• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika Khotbah di Gunung Dari Aturan Emas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika Khotbah di Gunung Dari Aturan Emas"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Etika Khotbah di Gunung:

Dari “Aturan Emas” Hingga ke “Nilai Lebih”

Oleh Edisius Riyadi

Pengantar

Etika Khotbah di Gunung1 merupakan irisan dari tiga hal berikut, yaitu etika

atau filsafat moral umum, etika teonom, dan teologi moral (dasar). Penamaan

“teologi moral” biasanya diterapkan di kalangan Katolik, sementara di kalangan Protestan dinamakan “etika Kristen” saja.2 Khotbah di Gunung dikatakan

merupakan irisan ketiga hal tersebut karena ia mengandung prinsip-prinsip etis

yang dalam teori etika sistematis seperti Immanuel Kant juga menjadi prinsip

fundamental misalnya “manusia tidak boleh menjadi sarana” (prinsip universal), ia merupakan wahyu Allah melalui Yesus Kristus (teonomi), dan merupakan

subjek refleksi kaitan antara iman dan perbuatan (moralitas berdasarkan teologi).

Etika Khotbah di Gunung adalah “ajaran moral” yang ditimba dari

serangkaian khotbah Yesus di gunung (Mat. 5-7). Khotbah di Gunung adalah

yang pertama dari lima pidato besar Yesus sebagaimana dicatat dalam Injil

Matius (empat lainnya adalah dalam Mat. 10, 13, 18, 24-25).3 Bahkan, inti ajaran

Paper presentasi dan tugas akhir mata kuliah Filsafat Praktis di Program Pascasarjana STF Driyarkara,

Jakarta, 23 April 2008; Dosen: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, S.J. Penulis dapat dihubungi di: +628111878938; Email: ediriyadi.arete@gmail.com, ediriyadi.terre@gmail.com.

1 Tulisan ini sebagian besar mengacu pada buku karangan Bernhard Kieser, Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987. Tetapi, dalam penyajiannya, saya tidak mengikuti sistematika Kieser, dan juga di sana sini menyelipkan tambahan dari sumber lain, baik yang bersesuaian maupun dalam rangka mengkontraskan. Sumber inspirasi juga berasal dari silabus dan

perkuliahan “Filsafat Praktis” oleh Rm. Franz Magnis-Suseno, semester pertama 2008.

2Tentang kedua penamaan tersebut, lihat Ronald Preston, “Christian Ethics”, dalam Peter Singer,

ed., A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell, 1997, hlm. 93.

(2)

moral Yesus Kristus secara khusus terpusat pada Khotbah di Gunung.4 Etika

Khotbah di Gunung bukanlah sebuah “sistem etika” sebagaimana misalnya kita

memahami sistem etika deontologis Immanuel Kant atau etika utilitarianisme

(John Stuart Mill dan Jeremy Bentham). Juga bukan sebuah “ajaran” dengan

norma-norma yang rinci sebagaimana misalnya kita melihat dalam ajaran Musa

dalam Kitab Taurat.

Secara umum, Etika Khotbah di Gunung memiliki dua karakter yaitu

prespkriptif dan deskriptif. Dimensi preskriptif tampak dalam pembalikan Yesus

terhadap kaidah-kaidah lama dan menganjurkan suatu hidup dengan pola yang

baru. Sementara dimensi deskriptifnya tampak dalam pernyataan-pernyataan

tentang bagaimana adanya dunia berjalan (misalnya tampak jelas dalam Kaidah

Emas: apa yang kita kehendaki orang lain perbuat kepada kita, kita perbuat juga

demikian). Kaidah ini deskriptif, tetapi tampak preskriptif karena yang

“sebagaimana adanya” itu ternyata tidak berjalan sebagaimana adanya atau tidak berjalan normal, karena itu pernyataan itu kemudian seolah dibaca

“seharusnya” dan karena itu preskriptif-normatif.5 Dengan kata lain, Yesus

sebenarnya tidak sedang mengajarkan norma-norma yang baru sama sekali,

melainkan mengajarkan nilai-nilai yang sewajarnya dijalankan manusia sebagai

manusia tetapi sudah dilupakan karena martabat manusia teralienasi oleh dosa

dan kejahatan. Artinya, ajaran Yesus adalah ajaran tentang pengingatan kembali

(anamnesis) akan moralitas asasli manusia sebelum jatuh ke dalam dosa dan

kejahatan. Dengan demikian, mengajarkan kasih, misalnya, tidak berarti Yesus

memaksakan suatu konsep baru, melainkan menghidupkan kembali potensi

yang telah mati dalam diri manusia, yaitu kekuatan untuk mengasihi,

mengampuni, dan mengubah hidup (metanoia) dari manusia lama ke manusia

baru, yaitu manusia asali pra-kejatuhan ke dalam dosa dan kejahatan).

4 Georgo V. Lobo, S.J., Guide to Christian Living, a New Compendium of Moral Theology, Maryland:

Christian Classics, Inc., Cetakan Kedua, 1985, hlm. 46.

5 Tentang dimensi deskriptif dari etika atau ajaran Yesus ini silahkan baca: Jim Grote dan John

(3)

Struktur dan Pokok-Pokok “Ajaran” Etika Khotbah di Gunung

Struktur Khotbah di Gunung adalah sebagai berikut:6

 Narasi Pangantar (Mat. 5, 1-2): sejumlah besar orang berbondong-bondong mengikuti Yesus karena Ia menyembuhkan banyak orang sakit

dan membuat pelbagai mujizat, sehingga Ia naik ke gunung dan

berkhotbah.

 Sabda Bahagia (Mat. 5: 3-12), yang menggambarkan karakter rakyat (anak-anak) dari Kerajaan Allah.

 Metafora tentang Garam dan Terang (Mat. 5: 13-16) yang membentuk suatu kesimpulan tentang gambaran anak-anak Allah yang dinyatakan

dalam sabda bahagia, sekalian juga pengantar untuk bagian berikutnya.

 Uraian tentang Hukum (Mat. 5: 17-48): sebuah penggenapan dan

reinterpretasi terhadap Hukum Musa dan secara khusus terhadap

Sepuluh Perintah Allah, pengkontrasan antara “apa yang telah kamu

dengar” dengan “tetapi saya berkata kepadamu”,7 yang dikenal juga

sebagai antitesis.8

 Uraian tentang Hidup Baik sebagai Anak Allah (Mat. 6), di mana Yesus

mengkritik “perbuatan baik” dalam hal memberi sedekah, berdoa dan

berpuasa (tiga hal fundamental dalam hal ketaatan sebagai anak Allah)

jika semuanya itu hanya dilakukan sebagai pameran saja dan bukan

6 Dikutip dari Wikipedia, “Sermon on the Mount”,

http://en.wikipedia.org/wiki/Sermon_on_the_Mount. Bandingkan juga dengan Bernhard Kieser, hlm. 55-56.

7Tentang kontras ini dan penekanan pada “perintah baru” dari Yesus Kristus sebagai penggenapan

sekaligus sebagai perbaikan terhadap perintah lama (dalam Perjanjian Lama), juga diuraikan dalam Lobo, hlm. 46-51.

(4)

sebagai ungkapan tulus dari hati. Dalam bagian ini, Yesus juga mengkritik

sikap materialis dan meneguhkan para muridNya untuk tidak khawatir

tentang kebutuhan hidup, namun pertama-tama harus mencari Kerajaan

Allah terlebih dahulu. Dalam bagian ini juga terkandung Doa Bapa Kami,

yang oleh penginjil Matius ditampilkan sebagai sebuah contoh doa yang

benar.

 Uraian tentang Hal Menghakimi (Mat. 7:1-6): Yesus mengkritik orang-orang yang dengan mudahnya menghakimi orang-orang lain tetapi tidak

didahului dengan penghakiman terhadap diri sendiri.

 Uraian tentang Kesucian (Mat. 7:7-29), yang mengandung kesimpulan ringkas dari keseluruhan khotbah, yang mengingatkan akan bahaya

munculnya nabi-nabi palsu, dan mengingatkan akan sulitnya melakukan

perbuatan yang benar.

Secara umum isi Khotbah di Gunung sangat kaya dan mencakup pelbagai

hal untuk kehidupan personal maupun sosial, dalam hubungan horizontal

dengan sesama manusia maupun vertikal. Keseluruhannya dirangkum dengan

sangat indah dan padatnya dalam doa Bapa Kami. Isu-isu yang dirangkum

dalam Khotbah di Gunung antara lain adalah tentang kebahagiaan sebagai

anak-anak Allah, tentang memaafkan dan bahkan mengasihi musuh, tentang berdoa,

tentang kesucian tubuh, tentang perceraian, tentang zinah, tentang harta, tentang

dasar hidup sebagai anak Allah, dsb.

Gagasan utama di balik semua dan seluruh ajaran Yesus terutama yang

terdapat dalam “Khotbah di Gunung” adalah tentang Kerajaan Allah dan

kehadiran kerajaan itu bagi manusia. Kerajaan itu semata-mata berisikan

kebahagiaan. Kerajaan Allah adalah kerajaan kebahagiaan anak-anak Allah (Mat.

5: 3-12).9 Intinya adalah bahwa manusia harus menerima “kerajaan Allah” itu

dan semuanya yang terkandung dalam kerajaan Allah itu akan menjadi

miliknya. Dimensi etis dari ajaran ini adalah bahwa orang harus hidup sebagai

(5)

warga kerajaan Allah. Dengan hidup sebagai warga kerajaan Allah, maka orang

akan selamat, hidup baik, hidup bahagia; bukan sebaliknya yaitu bahwa dengan

hidup baik, hidup selamat, hidup bahagia, maka orang akan menjadi warga

kerajaan Allah. Dengan kata lain, hidup baik bukanlah untuk mendapatkan

keselamatan dalam kerajaan Allah, melainkan bahwa keselamatan dari kerajaan

Allah itu memancar dalam hidup yang baik, hidup yang bahagia, hidup yang

penuh sukacita.

Bagaimanakah hidup sebagai warga kerajaan Allah itu? Hiduplah sebagai

terang dan garam dunia (Mat. 5: 13-16). Manusia bukan mengasinkan supaya

diketahui sebagai garam, melainkan implikasi dari eksistensinya sebagai garam

adalah bahwa ia mengasinkan. Begitu juga, implikasi dari eksistensinya sebagai

terang adalah bahwa ia menyinari kegelapan. Artinya, rahmat sebagai warga

kerajaan Allah itu berimplikasi pada tindakan “mengasinkan” dan “menerangi”.

Itulah dimensi etis dari eksistensi sebagai warga kerajaan Allah. Tindakan

mengasinkan dan menerangi pada gilirannya akan mendatangkan pujian bagi

Allah dalam hati orang yang melihat dan merasakannya.

Hidup sebagai warga kerajaan Allah berarti meninggalkan status lama

yang misalnya terikat oleh hukum Taurat. Sebagai warga kerajaan Allah,

seseorang harus hidup dengan melancarkan antitesis terhadap tesis-tesis

“manusia lama” dalam hukum Taurat itu. Antitesis-antitesis itu antara lain:10

(1) Jangan membunuh. Yang ditekankan Yesus bukan cuma membunuh

sebagai kejahatan yang harus dihukum, melainkan bahwa marah, benci,

mengumpat, sudah merupakan kejahatan yang setara dengan

pembunuhan. Yang ditekankan Yesus di sini adalah bahwa perbuatan

seseorang itu baik atau jahat bukan sekadar dilihat dari tampilan fisiknya,

melainkan dari segi niat dan motifnya.11

10 Uraian tentang antitesis-antitesis ini sebagian besar mengacu pada Kieser, hlm. 64-71.

11 Tentang betapa fundamentalnya dimensi motif dalam ajaran moral Yesus, lihat Preston, hlm.

(6)

(2) Jangan berzinah. Bagi Yesus, perzinahan bukan sekadar melakukan

hubungan seks yang dilarang oleh hukum taurat, melainkan bahwa

berniat untuk melakukannya sudah merupakan perzinahan. Di sini

tampak bahwa, sebagaimana dikatakan Kiesser, “perzinahan bukan

pelanggaran hukum melainkan perbuatan moral.”12 Di sini tampak

pendirian Yesus bahwa persoalan etis melampaui persoalan legal,

persoalan aturan.

(3) Tentang perceraian. Kalau dalam hukum Taurat perceraian

diperbolehkan berdasarkan kondisi-kondisi tertentu, maka dalam

pendirian Yesus, perceraian sama sekali tidak boleh. Karena dua manusia

yang menikah itu dipersatukan oleh Allah, dan apa yang dipersatukan

oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Perceraian hanya terjadi

karena perzinahan. Dan hubungan seks dengan orang yang telah bercerai

adalah zinah. Itu berarti, perceraian dipandang sama dengan perzinahan.

Dengan demikian, perzinahan yang dalam Taurat dilekatkan pada

perempuan, kini dalam pendirian Yesus juga dilekatkan pada pria. Yang

ditekankan di sini adalah bahwa hubungan suami istri perlu dilandasi

sikap saling setia. Itulah dimensi etis di balik penghormatan terhadap

perkawinan dan sekaligus penolakan terhadap perceraian.

(4) Tentang kejujuran. Kalau dalam Taurat ditekankan kesetiaan terhadap

sumpah dan janji, dan larangan keras terhadap sumpah palsu, maka

dalam pendirian Yesus, justru sumpah sama sekali tidak diperbolehkan.

Sumpah seolah-olah mencerminkan keraguan akan kebenaran. Kebenaran

adalah kebenaran, tanpa atau dengan sumpah. Jaminan relasi manusia

dengan sesamanya tidak terletak dalam sumpah, melainkan dalam

menjadi unsur yang sangat fundamental dalam menentukan sesuatu termasuk kejahatan atau bukan. Istilah yang lazim dikenal adalah mens rea = mental state, atau unsur niat.

(7)

penghayatan kebenaran sebagai kebenaran, baik dalam speech (wicara)

maupun dalam action (tindakan).

(5) Bukan cuma tidak boleh membalas dendam, melainkan berbuat “lebih” secara

positif. Kalau dalam kitab Taurat ada ketentuan tentang pembalasan

dendam, maka dalam pendirian Yesus hal itu bukan hanya dilarang,

melainkan bahwa orang harus melakukan sesuatu yang “lebih”. Secara keseluruhan, ajaran “nilai lebih” ini merupakan salah satu inti ajaran Yesus. Bagi Yesus, menjadi warga kerajaan Allah, menjadi murid Yesus

berarti menjadi manusia yang hidup berdasarkan semangat “nilai lebih”:

mengasihi orang yang tidak mengasihi kita, mentraktir makan orang yang

tidak bisa membalas baik secara langsung maupun tidak, memberi pipi

kanan kepada orang yang menampar pipi kiri kita, memberikan jubah

sebagai tambahan bagi orang yang meminta baju dalam kita, dsb.

(6) Mencintai dan mendoakan musuh sebagai bukti tertinggi cinta yang radikal

dan cinta dengan “nilai lebih”. Mencintai orang yang mencintai kita dan

yang memang layak untuk kita cintai adalah hal yang lumrah. Ajaran

Yesus keluar dari kelumrahan itu. Ia menekankan nilai lebih berupa cinta

yang radikal dan tak terbatas. Nilai lebih itu tampak dalam tindakan

mencintai bukan hanya orang yang tidak mencintai kita dan tidak layak

untuk dicintai, yaitu musuh kita. Bukti cinta itu bukan hanya dalam

perbuatan melainkan terutama dalam doa. Ada sebuah ungkapan:

“Sebelum Anda mendoakan orang yang menyakiti hati Anda, terlepas dari seberapa pun besar tindakan lahiriah Anda untuk menunjukkan

Anda telah memaafkannya, mengasihinya, Anda belum benar-benar

memaafkannya, belum benar-benar mengasihinya.” Doa adalah bukti

paling autentik bahwa kita benar-benar mengasihi orang lain. Orang bisa

saja memberikan kado atau senyum kepada orang yang menyakiti hatinya

(8)

tidak mungkin bisa berdoa bagi orang lain dengan tetap memendam hal

itu dalam hatinya.

Kesimpulan sementara. Dari keenam antitesis di atas, paling tidak terdapat

dua hal penting sebagai prinsip moral dasar bagi hidup para warga kerajaan

Allah yaitu kasih dan kesucian. Keduanya merupakan emanasi dari hakikat

Allah itu sendiri yang pengasih dan kudus. Kedua hal itulah yang

“membedakan” para warga kerajaan Allah dari yang bukan atau belum,

sekaligus mencerminkan “nilai lebih” mereka.

Tentang karya kesucian di hadapan Allah (tentang memberi sedekah, berdoa dan

berpuasa), yang ditekankan Yesus adalah bahwa hendaknya itu semua dilakukan

bukan untuk mendapat pujian atau untuk dilihat orang lain, melainkan untuk

memuliakan Allah. Pujian penuh suka cita akan kemuliaan Allah itu terpancar

atau menjadi pendorong bagi tindakan kasih, doa, dan puasa, dll. Singkatnya,

segala apa yang dilakukan dengan motivasi memuliakan Allah akan

mendatangkan kegembiraan, ketulusan, dan suka cita, serta tentu saja

keselamatan.

Tentang Doa Bapa Kami, doa ini terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian

vertikal yang memuliakan Allah yang bertahta di Sorga dan penyerahan diri

tanpa syarat kepadaNya dan bagian horizontal yang melingkupi diri kita sendiri

dan orang lain. Pada bagian bagian horizontal terdapat permintaan akan hidup

yang berkecukupan, pengakuan akan keberdosaan dan karena itu dibutuhkan

pengampunan, dan pengampunan itu juga nyata dalam tindakan saling

mengampuni di antara sesama manusia, serta permohonan peluputan dari

percobaan dan kejahatan. Lagi-lagi, dimensi etis dari doa Bapa Kami ini adalah

bahwa kasih sebagai motif dalam tindakan terhadap sesama, sebagaimana Allah

adalah kasih itu sendiri.

Selain itu semua, Khotbah di Gunung juga berisi tentang hidup tanpa

kekhawatiran karena semuanya disediakan Allah. Karena itu, yang penting

(9)

paling penting adalah hidup untuk “mencari kerajaan Allah dan kebenarannya”,

dan semua hal lain yang diperlukan dalam hidup akan diberikan. Khotbah di

Gunung juga melarang tindakan menghakimi, menuduh, mempersalahkan,

karena persis orang yang kita hakimi sebenarnya tidak beda jauh dari kita.

Bagaimana mungkin penjahat mengadili penjahat? Hanya satu yang berhak

menghakimi, yaitu Allah sendiri.

Khotbah di Gunung juga mengandung sesuatu yang dikenal sebagai

aturan emas: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat

kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat. 7: 12). Ini

merupakan salah satu nas Khotbah di Gunung yang paling banyak dijadikan

rujukan baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam teori etika

(misalnya Kant, dll.). Isinya adalah bahwa kita harus melakukan apa kita

kehendaki supaya orang perbuat kepada kita. Rumusannya positif. Tetapi, kita

juga bisa merumuskannya secara negatif: apa yang saya tidak ingin orang

lakukan kepada saya, maka saya tidak boleh melakukannya kepada orang lain.

Hal itu misalnya terdapat dalam ucapan Yesus: “Janganlah kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7: 1). Tetapi, kiranya maksud Yesus jelas

bahwa kasih itu bersifat proaktif, dan tidak pasif, karena itu rumusannya adalah

positif dan tidak negatif.

Khotbah di Gunung sebagai (Sumber) Ajaran Moral

Sebagaimana dikemukakan oleh Georgo Lobo, pusat ajaran moral Yesus Kristus

adalah pada Khotbah di Gunung.13 Khotbah di Gunung, menurut Bernhard

Kieser, memperlihatkan paling tidak tiga hal mendasar, dan salah satunya adalah

“pewartaan tuntutan ilahi oleh Yesus sebagai norma moral,” Dua yang lainnya

adalah tentang “hubungan antara Kerajaan Allah dan hidup di dunia ini” dan “antropologi serta kamampuan manusia untuk memenuhi tuntutan Allah yang

(10)

mutlak.”14 Khotbah di Gunung sebagai ajaran moral merangsang satu

pertanyaan pokok, yaitu: Bagaimana Khotbah di Gunung sebagai pewartaan

Kerajaan Allah menyapa dan mengikat orang Kristen dalam hidupnya?

Ajaran Yesus dalam Khotbah di Gunung sangat kental memperlihatkan

dimensi eskatologis, kehidupan akhir zaman. Tetapi, dimensi eskatologi itu

sendiri tidak hanya memuat unsur “mendatang”, melainkan juga unsur “sudah”.

Karena itu, kehidupan yang diarahkan dengan ajaran tentang “kehidupan yang

akan datang” (kehidupan eskatologis) selalu dihayati dalam rangkaian dengan

waktu yang sudah lewat. Karena itu, tuntutan-tuntutan moral yang diarahkan ke

kehidupan yang akan datang itu justru baru mendapatkan pemenuhannya

sejauh mereka dihayati dalam kehidupan sekarang ini di sini.15

Sebagai ajaran moral yang mengikat orang Kristen dalam hidupnya,

apakah ajaran itu real dalam arti rasional dan konkret? Ajaran dalam Khotbah di

Gunung rasional dan konkret justru karena wataknya yang bukan hanya

preskriptif melainkan deskriptif. Meskipun etika Khotbah di Gunung selalu

menekankan “ajaran nilai lebih”, dan seolah-olah selalu tidak puas dengan capaian yang sudah dilakukan, tetapi watak deskriptifnya memperlihatkan

bahwa tuntutan tindakan moral itu bisa dilakukan oleh manusia. Yang dituntut

bukanlah sesuatu yang di luar jangkauan kemampuan manusia, melainkan

sesuatu yang ada dalam kapasitas kemanusiaan itu sendiri.

Khotbah di Gunung menuntut tindakan lahiriah yang didorong oleh

disposisi batin yang tulus. Karena itu, autonomi dan peran suara hati sangat

fundamental. Etis atau tidaknya perbuatan manusia bukan semata diukur dari

tampakan lahiriahnya (legalitas) melainkan dari dimensi batiniahnya (moral).

Apa jaminan terhadap tindakan yang “tidak kelihatan” itu? Allah sendirilah

saksinya. Tuhan melihatnya.

Radikalitas etika Khotbah di Gunung terletak pada pada kritisisme

terhadap kepatuhan formal atau tindakan lahiriah semata di satu sisi, dan

(11)

mendasarkan tindakan kita di atas dorongan batin yang tulus. Etika Khotbah di

Gunung merupakan kritik radikal terhadap etika peraturan, legalitas, dan

banalitas.

Penutup: Refleksi Kritis

Etika Khotbah di Gunung mengandung suatu asumsi antropologis tertentu

terhadap manusia, yaitu manusia sebagai citra Allah, sebagai anak Allah, sebagai

warga kerajaan Allah. Sebagai anak Allah dia telah diperlengkapi dengan rahmat

dan belaskasihan. Rahmat itu menjadi kekuatannya dalam menjalani hidup

selama di dunia bersama orang lain untuk kembali ke sorga menikmati segala

rahmat dalam segala kepenuhannya.

Karena itu, pengandaian dasar tindakan moral tidak lain tidak bukan

adalah kebaikan Allah sendiri yang telah disematkan dalam diri manusia.

Dengan kata lain, kebaikan Allah dalam diri manusialah yang menjadi dasar

potensi kebaikan manusia; kasih Allah yang telah merasuk dalam diri

manusialah yang menjadi kondisi kemungkinan bagi manusia dalam mengasihi;

kekudusan Allah yang telah mengemanasi dalam jiwa manusialah yang menjadi

dasar manusia dalam pengudusan dirinya. Tanpa potensi kebaikan, kasih dan

kekudusan dari Allah dalam diri manusia itu, tindakan moral bukan cuma tidak

mungkin melainkan juga tidak bermakna. Dikatakan tidak mungkin karena

seluruh perangkat kebaikan itu merupakan implikasi sekaligus inkarnasi dari

seluruh perangkat kebaikan Allah, dan tak satu pun yang berasal dari manusia

itu sendiri. Dikatakan tidak bermakna karena rahmat dan kebaikan Allah adalah

fondasi atau semacam kondisi kemungkinan bagi tindakan moral manusia; tanpa

rahmat dan kebaikan Allah itu tindakan baik manusia tidak dapat dimengerti

sebagai kebaikan. Rahmat dan kebaikan Allah menjadi semacam kategori

transendental ala Immanuel Kant bagi dipahaminya tindakan moral manusia.

(12)

Etika Khotbah di Gunung mendasarkan tuntutannya pada sebuah prinsip

“yang harus dilakukan adalah yang bisa dilakukan.” Artinya, segala tuntutan moral dalam etika Khotbah di Gunung, baik yang berupa ajaran “aturan emas”

-nya, bahkan ajaran “nilai lebih”-nya dan aspek radikalnya, adalah rasional dan

real. Tuntutan-tuntutan itu tidak berada di luar jangkauan kemampuan manusia,

tetapi memang dibutuhkan usaha yang sedikit lebih keras. Karena itu, etika

Khotbah di Gunung bukanlah etika yang utopis, melainkan realistis.

Etika Khotbah di Gunung menekankan prinsip “nilai lebih”, bukan

sekadar hidup dengan “aturan emas”, yang membedakan secara distingtif para warga kerajaan Allah dari yang bukan atau belum. Setiap orang yang mengikuti

Yesus dituntut untuk menjalani hidup dengan “nilai lebih” itu. Artinya, tanpa

itu, ia tidak dapat dikatakan sebagai murid Yesus, sebagai anak Allah, sebagai

warga kerajaan Allah. Prinsip nilai lebih berimplikasi pada sikap radikal pada

keberpihakan pada yang lemah (preferential option for the poor).

Etika Khotbah di Gunung juga merupakan etika yang radikal. Dikatakan

radikal karena etika ini, bukan sekadar menuntut nilai lebih, melainkan

menuntut kritisisme terhadap tatanan dan norma-norma yang sudah berlaku

umum, serta perilaku kepatuhan yang “membebek-membeo” tanpa daya kritis

sama sekali. Kritisisme itu bukan semata-mata dimaksudkan untuk diganti

dengan suatu aturan atau norma yang baru, melainkan terutama untuk kembali

melihat unsur ketulusan di dalam tindakan mengikuti aturan atau norma itu.

Kritik berarti mengingat kembali dan selalu akan motivasi kita melakukan

sesuatu. Tanpa kritik, tindakan itu tidak bermakna, karena tercerabut dari unsur

fundamentalnya, yaitu motif atau niat. Kritisisme dalam etika Khotbah di

Gunung menunjukkan pentingnya suara hati dalam tindakan moral manusia.

Jika Etika Khotbah di Gunung ini mau dikaitkan dengan paling tidak dua

sistem etika besar sepanjang zaman, yaitu sistem Eudaimonisme Aristotelian dan

Deontologi Kantian, maka tampak jelas bahwa Etika Khotbah di Gunung

mengandung kedua-duanya. Dengan Eudaimonisme Aristotelian ia berkaitan

(13)

Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah suatu tujuan yang bernilai dari dirinya

sendiri. Hidup yang baik adalah hidup yang terarah pada pemenuhan tujuan

tersebut, yaitu kebahagiaan. Bagi Yesus Kristus, tujuan hidup bukanlah

kebahagiaan per se, melainkan Kerajaan Allah. Orang yang bahagia belum tentu

berada dalam Kerajaan Allah, tetapi orang yang telah masuk dan menjadi warga

Kerajaan Allah pastilah bahagia, karena Kerajaan Allah itu tiada lain adalah

kebahagiaan itu sendiri. Jadi, kebahagiaan yang dipahami Aristoteles lebih

dalam pengertian hidup manusia di dunia, tetapi bagi Yesus Kristus adalah

kebahagiaan hidup di dunia yang mengalami kesempurnaannya pada

kehidupan yang akan datang.

Etika Khotbah di Gunung juga mengandung dimensi deontologis Kantian

terutama dalam pengertian bahwa tuntutan Yesus adalah

tuntutan imperatif kategoris, bukan imperatif hipotetis. Bahkan,

tuntutan-tuntutan Yesus merupakan imperatif eksistensial, kalau boleh kita namakan

demikian. Artinya, imperatif itu merupakan ekspresi dari hakikat eksistensial

manusia sebagai citra Allah, sebagai anak Allah, sebagai warga Kerajaan Allah.

Kalau imperatif kategoris merupakan perintah tak bersyarat, tetapi tampak

sebagai sesuatu yang berada di luar diri manusia, maka imperatif eksistensial

adalah perintah tak bersyarat dan ketakbersyaratannya itu tidak bisa ditampik

persis karena eksistensi manusia sebagai citra Allah itu sendirilah yang menjadi

basis ontologis atau asumsi metafisiknya. Pelaksanaan perintah itu bukan

merupakan syarat untuk menerima keselamatan (meskipun dalam taraf tertentu

bisa demikian), melainkan pelaksanaan hidup sesuai ajaran itu adalah ekspresi

eksistensial, sebagai pancaran, dari status seseorang sebagai anak Allah, citra

Allah. Hakikat itu harus manifes dalam menjalankan perintah yang digambarkan

(14)

Daftar Pustaka:

Bernhard Kieser, S.J., Moral Dasar, Kaitan Iman dan Perbuatan, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Franz Magnis-Suseno, S.J., “Silabus Filsafat Praktis”, Pasca-sarjana STF Driyarkara, Jakarta, semester pertama, 2008.

Georgo V. Lobo, S.J., Guide to Christian Living, a New Compendium of Moral Theology, Maryland: Christian Classics, Inc., Cetakan Kedua, 1985.

Jim Grote dan John McGeeney, Cerdik Seperti Ular, Etika Bisnis dan Politik Kantor

(terjemahan dari Clever as Serpents: Business Ethics and Office Politics, Minnesota: The Liturgical Press, 1997, oleh Eddie Sius Riyadi L.), Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Ronald Preston, “Christian Ethics”, dalam Peter Singer, ed., A Companion to Ethics, Oxford: Blackwell, 1997.

Wikipedia, “Sermon on the Mount”,

Referensi

Dokumen terkait

  Menyediakan jasa transportasi (sekaligus atraksi dengan alat.. transportasi tradisional seperti andong

Hal-hal seperti inilah yang dapat menimbulkan tekanan (stress) bagi para wanita yang memiliki aktivitas yang cukup tinggi, sehingga membutuhkan suatu wadah yang

Analisis ini akan menggunakan hasil analisis diskriminan, literatur-literatur yang berkaitan, serta citra Google Earth, untuk menggambarkan penyebab munculnya masalah di tiap

Orang-orang dengan perhatian serius menghindari memberi nama secara publik, dan keputusan bersama adalah kompromi yang disiram air yang mencerminkan apa yang dapat dimiliki

Meski demikian, secara kritis bisa ditarik generalisasai bahwa aborsi dilakukan tidak hanya dikarenakan kehamilan di luar perkawinan (kehamilan pranikah, dilakukan

Alasan dibangunnya jembatan bayang ujung gading yang baru ini dikarenakan jembatan sebelumnya sudah tidak layak untuk dilalui kendaraan lagi sehingga tidak dapat

Aku tidak akan pernah melupakan hari dimana aku dan teman-teman membawa salah satu jala ayah yang paling besar dan paling baik menuju ke hutan.. Kami mengikat setiap sudutnya ke

Menghimpun data tugas-tugas dalam suatu pekerjaan, perilaku karyawan yang diperlukan, kondisi kerja, karakteristik dan kemampuan manusia yang dibutuhkan untuk