• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN

TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN

CITRA SATELIT LANDSAT

DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN

TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN

CITRA SATELIT LANDSAT

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2009

DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR C54052125

(3)

RINGKASAN

DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR. Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat. Dibimbing oleh VINCENTIUS PAULUS SIREGAR dan SAM WOUTHUYZEN.

Secara umum, terdapat dua parameter yang sering digunakan sebagai indikator penentu kualitas perairan yang diturunkan dari satelit, yakni muatan padatan terlarut dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a). Dua parameter ini merupakan

parameter yang aktif secara optis sehingga dapat mewakili kondisi kualitas suatu perairan. Akan tetapi batasan dalam penelitian ini hanya pada konsentrasi klorofil-a yklorofil-ang dihubungkklorofil-an dengklorofil-an nilklorofil-ai trklorofil-anspklorofil-arklorofil-ansi perklorofil-airklorofil-annyklorofil-a sklorofil-ajklorofil-a. Hubungklorofil-an klorofil-antklorofil-arklorofil-a transparansi perairan dengan konsentrasi klorofil-a ini dapat dinyatakan dalam suatu model hubungan yang diperoleh dengan membandingkan reflektansi citra satelit Landsat dengan data in situ. Adapun penelitian ini bertujuan untuk membuat model penduga nilai transparansi dan konsentrasi klorofil-a perairan secara in situ dengan reflektansi citra satelit Landsat, lalu menerapkan model tersebut untuk memetakan distribusi transparansi serta kandungan klorofil-a pada Teluk Jakarta.

Data in situ yang digunakan dalam pengembangan model adalah data sekunder dari P2O - LIPI. Data citra yang digunakan merupakan citra Satelit

Landsat pada path 122 dan row 64 dan tipe sensor ETM+, dan sebagian berasal dari P2O - LIPI dan sebagian lagi merupakan hasil download pada situs Landsat

USGS. Citra ini diolah dengan program IDRISI ANDES di mana koreksi citra dilakukan dengan modul ATMOSC pada IDRISI ANDES. Kanal yang digunakan dalam pengembangan model adalah kanal biru (kanal-1), hijau (kanal -2), dan merah (kanal -3) saja. Hasil koreksi yang dilakukan menghasilkan nilai reflektansi citra (kombinasi kanal terpilih) yang kemudian dikorelasikan dengan data in situ pada tanggal dan koordinat yang sama dengan akuisisi data citra. Hasil korelasi ini menghasilkan beberapa model klorofil-a dan transparansi perairan yang akan dipilih satu yang terbaik berdasarkan nilai R2 dan RMS error-nya.

Model transparansi perairan adalah menggunakan pilihan kanal kromatisiti biru dengan formula y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 pada musim kemarau, dan y = -3900.x3 + 3947.x2 - 1336.x + 151.4 pada musim hujan. Model klorofil-a menggunakan kombinasi kanal kromatisiti merah dengan formula yang didapat untuk musim kemarau adalah y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204. Hasil pengujian model klorofil-a musim hujan menunjukkan bahwa model tidak dapat diandalkan.

Transparansi perairan secara umum berkurang dari tahun 2004-2009, dengan pola distribusi mengikuti pola umum yakni rendah pada daerah pesisir terutama muara sungai, dan semakin bertambah ke arah lepas pantai. Konsentrasi klorofil-a rata-rata relatif seragam dan rendah dari tahun ke tahun. Adapun pola distribusi klorofil-a ini secara umum adalah relatif lebih tinggi di pesisir dan muara sungai serta semakin berkurang ke arah lepas pantai.

(4)

© Hak cipta milik Dessy Novitasari Romauli Sidabutar,

tahun 2009

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya

(5)

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN

TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN

CITRA SATELIT LANDSAT

DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

(6)

SKRIPSI

Judul : PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN

TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

Nama : DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR NRP : C54052125

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc. NIP. 19561103 198503 1 003 NIP. 320003368

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc NIP. 19580909 198303 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Syukur bagi TUHAN YESUS KRISTUS, karena anugerah dan hikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi berjudul "Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat" dengan sebaik-baiknya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA dan Dr. Ir. Sam Wouthuyzen, M.Sc.

selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan dan pengetahuan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. 2. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si. sebagai Dosen Penguji Tamu. 3. Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T. sebagai Koordinator Program Pendidikan

S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

4. Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. sebagai Pembimbing Akademik. 5. P2O LIPI atas perijinan penggunaan data lapangan klorofil-a dan

transparansi perarian.

6. UPT Loka Pengembangan Sumberdaya Manusia Oseanografi Pulau Pari, atas kerjasamanya selama kegiatan pembimbingan berlangsung.

7. Kedua orang tua dan adik-adik dan seluruh keluarga besar yang turut memotivasi penulis selama penelitian.

8. Indah Budi Lestari selaku teman satu bimbingan dalam penelitian dan pembuatan skripsi, seluruh teman-teman ITK 42 pada khususnya dan ITK secara keseluruhan atas segala dukungan dan bantuan nyata bagi penulis, serta semua teman-teman seperjuangan 42 atas motivasi yang diberikan.

(8)

9. Semua pihak yang turut membantu dalam terselesaikannya penelitian dan penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, 1 September 2009

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kondisi umum perairan Teluk Jakarta ... 4

2.2 Warna air laut, fitoplankton, dan klorofil-a ... 5

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil-a ... 8

2.3.1 Intensitas cahaya matahari ... 8

2.3.2 Nutrien dan curah hujan ... 8

2.4 Transparansi perairan ... 9

2.5 Penginderaan jauh untuk pendeteksian klorofil-a dan transparansi perairan ... 10

2.6 Satelit Landsat ... 14

3. METODOLOGI PENELITIAN ... 16

3.1 Waktu dan lokasi penelitian ... 16

3.2 Alat dan bahan ... 17

3.3 Metode pengolahan citra ... 18

3.3.1 Koreksi citra ... 18 3.3.2 Pemodelan ... 21 (1) Pengembangan model ... 22 (2) Pengujian model ... 24 3.3.3 Uji-t ... 24 3.3.4 Uji-F ... 25

3.3.5 Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta ... 26

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Pemodelan ... 27

4.1.1 Pengembangan model penduga klorofil-a perairan ... 27

4.1.2 Pengembangan model penduga transparansi perairan ... 31

4.2 Pengujian model ... 36

4.2.1 Uji-t ... 36

4.2.2 Uji-F ... 38

4.3 Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan dari model ... 40

4.3.1 Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta musim kemarau ... 40

(10)

(1) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim

kemarau ... 49

(2) Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan ... 57

4.4 Rata-rata konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan tahun 2004-2009 dari model ... 64

4.4.1 Klorofil-a perairan Teluk Jakarta musim kemarau ... 65

4.4.2 Transparansi perairan Teluk Jakarta musim kemarau ... 67

4.4.3 Transparansi perairan Teluk Jakarta musim hujan ... 69

4.5 Konsentrasi klorofil-a perairan Teluk Jakarta tahun 2004-2009 ... 72

4.6 Transparansi perairan Teluk Jakarta tahun 2004-2009 ... 76

4.6 Hubungan klorofil-a dengan transparansi perairan Teluk Jakarta ... 80

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

5.1 Kesimpulan ... 81

5.2 Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN ... 86

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kondisi perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a ... 7

2. Beberapa algoritma klorofil-a yang telah dikembangkan ... 13

3. Panjang gelombang kanal spektral Satelit Landsat 7 ETM dan resolusi spasialnya ... 15

4. Fungsi kanal-kanal pada Satelit Landsat ... 15

5. Spesifikasi perolehan citra Satelit Landsat dan data in situ ... 17

6. Akuisisi citra satelit untuk musim kemarau dan musim hujan ... 21

7. Transformasi kromatisiti dan transformasi rasio kanal ... 22

8. Bentuk model hubungan yang akan dibuat ... 23

9. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R2 serta RMS error-nya .... 29

10. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R2 serta RMS error-nya .... 30

11. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R2 serta RMS error-nya ... 33

12. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R2 serta RMS error-nya ... 35

13. Hasil uji-t pengembangan model penduga ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Peta lokasi stasiun di Teluk Jakarta ... 16 2. Diagram alir pengolahan data ... 18 3. Hubungan kromatisiti merah dengan nilai in situ klorofil-a pada

musim kemarau dan musim hujan ... 28 4. Hubungan kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan

musim kemarau dan musim hujan ... 32 5. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2004

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 41 6. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2005

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 44 7. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2006

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 45 8. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2007

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 46 9. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2008

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 47 10. Distribusi klorofil-a Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun 2009

dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... 48 11. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

2004 dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... 49 12. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

2005 dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... 52 13. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

2006 dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... 54 14. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

2007 dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... 55 15. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

(13)

16. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau tahun

2009 dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... 57

17. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2004 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 58

18. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2005 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 59

19. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2006 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 60

20. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2007 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 61

21. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2008 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 62

22. Transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan tahun 2009 dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... 63

23. Distribusi klorofil-a rata-rata musim kemarau tahun 2004-2009 ... 65

24. Transparansi perairan rata-rata musim kemarau tahun 2004-2009 ... 68

25. Transparansi perairan rata-rata musim hujan tahun 2004-2009 ... 70

26. Perubahan konsentrasi klorofil-a rata-rata tahun 2004-2009 ... 74

27. Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 untuk musim kemarau ... 75

28. Plot nilai klorofil-a in situ dan nilai duga dari model y = -3900.x3 + 3947.x2 - 1336.x + 151.4 untuk musim hujan ... 75

29. Perubahan transparansi perairan rata-rata tahun 2004-2009 ... 76

30. Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 untuk musim kemarau ... 79

31. Plot nilai transparansi in situ dan nilai duga dari model y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 untuk musim hujan ... 79

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Metode pengukuran transparansi perairan ... 86

2. Metode perolehan data klorofil-a ... 87

3. Data transparansi perairan pada musim kemarau ... 88

4. Data transparansi perairan pada musim hujan ... 90

5. Data klorofil-a pada musim kemarau ... 91

6. Data klorofil-a pada musim hujan ... 93

7. Uji-t transparansi perairan Teluk Jakarta ... 94

8. Uji-t konsentrasi klorofil-a Teluk Jakarta ... 95

9. Uji-F antara klorofil-a dan transparansi perairan musim kemarau ... 96

(15)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perairan Teluk Jakarta terletak di sebelah utara Jakarta yakni antara

5°48’29.88” LS - 6°10’30” LS dan 106°33’00” BT - 107°03’00” BT. Di Teluk Jakarta ini bermuara 13 sungai, di mana Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum merupakan tiga sungai besar yang sangat mempengaruhi kualitas perairan Teluk Jakarta. Dari sungai-sungai inilah masuk bahan pencemar secara terus-menerus ke Teluk Jakarta yang dapat mengakibatkan kualitas perairan Teluk Jakarta semakin menurun. Adapun musim merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi perairan Teluk Jakarta. Musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai Oktober sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November sampai April (Dinas Hidro-oseanografi, 1975). Pada musim hujan, run-off dari sungai akan lebih besar dari pada musim kemarau sehingga kandungan bahan pencemar serta nutrien di Teluk Jakarta akan lebih tinggi.

Secara umum, terdapat dua parameter yang sering digunakan sebagai indikator penentu kualitas perairan yang diturunkan dari satelit, yakni muatan padatan terlarut dan konsentrasi klorofil-a (Chl-a). Dua parameter ini merupakan

parameter yang aktif secara optis sehingga dapat mewakili kondisi kualitas suatu perairan. Akan tetapi batasan dalam penelitian ini hanya pada konsentrasi klorofil-a yklorofil-ang dihubungkklorofil-an dengklorofil-an nilklorofil-ai trklorofil-anspklorofil-arklorofil-ansi perklorofil-airklorofil-annyklorofil-a sklorofil-ajklorofil-a.

Sebaran klorofil-a di perairan bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terdapat dalam suatu perairan. Bila nutrien dan intensitas matahari cukup tersedia, maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi.

(16)

Demikian pula sebaliknya. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang dinyatakan dalam satuan meter dan ditentukan secara visual. Selain dengan pengamatan visual, transparansi perairan juga dapat diperoleh dari citra satelit.

Spektrum cahaya matahari yang sampai ke permukaan laut mencakup semua warna yang dapat dilihat oleh manusia dengan panjang gelombang antara 400-700 nm. Panjang gelombang cahaya yang bisa diabsorbsi klorofil dalam air menurut Yentsch (1980, in Grahame, 1987) berada pada puncak gelombang 425-450 nm dan 665-680 nm. Adanya sifat absorbsi cahaya oleh klorofil ini berarti sensor

remote sensing dapat dipakai untuk penentuan konsentrasi klorofil-a perairan

secara kualitatif. Pendugaan konsentrasi klorofil-a ini tidak dapat diukur secara langsung oleh sensor tapi nilai konsentrasinya dapat diekstrak dari algoritma tertentu, baik yang sudah dikembangkan sebelumnya maupun yang akan dikembangkan dalam penelitian ini. Demikian pula halnya dengan transparansi perairan.

Penelitian serupa tentang kandungan klorofil-a di perairan Indonesia telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Gaol (1997) berupa penelitian kualitas perairan Pantai Utara Jawa dalam hubungannya dengan konsentrasi klorofil-a dan muatan padatan tersuspensi dengan Landsat-TM. Penelitian serupa tentang pendeteksian dini kejadian marak algae (Harmful Algal Blooms) di Teluk Jakarta juga telah dilakukan oleh Wouthuyzen (2008). Tarigan (2008) juga telah meneliti sebaran klorofil-a dan transparansi di estuari Sungai Cisadane di mana diketahui bahwa Sungai Cisadane cukup mempengaruhi kualitas perairan Teluk Jakarta.

(17)

Walaupun sudah banyak riset yang dilakukan tetapi pengamatan kualitas perairan menggunakan data multi-temporal masih jarang dilakukan. Karena Teluk Jakarta sangat penting bagi berbagai stake holder, pengelolaan teluk ini penting untuk dilakukan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan

mengembangkan algoritma yang dipakai untuk memetakan, memantau, dan mengevaluasi kualitas perairan Teluk Jakarta ini.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengembangkan model penduga nilai konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan dari reflektansi citra satelit Landsat.

2. Menerapkan model penduga yang dibuat untuk mengetahui dan memetakan distribusi klorofil-a serta transparansi perairan Teluk Jakarta.

(18)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi umum perairan Teluk Jakarta

Secara geografis Teluk Jakarta terletak pada 5°48’29.88” LS - 6°10’30” LS dan 106°33’00” BT - 107°03’00” BT. Sebanyak 13 sungai bermuara ke Teluk Jakarta ini. Tiga di antara 13 sungai ini yakni Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citarum merupakan sungai besar, sedangkan 10 sungai lainnya yakni Sungai Kamal, Cengkareng, Drain, Angke, Karang, Ancol, Sunter, Cakung, Blencong, Grogol dan Pasanggrahan merupakan sungai kecil (Wouthuyzen et. al., 2008). Di Teluk Jakarta, musim merupakan faktor utama dari macam dan besarnya pengaruh terhadap perairan Teluk Jakarta yang menentukan arah dan kecepatan angin laut serta arus.

Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal dengan kedalaman antara 3-29 m dengan rata-rata kedalaman 15 m. Dasar Teluk Jakarta melandai ke arah Laut Jawa dengan kedalaman di perbatasan Laut Jawa antara 20-29 m (Arifin, et. al., 2003). Kecerahan rata-rata perairan Teluk Jakarta adalah 1.4-4.4 m di sebelah timur, dan 1.2-7.3 di bagian barat Teluk Jakarta. Menurut Praseno (1979), selang nilai kecerahan Teluk Jakarta adalah 1.5-23.0 m.

Perairan Teluk Jakarta ini dipengaruhi oleh massa air Laut Jawa. Pada musim barat (Desember-Februari) massa air dari Laut Natuna mempengaruhi massa air Teluk Jakarta, sedangkan pada musim timur (Juni-Agustus) arus akan mengalir dari Laut Jawa ke bagian timur. Pada musim barat umumnya curah hujan sangat tinggi, sehingga run off dan cemaran dari darat meningkat. Hal ini disebabkan jumlah air sungai yang lebih besar sehingga terjadi pencucian cemaran-cemaran di darat oleh air hujan. Pencemaran terutama terjadi di sekitar muara-muara sungai

(19)

pada musim hujan yakni antara bulan Januari sampai Februari (Praseno dan Kastoro, 1980).

Menurut Praseno dan Kastoro (1980), suhu perairan Teluk Jakarta berkisar antara 28 C - 32 C dan termasuk normal untuk perairan tropis. Kisaran suhu ini merupakan kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton. Perubahan suhu terjadi apabila ada angin kuat yang menyebabkan turunnya suhu permukaan. Distribusi suhu di Teluk Jakarta berubah terhadap musim. Untuk musim barat (Desember-Februari) suhu air laut di Teluk Jakarta paling rendah, yaitu rata-rata sebesar 28.31 C. Selama musim peralihan I (Maret-Mei) suhu rata-ratanya naik menjadi 29.31 C, kemudian suhu rata-rata turun kembali menjadi 28.29 selama musim timur (Juni-Agustus). Untuk musim peralihan II (September-November), suhu rata-ratanya naik menjadi 29.29 C (Arief, 1980). Pada musim pancaroba, umumnya suhu menjadi lebih tinggi.

2.2 Warna air laut, fitoplankton, dan klorofil-a

Penginderaan jauh warna air laut (ocean color remote sensing) merupakan penginderaan jauh yang memanfaatkan radiasi GEM yang dipantulkan dari bawah permukaan laut (Hovis et. al., 1980). Warna air laut ini dipengaruhi kandungan fitoplankton dan yellow substances berupa muatan padatan terlarut (MPT). Dari kondisi ini, air laut dapat dikelompokkan dalam dua kondisi (Sathyendranath dan Morrel, 1983) yakni tipe I (case-I water) dan air kasus II (case-II water). Pada perairan tipe I, komponen utama yang mempengaruhi sifat optik atau biooptik air laut adalah fitoplankton, khususnya klorofil-a. Perairan tipe II merupakan tipe perairan yang sifat optik air lautnya didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow substances), dan partikel yang berasal dari tanah, sungai,

(20)

dan gletser. Dari sifat optik tersebut, maka pada umumnya perairan tipe I

diklasifikasikan sebagai perairan lepas pantai (oseanik), sedangkan tipe II adalah perairan pantai/dangkal (wilayah pesisir) seperti Teluk Jakarta (Wouthuyzen et.

al., 2008).

Fitoplankton (disebut juga plankton nabati) merupakan penggolongan kelompok plankton secara fungsional. Adapun definisi plankton sendiri adalah makhluk (tumbuhan atau hewan) yang hidupnya mengapung, mengambang, atau melayang di dalam air yang kemampuan renangnya (kalaupun ada) sangat terbatas hingga selalu terbawa hanyut oleh arus. Jadi yang dimaksud fitoplankton di sini adalah tumbuhan yang hidupnya mengapung atau melayang dalam laut (Nontji, 2008). Menurut Odum (1996), fitoplankton adalah tumbuhan berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi gerakan air. Adapun kelompok fitoplankton yang sangat umum dijumpai di perairan tropis adalah diatom (Bacillariophyceae) dan dinoflagelata (Dynophyceae) (Nontji, 2008).

Fitoplankton mengandung klorofil-a, pigmen fotosintesis dominan yang mengabsorpsi kuat energi pada kanal biru dan merah spektrum cahaya tampak. Karena klorofil-a meningkat konsentrasinya di dalam air laut, maka warna air berubah dari biru tua pada kondisi kaya klorofil-a sampai hijau. Terdapat pula pigmen pecahan klorofil-a yaitu phaeopigmen a yang memiliki spektrum absorpsi hampir sama dengan klorofil-a (Lo, 1996).

Klorofil berperan dalam reaksi fotosintesis yang menentukan produktivitas suatu perairan. Sifat klorofil yang dapat menyerap dan memantulkan spektrum cahaya tertentu dimanfaatkan untuk mendeteksi sebaran klorofil fitoplankton di

(21)

permukaan laut dari satelit. Individu fitoplankton memang berukuran sangat kecil, akan tetapi bila berada dalam satu komunitas maka warna hijau yang menjadi ciri khas klorofil fitoplankton dapat diindera dari satelit. Menurut Nontji (2008), penginderaan terhadap fitoplankton didasarkan pada kenyataan bahwa semua fitoplankton mengandung klorofil, pigmen berwarna hijau yang ada pada setiap tumbuhan, di mana klorofil ini cenderung menyerap warna biru dan merah serta memantulkan warna hijau.

Klorofil-a merupakan indikator kelimpahan dan biomassa fitoplankton yang dapat digunakan sebagai ukuran kualitas perairan yaitu sebagai petunjuk

ketersediaan nutrien dalam perairan (Ward et. al., 1998; NLWRA, 2002; in Afdal dan Riyono, 2008). Pengukuran kandungan klorofil-a fitoplankton merupakan salah satu alat pengukuran kesuburan suatu perairan yang dinyatakan dalam bentuk produktivitas primer. Selain itu, klorofil-a juga bisa dijadikan sebagai indikator terjadinya eutrofikasi di suatu perairan (Bricker et. al., 1999, in Afdal dan Riyono, 2008) di mana eutrofikasi diindikasikan dengan tingginya konsentrasi klorofil-a di perairan (> 30 mg/m3). Bohlen dan Boynton (1966, in Afdal dan Riyono, 2008) memberikan kriteria perairan teluk dan muara berdasarkan konsentrasi klorofil-a sebagai berikut.

Tabel 1. Kondisi perairan berdasarkan konsentrasi klorofil-a Kategori Perairan Konsentrasi Klorofil-a

Normal < 15 mg/m3

Sedang 15-30 mg/m3

(22)

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil-a

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kandungan klorofil di perairan di antaranya cahaya matahari dan nutrien, di mana pemasukan nutrien diasumsikan dipengaruhi oleh curah hujan yang terjadi.

2.3.1 Intensitas cahaya matahari

Cahaya merupakan sumber energi utama di perairan. Intensitas cahaya secara kualitatif digambarkan melalui distribusi spektral yang bergantung pada

perbedaan panjang gelombang, dalam hal ini panjang gelombang yang penting untuk terjadinya fotosintesis adalah pada kisaran cahaya tampak (visibe light) yakni antara panjang gelombang ultraviolet (UV) dan infrared (IR). Untuk

fotosintesis, fitoplankton membutuhkan cahaya dengan panjang gelombang antara 300-720 nm (Parsons et. al., 1984). Menurut Wetzel (1983), radiasi dengan panjang gelombang antara 400-700 nm atau spektrum cahaya tampak dapat menembus kedalaman perairan dan diserap oleh klorofil untuk proses fotosintesis. Total radiasi pada panjang gelombang ini disebut Photosyntetically Available

Radiation (PAR).

2.3.2 Nutrien dan curah hujan

Pertumbuhan fitoplankton membutuhkan beberapa unsur hara yang

dikelompokkan menjadi unsur hara makro (makro nutrien) dan unsur hara mikro (mikro nutrien). Odum (1996) menyebutkan bahwa yang termasuk makro nutrien adalah C, H, O, N, P, Si, S, Mg, K, dan Ca sedangkan yang termasuk mikro nutrien adalah Fe, Mn, Cu, Zn, B, Mo, Cl, Co, dan Na. Menurut Dugan, 1972;

(23)

Moss, 1993 (in Effendi, 2003), nutrien utama yang dibutuhkan oleh hampir semua sel makhluk hidup adalah C, H, N, O, P, K, Mg, S, Ca, dan Fe.

Ketersediaan unsur-unsur nutrien dalam suatu perairan sangat tergantung pada masukan dari luar perairan seperti sungai, resapan tanah, pencucian ataupun erosi serta dari sistem pembentukan langsung di badan air itu sendiri (Parsons et. al., 1984). Wouthuyzen (1991) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara curah hujan dan konsentrasi klorofil di Teluk Omura, Jepang. Hal ini dikarenakan curah hujan akan membawa zat-zat hara dari daratan melalui sungai menuju Teluk Omura yang akhirnya zat-zat hara tersebut akan dimanfaatkan fitoplankton untuk berfotosintesis.

Salah satu akibat dari peningkatan unsur nutrien di suatu perairan pesisir adalah terjadinya fitoplankton bloom, yaitu fenomena ledakan populasi

fitoplankton di perairan secara cepat dan dalam jumlah yang sangat besar yang disebabkan oleh berlimpahnya nutrien. Keadaan ini akan berdampak negatif bagi ekosistem perairan, antara lain berkurangnya oksigen di dalam air yang dapat menyebabkan kematian berbagai makhluk air lainnya.

2.4 Transparansi perairan

Menurut Effendi (2003), kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang dinyatakan dalam satuan meter dan ditentukan secara visual, umumnya dengan menggunakan secchi disk. Secchi disk ini berupa cakram putih hitam berdiameter 30 cm yang diturunkan ke dalam laut hingga tepat hilang dari pandangan. Nilai transparansi perairan ini tergantung warna dan kekeruhan perairan.

(24)

Warna perairan biasanya dikelompokkan menjadi dua yakni warna sesungguhnya (true color) dan warna tampak (apparent color). Warna

sesungguhnya ini adalah warna hanya disebabkan oleh bahan-bahan kimia terlarut sedangkan warna tampak tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut tetapi juga bahan tersuspensi (Effendi, 2003). Warna perairan ditimbulkan oleh keberadaan bahan anorganik dan bahan organik seperti plankton, humus, dan ion-ion logam. Warna perairan juga disebabkan oleh blooming fitoplankton (untuk perairan laut biasanya dari filum Dinoflagelata), dan kondisi ini dikenal dengan istilah red tide. Warna ini dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan ini disebabkan adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell, 1991).

2.5 Penginderaan jauh untuk pendeteksian klorofil-a dan transparansi perairan

Spektrum cahaya matahari yang sampai ke permukaan laut mencakup semua warna yang dapat dilihat oleh manusia dengan panjang gelombang antara 400-700 nm (Nybakken, 1988). Panjang gelombang cahaya yang bisa diabsorbsi klorofil dalam air menurut Yentsch (1980, in Grahame, 1987) berada pada puncak gelombang 425-450 nm dan 665-680 nm. Dengan demikian, berarti konsentrasi klorofil-a dapat diduga dari citra satelit. Demikian pula dengan transparansi perairan.

(25)

Pengkajian konsentrasi klorofil-a dari citra satelit dilakukan dengan rasio kanal yang mempunyai daya absorpsi maksimum dengan kanal yang mempunyai daya absorpsi minimum terhadap klorofil-a. Citra dari satelit Landsat 7 ETM dapat digunakan untuk mengukur konsentrasi klorofil karena memiliki kanal cahaya tampak. Gaol (1997) menyebutkan bahwa prinsip dasar pengembangan algoritma adalah rasio antara kanal biru dan kanal hijau. Menurut Gordon dan Morel (1983, in Yacobi, et. al., 1995), area spektral remote sensing pada case I

water terbatas pada selang kanal biru dan hijau. Akan tetapi untuk case II water,

pendekatan case I water ini mengalami hambatan karena keterbatasan pengukuran konsentrasi klorofil pada perairan dengan dissolved organic matter (DOM) yang tinggi.

Aplikasi remote sensing untuk pendeteksian klorofil dan transparansi perairan ini sudah banyak dilakukan sebelumnya. Menurut Dekker et. al., 1991; Han, 1997

in El-Magd dan Ali (2008), interaksi dari klorofil-a dan radiasi elektromagnetik

berupa scattering dan absorption, dan absorpsi yang kuat terdapat pada kisaran panjang gelombang 400-500 nm (kanal-1) yang merupakan kanal biru Landsat ETM dan 680 nm (kanal-3) yang merupakan kanal merah Landsat ETM. Menurut hasil penelitian El-Magd dan Ali (2008), rasio kanal-1 / kanal-3 ETM+ dan rasio logaritmik kanal-1 / kanal-3 ETM+ menunjukkan korelasi dengan konsentrasi klorofil-a, yakni absorpsi signifikan dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a. Rasio kedua kanal ini akan bekerja lebih efektif jika konsentrasi klorofil-a di atas 35 mg/m3 dan kondisi transparansi perairan tinggi.

Selain itu, ada pula hasil penelitian Tassan (1987) menghasilkan algoritma pendugaan konsentrasi klorofil-a dari satelit Landsat-TM sebagai berikut:

(26)

log C = 0.74 – 2.43 log [R(485) / R(560)] ... (1) di mana C adalah konsentrasi klorofil dalam mg/m3, R(485) adalah radiansi pada kanal-1 dan R(560) adalah radiansi pada kanal-2.

Dwivedi dan Narrain (1987, in Gaol, 1997) melakukan penelitian yang serupa di Arabia dengan menggunakan rasio kanal-1 dan kanal-2 Landsat-TM. Algoritma yang diperoleh sebagai berikut, di mana C merupakan konsentrasi klorofil.

C = 1.62 [R(485) / R(560)] - 0.62 ... (2) Wouthuyzen (1991) mengembangkan algoritma dengan memanfaatkan citra Landsat-TM di perairan Teluk Omura Jepang. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rasio antara kanal-1 dengan kanal-2 atau kanal-2 dengan kanal-1

mempunyai hubungan yang sangat kuat terhadap konsentrasi klorofil-a untuk semua musim. Rasio kanal-2 dengan kanal-1 ini yang paling konsisten untuk semua musim.

Hasil penelitian Torbick et. al. (2008) dengan satelit Landsat 7 ETM+ di danau di Cina menunjukkan adanya model hubungan regresi linear dari rasio kanal-3/ kanal-1 (variabel independent) dan pengukuran langsung (variabel

dependent). Hasilnya ditunjukkan dalam model berikut, di mana koefisien korelasi

kuat (R2 = 0.815) yang menunjukkan baiknya akurasi dari peta distribusi klorofil-a yklorofil-ang dibuklorofil-at.

Ln Chl = 5.009 (kanal-3/ kanal-1) - 1.855 ... (3) Tabel berikut merupakan beberapa algoritma klorofil-a yang telah

(27)

Tabel 2. Beberapa algoritma klorofil-a yang telah dikembangkan

No. Algoritma Referensi Keterangan

1. Chl = 1.62 (kanal-1/kanal-2) - 0.62 Dwivedi dan Narrain (1987)

Lokasi penelitian di Perairan Arabia 2. Chl = 10.59 (TM2/TM1) - 2.355 Wouthuyzen (1991) Musim panas di

Teluk Omura, Jepang 3. Chl = 28.899 (TM2/TM1) – 9.596 Wouthuyzen (1991) Musim gugur di

Teluk Omura, Jepang 4. Chl = 30.544 (TM2/TM1) – 7.684 Wouthuyzen (1991) Musim dingin di

Teluk Omura, Jepang 5. Chl = 21.279 (TM2/TM1) – 0.908 Wouthuyzen (1991) Musim semi di Teluk

Omura, Jepang 6. Chl = 8.6548663 + 0.12856666

(TM1-TM5) + 0.258411 (TM3/TM4) Adkha (1994)

Lokasi penelitian di perairan pantai utara kabupaten Subang Jawab Barat 7. Log Chl = 2.41. (TM3/TM2) + 0.187 Wibowo et. al. (1994)

Lokasi penelitian di perairan pesisir Cirebon, Lampung, Jambi, dan Jepara 8. Chl = -17.1342 + 15.2587. (kanal-3/ kanal-4) Hasyim (1997) Lokasi penelitian di Situbondo 9. Chl = 2.3868 (TM2/TM1) - 0.4671 Pentury (1997) Lokasi penelitian di perairan Teluk Ambon 10. Ln Chl = 5.009 (kanal-3/ kanal-1) -

1.855 Torbick et. al. (2008)

Lokasi penelitian di West Lake, Cina

Untuk perhitungan tingkat transparansi perairan, Chipman et. al. (2004) menggunakan perbandingan spektral radiansi kanal-1 dan kanal-3 data satelit Landsat multi-temporal untuk sebagian besar danau wilayah Amerika Serikat, di danau Wisconsin (USA). Model yang dibuat adalah sebagai berikut.

Ln (SDT) = 1.135 3 1 L L - 3.193 ... (4)

di mana SDT merupakan secchi disc transparency atau kedalaman kecerahan perairan dalam satuan meter yang diukur dengan cakram secchi dan L1 dan L3

merupakan radiansi spektral kanal-1 dan kanal-3.

Penelitian yang dilakukan LAPAN (2004) di daerah Situbondo untuk

kekeruhan dan kecerahan diperoleh dengan menggunakan formula hasil penelitian Mujito et. al. (1997) sebagai berikut.

(28)

Kecerahan (m) = 17.51427 – 0.10928. b1 ... (5)

di mana b1 merupakan reflektansi pada kanal-1 yang digunakan untuk pengukuran

transparansi perairan.

2.6 Satelit Landsat

Land Satellite (satelit Landsat) merupakan salah satu satelit sumber daya bumi

yang dikembangkan oleh NASA dan Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat. Landsat awalnya bernama Earth Resources Technology Satellite (ERTS). Satelit ini terbagi dalam tiga generasi. Sensor utama yang dibawa Landsat generasi pertama adalah Returned Beam Vidicon (RBV) dan Multi-Spectral Scanner (MSS). Landsat generasi kedua membawa sensor Multi-Spectral Scanner (MSS) dan Thematic Mapper (TM). Landsat generasi ke tiga (Landsat 7) membawa sensor Enhanced Thematic Mapper (ETM) dan Enhanced

Thematic Mapper Plus (ETM+).

Landsat 7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan ketinggian orbit 705 km dan sudut inklinasi 98,2 . Adapun lebar sapuan satelit ini adalah 185 km, dengan periode orbit 99 menit dan resolusi temporal 16 hari (LAPAN, 2000). Landsat 7 tidak memiliki kenampakan off-nadir sehingga tidak bisa menghasilkan cakupan yang meliputi seluruh dunia secara harian.

Citra Landsat TM dan Landsat ETM memiliki persamaan yakni keduanya memiliki ukuran piksel sebesar 30 meter. Citra Landsat 7 juga memiliki kanal termal yang dipertajam. Sensor ETM menggunakan panjang gelombang dari spektrum cahaya tampak sampai spektrum infra merah. Secara radiometrik, sensor ETM memiliki 256 angka digital (8 bit) yang memungkinkan pengamatan

(29)

hubungan antar kanal. Adapun kanal-kanal spektral pada sensor ETM Landsat 7 terdapat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Panjang gelombang kanal spektral satelit Landsat 7 ETM dan resolusi spasialnya

Kanal Kanal Spektral Panjang gelombang (μm) Resolusi Spasial 1 Cahaya Tampak Biru 0.45 – 0.52 30 m x 30 m 2 Cahaya Tampak Merah 0.52 – 0.60 30 m x 30 m 3 Cahaya Tampak Hijau 0.63 – 0.69 30 m x 30 m 4 Near Infra Red (NIR) 0.75 – 0.90 30 m x 30 m 5 Middle Infra Red (MIR) 1.55 – 1.75 30 m x 30 m 6 Thermal Infra Red 10.40 – 12.40 30 m x 30 m 7 Middle Infra Red (MIR) 2.08 – 2.35 60 m x 60 m Pankromatik Pankromatik 0.50 – 0.90 15 m x 15 m Sumber : LAPAN (2000)

Masing-masing kanal memiliki fungsi yang berbeda-beda sebagai berikut (Maeden dan Kapetsky, 1991).

Tabel 4. Fungsi kanal-kanal pada Satelit Landsat

Kanal Fungsi

Kanal-1 Penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi.

Kanal-2 Kesuburan vegetasi, pendugaan konsentrasi sedimen, dan bathimetri.

Kanal-3 Daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman.

Kanal-4 Membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat.

Kanal-5 Pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan.

Kanal-6 Pemetaan termal dan informasi geologi termal. Kanal-7 Pemetaan hidrotermal dan membedakan tipe batuan

(30)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai Juli 2009. Adapun lokasi penelitian bertempat di Teluk Jakarta pada koordinat 5°43'3.6012" LS -

6°13'59.9988" LS dan 106°24' BT - 107°21'49.32" BT (Gambar 1). Pengolahan data dan pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada pembagian musim di Teluk Jakarta yaitu musim kemarau (Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April) (Dinas Hidro-oseanografi, 1975).

Gambar 1. Peta lokasi stasiun di Teluk Jakarta

Untuk penelitian ini digunakan citra satelit Landsat yang diperoleh dari P2O

LIPI serta hasil download pada situs Landsat USGS pada alamat http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/ (Tabel 2).

(31)

Tabel 5. Spesifikasi perolehan citra satelit Landsat dan data in situ No. Tanggal Akuisisi

Citra

Perolehan Citra

Data In Situ LIPI Hasil Download (*)

1 21 Juni 2004 - 2 23 Juli 2004 - 3 24 Agustus 2004 - 4 9 September 2004 - 5 25 September 2004 - 6 11 Oktober 2004 - 7 12 November 2004 - 8 15 Januari 2005 - 9 16 Februari 2005 - 10 11 Agustus 2005 - 11 27 Agustus 2005 - 12 28 September 2005 - 13 26 Mei 2006 - 14 1 Oktober 2006 - 15 17 Oktober 2006 - 16 2 November 2006 - - 17 17 Agustus 2007 - - 18 7 Desember 2007 - - 19 8 Januari 2008 - - 20 18 Juli 2008 - - 21 31 Maret 2009 - - 22 2 Mei 2009 - -

(*) di-download dari http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/

3.2 Alat dan bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa 22 citra satelit Landsat 7 pada path 122 dan row 64 dan tipe sensor ETM+, masing-masing sebanyak 13 citra dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan 9 citra hasil download pada situs Landsat USGS pada alamat http://edcsns17.cr.usgs.gov/EarthExplorer/ (Tabel 5). Data primer yang diturunkan dari citra satelit Landsat ini adalah data transparansi perairan dan konsentrasi klorofil-a di Teluk Jakarta.

(32)

Data sekunder yang digunakan berupa data pengukuran transparansi perairan dan klorofil-a secara in situ dalam proyek LIPI di Teluk Jakarta pada tanggal yang sama dengan tanggal akuisisi citra satelit. Sedangkan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat komputer dan perangkat lunak IDRISI ANDES (Clark Labs, Clark University 950 Main Street, Worcester MA 01610-1477 USA), perangkat lunak untuk layout citra, dan Ms. Office 2007.

3.3 Metode pengolahan citra

Proses pengolahan citra secara umum digambarkan pada Gambar 2 berikut.

Gambar 2. Diagram alir pengolahan data

3.3.1 Koreksi citra

Sebelum citra diolah, pertama-tama dilakukan cropping citra yakni

pemotongan citra satelit pada koordinat wilayah penelitian, dalam hal ini pada Teluk Jakarta. Adapun koordinat citra setelah dipotong adalah 5°43'3.6012" LS -

Citra Landsat

Koreksi citra

Pengembangan model

Pemetaan klorofil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta Pengujian model

(33)

6°13'59.9988" LS dan 106°24' BT - 107°21'49.32" BT. Pemotongan citra (cropping) ini dilakukan untuk membatasi dan memperkecil daerah pada citra yang akan diolah sehingga proses pengolahan citra dapat lebih cepat dan efisien.

Setelah itu, pada citra harus dilakukan koreksi citra yaitu koreksi geometrik, dan koreksi radiometrik. Koreksi geometrik yang dilakukan untuk menyamakan posisi koordinat di permukaan bumi dengan koordinat pada citra tidak dilakukan karena citra telah terkoreksi secara geometrik. Koreksi radiometrik adalah koreksi atas pengaruh elevasi sinar matahari, kondisi atmosfer, dan respon dari sensir seperti kegagalan fungsi detektor, stripping, dan drop out baris.

Pada software IDRISI ANDES yang digunakan sudah tersedia suatu modul koreksi atmosferik yaitu modul ATMOSC (Atmosferic Correction). Modul ATMOSC ini dapat melakukan penghitungan yang diperlukan untuk mengoreksi citra satelit dari efek-efek atmosferik. Pada modul ini tersedia empat model yakni

Dark Object Substraction (DOS) Model, Chavez's Cos(t) Model, Full Radiative

Transfer Equation Model (FULL), dan Apparent Reflectance Model (ARM).

Model koreksi atmosferik (ATMOSC) yang digunakan dalam penelitian ini adalah Chavez's Cos(t) Model karena output yang ingin diperoleh berupa nilai reflektansi citra. Input modul ini adalah 1 (biru), 2 (hijau), dan kanal-3 (merah) hasil cropping citra serta kondisi atmosferik dan kondisi pencitraan yang terdapat pada header citra Landsat. Metode kalibrasi nilai radiansi dalam Chavez's Cos(t) model ada dua yakni metode Lmin/Lmaks dan Offset/Gain. Bentuk

kalibrasi yang digunakan adalah Lmin/Lmaks, di mana Lmin merupakan nilai radians

terendah yang mungkin pada citra (dalam mWcm-2sr-1um-2) dan Lmaks merupakan

(34)

Nilai koreksi atmosferik untuk faktor-faktor yang mempengaruhi nilai irradians dan radians pada waktu-waktu tertentu dapat dibuat terhadap waktu dengan perbedaan solar azimuth dan haze. Proses ini mengubah nilai radians absolut menjadi reflektansi tak ber-unit yang merupakan rasio permukaan

upwelling radiance dengan downwelling irradiance sebagai berikut.

Reflektansi = ... (6)

di mana RI merupakan fluks yang mengenai objek dan RS merupakan fluks yang

dipantulkan objek.

Hal ini dilakukan dengan asumsi kondisi udara bersifat pemencar Lambertian seragam dan permukaan bumi datar, pemantul Lambertian seragam (Moran et al., 1992). Dengan asumsi ini dan menolak faktor-faktor kompleks seperti refraksi atmosferik, turbulensi, dan polarisasi, dapat dibuat suatu persamaan yang menjelaskan interaksi solar irradiance dengan atmosfer dan memperoleh nilai reflektansi permukaan sebagai berikut (Moran et al., 1992).

ρgλ =

... (7)

di mana:

ρgλ = reflektansi spektral pada permukaan

Lsλ ¹)

Lpλ = path radians (scatter), iradiansi spektral (upwelled) ¹)

do = jarak bumi - matahari (SI)

Tv = transmitansi atmosferik spektral sepanjang path dari permukaan bumi

(35)

Eoλ = iradiansi spektral matahari pada permukaan tegak lurus terhadap sinar

matahari di luar atmosfer ¹) cosθs = cosinus sudut solar zenith

Tz = transmisi atmosferik sepanjang path matahari - permukaan bumi

Edλ = downwelling iradians spektral pada permukaan pada saat sampainya fluks

matahari yang dipencarkan (scattered) ¹ ¹)

Dalam menggunakan modul ini, perlu diperhatikan beberapa hal berikut. 1. Nilai tengah panjang gelombang kanal input; di mana nilai tengah kanal-1

adalah 0.485 m, nilai tengah kanal-2 adalah 0.56 m, dan nilai tengah kanal-3 adalah 0.66 m.

2. DN haze; merupakan nilai digital terendah yang bukan bernilai nol pada histogram nilai digital citra.

3. Radiansi pada DN 0 (Lmin) dan DN maksimum (Lmaks) yang diperoleh dari

header citra.

4. Sun elevation; diperoleh dari header citra.

5. Satellite Viewing Angle; merupakan sudut satelit mencitra (0 ).

3.3.2 Pemodelan

Setelah diperoleh nilai reflektansi citra, dibuatlah suatu kombinasi kanal terbaik untuk dikorelasikan dengan data in situ dan dimodelkan. Adapun yang digunakan dalam pemodelan adalah citra yang ada data penelitian in situ-nya. Secara umum, metode yang digunakan adalah secara kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan membuat korelasi nilai kombinasi kanal dengan nilai transparansi perairan dan klorofil-a dari pengukuran in situ yang menghasilkan nilai hubungan terbaik, seperti akan dijelaskan dalam sub-bab

(36)

selanjutnya. Secara kualitatif, dilakukan pengekstrakan nilai transparansi perairan dan klorofil-a dari citra dan disajikan dalam suatu pemetaan kualitas perairan Teluk Jakarta sehingga citra dapat dianalisis secara visual. Metode pemetaan ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam sub-bab berikutnya.

(1) Pengembangan model

Pengembangan model untuk kedua parameter (klorofil-a dan transparansi perairan) dibagi dalam dua musim yakni musim kemarau (Mei-Oktober) dan musim hujan (November-April). Keterangan akuisisi citra satelit yang digunakan untuk masing-masing musim ditampilkan dalam Tabel 6.

Tabel 6. Akuisisi citra satelit untuk musim kemarau dan musim hujan

Musim Kemarau Musim Hujan

21 Juni 2004 23 Juli 2004 24 Agustus 2004 9 September 2004 25 September 2004 11 Oktober 2004 11 Agustus 2005 27 Agustus 2005 28 September 2005 1 Oktober 2006 17 Oktober 2006 17 Agusttus 2007 18 Juli 2008 2 Mei 2009 12 November 2004 15 Januari 2005 16 Februari 2005 2 November 2006 7 Desember 2007 8 Januari 2008 31 Maret 2009

Citra Landsat yang digunakan dalam pengembangan model adalah tiga kanal, yakni kanal biru (kanal-1), hijau (kanal-2), dan merah (kanal-3) saja. Untuk pengembangan model penduga, pertama-tama dilakukan korelasi antara data in

situ klorofil-a dan transparansi perairan dari proyek P2O - LIPI dengan nilai

(37)

korelasi dengan kanal-kanal tunggal, korelasi juga dilakukan antara data in situ klorofil-a dengan transformasi kromatisiti dan transformasi rasio seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 7. Jadi, akan terdapat 9 korelasi kanal-kanal dengan data

in situ yang kemudian akan dipilih satu kombinasi kanal terbaik yang

menunjukkan pola paling teratur untuk diterapkan dalam pemodelan.

Tabel 7. Transformasi kromatisiti dan transformasi rasio kanal

Transformasi Kromatisiti Transformasi Rasio Kromatisiti biru =

-- - - Rasio kanal biru/hijau = -Kromatisiti hijau =

-- - - Rasio kanal biru/merah = -Kromatisiti merah =

-- - - Rasio kanal hijau/merah =

-Bentuk model yang dibuat akan mengikuti bentuk model seperti tertera pada Tabel 8. Dari model-model yang terbentuk ini kemudian akan dipilih model yang memiliki nilai R2 paling baik serta memiliki RMS error paling rendah seperti dijelaskan dalam sub-bab berikutnya. Menurut Gaol (1997), model matematis untuk pendugaan konsentrasi klorofil-a yang sudah dibuat dan yang menunjukkan hubungan yang paling erat adalah hubungan linear.

Tabel 8. Bentuk model hubungan yang akan dibuat

No. Model Hubungan Bentuk Model

1 Regresi linear y = a + b.x 2 Eksponensial y = a. exp(bx) 3 Polynomial orde 2 y = a + b.x2 + b1.x 4 Polynomial orde 3 y = a + b.x3 + b1.x2 + b2.x 5 Logaritmik y = a. ln(x) + b 6 Power y = a. xb

(38)

(2) Pengujian model

Sebelum memilih model hubungan yang akan diuji dan digunakan, pada model-model yang dihasilkan terlebih dahulu harus dilihat nilai R2 dan RMS

error-nya. Nilai R2 merupakan koefisien determinasi garis regresi sebagai pengukur keeratan hubungan antara peubah y dan peubah x sebagai peubah respons (variabel tak bebas) dan peubah penjelas (variabel bebas). Semakin dekat nilai R2 ini dengan 1, makin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model semakin baik (Aunuddin, 1989).

Seperti halnya nilai R2, nilai RMS error menyatakan seberapa jauh suatu titik di atas atau di bawah garis regresi. RMS error dari suatu model hubungan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut dengan N merupakan jumlah data. Semakin kecil nilai RMS error, maka semakin bagus model hubungan tersebut. Berikut merupakan rumus perhitungan RMS error.

RMS error =

-- ... (8)

di mana N merupakan jumlah data.

3.3.3 Uji-t

Untuk mengetahui perbedaan pendugaan nilai klorofil-a dan transparansi perairan dari model hubungan yang dibuat dengan nilai in situ-nya, maka dilakukan uji beda nilai tengah (uji-t). Dalam uji-t, jika nilai t-statistik (t-hitung) berada dalam selang t-kritis, maka kedua nilai tengah yang diujikan tidak berbeda nyata.

(39)

Hipotesis yang digunakan dalam uji-t ini dirumuskan sebagai berikut.

H0: 1 = 2

H1: 1 2

di mana 1 adalah nilai in situ klorofil-a atau transparansi perairan sedangkan 2

adalah nilai duga dari model. Kemudian akan dibuktikan bahwa nilai tengah klorofil-a dan transparansi perairan pada pengukuran in situ tidak beda nyata dengan nilai duga dari model ( 1 = 2) sehingga model hubungan transparansi dan

klorofil-a yang dibuat dapat diterima. .

3.3.4 Uji-F

Selain menggunakan uji-t, penelitian ini juga menggunakan uji-F namun parameter yang diujikan dan hipotesisnya berbeda. Parameter yang diujikan adalah nilai konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan dari model sebelumnya. Uji-F ini dilakukan untuk membuktikan bahwa memang ada hubungan antara konsentrasi klorofil-a dengan tranparansi perairan. Adapun hipotesis yang digunakan dalam uji-F ini dirumuskan sebagai berikut.

H0: = 0

H1: 0

merupakan nilai parameter regresi dari model yang didapat. H0 berarti tidak

terdapat hubungan saling mempengaruhi antara variabel bebas (x, klorofil-a) dan variabel tak bebas (y, transparansi). H1 berarti terdapat hubungan saling

mempengaruhi antara variabel bebas (x, klorofil-a) dan variabel tak bebas (y, transparansi). Tujuan uji-F ini adalah membuktikan bahwa nilai parameter regresi dari model yang didapat tidak sama dengan nol ( 0) yang berarti terdapat

(40)

hubungan antara variabel bebas dan variabel tak bebas dari model sehingga model hubungan yang dibuat dapat diterima. Apabila H0 diterima dan H1 ditolak berarti

ß1 dianggap sama dengan nol. Bila H0 ditolak dan H1 diterima maka ß1 dianggap

tidak sama dengan nol dan terdapat hubungan saling mempengaruhi antara klorofil-a dengan transparansi perairan. Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi jika Fhitung-nya empat sampai lima kali lebih besar dari Ftabel pada selang

kepercayaan 95% (Drapper dan Smith, 1981).

3.3.5 Pemetaan klorodil-a dan transparansi perairan Teluk Jakarta Selanjutnya setelah pengolahan citra dan pengujian algoritma yang diperoleh selesai, dilakukan pemetaan kondisi perairan Teluk Jakarta hingga tahun 2009 khususnya yang berkaitan dengan konsentrasi klorofil-a dan transparansi perairan. Dari pemetaan ini kemudian diketahui degradasi kondisi lingkungan Teluk Jakarta serta akan dikaji penyebabnya dihubungkan dengan data-data pendukung.

Pemetaan dilakukan hanya untuk wilayah Teluk Jakarta pada koordinat 5°53'23.28" LS - 6°7'46.92" LS dan 106°37'10.92" BT - 107°1'40.8" BT.

(41)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemodelan

4.1.1 Pengembangan model penduga klorofil-a perairan

Berdasarkan grafik hubungan antara data klorofil-a in situ dengan reflektansi kombinasi kanal yang dikorelasikan, terlihat bahwa korelasi yang menunjukkan pola paling teratur adalah korelasi dengan menggunakan kromatisiti merah. Persamaan kromatisiti adalah sebagai berikut.

Kromatisiti merah =

-- - -

... (9)

Penggunaan kromatisiti merah baik untuk menduga konsentrasi klorofil-a di perairan, walaupun berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang lebih banyak menggunakan transformasi rasio. Wouthuyzen (1991) menggunakan rasio kanal-2/kanal-1 untuk mengekstrak konsentrasi klorofil di Teluk Omura, Jepang. Wibowo et. al. (1994) juga menggunakan rasio kanal (kanal-3/kanal-2) dalam mengekstrak konsentrasi klorofil di Cirebon, Lampung, Jambi, dan Jepara. Dwivedi dan Narrain (1987) dan Pentury (1997) menggunakan rasio kanal-2/kanal-1 dalam mengekstrak klorofil di daerah penelitiannya.

Maeden dan Kapetsky (1991) menyebutkan bahwa kanal-3 berperan dalam penentuan daerah penyerapan klorofil dan membedakan jenis tanaman. Kanal-1 juga berperan dalam penentuan klorofil yakni mendeteksi serapan klorofil serta membedakan antara tanah dan vegetasi (untuk kasus di darat), sedangkan peran kanal-2 adalah untuk mendeteksi kesuburan vegetasi. Berikut merupakan grafik hubungan nilai in situ klorofil-a dengan nilai kromatisiti merah, di mana N merupakan jumlah data yang digunakan.

(42)

Gambar 3. Hubungan kromatisiti merah dengan nilai in situ klorofil-a pada musim kemarau dan musim hujan

(43)

Pada musim kemarau, semakin besar nilai kromatisiti merah, semakin besar konsentrasi klorofil-a di stasiun pengamatan (Gambar 3). Sebaliknya, pada musim hujan, semakin besar nilai kromatisiti merah, nilai klorofil-a justru semakin rendah. Hal ini akan diuji dan divalidasi lebih lanjut dengan uji beda nilai tengah (uji-t), apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara konsentrasi klorofil-a dari model dengan konsentrasi klorofil-a in situ. Secara keseluruhan, kombinasi kanal yang paling mewakili adalah kromatisiti merah karena hubungan antara keduanya terlihat dalam pola yang jelas.

Setelah ditetapkan penggunaan kromatisiti merah dalam pengembangan model untuk klorofil-a, selanjutnya untuk mengetahui model yang paling tepat maka dicobakan enam model yakni model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power yang memiliki nilai R2 tinggi dan RMS

error paling kecil. Tabel berikut menunjukkan model-model yang diperoleh untuk

konsentrasi klorofil-a perairan.

Tabel 9. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R2 serta RMS error-nya

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error 1 Linear : y = 6.295x - 1.326 0.643 0.2039 2 Logaritmik : y = 1.733ln(x) + 2.666 0.599 0.2162 3 Eksponensial : y = 0.012e12.22x 0.745 0.1784 4 Polynomial orde 2 : y = 55.76x2 - 26.17x + 3.293 0.749 0.1709 5 Polynomial orde 3 : y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 0.765 0.1655 6 Power : y = 30.54x3.437 0.723 0.1906

(44)

Model polynomial orde 3 memiliki nilai R2 paling tinggi yakni 0.765 dan sekaligus memiliki nilai RMS error paling rendah yakni 0.1655 (Tabel 11). Hal ini berarti sebanyak 87.46% nilai klorofil-a yang diperoleh dapat dijelaskan oleh model, dan hanya sebanyak 12.54% yang tidak dapat dijelaskan oleh pemodelan. Demikian pula nilai penyimpangan RMS-nya terendah sehingga membuktikan bahwa model paling baik karena hampir semua data mendekati garis regresi. Dari sini dapat disimpulkan model polynomial orde 3 dapat digunakan sebagai model penduga konsentrasi klorofil-a pada musim kemarau sebagai berikut.

y = 415.8x3 - 304.1x2 + 75.97x - 6.204 ... (10) di mana:

y = konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

x = nilai kromatisiti merah

Tabel 10. Beberapa model konsentrasi klorofil-a di perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R2 serta RMS error-nya

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error 1 Linear : y = -7.201x + 2.717 0.756 0.0732 2 Logaritmik : y = -2.41ln(x) - 2.334 0.764 0.0721 3 Eksponensial : y = 1715e-26.1x 0.747 0.0715 4 Polynomial orde 2 : y = 56.62x2 - 45.02x + 9.017 0.777 0.0701 5 Polynomial orde 3 : y = -3900.x3 + 3947.x2 - 1336.x + 151.4 0.810 0.1458 6 Power : y = 2.10-05.x-8.65 0.738 0.0730

Untuk musim hujan, nilai R2 paling tinggi terdapat pada model polynomial orde 3, yakni 0.810 (Tabel 12). Dari nilai R2 diketahui nilai koefisien korelasinya

(45)

(r) sebesar 0.9. Hal ini berarti sebanyak 90% nilai klorofil-a yang diekstrak dari citra dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini. Nilai klorofil-a yang tidak dapat dijelaskan oleh model polynomial orde 3 ini hanya 10% saja.

Model yang memiliki nilai RMS error paling rendah adalah model polynomial orde 2 dengan nilai 0.0701. Namun, karena nilai R2 jauh lebih tinggi pada model

polynomial orde 3 maka pada musim hujan model yang dianggap paling baik

untuk menduga konsentrasi klorofil-a adalah model polynomial orde 3. Jadi, model penduga konsentrasi klorofil musim hujan adalah sebagai berikut.

y = -3900.x3 + 3947.x2 - 1336.x + 151.4 ... (11) di mana:

y = konsentrasi klorofil-a (mg/m3)

x = nilai kromatisiti merah

4.1.2 Pengembangan model penduga transparansi perairan

Untuk model penduga transparansi perairan, kombinasi kanal terbaik yang ditetapkan dalam pemodelan trasnparansi perairan ini adalah menggunakan kromatisiti biru. Pemilihan kromatisiti biru ini karena grafik hubungan antara kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan menunjukkan pola yang paling teratur, yaitu semakin tinggi kombinasi kanal terpilih (kromatisiti biru) semakin tinggi pula transparansinya. Adapun kombinasi kanal kromatisiti biru sebagai berikut.

Kromatisiti biru =

-- - -

... (12)

Berikut merupakan grafik hubungan kromatisiti biru dengan nilai transparansi

(46)

Gambar 4. Hubungan kromatisiti biru dengan nilai in situ transparansi perairan (m) pada musim kemarau dan musim hujan

(47)

Maeden dan Kapetsky (1991) menyatakan bahwa penerapan aplikasi kanal-1 Landsat TM adalah untuk penetrasi ke badan air, pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, dan pembeda tanah dan vegetasi. Karena kanal-1 terspesifikasi untuk pemetaan perairan pesisir serta mengetahui penetrasi cahaya matahari ke perairan maka kanal-1 baik untuk digunakan sebagai kombinasi kanal terpilih dalam pemodelan transparansi perairan. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah kromatisiti kanal-1. Penggunaan kanal tunggal (kanal-1) seperti penelitian Mujito et. al. (1997) di Situbondo maupun rasio kanal (kanal-1/kanal-3) seperti penelitian Chipman et. al. (2004) di Danau Wisconsin, USA tidak digunakan dalam pengembangan model karena grafik hubungannya dengan nilai in situ perairan tidak menunjukkan adanya hubungan yang teratur. Hasil pemodelan dengan kromatisiti biru ini disajikan dalam Tabel 11 untuk model pada musim kemarau dan Tabel 12 untuk model pada musim hujan.

Tabel 11. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim kemarau (Mei-Oktober) dan nilai R2 serta RMS error-nya

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error 1 Linear : y = 35.21x - 8.014 0.851 0.7158 2 Logaritmik : y = 12.22ln(x) + 17.26 0.835 0.7535 3 Eksponensial : y = 0.218e8.266x 0.876 0.7637 4 Polynomial orde 2 : y = 59.41x2 - 7.105x - 0.616 0.858 0.6996 5 Polynomial orde 3 : y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 0.866 0.6804 6 Power : y = 85.63x2.905 0.880 0.7095

(48)

Koefisien determinasi tertinggi pada model-model transparansi perairan musim kemarau (Tabel 11) adalah 0.880 pada model power. Nilai R2 yang tinggi setelah power adalah eksponensial sebesar 0.876, setelah itu beturut-turut

polynomial orde 3, polynomial orde 2, logaritmik, dan yang terkecil adalah pada

model linear dengan nilai R2 0.851. Nilai R2 merupakan krikteria kecocokan model dan berkisar antara 0-1 di mana semakin besar nilai R2 (mendekati satu) maka nilai model dugaan semakin baik pula. Nilai koefisien determinasi 0.880 berarti memiliki koefisien korelasi (r) 0.9381, yang menunjukkan bahwa 93.81% keragaman transparansi dapat dijelaskan dengan model tersebut dan sebanyak 6.19% perubahan transparansi perairan tidak dapat dijelaskan oleh model.

Untuk nilai RMS error, semakin kecil nilai kesalahan ini, maka akan semakin baik model hubungan yang dibuat. Tabel 11 menunjukkan bahwa model yang memiliki nilai RMS error terkecil adalah model polynomial orde 3 sebesar 0.0540 dan model yang memiliki nilai RMS error terbesar adalah model eksponensial dengan nilai error sebesar 0.0606. Hal ini berarti model power memiliki nilai R2 paling tinggi dan model polynomial orde 3 memiliki nilai RMS error paling kecil. Dari hasil ketiga pengujian tersebut maka diambil kesimpulan untuk

menggunakan model polynomial orde 3 sebagai model transparansi perairan untuk musim kemarau sebagai berikut.

y = -1297.x3 + 1479.x2 - 518.4x + 59.87 ... (13) di mana:

y = nilai transparansi perairan (m)

(49)

Tabel 12. Beberapa model transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan (November-April) dan nilai R2 serta RMS error-nya

No. Model Hubungan Pengujian

R2 RMS error 1 Linear : y = 103.2x - 28.27 0.760 1.5014 2 Logaritmik : y = 33.27ln(x) + 42.8 0.750 1.5308 3 Eksponensial : y = 0.002e23.07x 0.685 1.7921 4 Polynomial orde 2 : y = 486.4x2 - 213.9x + 23.08 0.772 1.4621 5 Polynomial orde 3 : y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 0.773 1.4601 6 Power : y = 20521x7.517 0.692 1.5640

Nilai R2 tertinggi dengan nilai 0.773 terdapat pada model polynomial orde 3 dan 3. Nilai R2 0.773 berarti memiliki nilai r (koefisien korelasi) 0.8792. Jadi, sebanyak 87.92% data transparansi perairan dapat dijelaskan oleh model

polynomial tersebut, dan hanya 12.08% yang tidak dapat dijelaskan dengan model

tersebut. Nilai R2 yang juga tinggi setelah polynomial 3 adalah polynomial 2 dengan nilai 0.772. Nilai R2 yang terkecil adalah pada model eksponensial dengan nilai R2 0.685.

Nilai RMS error terkecil terdapat pada model polynomial orde 3 yakni sebesar 1.4601. Pada model polynomial orde 3, nilai RMS error-nya tidak jauh berbeda dengan pada polynomial orde 2 yaitu 1.4621. Nilai RMS error terbesar adalah pada model eksponensial dengan nilai error sebesar 1.7921.

Dari hasil pengujian model tersebut maka dapat disimpulkan bahwa model transparansi perairan yang paling tepat untuk musim hujan adalah model

(50)

paling kecil. Jadi dalam penelitian ini, untuk memetakan nilai transparansi perairan Teluk Jakarta pada musim hujan digunakan model berikut.

y = -3312.x3 + 3724.x2 - 1264.x + 136.1 ... (14) di mana:

y = nilai transparansi perairan (m)

x = nilai kromatisiti biru

4.2 Pengujian model 4.2.1 Uji-t

Uji beda nilai tengah (uji-t) dilakukan untuk mengetahui beda nilai tengah antara nilai duga dari model hubungan yang dibuat dengan nilai in situ klorofil-a dan transparansi perairan (Tabel 13).

Tabel 13. Hasil uji-t pengembangan model penduga

Keterangan Hasil

Uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga

Musim Kemarau

t-hitung = 0.0192 t-tabel = 1.9680

t-hitung berada dalam

kisaran t-tabel Musim Hujan

t-hitung = 3.4612 t-tabel = 2.0017

t-hitung di luar kisaran

t-tabel

Uji-t antara nilai in situ transparansi perairan dengan nilai duga

Musim Kemarau

t-hitung = 0.2272 t-tabel = 1.9725

t-hitung berada dalam

kisaran t-tabel Musim Hujan

t-hitung = 0.0260 t-tabel = 1.989

t-hitung berada dalam

kisaran t-tabel

Hasil uji-t antara nilai in situ konsentrasi klorofil-a dengan nilai duga pada musim kemarau memiliki nilai t-hitung 0.0192 masuk dalam selang kritis (-1.9680 < (t-hitung = 0.0192) < 1.9680) sehingga model pendugaan konsentrasi klorofil-a untuk musim kemarau yang dibuat dapat diandalkan. Selang kritis ini merupakan

(51)

wilayah terima. Jika t-hitung masuk dalam wilayah terima, maka model dapat diandalkan karena nilai tengah pengukuran in situ tidak beda nyata dengan nilai duga ( 1 = 2). Jika t-hitung di luar selang kritis ini, maka t-hitung berada dalam

wilayah penolakan sehingga model tidak dapat diandalkan karena in situ berbeda

nyata dengan duga ( 1 2). Namun, nilai t-hitung untuk musim hujan berada di

luar selang kritis ((t-hitung = 3.4612) > 2.0017). Hal ini berarti nilai tengah antara klorofil-a in situ dengan model dugaan berbeda nyata ( 1 2) sehingga model

pendugaan konsentrasi klorofil-a pada musim hujan yang dikembangkan tidak terlalu baik dalam menduga konsentrasi klorofil-a. Hal ini bisa saja terjadi karena pengaruh cuaca pada musim hujan yang menghambat pengambilan sampel air laut. Selain itu, Teluk Jakarta merupakan perairan tipe II yang sifat optik air lautnya didominasi oleh sedimen suspensi, bahan organik terlarut (yellow

substances), dan partikel yang berasal dari tanah, sungai, dan gletser (Lo, 1996).

Pada musim hujan, terjadi pencampuran antara material-material yang terkandung dalam air laut sehingga menghambat proses pencitraan yang dilakukan satelit, dalam hal ini menyebabkan sensor satelit kurang mampu membedakan pantulan yang berasal dari fitoplankton atau dari material terlarut lainnya.

Untuk uji-t model penduga transparansi perairan musim kemarau, nilai

t-hitung 0.2272 masuk dalam selang kritis (-1.9725 < (t-t-hitung = 0.2272) < 1.9725).

Sama halnya dengan musim kemarau, nilai t-hitung untuk transparansi pada musim hujan adalah -0.0260 dan masuk dalam selang kritis (-1.989 < (t-hitung = 0.0260) < 1.989). Jika t-hitung masuk dalam selang t-tabel maka model dapat diandalkan. Hal ini berarti kedua model transparansi perairan dapat diterima dan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh harga minyak dunia, harga emas, dan tingkat inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 2003-2012, dengan

Pada keadaan yang demikian tanaman akan mampu mengekstrak air dari volume tanah yang lebih dalam dan luas, sehingga mampu menyediaan air lebih banyak untuk mendukung

Saran dalam penelitian ini adalah seluruh dinas yang ada di pemerintah daerah Kabupaten Batang harus meningkatkan kejelasan sasaran anggaran, pengawasan fungsional,

Di dalam sistem manajemen user pimpinan dapat melakukan melihat data user yang ada di dalam sistem, jika dosen ingin melakukan melakukan data user pada sistem maka pimpinan

Perbandingan antara titik pengamatan 3 (tiga) sebelum adanya jalan layang dengan LOS D sedangkan titik pengamatan 3 (tiga) setelah adanya jalan layang menurun

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kuat tekan, kuat tarik dan kuat lentur beton yang dihasilkan dari penambahan terak tanur tinggi dari

Membaca masukan analog atau diskret, mengeluarkan isyarat kawalan dalam bentuk analog atau diskret, menyediakan satu bentuk antaramuka pengguna, membaca/mengimbas papan kekunci

Mengeja perkataan –perkataan yang terdapat dalam word maze.. Buku rekod aktiviti