• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan: Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan: Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan: Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug

Tangerang

Skripsi

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi

Oleh:

0leh

Adelia Puspitasari 11161110000029

PROGRAM STUDY SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2021

(2)

ii

Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan:

Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 06 Mei 2021

Adelia Puspitasari

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Adelia Puspitasari

NIM : 11161110000029

Program Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan:

Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 06 Mei 2021

Mengetahui, Menyetujui,

Ketua Program Studi Pembimbing,

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si Saifuddin Asrori, M.A NIP. 197609182003122003 NIP. 197701192009121001

(4)

iv

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI SKRIPSI

Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan:

Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang oleh

Adelia Puspitasari 11161110000029

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Mei 2021.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Cucu Nurhayati., M.Si. Dr. Joharotul Jamilah S.Ag., M.Si.

NIP. 197609182003122003 NIP. 196808161997032002

Penguji I, Penguji II,

Prof. Dr. Yusron Razak, MA Dr. Dzuriyatun Toyibah, M.Si NIP. 195910101983031003 NIP. 197608032003122003

Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UIN Jakarta

Dr. Cucu Nurhayati., M.Si.

NIP. 19760918200312200

(5)

v ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Majelis Taklim Nurul Qomariyah dalam mempertahankan kesalehan sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Pengumpulan data yang dilakukan melalui proses observasi, dokumentasi dan wawancara dengan menggunakan teknik purposive sampling. Pendekatan teori yang digunakan untuk melihat bagaimana mempertahankan kesalehan melalui majelis taklim adalah teori reproduksi milik Pierre Bourdieu dan kesalehan Saba Mahmood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Majelis Taklim Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang menjadi arena dalam mempertahankan kesalehan.

Proses majelis taklim dalam mempertahankan kesalehan dilakukan melalui proses pengajian. Melalui pengajian di dalamnya terdapat praktik dakwah dan pertunjukan ritual yang digunakan untuk menanamkan habitus keagamaan dalam membentuk perilaku saleh. Melalui pengajian di dalam majelis taklim ini, ajaran, nilai, norma, adat serta ritual Islam dilestarikan. Dengan demikian majelis taklim telah melakukan reproduksi, sebagaimana peran Majelis Taklim dalam mempertahankan dan memelihara kesalehan muslim perkotaan.

Kata Kunci: Majelis Taklim, Kesalehan, Pengajian

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga alhamdulilah penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Peran Majelis Taklim dalam Mempertahankan Kesalehan Muslim Perkotaan: Studi Kasus Majelis Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang”. Shalawat serta salam peneliti selalu tercurahkan kepada nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat-sahabat dan para pengikutnya yang telah mengembangkan Islam hingga pada saat ini.

Dengan selesainya penelitian ini, maka peneliti tidak lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang bersangkutan dengan penyelesaian skripsi ini dan juga kepada orangtua dan kawan-kawan. Untuk itu peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak dan Ibu Wakil Dekan, serta seluruh Dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pelajaran selama studi peneliti.

2. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dr. Joharotul Jamilah S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Bapak Saifudin Asrori, M.A selaku pembimbing skripsi yang telah menyediakan waktu untuk membantu peneliti.

(7)

vii

5. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada seluruh jajaran dalam majelis Nurul Qomariyah, tak terkecuali kepada Habib Ali Zaenal Abidin Alaydrus dan Umi Wafa. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada Bapak Amal, Pak Bayu, Umi Nunung, Pok Silvi, Safitri, Zakki, Kak Mirda dan adik-adik semua yang telah membantu memberikan data wawancara skripsi dan data- data lainnya.

6. Teristimewa ucapan terima kasih penulis haturkan kepada keluarga, terutama kepada ayahanda Supiyono dan Ibunda Sumarni. Terima kasih berkat kasih sayang, pengorbanan baik materil dan nonmateril, serta doanya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini.

7. Terima kasih kepada kakakku Anidiah yang juga sama-sama sedang menyusun skripsi dan adikku Dinda yang menemani mencari data skripsi.

Terima kasih juga kepada sepupu-sepupu yang senantiasa menghibur dan memberikan semangat dan hiburan, Nisa, Amira dan Nayla.

8. Teman-teman seperjuangan Refani Dwi Wahyu A.C, Mega Lestari Alhadad, Alifia Fahira, Inas Salsabila, Syifa Fauziyah, Sagita Anggrianti, dan teman seperbimbingan Ananda Widya, Kurniawan Wibowo, dan Fathur Rahman yang selalu memberikan canda tawa dan support serta motivasi tiada henti terhadap peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini 9. Heni Prilia, Amelia, Nur Safitri, Syscha, Nia selaku teman peneliti yang

selalu ada untuk menemani, mendengarkan setiap cerita, memberikan

(8)

viii

dukungan, warna dan semangat kepada peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.

10. Kawan-kawan Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2016 yang selalu bersama dari pertama kali memasuki semester satu hingga saat ini, terima kasih karena telah menjadi teman seperjuangan yang luar biasa.

11. Kawan-kawan KKN Arunika 168, yang juga telah memberikan dukungan kepada peneliti.

12. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Wassalamualaikum. Wr. Wb Tangerang, 05 Mei 2021

Adelia Puspitasari

(9)

ix DAFTAR ISI

COVER ... i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ………...………..iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Literature Riview ... 10

E. Kerangka Teoritis ... 17

F. Metodologi Penelitian... 27

G. Sistematika Penulisan ... 32

BAB II: HABIB DAN MAJELIS TAKLIM DAN DZIKIR NURUL QOMARIYAH A. Habib ... 34

B. Majelis Taklim Nurul Qomariyah ... 37 BAB III: KESALEHAN SOSIAL MELALUI MAJELIS TAKLIM

(10)

x

A. Majelis Taklim Sebagai Arena Mempertahankan Kesalehan ... 48 B. Modal Simbolik dan Kuasa Simbolik Habib dalam Majelis Taklim... 52 C. Proses Majelis Taklim Nurul Qomariyah dalam Mempertahankan Kesalehan

…… ... 60 BAB IV: PENUTUP

1. Kesimpulan ... 72 2. Saran ... 73 Daftar Pustaka ... 75

(11)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Tabel Data Informan ………. 31

Table 2.1 Tabel Kegiatan di dalam majelis …...………. 46

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Gambar silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw yang datang ke

Nusantara ………. 35

Gambar 2.2 Foto habib Ali Zainal Abidin Alaydrus ……… 36 Gambar 2.3 Gambar bangunan Majelis Taklim Nurul Qomariyah …………...…. 40 Gambar 2.4 Gambar bagan Struktur Nurul Qomariyah ………...…. 45

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Pedoman Wawancara ……… lxxix

Lampiran Transkip Wawancara ……… lxxx

Lampiran Dokumentasi ………... cxvii

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah

Agama menjadi identitas penting bagi masyarakat Indonesia. Berdasarkan data BPS, Indonesia merupakan negara dengan sebagian besar jumlah penduduknya beragama Islam. Data sensus tahun 2010 mencatat, jumlah penduduk yang beragama Islam sebesar 87,18 % atau 207,2 juta jiwa dari 237,64 juta jiwa. Salah satu kecenderungan menguatnya identitas keagamaan muslim adalah dengan peningkatan kesalehan. Fenomena ekspresi keberagamaan kini sudah tidak dibatasi lagi, sehingga semua orang dapat dengan leluasa mengekspresikan kesalehan dirinya (Pamungkas 2018:59-60). Masyarakat muslim seakan mendapat momentum dan juga kesempatan dalam beragama serta menunjukkan identitas dan simbol keagamaan diruang publik.

Peningkatan kesalehan muslim urban ditandai dengan peningkatan jumlah jamaah haji, sebagai salah satu rukun Islam. Haji menjadi salah satu ibadah yang menggambarkan simbol keagamaan dan juga kesalehan umat muslim dalam beragama.

Berdasarkan data Jayani, jumlah jamaah haji dari tahun 2016 terus mengalami peningkatan. Data tercatat pada tahun 2018 jumlah jamaah haji mencapai 203.350 jiwa, meningkat 0,13% dari tahun sebelumnya yang sebesar 203.070, yang juga telah mengalami peningkatan sebesar 31,5% dari tahun sebelumnya (Jayani 2020:1).

(15)

2

Berdasarkan data yang terkait dengan pola pergeseran demografi dan geografi penduduk Indonesia, data menyimpulkan bahwa sejak tahun 2011 penduduk Indonesia yang tinggal di kota lebih banyak dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di desa (Ali 2016:1). Di perkotaan, pertumbuhan populasi masyarakat Indonesia sebesar 4.2%

pertahun, dan BPS juga memprediksi bahwa pada tahun 2035 populasi Indonesia yang tinggal diperkotaan akan meningkat mencapai 66.6% (Purwandi 2015:3). Tren ini akan terus berlanjut kepada umat Islam yang yang tinggal diperkotaan. Bahwa Peningkatan jumlah penduduk di perkotaan akan sebanding dengan peningkatan jumlah muslim urban.

Karakteristik masyarakat kota dengan pola pikir, mental, serta gaya hidup yang cenderung bersifat individualis namun juga lebih terbuka, membuat kita dapat lebih mudah melihat bagaimana corak keberagamaan muslim urban (Ali 2016:1). Corak keberagamaan masyarakat muslim urban saat ini menjadi lebih cair karna mengikuti perkembangan masyarakat kota. Masyarakat kota cenderung lebih menyukai sesuatu hal yang sifatnya simbolik, karena segala sesuatu simbolik yang memiliki makna terutama dalam makna keagamaan dapat menunjukkan kesalehan (Ali 2016:1). Selain melakukan ibadah haji, simbol-simbol kesalehan tersebut banyak ditemukan pada masyarakat muslim kota, seperti maraknya acara-acara serta beragam kegiatan sehari- hari masyarakat yang masih dibanjiri dengan berbagai hal yang berbau islami.

Kehadiran globalisasi dan modernisasi di perkotaan telah membawa masyarakat ke dalam budaya sekuler. Budaya sekuler menyebabkan terjadinya pola

(16)

3

pemisahan antara agama dengan kehidupan sehari-hari, di mana ke-modernisasi-an telah membawa pola pikir manusia menjadi yang lebih rasional. Namun pada realitasnya, di Indonesia terutama di perkotaan yang terjadi adalah sebaliknya.

Kehadiran modernisasi justru membawa masyarakat menjadi lebih agamis. Masyarakat kota lebih cenderung untuk terus mencari ajaran dan kegiatan keagamaan sebagai pegangan hidupnya dalam bertingkah laku maupun bermasyarakat. Seperti yang dikatakan oleh (Rijal 2018:175), bahwa keadaan kehidupan di kota yang modern telah membuat mereka mencari naungan spiritual dan juga intervensi Tuhan untuk mendapatkan ketenangan hidup, menyelesaikan permasalahan hidup dengan instant, serta keajaiban dalam menghadapi berbagai permasalahan duniawi.

Ekspresi kesalehan keagamaaan muslim urban yang sangat komplek, mulai dari kemunculan dan perkembangan teknologi, pemahaman dan ritual-ritual keagamaan yang kemudian berkaitan dengan bidang kehidupan lain. Dalam kehidupan sehari- harinya, masih banyak muslim urban yang masih melaksanakan ritual-ritual keagamaan dalam menyelesaikan masalah ataupun dalam memperoleh ketenangan jiwa. Dalam Survey Alvara Research Center tahun 2015, lebih dari 80% masyarakat muslim kota masih melaksanakna ritual keagamaan berupa tahlilan dan maulid, bahkan 67% masyarakat kota juga masih melakukan ritual keagamaan lainnya berupa ziarah kemakam-makam para ulama (Ali 2016:1).

Masyarakat muslim urban masih menjadikan Agama sebagai inti dari kehidupan serta masih menjadikan agama sebagai factor yang sangat dipertimbangkan

(17)

4

dalam pengambilan keputusan dan juga pemecahan masalah hidupnya. Banyak berdirinya tempat ibadah, gencarnya produk berlabel halal, serta gaya hidup islami dan juga dakwah Islam yang disiarkan dimana-mana, terutama diruang terbuka publik, menggambarkan kesalehan tersebut menjadi budaya populer yang terus diproduksi.

Munculnya rezim Orde Baru dengan naiknya Suharto ke dalam masa kekuasaannya pasca 1965 menjadi momentum penting di mana budaya populer menjadi industry bagi terbentukya pasar industry hiburan di Indonesia, yang ditujukan bagi para konsumsi kesalehan agama, khususnya Islam (Pamungkas 2018:60).

Promosi awal kesalehan Islam pada masa Orde Baru menyediakan ranah baru bagi pondasi Islamisasi dan proses pembentukan kesalehan masyarakat, terutama ketika praktik dakwah bertemu dengan mode produksi industri media dan mengubah praktik dakwah menjadi budaya populer (Pamungkas 2018:60). Para konsumsi kesalehan ini menjadi semakin banyak memperoleh sumber keagamaannya melalui media. Sumber kajian keagaman yang sampai saat ini semakin banyak dan mudah ditemukan di media masa. Khususnya di media masa seperti facebook, instagram dan youtube, yang kemudian mengubah otoritas kegamaan dimana ulama-ulama

mainstream kalah dengan ulama youtube. Otoritas kegamaan kini berubah menjadi kepada para ulama yang banyak mengisi ruang-ruang di media masa.

Intensitas serta eksistensi mereka sebagai para tokoh agama yang banyak berdakwah dan hadir di media social membuat mereka menjadi lebih mudah dikenal oleh masyarakat, serta memiliki banyak pengikutnya. Kehadiran para pendakwah di

(18)

5

public ini telah menjadikan mereka sebagai penceramah selebritis yang populer.

Mereka hadir di public dengan membawa gaya khasnya masing-masing. Ciri khas yang dibawa oleh para penceramah ini kemudian membentuk kelompok-kelompok dakwah yang terbagi sesuai dengan minat dari para masing-masing individu. Di masyarakat, kelompok-kelompok dakwah yang dihadirkan atau diisi oleh para dai atau penceramah ini kemudian disebut sebagai majelis taklim. Di mana secara istilah, majelis taklim adalah sebuah lembaga pendidikan non-formal1 yang dipandu oleh ustadz/ustadzah, memiliki jama’ah untuk mendalami ajaran Islam serta kegiatan-kegiatan yang bermanfaat lainnya dengan tempat yang telah ditentukan (Jadidah 2016:27).

Gaya hidup islami dengan menjalankan beragam praktik serta ritual Islam dalam kehidupan sehari hari menjadi budaya yang juga populer. Pertunjukan ritual tersebut tercerminkan dalam bentuk pengajian-pengajian yang ada di perkotaan.

Pengajian-pengajian diperkotaan tersebut dilakukan dalam bentuk majelis taklim, majelis dzikir ataupun majelis solawat. Kelompok pengajian dalam bentuk majelis menjadi sangat penting dalam konteks dakwah Islam, yang juga telah menarik banyak pengikut sehingga memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi peningkatan praktik keagamaan muslim Indonesia yang tidak ketat dalam menjalankan praktik

1 Berdasarkan macamnya lembaga pendidikan dibagi menjadi 3, yaitu Lembaga Pendidikan Formal yaitu lembaga pendidikan yang memiliki aturan yang teratur dan sistematis serta terdapat jenjang pendidikan dari SD sampai Pergururan Tinggi yang pembelajarannya diatur dalam kurikulum, Lembaga Pendidikan Informal merupakan pendidikan yang terjadi di dalam lingkungan keluarga, sedangkan Lembaga Pendidikan Non Formal merupakan pendidikan yang di dapat didalam lingkungan masyarakat sebagai pengganti, tambahan atau pelengkap dari pendidikan yang diperoleh di Sekolah atau di Rumah.

Khadijah. Dakwah dan Paradigma Perubahan Sosial pada Majelis Taklim Studi Kasus Majelis Taklim Kwitang Dan Majelis Taklim Ar- Risalah Analisa Petukangan Utara (Jakarta: 2014), 8-9.

(19)

6

keagamaan sehari-hari (Zamhari 2010:3). Sejalan dengan peningkatan praktik keagamaan tersebut, di perkotaan telah terjadi ledakan Majelis Taklim (Abaza 2004:180). Dakwah dalam bentuk lembaga Majelis Taklim ini terus banyak berkembang dimasyarakat. Majelis Taklim menjadi tempat yang populer yang banyak dikenal oleh umat Islam sebagai tempat untuk mendapatkan ilmu serta melestarikan ritual dan praktik keagamaan dalam menunjukan kesalehan. Keberadaan majelis taklim ada hampir di setiap komunitas muslim, yang dalam praktiknya memiliki banyak peran dalam menanamkan ilmu serta kebiasaan-kebiasaan baik dalam beragama. Melalui majelis taklim, masyarakat yang terlibat dapat merasakan bahwa keberadaan majelis taklim dapat dijadikan sebagai sarana pembinaan bagi moral spiritual serta pengetahuan keislamannya (Ginda 2018:14).

Sebagai lembaga pendidikan, majelis taklim memiliki peran untuk pengembangan sikap dan kepribadian jamaah untuk berperilaku sesuai dengan nilai dan akhlak Islam serta untuk mendidik jamaah agar senantiasa untuk tetap mempelajari ajaran atau pengetahuan Islam (Abdullah 2017:238-239). Melalui beragam pendidikan, pembelajaran, pembiasaan serta tujuan yang dimiliki di majelis taklim di harapkan majelis taklim dapat menanamkan nilai-nilai Islam yang dapat membentuk masyarakat kota sebagai muslim yang saleh.

Tangerang sebagai salah satu kota dengan kondisi social yang penuh akan keberagamannya di dalam masyarakatnya akan dijumpai banyak kelompok majelis taklim, salah satunya adalah Majelis Taklim dan Dzikir Nurul Qomariyah. Sejak

(20)

7

berdirinya Nurul Qomariyah pada tahun 2006 majelis ini sudah menjadi yayasan yang berbadan hukum, sehingga sudah terbentuk kepengurusan untuk mengatur pergerakan perkumpulan dan mekanisme kerja pengurus sebagai sebuah organisasi. Karena itu penulis dalam penelitian ini memilih majelis Nurul Qomariyah Ciledug sebagai lokasi penelitian. Majelis Nurul Qomariyah merupakan salah satu mejelis taklim dan dzikir yang sudah berdiri lama di Tangerang, namun masih juga memiliki banyak pengikut, baik yang tua, remaja dan juga anak-anak. Majelis ini juga menjadi tujuan masyarakat muslim dari banyaknya majelis lainnya di Tangerang karena lokasinya yang sangat mudah dijangkau.

Keberadaan majelis Nurul Qomariyah, selain menjadi sarana pendidikan non formal, tapi juga menjadi wadah bagi sumber kesalehan masyarakat muslim kota terutama yang tinggal di sekitar Tangerang. Beberapa kegiatan ajaran keagamaan maupun pelestarian budaya agama sering dilaksanakan dalam kegiatan majelis taklim yang dilaksanakan di kediaman pemimpin majelis yaitu Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus. Keberadaan habib sebagai tokoh pemimpin ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi majelis taklim. Keberadan majelis para habaib ini menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk di teliti lebih lanjut. Hal ini dikarenakan di perkotaan beberapa tahun belakangan ini, majelis taklim banyak berkembang dan diisi oleh para habib. Di mana, setelah masa Soeharto, terdapat fenomena baru yang berkembang di kota, dengan booming nya popularitas habib muda dan majelis taklim nya di kalangan muslim urban (Rijal 2020).

(21)

8

Keberadaan Habib sebagai tokoh pendiri dalam majelis, menjadikan dirinya sebagai tokoh yang penting dalam majelis. Hal ini juga yang membuat majelis Nurul Qomariyah ini memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Banyak dari jamaah yang mengikuti majelis dikarenakan habibnya. Selain karena strategi dakwahnya yang dibawa sesuai perkembangan zaman, namun tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang mengikuti majelis karena daya tarik dari seorang habib. Bagi masyarakat biasa habib memiliki daya tarik tersendiri sebagai seorang keturunan bangsa Arab yang masih memiliki garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Habib dikenal sebagai seorang yang saleh dan dianggap sebagai salah satu ulama yang memiliki pengetahuan lebih tentang agama untuk menyebarkan ilmunya serta mengajak masyarakat untuk menjadi muslim yang saleh, salah satunya melalui majelis taklim.

Semarak kehadiran masyarakat dengan meningkatnya volume kesadaran dalam beribadah dan juga rutinitas spiritualnya dengan menjamurnya majelis habib serta semaraknya majelis habib, juga menggambarkan bagaimana corak keberagamaan serta kesalehan muslim perkotaan2 (Ginda 2018:12). Melalui ajarannya yang mudah diterima, mengikuti perkembangan jaman serta dengan berbagai tausiah serta kegiatan utama dari majelis yaitu dzikir dan shalawat yang dilakukan dalam majelis Nurul Qomariyah, menggambarkan corak keagamaan yang cair, yang juga membuat masyarakat muslim urban mendapatkan kebutuhan akan keagamaan serta naungan atas

2 Mengacu pada kelompok muslim yang hidup di perkotaan dengan budaya yang dikelilingi oleh teknologi dan modernisasi, namun merasa haus dan ingin belajar agama serta corak keberagamaan muslim perkotaan yang cair mengikuti perkembangan masyarakat kota.

(22)

9

spiritualitasnya. Kegiatan-kegiatan majelis tersebut cukup menarik perhatian banyak orang, karena bagi masyarakat perkotaan seolah mendapatkan angin segar untuk bisa keluar dari pekatnya hiruk-pikuk dan permasalahan hidup di perkotaan (Khadijah 2014:12).

Sebagai salah satu lembaga pendidikan non formal majelis memiliki makna sebagai tempat belajar dan juga mengajar. Oleh karena itu dalam proses pendidikan, di majelis terdapat proses belajar dan mengajar pula. Melalui pendidikan islam berupa nilai, pengetahuan serta pelestarian ajaran dan ritual-ritual islam yang di dakwah kan dan diterapkan di dalam majelis tersebut menjadikan majelis taklim menjadi salah satu sumber atau tempat bagi reproduksi kesalehan masyarakat muslim urban. Melalui beragam metode pengajarannya majelis taklim secara strategis berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam yang sesuai dengan tuntutan ajaran Islam (Ridwan & Ulwiyah 2020:26), sebagai muslim yang saleh. Keberadaan tokoh habib dalam majelis juga memegang peranan penting dalam menanamkan ajaran keislaman tersebut agar kesalehan tersebut dapat terus dipertahankan.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pada pernyataan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana proses mempertahankan kesalehan muslim perkotaan melalui Majelis Nurul Qomariyah Ciledug, Tangerang?

(23)

10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana proses mempertahankan kesalehan muslim perkotaan melaui Majelis Nurul Qomariyah Ciledug, Tangerang.

Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada kajian sosiologi.

Terutama kajian mengenai Majelis Taklim serta kajian terkait teori sosiologi yang mengkaji tentang bagaimana proses Majelis Taklim dalam mempertahankan Kesalehan muslim perkotaan.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan bagaimana proses majelis taklim dalam mempertahankan kesalehan muslim perkotaan. Melalui perannya dalam mempertahankan kesalehan, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi majelis taklim, khususnya majelis taklim Nurul Qomariyah dalam mengambil langkah serta metode dalam melakukan pendidikan keagamaan.

D. Literature Riview

Azaba, Mona (2004) dalam Jurnal Archipel, menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Markets of Faith : Jakartan Da'wa and Islamic Gentrification”. Focus dalam

(24)

11

artikel ini adalah pada kelompok orang Indonesia asal Hadrami. Artikel ini menjelaskan bagaimana keluarga pengkhotbah keturunan arab ini menjalankan jaringan keagamaan yang kemudian menghasilkan kemunculan dakwah gaya baru di Jakarta. Dalam artikel ini menyebutkan bahwa keberadaan majelis ta’lim adalah fenomena khas perkotaan yang hanya ada di Jakarta. Para ilmuwan sosial mengamati bahwa selama dekade terakhir ini, agama di Indonesia memperoleh momentum sebagai bentuk baru pemantapan rasa jati diri, yang kemudian tumbuh kembangnya majelis ini kemudian memberikan dampak ke bidang yang lain. Keberadaan majelis ini cukup menarik perhatian khalayak dalam mengikuti setiap kegiatan majelis, karena kecenderungan orang beragama yang butuh nilai, ilmu atau pengetahuan akan religiusitas. Keberadaan Majelis taklim Habib Al Habsyi yang ada di Masjid Kwitang Jakarta, cukup diminati oleh masyarakat Jakarta, sehingga menarik orang banyak untuk berdatangan. Kemudian hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku ekonomi diluar Masjid yang berdatangan untuk kemudian menawarkan atau menjual barang-barang yang mengandung unsur agama.

Asrori, Saifudin (2014) dalam Jurnal Bimas Islam menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Pemberdayaan Perempuan Majelis Taklim Darunnisa’: Analisis Kapital Sosial”. Penelitian ini membahas mengenai peran majelis taklim sebagi salah

satu lembaga keagamaan dan pendidikan yang dapat bermanfaat dan digunakan sebagai pemberdayaan masyarakat dan lingkungannya. Menggunakan konsep kapital social Bourdieu yang berupa ekonomi, budaya dan social yang ketiganya dapat

(25)

12

dijadikan sebagai alat bagi majelis taklim dalam proses pemberdayaan. Subjek dari artikel ini adalah kepada pemberdayaan perempuan. Majelis taklim Darunnisa merupakan majelis taklim dengan segala bentuk aktivitas kegiatan yang dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan seperti, pengajian agama, kegiatan santunan, dan pendidikan. Kegiatan tersebut tersebut telah menjadi salah satu kegiatan kesatuan dalam mewujudkan pemberdayaan. Pemberdayaan tersebut dilakukan dalam proses peningkatan kapasitas perempuan dalam rangka untuk meningktkan kepercayaan diri, membuat pilihan, dan menguasai sumber daya.

Abdullah, Muhammad (2017) dalam Journal of Islamic Education Studies menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Peran Majelis Taklim Terhadap Pembentukan Kesalehan Popular”. Focus dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui secara lebih dalam tentang peran majelis taklim dan implikasinya terhadap pembentukan kesalehan popular. Penelitian ini menjelaskan bahwa majelis taklim merupakan lembaga non formal, yang memiliki tujuan serta fungsi untuk menambah atau meningkatkan pengetahuan keagamaan, keimanan, keyakinan, kesadaran dalam beragama dan sebagai salah satu lembaga pendidikan yang sifatnya tidak mengikat namun cenderung efektif dan efisien. Hasil dalam penelitian ini dijelaskan bahwa terdapat hubungan antara majelis taklim dengan kesalehan popular, di mana majelis taklim dalam hal ini memiliki peran dalam pembentukan kesalehan popular. Hal ini dikarenakan majelis taklim berfungsi sebagai lembaga pendidikan Islam non formal dalam meningkatkan wawasan ilmu keagamaan melalui materi yang diajarkan berupa

(26)

13

pendidikan dasar agama seperti membaca al-Quran dan penjelasan ilmu fiqih, tauhid atau akhlak, majelis taklim, serta sebagai wadah yang untuk memperkuat mental spiritual keagamaan Islam yang dilakukan melalui peran dakwah dan ditransmisikan bagi konsumsi masa melalui teknologi dan dengan menghadirkan majelis taklim sebagai penciptaan figure kepopuleran seorang penceramah atau da’i.

Arikarani, Yesi (2017) dalam jurnal El-Ghiroh, menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Peran Majelis Taklim Sebagai Pendidikan Alternatif dalam Merevitalisasi Pengetahuan Agama”. Penelitian ini menganalisis bagaimana peran majelis taklim

dalam meningkatkan kembali kegiatan keagamaan. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan pendekatan kualitatif studi kasus. Penelitian ini menjelaskan bahwa majelis taklim memiliki peran sebagai pendidikan alternative, melalui program dan kegiatan dalam majelis taklim yang memberikan pengetahuan tentang agama Islam.

Majelis ini memiliki peran bagi jamaah untuk membentuk masyarakat yang takwa kepada Allah. Majelis taklim ini dijadikan sebagai tempat belajar dan juga tempat mencari ilmu serta keyakinan agama pada diri jamaah, melalui materi atau dakwah yang disampaikan oleh guru atau ustad/ustadzah. Melalui segala kegiatan yang terdapat pada majelis taklim menjadi tempat bagi revitalisasi nilai-nilai keagamaan tersebut.

Penelitian ini juga menjelaskan mengenai factor pendorong dan penghambat bagi majelis dalam rangka merevitalisasi nilai keagamaan, antara lain tingkat kemampuan guru atau muballigh, Kepribadian muballigh, materi dakwah yang dikemas semenarik mungkin. Sedangkan faktor yang menghambatnya adalah Kurangnya sumber belajar

(27)

14

serta fasilitas media dan alat pembelajaran, Tinggi rendahnya jamaah yang mengikuti kegiatan keagamaan, memiliki persepsi yang berbeda tentang kegiatan keagamaan dan ada.

Kamsi, Nurlila (2017) dalam jurnal Manthiq, menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Peranan Majelis Taklim dalam Penanaman Nilai-Nilai Islam di Kecamatan Lubuklinggau Timur II Kota Lubuklinggau”. Focus dalam penelitian ini adalah untuk

menjelakan kegiatan-kegiatan majelis taklim di Lubuklinggau dalam menanamkan nilai-nilai Islam kepada jamaah majelis taklim. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan teknik observasi, wawancara, daftar ceklis dan dokumentasi. Penelitian ini menjelaskan bahwa kegiatan majelis taklim sangat penting dalam penanaman nilai-nilai Islam, kegiatan yang dilakukan dalam majelis taklim antara lain melalui pengajian rutin, peringatan hari besar, latihan pelenggaraan jenazah, membaca Barzanji, latihan rebana, kunjungan panti asuhan, pesantren dan juga mengadakan solat tasbih dan tadarus Al-Quran. Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan yang berorientasi pada pengembangan sikap serta kepribadian, maka kegiatan kegiatan tersebut bertujuan pada jamaahnya agar berperilaku sesuai dengan akhlak islam dan senantiasa mempelajari ajaran islam. Dari hasil penelitian bahwa nilai-nilai Islam yang diterapkan kepada jama’ah Majelis taklim di Kecamatan Lubuklinggau timur II Kota Lubuklinggau adalah iman, Islam, ihsan, takwa, ikhlas, tawakal, syukur, sabar, silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat, dan dermawan.

(28)

15

Rijal, Syamsul (2018) dalam Jurnal Afkaruna, menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Kaum Muda Pecinta Habaib: Kesalehan Populer dan Ekspresi Anak Muda di Ibu Kota”. Penelitian ini menggunakan analisis structural dan dikombinasikan

dengan analisis kultural, kombinasi analisis ini digunakan untuk memahami bagaimana partisipasi anak muda pada majelis taklim. Artikel ini juga menggunakan perspektif Bayat tentang anak muda Muslim di Iran dan di Mesir, di mana analisis dalam studi ini di ambil dari sudut pandang serta pengalaman para jemaah ketika masuk dan terlibat di dalam Majelis Rasulullah. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kehadiran dan keterlibatan anak muda dan remaja pada majelis adalah untuk mengekspresikan jiwa kemudaannya sebagai pemuda yang tinggal di tengah kehidupan kota. Dengan kehidupan perkotaan yang penuh masalah dan tantangan, mereka juga berharap untuk bisa belajar agama serta mendapatkan nilai-nilai spiritual saat mengikuti majelis.

Terutama adalah majelis taklim yang didirikan oleh para habib (majelis habib), yang banyak tumbuh di perkotaan. Selain itu, hasil dari penelitian ini juga menjelaskan bahwa sebagian besar gerakan islam, yaitu majelis habib ini cenderung lebih lunak dalam dakwahnya, serta lebih mengakomodasi aspirasi dari kesalehan anak muda dengan menggabungkan ajaran islam dengan budaya pop atau budaya modern.

Ridwan, Iwan (2020) dalam Jurnal Pendidikan Karakter Jawara (JPKJ), menuliskan sebuah artikel yang berjudul “Sejarah dan Kontribusi Majelis Taklim dalam Peningkatan Kualitas Pendidikan di Indonesia”. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research, dengan

(29)

16

menggunakan data primer dan data sekunder yang berupa buku dan artikel yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian. Penelitian ini menjelaskan bahwa keberadaan majelis taklim di Indonesia merupakan sarana yang paling efektif untuk memperkenalkan ajaran islam kepada masyarakat. Melalui beragam metode pengajarannya yang secara strategis majelis taklim dapat dijadikan sebagai sarana dakwah islami yang kehadirannya berperan sentral pada pembinaan dan peningkatan kualitas hidup umat Islam yang sesuai dengan tuntutan ajaran Islam. Selain itu dalam upaya untuk peningkatan kualitas pendidikan Indonesia, majelis taklim dalam proses penyelenggaraannya harus berpedoman pada prinsip-prinsip penyelenggaraan pendidikan. Karena kedudukan majelis taklim secara sosiologis bukan hanya sekedar tempat berkumpulnya kaum bapak-bapak dan kaum ibu-ibu saja, melainkan mempunyai nilai teologis yang akan memberikan pengetahuan, penghayatan dan bimbingan perilaku untuk melaksanakan nilai-nilai luhur Islam.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah unit analisis yang dikajinya yaitu majelis taklim. Di dalamnya sama-sama menjelaskan bahwa majelis taklim merupakan lembaga pendidikan non-formal atau sebagai pendidikan alternative yang digunakan sebagai tempat untuk mecari ilmu agama serta penanaman nilai dan ajaran islam serta peningkatan dan pelestarian kegiatan keagamaan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya ada pada subjek penelitian dan lokasi tempat yang diteliti. Kemudian, penelitian sebelumnya masih jarang sekali ditemukan pembahasan yang diteliti melalui pendekatan-pendekatan secara teoritis.

(30)

17 E. Kerangka Teoritis

Teori yang digunakan untuk mengkaji bagaimana proses mempertahankan kesalehan melalui majelis taklim adalah dengan menggunakan teori Pierre Boudieu tentang reproduksi yang kemudian diperkuat dengan teori kesalehan social dari Saba Mahmood.

1. Teori Reproduksi Pierre Bourdieu

Sebelum menjelaskan teori reproduksi yang dikemukakan oleh Bourdieu, maka perlu dipahami terlebih dulu beberapa gagasan dari teori Bourdieu, yakni konsep habitus, modal, arena dan praktik. Bourdieu mendefinisikan habitus merupakan system disposisi, dimana individu dapat mengembangkan disposisinya tersebut ketika bereaksi terhadap kondisi objektif yang mereka hadapi dan itu terdiri dari seperangkat hubungan historis yang disimpan dalam individu dalam bentuk skema mental dan persepsi, apresiasi dan tindakan (Franklin 2014:39). Secara lebih sederhana, Ritzer menyederhanakan pengertian habitus adalah sebagai struktur mental atau kognitif yang diinternalisasikan (internalized) atau digunakan oleh individu dalam memandang dan memahami kehidupan social (Ritzer 2014:482).

Actor memiliki serangkaian pola yang dapat digunakan untuk memahami, menyadari serta menilai dunia sosialnya (Ritzer 2014:482). Melalui pola yang dimiliki individu atau actor ini lah tercipta tindakan (Ritzer 2014:482). Actor melakukan tindakan berdasarkan pikirannya sendiri yang dapat mengacu pada skema selera umum

(31)

18

(Fashri 2017:99). Saat melihat atau menilai dunia social atau dalam melihat selera umum masyarakat, actor kemudian mencerna hal tersebut menjadi selera individu dari masing-masing actor. Hal inilah yang disebut sebagai habitus, yaitu habitus itu asalnya berada pada pikiran dari masing-masing individu yang dipakai untuk memahami kehidupan social, yang dapat terlihat melalui tindakannya dimasyarakat. Karena habitus itu sendiri dapat dihasilkan dan menghasilkan saat individu bermasyarakat (Ritzer & Goodman 2007: 102).

Arena menurut Bourdieu adalah arena yang digunakan sebagai tempat bagi individu atau kelompok untuk berjuang melindungi, mempertahankan atau bahkan meningkatkan posisi mereka dalam meraih sebuah kekuatan dan kekuasaan (Ritzer &

Goodman 2007: 525). Bourdieu melihat masyarakat bahwa melalui arena social mereka, sebagai tempat mereka untuk beroperasi dan berjuang untuk mencapai tujuan yang diinginkannya (Franklin 2014:37). Arena inilah yang dijadikan lapangan atau tempat bertarung bagi para individu untuk memperoleh kedudukan yang diinginkannya. Arena menurut Bourdieu merupakan hubungan terstruktur yang secara tidak sadar mengatur posisi individu, kelompok atau lembaga tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan (Fashri 2017:105).

Arena merupakan ruang yang terstruktur dari posisi dominan dan subordinat, yang dimana posisi tersebut didasarkan kepada jenis dan jumlah modal (Franklin 2014:37). Konsep modal ini menjadi penting dibahas karena kepemilikan modal ini dapat bertujuan untuk mengubah dan mempertahankan atau bahkan menambahkan

(32)

19

kekuatan arenanya (Franklin 2014:37). Bourdieu mendefinisikan konsep modal dipakai sebagai pemetaan hubungan-hubungan kekuasaan yang terjadi di dalam masyarakat (Fashri 2017:108). Modal merupakan sesuatu yang berharga yang selalu dicari dan diperjuangkan kepemilikan di masyarakat. Bourdieu menjelaskan konsep modal, yang dibagi ke dalam beberapa bentuk yaitu, modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Modal ekonomi yang berupa alat-alat produksi dan juga materi, serta modal budaya dan modal social yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan yang dapat diakumulasikan kedalam modal simbolis (Fashri 2017:109).

Di mana modal simbolis merupakan akumulasi dari segala bentuk nilai, prestise, status, kepemilikan reputasi, ketenaran dan semua jenis modal yang dianggap dan diakui sebagai modal yang sah yang membuat mereka berkuasa di dalam bidang tertentu (Franklin 2014:35).

Modal budaya adalah kekayaan penting dalam bidang intelektual (Franklin 2014:40). Kepemilikan ilmu pengetahuan atau intelektual merupakan kekayaan yang memiliki nilai prestise tinggi di masyarakat, dalam hal ini adalah terkait dengan agama.

Modal agama atau pengetahuan dalam bidang agama adalah harta yang penting bagi dunia keyakinan (Franklin 2014:40). Apalagi di Indonesia dengan mayoritas beragama Islam, membuat masyarakat berlomba untuk mendapatkan modal agama tersebut.

Kepemilikan atas modal-modal budaya kemudian sudah terlegitimasi menjadi modal simbolik, modal-modal tersebut digunakan untuk memperoleh atau menempati posisi social di masyarakat. Kepemilikan individu atas modal simbolik biasanya digunakan

(33)

20

untuk memperebutkan posisi dalam suatu arena, dalam hal ini adalah kekuasaan, yang dapat digunakan individu untuk melakukan kekerasan simbolik (Franklin 2014:40).

Namun, kekerasan simbolik yang dimaksud oleh Bourdieu adalah 'kekerasan yang dilakukan pada agen sosial dengan keterlibatannya' (Franklin 2014:40). Di mana kekerasan simbolik disini bukan dalam arti fisik, melainkan berdasarkan penerimaan seseorang atas posisi kelasnya di masyarakat atau dapat pula dilihat pada keterlibatan individu pada individu lain yang memiliki modal simbolik atau yang mendominasi.

Selain habitus, arena, dan modal, dalam konsepsi sosiologinya, Bourdieu juga mengembangkan teori tentang praktik. Bourdieu mengembangkan teori tentang praktik yang dilihatnya sebagai hasil hubungan dialektika antara struktur dan keagenan (Ritzer 2014:479). Praktik sosial merupakan produk dari dialektika antara struktur dan pelaku atau struktur objektif dan habitus, dimana sruktur merupakan segala sesuatu yang berada di luar diri pelaku social yang dialami dan melingkunginya, dengan segala sesuatu yang terinternalisasi dan telah melekat pada diri pelaku sosial (Krisdinanto 2014:198).

Konsep praktik tersebut kemudian digambarkan oleh Bourdieu dengan rumus:

(Habitus+ Modal) + Arena = Praktik. Bourdieu menggambarkan dari rumus tersebut, bahwa praktik merupakan produk dari relasi antara habitus dan arena yang di mana keduanya di dapat merupakan produk dari sejarah, dimana di dalam arena terdapat pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, dan orang yang tidak memiliki modal (Fashri 2017:107).

(34)

21 2. Reproduksi

Pemikiran bourdieu terkait habitus menjadi factor pendukung dalam proses reproduksi (Nukha 2017:49). Habitus menjadi dasar bagi seseorang untuk melakukan sebuah tindakan. Keterkaitan antara habitus, modal dan arena menjadi satu kesatuan yang membentuk praktik-praktik social (Zulkifli 2018:70). Melalui konsep-konsep tersebut menghasilkan praktik reproduksi budaya (Nukha 2017:50). Reproduksi budaya diartikan sebagai pelestarian nilai-nilai budaya dari satu generasi ke generasi lain (Nukha 2017:44). Melalui habitus, modal yang dimiliki oleh individu apabila dipakai dalam suatu arena dapat menjadi tempat bagi produksi dan reproduksi budaya yang sudah ada.

Bourdieu menyebutkan proses reproduksi dalam pemikirannya tentang sistem pendidikan yaitu sebagai pemeliharaan pengetahuan dan pengalaman dari satu generasi ke generasi berikutnya (Franklin 2014:44). Melalui Lembaga pendidikan dapat mentransfer berbagai perilaku budaya yang juga mencakup fitur non-akademik, seperti gaya berjalan, aksen dan lainnya. Proses repoduksi tersebut di dalamnya terdapat peran bahasa. Thompson (1984) mengakui bahwa bahasa menjadi salah satu pusat dari proses reproduksi (Franklin 2014:45). Bahasa digunakan sebagai alat oleh actor untuk mereproduksi struktur objektif, dan hal ini menentukan siapa yang memegang kuasa simbolis untuk didengarkan (Franklin 2014:44)

(35)

22 3. Kesalehan Sosial

Konsep kesalehan diambil dari teori Saba Mahmood. Konsep teori Saba Mahmood dipakai untuk melihat praktik diskusif dalam mempertahankan kesalehan.

Praktik-praktik tersebut dilihat oleh Saba Mahmood melalui kegiatan pengajian, salah satunya adalah melalui majelis taklim.

Saba Mahmood memperkenalkan pendekatan baru mengenai gerakan kesalehan.

Mahmood meneliti tentang kegiatan pengajian sebagai praktik diskursif dalam membangun, menjaga serta mengusahakan kesalehan (piety) (Amanulloh 2012:2).

Saba Mahmood menggambarkan gerakan kesalehan tersebut dengan gerakan pengajian di Masjid yang muncul sebagai akibat adanya persepsi bahwa ilmu agama, sebagai sarana dalam mengatur kehidupan sehari-hari semakin terpinggirkan dibawah struktur yang modern (Mahmood 2005: 44). Keberadaan sekularisasi menyebabkan pengetahuan Islam yang sebelumnya berlaku sebagai panduan berperilaku dan sebagai prinsip kehidupan bagi muslim, saat ini berkurang menjadi adat dan kebiasaan (Amanulloh 2012:8). Oleh karenanya lahirlah gerakan pengajian untuk menyelenggarakan kegiatan pembelajaran dan pengetahuan Islam. Mahmood menjelaskan bahwa kehidupan sekeliling masyarakat yang kini sekuler dan cenderung meniru barat, menjadikan gerakan pengajian hadir untuk memperbaiki sikap tersebut melalui penanaman bakat, kebajikan, kebiasaan dan keinginan tubuh yang menjadi landasan prinsip islam dalam praktik kehidupan sehari-hari (Mahmood 2005:45).

(36)

23

Segala bentuk aktivitas pengajian melalui pengajaran dan pembelajaran merupakan upaya muslim untuk hidup sesuai dengan tata cara serta ajaran islam sebagai muslim yang saleh. (Amanulloh 2012:11-12). Bagi Bourdieu, agama merupakan ideologi, dan dalam system pengajian inilah berfungsi sebagai mekanisme reproduksi yang menanamkan dan melestarikan ideologi dan nilai Islam (Franklin 2014:34). Pengajian membuat batas tertentu dimana mereka mendiskusikan bagaimana membuat kehidupan mereka sesuai dengan standar Islam (Mahmood 2005:56). Melalui pengajian diperkenalkan seperangkat norma, nilai dan aturan bersama, dimana standar norma dan nilai tersebut digunakan untuk menilai perilaku sendiri saat berada di lingkungan pekerjaan, pendidikan, sehari-hari, kehidupan rumah tangga maupun kegiatan social lainnya (Mahmood 2005:48).

Saba Mahmod menjelaskan bagaimana praktik-praktik yang dilakukan di dalam pengajian menjadi bentuk dari praktik kesalehan. Keterlibatan aktor atau individu dalam suatu pengajian juga mengajarkan apa yang diisyaratkan oleh kesalehan (Mahmood 2005: 48-49). Pada dasarnya mereka yang menyelenggarakan dan terlibat dalam pengajaran islam, memiliki kecenderungan serta kepedulian untuk belajar menata kehidupan sehari-harinya untuk berperilaku luhur sesuai dengan standar Islam (Mahmood 2005:56). Cara yang dapat dilakukan dalam mengorganisir pengembangan praktik dalam berperilaku saleh adalah melalui dakwah (Mahmood 2005:56). Dakwah merupakan gerakan kesalehan kontemporer yang pada dasarnya dipahami sebagai kewajiban agama yang mengharuskan semua anggota komunitas Islam untuk

(37)

24

mendorong sesama muslim untuk menjadi lebih saleh serta mengajarkan seseorang untuk berperilaku sebagaimana Islam yang benar (Mahmood 2005: 57-58). Melalui dakwah dalam pengajian mengajak actor yang terlibat di dalamnya untuk menata Kembali kehidupan sehari-harinya agar sesuai dengan standar Islam dalam berperilaku.

Ritual keagamaan juga menjadi sarana dalam melatih dan mewujudkan kesalehan.

Di dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan kesalehan dalam hidup seseorang adalah dengan ritual (Mahmood 2005:133). Pertunjukan ritual dalam pengajian dapat dinilai sebagai praktik yang dapat membentuk kesalehan atau sebagai bentuk diri yang saleh. Mahmood menilai bahwa praktik keagamaan digunakan oleh invidu sebagai proses yang dilalui individu untuk menghasilkan individu yang saleh, di mana praktik kesalehan tercipta melalui cara, sikap atau Tindakan tertentu yaitu melalui gerakan tubuh dari seorang individu (Mahmood 2005:133). Sebagaimana konsep Bourdieu tentang konsep praktik, yang mengatakan bahwa praktik dapat dibentuk melalui kinerja habitus yang meliputi sebagaimana gaya orang bertindak, baik dalam gaya bicara dan tindakan sehari-harinya (Fashri 2017:103). Melalui ritual ini menggambarkan sejauh mana umat Islam percaya bahwa tuhan mengharuskan mereka beribadah dan sejauh mana ritual tersebut mengubah tindakan sehari-hari actor (Mahmood 2005:133). Oleh karena itu kesalehan dapat terlihat melalui tindakan, cara, sikap, gaya dan juga gerak tubuh seorang actor dalam kehidupan sehari-harinya.

Praktik kesalehan tersebut dapat tercipta berasal dari diri invidu dan luar individu atau bagaimana lingkungan membentuknya. Dalam konsep Saba Mahmood

(38)

25

menggunakan istilah eksterioritas sebagai sarana interioritas (Mahmood 2005:134). Di mana model, system, kebijakan dan gerakan pengajian di majelis taklim sebagai sarana dalam membentuk habitus actor. Melalui ritual keagamaan yang diajarkan secara berulang di majelis taklim untuk membentuk habitus yang baik atau karakter actor yang saleh. Sehingga proses dimana habitus tersebut diperoleh merupakan proses reproduksi (gesture,ucapan) yang cenderung terjadi dibawah tingkat kesadaran, berdasarkan apa yang sudah di dapat actor di dalam kehidupannya. Oleh karena itu majelis taklim merupakan wadah pembinaan moral, yang sifatnya sengaja untuk membentuk penyerapan tindakan bawah sadar. Dalam kegiatan pengajian mereka memperlajari tentang kehidupan sehari-hari, tentang tata cara ritual dalam islam baik beribadah ataupun yang lainnya sebagai untuk tujuan tertentu, yaitu untuk menjadi manusia yang baik menurut islam yang mereka percaya (Amanulloh 2012:12).

4. Majelis Taklim

Majelis taklim memiliki akar kata yang berasal dari bahasa arab, yang terdiri atas dua suku kata yaitu majlis yang berarti ‘tempat’ dan ‘ta’lim’ yang berarti mengajar (Jadidah, Amatul & Mufarroha 2016:27). Secara bahasa taklim memiliki makna memberitahukan, menerangkan, atau mengabarkan (ilmu) yang dilakukan secara teratur dan berulang, yang juga diartikan sebagai makna pengajaran atau pendidikan (Ridwan, Iwan & Ulwiyah 2020:20). Dengan demikian majlis taklim merupakan tempat untuk melaksanakan pengajaran agama Islam.

(39)

26

Kemenag mendefinisikan majelis taklim sebagai lembaga pendidikan Islam yang waktu pemelajarannya dilakukan secara berkala, teratur, tetapi tidak dilakukan setiap hari seperti di sekolah, namun kehadiran jamaah berdasarkan atas kesadaran sendiri, yang bukan merupakan kewajiban yang sifatnya memaksa (Jadidah, Amatul &

Mufarroha 2016). Majelis taklim ini kemudian berkembang sebagai tempat belajar masyarakat serta menjadi salah satu lembaga pendidikan non formal. Hal ini dikukuhkan juga oleh pemerintah dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, nomor 20 Tahun 2003, PP No.19 Tahun 2007, dan Perda Tahun 2005. Kebijakaan pemerintah tersebut membuktikan bahwa pembelajaran agama memberikan solusi terhadap berbagai macam problematika kehidupan masyarakat. (Jadidah, Amatul & Mufarroha 2016:35-36)

Majelis taklim memiliki peran yang cukup penting dalam komunitas muslim.

Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan tertua (Arikarani 2017:73) yang hingga saat ini kedudukannya masih eksis sebagai wadah bagi pembalajaran agama yang memiliki kedudukan tersendiri dalam melaksanakan proses pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan non formal Majelis taklim memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah: membina dan mengembangkan ajaran Islam untuk membentuk muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, menjadi pusat kegiatan belajar masyarakat, keterampilan hidup, dan kewirausahaan, menjadi wahana silaturrahmi, menjadi tempat menyampaikan gagasan dan sekaligus sarana dialog antar ulama dan umat, sebagai sarana tempat pembinaan serta pemberdayaan ekonomi jamaahnya, menjadi tempat

(40)

27

pengembangan seni dan budaya Islam, serta menjadi wahana pencerahan umat dalam kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa (Ridwan, Iwan & Ulwiyah 2020:24).

F. Metodologi Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian lapangan ini dilakukan dimana majelis taklim dan dzikir tersebut dilaksanakan. Lokasi dari Majelis Nurul Qomariyah ini berada di Ciledug, Tangerang, tepatnya berada di Komplek Perumahan Ciledug Indah II, Jalan Jeruk Blok C1 No 2-3 Pedurenan, Karang Tengah, Tangerang, Banten.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif merupakan metode penulisan penelitian yang digunakan untuk mengeksplorasi dan juga memahami makna tentang permasalahan social atau kemanusiaan (Creswell 2010:4). Tujuan pendekatan kualitatif dilakukan dalam prosedur penelitian menurut Bogdan dan Taylor (1975), adalah untuk dapat memperoleh data deskriptif yang berupa kata lisan maupun tertulis, serta melalui perilaku yang dapat diamati (Aripin & Syamsir 2006:30). Pendekatan kualitatif dipilih karena berdasarkan karakter pendekatan kualitatif yang sesuai dengan tujuan dari penelitian, serta untuk memahami makna atau masalah sosial.

Pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berguna untuk memperoleh informasi

(41)

28

tentang bagaimana proses reproduksi kesalehan muslim perkotaan melalui majelis Nurul Qomariyah Ciledug, Tangerang.

3. Teknik Pengumpulan Data

Data dimaknai sebagai sesuatu informasi yang diterima tentang sesuatu hal, suatu kenyataan atau suatu fenomena empiric, yang wujudnya dapat berupa kuantitatif (angka-angka) atau dapat berupa kualitatif (kata-kata atau verbalize) (Paulus 2018:212). Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer digunakan sebagai sumber data yang utama, penting dan sangat diperlukan dalam penelitian ini yang diperoleh langsung dari lapangan. Sedangkan data sekunder merupakan bentuk dari data primer yang sudah diolah oleh penulis lain atau data tersebut berbentuk penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, dalam hal ini data sekunder dapat berupa berupa buku, jurnal, artikel, surat kabar, media cetak maupun media elektronik yang membahas tentang majelis taklim (Sarwono 2006:209-210). Adapun Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah:

a. Dokumentasi

Dokumentasi digunakan sebagai data penunjang di dalam penelitian.

Dokumentasi ini juga sekaligus menjadi bukti penelitian, karena dalam dokumentasi ini dapat dilihat serta mengabadikan objek yang diteliti, yang diperoleh melalui dokumen secara pribadi atau melalui informan. Dokumen ini dipergunakan untuk mencari data-data yang berkenaan dengan peraturan

(42)

29

kegiatan, kepengurusan dasar majelis dan data-data pendukung lainnya. Di antaranya seperti foto-foto kegiatan, buku atau kitab-kitab rujukan, ceramah, dan lain-lain.

b. Observasi

Observasi merupakan teknik yang dilakukan berupa pencatatan secara sitematik tentang kejadian-kejadian, perilaku objek-objek yang dilihat dan hal- hal lain yang diperlukan dalam mendukung penelitian yang sedang dilakukan (Sarwono 2006:224). Observasi dilakukan dengan cara ikut terlibat dalam kegiatan secara langsung, dalam hal ini penulis ikut datang kedalam setiap kegiatan majelis. Melalui pengamatan langsung penulis mendapat banyak data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Teknik ini dipergunakan untuk mencari data utama berkenaan dengan proses reproduksi kesalehan dalam majelis taklim.

c. Wawancara

Wawancara adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan data berupa informasi secara mendalam mengenai sebuah isu atau tema yang dibahas dalam penelitian atau melalui wawancara ini juga dapat menjadi proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang sudah didapatkan sebelumnya (Paulus 2018:214). Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan wawancara kepada 9 informan yang berada atau terlibat pada Majelis Nurul Qomariyah.

(43)

30

Wawancara dilakukan untuk menggali pendapat dari para praktisi majelis taklim (pemimpin, pengurus (guru, udztad/udztadzah), dan anggota) yang berkenaan dengan proses dalam mempertahankan kesalehan melalui Majelis Taklim Nurul Qomariyah Tangerang. Data yang diambil berupa peristiwa atau kegiatan yang dilakukan di Majelis Taklim Nurul Qomariyah Ciledug Tangerang dalam mempertahankan kesalehan. Berdasarkan hal tersebut, maka informan dipilih dengan maksud untuk mengetahui dan mengungkap bagaimana proses majelis taklim dalam mempertahankan kesalehan sosial.

Data/subjek penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pemimpin: Diperoleh data akurat mengenai gambaran umum meliputi sejarah, latar belakang berdirinya letak, struktur organisasi, keadaan guru dan jama'ah, serta yang bertanggungjawab dengan segala aktivitas juga yang paling berpengaruh dalam dalam mempertahankan kesalehan sosial.

2. Pengurus (guru): Para pengurus terutama guru dan pengurus yang selalu ada di dalam majelis taklim, yang merupakan pihak yang berinteraksi secara aktif dalam mempertahankan kesalehan kepada jama'ah.

3. Anggota: sebagai sumber data yang nyata dari tema penelitian.

(44)

31

Tabel I.1 Data Informan

No Nama Usia

(Thn)

Jenis

Kelamin Keterangan

1 Safitri 21 Perempuan Jamaah

2 Zakki 19 Laki-laki Jamaah

3 Habib Ali Zaenal Abidin

Alaydrus Laki-laki Pemimpin, Pembina,

dan Guru

4 Bayu Laki-laki Jamaah (Multimedia)

5 Muhammad Khoirul Amal Laki-laki Jamaah (Pendidikan)

6 Umi Nunung 44 Perempuan Jamaah

7 Mpok Silvi 40 Perempuan Jamaah

8 Rara 13 Perempuan Jamaah

9 Mirda 29 Perempuan Jamaah (ketua banat)

4. Teknik Pemilihan Informan

Adapun penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive. Teknik purposive ini yang dipilih atau diambil dalam mendapatkan

informan penelitian berdasarkan pada maksud serta tujuan dari penelitian (Soehartono 2015:63). Dalam hal ini peneliti akan mempertimbangkan siapa saja yang dijadikan informan dalam penelitian. Di mana, pimpinan majelis dari Nurul Qomariyah dan kepengurusan yang terlibat serta beberapa jamaah yang menjadi informan yang akan dituju. Pertimbangan tersebut, berkaitan dengan tujuan penelitian untuk mendapatkan data yang sesuai, diantaranya adalah mengetahui

(45)

32

tentang sejarah dan latar belakang majelis taklim, kegiatan majelis taklim, serta proses pembelajaran dan pendidikan di dalam majelis taklim.

5. Analisis Data

Menurut Miles dan Huberman analisis kualitatif adalah data yang berupa kata-kata yang telah dikumpulkan dalam beragam cara serta diproses melalui pencatatan atau pengetikan yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan tetap menggunakan kata-kata. Dalam analisis data kualitatif tersebut terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu (Miles & Huberman 2014:15-16):

1. Reduksi data, adalah proses pemilihan data dan juga pemusatan data dari informasi data yang sebelumnya didapat dari catatan-catatan di lapangan.

2. Penyajian data, yaitu berupa sekumpulan informasi atau data yang didapatkan dari catatan lapangan yang kemudian disusun untuk dapat melakukan penarikan kesimpulan.

3. Penarikan kesimpulan, peneliti dalam hal ini harus menarik kesimpulan- kesimpulan akhir dan juga memverifikasi data yang dimiliki kemudian di uji kebenarannya serta kecocokannya dengan penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi merupakan susunan yang menyatakan garis besar dalam masing-masing bab yang disusun sacara berurutan dan saling berkaian. Dalam skripsi ini system penulisan di bagi menjadi empat bab, yaitu:

(46)

33

BAB I: Pendahuluan, pada bagian pendahuluan ini akan membahas mengenai latar belakang masalah atau pernyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Gambaran Umum, pada bab ini akan menjelaskan terkait gambaran umum mengenai habib dan juga gambaran umum Majelis Taklim dan Dzikir Nurul Qomariah yang didalamnya terdapat profil pemimpin majelis, sejarah majelis, tujuan dan visi misi majelis, struktur kepengurusan serta kegiatan di dalam majelis.

BAB III: Pembahasan, pada Bab ketiga ini akan menjelaskan dan memaparkan analisis teori dan hasil temuan penelitian dilapangan yang telah dilakukan melalui proses wawancara, dokumentasi dan dari data sekunder. Peneliti menjelaskan mengenai bagaimana proses reproduksi kesalehan di dalam Majelis Taklim Nurul Qomariyah.

BAB IV: Penutup, bab keempat ini berisikan kesimpulan dan saran. Penulis membuat dari rangkuman dari hasil penelitan yang sudah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya.

(47)

34 BAB II

HABIB DAN MAJELIS TAKLIM DAN DZIKIR NURUL QOMARIYAH

A. Habib

Arti kata habib secara istilah berarti kekasih. Secara definisi, menurut Ibn Manzur dalam (Amiruddin 2016:16) istilah kata Habib berasal dari Bahasa Arab yaitu kata hubb yang bermaksud kasih atau sayang, sedangkan kata habib berarti sebagai orang yang dikasihi. Rabithah Alawiyah3 menjelaskan bahwa makna kata habib adalah sebagai seseorang yang dicintai di dalam masyarakat Indonesia, dan penggunaan kata habib tersebut disematkan pada seorang yang memiliki ketersambungan silsilah dengan Nabi Muhammad SAW (Fadhil 2019:1).

Secara nasabnya, silsilah golongan Habib bermula dari Nabi Muhammad SAW melalui jalur Siti Fatimah Azzahra RA. Hasil perkawinan Fatimah Azzahra RA bersama dengan Ali RA ini yang kemudian mengembangkan keturunan Nabi Muhammad SAW. Berkembangnya keturunan Nabi SAW tersebut kemudian ditandai dengan kehadiran cucunya, anak dari Fatimah RA dan Ali RA yaitu Hassan dan Hussein. Kemudian yang dikenal dan diberikan julukan sebagai habib ini adalah yang mempunyai hubungan kekeluargaan dan keturunan dengan Nabi Muhammad dari salah satu cucunya yaitu Hussein RA. (Amiruddin 2016:16)

3 Lembaga khusus yang bertugas merunut keturunan nabi Muhammad saw di Indonesia, dan diketuai oleh Habib Zein Smith. Sumandoyo, Arbi. Mereka Yang Habib Dan Yang Bukan Habib, (https://amp.tirto.id/mereka-yang-habib-dan-yang-bukan-habib-chde), pukul 13.58

(48)

35

Gambar 2.1 Silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw yang datang ke Nusantara

(sumber tirto.id)

Panggilan Habib sering ditujukan kepada pendakwah yang memiliki keterkaitan dengan silsilah atau keturunan dari Nabi Muhammad. Rabithah Alawiyah ini mencatat setidaknya terdapat 151 marga keturunan nabi yang ada di dunia, juga termasuk di Indonesia, dalam catatan lembaga ini di jabodetabek tercatat sendiri tercatat bahwa para keturunan Nabi Muhammad ini didominasi oleh keluarga Al-Attas, Al Haddad, Assegaf, Alaydrus dan Al Habsyi (Sumandoyo 2017:1).

(49)

36

Berdasarkan nasabnya yang segaris dengan keturunan nabi Muhammad SAW, menempatkan para habib memiliki posisi yang terhormat. Habib merupakan gelar yang lazim diberikan kepada sayyid atau laki-laki yang meniliki garis keturunan nabi munhammad SAW, karna kecintaan atau kehormatan para murid atau pengikutnya, maka diberikan gelar habib kepada mereka. Mereka yang diberikan gelar habib memiliki kedudukan istimewa selain karena memiliki nasab atau garis keturunan nabi, mereka juga harus memiliki ilmu agama yang tinggi, berkiprah dalam penyebaran Islam dan juga harus memiliki akhlak yang baik, karena itu pula tidak semua keturunan Nabi pantas dipanggil habib, hanya mereka yang memiliki kualifikasi tertaentu yang pantas disebut habib. Oleh karena itu Habib Zein ketua organisasi Rabithah Alawiyah dalam tirto.id menjelaskan dan meluruskan hal tersebut.

“Menurutnya kita harus bisa memilah antara sayyid dan habib ‘apakah dia benar-benar baik, mengajar dengan ilmu dan akhlak yang baik serta dapat menjadi panutan?’. Habib zein juga menjelaskan bahwasannya sebenarnya tidak semua sayyid dapat dipanggil habib. Sedangkan setiap sayyid sudah pasti segaris keturunan dengan nabi. Dengan berkembangnya waktu, kebanyakkan sayyid di Indonesia di cintai oleh lingkungannya dan juga dicintai oleh murid dan Jemaah-jemaahnya, kemudian dipanggil dengan sebutan al habib. Dimana arti dari al habib itu adalah yang dicintai. Oleh karena itu, akhirnya gelar sayyidnya mulai hilang dan dikenal dengan gelar habib” https://tirto.id/kita-harus-bisa-memilah-antara-sayid-dan-habib-chc8, diakses pada tanggal 17 Nopember pukul 13.58

Di masyarakat Indonesia, gambaran seorang habib diwakili oleh seorang laki laki dengan ciri fisiknya yang berwajah arab, alis tebal, hidung mancung, berjanggut, bersorban dan memakai gamis atau pakaian serba putih. Keberadaan habib di Indonesia memiliki peran yang cukup penting dalam kegiatan keagamaan. Kegiatan keagamaan

(50)

37

tersebut dihadirkan kembali melalui pagelaran acara majelis taklim, majelis dzikir, majelis shalawat dan sebagainya. Kehadiran majelis para habib kini cukup banyak menarik perhatian, sehingga banyak sekali pengikut atau jamaah yang rutin datang untuk mengikuti suatu pengajian atau majelis taklim yang dimilikinya.

B. Majelis Taklim Nurul Qomariyah

1. Profil Pemimpin Majelis Taklim dan Dzikir Nurul Qomariyah

Habib Ali Zainal Abidin bin Hamid Alaydrus atau yang lebih dikenal dengan panggilan Habib Alay Sakraan adalah pimpinan dari Majelis taklim dan dzikir Nurul Qomariyah. Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus dilahirkan pada tanggal 14 Januari 1977 yang juga bertepatan pada tanggal 1 Muharram. Beliau lahir dari orang tua bernama Habib Hamid bin Husen Alaydrus dan Syarifah Qomariyah Alaydrus.

Gambar 2.2 Foto habib Ali Zainal Abidin Alaydrus (sumber Instagram banat_nurulqomariyah)

(51)

38

Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus dibesarkan di Desa Ketapang, Probolinggo, Jawa Timur. Dengan segala pendidikannya yang dimulai dari SD sampai di beberapa tempat pesantren, dari satu pesantren ke pesantren lainnya yang ada yang di Jawa Timur. Pendidikan tersebut ditempuh antara lain di kota Malang, Roudhotul Jannah dan di Pasuruan, Paiton Probolinggo. Dalam pendidikannya beliau memilih pendidikan khusus untuk perkitab-an, yaitu kitab-kitab klasik.

Setelah menyelesaikan dan menempuh segala pendidikan agamanya tersebut di Probolinggo, sekitar tahun 1990 lebih Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus mulai datang ke Jakarta.

2. Sejarah Majelis Taklim dan Dzikir Nurul Qomariyah

Berdasarkan hasil wawancara dengan Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus di Majelis Nurul Qomariyah, pada tanggal 05 Desember 2020, maka diperoleh bagaimana sejarah majelis ini terbentuk. Setelah menyelesaikan segala Pendidikan agamanya di Probolinggo, habib datang ke Jakarta di sekitar tahun 1990-an. Namun pada tahun 2001 habib memutuskan untuk kembali lagi ke kampung halaman.

Kemudian tepat di tahun 2002, ibunda habib yaitu Umi Syarifah Qomariyah meninggal dunia. Di tahun yang sama pula Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus datang kembali ke Jakarta. Mulai dari sini lah habib memulai perjalanan dakwahnya sampai membentuk pengajian dan juga mendirikan suatu majelis.

Gambar

Tabel I.1 Tabel Data Informan  ………………………………………………. 31
Gambar  2.1  Gambar  silsilah  keturunan  Nabi  Muhammad  Saw  yang  datang  ke
Tabel I.1 Data Informan
Gambar 2.1 Silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw yang datang ke  Nusantara
+4

Referensi

Dokumen terkait

Jadi faktor adanya kesulitan belajar dalam materi integral adalah konsentrasi dalam belajar yang terganggu misalnya siswa yang mengantuk atau mengobrol dengan temannya

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang signifikan dari penguasaan kosakata bahasa Inggris siswa kelas lima SDN 5 Teluk Wetan Welahan Jepara

Tujuan dari skripsi ini adalah untuk menganalisis model matematika peran penambahan makanan dalam sistem eko-epidemiologi dengan penyakit pada prey serta memperlihatkan

Metode lain yang digunakan untuk menghitung nilai energi band gap adalah metode Tauc plot yaitu metode penentuan celah optic dengan cara melakukan ekstrapolasi dari

Harga kipas pada awal pembelian adalah 2.010.000,- diperkirakan umur pake mesin ini adalah 10 tahun. Umur pake pabrik selama 15 tahun, dan nilai aset tersebut setelah 10

Penulisan hukum (skripsi) ini membahas tentang dasar pertimbangan pemisahan wewenang pengawasan terhadap lembaga keuangan perbankan antara Bank Indonesia dengan

aspek ini menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan dalam pembelajaran ini tergolong baik, dan menunjukkan adanya kesetujuan untuk menerapkan strategi PAILKEM dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi sifat fisik tanah antara lain persentase fraksi liat, fraksi pasir, kelembaban tanah, dan kandungan karbon organik tanah terhadap laju