutuhkan biaya 120 juta Rupiah, Bom Bali II 80 juta rupiah, dan kasus

pengeboman Hotel JW M dan Ritch Calton yang menggunakan biaya Rp. 82 juta rupiah. Biaya

tersebut belum termasuk dengan pelatihan bagi teroris, seperti pelatihan militer bagi teroris di

Aceh yang membutuhkan biaya hingga 750 juta Rupiah. Sedangkan pelatihan militer di Poso

yang membutuhkan biaya sangat besar hingga mencapai 8 miliar Rupiah. Hal ini menunjukkan

bahwa pendanaan menjadi aspek yang sangat penting dalam mendukung kegiatan teroris.8

Pada intinya dalam upaya untuk memerangi terorisme, perlu memotong jaringan keuangan

yang digunakan untuk melakukan kejahatan terorisme. Selama ini memang sudah terdapat

beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pendanaan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

8 Journal of International Relations, “Peran Rekomendasi Financial Action Task Force (FATF)

(5)

Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International

Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tetapi

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum

mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai

dan komprehensif serta peraturan tersebut dirasa belum optimal dalam mengkriminalisasi

kegiatan pendanaan terorisme tersebut.

Upaya yang dilakukan dalam rangka untuk memerangi terorisme bukan hanya dengan

mengkriminalisasi perbuatan teror yang dilakukan oleh para teroris, tetapi juga

mengkriminalisasi kegiatan pendanaan/pembiayaan terorisme kepada para teroris yang

pengaturannya sebelum adanya Undang-Undang tentang Pendanaan Terorisme terdapat dalam

Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme dan terdapat dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme setelah

adanya pengaturan khusus tentang Pendanaan Terorisme. Diperkuat dengan adanya

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme diatur pemberian kewenangan pemblokiran aset yang diduga terkait

dengan upaya teror.

Jadi pendanaan terorisme tidak akan terlepas dari fungsinya, yaitu untuk mendanai operasi

teroris tertentu seperti biaya langsung yang berkaitan dengan suatu serangan dan biaya organisasi

atau semacam biaya tidak langsung untuk pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur

(6)

Perserikatan Bangsa - Bangsa (United Nation) sebagai badan berhimpunnya

negara-negara dunia telah mengeluarkan sebuah konvesi internasional berkaitan dengan pemberantasan

pembiayaan terorisme. Konvensi tersebut adalah International Convetion For The Supprresion

of The Financing of Terorism dan telah ditandatangani oleh perwakilan masing-masing

pemerintah anggota Perserikatan Bangsa - Bangsa di Kantor Besar Perserikatan Bangsa - Bangsa

di New York pada tanggal 2000. Dalam plenary meeting FATF (Financial Action task Force)

yang dilaksanakan di Hong Kong pada tanggal 1 Februari 2002, dapat diketahui bahwa

negara-negara di seluruh dunia telah bersatu dalam keyakinannya bahwa teroris dan mereka yang

membantu para teroris harus dihalangi aksesnya ke sistem keuangan internasional. Termasuk di

dalamnya akses bagi kelompok teroris serta kelompok-kelompok yang ingin membantu

pembiayaan terhadap aktivitas terorisme. Terorisme akan semakin berkembang apabila

organisasinya mendapat dukungan dana yang cukup. Oleh karena itu, perang terhadap pendanaan

terorisme merupakan langkah yang penting dalam memerangi terorisme itu sendiri. Karena,

apapun rencana jahat para teroris itu tidak akan terlaksana dengan baik tanpa adanya dukungan

dana.

Melihat suatu kasus yang terdapat dalam Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI tentang

tindak pidana terorisme. Bahwa terdakwa Cahya Fitriyanta terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Terdakwa

melakukan hacking ke website bisnis online yaitu untuk mengumpulkan dana guna melanjutkan

perjuangan sebagaimana mereka sebut sebagai jihad. Dengan menggunakan senjata api yang

memerlukan biaya dan peralatan, membantu para umahat (istri istri yang ditinggal oleh suaminya

karena ketangkap maupun yang syahid) sebagaimana yang diperintahkan oleh Santoso (telah

(7)

pada periode bulan Juli 2011 hingga awal bulan September 2011 menempatkan uang hasil

transaksi balance yang merupakan hasil dari hacking website investasi online sebesar lima ratus

juta rupiah dibeberapa rekening orang lain lalu oleh Terdakwa ditarik dan lalu ditransferkan

kebeberapa rekening milik Terdakwa dengan nama berbeda beda.

Karena perbuatannya tersebut, maka terdakwa Cahya dijerat dengan Pasal 15 jo. Pasal 11

Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.9 Pasal 15

Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah

ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 berisi rumusan:

”Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”

Dan diteruskan dengan Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15

Tahun 2003 berisi rumusan:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”10

Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang berisi rumusan:

9

Putusan Mahkamah Agung No.113/PID/2013/PT.DKI Tentang Tindak Pidana Terorisme.

10 Pasal 15 dan Pasal 11 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan

(8)

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua

puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Putusan yang kedua yaitu Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. tentang tindak

pidana terorisme11. Bahwa Terdakwa Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme”. Terdakwa bersama dengan Farid menggunakan sepeda motor jenis Mio

JT milik Farid mengambil 1 (satu) unit sepeda motor jenis Yamaha Jupiter warna Silver Biru

yang diparkir dalam halaman sebuah rumah di Jalur Dua Parigi dengan cara terdakwa jual ke

Ustad Mualim dengan harga tiga juta tiga ratus ribu rupiah. Ustad Mualim membayar sepeda

motor Yamaha Jupiter tersebut dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada Rohim

(iparnya Arif) lalu dari uang tersebut terdakwa sisihkan sebesar tujuh ratus ribu rupiah untuk

uang kas kelompok Santoso yang dipegang oleh Jundi, Sisanya terdakwa bagi dua dengan Farid.

Sehingga masing-masing mendapat sebesar satu juta tiga ratus ribu rupiah. Lalu Yono Piti

memberikan uang kepada Terdakwa sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah hasil penjualan 1

(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu. Uang hasil penjualan 1

(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu dibagi-bagi, yang mana

uang hasil penjualan sepeda motor sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah disisihkan terlebih

dahulu oleh terdakwa dan Jundi sebesar 20 (dua puluh) persen yaitu sebesar satu juta seratus ribu

rupiah untuk uang kas kelompok Santoso yang dipegang Jundi. Setelah itu sisanya sebesar empat

juta empat ratus ribu rupiah dibagi berempat sehingga terdakwa, Jundi, Rodik dan Farid

masing-masing mendapat satu juta rupiah seratus ribu rupiah. Bahwa sebagian dari hasil penjualan

(9)

sepeda motor - sepeda motor disisihkan untuk Santoso dan kelompok terorisnya yang digunakan

oleh Santoso untuk membiayai kegiatan Santoso dalam melakukan Tindak Pidana Teroris.

Karena Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut

Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme berisi

rumusan:

“Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang berisi rumusan:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dalam memutus suatu perkara hakim harus mempertimbangkan apakah perbuatan pidana

tersebut telah memenuhi unsur yang yang terkandung di dalam Pasal yang telah dijatuhkan atau

belum serta hakim juga perlu mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi selama proses

persidangan. Dengan hal ini, apakah Putusan No. 113/PID/2013/PT.DKI dan Putusan

No.629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. telah sesuai dengan hukum yang menjeratnya yaitu Perppu.

No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah

ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003, Undang-Undang No.8 Tahun 2010

(10)

Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme.

Dalam mencegah pendanaan terorisme yang semakin hari semakin marak berkembang

dan Indonesia ingin menunjukan keseriusannya dalam menangani dan memberantas kasus

pendanaan terorisme tersebut maka Indonesia meratifikasi International Convention for the

Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan telah mengundangkan ke dalam

Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International Convention for the Suppression of

the Financing of Terrorism 1999 serta mengkriminalisasi terhadap pendanaan terorisme dengan

dikeluarkannya undang-undang khusus terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana pendanaan terorisme yang tercantum dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme.12 Sebenarnya

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah

menjelaskan dan membahas tentang pendanaan terorisme dan di dalam skripsi ini penulis

membahas mengenai pengaturan sebelum adanya Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme dengan melihat dalam

Putusan Mahkamah Agung No. 113/PID/2013/PT.DKI dan setelah adanya Undang-Undang No.

9 Tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme

dengan melihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

B.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang dapat ditarik yaitu:

(11)

 Bagaimana pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan

terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013

tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme?

Untuk membahas masalah tersebut, Penulis melakukan kajian terhadap Putusan

Mahkamah Agung No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah Agung No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

C.

TUJUAN PENELITIAN

Penulisan hukum ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana

khusus, yaitu mengidentifikasi dan menganalisis mengenai pengaturan tindak pidana pendanaan

terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan

tindak pidana pendanaan terorisme dengan mengkaji Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI. dan

Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

E.

MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

Adapun kegunaannya sebagai berikut:

1. Kegunaan Akademis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan khasanah ilmu

pengetahuan hukum pidana khusus tentang pengaturan tindak pidana pendanaan

terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang pencegahan dan

(12)

Agung No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan Mahkamah Agung No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum,

khususnya bidang hukum pidana khusus. Serta, dapat dipakai sebagai acuan dalam

mempelajari mengenai pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan

sesudah berlakunya Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pendanaan terorisme dengan melihat Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan

No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

b. Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam

melaksanakan tugas dan kewenangannya, dapat lebih memperjelas mengenai

pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan sesudah berlakunya

Undang-Undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme

dengan melihat Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM.

c. Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah

pengetahuan serta wawasan di bidang hukum khususnya hukum tindak pidana

pendanaan terorisme.

F.

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

(13)

Dalam rangka melengkapi dan meyempurnakan penulisan ini, penulis

melaksanakan penelitian guna mendapatkan data yang konkrit untuk dijadikan

sebagai bahan penulisan agar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk

mendukung penelitian tersebut diperlukan suatu metode penelitian, dalam

permasalahan ini metode yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian

yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis dan bentuk-bentuk

dokumen resmi atau disebut juga dengan data sekunder, yaitu data yang diperoleh

dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku-buku yang ada hubungannya dengan

masalah yang dibahas. Penelitian hukum yuridis normatif sering disebut juga studi

hukum dalam buku (law in book)13.

b. Pendekatan Kasus (Case Approach)

Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus terkait dengan isu

yang sedang dihadapi, dan telah menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum

tetap. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah rasiodecidendi

atau reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.

Secara praktis ataupun akademis, pendekatan kasus mempunyai kegunaan dalam

mengkaji rasio decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi

penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu hukum.14

2. Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat normatif, artinya mempunyai

otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perUndang-Undangan,

13 J. Supranto, “Metode Penelitian Hukum dan Statistik”, Cet. I, PT. Ribeka Cipta, Jakarta, 2003, h. 3. 14 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian hukum”, Edisi Revisi, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,

(14)

catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perUndang-Undangan dan putusan

hakim15. Dalam tulisan ini terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak-hak Asasi

Manusia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan

International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999,

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Putusan

No.113/PID/2013/PT.DKI. dan Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. yang

berhubungan dengan penelitian.

b. Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan16.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder17.

3. Teknik Pengumpulan Data

15 Ibid. h. 181. 16 Loc.cit.

(15)

Dalam hal ini penulis mempergunakan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen

atau kepustakaan yaitu dengan mempelajari literatur-literatur yang ada berkaitan dengan

permasalahan yang akan dibahas. Disamping itu untuk melengkapi data juga dilakukan

penelurusan data melalui internet.

4. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data disusun secara sistematis melalui proses editing yaitu mengolah kembali

data yang telah diperoleh dengan memilih data yang sesuai dengan keperluan dan tujuan

penelitian sehingga di dapat suatu kesimpulan akhir secara umum yang nantinya akan dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan yang ada.

5. Teknik Analisa Data

Untuk menganalisis data yang telah diperoleh, penulis menggunakan analisis data

kualitatif, yaitu uraian yang dilakukan terhadap data yang terkumpul dengan menggunakan

kalimat-kalimat atau uraian-uraian yang menyeluruh terhadap fakta-fakta yang terdapat di

lapangan sehubungan dengan pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan

sesudah berlakunya Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme dengan melihat contoh kasus. Semua hasil penelitian dihubungkan

dengan pengaturan perundang-undangan yang terkait. Setelah itu dirumuskan dalam bentuk

uraian dan akhirnya ditarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap

permasalahan-permasalahan di dalam penelitian.

(16)

Agar lebih mudah memahami hasil penelitian dan pembahasannya yang tertuang dalam

proposal ini, penulis selanjutnya dibagi dengan sistematika sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Gambaran umum mengenai latar belakang masalah yang menjadi dasar penulisan, latar

belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penelitian, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan mengenai pengertian tindak pidana terorisme, pengertian tindak

pidana pendanaan terorisme, motif dan bentuk tindak pidana pendanaan terorisme, dan

pengaturan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang

Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang dengan mengkaji

dari studi kasus Putusan No. 113/PID/2013/PT.DKI dan Putusan No.

629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM dimaksud.

BAB III PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu pembelajaran yang bisa digunakan dalam strategi pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar mandiri, lebih aktif, dan

Pertukaran hari dan minggu, bahkkan bulan dan tahun, hampir tidak lagi terasa, karena kesibukan manusia yang semakin padat, sehingga banyak orang yang tidak lagi

Skripsi dengan judul “ Korelasi Antara Kemampuan Siswa Dalam Menjelaskan Soal Cerita dangan Kemampuan Siswa dalam Mengerjakan Soal Cerita Materi Lingkaran pada

Menurut Ferizal 25 kurangnya kesadaran dan kepudulian mas- yarakat terhadap sesuatu hal yang terjadi di dalam lingkungan masyarakat tersebut merupakan salah satu

Semakin positif sikap terhadap beban tugas maka stres akademik yang dialami mahasiswa semakin rendah, demikian juga sebaliknya. Kata Kunci: Stres Akademik Mahasiswa, Sikap

Membahas hasil temuan yang didapatkan peneliti selama di lapangan terkait dengan penelitian tentang perbedaan perianal hygiene dengan tisu basah dan kapas air terhadap

Dalam hal ini dibuktikan dari 4 (empat) kali pengujian ( dua kali sebelum merpass dan dua kali sesudah merpass ) di laksanakan dari tanggal 11 April sampai dengan 14

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa: 1) Tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik termasuk kategori tinggi saat