• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Religiusitas Diri dengan Kecenderungan Perilaku Cybersex pada Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Religiusitas Diri dengan Kecenderungan Perilaku Cybersex pada Remaja"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

Psikologi (S.Psi)

M. Fahmi Mustofa J71215064

PRODI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2019

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

INTI SARI

Skripsi ini berjudul hubungan Religiusitas diri dengan kecenderungan perilaku Cybersex pada remaja. Tujuan disusunnya Skripsi ini adalah untuk mengetahui hubungan antara religiusitas diri dengan perilaku cybersex pada remaja. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis korelatif. Subyek dalam penelitian ini adalah remaja Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan jurusan Teknik Komputer Jaringan (TKJ), dan sampel yang ditentukan dengan cara purposive sampling. Pada penelitian ini terdapat 68 jumlah populasi. Dengan subyek penelitian mengambil keseluruhan jumlah populasi yakni 68 subyek. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan skala likert dengan skala pengukuran yang digunakan adalah skala cybersex dan skala Religiusitas dengan bentuk kuisioner. Skala cybersex memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,916 sedangkan untuk skala religiusitas memiliki nilai reliabilitas sebesar 0,878. Sedangkan untuk teknik analisi data menggunakan teknik korelasi product moment. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara Religiusitas diri dengan kecenderungan perilaku cybersex pada remaja, dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, dan nilai koefisiensi korelasi sebesar-0,456 yang berarti bahwa korelasi kedua variabel bersifat negatif (-) atau berlawanan, artinya semakin tinggi tingkat religiusitas diri maka semakin rendah tingkat cybersex, begitu pula sebaliknaya apabila semakin rendah religiusitas diri maka semakin tinggi tingkat cybersex nya.

(7)

ABSTRAK

This thesis is titled The Relationship of Religiosity with Cybersex Protection in Adolescents. The purpose of this thesis is to find out the relationship between self religiosity and cybersex relationships in adolescents. This thesis uses quantitative research methods with correlative types. The subjects in this study were the Vocational High School (SMK) majoring in Computer Network Engineering (TKJ), and the samples were determined by purposive sampling. In this study there were 68 populations. The research subjects took a total of 68 participants. Data collection techniques in this study using a Likert scale with a measurement scale used is the cybersex scale and the scale of religiosity with a questionnaire form. Cybersex scale has a reliability value of 0.916 while for the scale of religiosity has a reliability value of 0.878. As for the data analysis technique, the product moment technique is used. The results of this study indicate the relationship between self-religiosity with cybersex privacy in adolescents, with a significance value of 0,000 <0.05, and a coefficient value of -0.456 which means the relationship of negative variable variables (-) So, the higher the level of cybersex, so will the opposite the more the lower the self religiosity, the higher the level of cybersex.

(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

INTISARI ... xi

ABSTRAK ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Keaslian Penelitian ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 16

E. Manfaat Penelitian ... 16

F. Sistematika Pembahasan ... 17

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Cybersex 1. Definisi Cybersex ... 19

2. Aspek-aspek Cybersex ... 20

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku Cybersex ... 21

B. Religiusitas Diri

1.

Definisi Religiusitas Diri ... 26

2.

Aspek-aspek Religiusitas Diri ... 28

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas Diri ... 30

C. Hubungan Antara Religiusitas Diri dengan Perilaku Cybersex ... 33

D. Kerangka Teoritik ... 34

E. Hipotesis ... 37

BAB III METODE PENELITIAN

A.

Rancangan Penelitian ... 38

B.

Identivikasi Variabel ... 38

(9)

D.

Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling 1. Populasi Penelitian ... 40 2. Teknik Sampling ... 40 3. Sampel Penelitian ... 41

E.

Instrumen Penelitian ... 41 1. Skala Cybersex ... 43

2. Skala Religiusitas Diri ... 48

F.

Analisis Data ... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Proses Pelaksanaan Penelitian ... 56

2. Deskripsi Hasil Penelitian ... 58

B. Uji Hipotesis ... 67 C. Pembahasan ... 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 79 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Skoring Skala Likert ... 42

Tabel 3.2 Blue Print Skala Cybersex ... 44

Tabel 3.3 Hasil Uji Validitas Item Skala Cybersex ... 45

Tabel 3.4 Blue Print Skala Cybersex (Valid) ... 46

Tabel 3.5 Hasil Uji Reliabilitas Skala Cybersex ... 47

Tabel 3.6 Blue Print Skala Religiusitas... 48

Tabel 3.7 Hasil Uji Validitas Item Skala Religiusitas ... 50

Tabel 3.8 Blue Print Skala Religiusitas (Valid) ... 51

Tabel 3.9 Hasil Uji Reliabilitas Skala Religiusitas ... 52

Tabel 3.10 Hasil Uji Normalitas Variabel ... 54

Tabel 3.11 Hasil Uji Linieritas Variabel ... 55

Tabel 4.1 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 59

Tabel 4.2 Penyebara Subjek Berdasarkan Usia ... 60

Tabel 4.3 hasil Analisis Statistik Deskriptif ... 61

Tabel 4.4 Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 4.5 Deskripsi Data Berdasarkan Usia ... 63

Tabel 4.6 Hasil Uji Homogenitas Data Kelompok Sampel ... 64

Tabel 4.7 Hasil Uji Independent Sampel T-tes Variabel Cybersex ... 65

Tabel 4.8 Hasil Uji Independent Sampel T-tes Variabel Religiusitas ... 67

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Penelitian Cybersex dan Religiusitas ... 87

Lampiran 2 Data hasil skala Cybersex ... 92

Lampiran 3 Data Hasil Skala Religiusitas ... 95

Lampiran 4 Hasil Analisis TryOut Skala Cybersex ... 98

Lampiran 5 Hasil Analisi TryOut Skala Religiusitas ... 102

Lampiran 6 Skala Penelitian Cybersex dan Religiusitas (Valid) ... 107

Lampiran 7 Data Hasil Analisis Pasca TryOut skala Cybersex ... 110

Lampiran 8 Data Hasil Analisi Pasca TryOut Skala Religiusitas ... 112

Lampiran 9 Hasil Uji Normalitas ... 115

Lampiran 10 Hasil Uji Linieritas ... 115

Lampiran 11 Hasil Uji Analisis Deskriptif Variabel ... 116

Lampiran 12 Hasil Uji Analisis Deskriptif Jenis Kelamin ... 116

Lampiran 13 Hasil Uji Analisis Deskriptif Usia ... 117

Lampiran 14 Hasil Uji Homogenitas ... 118

Lampiran 15 Hasil Uji Independent Sample T-tes Variabel Cybersex ... 118

Lampiran 16 Hasil Uji Independent Sample T-tes Variabel Religiusitas ... 119

Lampiran 17 Hasl Uji Analsisi Product Moment ... 119

Lampiran 18 Surat Izin Penelitian ... 120

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak- anak menuju dewasa awal. Masa peralihan ini meliputi berbagai perkembangan yang di lalui untuk persiapan menuju masa dewasa, bahkan juga merupakan persiapan untuk membentuk suatu keluarga, dalam artian berarti menikah dan mempunyai anak. Masa remaja seperti ini dapat dikatakan fase terakhir dari masa anak-anak sebelum memasuki masa dewasa. Untuk siap memasuki kedewasaan, remaja harus mulai berkenalan dan berhubungan dengan berbagai masalah orang dewasa. Secara biologis, remaja memang telah memiliki kemampuan seperti orang dewasa, namun secara psikologis mereka belum mendapatkan hak untuk menggunakan kemampuan tersebut (Gunarsa, 2000). Oleh sebab itu, remaja berperilaku tertentu yang dianggapnya mampu merefleksikan jati dirinya, sehingga eksistensinya diakui oleh keluarga serta lingkungan di sekitarnya. Tapi terkadang untuk mendapatkan sebuah pengakuan dari lingkungan, remaja rela melakukan hal-hal yang di luar etika dan aturan normatif. Remaja menghendaki kebebasan dalam menentukan jati diri dan bentuk perilaku tertentu. Akan tetapi, mereka dihadapkan pada berbagai pengaruh, dari orang tua, media, sekolah, kelompok pertemanan dan masyarakat. Hal ini membuat remaja sering menghadapi dilema, sehingga remaja

(14)

membutuhkan bimbingan yang dapat diterima tanpa merampas hak mereka sebagai remaja (Salichati, 2007).

Hurlock (2003) menyatakan bahwa remaja sedang mengalami berbagai macam perubahan (baik pada aspek fisik, seksual, emosional, religi, moral, sosial, maupun intelektual) yang menyebabkan dorongan seksual anak meningkat. Remaja yang dalam pemikirannya sudah terpapar dengan hal yang berkaitan dengan cybersex maka akan terjerumus untuk melakukan perilaku seksual yang menyimpang dari agama dan norma sosial. Salah satunya dampak dari cybersex sendiri yaitu timbulnya kejahatan seksual seperti perkosaan, pencabulan, sodomi atau pelecehan seksual lainnya. Dalam konteks perkembangan kejiwaan remaja yang cenderung memiliki minat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks, maka agama diharapkan dapat menjadi kontrol yang efektif. Dalam sepuluh tahun terakhir ini teknologi mengalami perkembangan yang begitu pesat, dengan begitu memudahkan manusia dalam melakukan berbagai aktivitas. Salah satunya yaitu kemudahan dalam hal mengakses internet.

Hasil riset yang pernah di lakukan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII dalam Pusakom 2014), menyebutkan bahwa saat ini telah mencapai angka 88,1 juta pengguna internet di indonesia. Dan mengalami pertumbuhan sebesar 16,2 juta jiwa dari total 71,9 juta pengguna di tahun 2013.

Semakin mudahnya akses internet di berbagai belahan dunia dan berbagai negara, dapat dilihat dari banyaknya website yang memberikan banyak sekali informasi. Salah satunya informasi tentang hal – hal yang berbau pornografi. Kemudahan

(15)

pengaksesan internet dapat dilihat dari munculnya berbagai website dan aplikasi online chatting dapat menjadikan individu melakukan berbagai hal salah satunya komunikasi tanpa adanya batasan penggunaannya. melakukan percakapan terkait dengan pornografi atau seks juga mungkin saja di lakukan, mulai dari mengirim pesan yang menggoda, serta bertukar foto atau video dengan tampilan seksual yang mana dapat menyebabkan meningkatnya dorongan seksualitas ataupun fantasi bagi mereka yang melakukan. Dari Hal – hal seperti itulah tidak menutup kemungkinan memberikan dampak bagi seseorang dalam melakukan cybersex. Kenaikan dalam penggunaan internet di Indonesia di ikuti dengan kenaikan jumlah pengguna dalam mengakses situs dewasa atau konten pornografi. Dalam penelitian yang di lakukan oleh Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) mendapati hasil bahwasannya Indonesia berada pada urutan kedua dalam hal mengakses situs porno, yang mana urutan pertama adalah Amerika (Jawapos, 2016).

Hasil tersebut diperkuat oleh hasil survei dari situs pornografi populer, bahwa Indonesia merupakan negara Asia yang mengalami peningkatan cukup signifikan untuk mengakses dengan menggunakan media ponsel sejenis dengan total 457% pengunjung sepanjang tahun 2014. Dimana jumlah tersebut meningkat empat kali lipat dibandingkan pada tahun 2013, dengan rata-rata usia yang mengakses situs ini berkisar dari 18 sampai 35 tahun, serta dengan rata-rata durasi selama 8 menit 50 detik dan trafficking terjadi pada jam 09.00-10.00 malam (anonim, 2014). Pada tahun 2015 sampai awal tahun 2016 pemerintah telah

(16)

memblokir sebanyak 753.756 situs yang mengandung unsur pornografi telah di blokir dengan tujuan untuk mengurangi aksesibilitas pengguna (Kominfo, 2016).

Kertarikan remaja terhadap materi yang mengandung muatan porno di internet salah satu penyebabnya yakni remaja sedang mengalami yang namanya masa transisi. perubahan, baik pada aspek fisik, seksual, emosional, religi, moral, sosial, maupun intelektual di alami dalam masa remaja (Hurlock, 1993). Pada aspek seksual remaja mengalami perubahan pada kelenjar hipofisa yang kemudian meragsang pengeluaran hormone dan mempengaruhi organ – organ reproduksi (Udry dalam Katchadurian, 1989). Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan sebuah hal salah satunya yaitu materi seks yang ada di internet, Dengan di dukung dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan kurangnya control diri dari remaja membuat remaja menjadi semakin bebas dalam berselancar di internet. Oleh karena itu, remaja menjadi sangat rentan terhadap perilaku cybersex.

Penelitian yang di lakukan oleh Hurlock (1973) mengatakan bahwa di bandingkan dengan materi seks yang di kemas dalam bentuk pendidikan, remaja lebih tertarik dengan materi seks yang berbau porno. Cybersex, saat ini telah menjadi sebuah fenomenal sexsual yang bertumbuh cukup pesat, terutama dikota-kota besar di mana internet semakin mudah diakses. Apalagi ditambah pula semakin menjamurnya situs porno, fasilitas chatting yang menawarkan webcam dan internet phone. Hal ini tentunya menjadi penyebab semakin tingginya cybersex.

(17)

Cybersex masuk dalam kategori OSA (Online Sexual Activity) yang mana internet digunakan sebagai alat untuk kegiatan dalam memuaskan hasrat seksual. Cybersex umumnya terdiri dari beragam perilaku seksual di internet, misalnya menonton materi pornografi, mengambil bagian dalam obrolan termotivasi seksual atau seks melalui webcam, tetapi juga mencari pasangan secara online untuk secara melakukan seks atau mengumpulkan informasi tentang seks secara offline (Doring, 2009 dalam Ayodele & Olanrewaju:2009).

berkaitan dengan dampak yang ditimbulkan oleh cybersex, beberapa waktu belakangan ini, terdapat banyak kejadian berkaitan dengan kejahatan seksual yang dilakukan oleh beberapa laki-laki terhadap perempuan. Yang mengejutkan, ada beberapa pelaku yang masih berstatus sebagai pelajar SMP dan SMA. Seperti yang terjadi pada kasus pemerkosaan dan pembunuhan kepada Yuyun, seorang siswi SMP di Bengkulu. Para pelaku yang berjumlah 14 orang ini masih berusia di bawah 20 tahun (Kompas, 8 Mei 2016). Para pelaku mengaku sering menonton film porno yang diputar melalui DVD di rumah yang sering ditinggal orangtua ke kebun dan menonton adegan porno melalui telepon genggam. Saat melakukan hal tersebut, mereka juga berada di bawah pengaruh minuman keras (Putro, 2016). Pada bulan April lalu, tepatnya tanggal 7 dan 11 April, dua gadis berusia 14 dan 15 tahun warga panti sosial di wilayah Ngemplak, Sleman menjadi korban pencabulan oleh lima laki-laki. Tiga orang pelaku di antaranya masih berusia 16 dan 17 tahun (Kedaulatan Rakyat, 11 Mei 2016).

(18)

Kabar serupa datang dari Klaten di mana seorang siswi kelas VI diperkosa oleh lima orang remaja berusia 16-18 tahun (Kedalatan Rakyat, 13 Mei 2016).

Dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) tahun 2016 yang dirilis oleh Komnas Perempuan, ditemukan bahwa kekerasan seksual naik menduduki peringkat kedua dalam kasus kekerasan di ranah personal. Bentuk kekerasan seksual tertinggi adalah perkosaan 72%, pencabulan 18%, dan pelecehan seksual 5%. Di ranah komunitas, kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual (61%). Jenis kekerasan seksual di komunitas dari yang tertinggi adalah perkosaan sebanyak 1.657 kasus, pencabulan sebanyak 1.064 kasus, pelecehan seksual sebanyak 268 kasus, kekerasan seksual lain sebanyak 130 kasus, melarikan anak perempuan sebanyak 49 kasus, dan percobaan perkosaan sebanyak 6 kasus (www.komnasperempuan.go.id). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPAI periode 2012-2013 terhadap kasus kekerasan seksual pada anak, ditemukan bahwa penyebab tindak kekerasan seksual terhadap anak dipicu oleh materi pornografi. Hal tersebut selaras dengan meningkatnya akses anak terhadap konten pornografi di internet (www.kpai.go.id).

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hakim dan Kurniawan (2016) menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual anak adalah pengguna media pornografi yang sudah terbiasa dengan berbagai konten materi pornografi, mulai dari yang paling ringan sampai yang tergolong berat, termasuk adegan seksual dengan perkosaan dan penyiksaan. Media pornografi disebutkan membentuk realita di pikiran pemirsa sehingga menciptakan konstruksi tertentu mengenai

(19)

seksualitas dan perempuan. Hal tersebut yang kemudian mendorong terjadinya perilaku kekerasan seksual. Selain itu, penelitian yang pernah dilakukan oleh Sari dan Muis (2014) mengenai perilaku seksual remaja siswa di sebuah SMK di Surabaya menunjukkan bahwa sebanyak 22% dari subjek pernah melakukan kekerasan seksual terhadap pasangan dan salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah mengakses situs yang berbau seksual dari internet. Senada dengan kedua penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Bonino, dkk (2006) menemukan bahwa pornografi memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kekerasan seksual.

Perilaku seksual sendiri dipahami sebagai bentuk perilaku yang muncul karena adanya dorongan seksual atau kegiatan mendapatkan kesenangan organ seksual melalui berbagai perilaku. Namun pemahaman pengertian mengenai perilaku seksual yang selama ini yang berkembang di masyarakat hanya berkutat seputar penetrasi dan ejakulasi (Wahyudi, 2000). Pada lain hal remaja juga sedang mengalami perubahan pada aspek religius. Penelitian yang di lakukan oleh (Suharno, 1992; Hanani 1995). Didapati hasil bahwa terdapat hubungan antara religiusitas dan perilaku seksual remaja. Semakin tinggi religiusitas pada remaja, maka remaja semakin mampu mengontrol dan mengatur perilaku seksual yang sejalan dengan nilai dan norma yang ada. Perkembangan kognitif remaja yang sudah mencapai taraf formal operational inilah yang diduga menjadi sebabnya. Dalam teori Piaget, dikatakana bahwa taraf seperti ini memungkinkan remaja untuk berpikir secara abstrak, kritis, dan teoritik, sehingga pada masa seperti ini

(20)

remaja ada kecenderungan dalam proses berfikir dan merasakan nilai-nilai agama sesuai dengan taraf perkembangan intelektualnya (Haryanto, 1993; Subandi, 1999). Penggunaan kemampuan abstraksi tersebut efektif baru berkembang pada usia 17 atau 18 tahun (Crapss, 1993).

Agama mengajarkan wawasan yang normatif tentang hal-hal yang baik dan buruk beserta dengan konsekuensi atas perilaku taat dan pelanggaran akan baik dan buruk tersebut. Selain itu, pemahaman dan pengamalan remaja pada materi keagamaan cenderung akan mereduksi pikiran dan perilaku negatif, termasuk perilaku yang berhubungan dengan seks. Dalam sebuah penelitian menyebutkan, individu dengan tingkat religiusitas tinggi dapat menurunkan kontrol diri yang rendah dan menurunkan antisosial, serta dapat mengurangi perilaku melanggar aturan (Laird dkk, 2011). Tidak diragukan lagi bahwa adanya kebutuhan terhadap agama disebabkan manusia selaku mahluk Tuhan dibekali dengan berbagai potensi (fitrah) yang dibawa sejak lahir, salah satunya adalah kecenderungan terhadap agama (Jalaluddin,2012).

Religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang. Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik di dalam hati ataupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian di aktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari (Golck & Strak, dalam Robertson, 1993). Menurut Ancok dan Suroso (2005), dimenisi religiusitas dalam islam terdiri atas dimensi akidah, ibadah, amal, ikhsan, dan ilmu. Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, menurut hasil penelitian Kementerian Negara

(21)

Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1988) di peroleh simpulan bahwa ada lima dimensi religiusitas secara khusus mengarah pada ajaran islam yakni dimensi iman, dimensi islam, dimensi ikhsan, dimensi ilmu dan dimensi amal.

Di tinjau dari sudu pandang keagamaan, terutama agama islam cyberseks atau prilaku mengakses situs porno dapat dianggap sebagai bentuk dosa atau zina, mengingat dalam Al-Qur’an dan Hadits di tekankan peringatan agar manusia menjaga alat reproduksinya secara baik dan terhormat sekaligus terpai agar manusia dapat menahan hawa nafsu ataupun syahwatnya.

ََنوُعَنْصَيَاَمِبَ ٌريِبَخََ َّاللَََّّنِإََْۗمُهَلََ ىَك ْزَأََكِلَ َذََْۚمُهَجوُرُفَاوُظَفْحَيَوَْمِهِرا َصْبَأَْنِمَاوُّضُغَيََنيِنِم ْؤُمْلِلَْلَُق

َ َوَاهْنَِمَ َرَهَظَامََّلاِإَ َّنُهَتَنيزَ َنيدْبُيَلا َوََّنُهَجوُرُفَ َنْظَفْحَيََوََّنِهِراصْبَأَْنِمََن ْضُضْغَيَِتانِم ْؤُمْلِلَْلُقََو ََّنِهِبوُيُجَىلَعََّنِهِرُم ُخِبََنْبِر ْضَيْل “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya , dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya allah maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan jangan mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (bisa) nampak dari padanya.” (QS.An Nuur: 30-31).

Ayat tersebut menegaskan bahwa perlunya seseorang dalam mengendalikan dirinya, termasuk dalam hal menjaga dorongan seksual. Peran kitab suci dalam konteks umat beragama tentunya sangat penting, yakni sebagai pedoman dan nilai acuan, yang mana idealnya akan di ikuti dan ditaati. Yang berarti kepercayaan terhadap agama dan nilainya dapat menghambat keinginan atau menjadi kontrol diri seseorang dalam hal pemuasan dorongan seksualnya. Sebagaimana di ketahui bahwa keberagaman khususnya dalam islam bukan hanya

(22)

diwujudkan dalam bentuk ibadah ritual, tapi juga dalam aktivitas-aktivitas lainnya. Sebagai sistem yang menyeluruh, islam mendorong pemeluknya untuk beragama secara menyeluruh pula, baik dalam berpikir, bersikap, maupun bertindak, harus di dasarkan pada prinsip penyerahan diri dan pengabdian secara total kepada allah, kapanpun, diamanapun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Individu yang religious atau yang memiliki religiusitas tinggi tentu memiliki pedoman dan daya tahan yang baik dalam memanejemen stress yang baik (Prihastuti & Theresiawati, 2003).

Dalam perilaku cybersex secara sengaja, efek yang dapat melindungi adalah internalisasi agama melalui regulasi diri dan kontrol sosial, serta keterlibatan keagamaan melalui kontrol sosial (Hardy,2013). Para peneliti Baummeister, Vochs & Tice (dalam Inzlicht dkk, 2014) berpendapat bahwa agama dapat membantu individu dalam berperilaku baik, karena banyak aspek dalam kepercayaan terhadap agama dan praktek keagamaan membuat seseorang dapat memiliki kotrol diri (self control) yang baik, salah satunya yakni kemampuan individu dalam mengesampingkan pikiran dan perilaku dirinya sendiri (misalnya melamun, curang dalam ujian) dengan lebih mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan hidup yang baik (misalnya, menyelesaikan tugas, jujur). Lee dkk (dalam Inzlicht dkk, 2014), mengatakan bahwa agama mampu meningkatkan kontrol diri individu seperti dapat menunda kepuasan, dan daya tahan terhadap ketidak nyamanan. Terjadinya pertentangan mengenai hubungan religiusitas dan kontrol

(23)

diri terjadi pada beberapa penelitian karena manusia juga memiliki konseptualisasi terhadap karakteristik Tuhan yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dsb. Tingkat dominan antara penghukuman Tuhan vs Tuhan yang Maha Penyayang dalam pemikiran individu juga mempengaruhi sejauh mana keyakinan agama pada individu membantu dalam kontrol diri dan menghindari dosa. (Inzlicht dkk, 2014). Sehingga fenomena yang terjadi pada remaja yang tetap mengakses pornografi atau cybersex walaupun dirinya tetap melaksanakan sholat wajibnya.

Di Indonesia, pemaparan pornografi pada remaja mempunyai skala nasional. Penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak, tahun 2007, pada 4500 remaja di 12 kota besar di Indonesia mengungkapkan bahwa 97 persen remaja tersebut pernah menonton film porno. (Mariani dan Bachtiar , 2010). Pornografi dapat menjadi materi yang merugikan terhadap perilaku anak sekolah. Siswa atau remaja yang sering terpapar pornografi mempunyai keinginan tinggi untuk menirukan adegan porno yang pernah ditontonnya (Haggstrom-Nordin dkk., 2005).

Untuk itu, perkembangan internet yang pesat disertai dengan minat yang besar maka dapat menghasilkan dampak baik maupun buruk bagi para pengguna, tergantung dari aktivitas online yang mereka lakukan ketika mengakses internet. Perilaku cybersex adalah hal yang penting untuk di kaji dalam penelitian ilmiah, pesatnya perkembangan internet di era sekarang sedikit banyak menimbulkan dampak baik negative maupun positif bagi masyarakat khususnya remaja, yang memanfaatkan perkrmbangan internet tersebut untuk melakukan berbagai aktifitas

(24)

yang mereka inginkan atau bahkan melakukan hal yang di larang atau melanggar nilai, norma maupun aturan agama seperti perilaku cybersex. Dengan demikian, peneliti ingin mengetahui hal apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku cybersex pada kalangan remaja.

Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian apakah religiusitas diri berpengaruh terhadap kecenderungan perilaku cybersex pada remaja”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka dapat diajukan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan antara Religiusitas diri dengan kecenderungan perilaku Cybersex pada remaja?”

C. Keaslian Penelitian

Penelitian terkait Religiusitas ataupun penelitian tentang cybersex sebelumnya sudah pernah di teliti baik dari dalam maupun luar negeri. Penelitian yang dilakukan oleh Ririt (2011) di Kediri, yang membahas tentang hubungan pengendalian diri dengan perilaku cybersex untuk siswa SMA 7 di Kediri, menunjukan hasil bahwa adanya hubungan negatif antara pengendalian diri dengan perilaku cybersex, pengendalian diri siswa SMA Negeri 7 Kediri termasuk dalam kategori sedang sebanyak 73 dari 93 responden dengan persentase 78,49% dan perilaku cybersex pada siswa SMA Negeri 7 Kediri

(25)

termasuk kategori sedang sebannyak 79 dari 93 responden dengan persentase 84,95% (Rennawati, 2011).

Penelitian yang di lakukan oleh Wahyuni dkk, (2013) di SMA swasta islam di kabupaten Gresik, mengenai hubungan religiusitas dengan kecenderungan perilaku mengakses pornografi di internet pada remaja Dari hasil penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa semakin tinggi religiusitas maka semakin rendah kecenderungan perilaku mengakses pornografi di internet pada remaja, dan sebaliknya. Selain itu, remaja laki-laki memiliki kecenderungan mengakses pornografi lebih tinggi daripada perempuan.

Penelitian yang di lakukan oleh Indah Lestari, dkk (2014) di Glagah Sari Yogyakarta, mengenai hubungan antara kontrol diri dengan perilaku cybersex remaja pada pengguna warnet. Berdasarkan hasil uji korelasi diperoleh nilai korelasi antara kematangan emosi dan kecenderungan perilaku cybersex sebesar -.229 dengan p= 0.005 (p 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis yang menyatakan ada hubungan negatif antara kontrol diri dengan perilaku cybersex remaja dapat diterima. Artinya semakin tinggi kontrol diri maka perilaku cybersex semakin rendah. Sebaliknya semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi perilaku cybersex remaja.

Agustina dan Hafiza (2013) dalam penelitiannya di Yogyakarta, mengenai religiousitas dan perilaku cybersex pada kalangan Mahasiswa dari hasil analisis data menunjukkan r = - 0,333, dengan taraf signifikansi 0.008 (p<0.01). Berdasarkan hasil korelasi tersebut dapat dinyatakan bahwa terdapat hubungan

(26)

negatif antara antara religiositas dengan perilaku cybersex, sehingga hipotesis yang menyatakan terdapat hubungan negative antara religiositas dengan perilaku cybersex dapat diterima. Koefisien determinasi (R) yang diperoleh = 0,111 artinya sumbangan variabel religiositas terhadap penurunan tingkat perilaku cybersex sebesar 11,1%.

Penelitian yang di lakukan oleh Candra & Pratiwi (2018) di kota Padang, mengenai hubungan religiusitas dengan cybersexual addiction pada siswa SMP Muhammadiyah 1 kota Padang. Berdasarkan analisis data, diperoleh nilai korelasi sebesar -0,647 dengan taraf signifikansi 0,000 yang berarti hipotesis dapat diterima. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan negatif antara religiusitas dengan cybersexual addiction pada siswa SMP Muhammadiyah 1 Kota Padang. Dengan besar sumbangan efektif religiusitas dengan cybersexual addiction pada siswa SMP Muhammadiyah 1 Kota Padang sebesar 42%.

Penelitian yang di lakukan oleh Marjorie (2016) di kota Yogyakarta mengenai hubungan cybersex dengan agresivitas sexual pada remaja laki laki, Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh signifikansi sebesar 0,497. Angka ini bernilai lebih besar dari 0,05 yang berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara cybersex dengan agresivitas seksual pada remaja laki-laki. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar remaja lakilaki masuk dalam kategori rendah pada skor skala agresivitas seksual. Artinya, remaja laki-laki dalam penelitian ini jarang atau bahkan tidak pernah bertindak agresif secara seksual pada perempuan. Sementara hasil penelitian

(27)

pada skala cybersex remaja tersebut sebagian besar tergolong sedang dalam hal mengakses atau melakukan cybersex.

Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan dampak positif religiusitas terhadap remaja yaitu perkembangan agama pada remaja berkaitan positif dengan partisipasi di berbagai aktivitas sebagai warga negara, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah, dan mempunyai hubungan negatif dengan penggunaan alkohol maupun obat-obatan terlarang (Keretes dalam Santrock, 2007). Penelitian tersebut juga diperkuat oleh penelitian dari Bartkowski & Xu (2007), yang mengatakan bahwa terdapat hubungan antara unsur-unsur dalam religiusitas dengan menurunnya penggunaan narkoba

Kemudian penelitian yang di lakukan oleh Abell, Steenbergh dan Boivin (2006) mengungkapkan bahwa dalam hal ini perilaku cybersex dapat di pengaruhi oleh tingkat religiusitas individu. Hasil penelitian tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat regiusitas individu maka semakin kecil kemungkinan individu untuk melakukan aktivitas cybersex, dan sebaliknya bahwa semakin rendah tingkat religiusitas pada seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk tergabung dalam perilaku cybersex.

Dalam penelitan ini peneliti menggunakan Cybersex sebagai variable terikat, dan Religiusitas diri sebagai variable bebas atau yang juga termasuk dari faktor yang di prediksi dapat menyebabkan terjadinya prilaku Cybersex. variable yang peneliti pakai hampir sama dengan beberapa penelitian di atas akan tetapi perbedaan yang terlihat dari penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan

(28)

peneliti lakukan perbedaannya bisa di lihat dari karakteristik subyek, situasi, kondisi, dan lingkungan.

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini ditujukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara Religiusitas Diri dengan Kecenderungan Perilaku Cybersex pada remaja.

E. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian kali ini peneliti berharap ada beberapa manfaat yang dapat di ambil baik itu secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu masyarakat.

1. Secara Teoritis

a. Dengan hasil penemuan dalam penelitian ini, dapat menguatkan kembali penemuan sebelumnya yang menyatakan bahwa Religiusitas mempengaruhi perilaku cybersex.

b. Jika teori ini terbukti, maka akan menguatkan penelitian selanjutnya akan diteruskan ketika individu dipengaruhi variabel Religiusitas dan variabel prilaku cybersex

c. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan informasi dalam ranah keilmuan psikologi khususnya psikologi sosial maupun psikologi agama. Dan tentunya semua pihak tentang bagaimana keterkaitan antara Religiusitas Diri dengan kecenderungan perilaku cybersex.

(29)

2. Secara Praktis

a. Bagi remaja penelitian ini menjadi masukan akan pentingnya Religiusitas dan pemahaman mengenai cybersex pada remaja.

b. Bagi pihak lembaga pendidikan apabila terdapat hubungan antara religiusitas diri dengan perilaku cybersex maka diharapkan pendidik dapat meningkatkan pemahaman nilai-nilai religiusitas dalam dunia pendidikan terlebih supaya dapat mengurangi perilaku cybersex

c. Memberikan bahan pertimbangan faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku cybersex agar mampu mewujudkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas bagi para pendidik, siswa juga masyarakat demi kemajuan bangsa dan negara.

F. Sistematika Pembahasan

Laporan hasil penelitian untuk memenuhi tugas akkhir mahasiswa (Skripsi) ini disusun dalam 5 BAB pembahasan.

Pada BAB Pertama dijelaskan mengenai masalah yang melatarbelakangi penelitian yang kemudian memunculkan sebuah rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika susunan pembahasan laporan.

Pada BAB Kedua dijelaskan terkait teori-teori yang digunakan guna menjadi kajian dalam penelitian yang akan di lakukan oleh peneliti. Teori yang di kaji dalam hal ini adalah teori tentang Cybersex sebagai variable terikat dan teori

(30)

tentang Religiusitas diri sebagai variable bebas. Kemudian kedua teori tersebut di jelaskan keterkaitannya, yang kemudian tersusun kerangka teoritik penelitian sehingga memunculkan sebuah hipotesis penelitian.

Pada BAB Ketiga di jelaskan mengenai metodepenelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Metodologi tersebut meliputi rancangan penelitian, variable penelitian beserta definisi oprasional, subjek penelitian yang mencakup populasi beserta teknik dalam menentukan jumlah sampel penelitian, kemudian instrument penelitian beserta validitas dan realibilitasnya, dan teknik analisis data hasil penelitian.

Pada BAB Keempat dijelaskan mengenai hasil penelitian, dan analisis uji hipotesis sekaligus pembahasannya. Hasil penelitian dijabarkan secara keseluruhan, meliputi persiapan dalam penelitian dan pelaksanaan penelitian, kemudian deskripsi subjek penelitian, dan pemaparan data skor pada tiap variabel yang didapat dari subyek penelitian. Terkait analisis uji hipotesisi dipaparkan berdasarkan data statistic, dan pembahasan dikaji berdasarkan teori-teori dan penelitian terdahulu.

Pada BAB Kelima dijelaskan mengenai kesimpulan dan saran dalam penelitian. Kesimpulan didapat dari akumulasi hasil penelitian yang di jelaskan secara inti, singkat dan padat guna menjawab rumusan masalah.

(31)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Cybersex

1. Definisi Cybersex

Perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang timbul atas dasar dorongan seksual dari dalam diri setiap individu yang melakukannya, baik dengan lawan jenis maupun sesame jenis denagn ataupun tanpa ikatan agama yang sah, yang mana objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, ataupun diri sendiri (Sarwono, 2016). Tahapan perilaku seksual menurut Sarwono (dalam Asmarayasa, 2004) adalah memegang tangan, mencium, memeluk, meraba tubuh, saling menempelkan alat kelamin (petting), masturbasi, hubungan seks (intercours). Terdapat dua jenis perilaku seksual, yaitu perilaku seksual secara langsung dan perilaku seksual secara tidak langsung (online sexual activity). Salah satu bentuk online sexual activity (OSA) adalah perilaku cybersex (Cooper & Griffin-Shelley, 2002). Ada berbagai macam variasi dalam definisi cybersex.

Cybersex dikategorikan sebagai salah satu Online Sexual Activity, yakni penggunaan internet untuk berbagai macam aktivitas (teks, audio, gambar) yang mengandung seksualitas dengan tujuan rekreasi, hiburan, eksplorasi, dukungan terhadap masalah seksual, pendidikan, pembelian materi seks, mencari partner seksual, dan sebagainya (Cooper, 2002). Cybersex terjadi ketika individu menggunakan internet untuk terlibat dalam ekspresi

(32)

seksual atau aktivitas pemuasan seksual yang termasuk di dalamnya melihat gambar-gambar erotis, terlibat dalam obrolan seksual, bertukar email dengan konten seksual, dan cybering, di mana pengguna berbagi fantasi melalui internet yang melibatkan kegiatan kegiatan seksual bersama-sama sementara salah satu atau kedua pihak bermasturbasi (Cooper, 2002).

Menurut Schneider dan Weiss (dalam Vybiral, Smahel, & Divinova, 2004), cybersex adalah segala bentuk ekspresi seksual yang diakses melalui komputer atau internet. Maheu (dalam Sari & Purba, 2012) mendefinisikan cybersex sebagai aktivitas yang terjadi ketika orang menggunakan komputer yang berisi tentang teks, suara dan gambar yang didapatkan dari software atau internet untuk stimulus seksual dan secara khusus mencakup dua atau lebih orang berinteraksi di internet yang membangkitkan gairah seksual satu dengan yang lainnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa cybersex adalah aktivitas untuk pemuasan seksual individu seperti melihat gambar-gambar erotis, chatting tentang hal yang berbau seksual, dan cybering yang dilakukan melalui media internet.

2. Dimensi Cybersex

Menurut Cooper, dkk (1999), tingkat keterlibatan seseorang dalam aktivitas cybersex dapat dilihat berdasarkan 4 aspek sebagai berikut:

(33)

a. Tindakan (Action)

Tindakan adalah aktivitas langsung berupa mengunduh gambar ataupun video porno, chatting erotis, dan sebagainya, termasuk berapa lama waktu yang dihabiskan untuk melakukan cybersex.

b. Refleksi (Reflection)

Refleksi adalah keterlibatan kognitif pada pengalaman mengakses situs porno (cybersex) yang dapat menjurus ke kualitas obsesif untuk melakukan cybersex.

c. Kesenangan (Excitement)

Kesenangan adalah tingkat kesenangan dan kepuasan ketika melakukan cybersex tanpa diikuti perasaan terangsang ataupun bersalah.

d. Rangsangan (Arousal)

Rangsangan adalah hasil dari pengalaman bergairah dan merangsang. Fantasi seksual yang dilakukan oleh pengguna dapat diikuti dengan masturbasi. Hal ini seringkali diikuti dengan perasaan malu dan bersalah.

3. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Cybersex

Cooper (2002) menyatakan terdapat 3 komponen yang menjadi alasan mengapa seseorang melakukan cybersex. Ketiga komponen tersebut disebut sebagai “Triple A Engine”, yaitu:

(34)

a. Accessibility

Seseorang dapat mencari sebuah website untuk memuaskan kebutuhan seksual atau hasrat yang dimilikinya tanpa perlu menunda kepuasan tersebut. Internet merupakan toko virtual yang buka 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk transaksi sosial dan bisnis.

b. Affordability

Seseorang dapat menggunakan internet untuk mengakses konten seksual maupun melakukan percakapan seksual dengan biaya yang murah serta menghemat waktu.

c. Anonymity

Anonimitas membuat seseorang bebas berekspresi. Mereka bisa lebih terbuka untuk mengungkapkan pertanyaan pertanyaan berbau seks maupun fantasi seksual mereka. Anonimitas membuat individu tidak perlu takut akan dikenali oleh orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 hal yang membuat seorang individu melakukan cybersex, yakni accessibility (kemudahan untuk mengakses), affordability (keterjangkauan biaya), dan anonymity (keadaan tanpa nama)

(35)

Sedangkan menurut Delmonico, Carners dan Griffin (2001) terdapat beberapa faktor yang berperan dalam keterlibatan seseorang terhadap perilaku cybersex, yaitu:

a. Accessibility

Dengan kemajuan teknologi yang ada, internet menawarkan akses yang sangat luas dan mudah untuk mencari berbagai informasi tentang seks. Seseorang dapat mengakses internet selama 24 jam tanpa batas, baik di rumah, tempat kerja, warung internet (warnet), perpustakaan publik, sekolah, atau universitas. Individu dapat memilih sebuah web dari jutaan situs web yang menyajikan serta menawarkan berbagai jenis informasi atau pengalaman seksual yang diinginkan.

b. Isolation

Faktor ini mungkin merupakan salah satu faktor yang paling kuat dalam keterlibatan seseorang terhadap perilaku cybersex. Isolasi memberikan kesempatan untuk memisahkan diri dari orang lain dan untuk terlibat dalam fantasi apapun yang disukainya.

c. Anonymity

Internet menyediakan kemudahan untuk memperoleh dan menggunakan materi pornografi atau berinteraksi seksual dengan orang lain dalam bentuk anonim. Tidak satupun dari mereka benar benar tahu dengan siapa mereka berinteraksi, usia mereka, jenis kelamin mereka, di mana

(36)

mereka tinggal, atau apapun tentang mereka. Terlebih lagi, sekarang tersedia software yang telah secara khusus dirancang untuk meningkatkan akses anonimitas, sehingga memungkinkan seseorang untuk mem-posting informasi apapun secara anonim.

d. Affordability

Karena keterjangkauanya, cybersex dianggap merupakan salah satu alternative untuk memenuhi dorongan seksual bagi mereka yang terlibat. Dengan low-cost yang mereka keluarkan setiap bulannya, mereka dapat mengakses informasi apapun tentang seks yang mereka inginkan.

Sex: what you want, when you want it, at low cost, minus the “messiness and hassles” of a person-to-person relationship, and with complete anonymity.

Dengan begitu tidak mengherankan bahwa jumlah situs web tersebut meledak bersama dengan jumlah orang yang mengakses dan menggunakannya.

e. Fantasy

Cybersex memberi kesempatan bagi mereka yang terlibat untuk mengembangkan fantasi seksual dan merealisasikan orang lain tanpa harus bertanggung jawab, konsekuensi dan penolakan.

(37)

f. Sensation Seeking

Dalam penelitian O’sullivan dan Ronis (2013) salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan cybersex adalah sensation seeking. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki maupun perempuan melakukan cybersex karena ingin merasakan sesuatu yang berbeda yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

g. Infidelity

Menurut Wysocki dan Childers (2011), bahwa seseorang yang memiliki hubungan yang signifikan terlibat dalam perilaku cybersex untuk melakukan kecurangan guna mengeksplorasi sisi lain dari seksualitasnya. Online infidelity atau perselingkuhan online merupakan salah faktor dalam keterlibatan seseorang dalam perilaku cybersex. h. Tipe Kepribadian

Dalam Shearer (2009) salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang terlibat dalam perilaku cybersex. Pada penelitiannya terdapat dua dimensi dari big five personality yang dianggap merupakan faktor yang mempengaruhi, yaitu dimensi neuroticism dan extraversion.

i. Religiusitas

Abell, Steenbergh dan Boivin (2006) mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas pada seseorang dapat mempengaruhi orang tersebut untuk

(38)

melakukan cybersex. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat regiusitas seseorang maka semakin kecil kemungkinan seseorang untuk tergabung dalam perilaku cybersex, dan sebaliknya bahwa semakin rendah tingkat religiusitas pada seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk tergabung dalam perilaku cybersex.

j. Internet Time Spent

Dalam penelitian Laier, Pawlikowski, Pekal, Schulte dan Brand (2013) bahwa salah satu faktor yang dianggap sangat mempengaruhi seseorang untuk terlibat dalam perilaku cybersex yaitu lamanya penggunaan waktu di internet. Hasil penelitiannya, seseorang yang menggunakan internet lebih lama akan lebih memungkinkan untuk terlibat dalam perilaku cybersex baik heterosexual maupun homosexual.

B. Religiusitas

1. Definisi Religiusitas

Religi atau agama bukanlah sesuatu yang tunggal, tetapi bersifat majemuk, yakni gabungan dari beberapa aspek, yang dikenal dengan istilah kesadaran dalam beragama (religious consiouness) dan pengalaman dalam beragama (religious experience) (Subandi, 2013).

Harum Nasution (1974) berpendapat bahwa agama berasal dari beberapa suku kata yakni dari kata al-Din, religi (relegere, religare) dan

(39)

agama. Al-Din (semit) yang berarti undang-undang atau hukum. Yang mana dalam Bahasa arab kata ini memeiliki beberapa arti yaitu menguasai, menundukkan, patah, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan kata religi (latin) atau leregere yang berarti mengumpulkan dan membaca. lerigere sendiri artinya mengikat. Kata agama sendiri terdiri dari (a=tidak; gam=pergi), yang mempunyai arti tidak pergi, yakni tetap di tempat atau diwariskan turun temurun (jalaluddin, ed. Revisi, 2008).

Zakiah Daradjat berpendapat bahwa religiusitas merupakan sistem yang menyeluruh yang meliputi kepercayaan, keyakinan, dan sikap-sikap dan upacara-upacara yang menghubungkan individu dengan sesuatu yang bersifat ketuhanan (Daradjat: 1991). Pruyser (Jalaluddin, 2003) berpendapat bahwa religiusitas bersifat personal dan mengatas namakan agama. Yang mana agama mencakup ajaran-ajaran yang berhubungan dengan Tuhan, Religiusitas merupakan suatu kesatuan unsur-unsur yang komprehensif, yang menjadikan seseorang disebut sebagai orang beragama (being religious), dan bukan sekadar mengaku mempunyai agama (having religion). Menurut Glock & Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005) religiusitas merupakan suatu sistem simbol, keyakinan, nilai, dan perilkau, yang keseluruhannya tersebut dapat terlambangkan dan berpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai yang paling maknawi. Keberagaman atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia

(40)

Di dalam buku ilmu jiwa agama, Daradjat (1991) mengemukakan istilah kesadaran agama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience). Kesadaran agama merupakan segi agama yang terasa dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan sebagai aspek mental dari aktivitas agama. Pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran agama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan. Menurut Nashori (dalam Reza, 2013) mengatakan bahwa religiusitas adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa pelaksanaan ibadah dan kaidah, dan seberapa dalam penghayatan atas agama yang dianut.

2. Dimensi Religiusitas

Religiusitas di wujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Religiusitas tidak hanya di lakukan saat individu melaksanakan ibadah saja, tetapi aktivitas juga didorong oleh kekuatan dari dalam diri individu sendiri. Maka dari itu religiusitas individu terdiri dari beberapa sisi maupun dimensi. Dimensi religiusitas menurut Glock & Stark (dalam Ancok & Suroso, 2005) ada 5 macam, yaitu:

a. Dimensi Keyakinan

Yakni sejauh mana seseorang menerima dogma terkait dengan keagamaan. Contohnya kepercayaan terhadap rukun iman dalam islam.

(41)

b. Dimensi Peribadatan

Yakni sejauh mana tingkat seseorang dalam mengerjaka peribadatan atau ritual dalam agamanya. Sebagai contoh orang islam yaitu apakah mereka melakukan sholat, puasa, dan membaca al-qur’an.

c. Dimensi Penghayatan

Yaitu menggambarkan bentuk-bentuk perasaan atau pengalaman keagamaan yang pernah dialami dan di rasakan, contohnya ke khusukan dalam sholat, berdoa, maupun berdzikir.

d. Dimensi Pengetahuan

Yakni sejauh mana seseorang mngetahui tentang ajaran-ajaran agama dan juga sejauh mana seseorang melakukan aktivitas untuk menambah pengetahuan terkait agamanya, contonya pengetahuan tentang isi Al-Qur’an, pengetahuan pokok-pokok ajaran yang harus di Imani, dan pengetahuan tentang hukum-hukum keagamaan.

e. Dimensi Pengalaman

Yakni sejauh mana perilaku seseorang di motivasi oleh ajaran-ajaran agamanya. Dimensi ini menunjukan akibat ajaran agama dan perilaku. Inilah efek ajaran agama dan perilaku individu dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya akhlaq yang mulia dan mematuhi norma – norma islam.

Dari kelima aspek religiusitas di atas dapat di ketahui bahwa semakin tinggi seseorang dalam mengimplementasikan dimensi dimensi keagamaan

(42)

maka terdapat kemungkinan semakin tinggi pula tingkat religiusitas dalam diri individu tersebut.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Menurut Jalaluddin (2008) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi religiusitas diri, Pengaruh tersebut baik yang bersumber dalam diri seseorang maupun yang bersumber dari faktor luar, yang faktor-faktor itu adalah:

a. Faktor Internal

Dalam hal religiusitas selain di tentukan oleh faktor dari luar juga di pengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu tersebut. Berikut yang termasuk dalam faktor internal religiusitas.

1. Faktor Hereditas

Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun temurun, melainkan terbentuk dari berbagai unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Selain itu Rasulullah juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh.

2. Tingkat Usia

Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tingkat usia dengan kesadaran beragama, meskipun tingkat usia bukan satu-satunya faktor penentu dalam kesadaran beragama

(43)

seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahaman agama pada tingkat usia yang berbeda.

3. Kepribadian

Sebagai identitas diri (jati diri) seseorang yang sedikit banyaknya menampilkan ciri-ciri pembeda dari individu lain di luar dirinya. Dalam kondisi normal, memang secara individu manusia memiliki perbedaan dalam kepribadian. Perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap aspek-aspek kejiwaan termasuk kesadaran beragama.

4. Kondisi Kejiwaan

Banyak kondisi kejiwaan yang tak wajar seperti schizoprenia, paranoia, maniac, dan infantile autisme. Tetapi yang penting dicermati adalah hubungannya dengan perkembangan kejiwaan agama. Sebab bagaimanapun seseorang yang mengidap schizopreniaakan mengisolasi diri dari kehidupan sosial serta persepsinya tentang agama akan dipengaruhi oleh halusinasi.

b. Faktor Eksternal

Terdapat beberapa faktor eksternal yang religiusitas, Umumnya lingkungan tersebut dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Lingkungan keluarga

Keluarga adalah bentuk kecil dari lingkungan masyarakat, keluarga juga sebagai awal individu dalam bersosial, Dengan demikian,

(44)

kehidupan keluarga adalah tahap awal sosialisasi bagi pembentukan jiwa keagamaan pada tiap individu.

2. Lingkungan institutional

Lingkungan sekolah atau instansi pendidikan yang di dalamnya mempunyai banyak unsur mulai dari materi pembelajaran, pengajar, dan teman sebaya, dinilai mempunyai peran penting dalam pembentukan sikap dan moral pada individu, yang mana sikap dan moral remaja yanag baik erat kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan seseorang

3. Lingkungan masyarakat

Sepintas, lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka. Tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan, baik dalam bentuk positif maupun negatif. Suatu tradisi keagamaan dapat menimbulkan dua sisi dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang, yaitu fanatisme dan ketaatan.

Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa banyak sekali yang dapat mempengaruhi religiusitas pada diri individu, baik dari faktor internal maupun eksternal, yang semuanya dapat membentuk religiusitas pada diri tiaptiap individu.

(45)

C. Hubungan antara Religiusitas Diri dan Cybersex

Cybersex masuk dalam kategori OSA (Online Sexual Activity) yang mana internet digunakan sebagai alat untuk kegiatan dalam memuaskan hasrat seksual. Cybersex umumnya terdiri dari beragam perilaku seksual di internet, misalnya menonton materi pornografi, mengambil bagian dalam obrolan termotivasi seksual atau seks melalui webcam, tetapi juga mencari pasangan secara online untuk secara melakukan seks atau mengumpulkan informasi tentang seks secara offline (Doring, 2009 dalam Ayodele & Olanrewaju:2009).

Perilaku Cybersex didasari oleh beberapa faktor salah satu faktornya yaitu religiusitas. Religiusitas adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam diri seseorang. Internalisasi di sini berkaitan dengan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran agama baik di dalam hati ataupun dalam ucapan. Kepercayaan ini kemudian di aktualisasikan dalam perbuatan dan tingkah laku sehari-hari (Golck & Strak, dalam Robertson, 1993).

Menurut Laird dkk, (2011) Dalam sebuah penelitian menyebutkan, individu dengan tingkat religiusitas tinggi dapat menurunkan kontrol diri yang rendah dan menurunkan antisosial, serta dapat mengurangi perilaku melanggar aturan. Cybersex merupakan suatau prilaku yang di kategorikan sebagai prilaku menyimpang yang mana dampak negative yang di timbulkan bisa merugikan diri sendiri bagi pelaku maupun lingkungan. Dilihat dari sudut pandang keagamaan, terutama agama islam perilaku cybersex dapat di kategorikan sebagai bentuk zina

(46)

atau dosa, Dalam hal ini nilai-nilai agama dan religiusitas seseorang di anggap memeberikan kontribusi besar terhadap sikap dan perilaku seseorang.

Para peneliti Baummeister, Vochs & Tice (dalam Inzlicht dkk, 2014) juga beranggapan bahwa agama dapat membantu individu untuk berperilaku baik, karena banyak aspek dalam kepercayaan terhadap agama dan praktek keagamaan membuat seseorang dapat memiliki kotrol diri (self control) yang baik, yaitu kemampuan untuk mengesampingkan pikiran dan perilaku dirinya sendiri (misalnya melamun, curang dalam ujian) dan lebih mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan hidup yang baik (misalnya, menyelesaikan tugas, jujur).

D. Kerangka Teoritik

Kertarikan remaja terhadap materi yang mengandung muatan porno di internet salah satu penyebabnya yakni remaja sedang mengalami yang namanya masa transisi. perubahan, baik pada aspek fisik, seksual, emosional, religi, moral, sosial, maupun intelektual di alami dalam masa remaja (Hurlock, 1993). Pada aspek seksual remaja mengalami perubahan pada kelenjar hipofisa yang kemudian meragsang pengeluaran hormone dan mempengaruhi organ – organ reproduksi (Udry dalam Katchadurian, 1989). Remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan sebuah hal salah satunya yaitu materi seks yang ada di internet, Dengan di dukung dengan rasa ingin tahu yang tinggi dan kurangnya control diri dari remaja membuat remaja menjadi semakin bebas dalam berselancar di

(47)

internet. Oleh karena itu, remaja menjadi sangat rentan terhadap perilaku cybersex.

Remaja yang pemikirannya sudah berkaitan dengan pornografi maka akan terjerumus melakukan perilaku seksual yang menyimpang dari agama dan norma sosial. Salah satunya, cybersex berdampak pada timbulnya kejahatan seksual seperti perkosaan, pencabulan, sodomi atau pelecehan seksual. Dalam konteks perkembangan kejiwaan remaja yang cenderung memiliki minat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks, maka agama diharapkan dapat menjadi kontrol yang efektif. Remaja membutuhkan kekuatan mental dalam menghadapi godaan materi – materi seksual yang sering bermunculan di internet, karena perilaku cybersex, surfing situs porno, maupun chat erotis merupakan suatu hal yang menggiring individu untuk memunculkan imajinasi seks dengan lawan jenis maupun sejenis, hal seperti dilarang oleh agama karena kekuatan imajinasi seksual baik yang menggunakan media atupun tidak pada hakikatnya sama, yakni menyebabkan individu terangsang secara seksual, sedangkan segala bentuk pemuasan syahwat tanpa melalui ikatan pernikahan yang sah, agama melarangnya.

Dalam perilaku cybersex secara sengaja, efek yang dapat melindungi adalah internalisasi agama melalui regulasi diri dan kontrol sosial, serta keterlibatan keagamaan melalui kontrol sosial (Hardy,2013). Para peneliti Baummeister, Vochs & Tice (dalam Inzlicht dkk, 2014) juga beranggapan bahwa

(48)

agama dapat membantu individu untuk berperilaku baik, karena banyak aspek dalam kepercayaan terhadap agama dan praktek keagamaan membuat seseorang dapat memiliki kotrol diri (self control) yang baik, yaitu kemampuan untuk mengesampingkan pikiran dan perilaku dirinya sendiri (misalnya melamun, curang dalam ujian) dan lebih mengarahkan hidupnya sesuai dengan tujuan hidup yang baik (misalnya, menyelesaikan tugas, jujur). Hal ini berbanding lurus dengan teori yang di kemukakan oleh Abell, Steenbergh dan Boivin (2006) yang mengungkapkan bahwa tingkat religiusitas pada seseorang dapat mempengaruhi orang tersebut untuk melakukan cybersex. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat regiusitas seseorang maka semakin kecil kemungkinan seseorang untuk tergabung dalam perilaku cybersex, dan sebaliknya bahwa semakin rendah tingkat religiusitas pada seseorang maka semakin besar kemungkinan orang tersebut untuk tergabung dalam perilaku cybersex.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas maka dapat di gambarkan kerangka teoritik sebagai berikut:

Gambar 2.1 Model Konseptual Penelitian

(49)

E. Hipotesis

Berdasarkan kerangka teoritik yang telah di paparkan di atas, maka hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara Religiusitas diri terhadap perilaku Cybersex pada remaja.

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Menurut Hadi (2000), unsur penting yang terdapat dalam sebuah penelitian ilmiah adalah metode penelitian, karena hasil penelitian dapat dipertaggungjawabkan apabila metode yang di gunakan dalam penelitian sesuai dengan tujuan.

Rancangan penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian koresional yang mana penelitian kuantitatif korelasional merupakan penelitian yang di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara dua atau beberapa variabel (Arikunto.S., 2005).

B. Identifikasi Variabel

Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan penelitian. Variabel yang terdapat dalam suatu penelitian, ditentukan oleh landasan teori dan ditegaskan oleh hipotesis penelitian (Suryabrata, 1998). Variabel penelitian merupakan obyek penelitian yang memiliki variasi. Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel, yaitu variabel terikat (Y) dan variabel bebas (X).

Berdasarkan uraian kajian pustaka, dua variabel yang ditetapkan untuk diteliti dalam penelitian ini adalah

a. Variabel terikat (Y): Perilaku Cybersex b. Variabel bebas (X): Religiusitas Diri

(51)

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional merupakan sebuah rumusan dari definisi variabel yang berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel yang dapat diamati (Azwar,2015). Dari masing-masing variabel tersebut, definisi secara operasional dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Perilaku Cybersex

Cybersex didefinisikan sebagai aktivitas perilaku mengakse internet dalam bentuk apapun yang bertujuan sebagai pemuasan seksual individu yang dilakukan melalui media internet. Yang diukur dengan menggunakan skala berdasarkan 4 aspek (Cooper, 1999). Yang mana aspek tersebut meliputi aspek Tindakan (Actions), refleksi (reflection), kesenangan (excitement) dan rangsangan (aurosal),

b. Religiusitas Diri

Religiusitas adalah tingkat keyakinan dan pemahaman manusia terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga merefleksikan ketaatan dalam beragama. Yang di ukur dengan skala yang berdasarkan pada beberapa aspek yaitu aspek keyakinan, peribadatan, penghayatan, pengetahuan, dan pengalaman Glock dan Stark (dalam Ancok dan Suroso, 2005).

(52)

D.Populasi, Teknik Sampling, dan Sampel

1. Populasi

Arikunto (2010) mengemukakan bahwa populasi adalah keseluruhan penduduk atau individu yang diteliti serta memiliki beberapa karakteristik yang sama. Populasi adalah seluruh objek penelitian.

Berdasarkan penjelasan diatas, subyek yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi SMK Ketintang Surabaya yang seluruhnya berjumlah total 1,076 siswa.

2. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik purposive sampling, yang menurut Sugiyono (2010) teknik purposive sampling merupakan teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan tertentu yang bertujun agar data yang di peroleh nantinya bisa lebih representative. Teknik purposive sampling dipilih karena populasi pada penelitian ini dikhususkan pada siswa siswi SMK dengan jurusan Teknik Komputer Jaringan. dalam proses pembelajarannya di sekolah tersebut siswa siswi dengan jurusan TKJ berkaitan langsung dengan internet. Yang mana internet juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya perilaku cybersex. kreteria tersebut yang menjadikan peneliti menggunakan teknik purposive sampling.

(53)

3. Sampel

Dalam sebuah penelitian terkait kelompok subyek sebagai populasi yang telah ditetapkan, diambil beberapa sampel dari populasi untuk diteliti. Arikunto (2002) mengungkapkan bahwa sampel merupakan sebagian atau wakil dari populasi dengan ciri-ciri yang telah ditentukan. Arikunto (2002) juga menambahkan bahwa apabila subjek kelompok populasi penelitian kurang dari 100, lebih baik diambil semua, dan apabila lebih dari 100, maka dapat diambil sampel antara 10 – 15% atau 20 – 25%. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 68 siswa, karna berdasarkan teori dari Arikunto apabila sampel berjumlah kurang dari 100 maka lebih baik di ambil semua. Dari pernyataan tersebut maka peneliti dalam mengambil sampel menggunakan keseluruhan sampel dikarenakan berjumlah kurang dari 100.

E. Instrumen Penelitian

Maksud penggunaan instrumen dalam penelitian ini adalah untuk menghasilkan data yang akurat yaitu dengan menggunakan skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur suatu sikap, pendapat, serta persepsi seseorang atau sekelompok orang mengenai suatu fenomena sosial tertentu (Sugiyono, 2014). Dalam skala likert, digunakan dua jenis pernyataan yakni favorable untuk pernyataan yang mendukung atau berpihak pada objek yang diukur dan unfavorable untuk pernyataan yang tidak mendukung objek yang diukur. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan skala penelitian yang disusun berdasarkan aspek-aspek perilaku Cybersex dan religiusitas.

(54)

Adapun skala yang di gunakan dalam penelitian ini untuk mengukur variabel cybersex maupun variabel religiusitas diri peneliti menggunakan skala Likert yang di dalamnya terdapat dua jenis pernyataan, yakni favorable (mendukung variabel) dan unfavorable (tidak mendukung variabel). Skala likert yang di gunakan dalam penelitian ini memiliki empat alternatif pilihan jawaban pada tiap itemnya, yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) Sangat Tidak Setuju (STS).

Tabel 3.1 Skoring Skala Likert

Simbol Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable

SS Sangat Setuju 4 1

S Setuju 3 2

TS Tidak Setuju 2 3

STS Sangat Tidak Setuju 1 4

Pada alternative jawaban ini tidak disertakan jawaban tengah (netral) atau “ragu-ragu” dikarenakan adanya beberapa pertimbangan. Menurut Hadi (2000), menyatakan bahwa jawaban tengah-tengah pada sebuah skala ditiadakan diantaranya karena beberapa pertimbangan, yakni:

a) Kategori ragu-ragu memiliki arti ganda yang dapat diartikan belum dapat memberikan jawaban atau netral.

b) Alternatif jawaban ragu-ragu dapat menyebabkan terjadinya central tendency affect (kecenderungan efek tengah-tengah).

Gambar

Gambar  2.1 Kerangka  Teoritik  .......................................................................
Gambar  2.1 Model Konseptual  Penelitian
Tabel 3.1   Skoring  Skala Likert
Tabel 3.11  Hasil Uji  Linieritas

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

KUALITI MASA PEMBELAJARAN AKADEMIK DALAM PENDIDIKAN JASMANI: KAJIAN KES DI SEKOLAH MENENGAH DAERAH HULU LANGAT, SELANGOR.. JULISMAH

Tree height-dbh model residuals probably reduce the correlation between lidar canopy height indices and ground AGB reference, consequently introducing errors to

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dalam dua siklus dengan me- nerapkan metode Snowball Drilling dalam pembelajaran PKn materi Lembaga-lembaga

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pertumbuhan dan kelulushidupan ikan sidat setelah pemberian pakan alternatif dengan berbagai proporsi dan untuk mengetahui

[r]

Demikian undangan ini kami sampaikan atas perhatiannya diucapkan terima kasih.. PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH UNIT

11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, serta Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang.Masalah yang ada di Jawa Tengah adalah masih

Lebih lanjut, data hambatan arus listrik lendir vagina pada kelompok injeksi ganda lebih rendah dibandingkan dengan injeksi tunggal (187.77 ; 192.14), dengan pola