• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA/DASAR PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KERANGKA/DASAR PEMIKIRAN"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Film

Film adalah salah satu media tutur audio visual untuk menyampaikan komunikasi secara fiksi atau non fiksi.

6Joseph V. Mascelli dalam bukunya 5c‟s of Cinematography mengatakan, “a

motion picture is made up of many shots. Each shot requires placing the camera in the best positon for viewing players, setting and action at that particular moment in the narrative.

Sederhananya adalah sebuah karya film terdiri dari integrasi jalinan cerita. Jalinan cerita terbentuk dari menyatunya peristiwa dari adegan/scene yang dibentuk oleh pengambilan gambar.

Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini.7 Lebih dari ratusan juta orang menonton film di

bioskop, film televisi dan film video setiap minggunya.

Film amerika di produksi di Hollywood. Film yang dibuat disini membanjiri pasar global dan memengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang dibelahan dunia.

6 Joseph V. Mascelli, The Five C‟s of Cinematography,Silman James Press, Los Angeles, hal 11 7 Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Dra. Siti Karlinah, M.Si., Komunikasi Massa Suatu

(2)

2.1.2 Film Sebagai Media Komunikasi Massa

Film lebih dahulu menjadi media hiburan dibanding radio siaran dan televisi. Menonton film bioskop ini menjadi aktivitas populer bagi orang Amerika pada tahun 1920-an sampai 1950-an.

Industri film adalah industri bisnis. 8Predikat ini telah menggeser anggapan orang

yang masih meyakini bahwa film merupakan karya seni yang idealis, yang diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang bertujuan memperoleh estetika (keindahan) yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya adalah bentuk karya seni, industri film adalah industri yang menguntungkan, dan terkadang menjadi mesin uang bagi pembuatnya, sehingga terkadang keuar dari kaidah artistik film itu sendiri.

Film atau motion picture ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan proyektor. Film pertama yang diperkenalkan kepada publik di Amerika Serikat adalah The life of an American Fireman dan film the Great Train Robbery yang dibuat oleh Edwin S. Porter pada tahun 1903. Tetapi dalam film The Great Train Robbery yang masa putarnya hanya 11 menit dianggap sebagai film cerita pertama, dan menjadi peletak dasar teknik editing yang baik. 9

2.1.3 Fungsi Film

Seperti halnya siaran pada televisi, tujuan khalayak menonton sebuah tayangan adalah untuk memenuhi hasrat tentang hiburan yang membuat kepuasan secara psikologis. Akan tetapi dalam film dapat terkandung fungsi informatif dan edukatif, bahkan persuasif.10 Hal ini membuat fungsi film semakin berkembang

dari hanya sekedar hiburan menjadi forum diskusi yang sangat penting demi menggambarkan sebuah aspek tertentu dalam bentuk audio visual. Sejalan dengan

8 Ibid hal 143 9 Ibid hal 144 10 Ibid hal 145

(3)

misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional dapat digunakan sebagai media pendidikan. Film nasional dapat digunakan sebagai media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nation and character building. Fungsi edukasi dapat berjalan dengan baik apabila film nasional memproduksi film-film sejarah yang objektif, atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang.11

2.1.4 Karakteristik Film dalam Media Komunikasi Massa

Faktor-faktor yang dapat menunjukkan karakteristik film adalah layar lebar, pengambilan gambar, konsentrasi penuh dan identifikasi psikologis

a. layar yang luas/lebar

film dan televisi sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran luas. Saat ini ada layar televisi yang berukuran jumbo, yang bisa digunakan pada saat-saat khusus dan biasanya di ruangan terbuka, seperti dalam pertunjukkan musik dan sejenisnya. Layar film yang luas telah memberikan keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan dalam film.

b. Pengambilan Gambar

Dalam sebuah film pengambilan gambar atau shot dalam film bioskop merupakan bagian pokok dalam tercapainya pesan melalui audio visual, maka pengambilan gambar memungkinkan dari jarak jauh atau

(4)

extreme long shot, dan panoramic shot, yakni pengambilan pemandangan menyeluruh. Shot tersebut dipakai untuk memberi kesan artistik dan suasana sesungguhnya, sehingga film menjadi lebih menarik.

c. Konsentrasi Penuh

Dari pengalaman kita masing-masing, disaat kita menonton film di bioskop, bila tempat duduk sudah penuh atau waktu main sudah ditutup, lampu dimatikan, tampak didepan kita layar luas dengan gambar-gambar cerita film tersebut. Semua mata tertuju pada layar dan perasaan kita tertuju pada alur cerita dimana hal itu mempengaruhi emosi bagi khalayak yang menontonnya.

d. Identifikasi Psikologis

Kita semua dapat merasakan bahwa suasana di gedung bioskop telah membuat pikiran dan perasaan kita larut dalam cerita yang disajikan. Karena penghayatan kita yang amat mendalam, seringkali secara tidak sadar kita menyamakan (mengidentifikasikan) pribadi kita dengan salah satu pemeran dalam film itu, sehingga seolah-olah kita lah yang sedang berperan. Gejala ini menurut ilmu jiwa sosial disebut sebagai identifikasi psikologis.12

12 Ibid hal 145-148

(5)

2.2 Ilmu Komunikasi dalam Film Dokumenter

2.2.1 Pandangan Ahli Mengenai Definisi Film Dokumenter

Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter.

Grierson mendefinisikan film dokumenter sebagai “karya ciptaan mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)13”. Realita dalam film

dokumenter harus selalu memiliki konteks dan makna dari suatu peristiwa. Disamping itu konteks juga merupakan pokok utama dalam sebuah penuturan14. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité. Pandangan ini awalnya dikemukakann oleh Dziga Vertov di Rusia. Teori yang memiliki sebutan lain yakni Kino Pravda (film kebenaran, Kino Eye (mata film), dari Vertov berkembang ke seluruh dunia. Pada tahun 1950-an, para dokumentaris Prancis mengikutinya dan kemudian mereka menamakan pendekatan dan gaya itu sebagai Cinema Verite. Sebagai teori dan pengembangan pendekatan film dokumenter, Cinema Verite dianggap dapat

13Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 214

14Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal 94

(6)

menengahkan realita visual sederhana dan apa adanya, yang diyakini dan menjaga spontanitas aksi dan karakter lokasi otentik sesuai realita.

Pendapat kontemporer yang banyak diamini oleh dokumenterian dunia disampaikan oleh pengajar di University of Albany yang mengatakan bahwa dokumenter adalah produk dari ekspresi dan kehendak bebas sang pembuat film. Dalam bukunya yang berjudul Documentary Storytelling ia mengatakan.

”Documentaries bring viewers into new worlds and experiences through presentation of factual information about real people, places, and events, generally -but not always- portrayed through the use of actual images and artifacts .“15

Para dokumentaris Cinema Verite menolak penggunaan perangkat pelengkap kamera seperti tracking rails, dollies, tripods, cranes, dan semacamnya. Peralatan tersebut mereka anggap sebagai faktor penghambat bagi realisasi spontanitas adegan atau peristiwa saat perekaman gambar16. Stephen

Mamber dalam Peter Lee Wright mengatakan :

”cinéma vérité can be described as a method of filming employing hand-held camera and live, synchronous sound. This is a base description, however, for cinéma vérité should imply a way of looking at the world as much as a means of recording. . . The essential element of cinéma vérité . . . is the use of real people in undirected situations17”.

Hal ini memang menjadi sudut pandang dasar pembuatan film dokumenter diseluruh dunia, seberapa nyata kejadian, waktu dan karakter tanpa dipengaruhi unsur-unsur manipulatif seperti peng-adeganan dalam film itu sendiri. Bruno Forestier, seorang pemeran film dokumenter Perancis arahan Jean-Luc Godard‟s yang berjudul “Le Petit Soldat” (1963), sempat mengkritik Cinéma Vérité dalam dokumenter. Dalam Peter Lee Wright ia mengatakan,

15 Sheila Curran Bernard, Documentary Storytelling:Creative Nonfiction on Screen, Focal Press, Oxford, hal 56

16 Ibid, hal 16

(7)

“The single most persistent argument about documentary is how truthful it is, or should aspire to be18”.

Menurut Bruno, pengadeganan masih diperlukan dalam pembuatan film dokumenter tanpa menghilangkan unsur Cinema Verite dalam bentuk subjektivitas. Ada pendapat lain yang disampaikan Edgar Morin seorang kritikus film di paris dalam Peter Lee Wright yang tulisannya dimuat dalam Pompidou Centre mengenai Cinema Verite:

There are two ways to conceive of the cinema of the Real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways to conceive cinéma vérité. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth19.

Maksudnya adalah ada dua cara untuk menyusun sebuah film menjadi nyata, pertama adalah berpura-pura anda dapat menyampaikan kenyataan, dan yang kedua adalah membuat konflik pada kenyataan. Sedangkan ada dua cara untuk mendapatkan Cinema Verite dalam film dokumenter, pertama adalah berpura-pura anda membawa kebenaran dalam film. Kedua adalah membentuk masalah pada kebenaran yang anda angkat. Kita dapat memilih bagian manapun yang paling cocok dengan film dokumenter kita. Micheal Rabiger dalam Directing The Documentary20 memberikan pendapatnya tentang dokumenter

setelah menganalisa karya-karya dokumentarian besar seperti Grierson, Vertov, Flaherty, Eisenstein dan Pudovkin.

“True documentary reflects the richness and ambiguity of life, and goes beyond the guise of objective observation to include impressions, perceptions, and feelings”.

18 Ibid, hal 92

19 Ibid., hal 93

(8)

Pendapat Rabiger ini mewakili jawaban mengenai pengembangan konsep kontemporer Cinema Verite dalam film dokumenter yang dahulu didominasi pengertian klasik.

Di Amerika, konsep Cinema Verite berkembang satu dekade kemudian yaitu tahun 1960 dengan nama yang berbeda yaitu Direct Cinema. Konsep Direct Cinema sebenarnya tidak berbeda dengan Cinema Verite, hanya saja Direct Cinema sering dipakai dalam program-program televisi untuk dijadikan strategi komersial. Memanfaatkan metode Cinema Verite dalam program televisi terbukti sangat sukses. Seperti yang terjadi pada seri televisi ”The Family” yang sukses merekam kehidupan keluarga Wilkins di Inggris era 70an. Paul Watson sebagai Filmmaker melakukan observasi kepada keluarga Wilkin selama 12 minggu untuk meriset apakah ada cerita realitas dramatik yang mampu menarik penonton, Paul Watson akhirnya mengemas seri The Family dengan nuansa film pada dokumenter yang biasanya kaku. Seri ini kemudian laku keras dan membawa angin segar pada industri dokumenter televisi.

Lain halnya dengan Cinema Verita dan Direct Ciinema, Free Cinema merupakan bentuk lain dari dokumenter. Tidak semua Free Cinema masuk dalam kategori film dokumenter. Free Cinema lebih sebagai pendekatan gaya yang merupakan gabungan antara dokumenter dan film fiksi21.

Tiga karya Free Cinema yang diunggulkan adalah “O Dreamland” (1953, Lindsay Anderson), “Nice Time” (1957, Alain Tanner dan Claude Goretta) dan Together (Mazetti dan Horn).

21 Gerzon R. Ayawaila, Dokumenter dari Ide sampai Produksi, FFTV-IKJ Press, Jakarta, 2008, hal 19

(9)

2.2.2 Film Dokumenter dalam Media Massa

Penggunaan media massa merupakan sebuah strategi yang cukup efektif dalam menyampaikan pesan dan tujuan dari film dokumenter. Dengan daya jangkau yang luas, media massa dapat menjadi penyampai pesan yang efektif. Sehingga dapat mempengaruhi pengetahuan, sikap, serta perilaku masyarakat itu sendiri. Melalui media massa, komunikasi massa dapat dilakukan dengan berbagai tujuan komunikasi dan untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas. Pengertian komunikasi massa terutama dipengaruhi oleh kemampuan media massa untuk membuat produksi massal dan untuk menjangkau khalayak dalam jumlah besar. Makna massa sendiri, mengacu pada kolektifitas tanpa bentuk, yang komponen-komponennya sulit dibedakan satu sama lain.

Melalui media massa dapat tercipta identitas bersama dengan kemampuan dapat tercipta keharmonisan. Arti penting media massa dalam merekatkan warga kedalam wadah kebangsaan tampak jelas dalam setiap revolusi di seluruh dunia. Negara besar seperti Amerika, mengapa dapat bertahan sampai sekarang, karena mereka mempunyai nilai-nilai bersama yang bermula dari komunikasi massa dan disebarkan melalui media massa.

Media elektronik, seperti televisi lebih cepat untuk menyajikan informasi daripada media cetak. Pemilihan televisi sebagai media pemutaran karya dokumenter bukannya tanpa dasar, seorang kritikus sosial Michael Novak mengatakan:

“Televisi adalah pembentuk geografi jiwa. Televisi membangun struktur ekspektasi jiwa secara bertahap. Itu persis seperti sekolah yang memberi pelajaran

(10)

secara bertahap, bertahun-tahun lamanya. Televisi mengajari pikiran yang belum matang dan mengajari mereka cara berpikir”22.

Berarti televisilah yang mengajarkan nilai-nilai, norma-norma sosial, dan pengalaman kepada pemirsa, jika pemirsa dianggap pasif. Televisi berfungsi menanamkan ideologi. Usaha untuk menganalisis akibat-akibat penanaman ideologi tersebut dinamakan cultivation analysis. Pada kenyataannya teori-teori yang ada tidak dapat seratus persen diterapkan karena komunikasi massa dan media massa terlalu kompleks, namun gagasan terhadap komunitas ada benarnya. Khalayak akhir-akhir ini dipandang sebagai anggota komunitas yang diperlakukan tidak sama yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok kecil mereka. Ketika agenda media mempengaruhi agenda masyarakat disebut persuasi23.

Meskipun begitu, massa atau khalayak tidak serta-merta dipengaruhi secara pasif. Pesan-pesan dan program TV tidak ditentukan secara pasif, tetapi dihasilkan secara aktif oleh audien. Ini berarti audien sebenarnya melakukan sesuatu dengan apa yang mereka lihat, dengar, dan baca24. Dalam level ini televisi

tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menawarkan isi (content) yang bermanfaat pada tayangan yang disajikan kepada pemirsa. Informasi yang bernilai guna, bermanfaat, dan menciptakan suatu ketertarikan bersama agar menjadikan mereka terhubung. Ketertarikan pada acara yang sama dalam kelompok olahraga, cerita misteri, dan kartun yang disiarkan televisi. Fungsi komunikasi massa telah masuk disini, yaitu fungsi penghubung (lingkage): kelompok-kelompok yang terpisah

22 Mondry, Pemahaman Teori dan Praktik Jurnalistik, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hal 225 23 Littlejohn, Stepehen W, dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi: Theories of Human Communication, Salemba Humanika, Jakarta, 2009, hal 417

(11)

secara geografis (tetapi dekat secara psikologis) menjadi terhubung25. Mekanisme

produksi terdiri dari beberapa tahapan, pertama Pra roduksi, Dalam tahap ini semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan perlengkapan dan pematangan konsep dilakukan, membutuhkan waktu minimal dua bulan. Kedua produksi, pada saat produksi merupakan pelaksanaan dari semua yang telah dipersiapkan pada tahap praproduksi. Pelaksanaan produksi membutuhkan waktu satu bulan. Ketiga, paska produksi, umumnya sebelum memasuki tahap editing. Proses penyuntingan terbagi menjadi dua off-line dan on-line.

2.2.3 Konsep Penata Fotografi

Pembuatan sebuah film baik fiksi atau non fiksi sangat penting dalam menentukan sebuah pengarah kaidah fotografis supaya gambar yang dihasilkan bisa dinikmati, kaitan dalam proses produksi skripsi aplikatif yang bertajuk sebuah tayangan dokumenter, disini akan dipaparkan sebuah konsep secara umum mengenai apa saja peran penyuntingan gambar saat pra sampai produksi. Penyuntingan gambar biasa disebut dengan istilah Director of Photography yang tugasnya ialah bertanggung jawab dalam menciptakan dan menentukan kebijakan untuk membentuk sebuah imaji film, yang membentuk sebuah pandangan sinematik (cinematik look) dari kaidah fotografi dari pembuatan film. Selain itu Director of Photography menjadi supervisi personil kamera lainnya dan pendukungnya dengan saling mengkoordinasi peran, yang juga bekerja sangat dekat dengan sutradara pada saat produksi. Dengan pengetahuannya mengenai

(12)

pencahayaan, lensa, kamera, dan imaji digital. Seorang sinematografer pada pembuatan dokumenter menciptakan kesan dan rasa yang tepat, serta menciptakan gaya dan suasana untuk membangkitkan emosi penonton. Dalam pekerjaan penata fotografi terlibat pada praproduksi hingga produksi banyak hal sinematik yang ditentukan oleh seorang pengarah fotografi.

Dalam proses pra produksi penata fotografi membuat sebuah rencana yang sudah disepakati bersama sutradara membentuk konsep estetis, teknis dan realistis fotografis, hal tersebut terdiri dari :

1. Menganalisa shooting script dokumenter dan membahasanya bersama sutradara dan personil kamera agar mencapai kesesuaian penafsira untuk mewujudkan gagasan penulis skenario dan sutradara dalam bentuk nyata dengan menciptakan konsep look dan mood yang disepkati bersama untuk membentuk penceritaan yang sesuai.

2. Bersama sutradara Director of Photography yang sudah meriset lokasi pengambilan gambar melakukan penentuan dimana blocking pengambilan gambar akan dilakukan.

3. Berkoordinasi dengan sutradara dilapangan, proses produksi dokumenter dilakukan pengecekan gambar setiap selesai shooting sesuai hasil hunting. Kemudia merencanakan letak kamera dan pencahayaan di lokasi dengan membuat floorplan khususnya ketika wawancara

4. Membentuk, memilih/menentukan teamwork yang dianggap memenuhi persyaratan.

(13)

5. Menjabarkan konsep visual dalam pencapaian suasana serta rasa (mencakup warna, pencahayaan, karakter visual, komposisi yang juga menghasilkan gerak) dengan memahami terlebih dahulu referensi foto/gambar yang selanjutnya mendiskusikan dengan camera person. 6. Menentukan kebutuhan dan menjamin semua peralatan dengan

spesifikasi sesuai dengan kebutuhan desain visual, kemudian mengkoordinasikan tugas dilapangan ketika produksi. Merencanakan dan menentukan kebutuhan sarana peralatan dan bahan baku yang diperlukan dalam menjalankan tugasnya.

7. Melakukan pengujian alat terlebih dahulu agar sesuai dengan

8. kebutuhan saat produksi sehingga mengurangi kesalahan saat produksi. Pernyataan diatas merupakan perencanaan penata fotografi ketika pra-produksi menentukan sebuah gambar yang akan direalisasikan dalam proses produksi.

Dengan demikian perencanaan sangat penting bagian Director of Photography agar mendapatkan gambar yang sesuai kaidah fotografi dengan melakukan rencana sedetail mungkin dari mulai teknis, rencana gambar, peralatan, kondisi lapangan dan menentukan kebijakan lapangan. Maka dari itu ketika proses produksi DOP harus melakukan beberapa hal yang menunjang kebutuhan produksi supaya tidak terjadi kesalahan yang signifikan karena semua merupakan tanggung jawab DOP.

Beberapa hal yang harus dilakukan penata fotografi saat produksi

1. mempelajari shooting script dan breakdown gambar dimana penata fotografi mengembangkan checklist gambar setiap hari karena kondisi

(14)

lapangan yang suatu saat bisa berubah tidak sesuai rencana dan merencanakan berapa rencana untuk hari berikutnya. Dalam pengambilan gambar harus memperhatikan masalah lingkungan dan pencahayaan. 2. Memberikan pengarahan tegas fdan tepat pada personil kamera sesuai

rencana desain visual.

3. Mengembangkan teknis kreatif saat produksi dan menjaga kesinambungan atmosfer narasumber.

4. Saat subyek narasumber sedang dilakukan pemahaman oleh sutradara, maka penata fotografi menentukan komposisi dan angle sesuai blocking yang diinginkan sutradara.

5. Siap menghadapi perubahan situasi diluar rencana yang dibuat (perubahan cuaca, atau lingkungan subyek yang berubah karena perubahan konflik). Memeriksa laporan kamera.

2.3 Teori Kajian Pengambilan Gambar Dokumenter 2.3.1 Andre Bazin dalam teori Long Take

Akan ada pembahasan dalam dua bagian yang akan menyelidiki film Orson Welles‟The Trial‟ (1963) sebagai model untuk menjelaskan teori “Long Take” menurut Brian Henderson, berdasarkan pendapat terhadap sudut kritis Brian Henderson, Ia akan menggunakan skema klasifikasi sebagai dasar untuk pemahaman yang lebih menyeluruh tentang teori "gap" atau “long take” yang ada antara dua pilar dalam film, yaitu, teori eksklusif Sergei Eisenstein dan Andre Bazin. Ini akan menunjukkan bahwa teori-teori yang kurang dipopulerkan dalam

(15)

dunia perfilman, tetapi mereka berdua belum memberikan banyak pengaruh pada praktisi pembuat film yang dimana Eisenstein dengan teori montage dan Bazin dengan Teori Realitas dalam film.

Poin pada penjelasan ini akan mengarah pada atau pendekatan untuk pengembangan teori “Long Take of the Moving Camera”; dan dengan demikian, ini menjadi pertanda adanya gambaran film di masa depan dimana film menjadi suatu proses yang sistematis dimana film menjadi pemisah antara realitas dan mentalitas, diantara kesempurnaan awal dan konsep murni, dan antara teori Bazin dan Eisenstein.

Bahkan Henderson mengakui jenis tertentu merupakan mundurnya perkembangan dalam teori evolusi film, kondisi yang dimana ada kemungkinan hubungan pada proses film itu sendiri, sehingga dijelaskan secara lebih konkrit yang dimaksud “montage” dan “long take theory” :

Kedua pendapat teori “montage” Eisenstein dan “long take theory” dari Bazin tidak hanya mengabaikan gaya yang sudah ada, (expressive editing + mise-en-scène), mereka menyangkal keberadaannya, keduanya lebih memilih yang baik atau untuk perkembangan mentalitas yang masing-masing melihat sesuatu yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, gabungan gaya “long take” dan teknik memotong gambar (cutting) jatuh tepat pada dua sekolah yang berbeda antara Bazin dan Eisenstein, bahwa dalam konsep ini mereka menggabungkan unsur-unsur yang berbeda yang disukai masing-masing, tetapi mereka dianggap jatuh

(16)

pada pemikiran mereka masing-masing dimana teori ini berbeda sama sekali diantara keduanya sehingga dianggap tidak saling mengenal.

“This is a prime instance of serious omission in the classical film theories, indeed of an entire category of film expression missing from them. This limitation is compounded in importance by the expressive impact that editing has upon the long-take sequence."26

Yang menjelaskan bahwa adanya kesalahan pemahaman pada teori film klasik, dimana sesungguhnya dalam seluruh kategori film memang adanya sesuatu yang hilang dalam ekspresi film klasik yang hilang dari penemunya. Hal ini diperparah dengan pentingnya dampak ekspresif bahwa editing itu memiliki rujukan terhadap the long take sequence.

Kemudian teori Bazin dan Eisenstein bisa dijelaskan secara sederhana mengenai “the long take theory” yaitu Reality is taken to art (eisenstein) art is taken to reality (Bazin) bahwa Eisenstein cenderung berpendapat bahwa segala bentuk realitas menjadi sebuah karya seni yang bisa dikenal sebagai seni film dokumenter, sementara Bazin lebih memfokuskan bahwa sebuah karya seni diambil dari kejadian nyata. Hal ini memastikan fakta bahwa Eisenstein mewakili realitas (yaitu realitas dimanipulasi sebagai seni tetap dan murni). Sedangkan Bazin menganggap bahwa dia menyajikan sebuah realitas (yakni seni itu selalu berubah dan tidak pernah realistis), dengan kata lain seni dibawa ke realitas. Pada dasarnya hal itu mengara kepada konsep Orson Welles yang merupakan salah satu pengguna konsep “long take” dan “expressive editing directors” pada era film modern. Dimana merupakan seorang pembuat film yang sukses dalam mengubah

26 Brian Henderson, “The Long Take.” A Critique of Film Theory, New York: E. P. Dutton, 1980, pp. 53 - 54

(17)

pandangan antara gaya film modern dan klasik. Sebelum kita melanjutkan mengenai “long take directors” (terutama Welles dan filmnya), perlu untuk menganalisis teori-teori yang relevan mengenai “long take theories” yang sudah ditempatkan pada kerangka sinematik dalam sejarah saat ini.

Menurut Lutz Bacher dalam Thesisnya MA [berjudul The Mobile Mise-en-scène (1976)], ada dua pendekatan dasar untuk konsep “long take camera movement”. Pertama, masalah dapat dilihat dari perspektif “decoupage of spatio temporal” dari seluruh urutan atau adegan. Kedua, dapat dipahami dari point of view gaya fauthorial dimana merupakan estetika pergerakan kamera (camera movement) yang menjadi elemen ekspresif dalam mise-en-scene. Kemudian menurut Andre Bazin memecah “long take theories” sebagai berikut,

“There are only two long-take theories -Andre Bazin‟s, which is shared in essence by Jean Renoir and Roberto Rossellini, and Jean Mitry‟s, which is really an anti-long-take theory since it denies that it is essentially different.”27

Jadi bisa dimaksudkan bahwa mereka mendasari sesuatu yang berbeda mengenai “long take theories” sehingga dapat disimpulkan bahwa, “the long take theory” didasarkan pada kemampuan sebuah film atau kapasitas dalam membuat film untuk memunculkan konsep ontologi untuk mengurangi gap dalam spation temporal yang berasal dari ontologi objek atau hubungan antar objek, proses fotografi dan konsep dalam tempo sebuah objek. Analisis pandangan Bazin tentang realisme sinematik dengan cara penjelasan sebagai berikut:

27 Lutz Bacher, The mobile mise-en-scene: A critical analysis of the theory and practice of

long-take camera movement in the narrative film, Master‟s Thesis, Arno Press, Wayne State University,

(18)

Menurutnya (Bazin) “estetika memiliki hukum” long take hanya diperlukan untuk membuat sebuah adegan bersifat “seakan-akan nyata” menurutnya estetika diperlukan untuk membuat sesuatu (seni) terlihat seakan-akan benar atau nyata.

Its use at any other time is only a question of style and he indicates no stylistic preference here … Bazin justified the use of the long take by the criterion of "bringing an added measure of realism to the screen … It is, in fact, his main criterion for judging the realism of shooting styles."28

Pada metode klasik long take kegunaannya hanya sebagai sebuah gaya namun long take menurut bazin adalah memberikan tambahan unsur realitas pada layar sebuah film.

Berbeda pendapat dengan Andre Bazin, Menurut Bacher Lutz ada sebuah teori yang yang mengesampingkan pendapat Bazin secara terang-terangan. Pendapat ini disampaikan oleh Jean Mitry.

Mitry‟s long take formulation is an “anti-theory” which has not been popularized as much as Bazin‟s cinematic realism; but even so, Mitry‟s concept of synthesis (long take + montage) brings battle to Bazin‟s “ontological theory,” calling into question the meaning of cinematic reality.

Formula long take menurut Mitry merupakan “anti theory” yang tidak se populer teori realisme cinematic Bazin, tetapi konsep sintesis long take Mitry dapat memberikan perdebatan kepada teori ontologi Bazin yang mempertanyakan pengertian unsur realitas pada sinema.

28 Ibid, 192

(19)

Menurut Mitry, long take is not an aesthetic condition but a mode of free-minded expression, long take bukanlah sebuah kondisi estetis melainkan sebuah kebebasan ekspresi si pembuat film.

2.3.2 Konsep Penuturan Dokumenter

Film terbagi menjadi dua kategori yaitu fiksi dan non fiksi. Film fiksi merupakan film yang menampilkan ide cerita karangan atau cerita yang tidak terjadi di kehidupan nyata sementara film non fiksi merupakan film yang ceritanya berdasarkan kejadian nyata dan benar-benar terjadi di kehidupan nyata. Kita dapat melihat contoh dari film non fiksi salah satunya adalah film dokumenter. Film dokumenter adalah sebuah film yang menyajikan fakta sebagai cerita. Dalam istilah perfilman pandangan tentang dokumenter atau film yang berdasarkan fakta kejadian disebut Cinéma Vérité. Eve Light Honthaner dalam bukunya “Film Documentary Handbook” mengatakan,

”cinéma vérité can be described as a method of filming employing hand-held camera and live, synchronous sound. This is a base description, however, for cinéma vérité should imply a way of looking at the world as much as a means of recording. . . The essential element of cinéma vérité . . . is the use of real people in undirected

Situations”.29

Hal ini memang menjadi sudut pandang dasar pembuatan film dokumenter diseluruh dunia, seberapa nyata kejadian, waktu dan karakter tanpa dipengaruhi unsur-unsur manipulatif seperti peng-adeganan dalam film itu sendiri. Bruno Forestier, seorang pemeran film dokumenter Perancis arahan Jean-Luc Godard‟s yang berjudul “Le Petit Soldat” (1963), sempat mengkritik cinéma vérité dalam dokumenter. ia mengatakan, “The single most persistent argument about

(20)

documentary is how truthful it is, or should aspire to be”. Menurut Bruno, pengadeganan masih diperlukan dalam pembuatan film dokumenter tanpa menghilangkan unsur cinema verita dalam bentuk subjektivitas. Ada pendapat lain yang disampaikan Edgar Morin seorang kritikus film di paris dalam tulisannya di Pompidou Centre mengenai cinema verite:

There are two ways to conceive of the cinema of the Real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways to conceive cinéma vérité. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth30.

Maksudnya adalah ada dua cara untuk menyusun sebuah film menjadi nyata, pertama adalah berpura-pura kamu dapat menyampaikan kenyataan, dan yang kedua adalah membuat konflik pada kenyataan. Sedangkan ada dua cara untuk mendapatkan cinema verite dalam film dokumenter, pertama adalah berpura-pura kamu membawa kebenaran dalam film-mu. Kedua adalah membentuk masalah pada kebenaran yang kamu angkat. Kita dapat memilih bagian manapun yang paling cocok dengan film dokumenter kita

2.4 Lima Kajian Sinematografi

Dalam jobdesk Director of Photography istilah paling terkenal dalam konsep pengambilan gambar untuk membentuk makna yang tepat sebelum dilakukan secara teknis pengambilan gambar terkenal dengan istilah The Five C‟s of Cinematography dalam buku karya Joseph V. Mascelli yaitu:

1) Camera Angles 2) Continuity

30 Ibid, Hal 95

(21)

3) Cutting 4) Close Ups 5) Composition.31

Dimana dalam setiap unsur tersebut memiliki penjelasan yang tentunya sangat kompleks namun bisa disederhanakan sebagai berikut.

Camera angle merupakan konsep pengambilan gambar beradasarkan sudut pandang dari kamera kepada objek dan subjek tertentu, seorang dokumentaris yang berjobdesk DOP harus banyak membaca, banyak mengamati lingkungan, banyak berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat, dan banyak berdiskusi dengan lingkungan sosial dan budaya setempat, Sehingga camera angles sangat penting dan mempengaruhi cerita seperti yang tertulis di buku John V. Mascelli camera angles dibagi dua perspektif 1)Subjective Camera Angles yaitu

“The subjective camera films from a personal view point. The audiences participates in the screen action as a personal experiences.”32

Bahwa sudut pandang kamera berada pada subjek atau pemeran dalam film yang cenderung bergerak karena penampil diletakkan dalam gambar yang bertujuan supaya pandangan menjadi terhubung anatra mata dengan mata pada subjek lainnya.

Camera angles dalam subjective angles dibagi melalui metode dasar yaitu: 1) Point of View , of simply p.o.v camera angles record the scene from a particular player‟s view point. The point of view is an objective angle, but since it falls between the objective and subjective angle, it should be placed in a separate category and given special consideration33.

31 Joseph V. Mascelli, Five C‟s of Cinematography, Silman-James Press, Los Angles, Hal 2 32 Joseph V. Mascelli , Five C‟s of Cinematography, Silman James Press, Los Angeles, Hal 14 33 Ibid, Hal 22

(22)

Sederhananya ialah gambar merekam pandangan pemain tertentu yang berada diantara pandangan subject dan object.

2) Subject Size is the image size, the size of the subject in relation to the over all frame, determine of the shot photographed. The size of the image on the film is determined by the distance of the camera from the subject.34

Maksudnya adalah ukuran gambar dan ukuran subjek berhubungan dari semua keseluruhan frame berdasarkan tipe shot.

Dari pengertian subjektif angle maka dibagi berdasarkan tipe shot yaitu - Extreme Long Shot(ELS)35 tipe pengambilan diambil dari daerah yang luas dan

jarak yang jauh,

- Long Shot (LS36) tipe gambar yang mengambil keseluruhan area adegan seperti

tempat, orang, dan objek dalam scene,

- Medium Shot (MS or MD)37 diartikan tipe gambar yang didefinisikan sebagai shot jarak menengah karena diambil diantara jauh dan dekat dari wajah hingga lutut,

- Typical Two Shot38 adalah gambar yang sama dengan tipe medium shot namun

perbedaanya ialah objek pada gambar ada dua pemain,

- Close Up (CU) adalah secara umum tipe shot ini pengambilannya ada pada area wajah hingga bahu , namun banyak istilah dari ide Close Up itu sendiri seperti head and shoulder close up, head close up includes, dan a choker close up namun semua itu tergantung dari ide kameramen dan sutradara masing-masing dalam pembuatan film. Close up dibagi berdasarkan fungsinya menjadi:

34 Ibid, hal 24 35 Ibid, Hal 25 36 Ibid , Hal 26 37 Ibid, Hal 27 38 Ibid Hal 30

(23)

1) Insert berfungsi untuk memperjelas dan mempertegas benda apa pada suatu adegan seperti close up surat, telepon, handphone, jam tangan , koran dan lain-lain.

2) Descriptive Shots berfungsi mendeskripsikan dan membagi tipe shot berdasarkan script yang dibuat.39

Kemudian camera angles ada yang disebut Objective Angles yang menurut Josseph V. Mascelli adalah “the objective camera films from sideline viewpoint, the audience views the event through the eyes of an unseen observer”.40 Sederhananya ialah bahwa kamera mengambil sudut pandang objek

dari smping atau depan yang seolah-oleh objek tidak melihat kamera atau kadang objective angle ini merupakan sudut pandang dari penonton.

Setelah tertulis bagian dari camera angle yaitu Subjective Angles, Objective Angles, dan Point of View. Kemudian angle sendiri terbagi atas camera height, yaitu jarak tinggi kamera beradasarkan objek dan subjek yang diambil sehingga sudut pandang tepat , level angle yaitu tinggi rendahnya sudut pandang kamera yang diambil yang terbagi menjadi empat adalah

a) low angle jarak sudut pandang kamera terletak lebih rendah dari objek atau dari pandangan subjek

b) high angle sudut pandang kamera lebih tinggi dari objek dan pandangan subjek

c) eye level sudut pandang kamera sejajar dengan objek atau lurus dengan garis mata

39 Ibid, Hal 32

(24)

d) angle plus angle sudut pandang kamera yang mengambil angle tinggi namun digambar itu terlihat rendah secara sederhana didalm gambar terdapat dua angle low angle dan high angle contoh mengambil gambar gedung dengan helikopter namun sudut kamera ke arah bawah (low angle).41

Kemudian yang kedua bagian dari Five c‟s Cinematography ialah Continuity atau kesinambungan gambar.

“continuity a professional sound motion picture should present a continuous , smooth, logocal flow of visual images, supplemented by sound , depicting the filmes event in coherent manner.”42

Yang dapat diartikan secara umum ialah dalam pengambilan teknik atau konsep cinematography setiap adegan harus memiliki kesinambungan gambar dari scene satu ke scene yang lain sehingga memiliki keselarasan dan bisa diterima logika seperti waktu, tempat, lighting , pemain , sudut kamera dan lain-lain.

Yang ketiga adalah Cutting merupakan bagian dari analisis cinematography juga karena peran DOP juga sebagai penyunting gambar pada tahap produksi karena menurut buku The Five C‟s of Cinematography adalah: “ film editing may be compared with cutting, polishing and mounting diamond. This chapter is not intended for films editors, it is aimed at the non theathrical cameraman filming, the film editors strives to impart visual variety to the pictur by skillful shot selection, arrangement, and timming .He recreates, rather than reproduces.”43

Diartikan bahwa unsur pemotongan tidak hanya dibagian paska produksi tapi juga dalam produksi seorang kameramen harus bisa menseleksi gambar sehingga untuk editor nanti pada tahap pra produksi mengetahui keselarasan unsur sinematography antar shot satu dan yang lain sehingga mendapat timing yang pas.

41 Ibid , hal 35-44 42 Ibid, Hal 67 43 Ibid , Hal 147

(25)

Bagian berikutnya adalah Close-Ups mengapa closeup menjadi bagian penting bahkan besar dalam ilmu cinematography menurut Josseph dalam bukunya

“The close up is a device unique to motion pictures. Only motion pictures allow large scale portrayal of a portion of the action. Close ups should be considered from both visual and editorial standpoints.”44

Karena close up bagian unik yang dijelaskan menurut josseph karena di pengambilan gambar akan berpengaruh pada perasaan orang yang menonton film itu dan untuk mempertegas kejadian atau ekspressi pemain secara lebih detail include close up akan berdampak pada rasa sebuah film melalui ekspresi entah itu horror, lucu, tegang, sadis, atau, marah dari gambar Close Up itu muncul untuk meyakinkan penonton.

Composition adalah bagian terakhir dari rangkaian penting sinematography menurut Jossep V. Mascelli karena melalui komposisi gambar jadi memiliki nilai fotografis dan enak untuk dipandang atau lebih memiliki seni seperti berikut:

“good composition is arrangement of pictorial elements to form a unified, harmonious whole. A cameramen composes whenever he positions a player, a piece of furniture, or a prop, place and movement of players within the setting should the planned to produce favorable audiences reactions.”45

44 Ibid, Hal 173

(26)

2.4.1 Konsep Dokumenter

Dalam perdebatan argumen tentang bagaimana dokumenter menjadi film non fiksi yang diakui sebagai tayangan yang memiliki kegunaan sebagai film dengan kejadian yang nyata, argumen inipun memiliki konsep bulat apa yang disebut dokumenter itu. Lempar pendapat pun menjadi kuat sehingga diambil kata kunci bahwa dokumenter adalah bagaimana tentang kejujuran, atau pencapaian. Seperti yang dikatakan Bruno Forestier “cinema is truth twenty-four times a second.”46

Kebenaran dokumenter pun terbentuk ideologi yang berbeda dari setiap ahli yang pernah membuat film dokumenter dari negara yang berbeda pula, karena perhatian dan pemahaman tentang kebenaran jelas merupakan relativitas budaya yang bergeser dari waktu ke waktu. Meninjau bagaimana evolusi dari dokumenter ialah penting untuk meninjau sebuah konteks tertentu sehingga ideologi terbagi dengan jelas dalam beberapa tingkatan dengan banyak bentuk fleksibel. Konsep dokumenter yang dimaksud ialah terbagi dalam beberapa substansi:

1. Cinema Verite menurut Dziga Vertov atau biasa dipanggil kinopravda merupakan pencipta inovasi terkenal di Rusia, yang menjelaskan There are two ways to conceive of the cinema of the real: the first is to pretend that you can present reality to be seen; the second is to pose the problem of reality. In the same way, there were two ways conceive cinema verite. The first was to pretend that you brought truth. The second was to pose the problem of truth.47

46 Wright Peter Lee, The Documentary Handbook, Routledge, New York, 2010 47 Wright Peter Lee, The Documentary Handbook, Routledge, New York, 2010 Hal 93

(27)

Yang dapat diambil garis besar bahwa ada dua cara dalam memahami dan membayangkan sebuah film dengan tayangan nyata, yaitu yang pertama adalah dengan berpura-pura bahwa seorang pembuat dokumenter bisa menyajikan sebuah realitas, yang kedua adalah untuk menimbulkan masalah yang ada dalam dokumenter itu sendiri. Dan juga dengan cara yang sama ada yang bisa dipahami mengenai cinema verite. Yang pertama adalah bahwa seorang dokumentaris benar-benar menyajikan dan membawa kebenaran. Yang kedua adalah untuk menimbulkan masalah kebenaran.

2. Direct Cinema meskipun cinema verite adalah istilah populer pada abad kedua puluh dalam dokumenter amerika, namun istilah yang benar adalah Direct Cinema, yang dipelopori oleh Robert Drew dan Richard Leacock. Mereka memiliki ideologi,mereka berkomitmen bisa menghasilkan sesuatu yang murni dari tayangan nyata yang difilmkan seperti dokumenter. Karena realitanya film tidak akan membawa jejak si pembuatnya. Karena hal ini merupakan apa yang dikatakan Robert Drew yang ditulis dalam sebuah artikel „Narration can be a killer‟, arguing that voiceover was what you do when you fail, and elsewhere claiming that “the filmmaker‟s personality is in no way directly involved in directing the action. But, as we have seen, just because a director does not tell people what to do and say, it does not mean their presence has not influence on the outcome, nor that the resulting film will not construct a particular perspective on its subject.48

48 Ibid hal 95

(28)

Dapat disimpulkan bahwa apa yang tidak tersampaikan dalam gambar bisa menggunakan voiceover atau dubbing dalam menyampaikan cerita. Namun yang lain beranggapan bahwa seorang pembuat film sama sekali tidak terlibat secara langsung dalam mengarahkan sebuah adegan. Tapi hanya karena seorang sutradara tidak berbicara kepada orang-orang apa yang dilakukan dan berkata, bukan berarti kehadiran sutradara tidak berpengaruh, atau bahkan mengganggap tidak berpengaruh pada perspektif film dokumenter itu sendiri. Bahwa Direct Cinema merupakan bagian pembuatan dokumenter yang dimana segala sesuatu bisa diatur berdasarkan perspektif sutradara tidak hanya menampilkan kisah nyata tapi juga menceritakan apa kenyataan yang terjadi.

3. Free cinema, merupakan gerakan awal di inggris pada tahun 1950an, yang ditemukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda dalam merekam kisah nyata. Subjek yang umumnya melihat dari sudut kehidupan keseharian. banyak dari mereka yang sadar tentang sesuatu yang penting dalam seni, dari sana banyak yang menjadi tokoh kunci pembuat film terkemuka di Inggris pada generasi mereka. Yaitu tokoh yang memulai ideologi ini salah satunya adalah Lindsay Anderson, dia memulai karir karena kritik terhadap film yang dibuat yang berjudul O Dreamland pada tahun 1953. Dan tokoh lainnya adalah Karel Reisz dan Tony Richardson membuat film tentang club musik jazz , Momma Don‟t Allow (1956), dan Lorenza Mazetti‟s dengan judul

(29)

Together(1953). Yang tersebut diatas merupakan beberapa program dokumenter yang sukses dalam menerapkan ideologi Free Cinema selama tiga tahun, karena merupakan hal baru dalam pertelevisian yang memuaskan, dapat disimpulkan bahwa free cinema menurut mereka adalah :

The films were „free‟ in the sense that they were made outside the framework of the film industry, and that their statements were entirely personal. they had in common not only the conditions of their production (shoestring budget, unpaid crew) and the equipment they employed (usually hand-held 16 mm Bolex cameras). But also a style and attitude and an experimental approuch to sound.49

Free cinema ini adalah membuat film dengan cara produksi yang sama dan gaya yang sama namun dalam aliran ini film yang dibuat kontennya adalah merupakan film-film yang bebas mereka dibuat diluar dari ketentuan industri yang sifatnya lebih eksperimental baik dalam pengambilan gambar atau penyajian cerita.

4. Observational Documentary, dalam sejarah konsep ini memiliki perjalanan panjang terbentuknya, sebagai penemu konsep, Inggris justru para pembuat filmnya lebih beralih ke drama, karena untuk mengambil perhatian penonton yang lebih tertarik pada drama, dokumenter layar lebar jatuh ke dalam periode panjang penurunan, sehingga meninggalkan bentuk yang justru dikembangkan oleh televisi. Dan TV itu adalah yang dikenal dengan nama BBC Channel, banyak bentuk penyampaian oleh jurnalis dari BBC, mungkin sebutan Observational Documentary tidak akan diakui perbedaan resmi oleh

49 Ibid hal 97

(30)

Nichole antara puitis, ekspositoris, observasional, partisipatif, dan model refleksif. Contoh pertama kali film dokumenter observational adalah membuat terobosan dengan judul Paul Watson‟s The Family (1974) yang menghabiskan waktu selama 12 minggu untuk mambaca dan mengamati keluarga Watson, mengenai cobaan dari keluarga tersebut dalam kesehariaannya dengan mengambil percakapan tanpa menyaring komentar tertentu dan tidak ada konteks wawancara tertentu hanya mengalir berdasarkan apa yang dilakukan oleh subjek.

Jadi bahwa observational documentary disimpulkan menurut pendapat Graef

“was always hard to sustain and many television series of the 1980‟s, thought they followed the general approach and projected themselves as „fly on the wall‟, also used interview and occasionally voiceover to provide a continuity of information throughput and to provide an additional means of obtaining coherence and structure50.”

Observational documentary adalah bagaimana mengemas tayangan dengan menyajikan tayangan langsung dari sebuah subjek yang melakukan sesuatu yang tidak biasa agar menampilkan kisah nyata dengan segala percakapan yang secara langsung terucap tanpa ada memotong pembicaraan nara sumber, sehingga terjadi drama nyata kehidupan yang terdokumentasikan, namun terkadang ada penggunaan wawancara-wawancara nara sumber pilihan yang percakapannya menjadi voiceover dari hasil video yang didokumentasikan agar kontinuitas informasi tetap berjalan dengan adanya sulih-sulih suara

50 Ibid Hal 99

(31)

narasumber lain, sehingga observational documentary ini menjadi koheren dan terstruktur. Dari apa yang akan dibuat menjadi tayangan dokumenter film yang berjudul “Pesisir Harapan” akan menerapkan konsep observational pada proses pembuatannya.

Kemudian dalam pembuatan sebuah program atau film dokumenter dilihat dari sisi konsep yang sudah terbagi sedemikian rupa dari para ahli yang berbeda yang sudah disebutkan , terdiri dari Cinema Verite, Direct Cinema, Free Cinema, dan Observational Documentary. Dimana konsep itu ada karena adanya pola penerapan dalam menggali sebuah fakta yang akan ditayangkan atau direkam menjadi paduan cerita nyata , dengan cara yang berbeda dan argumentasi berbeda dari setiap hari, yang memiliki informasi yang tersampaikan jelas dengan cerita nyata. Namun pada akhirnya bisa ditarik garis besar dari tayangan dokumenter adalah bahwa merupakan karya non fiksi yang menyajikan sebuah cerita dengan memberitahu isi informasi pada setiap film melalui berbagai fakta yang ada sehingga terbentuk cerita yang berstruktur.

2.4.2 Gaya Penuturan Dokumenter

Sajian konsep dokumenter akan mengarah pada cara gaya bertutur dari filmmaker dokumenter yang akan membuatnya, dimana gaya bertutur merupakan gaya dari si pembuatnya itu sendiri yang mengekspresikan karya sesuai gaya dan bentuk bertutur. Sejalan

(32)

dengan perkembangan zaman, film dokumenter memiliki bentuk dan gaya bertutur memiliki kriteria dan pendekatan spesifik. Dalam perkembangan berikutnya bukan tidak mungkin bahwa akan ada penambahan bentuk penuturab atau gaya bertutur secara kreatif. Seperti yang di jelaskan Gierzon R. Ayawalia dalam bukunya, ada beberapa contoh yang berdasar gaya dan bentuk bertutur itu, antara lain: laporan perjalanan, sejarah, potret atau biografi, perbandingan, kontradiksi, ilmu pengetahuan, nostalgia, rekonstruksi, investigasi, association of picture story, buku harian, dan dokudrama. Penjelasannya:

- Laporan perjalanan. Penuturan model laporan perjalanan menjadi ide awal seseorang untuk membuat film non fiksi. Awalnya, mereka hanya mendokumentasikan pengalaman yang didapat selama melakukan perjalanan jauh.51

Pada umumnya perjalanan ekspedisi dibuat dokumentasinya sebagai contoh, ekspedisi penelitian ke Alaska dan Siberia yang pertama kali dibuat oleh Cherry Kearton, di Indonesia pun ada ekspedisi perjalanan yang menjadi tayangan dokumenter di stasiun swasta Metro TV yang berjudul „Ring Of Fire‟. Adegan spontan yang terjadi dalam dokumentasi perjalanan yang dibuat dokumenter dalam bentuk petualangan dan ekspedisi menjadi daya tarik cara bertutur film jenis ini. Biasa disebut dengan istilah road

(33)

movies yang diperkenalkan oleh Hopper (filmnya: Easy Rider, 1969) dan Robert Kramers (Route One USA,1989)52.

- Sejarah. Awalnya, produksi film sejarah dimaksudkan untuk propaganda. Diawali karena Perang Dunia I pada sekitar tahun 1914 hingga 1918, kemudian dilanjutkan Perang Dunia II tahun 1935 hingga 1950-an.53

Karena pada saat itu film dokumenter dengan gaya bertutur saat ini lebih difungsikan sebagai kebutuhan propaganda. Dengan kata lain dokumenter dengan pola bertutur seperti ini, fakta sejarah dipresentasikan melalui interpretasi imajinatif untuk tujuan politik tertentu. Yang umumnya dokumenter sejarah akan memiliki durasi yang cenderung panjang bisa mencapai 4 jam bahkan lebih, jika pada tayangan dokumenter televisi bahakan mencapai 5-10 jam yang dibagi menjadi beberapa episode. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilik dokumenter sejarah, yaitu: periode (waktu peristiwa sejarah), tempat (lokasi peristiwa sejarah), dan pelaku sejarah.54

- Potret/biografi. Isi film jenis ini merupakan representasi kisah pengalaman hidup seorang tokoh terkenal ataupun anggota masyarakat biasa yang riwayat hidupnya dianggap hebat, menarik,

52 Ibid hal 39 53 Ibid hal 40 54 Ibid hal 41

(34)

atau menyedihkan. Bentuk potret umumnya berkaitan dengan aspek human interest, sementara isi tuturan bisa merupaa\kan kritik,penghormatan, atau simpati.55

- Perbandingan. Dokumenter ini dapat dikemas ke dalam bentuk dan tema yang bervariasi, selain dapat pula digabungkan dengan bentuk penuturan lainnya, untuk mengetengahkan sebuah perbandingan. Dalam bentuk perbandingan umumnya diketengahkanperbedaan suatu situasi atau kondisi, dari suatu objek/subjek dengan yang lainnya.

- Kontradiksi. Dari sisi bentuk maupun isi, tipe kontradiksi memiliki kemiripan dengan tipe perbandingan; hanya saja tipe kontradiksi lebih kritis dan radikal dalam mengupas permasalahan. Oleh karena itu, tipe ini lebih banyak menggunakan informasi wawancara untuk mendapatkan informasi mengenai opini publik. Misalnya kontradiksi mengenai masyarakat kaya dan miskin, demokratis dan ototriter, modern dan tradisional, dan sebagainya.

- Ilmu Pengetahuan. Cukup jelas bahwa bentuk dokumenter ini berisi mengenai penyampaian informasi sebuah teori, sistem, berdasarkan ilmu tertentu. Dengan adanya teknologi komputer

(35)

untuk animasi, hal ini banyak membantu memperjelas informasi justru ketika gambar visual tak mampu memberikan detil informasi. Misalnya, informasi statistik atau gambaran mengenai sistem kerja komponen sebuah produk elektronik.

- Nostalgia. Adalah gaya penuturan dokumenter dimana kisah yang kerap diangkat dalam dokumenter nostalgia ialah kilas-balik dan napak tilas para veteran perang Amerika yang kembali mengunjungi Vietnam atau Kamboja. Atau dokumenter mengenai orang Belanda yang dulu pernah tinggal di Indonesia, kini mengunjungi tempat mereka pernah dilahirkan dan dibesarkan.

- Rekonstruksi. Pada umumnya dokumenter bentuk ini dapat ditemui pada dokumenter investigasi dan sejarah, termasuk pula pada film etnografi dan antropologi visual. Dalam tipe ini, pecahan-pecahan atau bagian-bagian peristiwa masa lampau maupun masa kini disusun atau direkonstruksi berdasarkan fakta sejarah.

- Investigasi. Istilah ini muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika dia menjadi reporter di suratkabar Pittsburgh Dispatch, tahun 1890. Ketika itu, Bly sedang menyelidiki kasus buruh anak yang dipekerjakan dalam kondisi yang memprihatinkan. Bentuk

(36)

penuturan investigasi terkadang melakukan adegan rekonstruksi untuk mengungkap suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu.

- Association picture story. Disebut juga sebagai film eksperimen atau film seni. Sejumlah pengamat film menganggap bentuk ini merupakan film seni atau eksperimen. Gabungan gambar, musik, dan suara atmosfer (noise) secara artistik menjadi unsur utama.

- Buku harian. Dokumenter jenis ini disebut juga diary film. Dari namanya, buku harian, jelas bahwa bentuk penuturannya sama seperti catatan pengalamn hidup sehari-hari dalam buku harian pribadi. Hal ini sebenarnya sama saja dengan mendokumentasikan video keluarga dengan cara sederhana tentang kegiatan keluarga atau acara internal lainnya.

- Dokudrama. Ini merupakan gaya penuturan dan bentuk yang memiliki motivasi komersia. Karena itu subjek yang berperan disini adalah artis film.

Di sebuah tahap pembuatan produksi film baik fiksi ataupun non fiksi memiliki ketentua teknik estetika pengambilan gambar yang harus diterapkan sesuai konsep dan kaidah yang sudah ada, di tayangan dokumenter sendiri penerapan sinematografi sedikit

(37)

berbeda dengan teknik yang ada dalam drama oleh karena itu penjelasan konsep sinematografi yang akan dibuat akan mempermudah dalam tahap produksi. Lalu dalam memulai produksi tentu seorang yang bertanggung jawab harus memahami tugas seorang senimatografer atau Director Of Photography, menjelaskan tahapan dasar membuat produksi film, deskripsi kerja dalam tim produksi, khususnya perekam gambar mencakup: menyusun tim produksi, dan menentukan shoot yang diinginkan sutradara dan mengeksplor apa yang menjadi keinginan sutradara agar shoot lebih memiliki makna dalam penuturannya. Yang prinsipnya kerja sinematografer bisa dijelaskan seperti ini:

menjelaskan tentang pengoperasian kamera dengan baik serta cara pemeliharannya, proses perekaman yang dapat menghasilkan gambar dan suara dengan baik, dan mengasah inisiatif untuk menyesuaikan diri dengan keterbatasan alat. Materi mencakup: dasar-dasar sinematografi, pengenalan teknologi kamera, teknik pengambilan gambar, tata cahaya, dan penataan kamera saat produksi.56

Oleh karena sinematografi dalam pembuatan dokumenter setiap gambar yang direkam harus memiliki makna jelas dan komprehensif untuk bisa melukiskan informasi yang akan diberikan ke audience, dan karena film „bagaikan menulis dengan

(38)

gambar‟ maka seorang Direct Of Photography adalah memahami estetika melalui gambar yang diinginkan sutradara. Sehingga hal matangnya konsep kamera menjadi ujung tombak dari medium pikiran sutradara. Ada dua konsep penerapan sinematografi didokumenter yaitu:

- Visualisasi (visualization), proses menerjemahkan gagasan dan kata-kata ke dalam bentuk gambar-gambar statis.

- Mengungkapkan gambar bergerak (picturization), proses bertutur dengan gambar bergerak, yaitu menggerakan gambar dengan memberikan penekanan pada gambar agar dapat menuturkan arti-arti tertentu.57

Karena bentuk dokumenter yang akan dibuat dalam judul “The Savior” merupakan konsep penuturannya berbentuk Comparison maka teknik dalam kaidah estetika pengambilan gambar akan memiliki kebebasan dalam menentukan angle dan komposisi dalam arti tidak terbatas dalam pengambilan gambar secara observational saja. Akan tetapi lebih menuturkan gambar secara bebas dan terperinci ketika wawancara narasumber agar mendapat gambar dengan informasi yang kontradiksi. Alu berdasarkan kaidah estetika maka gambar akan lebih dibuat dengan model statis ketika wawancara dan dengan metode observational dalam perekaman gambar. Namun juga tidak membatasi penambahan gambar beauty

(39)

shoot. Pengaruh estetika dokumenter sangat dibutuhkan tidak hanya tentang gambar yang indah tapi juga tentang gambar yang melukiskan informasi secara detail, jelas dan koheren.

2.5 Unsur Sinematik

Keberadaan film merupakan karya seni yang bertajuk audio visual yang dimana harapannya film ini memberi pengaruh pada penonton yang menyaksikannya, adapula pengaruh yang dibuat didalam film tidak terlepas dari unsur-unsur sinematik dalam pembuatan film, secara keberadaan film dibagi menjadi 2, yaitu film naratif dan film non naratif. Film naratif merupakan film yang mempunyai alur cerita atau sekarang populer dengan sebutan film fiksi. Sedangkan film non naratif justru sebaliknya, tidak mempunyai alur cerita. Film non-naratif dibagi menjadi 2 film dokumenter dan film eksperimental (abstrak). Pembagian keduanya memang tidak mutlak, beberapa ahli mempunyai pembagian yang berbeda, namun secara substansi tidak berbeda jauh. Pada perkembangan hingga saat ini muncul hibridasi-hibridasi sinematik dari para pembuat film baik fiksi ataupun non fiksi. Maka dari pembahasan diatas hibridasi-hibridasi yang terjadi dalam film dokumenter saat ini adalah tentang memasukan kaidah estetis dalam film dokumenter sehingga dokumenter lebih enak untuk ditonton, karena unsur sinematik menjadi bagian untuk mengolah dan membungkus konten yang sudah dibuat melalui cerita. Dalam komponen unsur sinematik penerapan tidak hanya dilakukan dalam film fiksi pada era ini tetapi film non fiksi juga membuat ruang untuk meletakkan unsur sinematik dalam pembuatannya. Di perancis unsur

(40)

sinematik yang mempengaruhi sinematografi terkenal dengan teori mise en scene dan mise en shot. Oleh karena itu maka keduanya akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Mise en scene

Mise en scene adalah istilah bahasa perancis yang artinya adalah meletakkan dalam scene. Mise en scene merupakan segala sesuatu yang kita lihat didalam tayangan film, semua apa yang terlihat dalam layar merupakan bagian dari mise en scene. Mulai dari setting tempat, pencahayaan, kostum, make-up, pencahayaan, dan ekpressi figur dan gerakan.

Of all techniques, mise-en-scene is the one the viewers notice most. After seeing a film, we may not recall the cutting or the camera movements, the dissolves off the screen sound.58

Jadi dalam semua teknik film yang dibuat, mise-en-scene adalah sesuatu yang paling dilihat penonton pertama kali, bahwa mise-en-scene bukan berupa penggambaran cutting kamera, pergerakan kamera, transisi atau efek suara. Tetapi mise-en-scene mengenai penggambaran sebuah pesan dalam suatu adegan yang dilihat dari sisi pencahayaan, make up, kostum, dan lain-lain. Penonton merasakan film karena unsur sinematik tersebut dimana hal-hal yang membuat film menjadi memiliki rasa baik menjadi dramatis, bahagia, suram, menyenangkan, seram dan sebagainya. Hal tersebut merupakan usaha sinematik selain dari unsur sinematografi, karena hal ini menjadi faktor nomer satu dalam pembuatan film yang biasanya digunakan dalam pembuatan film fiksi, namun di dokumenter juga

58 David Bordweel, Kristin Thompson, Film Art an Introduction. McGraw Hill Higher Education, New York. 2008, hal 112

(41)

bisa diterapkan dengan membuat gambar-gambar dramatis namun diambil dengan unsur realita didalamnya.

In the original French, mise en scène (pronounced meez-ahn-sen) means “putting into the scene,” and it was first applied to the practice of directing plays. Film scholars, extending the term to fi lm direction, use the term to signify the director‟s control over what appears in the film frame59.

Pengucapan asli dari perancis, mise en scene (meez-ahn-sen) yang berarti “putting into the scene” atau meletakan sesuatu pada sebuah pengadeganan (scene) dan hal ini pertama kali dilakukan pada praktek mengarahkan drama pada teater. Pakar film, menambah istilah bagi para pembuat film, untuk menandai bahwa ada perbedaan dari seorang director film untuk mengkontrol semua yang akan ada dalam frame film. Mise-en-scene meliputi fungsi sebuah scene dalam film. Apakah hal itu untuk menjelaskan sesuatu, ataukah untuk kesan dramatik, semua tergantung dari kebutuhan film itu sendiri. Penyusunan-penyusunan dalam mise-en-scene juga sangat penting untuk menimbulkan perasaan dalam film seperti harapan tokoh dalam scene itu, permasalahannya dan lain-lain. Selain itu fungsi mise-en-scene adalah untuk mengambangkan keingintahuan penonton tentang sebuah scene atau bahkan film itu sendiri.

Pembuat film dapat menggunakan mise-en-scene untuk mencapai realisme, memberikan pengaturan seotentik mungkin untuk mendapatkan subjek tampil sealamiah mungkin. Namun, sepanjang sejarah film mise-en-scene hanya digunakan untuk kepentingan fantasi saja, tetapi sudah sering digunakan untuk tujuan ini.

59 Ibid hal hal 112

(42)

Komponen-komponen pada sebuah Mise-en-scene

Mise-en-scene menawarkan pembuat film empat pilihan bidang umum dan kontrol : setting, kostum dan make up, pencahayaan dan pementasan ( yang mencakup akting dan pergerakan kamera).

Setting

Sejak awal munculnya perfilman, kritikus film dan penonton memiliki pemahaman untuk memiliki peran aktif dalam menilai film dibandingkan dengan teater. Andre Bazin menulis :

The human being is all-important in the theatre. The drama on the screen can exist without actors. A banging door, a leaf inthe wind, waves beating on the shore can heighten the dramatic effect. Some film masterpieces use man only as an accessory, like an extra, or in counterpoint to nature, which is the true leading character.60

Bahwa menurut Andre Bazin, manusia adalah yang paling penting pada sebuah pementasan teater. Drama pada layar bisa ada tanpa aktor. Sebuah benturan pintu, hembusan angin di daun, gelombang yang mengikis pantai bisa menjadi efek dramatis pada film yang dimana itu tanpa perlu menggunakan aktor, tetapi menggunakan suasana untuk menambahkan rasa pada gambar untuk mengikat pesan didalamnya. Beberapa karya film yang menggunakan aktor hanya sebagai aksesoris saja, seperti figuran, atau untuk pendamping dengan alam, yang merupakan leading character pada film.

Jadi setting atau lokasi merupakan hal utama dalam produksi film baik dokumenter atau fiksi agar selaras dengan cerita dan menjadi tepat dalam membangun realitas.

60 Ibid Hal 115

(43)

Costumes and Make up

Jika merencanakan sebuah pembuatan film. Anda akan lebih fokus dan memperhatikan sisi pemilihan aktor saat anda membayar sebuah lokasi untuk shooting. Seperti pengaturan lokasi, kostum dapat memiliki hal spesifik yang bervariasi dan memiliki fungsi tertentu dalam seluruh proses pembuatan film.

Pemilihan kostum dapat memengaruhi motif karakter, memberikan kesan eksklusif, yang mencirikan seorang karakter secara individual. Ketika seorang filmmaker ingin menekankan figur seseorang atau karakter, setting dapat menetralkan latar belakang, sedangkan kostum menjadi kunci utama untuk mempertegas dan menonjolkan karakter dari figur tersebut. Harrison Ford mengakui pemilihan kostum dalam film dapat mempengaruhi karakter dan memiliki kekuatan untuk menciptakan figur.

“The costume is a very important thing. It speaks before you do. You know what you‟re looking at. You get a reference and it gives context about the other characters and their relationships.”61

Dalam konteks mise en scene, pemilihan kostum dapat menjadi pembeda antara satu karakter dan karakter lain dan menciptakan hubungan antara masing-masing karakter. Kita dapat membedakan karakter mana yang merupakan tokoh protagonis dan antagonis dari kostumnya. Dengan set yang sesuai, sebuah karakter akan terlihat lebih tegas dan menonjol.

Sebuah karakter tidak bisa terpisah oleh make-up. Make up dapat mempertegas gimmick dan ekspresi karakter. Treatment khusus pada make-up juga akan membuat sebuah karakter mendapat kesan ekstra, lebih muda, lebih tua,

(44)

lebih berperawakan keras, atau lembut, dan lebih bersinar ataupun gelap. Perkembangan teknologi juga membuat make-up karakter semakin variatif dan unik.

Lighting

Memanipulasi cahaya adalah kemampuan yang harus dimiliki filmmaker untuk menciptakan interpretasi dalam mise en scene. Ada empat hal yang bisa di explore oleh filmmaker dalam memanipulasi cahaya, yaitu kualitas, arah, sumber, dan warna. Kualitas cahaya mengacu pada penggunaan hard light dan soft light. Hard light bisa menciptakan bayangan yang cukup untuk membuat karakter pada objek, dan sudut-sudut bayangan yang tajam sedangkan soft light digunakan untuk membuat ambience dan difusi yang terkesan alamiah.

Arah cahaya mengacu pada posisi penempatan sumber cahaya dan arah kemana cahaya tersebut menunjuk. posisi sumber cahaya menetukan apakah obje tersebut akan diberi cahaya penuh hingga tak ada bayangan, hanya sebagian sisi objek saja atau justru menciptakan bayangan penuh/ siluet. Konsep pengarahan cahaya atau yang dikenal secara umum sebagai three point lighting juga bisa memanipulasi cahaya agar tokoh lebih berkarakter dengan menggunakan key light, fill light dan back light.

Sumber cahaya mengacu pada darimana cahaya tersebut berasal. Setiap sumber cahaya memiliki tingkat intensitasnya sendiri dan memiliki fungsinya untuk menciptakan karakter yang dibutuhkan. Beberapa lampu memiliki tingkat

Referensi

Dokumen terkait

didapat maka perilaku pola asuh permisif orang tua akan semakin rendah.. Validitas dan Reliabilitas

tersebut, dalam penelitian ini analisis statistik deskriptif digunakan sebagai dasar untuk menguraikan kecendrungan jawaban responden dari variabel mengenai strategi

Dengan itu, di%emput Yang Berbahagia, Enik Azmi Dengan itu, di%emput Yang Berbahagia, Enik Azmi bin Abu Samad, YDP PIBG SMKDJ diiringi !"eh Yang bin Abu Samad, YDP PIBG

UPTD PUSKESMAS PANUMBANGAN UPTD PUSKESMAS

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan bahwa uji amplifikasi PCR menggunakan sampel darah utuh tanpa didahului ekstraksi DNA merupakan uji yang sensitif,

Judul Penelitian : PEMANFATAAN JARINGAN KOMPUTER TANPA HARDDISK ( DISKLESS ) DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM OPERASI LINUX FEDORA CORE 2.. Jangka Waktu

Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnya sesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangka menengah seperti

atas NAB, hasil terbanyak karyawan mengalami stress tingkat berat yaitu 14 orang (56%), sedangkan tenaga kerja yang bekerja di halaman pembenihan padi dengan intensitas kebisingan