1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
‘Al-Insanu hayawanun nathiq’, manusia adalah adalah hewan yang berpikir—begitu yang disebutkan dalam ilmu Mantiq (Ilmu Logika), dimana manusia adalah satu-satunya makhluk di bumi yang mampu menggunakan akal dan pikirannya demi mewujudkan keinginan dan kebutuhannya. Dengan akal dan pikirannya itulah, manusia bisa membentuk budaya hingga peradaban yang terus berkembang tanpa henti.
Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah saling bersosialisasi, berhubungan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan insting bawaan manusia yang paling dasar untuk bertahan hidup. Hidup berkelompok akan mempermudah individu dalam mendapatkan kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa ia dapatkan jika sendirian. Dalam bersosialisasi, manusia melakukan proses komunikasi.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti komunikasi ialah pengiriman serta penerimaan pesan atau berita antar dua orang atau lebih hingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sedangkan menurut Harold D. Lasswell, komunikasi adalah merupakan proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh komunikator melalui media kepada komunikan yang menimbulkan kemudian memberikan efek tertentu. Lasswell menjabarkan terdapat lima elemen saat berlangsungnya proses komunikasi. Yang pertama komunikator/sender/sumber pengirim pesan, kedua pesan/message yang merupakan isi dari pesan yang dikirimkan, ketiga media/channel, keempat komunikan/receiver/sang penerima pesan, dan kelima adalah effect/efek dari pesan yang diterima oleh komunikan yang disampaikan kepada komunikator.
Dalam pengertian komunikasi yang dimaksud, jelas bahwa komunikasi adalah sebuah proses pertukaran pesan yang kemudian akan menimbulkan efek tertentu/feedback yang diberikan oleh komunikan kepada komunikator.
Manusia yang terus menumbuhkan peradaban baru, kemudian tak hanya melakukan komunikasi antarpersonal atau antar kelompok. Manusia mulai bisa berkomunikasi secara lebih luas dan global yang kemudian dapat dirumuskan ke dalam komunikasi massa. Menurut Bittner (Ardianto, dkk. 2007:3), komunikasi massa adalah pesan yang dikirimkan melalui media massa pada sejumlah besar orang. Rakhmat (2008:189) lebih jelas mendefinisikan komunikasi massa sebagai jenis komunikasi yang tujuannya mengarah pada khalayak yang tersebar, anonim dan heterogen melalui media elektronik atau cetak yang pada akhirnya, pesan serupa dapat diterima dalam waktu bersamaan.
Komunikasi massa dapat berupa berita di televisi, siaran di radio, streaming di platform daring, kampanye dan lain sebagainya. Komunikasi massa dilakukan melalui berbagai media yang dapat disebut sebagi media massa. Menurut Habibie dalam jurnalnya yang berjudul Dwi Fungsi Media Massa (2018:79), istilah media massa berkembang saat digunakan untuk menjelaskan komunikasi yang digunakan dalam skala yang lebih besar.
Elvinaro (2007:14-17) menjelaskan lima fungsi media massa antara lain:
1. Pengawasan (surveillance)
Sebagai alat bantu masyarakat dalam mendapatkan peringatan mengenai suatu ancaman.
2. Penafsiran (Interpretation)
Media massa tak hanya memberikan data atau fakta mentah, namun juga menafsirkan dan memberikan respon sementara terhadap suatu isu/ kejadian.
3. Pertalian (Linkage)
Media massa dapat menyatukan anggota masyarakat yang heterogen hingga membentuk sebuah hubungan (linkage/pertalian) yang didasari oleh kepentingan dan minat yang sama tentang sesuatu.
4. Penyebaran Nilai – Nilai (Transmission of Value)
Media massa memperlihatkan kepada masyarakat bagaimana mereka bertindak dan apa yang mereka harapkan. Dengan kata lain, media massa memberikan standar, seakan mewakili masyarakat, tentang bagaimana masyarakat seharusnya berprilaku.
5. Hiburan (Entertainment)
Media massa juga berfungsi sebagai hiburan dengan harapan dapat mengurangi ketegangan pikiran khalayak/komunikannya.
Sedang fungsi komunikasi massa menurutEffendy (2003:54) adalah:
1. Fungsi Informasi
Media massa sebagai penyebar informasi yang ditujukan bagi penonton, , pendengar maupun pembaca.
2. Fungsi Pendidikan
Media massa menjadi sarana pendidikan bagi publik, karena media massa mampu menyajikan hal yang bersifat mendidik. Salah satu caranya dilakukan dengan pengajaran moral, etika, norma, nilai serta aturan yang berlaku di masyarakat kepadanya khalayaknya melalui program/tulisan yang disajikan di media tersebut.
3. Fungsi Memengaruhi
Fungsi memengaruhi nampak secara tersirat terdapat pada artikel, tajuk/editorial, iklan, feature, dan lainnya.
Media massa dapat dikatakan menjadi sebuah role model yang dapat secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi khayalak, bahkan mempengaruhi kebudayaan hingga kepercayaan khalayaknya.
Selain media cetak maupun media elektronik, kemunculan media daring (online) memberikan dampak yang amat besar dalam konteks komunikasi massa serta media massa yang menaunginya. Media baru didefinisikan oleh Lievrouw dan Livingstone dalam McQuail (2011: 43) dengan dihubungkannya antar teknologi komunikasi dan informasi (ICT) dengan konteks sosial yang berhubungan, yang kemudian menyatukan tiga elemen: alat dan artefak teknologi; aktivitas, praktik, dan penggunaan; serta tatanan serta organisasi sosial yang terbentuk di sekeliling alat dan praktik tersebut. McQuail lebih jelas menyatakan bahwa ciri utama dari media baru adalah adanya keterhubungan, interaktivitasnya, aksesnya terhadap khalayak individu sebagai pengirim maupun penerima pesan, adanya fungsi guna yang dan terbuka serta sifatnya yang dapat menjangkau khalayak dengan lebih mudah (2011: 43).
Media daring merupakan salah satu bentuk media baru yang dapat menghubungkan banyak individu yang heterogen dari belahan dunia paling jauh sekalipun secara cepat dan efektif, yang amat mudah digunakan oleh siapapun.
Adanya media daring ini, turut merevolusi bentuk media massa tradisional yang hanya terbatas pada media cetak ataupun elektronik. Media daring yang telah menjamah media massa memunculkan adanya portal daring milik perusahaan media yang sebelumnya hanya berada dalam ranah media cetak atau elektronik.
Tak hanya portal daring, saat ini bahkan mulai bermunculan layanan streaming, podcast dan lain-lain yang disediakan oleh perusahaan media. Cepatnya akses juga merubah karakteristik media massa yang dahulunya lebih mementingkan kredibilitas daripada kecepatan penayangan berita.
Tak jarang, demi mendapatkan banyaknya klik di laman daring mereka, perusahaan media menampilkan judul bombastis yang terkadang tak sesuai dengan isi berita. Berita yang ditayangkan juga kurang mendetail atau kurang seimbang karena karakteristik media daring yang menuntut kecepatan dan aktualitas.
Dalam menayangkan beritanya, media massa memiliki ideologi yang berbeda, bergantung pada setiap perusahaan media, wartawan dan semua orang yang bekerja di balik proses pembuatannya. Menurut Guru Besar FISIP Universitas Sebelas Maret SurakartaProf. Drs. H. Pawito, Ph. D, ideologi media pada dasarnya merupakan nilai pokok yang dibawa oleh media massa melalui pesan-pesan yang disampaikan kepada publik yang dapat berupa paket berita, film, iklan, tayangan sinetron, ataupun reality show (2014).
Ideologi yang dimiliki media itulah yang kemudian menentukan bagaimana mereka (pihak-pihak yang berada di belakang proses berita) mengonstruksi sebuah berita. Berita yang ditampilkan di media bukanlah kejadian ‘mentah’
yang terjadi di lokasi, melainkan sebuah kejadian yang dimaknai dan ditafsirkan sedemikian rupa oleh wartawan/jurnalis yang memproses kejadian tersebut ke dalam suatu berita.
Ideologi media tak lepas juga dari politik yang memengaruhi media yang berada dalam suatu wilayah. Baik politik negara, maupun politik internal
perusahaan medianya. Hal itu dikarenakan, karena media massa dan politik bukanlah badan yang terpisah, namun saling berhubungan. Di atas telah sedikit disinggung bahwa salah satu fungsi media massa adalah sebagai pengawas.
Dalam hal ini, dapat diartikan juga bahwa media memiliki fungsi mengawasi jalannya roda pemerintah, juga memperlihatkan dan mengkomunikasikan tuntutan masyarakat kepada pemerintah. Secara gamblang dapat dikatakan, bahwa media massa adalah jembatan yang menghubungkan masyarakat (infrastruktur) pada penguasa/pemerintah (suprastruktur).
Agama dalam pengertian luas dapat dipahami sebagai sebuah perangkat kepercayaan ataupun keyakinan yang dapat memberi tuntunan atau bimbingan kepada seseorang dalam melakukan tindakan-tindakan tertentu (Muttaqin, 2012). Isu agama merupakan isu sensitif yang apabila diberitakan secara tidak tepat dapat menimbulkan kekacauan masif yang meresahkan. Tak sedikit kerusuhan terjadi akibat miskomunikasi atau pemahaman yang salah terhadap suatu kejadian yang menyangkut isu agama. Media terlepas dari sekian banyak fungsinya, tetaplah merupakan lembaga konvensional yang memang lebih tertarik memberitakan isu sensasional yang menarik khalayak umum.
Isu agama yang ditampilkan oleh media seringkali hanya mempertontonkan sensasionalitas dan kontroversialnya, hampir mengabaikan nilai-nilai yang menjadi masalah utama dari isu tersebut. Ispandriarno (2013: 600) menjelaskan bahwa liputan dengan isu agama mewakili empat kecenderungan:
1. Liputan dengan isu agama secara umum masih berpusat pada institusi keagamaan, perayaan keagamaan dan kegiatan ritual, dan cukup banyak meliput secara konstan peristiwa konflik dengan kekerasan.
2. Karena cenderung berfokus pada peristiwa konflik, liputan agama biasanya penuh dramatisasi dan sensasional.
3. Media sering melakukan pelabelan terhadap kelompok agama atau aliran tertentu.
4. Media jarang memberi tempat pada kelompok-kelompok minoritas.
Fungsi media sebagai sebuah agen informasi ini sangat besar pengaruhnya terhadap berita agama yang disampaikan kepada masyarakat. Apakah
pemberitaannya dapat memberikan mediasi pada dua kubu yang berkonflik, atau justru memperkeruh suasana. Endy Bayuni, seorang pimpinan media di Jakarta, menyatakan bahwa agama dan media sama-sama bergerak mencari kebenaran.
Jika agama mengklaim dirinya telah menemukan kebenaran, media harus melakukan cek dan verifikasi hingga menemukan kebenaran sedekat mungkin.
Kebenaran bagi media bersifat relatif. Sementara kebenaran bagi agama bersifat absolut (Ispandriarno, 2013: 601).
Konflik beragama yang amat sensitif ini sering terjadi di Indonesia yang menganut sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Salah satunya adalah kasus pada tahun 2016 yang menimpa Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok pada bulan September 2016. Dilansir melalui Tirto.id (16/11/2016), dugaan penistaan agama ini bermula saat ia berpidato dihadapan warga dan menyatakan tidak memaksa warga untuk memilih dirinya pada Pilkada 2017 di Kepulauan Seribu pada Selasa, 27 September 2016.
Pernyataannya itu disertai kutipan surat Al Maidah ayat 51 yang kemudian memicu reaksi publik. Akibatnya, Ahok ditetapkan menjadi tersangka dan divonis 2 tahun penjara. Dalam kasus ini, media massa ramai-ramai menayangkan pemberitaannya secara masif.
Melalui penelitian yang dilakukan oleh Silvina Mayasari mengenai konstruksi media terhadap pemberitaan (Ahok) pada surat kabar Kompas dan Republika, terdapat perbedaan cara penyajian antara kedua media massa tersebut. Republika jelas meyakinkan bahwa aksi yang terjadi itu tidak akan mengganggu perekonomian Indonesia dan sebaliknya bisa berdampak baik terhadap dunia investasi di Indonesia, sedangkan Kompas kurang jelas dalam memberitakan apakah aksi damai akan berpengaruh tehadap perekonomian Indonesia (Mayasari, 2017:17). Hal ini sesuai dengan latar belakang kedua media yang memang berbeda, yang sesuai dengan fakta bahwa setiap media memiliki ideologi dan latar belakangnya sendiri, yang kemudian dapat mempengaruhi pemberitaan suatu peristiwa.
Prancis merupakan sebuah negara yang terletak di Eropa Barat dan memiliki sejarah yang panjang akan ideologi sekuler yang dimiliki negaranya. Dalam
sejarah Prancis, gereja memiliki kekuasaan yang besar hingga pihak gereja memiliki prioritas sosial, mendapat hak istimewa serta memiliki keuntungan lebih dalam kepemilikan tanah. Monarki dan gereja mulanya merupakan dua kekuatan yang menguasai Prancis hingga kemudian terjadi revolusi di Prancis yang membuat dua kekuatan itu mulai jatuh. Pada 1972, Republik Prancis berdiri dan kekuasaan monarki berakhir. Jatuhnya monarki tersebut disusul dengan pemisahan gereja dengan negara yang menjadi asal mula ditetapkannya ideologi Laicite, paham sekuler separatisme yang memisahkan antara urusan agama dengan urusan negara serta menjadi landasan bagi negara Prancis untuk menjunjung keberagaman dan kebebasan berekspresi.
Paham Laicite tersebut juga menjadi landasan bagi Majalah Charlie Hebdo, sebuah majalah asal Prancis yang kontroversial akibat menerbitkan karikatur Nabi Muhammad dan menggambarkan nabi sedang mengenakan serban yang menyerupai bom pada tahun 2011. Hingga pada 2015, terjadi penyerangan di kantor majalah tersebut yang menewaskan 11 orang. Penyerangan itu kemudian dikaitkan dengan penerbitan kartun Nabi Muhammad dengan pelakunya yang disinyalir beragama Muslim.
Kemudian pada 16 Oktober 2020, dilansir melalui Liputan6.com (17/10/2020), terjadi pemenggalan seorang guru setelah sebelumnya ia menunjukkan karikatur kontroversial Nabi Muhammad itu di hadapan murid- muridnya. Terkait kasus pemenggalan itu, pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron menjadi perhatian masyakat dunia, khususnya Umat Muslim yang disampaikan di Les Mureaux, Prancis pada tanggal 2 Oktober 2020.
Dilansir dari Voaindonesia.com (30/10/2020), pemerintah Indonesia mengecam pidato Presiden Macron yang dinilai telah menghina nilai agama Islam dengan dalih hak kebebasan berekspresi, seperti membuat karikatur Nabi Muhammad, seharusnya tidak mencederai nilai dan simbol agama manapun.
Tak hanya Indonesia, umat beragama Muslim di seluruh dunia mengecam keras pernyataan Presiden Macron yang dianggap mendiskreditkan agama Islam. Berbagai media massa juga menayangkan berbagai bentuk kecaman yang
ditujukan pada presiden Prancis tersebut, juga bagaimana Presiden Macron berusaha memperbaiki hubungannya dengan umat Muslim dunia.
Berita merupakan suatu tafsiran jurnalis atas suatu peristiwa, dalam kata lain, peristiwa yang dikabarkan melalui media massa adalah peristiwa yang telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh orang-orang yang berada di balik pembuatannya. Analisis framing merupakan salah satu metode analisis media seperti analisis isi dan analisis semiotika. Framing sederhananya adalah pembingkaian suatu peristiwa. Dengan anggapan bahwa media massa memiliki ideologi, analisis framing berusaha meneliti dan membedah cara-cara media saat merekonstruksi fakta atau peristiwa.
Dalam kasus yang menyangkut karikatur Nabi Muhammad tersebut, terdapat dua representasi berita. Pertama, kejadian terorisme yang melanda Prancis dimana pelakunya merupakan seorang Muslim yang diindikasi terkena paham radikalisme. Kejadian terorisme tersebut kemudian secara tidak langsung dikaitkan dengan muslim sebagai pelaku dan penggambaran bahayanya paham radikalisme. Representasi kedua, bahwa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan oleh Charlie Hebdo-lah yang menjadi sumber perkara kasus teror tersebut. Dalam kata lain, Charlie Hebdo yang memiliki paham Laicite tersebut dinyatakan bersalah, karena menodai nilai yang dianut umat muslim. Keduanya memiliki representasi yang berbeda, sehingga sangat mungkin jika media melakukan pembingkaian tertentu dalam menyajikan beritanya.
Melalui analisis framing, penulis ingin mengetahui bagaimana media online Tempo.co dan Republika.co.id membingkai pemberitaan protes Umat Muslim pada Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyangkut karikatur Nabi Muhammad pada bulan Oktober sampai November 2020. Isu apa yang lebih sering ditampilkan dan aspek apa yang lebih ditonjolkan dalam berita yang disajikan kedua media tersebut.
Metode analisis framing berusaha menganalisis atau membedah makna dari teks berita dengan menguraikan cara media membingkai isu. Model analisis framing yang peneliti gunakan menggunakan model Robert N. Entman yang
memandang framing sebagai penempatan informasi dalam cara hingga konteks yang khas hingga isu tertentu lebih ditonjolkan daripada isu yang lain.
Pemilihan portal berita Republika.co.id dan Tempo.co bukan tanpa alasan.
Republika awalnya adalah koran nasional yang diluncurkan untuk kalangan muslim di Indonesia pada tahun 1992 yang didirikan oleh BJ Habibie dan amat dipengaruhi oleh ICMI (Ikatan Cendekia Muslim Indonesia). Pada tahun 17 Agustus 1995, Republika meluncurkan ROL (Republika Online) sebagai media berbasis daring pertama di Indonesia. Pada tahun 2000 Republika masih menjadi corong bagi kepentingan umat Muslim Indonesia hingga kemudian dibeli oleh Erick Tohir dan pengaruh ICMI turut memudar. Dilansir melalui Keller (2009:84), terdapat perubahan karakteristik berita dalam Republika dengan sebelum dan sesudah dibeli oleh Erick Tohir, dimana Erick ‘menginginkan’agar tampilan Republika menjadi lebih moderat dan menghibur. Dalam portal daringnya, Republika.co.id, tertulis visi dan misi Republika yang masih menargetkan pasar ke Muslim Indonesia namun juga berusaha untuk menampilkan berita yang berimbang.
Tempo merupakan media massa berbasis cetak yang berdiri pada 6 Maret 1971. Koran Tempo mulanya terkenal akan isinya yang investigatif dan demokratis. Kepemilikan Tempo mayoritasnya dimiliki oleh yayasan-yayasan dan bahkan staf Tempo dapat menjadi pemegang saham melalui serikat pekerjanya. Tempo merupakan media cetak pertama yang tidak berafiliasi dengan pemerintah dan beberapa kali dibredel saat Orde Baru karena ketajaman kritiknya pada pemerintah. Pada tahun 1996 Tempo mendirikan media berbasis daring yang dinamai Tempointeraktif. Terdapat perbedaan gaya pemberitaan dimana sebelumnya kata metafor digunakan untuk mengajukan kritik, pemberitaan Tempointeraktif berubah dengan nada argumentatif dengan gaya laporan yang tetap investigatif serta analitis. Kemudian pada tahun 2008 namanya berubah menjadi Tempo.co.
Republika.co.id dan Tempo.co dipilih karena keduanya memiliki visi yang berbeda dimana Republika.co.id mengklaim dirinya sebagai berita yang ditujukan untuk kalangan Muslim Indonesia dan dengan mayoritas saham
perusahannya yang dimiliki satu orang. Sedangkan Tempo.co merupakan media yang memiliki visi nasionalis, yang berusaha menyajikan keragaman serta kebebasan berpendapat melalui beritanya. Selain itu, saham Tempo tersebar dengan mayoritas sahamnya dimiliki masyarakat.
B. Identifikasi Masalah 1. Batasan Masalah
a. Pemberitaan protes terhadap Presiden Prancis Macron terkait karikatur Nabi Muhammad dan pemberitaan kasus terorisme di Prancis pada Oktober hingga November 2020
b. Media massa yang diteliti adalah media daring Republika.co.id dan Tempo.co
c. Menggunakan analisis framing dengan model Framing Robert N. Entman yang melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu (Eriyanto, 2002:
221). Terdapat empat elemen dalam model framing ini yaitu define problems (Pendefinisian masalah), diagnose causes (Memperkirakan penyebab masalah), make moral judgement (Membuat pilihan moral) dan treatment recommendation (Menekankan penyelesaian).
d. Wacana yang dikaji hanya sebatas teks berita, judul, headline, isi/badan, maupun penutup berita.
2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagaimana berikut:
1. Bagaimana media daring Tempo.co dan Republika.co.id membingkai pemberitaan protes Umat Muslim pada Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyangkut karikatur Nabi Muhammad pada bulan Oktober- November 2020?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagaimana berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana Liputan6.com dan Republika.co.id mengkonstruksi pemberitaan protes Umat Muslim pada Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyangkut karikatur Nabi Muhammad pada bulan Oktober-November 2020.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang Ilmu Komunikasi terutama dalam kajian mengenai Teknik Analisis Framing berita, serta menjadi sarana pembelajaran, perluasan hingga pengembangan Ilmu Komunikasi. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, maupun masukan untuk penelitian terhadap masalah yang serupa di masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi maupun edukasi kepada khalayak penerima pesan media massa, baik melalui media cetak maupun elektronik, terutama bagi praktisi jurnalis terkait berbagai macam konstruksi realita yang dapat dibentuk oleh media daring dalam sebuah berita.