• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI 2.1 Kebijakan Hutang Universitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. LANDASAN TEORI 2.1 Kebijakan Hutang Universitas Kristen Petra"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Kebijakan Hutang

Kebijakan pendanaan dalam sebuah perusahaan haruslah bertujuan untuk memaksimalkan kemakmuran. Dalam hal ini kebijakan tersebut harus mempertimbangkan dan menganalisa kombinasi sumber-sumber dana yang ekonomis bagi perusahaan guna membiayai kebutuhan-kebutuhan rutin serta investasi perusahaan. Menurut Schoeder (2001), “Financing activitiesresult from obtaining resources from owners, providing owners with a return of and a return on their investment, borrowing money and repaying the amount borrowed, and obtaining and paying for other resources from long-term creditor” (p.162). Dalam hal ini perusahaan selain mendapatkan sumber dana dari modal sendiri yaitu saham preferen, saham biasa, dan laba ditahan, perusahaan juga mampu melakukan pendanaan melalui peminjaman dari kreditur melalui hutang jangka panjang. Hutang jangka panjang sendiri dapat diartikan sebagai kewajiban yang dibayar kepada kreditur dan mempunyai jangka waktu lebih dari satu tahun atau satu siklus operasi perusahaan. Pada umumnya hutang jangka panjang digunakan untuk perluasan perusahaan, meliputi jumlah yang besar, dan jangka waktu yang lama.

Demikian halnya dengan kebijakan hutang sebuah perusahaan dimana keputusan akan penggunaan hutang harus bertujuan untuk memaksimalkan kemakmuran dari pemilik perusahaan bukan untuk memaksimalkan profit. Maksimisasi kekayaan pemilik perusahaan dapat diukur dari pendapatan per lembar saham. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut manajemen dihadapkan pada persoalan risiko dari hutang yang menjadi salah satu pertimbangan dalam menggunakan hutang.

Pada saat perusahaan memutuskan untuk menggunakan hutang maka ada biaya hutang tersebut. Biaya hutang tersebut dikategorikan sebagai risiko finansial (financial risk) yang bersifat tetap karena meskipun perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan, perusahaan tetap harus wajib membayar biaya tersebut. Gitman (2006) mendefinisikan risiko keuangan sebagai risiko dari perusahaan

(2)

yang tingkat penggunaan hutangnya tinggi mempunyai risiko finansial yang tinggi juga. Sebaliknya apabila perusahaan yang tidak menggunakan hutang sama sekali maka tidak ada risiko finansial yang harus ditanggung.

2.1.1. Besaran Hutang terhadap Struktur Modal

Selain dihadapkan pada pertimbangan akan risiko, perusahaan juga perlu mempertimbangkan masalah komposisi besaran modal perusahaan atau yang lazim disebut dengan struktur modal. Besaran hutang terhadap struktur modal menjadi sangat berpengaruh karena sebuah perusahaan dapat dinilai sangat berisiko apabila besaran hutang sangat besar terhadap stuktur modal, namun sebaliknya apabila besaran hutang sangat kecil atau secara ekstrim tidak terdapat hutang maka perusahaan dapat dinilai stagnan karena tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan.

Gallagher (2002) mendefinisikan stuktur modal sebagai kombinasi sumber dana perusahaan dari hutang, saham preferen, dan saham biasa.. Menurut Ross (2002) struktur modal adalah campuran dari bermacam-macam hutang dan ekuitas yang dipelihara oleh perusahaan dimana komposisi tersebut digunakan untuk mendanai investasi perusahaan dengan proporsi hutang jangka pendek, hutang jangka panjang serta ekuitas yang relatif besarnya.

Dalam melakukan keputusan akan struktur modal, perusahaan dapat menggunakan target capital structure atau mengikuti hirearki dari pendanaan yang dimulai dari laba ditahan, diikuti pendanaan dari hutang, dan yang terakhir pendanaan eksternal ekuitas (pecking order). Selain itu, terdapat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keputusan manajemen dalam menentukan besaran hutang terhadap struktur modal (Brigham dan Daves, 2003), yaitu :

1. Sales Stability. Perusahaan dengan penjualan yang relatif stabil, lebih aman dalam penggunaan hutang yang lebih tinggi dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang penjualannya tidak stabil.

2. Asset Structure. Apabila aktiva perusahaan dapat dijadikan sebagai jaminan (collateral) untuk mendapatkan hutang maka perusahaan tersebut cenderung menggunakan banyak hutang.

(3)

3. Operating Leverage. Perusahaan dengan leverage operasi yang kecil mampu memperbesar leverage keuangan karena interaksi antar keduanya dapat mempengaruhi laba bersih.

4. Growth Rate. Perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi cenderung lebih banyak menggunakan hutang daripada perusahaan dengan tingkat pertumbuhan yang lambat.

5. Profitability. Perusahaan yang mempunyai profitabilitas tinggi biasanya mempunyai hutang yang relatif kecil karena menggunakan laba ditahan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan.

6. Taxes. Bunga sebagai akibat dari penggunaan hutang dapat berfungsi sebagai pengurang pajak perusahaan. Sehingga semakin tinggi tarif pajak perusahaan maka semakin besar keuntungan dari penggunaan hutang. 7. Control. Manajemen dapat menerbitkan saham biasa atau menggunakan

ekuitas jika perusahaan dalam keadaan kesulitan keuangan karena ketika menggunakan hutang dalam kesulitan keuangan maka akan memperbesar risiko kebangkrutan. Namun, manajemen tetap harus memperhatikan kepemilikan perusahaan saat menggunakan ekuitas sebagai pendanaan karena adanya risiko untuk takeover.

8. Management Attitudes. Manajemen yang konservatif akan menggunakan hutang lebih rendah daripada rata-rata industri.

9. Lender and Rating Agency Attitudes. Penilaian serta nasihat dari pemberi pinjaman dan penilai kredibilitas sangat berpengaruh terhadap keputusan stuktur modal perusahaan. Semakin baik rating yang diberikan maka akan meningkatkan citra perusahaan sehingga makin mudah mendapatkan hutang.

10. Market Conditions. Kondisi pasar modal yang pasti akan menjamin kemudahan perusahaan dalam menggunakan pendanaan eksternal. Oleh karena itu perubahan kondisi dalam pasar modal dapat mempengaruhi struktur modal perusahaan.

11. The Firm’s Internal Condition. Apabila perusahaan kondisi perusahaan sedang dalam kondisi tidak menentu yang dicerminkan dalam rendahnya

(4)

earning perusahaan, maka perusahaan lebih menyukai pendanaan dari hutang daripada penerbitan saham.

12. Financial Flexibility. Fleksibilitas keuangan merupakan kemampuan perusahaan untuk menggunakan secara cepat aset-aset perusahaan yang likuid untuk berinvestasi, sehingga semakin fleksibel suatu perusahaan maka penggunaan hutangnya menjadi lebih besar untuk memaksimalkan labanya. Perusahaan harus dapat mempertahankan fleksibilitas keuangan sehingga mempunyai cadangan yang memadai untuk dapat melakukan pinjaman.

Menurut Brigham dan Daves (2003) penggunaan hutang yang lebih banyak akan meningkatkan risiko terhadap pemilik perusahaan (stockholders) karena selain mendapatkan risiko bisnis dari operasional perusahaan, pemilik perusahaan mendapatkan tambahan risiko yaitu risiko finansial dari penggunaan hutang yang dicerminkan dalam pembayaran bunga yang umumnya bersifat tetap. Seiring dengan peningkatan risiko finansial risiko kebangkrutan pun akan meningkat.

Walaupun penggunaan hutang akan meningkatkan risiko pemilik perusahaan, bukan berarti pendanaan dari hutang tidak memberikan manfaat. Bunga yang dibayarkan sebagai konsekuensi dari penggunaan hutang dapat berfungsi sebagai pengurang beban pajak (tax-deductible expense), dilain pihak dividen yang dibayarkan kepada pemegang saham sebagai konsekuensi dari penggunaan ekuitas tidak dapat berfungsi sebagai pengurang beban pajak (tax-deductible expense).

2.1.2. Hutang Jangka Pendek

Hutang jangka pendek adalah kewajiban yang harus dibayar dalam jangka waktu 1 tahun (Ross, 2002). Sedangkan menurut Schoeder (2001), hutang jangka pendek adalah kewajiban yang diharapkan dapat dibayar dengan aktiva lancar atau diubah menjadi hutang jangka pendek lainnya. Dari pengertian tersebut dapat ditarik pengertian mengenai hutang jangka pendek, yaitu pinjaman

(5)

dan kewajiban yang diharapkan dibayar dengan aktiva lancar atau diubah menjadi hutang jangka pendek lainnya dalam jangka waktu 1 tahun.

Beberapa jenis hutang jangka pendek yang sering digunakan, diantaranya adalah hutang dagang, hutang gaji, dan wesel bayar jangka pendek (notes payable). Hutang dagang adalah kewajiban yang wajib dibayarkan kepada perusahaan lain, dimana kewajiban tersebut timbul akibat kegiatan bisnis perusahaan berupa pembelian barang secara kredit atau penggunaan jasa perusahaan lain secara kredit. Hutang gaji adalah kewajiban perusahaan terhadap karyawannya akibat adanya hubungan kerja. Sedangkan wesel bayar jangka pendek (notes payable) adalah pinjaman perusahaan yang dijadikan sebagai sumber pendanaan jangka pendek yang umumnya berasal dari bank atau dari entitas yang menyediakan pinjaman.

2.1.3. Hutang Jangka Panjang

Hutang jangka panjang adalah kewajiban yang mempunyai jatuh tempo lebih dari satu tahun dari tanggal dikeluarkannya pinjaman. Pada umumnya hutang jangka panjang digunakan untuk perluasan perusahaan (ekspansi) karena modal yang dibutuhkan untuk keperluan tersebut dalam jumlah besar dan jangka waktu yang lama. Maka dari itu hutang jangka panjang juga disebut sebagai funded debt (Ross, 2002).

Pembiayaan dengan menggunakan hutang memiliki beberapa keunggulan dan kelemahan (Weston dan Copeland, 1997).

Keunggulan pembiayaan dengan menggunakan hutang adalah :

1. Biaya hutang terbatas. Pemegang obligasi tidak ikut menikmati laba perusahaan yang sedang melambung.

2. Hasil pengembalian yang diharapkan biasanya lebih rendah dibanding saham biasa.

3. Jika digunakan pembiayaan dengan hutang, pemilik perusahaan (pemilik saham mayoritas) tidak berbagi pengendalian dan pengelolaan manajemen. 4. Pembayaran bunga hutang dapat berfungsi sebagai pengurang beban pajak. Kelemahan pembiayaan dengan menggunakan hutang adalah :

(6)

1. Hutang memiliki biaya tetap, jika laba perusahaan mengalami penurunan tajam maka perusahaan mungkin tidak dapat memenuhi kewajiban membayar hutang.

2. Hutang memiliki masa jatuh tempo yang pasti sehingga perusahaan harus mampu melunasi hutang tersebut sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

3. Hutang jangka panjang merupakan suatu ikatan dalam jangka waktu relatif lama sehingga bobot risiko yang tercakup di dalamnya cukup tinggi. 4. Dalam ikatan kontrak jangka panjang, persyaratannya cenderung lebih

berat dibanding persyaratan dalam kredit jangka pendek.

2.1.4. Ekuitas

Ekuitas (equity) adalah modal yang berasal dari pemilik perusahaan untuk jangka waktu yang tidak tentu lamanya. Gitman (2006) mendefinisikan equity sebagai,“The two basic sources of equity capital are preffered stock and common equity, which icludes common stock and retained earning” (p.553). Jadi ekuitas bersumber dari saham preferen, saham biasa dan laba ditahan.

Perusahaan dapat memperoleh dana dengan menerbitkan saham biasa dan menjualnya di pasar modal untuk mendapatkan investor baru. Pemegang saham biasa akan mendapatkan dividen pada akhir tahun pembukuan apabila perusahaan yang bersangkutan mendapatkan keuntungan dan apabila mengalami kerugian maka pemegang saham biasa tidak mendapatkan dividen.

Laba ditahan adalah pos neraca yang menunjukkan jumlah keseluruhan dari laba yang tidak dibagikan sebagai dividen dan laba ini diinvestasikan kembali ke dalam perusahaan. Keberadaan laba ditahan tidak hanya tergantung pada laba yang dihasilkan oleh perusahaan tetapi juga tergantung dari kebijakan dividen yang berkenaan dengan pembayaran dividen.

2.1.5. Teori Struktur Modal

Teori mengenai struktur modal yang memberikan landasan berpikir dalam menganalisis komposisi pendanaan eksternal dan internal bermula pada tahun 1958 yang dikemukakan oleh Modigliani dan Miller.

(7)

Teori struktur modal tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi berikut ini :

1. Saham dan obligasi diperdagangkan dalam kondisi pasar yang sempurna. Tidak ada biaya bagi pialang saham (broker) dan semua investor baik perorangan maupun institusi dapat meminjam dana pada tingkat bunga yang sama dengan tingkat bunga pinjaman perusahaan.

2. Tidak adanya risiko atas hutang perusahaan dan perorangan sehingga tingkat bunga atas hutang adalah tingkat bunga bebas risiko.

3. Risiko bisnis diukur dengan standar deviasi EBIT dan perusahaan-perusahaan yang memiliki tingkat risiko bisnis yang sama dianggap memiliki kelas risiko yang homogen.

4. Manajer dan semua investor memiliki informasi (symmetric information) yang sama mengenai prospek perusahaan di masa depan dan manajer selalu berusaha untuk memaksimalkan kekayaan para stakeholder.

5. Tidak ada pajak pribadi dan pajak perusahaan.

Namun pada akhirnya setelah dilakukan penelitian antara hal-hal teoritis maupun empiris belum ada yang dapat menjelaskan secara persis struktur modal yang optimal.

Pendekatan teori struktur modal tersebut mengasumsikan adanya struktur modal yang optimal dan manajemen dapat meningkatkan nilai total perusahaan melalui penggunaan hutang. Struktur modal yang optimal adalah suatu keseimbangan komposisi struktur modal yang dapat meminimalkan biaya modal, sehingga dapat memaksimalkan nilai perusahaan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perubahan tingkat financial leverage akan menyebabkan perubahan pada nilai perusahaan.

Teori struktur modal mengalami perkembangan dengan beberapa pendapat; diantaranya adalah teori struktur modal Modigliani-Miller theory, pecking order theory, dan trade-off theory.

2.1.5.1. Modigliani-Miller Theory

Teori MM mempunyai dua pandangan mengenai struktur modal, yaitu : 1). Tanpa Pajak Perusahaan

(8)

Dengan mengasumsikan bahwa tidak ada pajak perusahaan maupun pajak individu, serta dengan mendasarkan asumsi yang telah dijelaskan sebelumnya MM menggunakan preposisi sebagai berikut:

• Preposisi I MM menyatakan bahwa nilai perusahaan tidak tergantung pada tingkat leverage (hutang) perusahaan dan biaya modal perusahaan tidak dipengaruhi oleh struktur modal atau dengan kata lain tidak ada struktur modal yang optimal bagi perusahaan.

• Preposisi II MM menyatakan bahwa jika perusahaan menggunakan banyak hutang maka banyak pula biaya ekuitasnya. Ini mengakibatkan kenaikan ekspektasi ROE yang didorong oleh adanya peningkatan risiko keuangan yang akan ditanggung oleh investor perusahaan akibat bertambahnya hutang, sehingga apabila financial leverage naik maka biaya modal/ekuitas akan ikut naik, karena investor dihadapkan pada risiko yang semakin besar.

2). Dengan Pajak Perusahaan

• Preposisi I menyatakan bahwa nilai perusahaan yang memiliki hutang akan lebih besar daripada nilai perusahaan yang tidak memiliki hutang. Nilai perusahaan yang memiliki hutang tersebut sama dengan nilai perusahaan tanpa hutang ditambah dengan penghematan pajak. Teori MM I ini mengalami perubahan dengan dimasukkannya unsur pajak. MM mengakui bahwa peningkatan jumlah hutang berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

• Preposisi II menyatakan bahwa biaya ekuitas pada perusahaan yang memiliki hutang lebih tinggi dibandingkan dengan dengan tanpa hutang. Ini disebabkan kenaikan risiko atas penggunaan hutang menyebabkan ekspektasi ROE juga meningkat walaupun sudah ada manfaat dari tax shield hutang yang diberikan.

Jadi, teori MM dengan pajak menyatakan bahwa nilai perusahaan akan meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan hutang. Biaya bunga hutang dapat mengurangi pajak sehingga makin besar porsi pendapatan perusahaan yang menjadi bagian investor.

(9)

2.1.5.2. Pecking Order Theory

Menurut teori pecking order, tidak ada yang disebut sebagai rasio hutang yang optimal. Karena rasio hutang hanya merupakan suatu hasil kumulatif dari hirearki pendanaan dari waktu ke waktu (Djakman dan Halomoan, 2001). Oleh karena itu, perusahaan berusaha untuk menerbitkan sekuritas berdasarkan suatu urutan atau hirearki yang paling menguntungkan dan tidak berdasarkan pada struktur modal yang ditargetkan.

Menurut Myers dan Majluf (1984) asumsi POT yaitu (dikutip dalam Djakman dan Halomoan, 2001, p. 305) :

1. Pihak manajer perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai kondisi perusahaan daripada investor luar (Asymetrics Information).

2. Pihak manajer melakukan tindakan yang terbaik bagi para pemegang saham.

Dalam POT ini dikemukakan bahwa perilaku pendanaan dari perusahaan yaitu : 1. Perusahaan memprioritaskan pendanaan internal berupa laba ditahan

sebelum menggunakan pendanaan eksternal berupa hutang dan saham sebagai sumber yang terakhir.

2. Jika perusahaan harus mencari pendanaan eksternal maka akan dipilih pertama kali mulai dari sekuritas yang paling aman. Yaitu hutang yang paling rendah risikonya, lalu ke hutang yang lebih berisiko, sekuritas hybrid seperti, obligasi konversi, saham preferen, dan yang terakhir saham biasa.

3. Kebijakan dividen yang ketat dimana Dividen pay out ratio-nya konstan walaupun laba perusahaan berfluktuasi.

4. Untuk mengantisipasi kekurangan persediaan kas dengan adanya kebijakan dividen dan fluktuasi dari tingkat keuntungan dan kesempatan investasi, maka jika kurang pertama kali perusahaan akan mengambil dari portofolio lancar yang tersedia.

Perusahaan cenderung menggunakan pendanaan dari dalam untuk membiayai pendanaannya karena adanya informasi yang asimetrik antara manajer dan juga calon pemegang saham potensial. Pada saat manajer berusaha

(10)

yang tidak dimiliki oleh para pemegang saham baru yang potensial, maka para pemegang saham baru akan mengurangi kemauan mereka dalam membayar saham baru dengan asumsi manajer akan menggunakan informasi internal untuk melakukan tindakan demi kepentingan pemegang saham saat ini. Jika informasi internal tersebut bersifat menguntungkan, maka manajer akan berusaha untuk menggunakan sumber dana keuangan eksternal yang diperlukan untuk mengeluarkan saham-saham.

Ekuitas akan meningkat melalui dua cara, yaitu peningkatan laba ditahan dan penerbitan saham baru. Namun, laba ditahan merupakan penambah ekuitas yang lebih baik dibanding lainnya disebabkan tidak diperlukan biaya tambahan seperti biaya yang diperlukan untuk penerbitan saham baru. Oleh karena itu, peningkatan jumlah laba ditahan akan diikuti oleh peningkatan ekuitas. Sementara itu jika laba ditahan tidak cukup untuk mendanai investasi, maka perusahaan memilih berhutang daipada mengeluarkan saham baru. Tindakan inilah yang menyebabkan rasio hutang meningkat.

Pecking order theory mengasumsikan adanya assymetric information. Oleh sebab itu POT disebut The Signalling or Assymetric Information of Capital Structure, karena terjadi asimetri informasi antara manajer dengan pelaku pasar, maka diperlukan keputusan berjenjang dalam melakukan pemilihan sumber pendanaan bagi perusahaan.

Penggunaan dana internal perusahaan (laba ditahan) dijadi prioritas utama dalam teori ini dikarenakan adanya upaya manajemen untuk meminimalkan masalah dan biaya yang menyertai pendanaan eksternal. Permasalahan yang mungkin terjadi apabila menggunakan pendanaan eksternal adalah adanya perjanjian-perjanjian dengan kreditor yang dapat membatasi ruang gerak manajemen di masa akan datang. Selain itu kelebihan menggunakan dana internal perusahaan adalah jangka waktu penggunaan dana yang tidak terbatas, namun disamping itu penggunaan ini tentu saja mempunyai kelemahan tersendiri yaitu keterbatasan dana. Keterbatasan menggunakan dana internal dikarenakan perusahaan harus pada keadaan profit padahal laba perusahaan sudah dipastikan akan berfluktuasi bahkan tidak selalu dalam keadaan profit. Oleh sebab itu pendanaan ekternal sudah pasti diperlukan untuk mengatasi keterbatasan tersebut.

(11)

Apabila pendanaan internal sudah tidak mumpuni, maka alternatif kedua yang dipilih sebagai sumber pendanaan adalah hutang. Hutang dipilih walaupun hutang memiliki beberapa kekurangan dan berisiko tinggi apabila penggunaannya tidak dikontrol. Selain itu, hutang dapat mendorong manajer untuk lebih efektif dan efisien dalam mengelola dana karena risiko hutang tersebut sehingga dapat mengoptimalkan operasi perusahaan terutama dalam hal penggunaan dana.

Alternatif pendanaan yang terakhir adalah dengan menerbitkan saham biasa baru (external financing). Saham biasa merupakan ekuitas yang berasal dari luar perusahaan. Penerbitan saham biasa baru dijadikan pilihan terakhir sebab dianggap dapat menimbulkan beberapa implikasi yang dapat merugikan perusahaan. Berbeda dengan penerbitan hutang yang mengisyaratkan bahwa keadaan perusahaan dipandang cerah oleh investor karena dianggap perusahaan mampu untuk melunasi pokok hutang dan menanggung biaya hutang, maka sebaliknya penerbitan saham mengisyaratkan bahwa manajemen meragukan prospek perusahaan yang akan diikuti oleh penurunan harga saham.

Jika disimpulkan, POT menyatakan bahwa dalam pendanaan perusahaan, perusahaan lebih menyukai pendanaan internal daripada pendanaan eksternal. Apabila pemenuhan dana dari pendanaan internal tidak mencukupi maka perusahaan akan memprioritaskan penggunaan hutang lalu penerbitan saham sebagai pilihan terakhir. Perusahaan menempatkan pendanaan internal sebagai prioritas pertama untuk meminimalkan biaya perusahaan dan meminimalkan masalah yang muncul dari suatu kontrak pendanaan eksternal seperti covenant pada hutang jangka panjang atau pengembalian investasi yang diinginkan oleh pemegang saham akibat penerbitan saham baru. Selain itu, penerbitan saham baru akan menimbulkan kecenderungan harga saham lama turun karena pasar merespon negatif akan kebutuhan dana yang didapatkan dari penerbitan saham.

2.1.5.3. Trade-off Theory

Menurut teori trade-off perusahaan mendasarkan keputusan pendanaan pada suatu struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal yang dimaksud merupakan keseimbangan antara penghematan pajak atas penggunaan

(12)

hutang dengan biaya kesulitan keuangan akibat penggunaan hutang, sebab biaya dan manfaat akan saling meniadakan satu sama lain (trade-off).

Tingkat hutang optimal dapat tercapai dengan menyeimbangkan antara keuntungan pengaruh interest tax shield terhadap ekspektasi cost of financial distress. Apabila keuntungan pengaruh interest tax shield lebih besar dari ekspektasi cost of financial distress maka hutang mempunyai efek positif terhadap nilai perusahaan. Namun apabila keuntungan pengaruh interest tax shield tidak mampu mengimbangi ekspektasi cost of financial distress maka hutang tersebut akan mempunyai efek negatif terhadap nilai perusahaan.

2.1.6. Pengertian Financial Leverage

Kebijakan hutang perusahaan merupakan kebijakan dimana sebuah perusahaan akan menggunakan hutang untuk mendanai kebutuhannya. Kebijakan tersebut akan memberi nilai tambah pada perusahaan yaitu dapat memaksimalkan kemakmuran dari pemilik perusahaan, namun selain itu dapat juga menimbulkan risiko akan penggunaan hutang tersebut. Kebijakan hutang suatu perusahaan dapat dilihat dari seberapa besar aset dari perusahaan yang didanai dari hutang. Oleh karena itu, kebijakan hutang dapat merujuk pada rasio financial leverage perusahaan.

Istilah financial leverage mengacu pada penggunaan potensial biaya tetap pendanaan (fixed financial cost) untuk memperbesar efek dari perubahan EBIT terhadap pendapatan per lembar saham (Gitman, 2006). Ada dua biaya tetap pendanaan yang dapat diidentifikasikan sebagai financial leverage, yaitu beban bunga dari hutang (interest on debt) dan dividen dari saham preferen (preferred stock dividens). Kedua biaya ini merupakan biaya tetap yang wajib dibayar oleh perusahaan tanpa melihat hasil operasi perusahaan (laba bersih).

Penggunaan leverage ini akan meningkatkan potensi return perusahaan, namun dilain pihak juga akan meningkatkan risiko perusahaan akan kemungkinan kesulitan keuangan yang berujung pada kebangkrutan. Oleh karena itu sedikit saja peningkatan pada EBIT akan mengakibatkan peningkatan yang besar pada EPS. Demikian sebaliknya sedikit penurunan pada EBIT akan mengakibatkan penurunan yang besar pada EPS. Karena ketidakpastian yang diterima perusahaan

(13)

dari penggunaan leverage ini maka perusahaan harus berhati-hati dalam menentukan komposisi besaran hutang terhadap struktur modal.

Financial leverage secara sederhana dapat dilihat melalui rasio antara seluruh hutang atas total aset (debt to asset ratio) yang mencerminkan berapa banyak perusahaan menggunakan hutang dalam mendanai asetnya (Weston dan Copeland,1997). Rasio financial leverage perusahaan diukur dengan menggunakan:

Total Debt i,t Total Assets i,t FLEVi,t =

Keterangan :

FLEVi,t = Financial Leverage perusahaan i pada periode t Total Debti,t = Total Debt perusahaan i pada periode t

Total Assetsi,t = Total Assets perusahaan i pada periode t

2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang 2.2.1 Profitability

Menurut Gallagher (2000) profitabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba. Ada beberapa pengukuran terhadap profitabilitas perusahaan dimana pengukuran profitabilitas dapat dihubungkan dengan besarnya penjualan, total aktiva dan ekuitas. Dari pengukuran profitabilitas maka dapat ditunjukkan seberapa efektif manajemen perusahaan dalam menggunakan modal untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya. Profitabilitas menjadi sangat penting karena merupakan hal yang utama dalam menilai apakah perusahaan berada dalam keadaan yang menguntungkan atau tidak. Tingkat profitabilitas yang tinggi akan mampu menarik para investor untuk menanamkan modalnya serta mampu memberi kepastian bagi para debitur untuk meminjamkan dananya sebagai hutang. Sedangkan tingkat profitabilitas yang rendah akan membuat investor menarik dananya serta menimbulkan ketidakpastian bagi debitur untuk meminjamkan dananya. Pendapat ini juga dipakai dalam penelitian Setiawan dan Taib (2002).

(14)

pembilang (numerator) dan penjualan sebagai penyebut (denominator), antara lain :

a. Gross Profit Margin,

b. Operating Profit Margin, dan c. Net Profit Margin.

Untuk rasio pengukuran profitabilitas yang dihubungkan dengan total aktiva menggunakan laba bersih sebagai pembilang (numerator) dan total aktiva sebagai penyebut (denominator). Sedangkan untuk rasio pengukuran profitabilitas yang dihubungkan dengan ekuitas menggunakan laba bersih sebagai pembilang (numerator) dan ekuitas sebagai penyebut (denominator).

Menurut Frank dan Goyal (2003) profitability dapat diukur dengan persamaan:

EBIT i,t Total Assets i,t PROFIT i,t =

Keterangan :

PROFITi,t = Profitability perusahaan i pada periode t

EBIT i,t = Earning before interest and tax perusahaan.i pada periode t Total Assetsi,t = Total Assets perusahaan i pada periode t

2.2.2 Firm Size

Firm Size merupakan proksi dari probabilitas kebangkrutan perusahaan. Besar kecilnya firm size dapat diukur dengan beberapa cara, yaitu dapat diukur dari total aktiva yang digunakan dalam menjalankan perusahaan maupun dari total penjualan perusahaan. Dalam penelitian yang dilakukan Rajan dan Zingales (1995) mengatakan bahwa secara empiris total penjualan lebih dapat menjelaskan leverage dibandingkan dengan total aktiva, hal ini disebabkan ukuran perusahaan dilihat sebagai patokan probabilitas dari kebangkrutan sehingga semakin besar perusahaan cenderung semakin sedikit risiko default yang ditanggung. Ini dikarenakan perusahaan yang besar lebih terdiversifikasi sumber pendanaan dan operasinya. Sumber operasi yang lebih terdiversifikasi menyebabkan apabila ada unit usaha dari perusahaan yang sedang menurun, hal itu akan tertutup karena masih banyak unit usaha lain yang mampu menutup kerugian tersebut sehingga risiko default-pun diminimalkan. Sumber pendanaan yang terdiversifikasi diakibatkan oleh kemampuan perusahaan untuk meyakinkan kepada debitur

(15)

bahwa mereka ada di tingkat yang mature sehingga mampu memberi jaminan kemampuan membayar hutang tersebut. Pendapat ini juga dipakai dalam penelitian Setiawan dan Taib (2002).

Pada penelitian ini, akan digunakan Ln penjualan untuk mengukur besar kecilnya perusahaan. Barry R. Oliver (2005) mengukur firm size dengan menggunakan persamaan :

SIZE i,t = Ln(Total Sales i,t)

Keterangan :

SIZEi,t = ukuran perusahaan periode t

Ln(Total Salesi,t) = Ln penjualan tahunan perusahaan pada periode t

2.2.3 Tangibility of Fixed Assets

Tangibility of fixed assets adalah komposisi aktiva tetap perusahaan terhadap aktiva perusahaan. Aktiva tetap sendiri merupakan aktiva yang digunakan untuk keperluan operasi perusahaan, bersifat jangka panjang, dan memilik bentuk fisik (berwujud). Menurut Frank dan Goyal (2003) menyatakan bahwa aktiva pada umumnya seperti persediaan, tanah, bangunan, dan peralatan dapat dijadikan sebagai penunjang hutang selama aktiva-aktiva tersebut dapat dijadikan jaminan. Semakin besar aktiva tetap perusahaan yang dapat dijaminkan oleh perusahaan maka semakin besar juga kemampuan perusahaan untuk menarik dana dari debitur. Ini disebabkan risiko hutang yang tidak terbayar akan berkurang karena perusahaan mampu menawarkan aktiva tetapnya sebagai jaminan. Pendapat ini juga dipakai dalam penelitian Setiawan dan Taib (2002).

Menurut Setiawan (2002), tangible of fixed assest dapat diukur dengan :

Fixed Assets i,t Total Assets i,t TNG i,t =

Keterangan :

TNGi,t = Tangibility of Fixed Assets perusahaan i pada periode t Fixed Assetsi,t = Fixed Assets (net) perusahaan i pada periode t

(16)

Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin besar proporsi aktiva tetap terhadap total aktiva yang dimiliki oleh perusahaan. Ini berarti semakin besar pula kemampuan perusahaan untuk menggunakan aktiva tetapnya sebagai jaminan hutang perusahaan.

2.3. Penelitian Terdahulu

Rajan dan Zingales (1995) melakukan studi atas faktor-faktor dalam struktur modal yang didasarkan pada variabel-variabel bebas seperti tangible fixed assets, market to book ratio, firm size, dan profitability. Penelitian tersebut mengambil data dari 7 negara yaitu: Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Perancis, Italia, Inggris, dan Kanada. Hasil studi tersebut mendapatkan bahwa di semua negara yang diteliti, tangibility of fixed assets berpengaruh positif dan signifikan terhadap leverage. Demikian juga dengan firm size yang berpengaruh positif dan signifikan dengan leverage, apalagi di negara Jepang dimana pengaruh positif tersebut lebih besar dibanding negara lain. Itu disebabkan karena di Jepang cost of financial distress-nya lebih kecil dibandingkan yang lain sebab pihak bank di Jepang mampu menyelamatkan sebuah perusahaan dari default. Lain halnya dengan tangibility of fixed assets dan firm size yang berpengaruh positif dengan leverage, dimana temuan studi ini menemukan bahwa profitability berpengaruh negatif dan signifikan terhadap leverage.

Penelitian serupa dilakukan oleh Setiawan dan Taib (2002) yang juga melakukan studi atas faktor-faktor dalam struktur modal yang didasarkan pada variabel-variabel bebas seperti tangible fixed assets, market to book ratio, firm size, dan profitability. Penelitian tersebut mengambil sampel pada perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada periode sebelum krisis dan saat krisis moneter. Dalam hasil temuannya ditemukan bahwa tangibility of fixed assets berpengaruh positif serta signifikan terhadap leverage pada periode sebelum krisis namun tidak signifikan pada saat periode krisis. Dalam temuan penelitian tersebut firm size berpengaruh positif terhadap leverage perusahaan pada periode sebelum krisis dan saat krisis. Temuan lainnya adalah profitability tidak berpengaruh signifikan terhadap leverage pada periode sebelum krisis dan berpengaruh negatif serta signifikan terhadap leverage pada saat periode krisis.

(17)

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Frank dan Goyal (2003) yang melakukan studi faktor-faktor yang mempengaruhi stuktur modal di Amerika Serikat. Ada 39 faktor yang mereka teliti, 3 diantaranya adalah profitability, firm size, dan tangibility of fixed assets. Dalam temuannya ditemukan bahwa firm size dan tangibility of fixed assets berpengaruh positif dan signifikan dengan leverage perusahaan. Sedangkan profitability berpengaruh negatif serta signifikan dengan leverage perusahaan.

Dari penelitian-penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa profitability berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang perusahaan. Tetapi firm size dan tangibility of fixed assets berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan.

2.4. Perumusan Hipotesis

2.4.1. Profitability Berpengaruh Terhadap Kebijakan Hutang

Profitability berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang perusahaan. Dalam pecking order theory adanya hirearki dalam memilih sumber pendanaan, dimulai dari laba ditahan, hutang, dan yang terakhir dengan menerbitkan saham menyebabkan perusahaan dengan tingkat profitability yang tinggi akan cenderung menggunakan hutang yang rendah, karena cenderung menggunakan laba ditahan sebagai prioritas sumber pendanaan. Dari teori yang dikemukakan Modigliani dan Miller yang dikutip oleh Ross (2002) bahwa karena kemampuan beban bunga dari penggunaan hutang sebagai pengurang beban pajak (tax-deductible expense) membuat perusahaan lebih memilih pendanaan dari hutang daripada ekuitas. Namun, menurut Graham (2005) berpendapat bahwa tax shield dari beban bunga tidak terlalu diperhatikan oleh perusahaan karena sudah terdapat pengganti dari tax shield yang diberikan oleh beban bunga, seperti depresiasi, deplesi, dan amortisasi. Oleh karena itu saat ini perusahaan sudah lebih fleksibel dapat memutuskan berdasarkan kondisinya akan menggunakan hutang atau tidak, bukan hanya memilih hutang berdasarkan pertimbangan tax shield dari hutang.

Menurut Rajan dan Zingales (1995), terdapat pengaruh yang negatif antara tingkat profitability suatu perusahaan dengan tingkat hutang. Demikian

(18)

tingkat profitability dengan hutang perusahaan. Pengaruh negatif tersebut disebabkan kemampuan perusahaan yang mampu menghasilkan pendanaan internal sendiri melalui laba ditahan. Sehingga semakin tinggi tingkat profitability perusahaan maka perusahaan cenderung menggunakan laba ditahan sebagai sumber pendanaan (pecking order) dan semakin rendah tingkat hutangnya.

2.4.2. Firm Size Berpengaruh Terhadap Kebijakan Hutang

Firm size berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang perusahaan. Perusahaan dengan firm size yang besar cenderung memiliki cost of financial distress yang tidak besar, oleh karena itu perusahaan tersebut masih mempunyai kapasitas untuk menambah hutangnya agar dapat memanfaatkan keuntungan tax shield yang bisa didapatkan. Hal itu dapat membuat biaya dan manfaat akan saling meniadakan satu sama lain (trade-off). Menurut Frank dan Goyal (2003) terdapat pengaruh positif antara firm size dengan tingkat hutang yang dimiliki perusahaan. Demikian halnya menurut Setiawan (2002) terdapat pengaruh positif antara firm size terhadap leverage. Pengaruh positif tersebut dikarenakan, semakin besar perusahaan maka cenderung semakin sedikit risiko default yang ditanggung (Rajan dan Zingales, 1995). Karena risiko default yang ditanggung semakin sedikit maka perusahaan mampu menambah pendanaannya melalui hutang untuk memperbesar kemampuan operasional dan investasi perusahaan.

2.4.3. Tangibility of Fixed Asset Berpengaruh Terhadap Kebijakan Hutang Tangibility of Fixed Asset berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang. Dalam trade-off theory dikatakan bahwa perusahaan yang mempunyai collateral yang besar mampu mendapatkan hutang yang lebih besar karena kemampuan perusahaan mendapatkan hutang melalui asetnya sebagai jaminan. Oleh karena itu tangibility of fixed asset berpengaruh posif terhadap kebijakan hutang sebuah perusahaan.

Menurut Frank dan Goyal (2003) terdapat pengaruh yang positif antara tangible fixed asset yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan tingkat hutang yang dimiliki perusahaan. Demikian halnya menurut Setiawan (2002) terdapat pengaruh positif antara tangibility of fixed assets dengan hutang perusahaan.

(19)

Pengaruh positif tersebut dikarenakan tangible assets mudah untuk dijadikan jaminan dan dapat mereduksi agency cost dari hutang (Rajan dan Zingales, 1995). Karena keunggulan tersebut perusahaan dengan tangible assets yang besar semakin mampu untuk mendapatkan pendanaan dari hutang yang lebih besar.

Berdasarkan uraian pada landasan teori, maka disusun hipotesis sebagai berikut : o Variabel profitability, firm size, dan tangibility of fixed assets diduga

berpengaruh signifikan terhadap kebijakan hutang pada perusahaan industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai alternatif kedua dari tujuan promosi yang akan dilakukan oleh perusahaan adalah mempengaruhi dan membujuk pelanggan atau konsumen sasaran agar mau membeli

Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali

Kembali, berdasarkan asumsi yang diungkapkan oleh MM bahwa para investor mempunyai informasi yang sama seperti yang dimiliki oleh para manajer (Symmetric Information) adalah

Para konsumen yang ingin memperoleh doorprize di akhir acara, tentu akan berusaha mendapatkan kupon undian doorprize sebanyak mungkin dengan cara berbelanja sebanyak

External failure cost merupakan biaya yang terjadi setelah pengiriman produk ke konsumen atau pengguna yang mengalami ketidaksesuaian atau kecacatan seperti biaya terhadap

Fungsi utama lainnya dari sistem informasi akuntansi dalam siklus penggajian adalah menyediakan pengendalian yang memadai agar dapat terpenuhinya tujuan-tujuan

Posisi kerja yang cocok untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan area kerja sebatas jangkauan tangan, tidak membutuhkan gaya yang besar dalam bekerja dan

Simons (1995) bahwa sistem pengendalian manajemen berupa boundary system sangat berdampak dalam meningkatkan kinerja perusahaan seperti mendorong karyawan dalam