• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rukun Islam Dalam Perspektif Hakikat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rukun Islam Dalam Perspektif Hakikat"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

Rukun Islam Dalam Perspektif

Hakikat

(Hakikat Syahadat) Oleh : Bocah Angon Mercubuanaraya.com

Pembuka

Banyak dari umat islam pernah mendengar slogan " jadilah islam secara kaffah." Apakah beragama itu harus "kaffah"? "Kaffah" itu artinya adalah menyeluruh. Jawaban yang harus

diberikan adalah “Wajib”. Kenapa?, satu alasan yang pasti adalah agar kita, yang mengaku

sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna dan sebagai manusia yang beragama mampu dan bisa memahami orang lain. Kenapa demikian?, Karena setiap agama memberikan tuntunan untuk menjadi manusia yang baik.

Dengan manusia menjadi “kaffah” tentunya dalam memahami ajaran yang dianutnya akan menjadikannya menjadi manusia yang “universal”. Manusia yang tidak hanya memahami apa yang dianut olehnya akan tetapi juga memahami apa yang di yakini oleh orang lain. Sehingga orang tersebut tidak termasuk golongan orang-orang yang “picik”. Orang yang picik adalah orang yang mengikuti keinginan dirinya sendiri tanpa memperhatikan apa yang diinginkan orang lain.

“ Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (QS. Yunus 10 : 99)

(2)

“Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.” (QS. Yunus 10 : 100) Islam dibangun di atas lima dasar, yaitu Rukun Islam. Ibarat sebuah rumah, Rukun Islam merupakan tiang-tiang atau penyangga bangunan keislaman seseorang. Di dalamnya tercakup hukum-hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. “Sesungguhnya Islam itu dibangun atas lima perkara: bersaksi sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah dan puasa di buIan Ramadhan” (HR. Bukhari Muslim).

Rukun Islam merupakan landasan operasional dari Rukun Iman. Belum cukup dikatakan beriman hanya dengan mengerjakan Rukun Islam tanpa ada upaya untuk menegakkannya. Menegakkannya adalah dengan cara menjalankan yang termaktub dalam rukun iman ataupun rukun islam. Akan tetapi apabila menjalankan tanpa tahu esensi terkandungnya (makna sebenarnya) tentunya apa yang dilakukan menjadi sebuah kesiasiaan.

Syahadat adalah persaksian manusia saat masih dialam RUH hingga DUNIA terhadap eksistensi Tuhan

“ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al A'raaf 7 : 172 )

Seseorang yang telah menyatakan Laa ilaaha ilallaah berarti telah siap bertarung melawan segala bentuk ilah di luar Allah di dalam kehidupannya. Allah menegaskan hal tersebut dalam salah satu firman-NYA ;

(3)

“ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (QS. Al 'Ankabuut 29 : 2)

Makna terkandung dengan “melawan segala bentuk ilah diluar Allah” adalah melawan apapun yang membuat “ilah” kita berubah, baik yang secara kasat mata kelihatan ataupun tidak. Secara kasat mata, seperti : Harta, Tahta, dan wanita. Secara tidak kelihatan seperti sifat kesombongan, keangkuhan, dsb.

Banyak orang “mengaku” berTuhan, akan tetapi dalam tindakkannya sama sekali tidak mencerminkan kalau orang tersebut berTuhan, seperti membikin keonaran atas nama agama, Korupsi, kerusakan, dll.

Saat “ditempa” oleh Tuhan mengeluh bahkan menghujat Tuhan, sebagai contoh “ Kejam sekali engkau Tuhan, telah memberikan ujian dan cobaan segini berat, bencana alam, hutang, kesengsaraan, dll”. Hal ini secara jelas menegaskan, bahwa Tuhan dari orang tersebut adalah uang, harta, tahta, wanita, dll.

Selain itu, apabila kita melakukan kilas balik terhadap sejarah perkembangan agama dunia hingga nama-nama besar pembawanya, tidak pernah beliau-beliau mengajarkan kekerasan. Bahkan lebih jauh lagi apabila kita lihat didalam kitab-kitab suci masing-masing agama tidak pernah memerintahkan untuk “memusuhi” dan bahkan “menghancurkan” orang yang berbeda iman. Semuanya menganjurkan untuk menjadi manusia yang bermanfaat terhadap sesama dan alam semesta.

Tapi kenapa fakta yang terjadi sekarang ini adalah saat ada perbedaan khususnya tentang keyakinan, dipastikan yang terjadi adalah penghancuran atau pengrusakan. Sehingga hal ini akan menimbulkan pertanyaaan yang baru, antara lain adalah “apakah agama yang di anut oleh manusia yang melakukan penghancuran, pengrusakan adalah agama yang benar?”, “apakah Tuhan dalam berfirman tidak jelas, sehingga dalam prakteknya manusia menjadi salah kaprah?”, “apakah yang salah manusianya?”, atau “bahkan kesemua pertanyaan diatas benar semua?”

kadang kita terlalu cepat ‘memagari diri’ dari istilah-istilah yang kita anggap tidak berada dalam domain yang sama dengan agama kita. Terlalu cepat ‘mengkafirkan’. Bukan mengkafirkan orang lain, tapi mengkafirkan bahasa (lain). Dengan memagari diri seperti ini, apalagi dengan didahului prasangka, maka dengan sendirinya kita akan semakin sulit saja memahami hikmah kebenaran yang Dia tebarkan di mana-mana.

Padahal, dalam Qur’an pun Allah menjelaskan bahwa keberagaman adalah tanda dari-Nya juga.

(4)

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Ar Ruum 30 : 22)

Dengan beberapa bahasan diatas, dan dengan izin Tuhan kami beranikan diri untuk menulis hal ini, dengan harapan kita memahami dan meyakini segala hal yang telah digariskan Tuhan untuk manusia. Sehingga dalam menjalani hidup ini kita, manusia, sebagai “Utusan-NYA” mampu menjalankan Tugas dan Tanggung Jawab sebagai khalifah, sebagai manusia pilihan guna merakhmati seluruh alam.

Walaupun bahasan tentang “RUKUN ISLAM DALAM PERSPEKTIF DUNIA HAKIKAT” dikupas dalam kupasan islami, akan tetapi makna terkandung dari kupasan ini tidak hanya untuk orang yang beragama islam saja, akan tetapi untuk semua umat manusia yang sedang berjalan dalam memahami kebesaran Tuhan. Sekaligus untuk menjawab berbagai pertanyaan tentang islam sendiri yang dilontarkan oleh rekan “perjalanan” , baik itu dari rekan-rekan islam ataupun rekan-rekan-rekan-rekan yang mengambil jalan berbeda.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Sura’ An-Nahl 16 : 125)

[845]. Hikmah: ialah perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.

“ Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Adz Dzaariyaat 51 : 55)

(5)

2. Derajat Orang Berilmu

Tidurnya orang yang berilmu lebih ditakuti daripada sholatnya orang yang tidak berilmu Imam Syafi’i pernah berkata: menuntut ilmu lebih afdhol daripada shalat nafil (shalat tahajjud)

Allah berfirman :” Apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu ? Hanyalah orang yang berakal yang bisa mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar 39 : 9)

Imam Bukhari berkata: “Ilmu itu sebelum berkata dan beramal”

Tentu saja tidak akan pernah sama orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu sebagaimana tidak sama pula orang yang hidup dengan orang yang mati, yang mendengar dengan yang tuli, dan orang yang melihat dengan orang yang buta. Ilmu adalah cahaya yang bisa dijadikan petunjuk oleh manusia sehingga mereka bisa keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Ilmu menjadi penyebab diangkatnya derajat orang-orang yang dikehendaki oleh Allah dari kalangan hamba-Nya.:”Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadalah 58 : 11).

Seorang hamba sejati adalah orang yang beribadah kepada Allah atas dasar ilmu dan telah jelasnya kebenaran baginya.”Katakanlah ! :Inilah jalanku yang lurus, aku mengajak manusia kepada Allah atas dasar ilmu yang aku lakukan beserta pengikutku. Maha Suci Allah dan aku bukanlah termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf 12 : 108).

Seorang manusia yang bersuci dan dia tahu bahwa dia berada dia atas cara bersuci yang sesuai dengan hukum syariat, apakah orang ini sama dengan orang yang bersuci hanya karena dia melihat cara bersuci bapaknya atau ibunya ? Manakah yang lebih sempurna dalam melakukan ibadah diantara keduanya ?

Dengan ilmu seseorang beribadah kepada Allah berdasarkan bashirah, maka hatinya akan selalu terpaut dengan ibadah dan hatinyapun akan terterangi dengan ibadah itu sehingga dia melakukannya berdasarkan hal itu dan menganggap bahwa hal itu sebagai ibadah dan bukan hanya sebagai adat (kebiasaan).

Dan diantara keutamaan ilmu yang terpenting adalah sebagai berikut :

(6)

Ilmu adalah warisan para nabi. Para nabi tidaklah mewariskan dirham ataupun dinar, yang mereka wariskan hanya ilmu, maka barang siapa yang telah mengambil ilmu maka berarti dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi.

Kedua :

Ilmu itu abadi sedangkan harta adalah fana (akan rusak). Contohnya adalah Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, dia termasuk sahabat yang faqir sehingga dia sering terjatuh mirip pingsan karena menahan lapar. Dan –Demi Allah- saya bertanya kepada kalian apakah nama Abu Hurairah selalu disebut di kalangan manusia pada zaman kita sekarang atau tidak ? Ya, namanya banyak disebut sehingga Abu Hurairah mendapatkan pahala dari pemanfaatan hadis-hadisnya, karena ilmu akan abadi sedangkan harta akan rusak . Maka Engkau hai para penuntut ilmu wajib memegang teguh ilmu. Di dalam suatu hadis Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menyatakan : ” Apabila anak Adam mati maka putuslah segala amalnya kecuali tiga. Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakan otang tuanya.”

Ketiga :

Pemilik ilmu tidak merasa lelah dalam penjaga ilmu. Apabila Allah memberi rizki kepadamu berupa ilmu, maka tempat ilmu itu adalah di dalam hati yang tidak membutuhkan peti, kunci, atau yang lainnya. Dia akan terpelihara di dalam hati dan terjaga di dalam jiwa dan dalam waktu yang bersamaan diapun menjagamu karena dia akan memeliharamu dari bahaya atas izin Allah. Maka ilmu itu akan menjagamu sedangkan harta engkaulah yang harus menjaganya yang harus engkau simpan di peti-peti yang terkunci, sekalipun demikian hatimu tetap tidak tenang.

Keempat :

Dengan ilmu manusia bisa menjadi para saksi atas kebenaran. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang

Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ali 'Imran 3 : 18)

[188]. Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.

Engkau menjadi orang yang bersaksi bagi Allah bahwa tiada sesembahan yang sebenarnya kecuali Dia beserta para malaikat yang menyaksikan keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(7)

Kelima :

Ahli ilmu termasuk salah seorang dari dua golongan ulil amri. yang wajib ditaati berdasarkan perintah Allah. “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri diantara kalian…..”(QS. An Nisa 4 : 59).

Ulil amri disini mencakup ulil amri dari kalangan para penguasa dan para hakim, ulama dan para penuntut ilmu. Maka wewenang ahli ilmu adalan menjelaskan syariat Allah dan mengajak manusia untuk melaksanakannya sedangkan wewenang penguasa adalah menerapkan syariat Allah dan mewajibkan manusia untuk melaksanakannya.

Keenam :

Ahli ilmu adalah orang yang melaksanakan perintah Allah Ta’ala sampai hari kiamat. Yang menjadi dalil tentang hal itu adalah hadis Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia berkata : Saya mendengar Rosul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda : “ Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan membuat orang itu faham tentang agamanya. Saya hanyalah Qosim dan Allah Maha Pemberi. Dan di kalangan ummat ini akan selalu ada sekelompok orang yang selalu tegak di atas perintah Allah, mereka tidak akan dimadharatkan oleh orang-orang yang munyelisihi mereka sehingga datang urusan Allah.” (HR. Bukhari).

Imam Ahmad telah berkata tentang kelompok ini :” Bila mereka bukan ahli hadis maka saya tidak tahu lagi siapa mereka itu.”

Al Qadhi Iyyadh Rahimahullah berkata :” Maksud Imam Ahmad adalah ahli sunnah dan orang yang meyakini madzhab ahli hadis.”

Ketujuh :

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tidak pernah memotivasi seseorang agar iri kepada orang lain tentang suatu nikmat yang Allah berikan kecuali dua macam nikmat : 1). Mencari ilmu dan mengamalkannya.

2). Pedagang yang menjadikan hartanya sebagai alat untuk memperjuangkan Islam.

Sebuah hadis dari Abdullah Bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu dia berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Tidak boleh iri kecuali dalam dua hal : seseorang yang diberi harta oleh Allah lalu dia habiskan hartanya itu untuk membela kebenaran. Dan seseorang yang dibeli ilmu oleh Allah lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya.”

Kedelapan :

Diterangkan dalam sebuah hadis yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Abu Musa Al Asy’ary Radhiyallahu ‘Anhu dari nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam , beliau bersabda :”

(8)

Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah telah mengutus aku dengan membawa keduanya adalah seperti hujan yang menimpa bumi,maka diantara bumi itu ada tanah yang baik (gembur) yang menyerap air dan menumbuhkan tumbuhan dan rumput yang banyak. Ada pula tanah yang keras yang bisa menahan air, lalu Allah memberi manfaat kepada manusia dari tanah itu,mereka minum dan bercocok tanam. Hujan pun menimpa tanah yang lain yaitu Qii’aan yang tidak bisa menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput. Demikianlah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan bisa memberi manfaat dari apa yang Allah telah mengutusku dengan membawa ajaran ini , lalu dia mengetahui dan mengajarkannya, dan perumpamaan orang yang tidak mau mengangkat kepalanya untuk hal itu dan orang yang tidak mau menerima petunjuk dari Allah yang aku diutus dengan membawa petunjuk itu.”

Kesembilan :

Ilmu adalah jalan menuju surga. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairoh Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Dan barang siapa yang menelusuri jalan untuk mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga..”

Kesepuluh :

Diterangkan dalam sebuah hadis Muawiyah Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata : Telah berkata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam :” Barang siapa yang dikehendaki

kebaikan oleh Allah, maka Allah akan membuat orang itu faham tentang agamanya.”

Artinya Allah akan menjadikan orang itu faqih tentang agama Allah Azza Wajalla. Dan faqih tentang agama Allah bukanlah maksudnya memahami hukum-hukum amaliyah tertentu menurut ahli ilmu berdasarkan ilmu fiqih saja akan tetapi maksudnya adalah : ilmu tauhid dan ushuluddin dan apa-apa yang berkaitan dengan syariat Allah Azza Wajalla. Seandainya tidak ada keterangan dari kitab dan sunnah kecuali hadis ini saja tentang keutamaan ilmu, maka inipun sudah sempurna dalan memberikan dorongan untuk mencari ilmu syariat dan pemahaman terhadapnya.

Kesebelas :

Ilmu adalah cahaya yang menerangi jalan hidup seorang hamba, maka diapun akan mengetahui bagaimana beribadah kepada Rabbnya dan bagaimana cara bergaul dengan sesama hamba-Nya, maka jalan hidupnya akan selalu berada di atas ilmu dan bashirah.

Kedua belas :

Orang yang berilmu adalah cahaya yang menerangi manusia dalam urusan agama dan dunia mereka. Tidaklah samar dalam ingatan kebanyakan manusia tentang orang yang telah membunuh 99 orang dari kalangan Bani Israil lalu dia bertanya tentang orang yang paling berilmu dimuka bumi lalu dia ditunjukkan kepada seorang abid (ahli ibadah) lalu dia bertanya apakah dia bisa tobat ? Sio abid menganggap dosanya terlalu besar sehingga dia menjawab :

(9)

Tidak ! Lalu dibunuhnya si abid tadi sehingga genap 100 orang, lalu dia pergi ke seorang alim (orang yang berilmu) lalu dia bertanya kepadanya maka si alim menjawab bahwa dia bisa tobat dan tidak ada yang bisa menghalangi antara dia dengan tobatnya, lalu dia menunjuki orang itu ke satu negeri yang penduduknya salih agar dia datang ke negeri itu, lalu diapun pergi, tapi di tengah jalan maut menjemput. Kisah ini amat masyhur.

Perhatianlah perbedaan antara seorang alim dan seorang jahil. Ketiga belas :

Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat ahli ilmu di akhirat dan di dunia. Adapun di akhirat maka Allah mengangkat derajat mereka sesuai dengan da’wah dan amal yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia Allah akan mengangkat mereka di kalangan hamba-Nya sesuai pula dengan amal mereka. Allah berfirman :” Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara dan yang berilmu beberapa derajat.” (QS. Al Mujadalah : 11).

3. Tahapan Perjalanan Menuju

Allah

Seperti yang telah diketahui dalam dunia spiritual islam terbagi dalam 4 (empat) tingkatan. Tingkatan tersebut adalah Syariat, Tarikat, Hakekat dan Makrifat. (Baca : Bima dan Dewaruci (Serat Dewa Ruci)). Dalam tiap tingkat tentunya mengandung arti dan makna masing-masing.

Sebelum masuk dalam bahasan inti sesuai judul, maka kita kupas dulu makna tiap tingkat tersebut dalam dunia hakikat atau makna. Hal ini dilakukan agar apa yang akan dibahas selanjutnya mengalir sesuai makna hakekat (makna sebenarnya). Dalam dunia olah spiritual khususnya perjalanan menuju Tuhan disimbolkan dengan buah kelapa ataupun jari tangan. Hal ini menggambarkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini adalah sebuah perlambang bagi manusia (hubungan makro kosmos dan mikro kosmos) dan alam semesta dengan segala isinya adalah merupakan “guru” yang baik.

3.1 Syariat

Tingkat pertama adalah syariat. Dalam tingkat ini ibarat “kulit luar kelapa” (red jawa : Sepet), tebal, banyak serat dan rapat. Syariat ketat dengan aturan-aturan dan hukum, seperti aturan dan hukum dalam beribadah, aturan dan hukum perkawinan, dll. Disimbolkan juga dengan jari kelingking.

(10)

Gambar 1. Kulit Kelapa (tebal dengan serat yang rapat) sebagai simbolisasi dari tingkat pertama (syariat)

3.2 Tarikat

Tingkat kedua disebut dengan Tarikat. Tingkat ini “keras” laksana “batok kelapa”, karena penuh dengan ritual, seperti shalat, mengaji, puasa, dzikir, dll. Pada tahap ini disimbolkan dengan jari manis. Hal ini mengisyaratkan apabila seorang spiritualis meyakini dengan salah satu metode (shalat, puasa, dzikir, bertapa, semedi, dll), maka dia akan mendapatkan ketenangan.

Gambar 2. Batok Kelapa bertekstur Keras, sebagai perlambang tingkat pencapaian yang penuh dengan ritual

2.3 Hakekat

Tingkat ketiga adalah Hakekat. Pada tingkat ini laksana “daging kelapa”, terlalu tua tidak enak apabila dimakan, terlalu muda juga tidak enak. Pada tahap ini seorang spiritualis dituntut untuk mampu dan bisa “seimbang”.

(11)

Gambar 3. "Enak dan tidaknya daging kelapa" sebagai perlambang tingkat Hakekat

Gambar 4. Simbol Keseimbangan

Seperti jari tengah, dari kelima jari dia paling tinggi dengan posisi ditengah-tengah. Apabila pada tahap ini seorang spiritualis “tidak bisa seimbang”, maka manusia yang sampai pada tahap ini akan merasa tinggi hati, sombong. Karena merasa paling pintar, paling “sakti”, dll.Sehingga saat di posisi inilah penentuan bagi sang spiritualis, apakah dia bisa melanjut ke tahap berikutnya atau berhenti pada tingkat tersebut atau bahkan akan jatuh kebawah.

Gambar 5. Simbolisasi Orang Yang Tinggi Hati, Sehingga Selalu Melecehkan sesama

3.4 Makrifat

(12)

Tingkat keempat adalah Makrifat. Pada Tahap ini disimbolkan dengan “kesegaran air kelapa”. Setelah menginjak tahap ini, seorang spiritualis akan selalu merasakan “kesegaran” dalam setiap gerak dan langkahnya. Laksana meminum air dari kelapa, kesegarannya merasuk kedalam jiwa dan raga.

Gambar 6. Kesegaran air kelapa sebagai hasil dari sebuah pencapaian pada tingkat makrifat

"Pada tahap ini kebenaran sejati akan terkuat. Seperti jari telunjuk yang mampu menunjukkan mana yang salah dan mana yang benar"

Gambar 7. Jari telunjuk sebagai simbol orang yang telah sampai pada maqam Makrifat, dia mampu menunjukkan kebenaran sejati (salah satu makna dari gerakan-sholat)

Dikarenakan kebenaran yang disampaikannya adalah “kebenaran sejati”, maka sering orang menanggapi “kebenaran sejati” itu dengan ketidak kepercayaan, bahkan orang yang telah sampai pada tahap ini sering disebut sebagai orang gila, orang sesat bahkan kafir. Karena apa yang disampaikannya banyak yang tidak diterima oleh pemikiran dan faham yang dianut oleh khalayak ramai.

Sebagai contoh adalah perjalanan Musa untuk belajar kepada Khidir. Nabi khidir menyampaikan pelajarannya dengan “Rasa”, sedangkan Nabi musa menerima pelajaran tersebut dengan menggunakan “Logika”. Sehingga singkat cerita Nabi Musa selalu bertanya dan komplaint dengan hal-hal yang dilakukan oleh Khidir. Sehingga gagalah musa dalam belajar kepada Khidir. (baca : Perjalanan Nabi Musa&Kisah Nabi Khidir)

(13)

3.5 Manusia Sejati

Banyak kalangan yang meyakini setelah manusia sampai pada tingkat keempat berarti selesai sudah tugasnya didunia. Apakah memang demikian? Jawabannya adalah Belum!!!!. Merujuk pada tujuan Tuhan dengan menciptakan dan menurunkan manusia sebagai khalifahnya adalah untuk merakhmati seluruh alam, sehingga tingkat keempat (Makrifat)

merupakan sebagai “garis start/awal” bagi manusia untuk menjalankan misi dari Tuhan,

Merahmati Seluruh Alam atau Hamemayu Hayuning Bawano dan bukan sebagai garis akhir / garis finish.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.Al-Anbiya’21 : 107)

Agar “diri pribadi” mampu melaksanakan misi dari Tuhan seperti tersebut diatas, hal yang mendasar adalah manusia tersebut harus benar-benar faham dan mengerti akan siapa yang menciptakannya, dari mana kita berasal, kemudian memahami “diri pribadi” dengan tugas yang diembannya hingga kemana akan kembali, ke surga atau neraka atau kembali pada Tuhan. (baca : Sangkan Paraning Dumadi).

Untuk menjadi manusia sejati, yaitu manusia yang faham dan mengerti akan maksud Tuhan dengan menurunkan manusia ke muka bumi tentunya ada banyak hal yang harus ditempuh. Salah satunya dengan cara olah spiritual seperti yang telah dilakukan oleh Para Nabi, Wali serta kekasih Tuhan yang lain. (Sholat Daim)

Hal ini digambarkan seperti perjalanan Nabi Muhammad. Nabi mengenal Tuhannya dulu baru bersyariat atau bermasyarakat (baca : Awal Beragama adalah Mengenal Tuhannya). Di tanah jawa juga ada seorang wali yang melakukan proses spiritual seperti Nabi Muhammad, beliau mendapatkan gelar sebagai wali glausul alam, yaitu Sunan Kalijaga. Proses pencapaiannya sama, yaitu dengan mengenal Tuhannya dulu baru bermasyarakat. (baca : Sangkan Paraning Dumadi).

Apakah kita mengakui bahwa Nabi Muhammad sebagai Panutan???!, kalau memang

jawabannya adalah YA!!!, kenapa kita tidak melakukan perjalanan seperti beliau?!!!!.

(14)

pasti diikuti oleh fansnya. Untuk itu tanyakan pada diri sendiri “ Apakah saya mengidolakan nabi Muhammad apa tidak?”

Karena tingkat keempat merupakan garis awal “praktek lapangan” maka harus naik lagi ke peringkat kelima. Tingkat terakhir adalah tingkat kelima, dimana manusia telah melewati tingkat pertama hingga tingkat keempat dan apabila mampu “menggulungnya”, maka dia

menjadi manusia sempurna yang disebut dengan “insan kamil / Muhammad / Manusia Sejati”, yang disimbolkan dengan jempol tangan.

Gambar 8. Simbol bagi manusia yang mampu menggulung seluruh tahapan dalam proses mengenal Tuhan

Setelah seorang manusia mencapai tingkat ini tugasnya adalah menyampaikan “cahaya” kepada siapa saja, tanpa memandang agama, asal, suku, bangsa bahkan strata atau status sosial. Namun apabila “diri pribadi” manusia yang sudah dalam tingkat ini, dan dia tidak menjalankan hal tersebut, maka dia akan “dihinakan”, baik itu oleh manusia bahkan oleh Tuhan dengan disimbolkan dengan jari jempol tangan yang dibalik. Maka, SEBENARNYA PADA TINGKAT KELIMA INILAH TINGKATAN YANG PALING BERAT bagi manusia dalam menjalankan “TITAH” Tuhan sebagai Khalifah didunia ini.

(15)

4. Rukun Islam Dalam Perspektif

Dunia Makna

Setelah para pembaca memahami hal diatas, marilah kita masuk pada pokok bahasan utama, yaitu Rukun Islam dalam Perspektif Dunia Makna. Dalam memasuki suatu organisasi bahkan hal terkecil seperti komunitas tertentu kita sebagai orang baru pasti akan dikenakan ketentuan-ketentuan khusus terkait kelompok itu. Hal demikian berlaku karena ketentuan-ketentuan tersebut merupakan suatu identitas dari suatu kelompok . Demikian juga dalam kehidupan bereligi.

Dalam agama Islam salah satu ketentuan yang dalam aplikasinya akan menjadi suatu identitas dari pengikutnya disebut dengan Rukun Islam. Sehingga orang akan dikatakan sempurna sebagai orang islam apabila telah dan mampu menjalankan Rukun Islam tersebut. Rukun Islam tersebut adalah :

a. Syahadat b. Sholat c. Puasa d. Zakat e. Haji

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 2 : 208)

Dari ayat al baqarah diatas jelas sekali bahwa yang di panggil pertama kali adalah orang-orang yang beriman, kemudian islam dan larangan mengikuti langkah-langkah setan. Bukannya islam dulu, kemudian orang beriman. Apakah maksudnya???

(16)

Hal ini apabila kita fahami maksudnya adalah semua orang beriman adalah orang islam. Jadi islam bukanlah justifikasi milik satu kelompok atau golongan saja. Akan tetapi islam adalah kelompok yang universal bagi tempatnya orang-orang beriman. Untuk lebih jelasnya baca : Hakekat Iman, Islam dan syetan.

Sehingga pemaknaan terkait rukun islam diatas haruslah pemaknaan yang universal, pemaknaan yang lugas, tanpa “tedeng aling-aling” (red jawa : tanpa ditutup-tutupi) dengan tanpa memihak satu golongan.

4.1 Syahadat

4.1.1 Definisi Syahadat

Kata “syahadat” dalam bahasa arab diambil dari kata “musyahadah” yang artinya “melihat dengan mata kepala”. “Syahadat” adalah mengungkapkan isi hati. Oleh karena itu, “syahadat” haruslah melihat dengan mata kepala sendiri sehingga “diri pribadi” mengandung keyakinan hati yang kokoh dan diungkapkan secara batin dan lisan. Maka, orang yang bersyahadat “Asyahadu an Laa ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” berarti ia mengakui dengan lisan dan hati secara yakin dan ia melihat dengan mata kepala. (baca : Hakekat Iman)

4.1.2 Syahadat tauhid

Syahadat (persaksian) ini memiliki makna mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati lalu mengamalkannya melalui perbuatan. Adapun orang yang mengucapkannya secara lisan namun tidak mengetahui maknanya dan tidak mengamalkannya maka tidak ada manfaat sama sekali (kesiasiaan) dengan syahadatnya.

Seperti “burung beo” yang pandai berkata-kata, saat ditanya akan maksud apa yang dibunyikan, malah si burung akan mengulangi kata-katanya tersebut. Bahkan banyak dari “orang-orang perjalanan” yang telah punya nama besar menyampaikan “kebanyakan orang islam seperti seorang pemanah burung, ribuan burung ada didepan mata, akan tetapi tidak jelas sasarannya, yang penting memanah”.

Sayangnya kata-kata mutiara tersebut sering diartikan menghina atau mencemooh islam. Padahal apabila ditelaah mendalam, kata-kata tersebut memiliki makna yang sangat luar biasa yaitu agar kita sebagai orang islam benar-benar tau, faham dan meyakini sepenuh hati dengan apa yang dilakukan. Makna terkandung yang lain adalah ” KALAU USUL JANGAN ASAL, KALAU ASAL JANGAN USUL”.

(17)

Harapan tersembunyi dari pesan tersebut adalah diharapkan umat islam mengerti, memahami apa yang dilakukan sehingga akan menjadi keyakinan 100% bulat penuh (Haqul Yaqin).

Arti secara bahasa adalah "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah”

Marilah kita kupas satu persatu kata demi kata dalam syahadat ketuhanan ini dengan tanpa mengurangi makna syariat yang telah di yakini sebagaian besar pemeluk agama islam.

4.1.2.1 Bersaksi

Bersaksi, arti kata ini adalah melihat dengan kepala mata sendiri, baru setelahnya akan bersaksi.

“ Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar). “ (QS. Al-Israa’ 17: 72)

“Melihat dengan kepala mata sendiri, baru setelahnya akan bersaksi”. Lantas kalau begitu, bagaimanakah cara melihat Tuhan????, caranya hanya satu, yaitu “POTONG LEHER”. Maksud dari potong leher adalah janganlah memakai logika, jangan selalu memakai kepala, akan tetapi menggunakan “RASA”.

Bagaimana cara agar kita bisa menggunakan “RASA”?, caranya hanya satu, yaitu dengan mempelajarinya dari seorang “Pembimbing Spiritual” yang mengerti dan memahami tata cara dalam mempelajari “Rasa” ini. (Baca : Urgensi Mursyid Dalam Tarekat)

Alasan kita harus mencari Pembimbing adalah agar kita sebagai seorang perjalanan spiritual“tidak salah dalam melangkah”. Karena “Perjalanan menuju pulang atau Journey To The West” penuh dengan liku-liku. Laksana “Gunung dari kejauhan indah, akan tetapi saat di depanya penuh dengan semak berduri, jurang, hewan buas bahkan tebing yang tinggi dan terjal.

(18)

Seperti Nabi Adam dibimbing langsung oleh Tuhan, seperti tertuang dalam surat al baqarah ayat 31 berikut ini ;

“ Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" (QS. Al Baqarah 2 : 31) Nabi Adam pun menjadi guru untuk para malaikat. Tertuang dalam Al Baqarah ayat 33 berikut ini ;

Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu," (QS. Al Baqarah 2 : 33)

Kenapa dalam perjalanan spiritual dibutuhkan seorang “Pembimbing” bukannya seorang guru???, sebab apabila guru yang mengajarkan, maka seorang “anak didik” dalam perjalanan spiritual tidak akan jadi!. Mengapa demikian?, karena seorang guru dalam pengajarannya menggunakan metode “Letter Leg”, A adalah A.

Sedangkan seorang pembimbing laksana seorang Ibu yang sedang membimbing anaknya dengan sabar untuk belajar berdiri dan berjalan. Sehingga hasilnya tergantung dari si Anak. Kenapa demikian?, hal ini digambarkan oleh perjalanan dari istri nabi ibrahim (Hajar) dalam mencarikan anaknya (ismail) air minum. Hajar berlari kecil dari bukit sofa ke marwah dan dilakukan berulang. Pada ujung akhir perjalanan pencarian air, ternyata yang mendapatkan air adalah ismail sendiri dengan menjejakkan tumitnya ke Tanah.

Nabi Muhammad pun membuktikan bahwa dia adalah seorang pembimbing spiritual, yaitu terkait perintah sholat.

(19)

Allah berfirman “ Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikan shalat untuk MENGINGAT-KU’. (QS. At Thoha 20: 14)

Saat ditanya oleh kuamnya bagaimanakah tata cara sholat?, nabi menjawabnya “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat ". (HR. Bukhari)”.

Kalau andaikan Nabi adalah seorang guru, pasti akan mengajari segala tata cara sholat, akan tetapi nabi mengatakan “Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat”. Nabi memahami betul bahwa “Menuju Tuhan” adalah TIDAK ADA CARA, MAKSUDNYA ADALAH SEGALA CARA BISA.

Sehingga dalam hadistnya nabi menyampaikan “ Tidak diperkenankan segala amal ibadah dan perbuatan seseorang sebelum segala sesuatu yang dilihatnya adalah Tuhan”. Itulah bedanya seorang “Pembimbing Spiritual” dengan “Guru Spiritual”.

Selain tersebut diatas para nabi dan wali pun semuanya memiliki pembimbing spiritual, seperti Nabi Musa belajar kepada Nabi Khidir, Iskandar Zulkarnain belajar kepada Nabi Khidir, Sunan kalijaga dan Syekh Siti Jenar belajar kepada Sunan Bonang, dan masih banyak lagi yang bisa dijadikan contoh.

Hal tentang bersaksi pada Tuhan dan cara melihatnya tersirat pada Doa tawajjuh yang dibaca saat melaksanakan sholat. Berikut bacaan doa tawajjuh tersebut ;

Wajjahtu waj-hiya lillazii fa-tharas samaawaati wal ar-dha haniifam muslimaw wamaa ana minal musy-rikiin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil ‘aalamiin. Laa syariika lahuu wa bi-dzaalika umirtu wa ana minal mus-limiin. Allahumma antal maliku laa

ilaaha illa anta anta rabbii wa ana ‘abduka zhalamtu nafsii wa’taraftu bi-dzambii faghfir lii dzunuubii jamii’aa. Fa innahuu laa yahdii li ahsanihaa illaa anta wash-rif ‘annii ahaa laa yash-rifu ‘annii

sayyi-ahaa illa anta, labaika wa sa’daika wal khairu kulluhu fii yadaika, wasy syarru laisa ilaika, ana bika wa ilaika tabaarakta wa ta’aalaita,

astaghfiruka wa atuubu ilaika.

“Saya hadapkan diriku kepada Tuhan yang telah menjadikan langit dan bumi, hal keadaanku seorang yang condong benar kepada kebenaran lagi seorang yang menyerahkan diri, tunduk dan patuh, dan sekali-kali aku bukan orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah.Bahwasanya solatku, ibadatku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah , Tuhan yang memelihara alam, tidak ada sekutu bagi-Nya, demikianlah aku diperintahkan Allah, dan adalah aku salah seorang dari orang-orang, yang mula-mula menyerahkan diri, jiwa dan raga untuk Allah (untuk berjihad di jalan-Nya). Wahai Tuhan-ku! Engkaulah Raja yang memerintah! berkuasa! Tidak ada tuahn selain Engkau, Engkau Tuhan-ku dan aku hamba-Mu. Aku telah menzalimkan diriku, aku mengakui dosaku, maka ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang dapat (sanggup) mengampuni dosa-dosaku selain Engkau. Dan tunjukanlah daku kepada sebaik-baik perangai, tidak ada yang dapat (sanggup)

(20)

menunjukankan daku kepada sebaik-baik perangai, selain Engkau sendiri.Palingkanlah (jauhkanlah) daripadaku pekerti-pekerti yang buruk, tidak ada yang dapat (sanggup) memalingkan daku dari pekerti-pekerti yang buruk itu, selain Engkau sendiri.Aku penuhi seruan Engkau, aku tunduk patuh di bawah perintah Engkau segala rupa kebajikan di tangan Engkau, segala rupa kejahatan tidak ada pada Engkau, Aku dengan Engkau dan kepada Engkau.(saya memperoleh taufiq dengan limpah kurnia Engkau dan memohon perlindungan kepada Engkau.)Maha Berbahagia Engkau dan Maha Tinggi. Aku memohonkan ampun kepada Engkau dan aku bertaubat kepada Engkau.” [HR Ahmad, Muslim, Ar-Tirmidzi, Abu Daud dari Abu Hurairah ra. dari Nabi s.a.w. (dalam satu lafal: wa ana awwalul muslimin= “dan akulah orang yang mula-mula menyerahkan diri kepada Allah“]

Untuk dapat “BERSAKSI”langkah awal yang dilakukan adalah “MELIHAT” terlebih dahulu, baru kemudian “MENGENAL” dan pada tingkat terakhir barulah manusia boleh “BERSAKSI”.

a. Melihat Allah dengan Hati

Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah.

Akal menjadi raja untuk diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rasio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah SWT. Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.

(21)

Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Tuhan berfirman dalam surat Thahaa :

“ Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thahaa 20 : 124)

Dalam Hadist Nabi disebutkan : “Hati manusia itu ibarat sehelai kain putih yang apabila manusia itu berbuat dosa maka tercorenglah / ternodailah kain putih tersebut dengan satu titik noda kemudian jika sering berbuat dosa lambat-laun sehelai kain putih itu berubah menjadi kotor / hitam”. Jika hati nurani sudah kotor maka terkunci nuraninya akan sulit menerima petunjuk dari Allah.

Ada Empat Tahapan Untuk Menajamkan atau Membersihkan Mata Batin :

Pertama, Mengosongkan hati dari sifat-sifat buruk seperti iri, dengki, benci, dan dari sifat keduniawian.

Kedua, Membuang daya khayal yang mengganggu keyakinan hati kemudian berpikir tentang hal-hal yang ghoib yang kita ketahui.

Ketiga, Mendawamkan ( continue ) sholat dan berzikir pada malam hari karena kesepian malam dapat menambah kekhusuk-an hati.

Keempat, Meningkatkan Iman dan Kecintaan kepada Allah yaitu : mencintai Allah dari segala-galanya selalu Munajad ( mohon pertolongan Allah ), dan Istikharoh ( meminta petunjuk dari Allah SWT )

Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid yaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi khawatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk.

Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya.

Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah

(22)

s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan.

Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati. Dia berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya. Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya.

Kelakuannya boleh menyebabkan orang ramai menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.

Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin.

Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesedaran terhadap sesuatu perkara. Beginilah hukum makrifat yang berlaku. Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh yaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat kerana penyaksian itu adalah hasil dari kemahuan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman.

Penyaksian adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi ialah penyaksian hakiki oleh mata hati. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada

(23)

ketiadaan dirinya atau kewujudan dirinya, tetapi Allah s.w.t dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tiada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia. Dia berfirman:

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” (QS. Al Hadiid 57 : 4)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah s.w.t dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah s.w.t. Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan serta kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh.

Pada penyaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesedaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah s.w.t dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahawa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu pengenalan untuk dipamerkan.

Orang yang memperolehi haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah s.w.t pada setiap ketika, setiap ruang dan setiap keadaan. Dia kembali kepada kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya sentiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah s.w.t dilihat dalam dua perkara yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah s.w.t pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah s.w.t yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tiada lagi perkaitannya dengan kewujudan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah s.w.t meliputi segala sesuatu.

Diriwayatkan dari riwayat Abu Hurairah ra.:

Para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw, “Wahai Rasulullah, apakah kami dapat melihat Tuhan kami pada hari kiamat?”

Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat bulan di malam purnama?” Para sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Rasulullah saw. bersabda, “Apakah kalian terhalang melihat matahari yang tidak tertutup awan?”

(24)

Rasulullah saw. bersabda, “Seperti itulah kalian akan melihat Allah. Barang siapa yang menyembah sesuatu, maka ia kelak mengikuti sembahannya itu. Orang yang menyembah matahari mengikuti matahari, orang yang menyembah bulan mengikuti bulan, orang yang menyembah berhala mengikuti berhala.”

[H. R. Muslim no. 267]

b. Mengenal Allah

Nabi Muhammad dalam salah satu hadistnya menegaskan “ Awaluddin Makrifatullah”,

awal beragama adalah mengenal Tuhannya. Bagaimana kita berdo’a, bagaimana kita

memahami perintah-perintahnya apabila kita sama sekali tidak mengenal-NYA. Baru setelah

manusia “Mengenal Tuhannya” Barulah dia “Bersaksi”.

Seorang sufi Indonesia Al Fakir Hamzah Fansuri menulis tentang “MAKRIFATULLAH” yang dituangkan dalam kitabnya yang diberi judul “ Al Muntahi” (Peringatan: Kandungan kitab ini amat berat bagi pemikiran yang tidak faham, jangan membuat kesimpulan sendiri, mintalah kepada Tuhan untuk mendapatkan penjelasan atau pada “utusannya”, yaitu “seorang pembimbing spiritual”.), Berikut ringkasannya :

1. Ketahui oleh mu hai Talib (pelajar) bahawa sabda Rasullulah saw : Barang siapa melihat kepada suatu, jika tidak dilihatnya Allah dalamnya, maka ia itu sia-sia. Kata Ali (Saidina Ali): Tiada ku lihat suatu melainkan kulihat Allah dalamnya. Sabda Nabi; Barangsiapa mengenal dirinya, maka niscaya mengenal Tuhannya.

2. Arti mengenal Tuhan dan mengenal dirinya yakni: diri KUNTU KANZAN MAKHFIYYAN itu dirinya, dan semesta sekalian alam Ilmu Allah. Seperti sebiji (benih) dan pohon, pohonnya dalam sebiji itu, sungguhpun tidak kelihatan, tetapi hukumnya ada dalam sebiji itu. Kata Seikh Junaid: Ada Allah dan tiada ada sertaNya suatu pun. Ia sekarang ini seperti AdaNya dahulu itu jua. Karena itu Ali berkata; Tiada ku lihat sesuatu melainkan ku lihat Allah dalamnya.

3. Tetapi jangan melihat seperti kain basah karena kain lain, airnya lain. Allah SWT maha suci daripada demikian itu tamsilnya, tetapi jika ditamsilkan seperti laut dan ombak, harus seperti kata syair;

Yang laut itu laut jua pada sedia pertamanya, Maka yang baru itu ombaknya dan sungainya,

Jangan mendindingi di kau segala rupa yang menyerupai dirinya, Karana dengan segala rupa itu dinding daripadanya.

(25)

Tetapi ombak beserta dengan laut Qadim, seperti kata; Laut itu Qadim, apabila berpalu, baru ombak namanya dikata, tetapi pada hakikatnya laut jua,… karena laut dan ombak esa tiada dua. Seperti Firman Allah; Allah dengan segala sesuatu meliputi. Sabda Rasullulah saw; Aku daripada Allah, sekalian alam daripada ku.

Seperti matahari dengan cahayanya dengan panasnya; namanya tiga hakikatnya satu jua. Seperti isyarat Rasullulah saw; barangsiap mengenal dirinya niscaya mengenal Tuhannya. 4. Adapun dirinya itu, sungguhpun beroleh nama dan rupa jua, hakikatnya rupanya dan namanya tiada. Seperti bayang-bayang dalam cermin; rupanya dan namanya ada hakikatnya tiada. Seperti sabda Rasullulah saw; Yang Mukmin itu cermin sesamanya mukmin. Artinya, Nama Allah Mukmin, maka hambanya yang khas pun namanya mukmin. Jika demikian sama dengan Tuhannya, kerana hamba tidak bercerai dengan Tuhannya, dan Tuhan pun tidak bercerai dengan hambaNya.

5. Seperti firman Allah SWT: DIA berada di mana kamu ada. Dan lagi Firman Allah SWT: Jika orang tiga, melainkan IA jua keempatnya dengan mereka itu; dan jika ada lima (orang), melainkan IA keenamnya dengan mereka itu; dan tiada lebih dan tiada kurang daripada demikian itu malainkan IA jua beserta mereka itu. Seperti firman Allah SWT: Kami terlebih hampir kepadanya daripada urat leher yang kedua.

6. Dengarkan hai Talib (pelajar) WA HUA MA AKUM (dan DIA beserta kamu), tiada di luar dan tiada di dalam, dan tiada di atas dan tiada di bawah, dan tiada di kiri dan tiada di kanan, seperti firman Allah SWT: IA jua yang Dahulu (Awal) dan IA jua yang Kemudian (Akhir) dan IA jua yang Nyata (Zahir) dan IA jua yang Tersembunyi (Batin).

Lagi pun tamsil seperti pohon kayu sepohon. Namanya (pohon) limau atau atau lain daripada (pohon) limau. Daunnya lain, dahannya lain, bunganya lain, buahnya lain, akarnya lain. Pada hakikatnya sekalian itu (pohon) limau jua. Sungguhpun namanya dan rupanya dan warnanya berbagai, hakikatnya esa jua.

Jikalau demikian hendalah segala Arif (orang) mengenal Allah SWT seperti isyarat Rasullulah SAW: Barang siapa mengenal dirinya maka niscaya mengenal Tuhannya.

7. Diawali dari sabda Rasullulah SAW dengan diisyaratkan jua. Sungguhpun pada Syariat rupanya berbagai-bagai pada Hakikat Esa jua, seperti kata syair;

Bahwa ada kekasihku, tubuh dan nyawa rupanya jua, Apa tubuh? Apa nyawa?…. sekalian alam pun rupanya jua; Segala rupa yang baik dan erti yang suci itu pun rupanya jua,

Segala barang yang datang kepada penglihatanku itu pun rupanya jua.

Seperti firman Allah SWT : Ke mana saja mukamu kau hadapkan, maka di sana ada Dzat Allah. Tamsil, seperti susu dan minyak sapi, namanya dua, hakikatnya satu jua.

(26)

8. Sesekali tidak bertukar seperti sabda Rasullulah SAW: Barangsiapa mengenal dirinya dengan fananya, bahwa niscaya mengenal ia Tuhannya dan Baqalah ia dan serta Tuhannya. Seperti mengetahui ruh dengan badan; Ruh muhit (hidup) pada badan pun tiada, dalam badan pun tiada, di luar badan pun tiada. Demikian lagi Tuhan; pada sekalian alam pun tiada, dalam alam pun tiada, di luar alam pun tiada. Seperti permata cincin dengan cahayanya, dalam permata pun tiada cahayanya, di luar permata pun tiada cahayanya.

9. Karena itu kata Saidina Ali: Tiada ku lihat melainkan ku lihat Allah di dalamnya. Kata

Mansur Hallaj, pun berkata dengan sangat beraninya: Ana al Hak (Akulah yang Sebenarnya. Maka kata sufi Yazid: Maha suci aku, siapa besar sebagai aku.

Maka kata syeikh Junaid: Tiada di dalam jubahku ini melainkan Allah. Maka kata Sayyid Nasimi: Bahwa Akulah Allah. Maka kata Maksudi: Dzat Allah yang Qadim, itulah dzat ku sekarang.

Dan kata Maulana Rumi: Alam ini belum, adaku adalah; Adam pun belum, adaku adalah; Suatupun belum, adaku berahikan Qadim ku jua.

Dan kata Sultan Asyikin Syeikh Ali Abul Wafa: Segala wujud itu WujudNya jangan kau sekutukan dengan yang lain; Apabila kau lihatNya bagiNya dengan dia, maka sujudlah engkau sana tiada berdosa.

Maka kata kitab Gulshan:

Hai segala Islam, jika kau ketahui berhala apa,

Kau ketahui olehmu bahwa yang jalan itu pada menyembah berhala dikata. Jika segala kafir daripada berhalanya itu dajalnya,

Mengapa maka pada agama itu jadi sesat.

10. Sebab demikian maka Syeikh Aynul Qudat menyembah anjing mengatakan: Hadha rabbi ( Inilah Tuhanku), kerana anjing itu tidak dilihatnya, hanya dilihatnya Tuhannya jua. Seperti orang melihat kepada cermin, mukanya jua yang dilihatnya, cermin ghaib dari penglihatannya, kerana alam ini pada penglihatannya seperti bayang-bayang jua,…. rupanya ada Hakikatnya tiada.

Nisbat kepada Hak Allah SWT tiada nisbat kepada kita, adalah kerana kita memandang dengan hijab. Seperti Sabda Rasullulah SAW: Siapa mengenal dirinya sesungguhnya ia mengenal Tuhannya; dengan isyaratkan jua, … pada Hakikatnya dikenal pun Ia, mengenal pun Ia.

11. Seperti Sabda Rasullulah SAW: Barangsiapa mengenal Allah lanjuti lidahnya. Pada tatkala mulanya mengetahui… siapa mengenal dirinya…, setelah sampai kepada… sesungguhnya mengenal Tuhannya,… maka Ia Sendiri NYA. Maka Sabda Rasullulah SAW: Barangsiapa mengenal Allah maka kelulah lidahnya; … artinya tempat berkata tiada lagi lulus.

(27)

12.Seperti kata Syeikh Muhyil Din Arabi: Sesungguhnya Allah adalah Rahasiamu; …. itupun isyarat kepada: Barangsiapa mengenal dirinya sesungguhnya ia mengenal Tuhannya,..jua. Syair Muhyil Din Arabi;

Jika ada engkau orang bermata, bermula hamba itu kenyataan Tuhan, jika ada engkau orang berbudi maka barang segala engkau lihat ini keadaan NYA; Dan jika ada engkau orang bermata dan berbudi, maka apakah yang engkau lihat?,….hanya segala sesuatu itu di dalam NYA melainkan dengan segala rupa.

Seperti Firman Allah SWT: Ia itu serta kamu barang di mana ada kamu.

Dan lagi kata Syeikh Muhyil Din Arabi dalam bentuk syair: Kamilah huruf yang maha tinggi tiada berpindah, Dan yang tergantung dengan istananya di atas puncak gunung. Aku engkau di dalamnya, dan kami engkau dan engkau,.. Ia, …maka sekelian dalam Itu… Ia, ….. maka bertanyalah engkau kepada barangsiapa yang telah wasal (sampai kepada Allah).

13. Hai Pelajar mengetahui “siapa mengenal diri mengenal Tuhannya.”bukan mengenal jantung atau paru-paru, bukan mengenal kaki dan tangan. Makna “siapa mengenal diri…” adanya dengan ada Tuhannya esa jua.

Seperti kata Syeikh Junaid: “Warna air itu warna bejananya” Seperti kata syair:

Sesungguhnya telah tersembunyilah engkau maka tiada dapat dilihat oleh segala mata;

Maka betapa dilihat oleh segala mata Kerana Ia terdinding oleh adaNya. Kata Syeikh Muhyildin Arabi: Jika pergilah aku menuntut Dia, tiadalah berkesudahan tuntutku, jika datang aku ke hadiratNya, Ia liar daripadaku;

Tidak aku melihat Dia,

Ia tidak jauh daripada penglihatanku,

Bermula: Ia ada dalamku dan tiada aku bertemu pada seumurku.

Maka ini lagi kata Syeikh Junaid: Adamu ini dosa, tiada dosa sebagainya.

14. Barangkali engkau pun satu wujud, Hak SWT pun satu wujud, sharika lahu (engkau mensyirikanNya)datang kerana Hak SWT:wahdahu la shararika lahu: (artinya:tiada sekutu bagiNya), tiada wujud lain hanya wujud Hak SWT. Seperti laut dan ombak.

(28)

Seperti Firman Allah:

Kemana saja mukamu kau hadapkan, maka di sana ada Dzat Allah. Kata Maulana Abdul Rahman Jami:

Sekampung sekedudukan, sekalian itu Ia jua;

Pada telekung segala minta makan dan pada atlas segala raja-raja itu pun Ia jua;

Pada segala perhimpunan dan perceraian dan rumah yang tersembunyi dan yang berhimpun itu pun Ia jua;

Demi Allah sekaliannya ia jua. Maka demi Allah sekaliannya Ia jua.

15. Misalkan seperti sebiji benih pokok, di dalamnya terdapat sepohon pokok kayu,yang lengkap. Asalnya biji benih itu jua, setelah menjadi pokok kayu yang tumbuh besar, biji benih itu pun ghaib (tidak kelihatan)- pokok kayu juga yang kelihatan. Warnanya pokok pun berbagai-bagai, rasanya buah pun berbagai-bagai, tetapi asalnya adalah dari sebiji benih itu. Seperti firman Allah:… Kami tuangkan dengan suatu air dan Kami lebihkan setengah atas sesetengahnya pada rasa makanan.

Perhatikan pula contoh berikut, seperti air hujan dalam tanam-tanaman. Air hujan itu jua yang meresapi pada sekalian tanaman dan berbagai-bagai pula rasanya. Pada buah limau masam rasanya, pada pokok tebu manis rasanya, pada mambau pahit rasanya, masing-masing membawa rasanya. Tetapi pada hakikatnya air hujan itu jua pada sekalian tanaman itu. Satu lagi contoh, seperti matahari dengan panas, jikalau panas kepada bunga atau kepada cendana, tidak ia beroleh bau daripada bunga (maksudnya bau bunga itu tidak memberi bau kepada panas). Jikalau najis pun demikian lagi. Jangan syak di sini karana syak itu adalah hijab.

16. Karena atas bekas Jalal dan atas bekas mazhar Jamal tidak ia bercerai, maka Kamal namanya. Nama Al Muiz tiada bercerai, nama Al Latif dan Al Qahar tiada bercerai. Dan syirik pun bekasNYA jua:

Seperti kata Syekh Nikmatullah:

Kulihat Allah pada keadaanku dengan PenglihatanNYA; Bermula: keadaanku itu KeadaanNYA,

maka tilik kepadaNYA dengan tilik daripadaNYA. Kekasihku, pada segala lain daripadaku,

lain daripada adaku,

Bermula: padaku AdaNya itu dengan keadaanku satu ju.

Inilah sifat: Siapa yang mengenal diri maka mengenal Tuhannya, itupun permulaan jua.

(29)

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. As Saffaat 37: 96)

Dan lagi Firman Allah SWT: QS Hud 11:56 ;

“ Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus ." (QS. Huud 11 : 56)

Dan lagi sabda Rasullulah SAW:

“ Tiada daya dan upayaku kecuali dengan izin Allah ” “ Tidak bergerak suatu zarah kecuali dengan izin Allah “ “ Baik dan buruk itu daripada Allah SWT “

18. Sekalian dalil dan hadis ini isyarat kepada : Siapa yang mengenal diri maka mengenal Tuhannya, lain daripadanya tiada.

Dan kata Syeikh Muhyildin Arabi:

Telah haramlah atas segala yang berahi bahawa memandang lain daripadaNYA, Apabila ada keadaan Allah dengan cahayaNYA giling gemilang.

Barang segala yang ku katakan dan bahawa Engkau jua Esa, tiada lain

Suatupun daripadaMu maka sekarang barang lain daripadaMu itu seperti haba adanya.

(30)

“ Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar Rahman 55 : 29)

19. Pada zahirNya berbagai-bagai, tetapi padaDzatNya tidak berbagai-bagai dan tiada berubah kerana Ia, seperti Firman Allah QS Al Hadid 57 : 3.

“ Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin[1452]; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Hadid 57 : 3)

AwalNya tidak ketahuan akhirNya tidak berkesudahan zahirNya amat tersembunyi dengan batinNya tidak kedapatan. Memandang diriNya dengan diriNya, melihat diriNya dengan DzatNya dengan SifatNya dengan AfaalNya dengan AtharNya (bekasnya). Sungguhpun namaNya empat tetapi hakikatNya esa.

Seperti kata Syeikh Muhyildin Arabi: Menunjukkan AdaNya dengan AdaNya. Sementara itu, Imam Muhammad Ghazzali berkata: Alam ini daripadaNya dengan Dialah tetapi sesungguhnya Dia.

Kata Kimiyai Saadat:

Wujud kami daripadaNya dan kuasa kami dengan Dia,

Tiada bezanya antaraku dan Tuhanku melainkan dengan dua martabat. (martabat Tuhan dan martabat hamba).

Inilah ibarat kata-kata: Siapa yang mengenal dirinya mengenal ia Tuhannya.

20. Allah SAW tidak bertempat dan tidak bermisal. Mana ada tempat jika lain daripadaNya tiada? Mana tempat, mana misal, mana warna?

Hamba pun demikian lagi hendaknya jangan bertempat, jangan bermisal, jangan berjihat enam, kerana sifat hamba (adalah sifat) Tuhannya, seperti kata-kata berikut:

Apabila sempurna Fakir, maka Ia itu Allah dan hidupNya dengan hidup Allah. Maulana Abdul Rahman Jami berkata:

Kepada kekasih yang tidak berwarna itu (Allah) kau kehendak, hai hati Jangan kau padamkan kepada warna mudah-mudahan, hai hati

Bahawa segala warna daripada tidak berwarna datangnya, hai hati

(31)

21. Yakni yang asalnya tidak berwarna dan tidak berupa. Segala rupa yang dapat dilihat dan dapat dibicarakan, sesungguhnya makhluk jua pada ibaratnya. Barangsiapa menyembah makhluk, ia itu musyrik (menyekutukan Allah), seperti menyembah orang mati, jantung dan paru-paru, sesungguhnya itu berhala jua hukumnya. Barangsiapa menyembah berhala, ia itu kafir…. kami berlindung dengan Allah daripadanya, Allah yang lebih mengetahui.

22. Jika demikian mengapa memandang seperti ombak dan laut? (padahal kedua-duanya esa jua).

23. Seperti kata syair:

Bekas kaca dan hening air minuman

Maka serupa kedua-duanya dan sebagai pekerjaannya Maka sanya minuman tiada dengan piala

Dan bahwa piala tiada dengan minuman.

Yakni warna kaca dan warna minuman esa jua, warna minuman dan kaca begitu jua, tiada dapat dilainkan.

Seperti kata syair:

Asalnya satu jua warnanya berbagai-bagai

Rahasia ini bagi orang yang tahu jua dapat memakainya. Dan lagi syair:

Berahi dan yang berahi dan yang diberahikan itu ketiga-tiganya esa jua Sini apabila pertemuan tiada lulus, perceraian di mana kan ada?

24. Mengapa dikata bertemu dan bercerai itu dua? Hendaknya pada Alim (yang mengetahui) hakikatnya tiada dua. Seperti ombak dan laut esa jua, pada zahirnya jua dua, tetapi bertemu pun tidak bercerai pun tidak, di dalamnya tiada di luarnya pun tiada.

Seperti kata Ghawth:

Mana kebaktian terlebih kepadaMu ya Tuhanku?

Firman Allah SWT: Sembahyang yang di dalamnya tiada lain selain daripadaKu, dan yang menyembah ghaib.

Nyatalah daripada ini bahwa yang disembah pun Ia jua, yang menyembah pun Hak. Seperti kata Mashakikh:

Tiada mengenal Allah hanya Allah Tiada mengetahui Allah hanya Allah Tiada melihat Allah hanya Allah.

(32)

Orang yang wasal (sampai) itu seperti orang yang duduk kesal; Taulannya diceritakannya daripada penceraiannya

Dan seru dan tangisnya, sehingga jadi harum daripada wasal; terhenti olehnya Daripada penceraiannya dan daripada penuh dengan dukacitanya.

Dan seperti kata Shibli:

Aku seperti katak tinggal dalam laut

Jika kubukakan mulutku nescaya dipenuhi air;

Jika aku diam nescaya matilah aku dalam percintaanku.

25. Isyarat daripada Syeikh Sakdul Din: Jangan lagi dicari tidak akan diperolehi, jika lagi dipandang tiada dilihat, kerana perbuatan kita itu seperti angin di laut. Jikalau berhenti angin ombak pulang kepada asalnya.

Seperti Firman Allah :

“ Hai jiwa-jiwa nan tenang (mutmainah), kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan reda dan diredai, maka masuklah ke dalam surga Ku.” (QS. Al Fajr 89 : 27-28)

Artinya datangnya daripada laut (Dzat Allah), pulang pun kepada laut (Dzat Allah) jua. Seperti kata-kata:

Syurga orang zahid (peribadah) bidadari dan mahligai,

Syurga orang berahi (kekasih) kepada perbendaharaan yang tersembunyi (Dzat Allah).

26. Di situlah tempat tinggal orang yang berahi kepada Allah, berahikan surga pun tidak, dengan neraka pun dia tidak takut, kerana pada orang berahi yang wasal jannah (sampai surga), itulah yang dikatakan dalam firman Allah QS Al Fajr 89:29,30:

Masuklah kamu dalam golongan hambaKu, dan masuklah kamu ke dalam surgaKu. Pulang ia kepada tempat perbandaharaan yang tersembunyi (Dzat Allah). Seperti kata ahli makrifatullah: Barang siapa mengenal Allah maka ia itu musyrik (kenapa musyrik? Kerana ada dualiti).

(33)

Dan lagi kata ahli Allah: Yang fakir itu hitam (tiada) mukanya pada kedua negeri (Zahir dan batin, yang ada hanya wajah Allah)

Dan Lagi: Aku telah karamlah pada laut yang tidak bersisi (Dzat Allah), Maka lenyaplah aku di dalamnya,

Daripada ada dan tiada pun aku tiadalah tahu.

Kata syair: Kembalilah aku daripada menuntut dan yang dituntut. Dan berhimpunlah aku antara yang memberi kurnia dan yang dikurniai, Dan kembalilah daripada aku bagi adaMu.

Tiada engkau di dalamnya dan tiada aku.

Kata Syeikh Attar pula: Daripadanya kembalilah, setengah daripadanya melihat temasya tepuk dan tari,

Nyawa pun diberi selesailah ia daripada tuntut.

Lagi kata: Kertas pun dibakar dan pensil pun dipatahkan dan dakwat pun ditumpahkan dan nafas pun ditarik.

Inilah kisah ragam orang berahi bahwa dalam daftar tidak lulus (tidak dapat dikisahkan). Lagi kata: Tuntut pun seteru dan kehendak pun sia-sia, dan wujud pun jadi dinding (hijab) tidak dapat diperolehi menghendaki damping dan cita, yang hadir segala nafs pun menjauhkan (menghijab).

27. Inilah kesudahan sekalian, inilah yang dikatakan Fana, inilah yang dikatakan alam Lahut, pun dapat dan dikatakan wasal (sampai), dikatakan mabuk (berahi Allah) pun dapat.

Inilah kata Shah Ali Barizi: Kepada pintu negeri yang Fana (yang tinggal hanya Allah) sujudlah aku.

Ku bukakan kepalaku, maka pertunjukanlah mukaMu kepadaku.

Kata orang Pasai: Jika tidak tertutup maka tidak bertemu (Dzat Allah). Arti pada itu tidak lulus ia itu, menjadi seperti dahulu kala seperti di alam Lahut, tatkala dalam perbendaharaan tersembunyi, serta dengan TuhanNya.

Seperti biji benih dalam pohon kayu, sungguhpun zahirnya tidak kelihatan, hakikatnya Esa jua. Sebab itulah Mansur Al Halaj menyatakan: Ana al Hak (Akulah Hak), manakala setengah sufi yang lain menyatakan: Anallah (Aku Allah), kerana adanya (dirinya) tidaklah dilihatnya lagi (telah Fana, yang tinggal hanya Allah).

(34)

28. Inilah artinya: Yang fakir itu tiada suatu pun baginya. Maka firman Allah dalam Hadis Qudsi:

Tidur fakir itu tidurKu, Makan fakir itu makanKu, Dan minum fakir itu minumKu.

Dan lagi firman Allah: Manusia itu adalah RahasiaKu dan Aku Rahasianya dan Sifatnya. Berkata pula Uways Al Qarani:

Yang fakir itu hidup dengan hidup Allah, dan sukanya dengan Kesukaan Allah. Seperti kata Mashaikh:

Barangsiapa yang mengenal Allah maka ia akan menyengutukannya, dan barangsiapa mengenal dirinya maka ia itu kafir.

Seperti kata Syeikh Muhyil Din Ibnu Arabi:

Yang makrifat itu dinding bagiNya, Bermula jikalau tiada wujud kedua (alam) nescaya nyatalah AdaNya.

29. Karena belajar dan makrifat, rindu dan merindu, sekaliannya itu, pada iktibarnya adalah sifat hamba juga, jikalau sekalian itu tiadalah padanya, maka lenyaplah ia. Karana dzatnya dan sifatnya nisbat kepada Allah SWT jua, jikalau barangkala tiada ia, maka sifat hamba, seperti sifat ombak, pulang ke laut (Dzat).

Inilah makna Firman Allah QS Fajr 89:28: Pulang kepada Tuhannya dengan reda dan diredai. Dan makna QS Al Baqarah 2:156: Daripada Allah kami datang dan kepada Allah kami kembali.

Dan Firman Allah: QS Al Qashash 28:88: Tiap-tiap sesuatu binasa kecuali wajah Allah. Dan juga Firman Allah QS Ar Rahman 55:26,27: Segala sesuatu akan fana, dan yang kekal Dzat Tuhanmu yang empunya Kebesaran dan Kemuliaan.

30. Jikalau masih ada lagi citanya, rasanya dan lazatnya itu bermakna sifatnya dua jua, seperti musyahadah pun dua lagi hukumnya. Dan jika lagi syuhud pun masih ada dua kehendaknya: Seperti rasa, yang dirasa dan merasa pun hendaknya, seperti mencinta dan dicinta hendaknya, masih dua belum lagi esa.

(35)

Sekalian sifat itu pada iktibarnya dua juga, seperti ombak pada ombaknya laut pada lautnya,, belum mana (kembali ke) laut.

Apabila ombak dan laut sudah menjadi satu, muqabalah pun tidaklah, musyahadah pun tidaklah, makanya hanya fana dengan fana jua. Tetapi jika dengan fananya itupun, jika diketahuinya, maka belum bertemu dengan fana, kerana ia lagi ingat akan fananya. Itu masih lagi dua sifatnya.

31. Seperti kata Syeikh Attar:

Jalan orang berahi (kepada Allah) yang wasil (sampai) kepada kekasihnya itu, Akan orang itu satupun tidaklah dilihatnya,

Segala orang yang melihat dia itu, dan alam itu pun tiadalah dilihatnya.

Lagi kata Syeikh Attar:

Jangan ada semata-mata, inilah jalan kamil, Jangan bermuka dua, inilah sebenarnya wasil.

Karena arti wasil bukan dua (tetapi esa). Yakni barangkala syak dan yakin tidaklah ada padanya, maka wasillah.

Namanya ilmu yakin, mengetahui dengan yakin, ainul yakin iaitu melihat dengan yakin, dan haqqul yakin iaitu sebenar yakin,,.. yakin adanya dengan ada Tuhannya esa jua.

Maksudnya apabila sempurna fakirnya (fana) maka ia itu Allah, (hati-hati mesti dapat maksud yang sebenar, jika tidak syirik dan kufur jua adanya).

AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya :Awal agama mengenal Allah. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya:Tidak sah shalat tanpa mengenal Allah. MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya:Barang siapa mengenal dirinya dia mengenal Tuhannya.

ALASTU BIRAB BIKUM QOLU BALA SYAHIDNA

Artinya:Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi. (QS.AL-ARAF 7:172)

AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya:Manusia itu RahasiaKu dan akulah Rahasianya.

(36)

WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN

Artinya:AKU Di dalam dirimu mengapa kamu tidak melihat. ANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ

Artinya:AKU lebih dekat dari urat nadi lehermu. LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH

Artinya:Aku tidak akan menyembah Allah apabila aku tidak melihatnya terlebih dahulu

Dengan beberapa ayat Al Qur’an dan hadist diatas adalah sangat jelas bahwa seluruh umat islam harus mengenal terlebih dahulu Tuhannya barulah bertindak. Langkah-langkah yang dilakukan Nabi Muhammad adalah Makrifat-Hakikat-Tharikat-Syariat.Semetara kebanyakan hampir dari seluruh umat islam dalam pendakian menuju Tuhan adalah Syariat-Tharikat-Hakikat dan baru Makrifat.

c. Sesembahan (ilah)

“ Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (QS. Al Anbiyaa' 21 : 25)

Imam Al Baghawi rahimahullah menafsirkan makna perintah ‘sembahlah Aku’ dengan ‘tauhidkanlah Aku’ (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 834). Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Setiap kitab suci yang diturunkan kepada setiap nabi yang diutus semuanya menyuarakan bahwa tidak ada ilah [yang benar] selain Allah, akan tetapi kalian -wahai orang-orang musyrik- tidak mau mengetahui kebenaran itu dan kalian justru berpaling darinya…” Setiap nabi yang diutus oleh Allah mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Bahkan fitrah pun telah mempersaksikan kebenaran hal itu. Adapun orang-orang musyrik sama sekali tidak memiliki hujjah/landasan yang kuat atas perbuatannya. Hujjah mereka tertolak di sisi Rabb mereka. Mereka layak mendapatkan murka Allah dan siksa yang amat keras dari-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [5/337-338] cet. Dar Thaibah)

Gambar

Gambar 2. Batok Kelapa bertekstur Keras, sebagai perlambang tingkat pencapaian yang penuh dengan ritual
Gambar 3. "Enak dan tidaknya daging kelapa" sebagai perlambang tingkat Hakekat
Gambar 7. Jari telunjuk sebagai simbol orang yang telah sampai pada maqam Makrifat, dia mampu menunjukkan kebenaran sejati (salah satu makna dari gerakan-sholat)
Gambar 8. Simbol bagi manusia yang mampu menggulung seluruh tahapan  dalam proses mengenal Tuhan

Referensi

Dokumen terkait

Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau

Artinya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung

berfoya-foya, tanpa memberikan kepada wanita hak untuk belajar dan persamaan dengan kaum pria dalam bidang kemasyarakatan. Bahkan orang Jerman berkata : "Almari pakaian

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya manusia berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain seperti hewan ditinjau dari

Pasalnya, HAM yang seharusnya diperjuangkan adalah hak yang sesuai dengan kodrat alam dan digariskan tuhan yaitu manusia telah diciptakan berpasang-pasangan dan

Pasalnya, HAM yang seharusnya diperjuangkan adalah hak yang sesuai dengan kodrat alam dan digariskan tuhan yaitu manusia telah diciptakan berpasang-pasangan dan

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa sehingga hak-hak tersebut wajib dihormati

Sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, ilmu didefinisikan sebagai tibanya makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; sedangkan sebagai sesuatu yang diterima oleh