• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijabarkan sejumlah teori yang akan menjadi kerangka berpikir dalam melaksanakan penelitian. Penjabaran teori terbagi dalam sejumlah bagian, yaitu tinjauan teori mengenai kewirausahaan, intensi berwirausaha, adversity quotient, dan dimensi-dimensi dari adversity quotient. Selain itu, terdapat pembahasan mengenai profil perusahaan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini. Pada akhir bab ini diuraikan mengenai hubungan antara variabel intensi berwirausaha dan variabel adversity quotient.

2.1. Wirausaha (Entrepreneur)

Pada bagian ini akan dijelaskan hal-hal yang berhubungan dengan wirausaha, seperti definisi wirausaha, dan karakteristik wirausaha.

2.1.1. Definisi Wirausaha

Akar kata kewirausahaan adalah sebuah kata dalam bahasa perancis “entreprendre” yang artinya dalam Bahasa Indonesia “berusaha” atau “mengusahakan” (Astamoen, 2005). Hisrich, Peters, & Shepherd (2008) mendefinisikan kewirausahaan sebagai:

”the process of creating something new with value by devoting the necessary time and effort, assuming the accompanying financial, psychic, and social riks and receiving the resulting rewards of monetary and personal satisfaction and independen” (p.8).

Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah sebuah proses menciptakan atau merealisasikan suatu ide oleh seorang individu, dengan memberdayakan sumber daya yang dimiliki dan dengan mempertimbangkan segala konsekuensinya (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008). Dalam hal ini, dinyatakan bahwa kewirausahaan merupakan perilaku yang dilakukan oleh seseorang, dan seseorang yang melakukan kewirausahaan disebut sebagai wirausaha.

(2)

Zimmerer & Scarborough (2002) mendefinisikan wirausaha sebagai berikut:

“One who creates a new business in the face of risk and uncertainty for the purpose of achieving profit and growth by identifying significant opportunities and assembling the necessary resources to capitalize on them.”

Jika dilihat dari beberapa definisi di atas, peneliti menyimpulkan bahwa wirausaha (entrepreneur) adalah seseorang yang dapat menciptakan, mengatur, dan mengembangkan usaha yang baru dengan mengenali kesempatan dan sumber daya yang mendukung, serta menjalaninya dengan kesiapan menghadapi risiko dan ketidakpastian (Zimmerer & Scarborough, 2002).

2.1.2 Karakteristik Wirausaha

Dalam Zimmerer dan Scarborough (2002), terdapat beberapa karakteristik wirausaha, yaitu:

1. Bertanggung jawab

Wirausaha memiliki pemahaman yang mendalam bahwa mereka memiliki tanggung jawab pribadi untuk mencapai hasil dari usaha yang dimulai. Mereka cenderung mengatur sumber daya yang mereka miliki dengan baik dan menggunakannya untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.

2. Tingkat risiko sedang

Wirausaha melihat sebuah bisnis dengan tingkat pemahaman risiko pribadinya. Dalam hal ini, ia merupakan tipe pengambil risiko yang penuh perhitungan. 3. Merasa yakin dengan kemampuannya untuk sukses

Wirausaha umumnya memiliki keyakinan atas kemampuan mereka untuk berhasil. Mereka cenderung optimis mengenai kesempatan mereka untuk sukses. Tingkat optimisme yang tinggi ini menjelaskan kenapa seorang wirausaha yang berhasil setidaknya pernah gagal lebih dari sekali sebelum mereka benar-benar sukses. Mereka menjadikan kegagalan sebagai sarana untuk belajar agar dapat lebih baik dalam menjalankan bisnis di kemudian hari.

4. Hasrat mendapatkan umpan balik

Wirausaha menikmati tantangan dalam menjalankan bisnis dan mereka senang mengetahui dan mendapatkan umpan balik tentang apa yang mereka kerjakan.

(3)

5. Memiliki daya kerja yang tinggi

Wirausaha lebih energik dibandingkan dengan orang-orang pada umumnya. Daya kerja yang tinggi ini menjadi faktor yang penting dan dibutuhkan dalam merintis suatu usaha.

6. Orientasi masa depan

Wirausaha memiliki kemampuan yang baik dalam membaca peluang. Mereka lebih fokus kepada apa yang akan mereka lakukan daripada apa yang sudah mereka kerjakan sebelumnya.

7. Kemampuan mengorganisir

Wirausaha harus pandai menempatkan orang yang tepat agar dapat melakukan tugas dengan sempurna. Kemampuan mengorganisir antara sumber daya manusia dan tugas yang dikerjakan secara efektif dapat membantu wirausaha dalam mewujudkan visinya.

8. Menilai prestasi bukan sekedar dari uang

Bagi wirausaha, uang hanyalah simbol dari pencapaian, yang lebih penting dalam memotivasi wirausaha untuk terus maju adalah pencapaian prestasi 9. Komitmen yang tinggi

Kewirausahawan adalah kerja keras, dan agar sukses dalam menjalankan suatu bisnis atau usaha, seorang wirausahawan harus memiliki komitmen penuh. Oleh karena itu, untuk memunculkan suatu usaha yang baru dan menjalankannya dibutuhkan wirausaha yang memiliki komitmen yang tinggi. 10. Toleransi terhadap ambiguitas

Wirausaha cenderung memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap keadaan yang tidak pasti serta situasi yang selalu berubah dalam lingkungan mereka beraktivitas.

11. Fleksibilitas

Salah satu faktor penting dari wirausaha adalah kemampuannya untuk beradaptasi terhadap tuntutan yang berubah dari bisnis atau para pelanggan. Dengan berubahnya masyarakat kita, orang-orangnya, dan seleranya, para wirausaha juga harus bersedia menyesuaikan bisnisnya untuk memenuhi perubahan-perubahan ini.

(4)

2.2. Adversity Quotient (AQ)

Adversity Quotient (AQ) merupakan satu konsep yang dikemukakan oleh Paul G. Stoltz (2000) mengenai kualitas pribadi yang dimiliki oleh seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang hidupnya. Stoltz (2000) menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Dalam hal ini, kesuksesan seseorang dalam pekerjaan dan sebagian besar kehidupan ditentukan oleh Adversity Quotient. Sebagai sebuah teori ilmiah, Adversity Quotient memiliki definisi dan dimensi-dimensi yang menyusunnya.

2.2.1. Definisi Adversity Quotient

Adversity Quotient (AQ) menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi keadaan sulit (adversity) dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan yang tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan. Stoltz (2000) menjelaskan Adversity Quotient secara ringkas sebagai :

“hardwired pattern of response to all and magnitudes of adversity, from major tragedies to minor annoyances” (Stoltz, 2000: 3).

Berdasarkan pernyataan tersebut, Adversity Quotient didefinisikan sebagai kapasitas manusia dalam bentuk pola-pola respon yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan dan mengarahkan situasi yang sulit, mengakui dan memperbaiki situasi yang sulit, mempersepsikan jangkauan situasi yang sulit dan mempersepsikan jangka waktu terjadinya kesulitan di berbagai aspek dalam hidupnya. Konsep ini merupakan satu kerangka kerja yang dapat diukur karena memiliki alat yang dikembangkan dengan dasar ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan dan memahami aspek-aspek dari kesuksesan seseorang dalam merespon keadaan sulit.

(5)

2.2.2. Dimensi-Dimensi Adversity Quotient

Stoltz (1997) menyatakan bahwa AQ seseorang terdiri dari empat dimensi, yaitu Control (C), Ownership & Origin (O²), Reach (R), dan Endurance (E). Keempat dimensi ini merupakan hasil berbagai penelitian dari tiga cabang ilmu pengetahuan yang membangun konsep AQ. Skor dari keempat dimensi tersebut akan menentukan nilai AQ keseluruhan seseorang. Akan tetapi, berdasarkan hasil penelitian lanjutan yang dilakukan pada dimensi origin dan ownership (O²), Stoltz (2000) menyatakan bahwa yang penting adalah bukan siapa atau apa yang harus disalahkan (origin) tapi lebih pada sejauh apa orang-orang mengambil tanggung jawab terhadap situasi yang sulit (ownership) untuk mengarahkan situasi tersebut menjadi lebih baik (Stoltz, 2000). Pada perkembangan selanjutnya, dimensi yang membetuk AQ menjadi CORE, penjelasannya sebagai berikut :

1. Kendali (Control)

Dimensi ini mempertanyakan seberapa besar kendali individu terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Kontrol atau kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu, apapun itu, dapat dilakukan. Individu dengan skor kontrol yang tinggi mampu mengubah situasi secara positif dan mempunyai kendali yang lebih besar atas kesulitan yang dihadapi. Dalam hal ini, keuletan dan tidak kenal menyerah muncul dari orang dengan skor kontrol yang tinggi. Tidak hanya itu, individu dengan skor kontrol yang tinggi mempunyai tingkat kendali yang kuat untuk bertahan terhadap peristiwa buruk dan dapat menyelesaikannya dengan pendekatan yang lebih efektif.

Di sisi lain, individu dengan skor kontrol yang sedang merespon peristiwa buruk sebagai sesuatu yang sekurang-kurangnya berada dalam kendali dirinya, tergantung dari seberapa sulit masalah yang dihadapi. Individu mungkin tidak mudah menyerah, namun sulit mempertahankan kendali bila dihadapkan pada tantangan yang lebih berat lagi. Sedangkan individu yang memiliki tingkat kontrol yang rendah merasakan ketidakmampuan mengubah situasi, karena merasa peristiwa buruk atau kesulitan yang dialami berada di luar kendalinya. Dalam hal ini, hanya sedikit yang dapat dilakukan untuk mencegah atau membatasi akibat dari kesulitan tersebut. Individu menjadi

(6)

tidak berdaya saat menghadapi kesulitan dan akan menimbulkan pandangan hidup menyerah kepada nasib.

2. Kepemilikan (Ownership)

Dimensi ini mengandung pertanyaan, sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat dari kesulitan. Mengakui akibat yang ditimbulkan oleh kesulitan mencerminkan tanggung jawab dari suatu peristiwa sulit yang dialami, apapun penyebabnya dan berfokus pada usaha mencari solusi. Dimensi ini secara sederhana menyatakan bahwa apabila terjadi sesuatu yang salah, maka seseorang memegang peranan penting dalam memperbaiki keadaan, tanpa memperhatikan kesalahan atau hal-hal yang menjadi penyebab. Maka yang muncul dari diri individu berkaitan dengan dimensi ini adalah rasa percaya, proses belajar, dan kemajuan diri.

Individu dengan AQ tinggi pada dimensi ini merespon kesuksesan sebagai pekerjaan dan kesulitan sebagai sesuatu yang berasal dari dalam dirinya. Individu dengan tingkat ownership yang tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, apapun penyebabnya dan bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu dengan tingkat ownership yang rendah tidak mengakui akibat-akibat dari perbuatan, apapun penyebabnya. Dalam hal ini, individu akan menolak mengakui dengan menghidar diri dari tanggung jawab untuk mengatasi masalah tersebut.

3. Jangkauan (Reach)

Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Semakin rendah jangkauan (reach) seseorang, semakin besar kemungkinan individu menganggap peristiwa buruk sebagai bencana, dengan membuat kesulitan meluas hingga ke bagian-bagian lain dari kehidupan orang tersebut.

Individu dengan reach yang rendah pada umumnya akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang memasuki wilayah lain kehidupannya dan menganggap peristiwa yang baik sebagai sesuatu yang kebetulan dan terbatas jangkauannya. Akibat yang lainnya akan merusak kebahagiaan dan ketenangan

(7)

pikiran ketika berhadapan dengan peristiwa sulit. Sebaliknya semakin besar reach seseorang, semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

Individu dengan skor reach yang sedang merespon peristiwa yang mengandung kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik, namun kadang membiarkan peristiwa itu memasuki wilayah lain dalam kehidupannya. Ketika individu merasa kecewa, mungkin dia akan menganggap kesulitan sebagai bencana, dan menjadikan kesulitan itu lebih meluas dan hebat daripada semestinya. Individu dengan reach tinggi akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif individu menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, dia akan merasa dapat berpikir jernih dan semakin berdaya untuk mengambil tindakan.

4. Daya Tahan (Endurance)

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan, yakni berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu dengan skor endurance yang tinggi akan merespon kesulitan dan penyebabnya sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, cepat berlalu, dan kecil kemungkinannya terjadi lagi. Hal ini akan meningkatkan energi, optimisme, dan kemungkinan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengatasi kesulitan serta tantangan yang lebih besar. Individu dengan skor endurance yang sedang akan merespon peristiwa buruk dan penyebabnya sebagai sesuatu yang berlangsung lama. Terkadang membuat individu menunda mengambil tindakan yang konstruktif.

Individu dengan skor endurance yang rendah pada umumnya menganggap kesulitan atau penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama atau bahkan selamanya. Hal ini akan memunculkan respon perasaan tidak berdaya atau hilang harapan. Individu yang melihat kemampuan diri mereka sebagai penyebab kegagalan (penyebab yang stabil) cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan sebagai usaha (penyebab yang sifatnya sementara) yang mereka lakukan.

(8)

2.2.3. Makna Skor Adversity Quotient

Stoltz (1997) membagi skor Adversity Quotient (AQ) ke dalam tiga golongan, yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Namun, pembagian itu bukan kategorisasi yang mutlak. Pada dasarnya skor AQ terletak di dalam suatu rangkaian nilai (continuum). Pada penelitian ini, dalam rangka memenuhi tujuan penelitian maka peneliti akan membagi skor AQ para partisipan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah.

Orang-orang dengan skor AQ yang tinggi secara garis besar adalah orang-orang yang memiliki kecenderungan untuk mengubah segala kesulitan menjadi suatu peluang (Stoltz, 2000). Mereka memiliki karakteristik tangkas dan gesit sebagai pemecah masalah, berinovasi untuk menemukan solusi, mengambil tantangan yang sulit, berkembang di dalam keadaan yang berubah-ubah, dapat mengambil resiko yang sesuai dengan yang diperlukan, dan mempertahankan kinerja yang terbaik (Stoltz, 2000). Mereka mampu untuk menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai sesuatu yang bersifat sementara, menanggapi masalah sebagai sesuatu yang bersifat spesifik, mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, dan mampu menguasai keadaan yang merugikan dan mengubah keadaan tersebut ke arah yang lebih baik (Stoltz, 1997).

Orang-orang dengan skor AQ yang sedang mencerminkan bahwa mereka sampai dengan taraf tertentu memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menghadapi berbagai tantangan, hambatan dan kesulitan. Mereka juga mengerahkan semua potensi yang mereka miliki untuk mengembangkan diri dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, mereka masih rentan dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang berat. Orang-orang dengan AQ sedang memiliki kemungkinan untuk merasakan kerugian, kekecewaan dan frustasi seiring dengan tingkat kesulitan, tantangan dan hambatan yang bertambah melampaui taraf yang dapat mereka terima (Stoltz, 1997).

Orang-orang dengan skor AQ yang rendag adalah mereka yang cenderung cepat menyerah, merasa kewalahan, dan putus asa pada saat menghadapi kesulitan dan tantangan, mereka tidak memaksimalkan potensi diri dan menghindari situasi dan pekerjaan yang menantang (Stoltz, 2000). Mereka merasa tidak dapat mengendalikan kesulitan atau peristiwa-peristiwa buruk, memandang kesulitan

(9)

sebagai sesuatu yang berlangsung lama, melebih-lebihkan kejadian yang buruk dan membiarkan hal tersebut mempengaruhi hal-hal lain dalam kehidupan (Stoltz,1997).

2.2.4. Adversity Quotient pada Karyawan

Di dalam dunia kerja, Adversity Quotient dapat membantu perusahaan untuk memperkirakan kinerja para karyawannya dan sebagai bahan pertimbangan untuk mempromosikan para karyawannya (Stoltz, 2000). Dalam hal ini, karyawan dengan Adversity Quotient yang tinggi memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan yang memiliki Adversity Quotient rendah (Stoltz, 2000). Selain itu, karyawan yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi juga lebih cepat dipromosikan jabatannya dibandingkan dengan karyawan dengan Adversity Quotient yang rendah.

Tidak hanya itu, karyawan dengan tingkat Adversity Quotient yang tinggi memiliki produktivitas, kreativitas, kesehatan, ketekunan, daya tahan, dan vitalitas yang lebih baik dalam bekerja daripada karyawan yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah (Stoltz, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Yoshiarmand (2003) pada karyawan PT. Tribhakti Inspektama menunjukkan hasil bahwa Adversity Quotient terkait dengan prestasi kerja para karyawan. Dalam hal ini, AQ yang telah dicapai karyawan memegang peranan penting pada prestasi kerja yang dihasilkan. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perusahaan memiliki karyawan yang ber AQ sedang, prestasi kerja yang tinggi dan AQ memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap prestasi kerja karyawan. (Yoshiarmand, 2003)

Lebih lanjut lagi, Adversity Quotient juga berhubungan dengan tingkat performance seseorang. Lazaro (2004) melakukan penelitian mengenai hubungan antara Adversity Quotient dan tingkat performance pada manajer tingkat menengah (middle managers) di Manila. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan tingkat performance pada manajer tingkat menengah di Manila (Lazaro, 2004). Dalam hal ini, manajer-manajer yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang lebih tinggi menunjukkan tingkat performance yang lebih baik pula, begitupula sebaliknya.

(10)

2.3. Intensi Berwirausaha 2.3.1. Definisi Intensi

Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai:

“A person’s location on a subjective probability dimension involving a relation between himself and some action.” (Fishbein & Ajzen: 288)

Definisi di atas menyatakan bahwa intensi merupakan derajat kemungkinan seseorang untuk melakukan suatu tindakan (Fishbein & Ajzen, 1975). Dengan demikian, intensi berperilaku mengarah kepada kemungkinan subjektif seseorang bahwa ia akan menampilkan perilaku tertentu. Berdasarkan teori Ajzen (1991), perilaku ditentukan oleh intensi seseorang untuk menampilkan, atau untuk tidak menampilkan, suatu perilaku. Dalam hal ini, intensi dapat menunjukkan seberapa besar kemauan seseorang untuk berusaha melakukan suatu tingkah laku tertentu. Hisrich, Peters, dan Shepherd (2008) menyatakan:

“Intentions capture the motivational factors that influence a behavior; they are indications of how hard people are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert in order to perform the behavior” (p.58). Dengan kata lain, intensi menggambarkan seberapa besar motivasi seseorang terhadap suatu perilaku dan seberapa besar usaha yang akan dikeluarkan untuk menampilkan perilaku tersebut. Secara singkat, intensi memprediksi perilaku individu. Aturan umum yang berlaku adalah, semakin besar intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, maka semakin besar kemungkinan untuk menampilkan perilaku tersebut (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008).

2.3.2. Intensi Berwirausaha

Seperti yang telah dikemukakan di atas, intensi mengarahkan seseorang kepada kemungkinan subjektif untuk menampilkan perilaku tertentu terhadap suatu objek. Dalam penelitian ini, objek tersebut adalah kewirausahaan. Jadi, intensi berwirausaha dapat disimpulkan sebagai posisi seseorang pada sebuah dimensi kemungkinan subjektif, berkaitan dengan hubungan individu tersebut dengan kewirausahaan. Dalam Hisrich, Peters, dan Shepherd (2008), intensi berwirausaha didefinisikan sebagai:

”The motivational factors that influence individuals to pursue entrepreneurial outcomes” (p. 58)

(11)

Definisi tersebut menjelaskan bahwa intensi berwirausaha merupakan faktor motivasional yang mendorong seseorang menampilkan perilaku tertentu, yaitu dalam hal ini kewirausahaan.

Ajzen (1991) mengajukan suatu model yang dinamakan ”theory of planned behavior” untuk menjelaskan intensi berwirausaha. Di dalam teori ini, intensi ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sikap terhadap perilaku (attitude toward the behavior), norma subjektif (subjective norms), dan kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control). Selain itu, model tersebut juga mempertimbangkan bagaimana faktor budaya dan lingkungan sosial mempengaruhi tingkah laku seseorang (Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Berdasarkan studi lintas budaya mengenai intensi berwirausaha yang dilakukan Linan, Urbano, dan Guerrero (2008), didapat faktor-faktor yang menjadi penyebab dari intensi berwirausaha, yaitu faktor motivasional dan faktor lingkungan. Berdasarkan pendekatan teori planned behavior dari Ajzen (1991), keputusan untuk menampilkan tingkah laku tertentu adalah hasil dari proses rasional yang diarahkan pada suatu tujuan tertentu dan mengikuti urutan berpikir. Dalam hal ini, seseorang mengambil keputusan untuk memulai suatu usaha berdasarkan tiga faktor motivasional, antara lain:

1. Daya tarik pribadi (personal attraction)

Daya tarik pribadi merupakan ketertarikan seseorang pada suatu tingkah laku, atau derajat di mana seseorang memiliki penilaian pribadi yang positif atau negatif dari tingkah laku yang ditampilkan. Dalam hal ini, daya tarik pribadi merupakan ketertarikan seseorang pada tingkah laku berwirausaha, atau evaluasi yang positif atau negatif dalam hal menjadi wirausaha (Ajzen, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008).

2. Kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (perceived behavioral control)

Kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (PBC) adalah persepsi seseorang akan kemampuan dirinya untuk menampilkan tingkah laku. Dalam hal ini, merupakan perpsepsi seseorang terhadap kemudahan dan kesukaran menjadi seorang wirausaha (Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Hal ini merefleksikan persepsi bahwa seseorang akan mampu melakukan dan mengendalikan tingkah laku tersebut, dalam hal ini perilaku berwirausaha.

(12)

3. Norma-norma subjektif (subjective norms)

Norma subyektif berhubungan dengan pengaruh lingkungan sosial terhadap tingkah laku. Dalam hal ini, norma subyektif merupakan persepsi seseorang apakah orang lain yang menjadi acuan akan menyetujui atau menolak suatu tingkah laku (Ajzen, 1991). Orang lain yang menjadi acuan tersebut dapat berasal dari keluarga, teman, atau orang lain yang memiliki pengaruh signifikan. Dikaitkan dengan perilaku wirausaha, norma subyektif berkaitan dengan persepsi seseorang apakah orang lain yang menjadi acuan akan menyetujui atau menolak keputusannya untuk menjadi seorang wirausaha (Ajzen, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008).

Faktor lingkungan (environmental value) sendiri merupakan dinamika sosial dari kewirausahaan, yaitu tingkat penghargaan seseorang terhadap kewirausahaan dalam sebuah komunitas (Bygrave & Minniti, dalam Linan, Urbano, & Guerrero, 2008). Faktor lingkungan tersebut mencakup faktor nilai sosial (social value) dan faktor nilai lingkungan terdekat individu (closer valuation). Seseorang menerima pengaruh dari lingkungan terdekat di sekitarnya, yaitu dapat berhubungan dengan keluarga dan teman-teman, yang dapat mempengaruhi secara langsung kepada persepsi seseorang terhadap pemilihan karir (Linan, 2008, p.261).

Dalam jurnalnya, Linan (2008) menambahkan faktor kemampuan wirausaha (entrepreneurial skill) ke dalam teori planned behavior untuk membahas intensi berwirausaha. Kemampuan berwirausaha tersebut mengindikasikan seberapa besar keyakinan diri individu dalam memiliki level kemampuan-kemampuan tertentu yang cukup tinggi, yang berkaitan dengan kewirausahaan (Linan, 2008, p.261). Memiliki kemampuan tersebut dapat membuat individu merasa lebih mampu untuk memulai suatu usaha (Denoble et al., dalam Linan, 2008). Oleh sebab itu, faktor kemampuan berwirausaha juga turut diperhitungkan. Secara lebih jelas, penjabaran intensi berwirausaha oleh Linan (2008) tersebut, dapat digambarkan dalam Gambar 2.1 yang ada pada halaman berikutnya.

(13)

Gambar 2.1. Model Intensi Berwirausaha dari Linan (2008)

Pada penelitian ini, alat ukur intensi berwirausaha yang diciptakan Linan (2008) mencakup semua faktor yang diperhitungkan pada model tersebut.

2.3.3 Intensi Berwirausaha pada Karyawan

Zimmerer & Scarborough (2002) menyatakan bahwa memulai bisnis paruh waktu (dengan tetap bekerja) merupakan pintu masuk yang populer untuk menjadi wirausaha. Wirausaha tipe ini mendapatkan yang terbaik dari keduanya, yakni dapat masuk ke dunia bisnis tanpa mengorbankan keamanan pendapatan dan fasilitas tetap sebagai karyawan (Zimmerer & Scarborough, 2002). Lebih lanjut lagi, dalam pandangan Masbukhin (2006), saat yang tepat untuk membuka usaha adalah pada saat seseorang masih menjadi karyawan. Hal tersebut dikarenakan uang gaji yang diterima dapat dimanfaatkan sebagai tabungan untuk modal dalam membuka usaha. Mengingat keterbatasan waktu dan tenaga karena berstatus karyawan, usaha yang dijalankan oleh para karyawan adalah usaha yang dapat dijalankan bersama orang lain (tidak berperan sebagai penggerak utama) atau usaha yang tidak memerlukan waktu penuh. Biasanya dalam hal ini, mereka berperan sebagai investor atau penanam modal dalam sebuah bisnis (Masbukhin, 2007). Keuntungan dalam bisnis paruh waktu ini adalah resiko yang lebih rendah apabila terjadi kegagalan usaha (Zimmerer & Scarborough, 2002).

Closer Valuation Entrepreneurial Skills Social Valuation Subjective Norms Entrepreneurial Intentions Personal Attraction Perceived Behavioral Control

(14)

Selain istilah wirausaha yang berperan sebagai owner bisnisnya, masih ada istilah intrapreneur. Intrapreneur adalah karyawan, pekerja, manajer yang memiliki semangat kewirausahaan (Astamoen, 2005). Dengan kata lain intrapreneur merupakan wirausaha yang ada dalam lingkungan perusahaan. Intrapreneur sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan dalam hal upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008). Untuk membentuk intrapreneur banyak perusahaan yang melakukan program pelatihan intrapreneurship, untuk tetap mempertahankan semangat kreativitas dan inovasi perusahaan (Lupiyoadi, 2004).

2.4. Intensi Berwirausaha dan Hubungannya dengan Adversity Quotient

Menurut Schumpeter (dalam Kandiyatna, 2005) wirausahawan adalah individu yang dapat menjadikan perubahan sebagai sebuah kesempatan. Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 dan krisis ekonomi global yang terjadi pada akhir tahun 2008, dirasakan sebagai kondisi yang sulit bagi masyarakat Indonesia. Disebabkan karena adanya krisis, harga semua produk naik hampir dua kali lipat, masyarakat pun gempar menghadapi perubahan yang drastis tersebut. Tetapi ada beberapa yang menganggap kondisi ini sebagai peluang usaha. Dikaitkan dengan hal tersebut, wirausahawan adalah individu yang kreatif dan inovatif, karena mereka dapat merubah hambatan menjadi peluang. Konsep merubah hambatan menjadi peluang berkaitan dengan Adversity Quotient. Adversity Quotient (AQ) merupakan suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan (Stoltz, 2000).

Dalam berbagai penelitian sebelumnya, Adversity Quotient (AQ) telah banyak dikaitkan dengan perilaku kewirausahaan. Salah satunya adalah Stoltz (2000), yang meneliti pola sukses diantara wirausahawan dan mahasiswa dengan prestasi tinggi. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Adversity Quotient merupakan faktor penentu terhadap kesuksesan wirausahawan dan mahasiswa yang memiliki prestasi tinggi. Lebih lanjut lagi, Markman (2004) melakukan penelitian mengenai perbedaan tingkat Adversity Quotient yang dimiliki oleh kelompok wirausaha dan non-wirausaha (masyarakat yang tidak berprofesi sebagai wirausaha). Dari penelitian tersebut menujukkan hasil bahwa terdapat perbedaan

(15)

tingkat Adversity Quotient yang signifikan antara kelompok wirausaha dan non-wirausaha. Dalam hal ini, individu-individu yang berprofesi sebagai wirausaha memiliki tingkat Adversity Quotient yang lebih tinggi daripada individu non-wirausaha (tidak berprofesi sebagai non-wirausaha).

Lebih lanjut lagi, dikatakan bahwa kelompok wirausaha menunjukkan respon yang baik dalam menghadapi kesulitan (Markman, 2004). Mereka tidak menyerah, tetap bertahan di masa sulit dan menjadikan kesulitan sebagai penguat untuk menghadapi rintangan selanjutnya (Markman, 2004). Dalam hal ini, setiap wirausaha pasti pernah mengalami kegagalan, namun yang menarik 60% wirausahawan yang gagal ternyata tidak menyerah (Sasmito, 2007). Mereka bangun lagi dan mencoba bisnis yang sama, hingga akhirnya meraih sukses dengan susah payah setelah melewati berbagai kegagalan (Sasmito, 2007).

Berkaitan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa para wirausaha adalah golongan pencari rezeki yang tahan banting terhadap berbagai masalah, dan sudah tentu bila mereka terjatuh, maka akan bangun lagi (Sasmito, 2007). Pengalaman jatuh dan rugi menjadikan mereka modal baru untuk bangkit, menuju usaha yang lebih dashyat (Sasmito, 2007). Para wirausaha tidak takut akan kegagalan dan apabila harus mengalami kegagalan, mereka menerima hal tersebut dan memanfaatkannya sebagai suatu cara untuk belajar, bagaimana cara menjalankan usaha lebih baik pada masa mendatang (Winardi, 2003).

Di dalam penelitian dengan karakteristik sampel yang berbeda, juga ditemukan hubungan antara variabel Adversity Quotient dengan variabel intensi berwirausaha. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2007) mengenai adversity intelligence dan intensi berwirausaha pada siswa SMK di Yogyakarta, didapatkan hasil bahwa terdapat korelasi positif yang signifikan antara adversity intelligence dengan intensi berwirausaha. Dalam penelitian ini, komponen adversity intelligence memberikan kontribusi 11% terhadap intensi berwirausaha (Wijaya, 2007). Di sisi lain, hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian dari Fransiskus (2009), yang meneliti tentang hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha pada mahasiswa UI yang mengambil mata kuliah kewirausahaan. Dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara Adversity Quotient dengan intensi berwirausaha.

(16)

Berdasarkan uraian di atas, terdapat berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan. Oleh karena itu peneliti berasumsi bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara Adversity Quotient dengan intensi seseorang dalam berwirausaha. Melalui penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk menguji teori-teori yang dipaparkan mengenai intensi berwirausaha dan Adversity Quotient. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara kedua hal tersebut.

2.5. Profil Perusahaan X

Perusahaan X adalah salah satu perusahaan telekomunikasi terbesar yang memegang peranan penting dalam sejarah perkembangan telekomunikasi di Indonesia. Perusahaan X telah berdiri selama 42 tahun, yakni telah berdiri sejak tahun 1967. Dalam perjalanannya hingga saat ini, Perusahaan X telah mengalami beberapa kali transformasi bisnis, yaitu dari operator telex, operator SLI (sambungan langsung internasional), penyelenggara jaringan data, dan pada saat ini menjadi perusahaan yang akan memfokuskan bisnisnya di telekomunikasi seluler. Pada tahun 2002, Perusahaan X telah memulai transformasi bisnisnya, yaitu tidak lagi sebagai operator SLI, namun sebagai penyedia jaringan dan jasa telekomunikasi terpadu yang berfokus di bidang seluler.

Perusahaan ini memiliki karyawan berjumlah kurang lebih 8000 orang (termasuk outsourcing) yang merupakan generalis dan specialist di bidang telekomunikasi. Komposisi jumlah karyawan tetap di tahun 2004 adalah 44,7 % karyawan unit jasa selular, 21,7 % karyawan unit usaha telekomunikasi jasa MIDI (Corporate Data Communications, Leased Lines, Satellite, Internet) dan 33,6 % merupakan karyawan dari unit-unit penunjang diluar unit bisnis.

Gambar

Gambar 2.1. Model Intensi Berwirausaha dari Linan (2008)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kegiatan KKKS gugus sekolah melalui bimbingan kolaboratif mulai dari mengkaji, mengevaluasi, dan merevisi/membuat RKJM menggambarkan rata-rata keaktifan

Singapura tidak dikenakan pajak. !ung !unga" untu a" untuk bunga yang di k bunga yang dibay bayark arkan oleh per an oleh perusa usahaa haan yang berke n yang

− Tindakan perbaikan ke-1 (21 Oktober 2016).. Hasil verifikasi tindakan perbaikan telah dinyatakan memenuhi. Target persentase tindak lanjut atas hasil pengawasan eksternal

Sama halnya pada ampermeter, kalibrasi voltmeter arus searah dilakukan dengan cara membandingkan harga tegangan yang terukur voltmeter yang dikalibrasi (V) dengan voltmeter..

Bank Mega Syariah Cabang Pekanbaru dalam menghitung bagi hasil menggunakan akad mudharabah ialah metode equivalent rate yaitu dengan cara mengkonversi bagi hasil

2014, Pengaruh Kepercayaan Diri Terhadap Kecemasan Bertanding Pada Atlet Pencak Silat Nur Harias Di Malang, Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Maulana

Skala kebermaknaan hidup disusun dengan menggunakan dimensi- dimensi kebermaknaan hidup Bastaman berdasarkan teori Viktor Frankl (2004), yaitu: 1) Makna Hidup dalah suatu

membuktikan bahwa mobile learning berbasis aplikasi Android mata pelajaran fisika materi listrik arus searah efektif digunakan dalam kegiatan pembelajaran sehingga