• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

Sebagian besar peternakan di Indonesia merupakan peternakan rakyat. Berdasarkan data statistik peternakan menyebutkan bahwa semua jenis ternak mulai ruminansia sampai unggas tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (Susilorini et al., 2008). Populasi ternak tertinggi di Indonesia adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 991.281.000 ekor dan untuk ternak ruminansia populasi tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebanyak 15.815.000 ekor kemudian ternak sapi potong yaitu sebanyak 12.257.000 ekor. Populasi ternak terendah pertama adalah ternak kuda yaitu sebesar 393.000 ekor. Data ternak di Indonesia tahun 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Untuk data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 populasi ayam buras dan ayam ras pedaging dihitung berdasarkan lama pemeliharaan. Populasi ternak tertinggi di Jawa Barat adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 40.022.126 ekor sedangkan ternak ruminansia terdiri dari ternak domba 5.311.836 ekor kemudian ternak kambing 1.431.012 ekor dan ternak sapi potong 295.554 ekor. Populasi ternak terendah ternak babi 4.773 ekor dan diikuti oleh ternak kuda 13.717 ekor. Tabel 3 menunjukkan bahwa ternak yang memiliki pertumbuhan populasi rata-rata tertinggi adalah ternak itik sebesar 13,44 % / tahun diikuti ternak domba sebesar 10,82 % / tahun dan ternak ayam ras pedaging sebesar 6,34 % / tahun sedangkan ternak yang paling rendah pertumbuhannya adalah ternak babi sebesar -6,51 % / tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan domba.

Pada penelitian ini akan dibandingkan nilai emisi dari populasi berdasarkan jenis ternak dibandingkan dengan populasi lebih detail mengenai ternak yang dikembangkan (enhanced) yaitu ternak sapi potong, sapi perah dan ternak kerbau. Pada Program ALU Tools untuk ternak sapi perah lebih diutamakan ternak betina dewasa yang sudah laktasi (sudah memproduksi susu).

(2)

21 Tabel 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

No. Jenis Ternak Tahun Pertum- buhan rata-rata (%)/ tahun 2004 2005 2006 2007 2008 1. Sapi Potong 232.949 234.840 254.243 272.264 295.554 6,18 2. Sapi Perah 98.958 92.770 97.367 103.489 111.250 3,12 3. Kerbau 149.960 148.003 149.444 149.030 145.847 -0,69 4. Kuda 14.242 12.474 15.555 15.755 13.717 0,16 5. Kambing 1.144.102 1.138.695 1.148.547 1.294.453 1.431.012 5,91 6. Domba 3.529.456 3.735.919 4.221.806 4.605.417 5.311.836 10,82 7. Babi 8.092 9.057 12.487 7.043 4.773 -6,51 8. Ayam Buras (ribu) 7.589 7.641 7.229 6.852 6.845 -2,51 9. Ayam Ras Petelur (ribu) 9.721 9.721 9.721 9.721 9.721 0 10. Ayam Ras Pedaging (ribu) 31.453 33.795 32.982 36.203 40.022 6,34 11. Itik (ribu) 4.880 5.305 5.297 6.535 7.962 13,44 Sumber : Buku Saku Statistik Tahun 2005-2009

Ternak sapi potong maupun kerbau pada penelitian ini dibagi berdasarkan bangsa ternak dan umur ternak. Populasi sapi potong berdasarkan bangsa ternak didapatkan dari estimasi populasi sapi potong berdasarkan bangsa sapi Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2004 yang disajikan pada Gambar 1 dan struktur populasi sapi potong berdasarkan umur ternak ternak sapi potong di Provinsi Jawa Barat yang disajikan dalam Gambar 2. Populasi ternak lainnya berdasarkan laporan dari BPS Jawa Barat tahun 2004-2008. Klasifikasi populasi kerbau berdasarkan umur kerbau di Bogor tahun 2007 yang disajikan dalam Gambar 3 dan untuk klasifikasi kerbau berdasarkan umur ternak. Diestimasikan bahwa 10% kerbau di Jawa Barat dipekerjakan untuk membajak sawah dan yang dipekerjakan adalah ternak kerbau

(3)

22 dewasa. Data populasi ternak sapi potong berdasarkan bangsa ternak yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan estimasi dari persentase yang terdapat pada Gambar 1 sampai Gambar 3 dan estimasi populasi disajikan dalam Tabel 4.

Gambar 1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong di Kab. Tasikmalaya Tahun 2004

Sumber: Dinas Peternakan Tasikmalaya (2004)

Gambar 1 menunjukkan estimasi sapi potong berdasarkan bangsa di Provinsi Jawa Barat. Populasi tertinggi adalah Sapi Peranakan Ongole (PO) sebesar 29,5% diikuti Sapi Limosin sebesar 23,97% dan populasi ternak terendah adalah Sapi Brangus sebesar 2,82%.

Gambar 2. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Klasifikasi Populasi di Prov. Jawa Barat Tahun 2007

Sumber: BPS Jawa Barat (2008)

29% 20% 24% 7% 17% 3% PO Simental Limosin Brahman Simbra Brangus 0% 7% 74% 0% 2% 17% pedet jantan jantan muda jantan dewasa pedet betina betina muda betina dewasa

(4)

23 Gambar 2 mengestimasikan bahwa sapi potong di Jawa Barat memiliki presentase tertinggi adalah populasi ternak jantan dewasa yaitu sebesar 74,50% diikuti oleh ternak betina dewasa yaitu sebesar 17,11% dan persentase terendah adalah ternak pedet jantan maupun betina yaitu 0,05% .

Gambar 3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi PopulasiTernak di Kab. Bogor Tahun 2007

Sumber : Dinas Peternakan Bogor (2007)

Gambar 3 mengestimasikan bahwa populasi kerbau di Jawa Barat memiliki persentase tertinggi berdasarkan umur kerbau adalah dewasa betina yaitu sebsar 39,36% diikuti ternak dewasa jantan yaitu sebesar 16,11% sedangkan persentase terendah adalah ternak anak jantan yaitu sebesar 7,67%.

Berdasarkan Gambar 1 sampai Gambar 3 didapatkan estimasi populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa dan Umur Ternak yang disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Data Populasi Sapi Potong dan Kerbau Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor) Dewasa Jantan Dewasa Betina Muda Jantan Muda Betina Pedet Jantan Pedet Betina 1. Sapi Brahman 15.523 3.563 1.479 250 10 10 2. Sapi Brangus 6.209 1.425 592 100 4 4 3. Sapi Limosin 52.779 12.114 5.030 850 35 35 2% 0% 48% 2% 0% 48% anak jantan jantan muda jantan dewasa anak betina betina muda betina dewasa

(5)

24 Lanjutan Tabel 4.

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor) Dewasa Jantan Dewasa Betina Muda Jantan Muda Betina Pedet Jantan Pedet Betina 5. Sapi Simbra 43.465 9.977 4.142 700 29 29 6. Sapi Simental 37.256 8.551 3.551 600 25 25

Total Sapi Potong 295.554

7. Kerbau Kerja 2.350 5.741 1.575 2.199 1.601 1.119

8. Kerbau Potong 21.246 51.665 14.176 19.794 14.413 10.068

Total Kerbau 145.847

Penentuan Faktor Emisi

Faktor emisi didapatkan dengan cara memasukkan data-data yang dibutuhkan ke dalam software ALU Tools. Data-data yang dimasukkan sesuai dengan kebutuhan, apabila dibutuhkan data yang rinci maka menggunakan model II sedangkan model I digunakan ketika data yang tersedia kurang rinci. Langkah pertama yang harus dilakukan baik ketika menggunakan Model I maupun Model II adalah dengan melengkapi data populasi ternak. Populasi yang diisi pada model I maupun model II untuk ternak sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, itik dan ayam petelur dianggap dipelihara lebih dari setahun sedangkan untuk ternak ayam ras pedaging (broiler) selama 35 hari dan ayam buras (ayam kampung) selama 90 hari. Populasi rata-rata diperoleh menggunakan rumus :

Populasi rata-rata = Lama Pemeliharaan (Populasi dalam satu tahun / 365 hari) Misalnya ayam ras memiliki populasi sebanyak 60.000 ekor dalam setahun maka populasi rata-ratanya adalah 9.863 ekor. Ayam ras pada umumnya dipelihara selama 60 hari. Populasi rata-rata = 60 hari x 60.000 ekor/365 hari/tahun.

(6)

25

Model I (Default-IPCC)

Model I pada penelitian ini menggunakan faktor emisi yang diperoleh dari koefisien yang sudah ditetapkan IPCC (defaut-IPCC). Apabila menggunakan model I maka semua data populasi ternak diisi pada kolom basic (dasar). Default-IPCC yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data Asia yaitu Negara China.

Model II (enhanced- bangsa ternak dan klasifikasi populasi ternak)

Model II pada penelitian ini dilengkapi dengan bangsa ternak dan estimasi pakan yang diberikan pada tipe ternak di setiap bangsa ternak. Apabila menggunakan model II maka data populasi ternak sapi dan kerbau diisi pada kolom enhanced (dikembangkan) sedangkan ternak lainnya diisi pada kolom basic (dasar). Metode dalam Model II meminta penjelasan yang rinci di setiap ternak, produktivitas ternak, kualitas pakan dan data-data detail lainnya untuk mendukung estimasi yang lebih akurat yang digunakan di dalam perhitungan produksi metan dari fermentasi enterik. Maka dapat dihasilkan hasil perhitungan yang tepat dari kotoran ternak dan rata-rata nitrogen yang dieksresikan untuk menjelaskan emisi CH4 dan N2O dari manajemen

kotoran ternak, fermentasi enterik maupun N yang melayang ke atmosfer.

Ternak sapi dan kerbau biasanya diklasifikasikan berdasarkan: pertumbuhan bobot badan harian, bobot ternak muda, pedet dan bobot badan dewasa. Setiap subkategori diisi dengan pakan yang diberikan. Pada umumnya data yang dibutuhkan untuk mengestimasi konsumsi pakan antara lain: bobot badan (kg), rataan pertambahan bobot badan harian (kg), sistem pemeliharaan (dikandangkan, digembalakan, dilepas pada ladang pastura), produksi susu per hari (Liter/hari), persentase kandungan lemak susu, rataan kerja yang dilakukan per hari (jam/hari), persentase betina laktasi, persentase betina bunting, dan persentase pakan yang dicerna (%DE).

Bobot Badan (kg). Bobot badan pada umumnya didapatkan dari hasil penelitian dan

studi pustaka. Data bobot badan dari sapi dan kerbau berdasarkan bangsa yang digunakan pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 5. Data bobot badan digunakan untuk menentukan besarnya emisi yang dihasilkan tiap jenis ternak. Semakin tinggi

(7)

26 bobot badan maka kebutuhan pakan semakin tinggi sehingga menghasilkan emisi yang semakin tinggi.

Tabel 5. Data Bobot Badan Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin

No. Bangsa Ternak

Bobot Badan Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 100 100 200 200 400 360 2. Sapi Brahman* 100 100 201 201 401 361 3. Sapi Limosin** 101 101 201 201 402 362 4. Sapi Simental** 101 101 202 202 403 363 5. Sapi Brangus** 101 101 202 202 404 364 6. Sapi Simbra** 101 101 203 203 405 365 7. Sapi Perah**** 100 100 200 200 400 360 8. Kerbau*** 102 102 203 203 406 365

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Berdasarkan Tabel 5 bobot badan tertinggi untuk sapi potong dicapai oleh Sapi Simbra dan bobot badan terendah dicapai oleh Sapi PO. Semakin tinggi nilai bobot badan semakin besar emisi yang dihasilkan (IPCC, 2007).

Pertumbuhan Bobot Badan Harian. Data dari pertumbuhan bobot badan harian

pada penelitian ini diperoleh dari industri peternakan. Peningkatan emisi dengan perubahan bobot badan sangat kecil. Penurunan konsumsi dan emisi saling berkaitan dengan kehilangan bobot badan yang besar akan diseimbangkan oleh peningkatan konsumsi dan emisi selama periode tertentu dalam pertumbuhan bobot badan. Pertumbuhan bobot badan harian akan menunjukkan peningkatan konsumsi yang diikuti oleh peningkatan emisi.

(8)

27 Tabel 6. Data Pertumbuhan Bobot Badan Harian Sapi dan Kerbau Berdasarkan

Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak

No. Bangsa Ternak

PBBH Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 0,2 0,2 0,4 0,4 0,6 0,5 2. Sapi Brahman* 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 3. Sapi Limosin** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0 4. Sapi Simental** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0 5. Sapi Brangus** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 6. Sapi Simbra** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 7. Sapi Perah**** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 8. Kerbau*** 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Bobot Badan Dewasa. Bobot badan dewasa dari ternak dewasa merupakan syarat

untuk menjelaskan pola pertumbuhan, termasuk pakan dan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bobot badan dewasa melukiskan kondisi tubuh ternak.

Tabel 7. Data Tipe Bobot Badan Dewasa Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa Ternak

No. Bangsa Ternak Bobot Badan Dewasa (kg) Sumber Data

1. Sapi PO 250 Ridwan (2010)

2. Sapi Brahman 300 PT.Lembu Jantan Perkasa (2011)

3. Sapi Limosin 300 Ridwan (2010)

4. Sapi Simental 300 Ridwan (2010)

5. Sapi Brangus 275 Ridwan (2010)

6. Sapi Simbra 275 Ridwan (2010)

7. Sapi Perah 300 KPBS (2011)

8. Kerbau 250 Robbani (2009)

Rataan Waktu yang Dibutuhkan Ternak untuk Dipekerjakan. Sebagian kecil

(9)

28 Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Robbani (2009) dalam skripsinya dituliskan bahwa kerbau dipelihara semi intensif yaitu kerbau pada pagi sampai menjelang siang hari dipekerjakan untuk membajak sawah kemudian kerbau siang hari dikandangkan sampai menjelang sore. Kerbau digembalakan sampai menjelang malam kemudian dikandangkan serta diberikan pakan pada malam hari. Jadi, waktu yang dibutuhkan ternak kerbau untuk dipekerjakan sekitar 5 jam. Hal ini diestimasikan kepada ternak kerbau kerja dewasa dan sapi potong dewasa. Pengolahan tanah sawah baik menggunakan sapi maupun kerbau dilakukan selama dua bulan dalam setahun sehingga dalam sehari dalam setahun waktu kerjanya adalah (60hari/365hari) x 5 jam = 0,822 jam/hari/tahun.

Sistem Pemeliharaan. Informasi detail tentang sistem pemeliharaan pada setiap

jenis ternak sangat dibutuhkan untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik karena interpolasi antara sistem pemeliharaan merupakan hal yang penting untuk menentukan koefisien faktor emisi. Sistem pemeliharaan intensif kandang (dry lot) menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada sistem pemeliharaan pasture (digembalakan). Hal ini dapat dilihat di bab selanjutnya yaitu faktor emisi yang dihasilkan. Pengukuran sistem pemeliharaan dilakukan berdasarkan wawancara dengan peternak dan diestimasikan bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat mayoritas melakukan sistem pemeliharaan tersebut.

Tabel 8. Data Sistem Pemeliharaan Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin

No. Bangsa Ternak

Sistem Pemeli- haraan

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** K G 70 30 70 30 70 30 70 30 70 30 70 30 2. Sapi Brahman* K 100 100 100 100 100 100 3. Sapi Limosin** K 100 100 100 100 100 100 4. Sapi Simental** K 100 100 100 100 100 100 5. Sapi Brangus** K 100 100 100 100 100 100

(10)

29 Lanjutan Tabel 8.

No. Bangsa Ternak

Sistem Pemeli- haraan

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

7. Sapi Perah**** K 100 100 100 100 100 100 8. Kerbau*** K G 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 Keterangan : K = dikandangkan; G = digembalakan

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Rataan Produksi Susu Per Hari. Data produksi susu per hari pada umumnya

didapatkan dari data sapi perah dan kerbau. Data ini didapatkan dari rataan produksi susu per hari dalam setahun (365 hari) atau laporan berdasarkan produksi susu harian sepanjang laktasi dalam setahun atau estimasi menggunakan produksi susu dalam semusim dibagi hari dalam semusim. Data produksi susu sapi dan kerbau menggunakan estimasi bahwa di Indonesia pada umumnya sapi perah memproduksi susu 10 liter per hari sedangkan untuk sapi potong dan kerbau diestimasikan memiliki produksi susu yang rendah yaitu 3 liter karena susunya hanya digunakan untuk menyusui anak. Rataan produksi susu per hari menggambarkan tingkat kebutuhan konsumsi ternak. Semakin tinggi produksi susu maka semakin tinggi kebutuhan konsumsinya sehingga meningkatkan emisi yang dihasilkan.

Kandungan Lemak Susu. Kandungan lemak susu dari sapi maupun kerbau dilihat

dari susu yang dijual di pasaran untuk dikonsumsi manusia dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini kandungan lemak susu sapi maupun kerbau berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sirait (1991). Diestimasikan bahwa kandungan lemak susu sapi sama untuk setiap bangsa ternak sapi potong yaitu 3,45% sedangkan kandungan lemak susu kerbau adalah 9,65%. Kandungan lemak susu menggambarkan pakan yang biasa dikonsumsi oleh ternak. Semakin tinggi kandungan lemak susu maka semakin tinggi rasio hijauan yang dikonsumsi sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi emisi yang dihasilkan.

(11)

30

Persentase Betina Bunting dan Persentase Betina Laktasi. Pada umumnya untuk

ternak sapi maupun ternak kerbau persentase betina bunting lebih besar daripada betina laktasi. Hal ini dikarenakan ternak mengalami kebuntingan terlebih dahulu kemudian mengalami masa laktasi. Selain itu untuk ternak sapi potong dan kerbau masa laktasinya lebih singkat daripada ternak sapi perah. Persentase betina bunting dan laktasi untuk ternak sapi potong berdasarkan penelitian Setiawan (2005) pada skripsinya yang menyebutkan bahwa sapi potong di daerah Jawa Barat memiliki persentase betina bunting sebesar 45% dan betina laktasi sebesar 40% sedangkan persentase betina bunting untuk ternak kerbau berdasarkan penelitian Robbani (2009) menyatakan bahwa kerbau di Prov. Jawa Barat memiliki persentase betina bunting sebesar 40% dan persentase betina laktasi sebesar 30%.

Persentase Pakan yang Dicerna. Nilai energi bruto (Gross Energy) dalam pakan

yang tidak diekskresikan menjadi feses merupakan pakan yang dicerna. Pakan yang dicerna pada umumnya dinyatakan dalam persentase GE atau TDN (Total Digestable Nutrient). Ternak ruminansia di Indonesia pada umumnya memiliki nilai pakan yang dicerna antara 55%-75% untuk pastura yang baik, pengawetan hijauan yang baik, dan pakan berbasis hijauan dengan suplemen konsentrat. Variasi dalam pakan yang dicerna dilaporkan dengan variasi pada umumnya dalam estimasi pakan yang dibutuhkan ternak dan saling berhubungan dengan emisi metan dan jumlah kotoran ternak yang diekskresikan. Estimasi yang akurat dari %DE sangat penting dalam menghitung konsumsi pakan dan emisi yang akan ditekankan. Dengan kesalahan 10% dari rataan persentase konsumsi pakan (%DE) atau %TDN akan menghasilkan emisi CH4 yang dihasilkan dari tiap ternak yaitu antara 12%-20% (Deborah et al.,

2006).

Data DE ternak Sapi dan Kerbau disajikan pada Tabel 9. Data ini berdasarkan estimasi bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat menggembalakan ternaknya, memberikan hijauan yang diawetkan dengan baik dan memberikan pakan berbasis hijauan dengan suplemen konsentrat.

(12)

31 Tabel 9. Data Pakan yang Dicerna (Digestible Energy) Ternak Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO 60 60 60 60 60 60 2. Sapi Brahman 67 67 67 67 67 67 3. Sapi Limosin 66 66 66 66 66 66 4. Sapi Simental 66 66 66 66 66 66 5. Sapi Brangus 65 65 65 65 65 65 6. Sapi Simbra 65 65 65 65 65 65 7. Sapi Perah 60 60 60 60 60 60 8. Kerbau 55 55 55 55 55 55

Sumber : Susilorini et al. (2008)

Hasil Faktor Emisi menggunakan ALU Tools

Emisi Metan dari Fermentasi Enterik

Perhitungan faktor emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan model I (default-IPCC) untuk setiap jenis ternak ditentukan berdasarkan ketetapan yang ada di IPCC. Pada umumnya model I menggunakan standar semua ternak merupaan ternak muda. Hal ini kurang sesuai dengan kondisi peternakan yang terdapat ternak anak, muda dan dewasa yang menghasilkan besar emisi yang berbeda-beda. IPCC menyarankan bahwa untuk ternak unggas, babi, kuda, kambing, dan domba menggunakan model I sedangkan untuk ternak sapi dan kerbau sebaiknya menggunakan model II. Perbedaan hasil emisi antara model I dan model II pada penelitian ini adalah terdapat pada ternak sapi dan kerbau. Ketika menggunakan model I untuk menghitung faktor emisi tidak memperhitungkan produktivitas ternak, seperti peningkatan produksi susu ataupun pola pertumbuhan bobot badan. Jika ingin memperhitungkan produktivitas ternak sebaiknya menggunakan model II. Perhitungan faktor emisi menggunakan model II berdasarkan konsumsi energi bruto

(13)

32 (Gross Energy) dan faktor konversi metan untuk setiap kategori. Beberapa faktor konversi emisi dalam penelitian ini masih menggunakan default-IPCC karena belum ada penelitian di Indonesia yang berkaitan dengan faktor emisi berdasarkan jenis ternak. Di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat pemberian pakan ternak sapi dan kerbau mendapatkan kualitas pakan yang rendah dan limbah pertanian (by-product) serta ada pula yang digembalakan di mana memiliki faktor konversi metan (Ym) yang sama yaitu 6,5% ± 1% (IPCC, 2009).

Faktor konversi metan (Ym) dipengaruhi oleh efek kecernaan (%DE), pakan berdasarkan konsumsi bahan kering yang berhubungan dengan bobot badan, komposisi kimia ransum, kandungan mikroba dan partikel yang bertahan di dalam saluran pencernaan, dan variasi dari populasi mikroba di dalam sistem saluran pencernaan. Populasi mikroba paling tinggi terdapat di dalam rumen. Komposisi gas didalam rumen kurang lebih terdiri dari 63%-63,35% CO2, 26,76%-27% CH4, 7% N2

dan sedikit H2S, H2 dan O2. Karena kondisi anaerob di dalam rumen merupakan

faktor yang sangat penting maka produksi CO2 pada proses fermentasi sangat

menentukan terciptanya kondisi anaerob (Wilkie, 2000).

Emisi Metan dari Kotoran Ternak

Apabila dalam menentukan faktor emisi menggunakan model I maka menggunakan default-IPCC. Default yang sudah ditetapkan IPCC berdasarkan suhu rata-rata tahunan negara Indonesia dan berdasarkan jenis ternak. Model ini juga memperhatikan manajemen manur yang biasa dilakukan. Data suhu harus didasarkan pada statistik meteorologi nasional yang sudah tersedia di mana Negara Indonesia memiliki suhu warm (hangat). Faktor emisi terdaftar dengan suhu rata-rata tahunan untuk zona iklim tempat manur dikelola. Faktor emisi dari default-IPCC tidak memberikan hasil yang akurat dari emisi yang sangat sensitif terhadap variasi suhu (misalnya manajemen kotoran ternak dengan cairan/sistem lumpur) (Woodbury dan Hashimoto, 1993). Definisi sistem manajemen manur secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

(14)

33 Model II digunakan jika bobot badan yang sudah ditetapkan IPCC kurang sesuai dengan ternak di Indonesia karena sapi, kerbau dan babi di negara Indonesia memiliki bobot yang bervariasi dari pada ketetapan dari IPCC. Model I maupun Model II tergantung dari karakteristik manur dan karakteristik manajemen manur. Karakteristik manur ditentukan oleh padatan yang mudah melayang/volatile solid (VS) yang diproduksi manur dan jumlah maksimal metan yang dihasilkan oleh manur (Bo). Produksi VS dari manur dapat diperkirakan berdasarkan konsumsi pakan dan kecernaan yang merupakan variabel yang digunakan dalam fermentasi enterik. Nilai VS tertinggi dihasilkan oleh ternak kerbau yaitu sebesar 3,9 kg/ekor/hari sedangkan terendah dihasilkan oleh ternak unggas yaitu sebsar 0,01 kg/ekor/hari. Bo bervariasi menurut spesies hewan dan pakan yang diberikan dan merupakan hasil metan berdasarkan jumlah VS dari manur. Manur yang bercampur dengan bedding (jerami, serbuk gergaji, litter) tidak dihitung dalam VS karena bedding tidak akan menambah produksi metan secara signifikan. Nilai jumlah maksimal metan yang dihasilkan oleh manur (Bo) tertinggi dimiliki oleh ternak unggas yaitu sebesar 0,36 m3 CH4/kgVS dan teredah dimiliki oleh ternak sapi potong

dan kerbau yaitu sebesar 0,1 m3 CH4/kgVS untuk data selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 7.

Karakteristik sistem manajemen manur meliputi jenis sistem yang digunakan untuk mengelola manur dengan faktor konversi (MCF) yang mencerminkan nilai Bo. Sistem MCF berkisar 0%-100% di mana suhu dan waktu retensi dalam pengelolaan manur memainkan peran penting dalam perhitungan MCF. Manur yang dikelola dalam bentuk cair pada daerah yang beriklim panas dapat memiliki MCFs tinggi, antara 65% sampai 80% sedangkan manur yang dikelola dalam bentuk kering pada daerah yang beriklim dingin tidak mudah menghasilkan metan sehingga MCF sekitar 1%. Manajemen manur pada penelitian ini berdasarkan estimasi manajemen yang umum dilakukan peternak di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar ternak sapi potong maupun sapi perah memiliki manajemen manur berupa dry lot yaitu sekitar 80%-90% sedangkan sisanya yaitu sekitar 10%-20% berupa kompos ekstensif. Manajemen manur dry lot merupakan manajemen manur di mana ternak intensif kandang sehingga kotorannya menumpuk di kandang yang biasanya beralas aspal

(15)

34 atau aspal terbuka tanpa adanya tutupan vegetasi yang signifikan. Kotoran kandang dibiarkan menumpuk selama periode tertentu di satu tempat pembuangan dan terkena sinar matahari sehingga menghasilkan emisi. Manajemen manur kompos ekstensif merupakan oksidasi biologis dari limbah padat termasuk kotoran dengan suhu termofilik yang disebabkan oleh produksi panas yang dihasilkan mikroba. Kompos ekstensif dilakukan dengan proses pembalikan manur secara periodik (jarang) untuk proses pencampuran dan aerasi. Kompos ekstensif merupakan pengomposan yang jarang dilakukan, tidak sesering kompos intensif. Data selengkapnya mengenai manajemen manur, nilai VS dan Bo untuk tiap jenis ternak di Provinsi Jawa Barat disajikan dalam Lampiran 6-7. Data faktor emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen manur disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 menunjukkan bahwa faktor emisi metan dari fermentasi enterik baik menggunakan model I maupun model II sama yaitu faktor emisi tertinggi dimiliki oleh sapi perah yaitu 56 kg CH4 pada model I dan 165,94 kg CH4 pada model II dan

faktor emisi terendah dimiliki oleh unggas yaitu 0 kg CH4 baik pada model I maupun

model II. Faktor emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi berdasarkan umur ternak baik pada sapi maupun pada kerbau adalah pada ternak dewasa (jantan dan betina) dan terendah adalah ternak pedet (jantan dan betina). Faktor emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi pada sapi potong berdasarkan bangsa sapi potong adalah Sapi Limosin dan Sapi Simental dan terendah terdapat pada Sapi Peranakan Ongole (PO). Ternak Kerbau Kerja memiliki faktor emisi dari fermentasi enterik lebih tinggi daripada ternak kerbau potong.

Faktor emisi metan dari manajemen manur baik menggunakan model I maupun model II sama yaitu faktor emisi tertinggi dimiliki oleh sapi perah yaitu 27 kg CH4 pada model I dan 6,562 kg CH4 yaitu sapi perah dengan sistem manajemen

manur dry lot pada model II dan faktor emisi terendah dimiliki oleh unggas yaitu 0,023 kg CH4 baik pada model I maupun model II. Faktor emisi metan dari

fermentasi enterik menggunakan model I lebih rendah dari pada model II sedangkan faktor emisi metan dari manajemen manur menggunakan model I lebih tinggi dari pada model II.

(16)

35 Tabel 10. Faktor Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur

Berdasarkan Jenis Ternak

No. Jenis Ternak

Faktor Emisi Metan (kg CH4/ekor/tahun)

Fermentasi Enterik Manajemen Manur

Model I Model II Model I Model II

KE DL P 1. Sapi Perah 56 165,94 27 0,246 6,562 0,328 2. Kerbau Kerbau Kerja 55 3 Jantan Dewasa - - - - - - 81,044 - - - - - - - 0,347 1,25 Betina Dewasa 102,921 - 0,44 1,585 Pedet Betina 21,937 - 0,094 0,339 Betina Muda 45,329 - 0,194 0,7 Pedet Jantan 21,937 - 0,094 0,339 Jantan Muda 45,329 - 0,194 0,7 Kerbau Potong 55 3 Jantan Dewasa - - - - - - 72,908 - - - - - - - 3,118 - Betina Dewasa 95,299 - 4,084 - Pedet Betina 20,463 - 0,88 - Betina Muda 40,481 - 1,736 - Pedet Jantan 20,463 - 0,88 - Jantan Muda 40,481 - 1,736 - 3. Kuda 18 18 2,2 2,2 2,2 2,2 4. Kambing 5 5 0,22 0,22 0,22 0,22 5. Domba 5 5 0,21 0,21 0,21 0,21 6. Babi 1 1 7 7 7 7 7. Unggas 0 0 0,023 0,023 0,023 0,023 8. Sapi Potong 44 44 2 2 2 2 Brahman Jantan Dewasa - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 97,219 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 0.092 2.751 - Betina Dewasa 106,263 0.1 3.004 - Pedet Betina 18,902 0.018 0.539 - Betina Muda 39,709 0.037 1.122 - Pedet Jantan 18,902 0.018 0.539 - Jantan Muda 39,709 0.037 1.122 - Brangus Jantan Dewasa 106,892 0.107 3.202 - Betina Dewasa 116,313 0.116 3.489 - Pedet Betina 25,665 0.026 0.77 - Betina Muda 57,514 0.058 1.728 - Pedet Jantan 25,665 0.026 0.77 - Jantan Muda 57,514 0.058 1.728 - Limosin Jantan Dewasa 122,787 0.119 3.577 - Betina Dewasa 134,921 0.131 3.929 - Pedet Betina 29,076 0.028 0.847 - Betina Muda 63,606 0.062 1.849 - Pedet Jantan 29,076 0.028 0.847 - Jantan Muda 63,606 0.062 1.849 - PO Jantan Dewasa 89,905 0.103 2.054 0.411 Betina Dewasa 102,958 0.117 2.348 0.47 Pedet Betina 22,313 0.025 0.506 0.101

(17)

36 Lanjutan Tabel 10. Betina Muda - - - - - - - - - - - - - - - 48,263 - - - - - - - - - - - - - - 0.055 1.1 0.22 Pedet Jantan 22,313 0.025 0.506 0.101 Jantan Muda 48,263 0.055 1.1 0.22 Simbra Jantan Dewasa 106,892 0.107 3.202 - Betina Dewasa 116,313 0.116 3.489 - Pedet Betina 25,665 0.026 0.77 - Betina Muda 57,514 0.058 1.728 - Pedet Jantan 25,665 0.026 0.77 - Jantan Muda 57,514 0.058 1.728 - Simental Jantan Dewasa 122,787 0.119 3.577 - Betina Dewasa 134,921 0.131 3.929 - Pedet Betina 29,076 0.028 0.847 - Betina Muda 63,606 0.062 1.849 - Pedet Jantan 29,076 0.028 0.847 - Jantan Muda 63,606 0.062 1.849 -

Ket. : DL : Dry Lot, KE : Kompos Ekstensif, P : Pastura.

Nilai faktor emisi dari manajemen manur dengan dry lot lebih tinggi dari pada pasture dan kompos ekstensif. Faktor emisi metan dari manajemen manur tertinggi berdasarkan umur ternak baik pada sapi maupun pada kerbau adalah pada ternak dewasa (jantan dan betina) dan terendah adalah ternak pedet (jantan dan betina). Faktor emisi metan dari manajemen manur tertinggi pada sapi potong berdasarkan bangsa sapi potong adalah Sapi Limosin dan Sapi Simental dan terendah terdapat pada Sapi Peranakan Ongole (PO). Ternak kerbau potong memiliki faktor emisi dari fermentasi enterik lebih tinggi daripada ternak kerbau kerja.

Emisi Dinitrogen Oksida Langsung dari Manajemen Manur

Pada perhitungan emisi dinitrogen oksida perhitungan paling tepat diperoleh dengan menggunakan faktor emisi yang mencerminkan lama penyimpanan dan jenis perlakuan pada kotoran ternak dalam setiap manajemen yang digunakan. Jika data yang lebih detail tidak tersedia maka digunakan model I (default-IPCC). Dinitrogen Oksida yang dihasilkan oleh kotoran ternak dihitung berdasarkan nilai rata-rata Nitrogen yang diekskresikan dari manajemen manur, faktor perkiraan dari rata-rata

No. Jenis Ternak

Faktor Emisi Metan (kg CH4/ekor/tahun)

Fermentasi Enterik Manajemen Manur

Model I Model II Model I Model II

(18)

37 Nitrogen yang diekskresikan dan persentase sistem manajemen kotoran ternak. Faktor emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur disajikan pada Tabel 11. Definisi sistem manajemen manur secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.

Nilai %MMS tertinggi terdapat pada ternak babi dan kerbau potong sama (pada model I dan model II) yaitu sebesar 100% karena sistem manajemen manur babi dan kerbau potong di Indonesia pada umumnya sama yaitu babi menggunakan laguna anaerob dan kerbau potong menggunakan manajemen manur dry lot yang menghasilkan emisi dinitrogen oksida yang cukup tinggi. Nilai Nex tertinggi terdapat pada ternak sapi perah yang menghasilkan feces dengan kandungan N yang tinggi yaitu sebesar 60 (pada model I dan model II). Nadj tertinggi dimiliki oleh ternak dewasa yaitu sebesar 1 sedangkan untuk ternak muda adalah 0,6 dan untuk pedet adalah 0,3. Nilai Nex dan Nadj untuk tiap bangsa ternak pada sapi potong sama. Tabel 11. Faktor Emisi Dinitrogen Oksida dari Manajemen Manur (Direct/Langsung)

No. Jenis Ternak

Manajemen Kotoran Ternak

Model I Model II

%MMS Nex Nadj %MMS Nex Nadj

1. Kerbau DL 10 40 1 - - - Kerbau Kerja Jantan Dewasa DL - - - 10 40 1 Betina Dewasa DL - - - 10 40 1 Pedet Betina DL - - - 10 40 0,3 Betina Muda DL - - - 10 40 0,6 Pedet Jantan DL - - - 10 40 0,3 Kerbau Potong Jantan Dewasa DL - - - 100 40 1 Betina Dewasa DL - - - 100 40 1 Pedet Betina DL - - - 100 40 0,3 Betina Muda DL - - - 100 40 0,6 Pedet Jantan DL - - - 100 40 0,3 Jantan Muda DL - - - 100 40 0,6 2. Sapi Perah KE 10 60 1 10 60 1 DL 80 60 1 80 60 1 3. Kuda KE 30 40 1 30 40 1 DL 60 40 1 60 40 1 SS 10 40 1 10 40 1 4. Babi LA 100 16 1 100 16 1 5. Domba KE 50 12 1 50 12 1 6. Kambing KE 50 40 1 50 40 1 7. Unggas MDL 30 0,6 1 30 0,6 1 MTL 70 0,6 1 70 0,6 1 8. Sapi Potong KE 10 40 1 - - - - - - DL 90 40 1

(19)

38 Lanjutan Tabel 11. Brahman Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Pedet Jantan KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Brangus Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Pedet Jantan KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Limosin Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Pedet Jantan KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 PO Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6

No. Jenis Ternak

Manajemen Kotoran Ternak

Model I Model II

(20)

39 Pedet Jantan KE DL - - - - - - 10 90 40\ 40 0,3 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Simbra Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Pedet Jantan KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Simental Jantan Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Betina Dewasa KE - - - 10 40 1 DL - - - 90 40 1 Pedet Betina KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Betina Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6 Pedet Jantan KE - - - 10 40 0,3 DL - - - 90 40 0,3 Jantan Muda KE - - - 10 40 0,6 DL - - - 90 40 0,6

Ket. : KE : Kompos Ekstensif, DL : Dry Lot, SS : Solid Storage, LA : Laguna Anaerob, MDL : Manur dengan Litter, MTL : Manur Tanpa Litter.

Berdasarkan faktor emisi di atas dihitung emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen manur dengan menggunakan rumus Nm = (Populasi x

(Nex x Nadj) x (%MMS/100)) kemudian L(N2O)dir =

(Nm*EF*(44/28))/1.000.000 di mana EF adalah faktor emisi. Nilai EF baik pada

model I maupun model II sama yaitu untuk sapi potong, sapi perah, kerbau, kuda, kambing, domba dan unggas dengan manajemen manur dengan litter memiliki EF senilai 0,02 sedangkan untuk babi EF senilai 0,001 dan unggas dengan manur tanpa litter memiliki nilai EF senilai 0,005.

Lanjutan Tabel 11.

No. Jenis Ternak

Manajemen Kotoran Ternak

Model I Model II

(21)

40

Emisi Dinitrogen Oksida Tidak Langsung dari Manajemen Manur

Emisi tidak langsung merupakan hasil dampak negatif dari nitrogen volatile (Nitrogen yang mudah menguap) yang terjadi terutama dalam bentuk amonia dan NOx. Fraksi nitrogen organik diekskresikan yang termineralisasi untuk nitrogen amonia selama pengumpulan kotoran ternak dan penyimpanan tergantung terutama pada waktu, dan dengan peningkatan suhu yang lebih rendah. Bentuk nitrogen organik sederhana seperti urea (pada mamalia) dan asam urat (pada unggas) dengan cepat termineralisasi untuk nitrogen amonia, yang sangat volatile dan mudah menyebar ke udara sekitarnya (Asman et al., 1998; Monteny dan Erisman, 1998). Dalam memperkirakan jumlah nitrogen dari kotoran ternak yang sebagian besar untuk pupuk kandang, atau untuk digunakan dalam pakan, bahan bakar, atau keperluan konstruksi maka diperlukan untuk mengurangi jumlah total nitrogen yang dikeluarkan oleh ternak yang dikelola oleh sistem kehilangan N melalui volatilisasi (yaitu, NH3, N2 dan NOx), konversi ke N2O dan kehilangan N melalui pencucian

(Run off/leached) dan limpasan. Faktor emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur disajikan pada Tabel 12 dan Tabel 13.

Tabel 12. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung/Indirect

dari Manajemen Manur Menggunakan Model I No. Jenis

Ternak %PRP Nex Nadj EF FNv EFv FNIr EFIr

1. Sapi Potong 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 2. Sapi Perah 10 60 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 3. Kerbau 90 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 4. Kuda 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 5. Kambing 50 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 6. Domba 50 12 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 7. Babi 0 16 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 8. Unggas 0 0,6 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

Perhitungan emisi dinitrogen oksida dari manejemen manur dimulai dengan menghitung nilai Nm di mana rumus yang digunakan adalah Nm = (Populasi x (Nex

(22)

41 menggunakan model I maupun model II adalah ternak kerbau yaitu 100. Persentase PRP merupakan manajemen manur yang biasa dilakukan dengan menggembalakan ternak di ladang pastura. Pada penelitian ini diestimasikan bahwa seluruh ternak kerbau di Provinsi Jawa Barat menggunakan sistem semi intensif. Hal ini berdasarkan skripsi Robbani (2009) yang dalam skripsinya menyatakan bahwa ternak Kerbau di Bogor mayoritas menggunakan sistem semi intensif. Pada perhitungan model II nilai PRP untuk sapi potong pada setiap jenis bangsa dan usia, unggas, kuda dan babi bernilai sama yaitu 0. Kerbau potong untuk semua jenis umur memiliki PRP yang bernilai sama yaitu 0 sedangkan untuk kerbau kerja pada umur dewasa (jantan dan betina) memiliki PRP yang bernilai sama yaitu 90 sedangkan ternak muda dan pedet memiliki PRP bernilai 0. Hal ini dikarenakan untuk setiap ternak potong baik sapi, unggas, babi maupun kerbau dan ternak kuda tidak dikandangkan di pastura, ternak-ternak tersebut dikandangkan secara intensif. Sedangkan untuk ternak kerja dengan usia dewasa, sebagian besar pemeliharaannya digembalakan di ladang pastura.

Nilai Nex tertinggi baik pada model I maupun model II terdapat pada sapi perah yaitu bernilai 60. Sedangkan Nex terendah baik pada model I maupun model II terdapat pada ternak unggas yaitu bernilai 0,6. Nilai EF, FNv, EFv, FNIr dan EFIr untuk semua jenis ternak bernilai sama yaitu berturut-turut 0,02; 0,2; 0,01; 0,3. 0,0075. Hal ini dikarenakan nilai EF, FNv, EFv, FNIr dan EFIr merupakan nilai default-IPCC.

Kemudian dilakukan perhitungan emisi dinitrogen oksida tidak langsung dari manajemen manur yaitu menggunakan rumus L(N2O) = L(N2O)Ir + L(N2O)Ndep + L(N2O)dir di mana L(N2O)Ndep = (Nm x FNv x Efv x (44/28))/1.000.000; L(N2O)Ir = (Nm x FN Ir x EF Ir x (44.28))/1.000.000 dan L(N2O)dir = (Nm x Ef x (44/28))/1.000.000. Nilai EF, FNv, Efv, FN Ir, Ef Ir yang terdapat pada model I

maupun pada model II untuk tiap jenis ternak sama. Jadi, yang menentukan besarnya emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur adalah nilai Nm.

(23)

42 Tabel 13. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung/Indirect

dari Manajemen Manur Menggunakan Model II

No. Jenis Ternak %PRP Nex Nadj EF FNv EFv FNIr EFIr 1. Sapi Potong Brahman Jantan Dewasa 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Brangus Jantan Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Limosin Jantan Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 PO Jantan Dewasa 30 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 30 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 30 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 30 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 30 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 30 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Simbra Jantan Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Simental Jantan Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 2. Sapi Perah 10 60 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

(24)

43 Lanjutan Tabel 13.

No. Jenis Ternak %PRP Nex Nadj EF FNv EFv FNIr EFIr 3. Kerbau Kerbau kerja Jantan Dewasa 90 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 90 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Kerbau Potong Jantan Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Dewasa 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Betina 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Betina Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Pedet Jantan 0 40 0,3 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 Jantan Muda 0 40 0,6 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 4. Kuda 0 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 5. Babi 0 16 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 6. Domba 50 12 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 7. Kambing 50 40 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075 8. Unggas 0 0,6 1 0,02 0,2 0,01 0,3 0,0075

Emisi Gas Rumah Kaca di Provinsi Jawa Barat

Setelah melalui perhitungan populasi dikalikan dengan faktor emisi di atas maka diperoleh nilai emisi gas rumah kaca di Provinsi Jawa Barat. Pada penelitian ini digunakan populasi Jawa Barat Tahun 2004-2008 dengan rumus yang ada di metode. Hasil perhitungan emisi metan dari fermentasi enterik dan manajemen manur berdasarkan tiap jenis ternak disajikan oleh Tabel 14.

Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa pada model I emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi dimiliki oleh ternak domba yaitu sebesar 24,9 Gg CH4.

Kualitas pakan yang diberikan ke domba masih rendah sehingga menghasilkan emisi metan yang tinggi. Pada model II emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi dimiliki oleh ternak sapi potong yaitu sebesar 30,5 Gg CH4 karena pada ternak sapi

potong faktor emisi yang tinggi dimiliki oleh ternak dewasa baik jantan maupun betina di mana populasi ternak dewasa baik jantan maupun betina di Provinsi Jawa Barat jauh lebih tinggi dari pada ternak muda dan pedet.

(25)

44 Tabel 14. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur untuk Tiap

Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008

No. Jenis ternak

Emisi (ton CH4)

Fermentasi Enterik Manajemen Manur Total

Model I Model II Model I Model II Model I Model II

1 Sapi Potong 12,7 30,5 0,6 0,6 13,3 31,1 2 Sapi Perah 4,6 13,6 2,2 0,5 6,8 14,1 3 Kerbau 8,0 10,4 0,4 0,4 8,4 10,8 4 Kuda 0,2 0,2 0,0 0,0 0,2 0,2 5 Kambing 7,0 7,0 0,3 0,3 7,3 7,3 6 Domba 24,9 24,9 1,0 1,0 25,9 25,9 7 Babi 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 8 Ayam Buras 0,0 0,0 0,1 0,1 0,1 0,1 9 Ayam Ras Petelur 0,0 0,0 0,2 0,2 0,2 0,2 10 Ayam Ras Pedaging 0,0 0,0 0,2 0,2 0,2 0,2 11 Itik 0,0 0,0 0,2 0,2 0,2 0,2 Total 56,4 86,6 5,4 3,7 61,8 90,3

Hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh Lampiran 20 untuk daerah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 yang memiliki emisi metan dari fermentasi enterik tertinggi menggunakan model II adalah Kabupaten Garut yaitu sebesar 8,697 Gg CH4 dengan populasi ternak tertinggi adalah ternak domba yaitu sebesar 2,948

Gg CH4. Perhitungan menggunakan Model I emisi tertinggi terdapat pada Kabupaten

Karawang yaitu sebesar 7,55 Gg CH4 dengan populasi ternak penghasil metan

tertinggi adalah ternak domba yaitu sebesar 4,35 Gg CH4.

Berdasarkan Tabel 14 emisi metan dari manajemen manur tertinggi pada model I adalah sapi perah sebesar 2,2 Gg CH4 sedangkan pada model II emisi

tertinggi adalah domba sebesar 1,0 Gg CH4. Pada model I emisi tertinggi adalah sapi

perah karena manajemen manur di Provinsi Jawa Barat masih sangat sederhana, peternak biasanya hanya menumpuk kotoran sapi perah ataupun mengalirkan kotoran sapi perah. Ada juga yang memanfaatkan kotoran sapi perah menjadi pupuk. Karena

(26)

45 produksi kotoran sapi perah yang cukup tinggi pada umumnya peternak hanya menumpuk kotoran ternak sehingga menjadi pupuk. Selain itu, pada model II faktor emisi tertinggi dimiliki oleh ternak domba. menggembalakan domba di ladang pastura dan sebagian peternak ada yang memanfaatkan kotoran domba menjadi kompos secara ekstensif. Tingginya emisi metan dari ternak domba juga dikarenakan populasi ternak domba di Provinsi Jawa Barat yang cukup tinggi.

Hasil perhitungan yang ditunjukkan oleh Lampiran 21 untuk daerah di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2008 yang memiliki emisi metan dari manajemen manur tertinggi adalah Kabupaten Bandung baik model I maupun model II yaitu sebesar 0,88 Gg CH4 di mana ternak yang menghasilkan emisi metan tertinggi adalah

ternak sapi perah yaitu sebesar 0,73 Gg CH4 (pada model I) dan 0,18 Gg CH4 (pada

model II). Kabupaten Bandung memiliki ternak sapi perah yang tinggi dikarenakan udara di Kabupaten Bandung sangat cocok untuk beternak sapi perah. Tetapi hal ini tidak diimbangi dengan manajemen manur yang baik yaitu hanya mengalirkan manur dan menumpuknya saja. Ada beberapa peternak yang sudah memanfaatkan manur menjadi bahan baku biogas. Hal ini berdasarkan hasil wawancara dengan peternak di Pengalengan, Bandung. Penurunan dan kenaikan emisi metan ditunjukkan oleh Gambar 4 dan Gambar 5.

Gambar 4. Grafik Emisi Metan dari Fermentasi Enterik Tahun 2004-2008 Menggunakan Model I dan Model II

(27)

46 Gambar 5. Grafik Emisi Metan dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II

Berdasarkan Gambar 4 dan Gambar 5 emisi metan dari fermentasi enterik lebih tinggi daripada manajemen manur. Dari tahun 2004 sampai tahun 2008 emisi metan terus meningkat baik yang berasal dari fermentasi enterik maupun yang berasal dari manajemen manur. Emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan model I lebih rendah daripada menggunakan model II sedangkan emisi metan dari manajemen manur menggunakan model I lebih tinggi daripada perhitungan menggunakan model II.

Emisi dinitrogen oksida di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 rumus-rumus yang dijelaskan di metode penelitian didapatkan hasil emisi dinitrogen oksida untuk tiap jenis ternak yang disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 menunjukkan bahwa emisi dinitrogen oksida secara langsung dari manajemen manur tertinggi dihasilkan oleh ternak sapi perah dengan menggunakan model I adalah ternak domba yaitu sebesar 1,0 Gg N2O sedangkan pada model II emisi dinitrogen oksida secara langsung dari

manajemen manur tertinggi dihasilkan oleh ternak ayam ras petelur . Ternak domba menghasilkan feces yang mengandung N yang tinggi. Hal ini sesuai dengan default IPCC bahwa ternak yang menghasilkan N tertinggi adalah ternak domba. Ternak ayam ras petelur memiliki populasi yang cukup tinggi dan lama pemeliharaan tahunan serta ternak ayam ras petelur menghasilkan feses yang cukup tinggi sehingga memiliki kandungan N yang cukup tinggi. Selain itu ayam ras petelur selama seminggu awal pemeliharaan menggunakan litter yang menghasilkan emisi

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 2004 2005 2006 2007 2008 Model I Model II

(28)

47 dinitrogen oksida tambahan. Emisi N2O dari manur dengan bedding/litter lebih tinggi

dari pada emisi N2O dari manur tanpa bedding/litter.

Tabel 15. Emisi Dinitrogen Oksida untuk Tiap Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008

No Jenis ternak

Emisi N2O dari Manajemen Manur (ton N2O)

Direct (Langsung) Indirect (Tidak langsung)

Total Model I Model II Model I Model II Model

I Model II 1 Sapi Potong 0,3 0,2 0,0 0,0 0,3 0,2 2 Sapi Perah 0,1 0,1 0,0 0,0 0,1 0,1 3 Kerbau 0,0 0,1 0,2 0,1 0,2 0,2 4 Kuda 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 5 Kambing 0,9 0,9 1,1 1,1 2,0 2,0 6 Domba 0,9 0,9 1,1 1,1 2,0 2,0 7 Babi 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 8 Ayam Buras 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 9 Ayam Ras Petelur 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 10 Ayam Ras Pedaging 0,1 0,1 0,0 0,0 0,1 0,1 11 Itik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 Total 2,6 2,5 2,4 2,3 5,0 4,8

Berdasarkan perhitungan emisi dinitrogen oksida secara langsung (direct) dari manajemen manur yang terdapat pada Lampiran 22 menunjukkan bahwa daerah yang menghasilkan emisi dinitrogen oksida secara langsung tertinggi baik menggunakan model I maupun model II terdapat pada Kabupaten Karawang yaitu sebesar 0,51 Gg N2O dengan jenis ternak penghasil emisi dinitrogen oksida tertinggi

adalah ternak kambing yaitu sebesar 0,30 Gg N2O. Manur kambing mengandung N

yang cukup tinggi. Hal ini berdasarkan Tabel 1 yang menyatakan bahwa Nrata-rata tahunan tertinggi pada ternak kambing. Pada Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 terdapat populasi ternak kambing yang cukup tinggi yang tidak diimbangi dengan

(29)

48 manajemen manur yang baik. Manur kambing pada umumnya dijadikan kompos secara ekstensif.

Tabel 15 menunjukkan bahwa emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur tertinggi dimiliki oleh ternak kambing yaitu sebesar 0,37 Gg N2O (pada model I dan model II). Hal ini dikarenakan selain populasi ternak

kambing yang cukup tinggi, manajemen manur kambing mayoritas digembalakan di ladang pastura. Nilai Nrata-rata tahunan domba berdasarkan default-IPCC juga cukup tinggi. Sebagian besar peternak tidak mengolah kotoran ternak sehingga kotoran ternak bereaksi dengan tanah dan menghasilkan emisi dinitrogen oksida.

Berdasarkan perhitungan emisi dinitrogen oksida secara tidak langsung dari manajemen manur terdapat pada Lampiran 23 menunjukkan bahwa daerah yang menghasilkan emisi dinitrogen oksida tertinggi baik menggunakan model I maupun model II terdapat pada Kabupaten Karawang yaitu sebesar 0,57 Gg N2O dengan jenis

ternak penghasil emisi dinitrogen oksida tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebesar 0,37 Gg N2O. Sebagian peternak menggembalakan kambing sehingga feces

kambing langsung jatuh di lahan penggembalaan dan menghasilkan emisi dinitrogen oksida yang cukup tinggi.

Gambar 6 menunjukkan emisi N2O tertinggi berasal dari manajemen manur

secara langsung menggunakan model II dan terendah berasal dari manajemen manur secara tidak langsung menggunakan model II. Emisi N2O dari manajemen manur

secara langsung dan tidak langsung terus meningkat dari tahun 2004 sampai tahun 2008. Perhitungan emisi N2O secara langsung dan tidak langsung dari manajemen

(30)

49 Gambar 6. Grafik Emisi N2O dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II

Emisi total di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 didapatkan dari penjumlahan emisi metan dan emisi dinitrogen oksida. Sebelumnya emisi metan dan emisi dinitrogen oksida dikonversikan menjadi karbon. Setiap gas rumah kaca mempunyai potensi pemanasan global (Global Warming Potential - GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai satu. Indeks GWP

mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan pemanasan global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar infra merah. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak. Menurut IPCC (2001) indeks GWP untuk CH4 dan N2O masing-masing sebesar 23

dan 296. Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH4

maupun N2O selama 100 tahun di atmosfer. Sebagai dasar penilaian fluks CH4 dan

N2O pada peternakan digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari

hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya. Pada penelitiam ini konversi metan dan dinitrogen oksida ke karbon menggunakan indeks GWP dimana satu GWP sama dengan satu karbon sehingga pengali untuk CH4 dan N2O

masing-masing sebesar 23 dan 296. Setelah dikonversi ke karbon didapatkan hasil emisi total dalam satuan gigagram karbon berdasarkan jenis ternak menggunakan model I dan model II yang dihasilkan dengan Tabel 16. Emisi total berdasarkan sumber emisi disajikan pada Tabel 16.

(31)

50 Berdasarkan Tabel 16 penghasil emisi tertinggi dimiliki oleh ternak domba baik pada model I maupun model II yaitu sebesar 1.211,5 Gg CO2 sedangkan emisi

terendah dimiliki ternak babi menggunakan perhitungan model I maupun model II yaitu sebesar 3,7 Gg CO2 . Pada ternak unggas untuk penghasil emisi tertinggi adalah

ternak ayam ras petelur baik menggunakan model I maupun model II yaitu sebesar 22,5 Gg CO2. Emisi terendah pada model I maupun model II dimiliki oleh ternak

ayam buras yaitu sebesar 14,2 Gg CO2.

Tabel 16. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008

No Jenis ternak Emisi (Gg CO2)

Model I Model II Total

1. Sapi Potong 384,3 793,3 1.177,6 2. Sapi Perah 193,3 360,0 553,3 3. Kerbau 227,7 298,0 525,7 4. Kuda 6,1 6,1 12,2 5. Kambing 740,7 740,7 1.481,4 6. Domba 1.211,5 1.211,5 2.423,0 7. Babi 3,7 3,7 7,4 8. Ayam Buras 14,2 14,2 28,4

9. Ayam Ras Petelur 22,5 22,5 45,0

10. Ayam Ras Pedaging 14,6 14,6 29,2

11. Itik 17,3 17,3 34,6

Total 2.835,8 3.481,8 6.317,6

Tabel 17 menunjukkan bahwa penghasil emisi tertinggi dihasilkan dari emisi metan yang berasal dari fermentasi enterik baik menggunakan model I maupun model II. Setelah dikonversi menjadi bentuk karbon emisi tertinggi menggunakan model I dihasilkan dari emisi dinitrogen oksida secara langsung (direct) dari manajemen manur sedangkan bila menggunakan model II emisi tertinggi dihasilkan dari emisi metan yang berasal dari fermentasi enterik. Emisi total yang sudah dikonversi ke dalam bentuk karbon menggunakan perhitungan model I sebesar 2.835,8 Gg CO2 sedangkan menggunakan perhitungan model II sebesar 3.481,8 Gg

(32)

51 CO2. Hal ini menunjukkann bahwa default-IPCC (model I) lebih rendah estimasinya

daripada perhitungan enhanced (model II).

Tabel 17. Emisi Total Berdasarkan Sumber Emisi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008

No . GRK Model I Persen (%) Model II Persen (%) 1. Metan Fermentasi Enterik (Gg CH4) 56,4 - 86,6 - Manajemen Manur (Gg CH4) 5,4 - 3,7 - 2. Dinitrogen oksida Direct/langsung (Gg N2O) 2,4 - 2,5 - Indirect/tidak langsung (Gg N2O) 2,4 - 2,3 -

Setelah dikonversi ke dalam satuan Gg CO2

1. Metan Fermentasi Enterik 1.297,6 45,8 1.991,1 57,2

Manajemen Manur 124,2 4,3 84,2 2,4 2. Dinitrogen oksida Direct (langsung) 705,3 24,9 727,4 20,9 Indirect (tidak langsung) 708,8 25,0 679,2 19,5 Total 2.835,8 100,0 3.481,8 100,0

Persentase emisi metan dengan dinitrogen oksida berdasarkan perhitungan menggunakan model I dan model II di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Persentase Emisi Total Tahun 2008 Menggunakan Model I dan Model II Metan Dinitrogen Oksida Model II Model I Model II 40% % 60% % 50% % 50% %

(33)

52 Gambar 7 menunjukkan bahwa persentase emisi metan lebih besar daripada dinitrogen oksida. Pada emisi metan baik menggunakan model I (default-IPCC) maupun model II (enhanced) dan emisi dinitrogen oksida menggunakan model II (enhanced) pada tahun 2008 memiliki persentase yang sama. Emisi tertinggi dicapai oleh emisi metan walaupun dinitrogen oksida dikonversi dalam bentuk karbon jauh lebih besar daripada metan ke dalam bentuk karbon. Hal ini dikarenakan emisi dinitrogen oksida yang dihasilkan jauh lebih rendah daripada emisi metan yang dihasilkan. Tabel 18 menujukkan bahwa kabupaten tertinggi penghasil emisi adalah Kabupaten Karawang yaitu sebesar 502,59 Gg CO2 (pada model I) dan 525,56 Gg

CO2 (pada model II) sedangkan emisi terendah dimiliki oleh Kota Cirebon yaitu

sebesar 1,91 Gg CO2 (pada model I) dan 2,41 Gg CO2 (pada model II). Hal ini

menunjukkan bahwa Kabupaten Karawang sebaiknya melakukan perbaikan manajemen peternakan agar emisi yang dihasilkan dapat ditekan.

Tabel 18. Emisi Total dalam Satuan Gg CO2 Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa

Barat Tahun 2008 Menggunakan Model I dan Model II

No Kabupaten/Kota Emisi Total dalam Gg CO2

Model I Model II 1 Kab. Bogor 177,33 221,66 2 Kab. Sukabumi 205,13 243,99 3 Kab. Cianjur 167,52 213,24 4 Kab. Bandung 171,10 253,34 5 Kab. Garut 272,70 332,60 6 Kab. Tasikmalaya 147,67 196,33 7 Kab. Ciamis 168,48 220,47 8 Kab. Kuningan 81,31 118,14 9 Kab. Cirebon 56,16 61,79 10 Kab. Majalengka 87,89 104,19 11 Kab. Sumedang 125,11 187,96 12 Kab. Indramayu 102,64 120,09 13 Kab. Subang 150,01 191,23 14 Kab. Purwakarta 227,84 257,86

(34)

53 15 Kab. Karawang 502,59 525,56 16 Kab. Bekasi 124,73 147,49 17 Kota Bogor 10,29 12,28 18 Kota Sukabumi 3,64 4,64 19 Kota Bandung 6,07 8,63 20 Kota Cirebon 1,91 2,41 21 Kota Bekasi 8,93 11,29 22 Kota Depok 14,30 18,00 23 Kota Cimahi 3,77 4,93 24 Kota Tasikmalaya 8,89 12,87 25 Kota Banjar 9,82 10,94 Jawa Barat 2.835,85 3.481,93

Tindakan Mitigasi yang Sudah Dilakukan Peternak Jawa Barat

Mitigasi merupakan tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan untuk meningkatkan penyimpanan karbon dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Mitigasi gas rumah kaca dari usaha peternakan antara lain: melakukan kontrol terhadap perubahan penggunaan lahan dari ekstensif ke intensif, perbaikan kualitas ternak secara genetik, perbaikan manajemen perkandangan dan peralatan serta perbaikan manajemen pakan, tanaman pakan ternak, dan pastura. Hal-hal yang dilakukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca antara lain dengan meningkatkan teknologi pakan, pengembangan spesies yang adaptif terhadap lahan marjinal, pengawetan/penyimpanan C dan N pada pastura dan tanah pertanian, meningkatkan tanaman peneduh dan tanaman pagar pada peternakan dan sistem rotasi pastura. Emisi yang dihasilkan dari proses fermentasi enterik dapat diturunkan dengan memperbaiki formulasi pakan yang ditunjang dengan teknologi pakan dan dengan manipulasi kondisi rumen.

Lanjutan Tabel 18.

No Kabupaten/Kota Emisi Total dalam Gg CO2

(35)

54 Berdasarkan hasil wawancara 33,33% peternak menggunakan mineral mix berupa urea molasses block dan tanaman legume yaitu kaliandra sebagai pakan tambahan. Suplementasi dengan UMB/Feed Block dapat meningkatkan efesiensi pencernaan fermentasi yang kemudian menurunkan produksi gas metana sampai 30-50% dari energi tercerna. Peternak memberikan pakan tambahan berupa mineral mix ketika ternak sakit dan dapat digunakan untuk menggemukkan ternak ataupun ketika ingin menambah produksi susu ternak. Peternak PT. Lembu Jantan Perkasa memberikan tambahan berupa kapur dan mineral mix berupa urea molasses block untuk meningkatkan produktivitas ternak sapi potong.

Berdasarkan hasil wawancara 50% peternak sapi perah Pengalengan-Bandung memberikan pakan leguminosa berupa Kaliandra (Caliandra calotirtus). Alasan peternak menggunakan kaliandra sebagai pakan tambahan untuk memperbaiki produksi susu sapi. Kaliandra telah diperkenalkan sebagai tambahan pakan ternak oleh Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sejak tahun 1980. Kaliandra merupakan salah satu leuguminosa pohon atau semak yang memiliki beberapa spesies, satu diantaranya yang paling banyak dikenal adalah jenis kaliandra bunga merah (Calliandra calothyrsus). Peternak umumnya memberikan daun kaliandra dalam bentuk segar karena lebih disukai ternak, tetapi kadang kala dilayukan dahulu untuk menurunkan kadar tanninnya (Jayadi, 1991). Kadar tannin pada daun kaliandra cukup tinggi yaitu sekitar 8% sehingga peternak disarankan untuk melayukan daun kaliandra sebelum diberikan ke ternak. Mekanisme penghambatan produksi metan pada ternak ruminansia oleh senyawa tannin digagas oleh Tavendale et. al (2005) yakni: secara langsung melalui penghambatan pada pencernaan serat yang mengurangi produksi H2 dan secara tidak langsung yaitu dengan menghambat

pertumbuhan dan aktivitas metanogen. Menurut penelitian Thalib (2004) tannin dapat mengurangi produksi gas metan. Semakin tinggi konsentrasi tannin maka produksi CH4 akan menurun. Selain itu daun kaliandra merupakan protein baik bagi

ternak ruminansia karena mengandung 20%-25% protein kasar yang sangat bermanfaat bagi peningkatan produktivitas ternak. Selain digunakan sebagai hijauan pakan ternak, kaliandra juga banyak dimanfaatkan sebagai kayu bakar, produksi lebah madu, dan untuk konservasi lahan marginal. Kebanyakan tanaman kaliandra

(36)

55 dimanfaatkan sebagai tanaman untuk konservasi tanah marginal seperti tepi sungai, hutan, jalan, atau daerah lahan kritis yang ditumbuhi alang-alang (Jayadi, 1991).

Feed Block Supplement (Urea Molasses Block/UMB) merupakan pakan tambahan yang paling digemari oleh peternak karena dapat meningkatkan produktivitas ternak. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya pertambahan bobot badan dan produksi susu. Biasanya UMB diberikan dalam bentuk permen di mana ternak akan menjilat-jilat permen yang digantung ketika sapi merasa membutuhkan suplemen pakan. Ternak membutuhkan suplemen pakan ketika kualitas pakan kurang dari kebutuhan hidupnya. Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia, khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang-kadang diberi protein by-pass (Tolleng, 2002). Hartati (1998) melaporkan bahwa pemberian urea dapat menurunkan emisi gas metana dari 0,84 kg menjadi 0,126 kg per kg PBB. Selanjutnya dijelaskan bahwa, dari berbagai laporan hasil uji coba di berbagai negara, dapat dilihat bahwa pakan blok ini dapat meningkatkan produktivitas maupun tingkat reproduksi pada ternak ruminansia. Dari aspek produksi, blok ini dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, dan produksi susu. Dari aspek reproduksi, blok ini dapat mempercepat munculnya berahi pertama setelah melahirkan dan dapat meningkatkan angka kebuntingan.

Sekitar 83,33% peternak yang diwawancarai telah melakukan tindakan mitigasi dengan memanfaatkan kotoran ternak menjadi pupuk kandang sedangkan yang memanfaatkan kotoran ternak menjadi bahan baku biogas sekitar 66,67%. Sebenarnya dengan membiarkan begitu saja di kandang, dalam waktu tertentu, kotoran ternak akan berubah menjadi pupuk kandang (Setiawan, 1996). Pemanfaatan kotoran ternak dijadikan pupuk kandang terdiri dari dua jenis yaitu pupuk kandang dengan kompos ekstensif (secara periodik/jarang) dan pupuk kandang dengan kompos intensif (setiap hari). Pemanfaatan kotoran ternak menjadi pupuk kandang dapat mengurangi emisi metan dan dinitrogen oksida karena pupuk kandang merupakan upaya untuk menjaga kandungan bahan organik dalam tanah. Selain itu kotoran ternak dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku biogas dikarenakan kotoran ternak dominan akan bahan organik. Limbah organik ini dengan pengolahan

(37)

56 teknologi sederhana dapat diupayakan menghasilkan gasbio, dimana gas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar menggunakan kompor gas seperti lazimnya pemanfaatan gas LPG (Setiawan, 1996). Menurut Harahap et al. (1978) produksi gasbio dapat digunakan untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es. Berdasarkan hasil wawancara, selain dimanfaatkan sebagai bahan bakar, biogas juga dimanfaatkan sebagai penerangan.

Referensi

Dokumen terkait

Metode dalam penelitian ini adalah non-eksperimen, sedangkan proses pengambilan data dilakukan dengan memberikan angket tentang kecemasan Sport Competition Anxiety

Bandawasa sebagai kota kabupaten daerah tingkat II Banda- wasa, Propimi Jawa Timur terletak di jalur jalan antara Kota Besuki dengan Jernber dan antara Jember dengan

PENILAIAN KINERJA GURU KELAS/MATA PELAJARAN LAMPIRAN A S22aA. Waktu penilaian JANUARI s/d DESEMBER

Peradangan peritoneum merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ- organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi

Teman-teman seperjuangan penulis ; Desy, Steffie, Bunga, Evelyn, Sandy, Bima, Anda, Alya, Nora, Mitha, Robby, dan teman-teman penulis lainnya yang telah memberikan pendapat,

December 26, 2005, one year since the tsunami roared ashore, 4,708 sur- vivors in West Aceh, in- cluding Meulaboh, are still living in tents.. The tents, meant as emergency aid for

[r]

Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa