BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Matematika acapkali dikategorikan sebagai mata pelajaran yang susah untuk dipahami dan cenderung membosankan. Asumsi ini muncul dari siswa
dikarenakan kesulitan yang mereka hadapi untuk menguasai materi matematika, terutama kelemahan mereka dalam penguasaan konsep
matematika itu sendiri.
Kelemahan konsep ini terlihat ketika mereka menemukan kesulitan pada saat diberikan soal-soal sebagai latihan. Siswa berada pada tahapan meniru,
mengerjakan soal yang memiliki kesamaan dengan contoh yang diberikan. Matematika sebagai salah satu cabang ilmu yang dinilai dapat memberikan kontribusi positif dalam memacu ilmu pengetahuan dan teknologi selain itu juga matematika mempunyai peranan yang sangat esensial untuk ilmu lain, utamanya sains dan teknologi. Sehingga matematika menjadi sangat penting dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, para siswa dituntut untuk menguasai matematika.
Kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini sejalan dengan banyaknya usaha yang dilakukan oleh Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan matematika disekolah namun belum menampakkan hasil yang memuaskan, baik ditinjau dari proses pembelajarannya maupun dari prestasi belajar siswanya.
Peningkatan kualitas pendidikan, khususnya pada sekolah dasar harus
dilaksanakan secara terpadu, sistematis dan berkesinambungan. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah berupaya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan melalui kegiatan-kegiatan peningkatan kualitas guru maupun melalui pelatihan-pelatihan maupun melalui peningkatan prestasi belajar siswa melalui peningkatan standar minimal
nilai ujian nasional untuk kelulusan.
Hal yang sangat mencolok adalah prestasi belajar untuk mata
pelajaran Matematika masih jauh dari harapan. Hal ini juga dapat dilihat dari prestasi siswa dalam ajang Olimpiade Matematika Internasional (IMO), dimana Indonesia pertama kali mengirimkan siswa-siswa terbaiknya ke
Canberra, Australia pada tahun 1988 dan dilanjutkan hingga tahun 2005 hanya mendapat 1 perak, 10 perunggu dan 16 Honorable Mentions. Michael
O. Martin dan Ina VS dalam makalahnya tanggal 12 Mei 2006 yang berjudul Indonesia di TIMSS 2003 mengatakan bahwa prestasi matematika TIMSS 2003 Indonesia masih rendah. Hal ini merupakan suatu indikasi
bahwa tingkat pemahaman matematika siswa Indonesia masih rendah. Tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih dipengaruhi oleh
pengalaman siswa itu sendiri. Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui proses. Sebab mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk
(Bruner:1977). Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri
Proses pembelajaran dapat diikuti dengan baik dan menarik perhatian
siswa apabila menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa dan sesuai dengan materi pembelajaran.
Belajar matematika berkaitan dengan belajar konsep-konsep abstrak, dan siswa merupakan makhluk psikologis, maka pembelajaran matematika harus didasarkan atas karakteristik matematika dan siswa itu sendiri. Menurut
Fruedenthal, ...mathematics as human activity. Education should given students the “guided” opportunity to “re-invent” mathematics by doing it. Ini sesuai dengan pilar-pilar belajar yang ada dalam kurikulum pendidikan kita, salah satu pilar belajar adalah belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajarannya yang aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan (lampiran Permendiknas no. 22 tahun 2006). Untuk itu, dalam pembelajaran matematika harus mampu mengaktifkan
siswa selama proses pembelajaran dan mengurangi kecenderungan guru untuk mendominasi proses pembelajaran tersebut. Sehingga ada perbahan dalam hal pembelajaran matematika yaitu pembelajaran yang berpusat pada
guru sudah sewajarnya diubah menjadi berpusat pada siswa.
Untuk melakukan itu perlu disusun model pembelajaran dan dicarikan
alternatif yang dapat memperbaiki pembelajaran matematika tersebut. Salah satu alternatif yakni model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. Karena model ini selain dapat mengembangkan kemampuan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka peneliti mencoba
mengadakan penelitian dalam bentuk penelitian tindakan kelas. Yaitu suatu bentuk penelitian yang dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah
yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola pelaksanaan kegiatan belajar mengajar (KBM) dalam arti luas.
Dari uraian di atas perlu kiranya diteliti lebih lanjut, apakah model
pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing dapat meningkatkan penalaran siswa dalam memecahkan masalah matematika. Karena itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing pada Siswa Kelas V Semester Ganjil SDN Ngumbul III Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan Tahun Pelajaran 2011/2012”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang uraian di atas, maka diperoleh rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing
dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V semester ganjil SDN Ngumbul III ?
2. Apakah model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan hasil belajar Matematika siswa kelas V Semester Ganjil
melalui model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing. 2. Meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran Matematika dalam
menemukan rumus luas trapesium pada siswa kelas V Semester Ganjil
SDN Ngumbul III.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat bagi guru :
a. Dengan melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) guru
dapat menambah strategi maupun metode denegan model pembelajaran yang sesuai dengan masalah yang dihadapi di
kelas.
b. Menambah wawasan guru dalam merumuskan model pembelajaran dan media pembelajaran.
c. Mengembangkan pembentukan atmosfer kelas yang lebih nyaman dan pembelajaran tidak menjenuhkan.
d. Meningkatkan profesionalisme guru.
2. Manfaat bagi siswa :
a. Dengan memusatkan pembelajaran pada siswa akan menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan diharapkan dapat
b. Diharapkan dapat menumbuhkn kreatifitas dan meningkatkan
hasil belajar siswa.
c. Melatih kemampuan berpikir siswa.
d. Melatih siswa bekerjasama dalam sebuah kelompok.
e. Meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga ketuntasan hasil belajar tercapai.
3. Manfaat bagi sekolah :
- Hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik pada sekolah dalam rangka perbaikan pembelajaran.
- Dengan adanya kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP BELAJAR DAN MODEL PEMBELAJARAN
Konsep belajar merupakan kegiatan yang paling penting dalam proses pendidikan di sekolah, ini berarti bahwa berhasil tidaknya pencapaian tujuan
pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses belajar yang dialami murid sebagai anak didik. Maka kegiatan belajar itu cenderung diketahui sebagai suatu proses psikologi, terjadi di dalam diri seseorang. Oleh karena
itu sulit diketahui dengan pasti bagaimana terjadinya. Karena prosesnya begitu komplek, maka timbul beberapa teori tentang belajar. Dalam ini
Sardiman (2003: 30) antara lain : teori ilmu jiwa daya, ilmu jiwa gestalt, ilmu jiwa asosiasi dan konstruktivisme.
Teori belajar menurut ilmu jiwa daya : jiwa manusia itu terdiri dari
bermacam-macam daya, dan masing-masing daya dapat dilatih untuk memenuhi fungsinya. Untuk melatih suatu daya dapat dipergunakan dengan
berbagai cara. Sebagai contoh untuk melatih daya ingat dalam belajar misalnya dengan menghafal, sehingga ada yang berpendapat bahwa belajar merupakan suatu kegiatan menghafal beberapa fakta. Guru yang
berpendapat demikian akan merasa puas apabila muridnya sanggup menghafal sejumlah fakta di luar kepala. Demikian juga untuk daya-daya
yang lain. Dalam hal ini yang penting bukan penguasaan bahan atau materinya, melainkan hasil dari pembentukan dari daya-daya itu.
Teori belajar menurut ilmu jiwa gestalt menyatakan bahwa kegiatan
belajar bermula pada suatu pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh. Tokoh yang merumuskan, penerapan dari kegiatan
pengamatan ke kegiatan belajar adalah Koffa. Terkait dengan belajar, Koffa berpendapat bahwa hukum-hukum organisasi dalam pengamatan itu dapat diterapkan dalam kegiatan belajar. Dalam kegiatan pengamatan keterlibatan
semua panca indera sangat diperlukan dan mudah atau sukarnya suatu pemecahan masalah tergantung pada pengamatan. Menurut aliran teori
belajar ini, seorang belajar jika mendapatkan insight. Insight ini diperoleh apabila seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya insight itu tergantung : kesanggupan,
pengalaman, latihan dan trial and error (Sardiman, 2003 : 31). Sehingga ada juga yang berpendapat bahwa belajar adalah latihan, dan hasil belajar akan
nampak dalam ketrampilan-ketrampilan tertentu. Misalnua agar siswa mahir dalam berhitung harus dilatih mengerjakan soal-soal berhitung.
Teori belajar yang lain yakni teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi.
Ada dua teori yang sangat terkenal yaitu teori konektionisme dari Thorndike dan teori Conditioning dari Pavlov. Menurut Thorndike dasar dari belajar itu
adalah asosiasi antara kesan panca indera (sense impression) dengan impuls untuk bertindak (impuls to action), dengan kata lain belajar adalah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, antara aksi dan reaksi.
Mengenai hubungan stimulus dan respons tersebut, Thorndike mengemukakan beberapa prinsip diantaranya bahwa hubungan stimulus
dan sebaliknya (law of effect) oleh karena itu adanya usaha membesarkan
hati dan memuji sangat diperlukan, hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat apabila sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap
jika tidak pernah digunakan (law of exercise atau law of use and disuse) oleh karena itu perlu banyak latihan, dan kadang respon yang tepat tidak segera nampak sehingga harus berulang kali mengadakan
percobaan-percobaan sampai respon itu muncul dengan tepat (law of multiple respone) sehingga dalam belajar sering disebutnya trial and error.
Teori belajar menurut teori konstruktivisme, yang merupakan salah satu filsafat pengetahuan, menekankan bahwa pengetahuan kita itu adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Menurut pandangan teori
kontrukstivisme, belajar merupakan proses aktif dari subyek belajar untuk merekonstruksi makna sesuatu, entah itu teks, kegiatan dialog, pengalaman
fisik dan lain-lain, sehingga belajar merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajarinya dengan pengertian yang sudah dimiliki, dengan demikian pengertiannya menjadi
berkembang. Sehubungan dengan itu ada beberapa ciri atau prinsip dalam belajar (Paul Suparno, 1997), yaitu :
1. Belajar berarti mencari makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami.
2. Kontruksi makna adalah proses yang terus menerus.
4. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subyek belajar dengan
dunia fisik dan lingkungannya.
5. Hasil belajar tergantung pada apa yang telah diketahui si subyek
belajar, tujuan, motivasi mempengaruhi proses interaksi dengan bahan yang sedang dipelajari.
Jadi menurut teori konstruktivisme, belajar adalah kegiatan yang
aktif di mana siswa membangun sendiri pengetahuannya dan mencari sendiri makna dari sesuatu yang mereka pelajari.
Dari teori-teori belajar di atas dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses perubahan perilaku sebagai hasil pengalaman individu pelaku proses pembelajaran saat berinteraksi dengan
lingkungannya yang dilakukan secara sadar. Ini berarti pembelajaran merupakan upaya membuat seseorang belajar tentang sesuatu hal.
Sedangkan proses pembelajaran di sini merupakan titik pertemuan antara berbagai input pembelajaran, mulai dari faktor utama, yaitu: siswa, guru, dan materi pelajaran yang membentuk proses, hingga faktor pendukung
seperti sarana, sumber belajar, lingkungan dan sebagainya. Dalam rangka membelajarkan siswa banyak pakar pendidikan telah mengembangkan
berbagai model pembelajaran dengan harapan akan dapat lebih meningkatkan mutu proses dan hasil belajar.
Yang dimaksud model menurut kamus W.J.S. Poerwadarminta adalah
sesuatu yang patut ditiru, sedangkan arti lainnya adalah pola atau contoh. Istilah model pembelajaran amat dekat dengan pengertian strategi
ada beberapa pengertian dari strategi yaitu : (1) ilmu dan seni menggunakan
semua sumber daya bangsa untuk melaksanakan kebijakan tertentu dalam perang dan damai, (2) rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk
mencapai sasaran khusus, sedangkan metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki. Soedjadi (1999: 101) strategi pembelajaran adalah suatu
siasat melakukan kegiatan pembelajaran yang bertujuan mengubah satu keadaan pembelajaran kini menjadi keadaan pembelajaran yang diharapkan.
Untuk mengubah keadaan itu dapat ditempuh dengan berbagai pendekatan pembelajaran. Lebih lanjut Soedjadi menyebutkan bahwa dalam satu pendekatan dapat dilakukan lebih dari satu metode dan dalam satu metode
dapat digunakan lebih dari satu teknik. Sehingga istilah model pembelajaran berbeda dengan strategi pembelajaran, metode pembelajaran
dan prinsip pembelajaran.
Konsep model pembelajaran untuk pertama kalinya dikembangkan oleh Bruce dan koleganya (Bruce Joyce et al., 1992). Terdapat beberapa
pendekatan pembelajaran yang dikembangkan oleh Bruce Joyce dan Marsha Weil. Dalam penjelasan dan pencatatan tiap-tiap pendekatan dikembangkan
suatu sistem penganalisisan dari sudut dasar teorinya, tujuan pendidikan, dan perilaku guru dan siswa yang diperlukan untuk melaksanakan pendekatan itu agar berhasil. Dengan demikian model pembelajaran adalah
pola komprehensif yang patut dicontoh, menyangkut bentuk utuh pembelajaran, meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
terhadap pembelajaran dari sudut tertentu untuk memudahkan
pemahaman terhadap pembelajaran yang selanjutnya diikuti perlakuan pada pembelajaran tersebut.
B. OBYEK PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Karakteristik Matematika memiliki ciri-ciri penting, yaitu obyek yang abstrak, pola pikir dedukatif, dan konsisten. Obyek Matematika dapat digolongkan menjadi empat jenis yaitu fakta, konsep, prinsip dan operasi (skill).
Fakta dalam Matematika adalah sembarang semufakatan dalam Matematika seperti istilah-istilah (nama), notasi (lambang) dan semufakatan/ konfensi lain.
Konsep dalam Matematika adalah pengertian (ide) abstrak yang memungkinkan seseorang menggolong-golongkan obyek atau kejadian. Sebagai contoh misalnya bilangan prima, pemetaan, segitiga dan lain-lain.
Sedangkan prinsip dalam Matematika adalah rangkaian konsep-konsep beserta hubungannya dan umumnya prinsip berupa pernyataan. Contoh dua segitiga kongruen, jika dua sisinya sama panjang dan sepasang sudut yang diapit kedua sisi itu sama besar.
Sementara itu skill (operasi/prosedur) dalam Matematika adalah pengerjaan dan langkah-langkah kerjasama dalam Matematika.
1. Jenis Pengenalan
Ini digunakan untuk mempelajari fakta. Siswa dikatakan telah berhasil belajar fakta, bila ia mengenal fakta itu dan dapat membacanya, menuliskannya serta mengartikannya, teknik pembelajarannya adalah pengenalan baik, melalui penjelasan maupun peragaan.
2. Jenis Pemahaman
Ini digunakan untuk memahami suatu konsep. Siswa dikatakan berhasil belajar konsep bila ia dapat memberi contoh sebuah konsep dan akhirnya menguraikan atau mendefinisikan ciri-ciri penting dari konsep itu. Teknik pembelajarannya adalah membangun pemahaman melalui program, pertanyaan, penjelasan sehingga siswa menangkap ide/pengertian dari contoh-contoh yang disajikan. Proses belajar tersebut adalah abstraksi yaitu proses melenyapkan hal-hal yang kongkrit, hanya menangkap ciri-ciri pentingnya sehingga obyek tersebut menjadi abstrak.
3. Jenis Penalaran
4. Jenis Pelatihan
Ini digunakan melancarkan skill, menambah pemahaman dan membentuk ketrampilan. Siswa dikatakan berhasil belajar skill, bila ia lancar dan tepat dalam menggunakan prosedur pengerjaan Matematika. Teknik pembelajarannya adalah drill/penugasan atau kerja praktik. Dengan mengenal obyek dan bentuk pembelajaran yang sesuai dengan obyeknya tersebut maka diharapkan siswa akan termotivasi untuk menyenangi Matematika sehingga hasil belajar mereka meningkat.
C. MODEL PENEMUAN TERBIMBIMG
Sebelum membahas Model Penemuan Terbimbing, ada baiknya terlebih
dahulu kita tinjau sejenak Model Penemuan Murni. Dalam Model Penemuan Murni, yang oleh Maier (1995: 8) disebutnya sebagai
“heuristik“, apa yang hendak ditemukan, jalan atau proses semata-mata ditentukan oleh siswa itu sendiri. Menurut Jerome Bruner (Cooney, Davis:1975,138), penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam
mendekati permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu. Proses penemuan dapat menjadi kemampuan umum melalui latihan
pemecahan masalah dan praktek membentuk dan menguji hipotesis. Di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan, dimana seorang siswa dihadapkan dengan suatu masalah atau
situasi yang tampaknya ganjil sehingga siswa dapat mencari jalan pemecahan. Dalam kegiatan pembelajarannya siswa diarahkan untuk menemukan
Kadang-kadang model penemuan ini memerlukan waktu lebih lama untuk
seluruh kelas atau kelompok kecil siswa dalam menemukan suatu obyek matematika dari pada menyajikan obyek tersebut kepada mereka.
Metode Penemuan Murni ini kurang tepat karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. Hal ini terkait erat dengan karakteristik pelajaran
matematika yang lebih merupakan deductive reasoning dalam perumusannya. Di samping itu, penemuan tanpa bimbingan dapat memakan waktu
berhari-hari dalam pelaksanaannya atau bahkan siswa tidak berbuat apa-apa karena tidak tahu, begitu pula jalannya penemuan. Jelas bahwa model penemuan ini kurang tepat untuk siswa sekolah dasar maupun lanjutan apabila tidak dengan
bimbingan guru, karena materi matematika yang ada dalam kurikulum tidak banyak yang dapat dipelajari karena kekurangan waktu bahkan siswa
cenderung tergesa-gesa menarik kesimpulan dan tidak semua siswa dapat menemukan sendiri. Mengingat hal tersebut timbul metoda pembelajaran dengan penemuan yang dipandu oleh guru
Metode penemuan yang dipandu oleh guru ini pertama dikenalkan oleh Plato dalam suatu dialog antara Socrates dan seorang anak, maka sering
disebut juga dengan metoda Socratic (Cooney, Davis:1975, 136). Metode ini melibatkan suatu dialog/interaksi antara siswa dan guru di mana siswa mencari kesimpulan yang diinginkan melalui suatu urutan pertanyaan yang
diatur oleh guru. Salah satu buku yang pertama menggunakan teknik penemuan terbimbing adalah tentang aritmetika oleh Warren Colburn
Inductive Method of Instruction, diterbitkan pada tahun 1821, yang isinya menekankan penggunaan suatu urutan pertanyaan dalam mengembangkan konsep dan prinsip matematika. Ini menirukan metode Socratic di mana
Socrates dengan pertolongan pertanyaan yang ia tanyakan dimungkinkan siswa untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Interaksi dalam metode ini menekankan pada adanya interaksi dalam
kegiatan belajar mengajar. Interaksi tersebut dapat juga terjadi antara siswa dengan siswa (S – S), siswa dengan bahan ajar (S – B), siswa dengan guru
(S-G), siswa dengan bahan ajar dan siswa (S – B – S) dan siswa dengan bahan ajar dan guru (S – B – G).
Interaksi dapat pula dilakukan antara siswa baik dalam
kelompok-kelompok kecil maupun kelompok-kelompok besar (kelas). Dalam melakukan aktivitas atau penemuan dalam kelompok-kelompok kecil, siswa berinteraksi satu
dengan yang lain. Interaksi ini dapat berupa saling sharing atau siswa yang lemah bertanya dan dijelaskan oleh siswa yang lebih pandai. Kondisi semacam ini selain akan berpengaruh pada penguasaan siswa terhadap
materi matematika, juga akan dapat meningkatkan social skills siswa, sehingga interaksi merupakan aspek penting dalam pembelajaran matematika.
Menurut Burscheid dan Struve (Voigt, 1996:23), belajar konsep-konsep teoritis di sekolah, tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu adanya social
Interaksi dapat terjadi antar guru dengan siswa tertentu, dengan beberapa
siswa, atau serentak dengan semua siswa dalam kelas. Tujuannya untuk saling mempengaruhi berpikir masing-masing, guru memancing berpikir siswa yaitu
dengan pertanyaan-pertanyaan terfokus sehingga dapat memungkinkan siswa untuk memahami dan mengkontruksikan konsep-konsep tertentu, membangun aturan-aturan dan belajar menemukan sesuatu untuk
memecahkan masalah.
Di dalam model penemuan ini, guru dapat menggunakan strategi
penemuan yaitu secara induktif, deduktif atau keduanya.
1. Strategi Penemuan Induktif
Sebuah argumen induktif meliputi dua komponen, yang pertama
terdiri dari pernyataan/fakta yang mengakui untuk mendukung kesimpulan dan yang kedua bagian dari argumentasi itu (Cooney dan
Davis, 1975: 143). Kesimpulan dari suatu argumentasi induktif tidak perlu mengikuti fakta yang mendukungnya. Fakta mungkin membuat lebih dipercaya, tergantung sifatnya, tetapi itu tidak bisa membuktikan
dalil untuk mendukung. Sebagai contoh, fakta bahwa 3, 5, 7, 11, dan 13 adalah semuanya bilangan prima dan masuk akal secara umum kita buat
kesimpulan bahwa semua bilangan prima adalah ganjil tetapi hal itu sama sekali “tidak membuktikan“. Guru beresiko di dalam suatu argumentasi induktif bahwa kejadian semacam itu sering terjadi. Karenanya, suatu
kesimpulan yang dicapai oleh induksi harus berhati-hati karena hal seperti itu nampak layak dan hampir bisa dipastikan atau mungkin
kesimpulan dari yang diuji ke tidak diuji. Bukti yang diuji terdiri dari
kejadian atau contoh pokok- pokok.
2. Strategi Penemuan Deduktif
Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu pernyataan diperoleh sebagai akibat logis kebenaran sebelumnya, sehingga kaitan antar pernyataan dalam matematika bersifat konsisten.
Berarti dengan strategi penemuan deduktif, kepada siswa dijelaskan konsep dan prinsip materi tertentu untuk mendukung perolehan
pengetahuan matematika yang tidak dikenalnya dan guru cenderung untuk menanyakan suatu urutan pertanyaan untuk mengarahkan pemikiran siswa ke arah penarikan kesimpulan yang menjadi tujuan dar
pembelajaran. Sebagai contoh dialog berikut sedang memecahkan masalah sistem persamaan dengan menggunakan determinan koefisien
dari dua garis yang sejajar dengan penemuan deduktif di mana guru menggunakan pertanyaan untuk memandu siswa ke arah penarikan kesimpulan tertentu
Metode ini tepat digunakan apabila (Martinis Yamin, 2004: 78) : a. Siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang
berhubungan dengan pokok bahasan yang akan diajarkan
b. Yang akan diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap, pemecahan dan pengambilan keputusan
c. guru mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan pertanyaan, terampil mengulang pertanyaan dan sabar
Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep
matematika. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman suatu konsep dapat diawali secara induktif melalui peristiwa nyata atau
intuisi. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan
secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari
matematika
Dengan penjelasan di atas metode penemuan yang dipandu oleh guru ini kemudian dikembangkan dalam suatu model pembelajaran yang
sering disebut model pembelajaran dengan penemuan terbimbing. Pembelajaran dengan model ini dapat diselenggarakan secara individu
atau kelompok. Model ini sangat bermanfaat untuk mata pelajaran matematika sesuai dengan karakteristik matematika tersebut. Guru membimbing siswa jika diperlukan dan siswa didorong untuk berpikir
sendiri sehingga dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru dan sampai seberapa jauh siswa dibimbing
tergantung pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari. Dengan model penemuan terbimbing ini siswa dihadapkan kepada situasi dimana siswa bebas menyelidiki dan menarik kesimpulan.
mempergunakan ide, konsep dan ketrampilan yang sudah mereka pelajari
untuk menemukan pengetahuan yang baru.
Dalam model pembelajaran dengan penemuan terbimbing, peran
siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Guru memulai kegiatan belajar mengajar dengan menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan siswa dan mengorganisir
kelas untuk kegiatan seperti pemecahan masalah, investigasi atau aktivitas lainnya. Pemecahan masalah merupakan suatu tahap yang
penting dan menentukan. Ini dapat dilakukan secara individu maupun kelompok. Dengan membiasakan siswa dalam kegiatan pemecahan masalah dapat diharapkan akan meningkatkan kemampuan siswa dalam
mengerjakan soal matematika, karena siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat manipulasi, eksperimen, dan menyelesaikan
masalah.
3. Langkah–langkah dalam Penemuan Terbimbing
Agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini berjalan dengan
efektif, beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh guru matematika adalah sebagai berikut.
a. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya, perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang ditempuh siswa tidak
salah.
b. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses,
bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang diperlukan saja.
Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
c. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
d. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat siswa tersebut
diatas diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah
yang hendak dicapai.
e. Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga
kepada siswa untuk menyusunya. Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran konjektur.
f. Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
Memperhatikan Model Penemuan Terbimbing tersebut diatas dapat disampaikan kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Kelebihan dari
Model Penemuan Terbimbing adalah sebagai berikut:
a. Siswa dapat berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang disajikan. b. Menumbuhkan sekaligus menanamkan sikap inquiry
(mencari-temukan)
e. Memberikan wahana interaksi antar siswa, maupun siswa dengan
guru, dengan demikian siswa juga terlatih untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
f. Materi yang dipelajari dapat mencapai tingkat kemampuan yang tinggi dan lebih lama membekas karena siswa dilibatkan dalam proses menemukanya (Marzano, 1992)
Sementara itu kekurangannya adalah sebagai berikut : a. Untuk materi tertentu, waktu yang tersita lebih lama.
b. Tidak semua siswa dapat mengikuti pelajaran dengan cara ini. Di lapangan, beberapa siswa masih terbiasa dan mudah mengerti dengan model ceramah.
c. Tidak semua topik cocok disampaikan dengan model ini. Umumnya topik-topik yang berhubungan dengan prinsip dapat dikembangkan
BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN
A. SETTING PENELITIAN
Kegiatan penelitian tindakan kelas ini kami laksanakan di SDN Ngumbul III terletak di Dusun Ngagik, Desa Ngumbul Kecamatan Tulakan Kabupaten Pacitan. SDN Ngumbul III merupakan SD yang terletak di kawasan pedesaan. Kurang lebih 15 km sebelah timur dari kota kecamatan.
Keadaan sosial ekonomi rata-rata orang tua siswa adalah menengah ke bawah. Secara geografis letak SDN Ngumbul III terletak pada jalur ekonomi masyarakat sekitar sekolah. Jalan yang melewati sekolah merupakan jalan utama untuk menuju Pasar Desa Ngumbul. Umumnya orang tua murid bekerja sebagai petani dan buruh tani. Sebagian bekerja sebagai pedagang dan tukang kayu.
Tempat tinggal siswa berasal dari sekitar sekolah yang letaknya sedikit terpelosok dari jalan raya. Mereka pergi ke sekolah dengan berjalan kaki.
Fasilitas yang dimiliki SDN Ngumbul III cukup memadai untuk ukuran sekolah di desa. SDN Ngumbul III sudah memiliki ruang perpustakaan dengan koleksi buku yang lumayan banyak untuk menunjang kegiatan belajar mengajar di sekolah. Keadaan pergedungan di SDN Ngumbul III juga sudah memadai, kondisi masih baru, ruang kelas yang cukup luas dan nyaman. Suasana sekitar sekolah juga sangat tenteram dan tidak bising.
Staf pengajar di SDN Ngumbul III juga cukup, 90 persen tenaga pengajarnya berijazah sarjana yang relevan di bidangnya.
B. SUBYEK PENELITIAN
Subyek yang diteliti adalah siswa kelas V SDN Ngumbul III Semester I tahun pelajaran 2011/2012 yang berjumlah 13 siswa terdiri dari 8 orang siswa laki-laki dan 5 orang siswa perempuan. Secara umum kemampuan rata-rata siswa adalah sedang. Prestasi belajar matematika juga masih rendah.
Mata pelajaran dalam penelitian ini adalah Matematika dengan pokok bahasan Menghitung luas trapesium.
C. WAKTU PENELITIAN
Pelaksanaan perbaikan pembelajaran dilaksanakan
dikelas V semester I Sekolah Dasar Negeri Ngumbul III
1 Selasa,18 Oktober2011 V Matematika I Jam ke 1-2
2 Sabtu, 22 Oktober2011 V Matematika II Jam ke 1-2
D. PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN
hubungan bagian-bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses.
Sedangkan jenis penelitiannya adalah tindakan kelas kolaboratif, karena dalam penelitian ini ada tindakan pembelajaran di dalam kelas yang bekerja sama guru dengan peneliti.
E. DATA DAN SUMBER DATA
Data penelitian ini diperoleh dari hasil tes, wawancara, hasil catatan lapangan, sehingga data yang terkumpul berupa: (1) jawaban tertulis dari tes siswa, (2) kumpulan kata atau pernyataan verbal dari siswa saat wawancara, (3) hasil catatan lapangan dari tim peneliti selama proses penelitian.
Kegiatan awal dari penelitian ini adalah mengadakan tes awal (pretest) yang diikuti oleh 13 siswa kelas V SDN Ngumbul III, yang bertujuan untuk mengetahui penyebab kesalahan siswa dalam menghitung luas trapesium Setelah mempelajari hasil tes awal dari semua siswa, diketahui ada lebih dari 5 siswa yang melakukan banyak kesalahan dalam mengerjakan tes, sementara siswa lainnya dapat mengerjakan tes meskipun belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
F. TAHAP-TAHAP PENELITIAN
Tahap tindakan pada penelitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus yang masing-masing siklus meliputi 4 kegiatan yaitu perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan tindakan dan refleksi. Siklus 1 merupakan tindakan 1 yaitu mengingatkan tentang bangun datar dan memperkenalkan kepada siswa tentang bangun datar trapesium. Guru memberikan contoh permasalahan sehari-hari yang terjadi di sekitar siswa untuk dipecahkan bersama melalui kegiatan diskusi dengan kelompoknya.
Siklus 2 merupakan tindakan 2 yang merupakan perbaikan dari siklus 1. Guru memberikan lembar kerja perbaikan untuk memperbaiki kekurangan dalam siklus 1.
Pada siklus 2 kegiatan berulang karena hasil belajar yang dicapai subyek dalam pembelajaran masih belum mencapai ketentuan yang ditetapkan.
G. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui: 1) Refleksi awal, 2) penilaian unjuk kerja, 3) tes akhir dan 4) wawancara.
Refleksi awal awal bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang tentang hasil belajar siswa sebelum dilakukan penelitian. Refleksi awal dilakukan dengan melihat hasil ulangan harian sebelumnya.
2. Penilaian unjuk kerja
Penilaian unjuk kerja dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa melakukan tugas-tugas tertentu yang diberikan, yakni kreatifitas, kerjasama, keaktifan dan keberanian siswa.
3. Tes setelah pembelajaran
Tes ini jawabannya berbentuk uraian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang subyek setelah memperoleh pembelajaran tindakan. Hasil dari tes ini, terutama kesalahan-kesalahan dari siswa dapat digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan wawancara, untuk menentukan pembelajaran berikutnya.
4. Wawancara
Bertujuan untuk memperoleh data yang jelas tentang kesalahan-kesalahan siswa dalam mengerjakan soal. Wawancara ini juga bermanfaat untuk mengetahui perasaan dan kemajuan siswa saat pembelajaran.
H. ANALISIS DATA
prestasi belajar yang dicapai siswa juga untuk memperoleh respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran serta aktifitas siswa selama proses pembelajaran.
I. INDIKATOR KINERJA
Kriteria keberhasilan penelitian mencerminkan efektifitas penerapan metode dan strategi pembelajaran yang ditandai dengan adanya peningkatan kwalitas siswa yang dapat diamati berdasarkan kreteria sebagi berikut : 1. Peningkatan nilai tes hasil belajar.
2. Bertambahnya kegairahan dan keseriusan siswa dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Peningkatan kesenangan dan partisipasi siswa dapat diamati dari minat siswa.
Standarisasi Keberhasilan tindakan, penulis tentukan sebagai berikut:
(1) Jika prosentase siswa yang tidak mengalami peningkatan hasil belajar sebesar > 26,31%, dan nilai rata-rata kelas kurang dari 70 , maka perlu dilakukan perbaikan perencanaan untuk diulang pada siklus ke II.
SIKLUS I Observasi
Refleksi
Rencana tindakan
Pelaksanaan tindakan
Observasi
Refleksi
Rencana tindakan
Pelaksanaan tindakan SIKLUS II
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus I dilaksanakan pada hari Selasa, 18 Oktober 2011, dan Siklus II pada pada hari Sabtu, 22 Oktober 2011. Materi yang dibahas adalah menemukan rumus luas trapesium.
Tahapan tindakan yang diterapkan oleh peneliti selalu mengacu pada langkah-langkah penting dalam PTK yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observating) dan refleksi (reflecting). Langkah-langkah tersebut dilakukan pada setiap siklus.
Siklus Pelaksanaan Tindakan Kelas
A. REFLEKSI AWAL
Refleksi awal dilakukan dengan cara menganalisa hasil ulangan harian terakhir yang dilakukan kepada siswa kelas V pada pembelajaran MATEMATIKA. Hasil ulangan harian menunjukkan ada 6 siswa dari 13 siswa yang tidak mengalami peningkatan hasil belajar. Sedangkan 2 oramg siswa justru mengalami penurunan hasil belajar. Prosentase siswa yang tidak mengalami peningkatan sebesar 46.15% > 30,76%. Dan perolehan nilai
rata-rata kelas sebesar 63,46. Perolehan nilai rata-rata-rata-rata ini masih di bawah standar minimal yang ditetapkan peneliti yaitu 70.00.
B. SIKLUS PERTAMA 1 . Perencanaan
Perencanaan pada siklus pertama meliputi :
1. Membuat Rencana Pelaksanan Pembelajaran dengan Kompetensi
Dasar : Menghitung luas trapesium dan layang-layang. 2. Menyiapkan alat-alat dan media yang akan digunakan. 3. Menyusun instrumen observasi, lembar kerja dan tes tulis.
2 . Tindakan
Guru mengajar berpatokan pada skenario sesuai RPP sedang mitra
kolaborator mengamati kegiatan pembelajaran hingga tuntas.
Kegiatan Awal
Pada kegiatan awal setelah menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan di pelajari, guru bertanya jawab dengan siswa tentang bangun datar yang ada di sekitar siswa. Kemudian guru
memperkenalkan bangun datar trapesium dan memberikan contoh bangun datar trapesium dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan Inti
Guru memasang alat peraga berupa gambar trapesium yang terbuat
dari karton di papan tulis kemudian mengajak siswa untuk mengamati gambar trapesium tersebut.
Setelah itu guru membagikan lembar kerja siswa kepada tiap
kelompok siswa yang terdiri dari 3-4 orang siswa
Dengan alat peraga yang telah dipasang, guru mengajak siswa untuk
mengamati bagian-bagian trapesium dan menyimpulkan pengertian
trapesium dari hasil pengamatan tersebut.
Guru mengambil contoh trapesium jenis lainnya dan memasangnya
di papan tulis.
Dengan bertanya jawab, guru mengajak siswa untuk membedakan
trapesium-trapesium yang dipasangnya, dan menyebut jenis-jenis
Dari trapesium yang telah dipasang, guru mengambil salah satu dan
meminta salah satu siswa untuk mengukur sisi-sisi pada trapesium. Siswa mengeluarkan kertas berpetak dan dan dengan bimbingan
guru mulai menggambar trapesium sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan
Guru memberi contoh di papan tulis cara menghitung luas
trapesium dengan membagi trapesium tersebut menjadi segitiga-segitiga. Untuk menghitung luasnya maka dapat dilakukan dengan
menghitung luas segitiga-segitiga pembentuknya.
Melalui tanya jawab guru mengingatkan kembali tentang rumus
luas segitiga kepada siswa.
Melalui tanya jawab guru memberikan contoh cara menghitung luas
trapesium dengan menghitung luas segitiga pembentuknya.
Guru memberi kesempatan kepada kelompok untuk menghitung
luas trapesium dan mempresentasikannya di depan kelas dengan
perwakilan kelompok.
Siswa dalam kelompok mengisi lembar kerja yang telah disediakan
sebelumnya.
Guru mengamati siswa dan memberikan bantuan seperlunya bagi
siswa yang mengalami kesulitan.
Guru dan siswa membuat penegasan atau kesimpulan tentang
bagian-bagian trapesium, macam-macam trapesiu dan cara
menghitung luas trapesium.
Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa
tentang hal-hal yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti pembelajaran. Siswa mengerjakan evaluasi individu yang diberikan oleh guru.
Pemberian tugas PR.
3. Observasi
Observasi dilakukan oleh mitra kolaborasi dengan hasil sebagai berikut: Pada kegiatan awal berjalan dengan baik, siswa memperhatikan
penjelasan guru, dan pada saat dilakukan tanya jawab, siswa antusias untuk menjawab pertanyaan.
Siswa kesulitan untuk memberikan contoh bangun datar trapesium
dalam kehidupan sehari-hari, sehingga guru yang harus memberikan
contohnya.
Siswa masih kesulitan mengingat rumus luas trapesium dan
kelihatan bingung melihat segitiga-segitiga penyusunnya.
Pada kegiatan belajar siklus 1 kegiatan kelompok belum berjalan
maksimal, kegiatan masih didominasi oleh guru di depan kelas. Pada kegiatan evaluasi, beberapa siswa yang kurang pandai
4 . Refleksi
cukup agar siswa lebih mudah memahami konsep.
5 . Analisa Data
Analisa data berdasarkan nilai hasil tes pada siklus 1 diperoleh data dengan nilai rata-rata dicapai adalah sebesar 63,46. Sedangkan siswa
yang tidak mengalami peningkatan masih ada 6 siswa atau 46,15%. Perolehan nilai ini masih di bawah standart yang ditetapkan.
Diagram Perbandingan Nilai Ulangan Harian dan Nilai Evaluasi Siklus I
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
dan Nilai Evaluasi Siklus 1
RT Harian Siklus 1
61.00 62.00 63.00 64.00 65.00 66.00 67.00 68.00
Dari diagram di atas dapat kita lihat dari 13 siswa yang diadakan
PTK, 6 orang tidak mengalami peningkatan dengan prosentase 46,15 %. Sedangkan nilai rata-rata dicapai adalah sebesar 66,92. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I berkaitan dengan proses pembelajaran serta
perolehan hasil tes pada siklus I, maka disepakati untuk dilakukan perbaikan perencanaan dan tindakan untuk dilakukan pada siklus II.
C . SIKLUS KEDUA 1 . Perencanaan
Perencanaan pada siklus kedua meliputi :
1. Menyempurnakan RPP siklus I, yaitu dengan (1) memberikan
lembar kerja siswa dengan langkah-langkah yang jelas dan melibatkan lebih banyak aktivitas siswa, (2) memberikan kesempatan bimbingan dan penjelasan secukupnya kepada
2. Menyiapkan alat-alat dan media yang akan digunakan seperti pada
siklus I.
3. Menyiapkan instrumen observasi.
4. Menyiapkan lembar kerja dan jenis tes yang akan digunakan.
2 . Tindakan
Guru mengajar dengan berpedoman pada skenario yang merupakan penyempurnaan RPP siklus I, sedang mitra kolaborator merekam
peristiwa yang terjadi di kelas menggunakan instrumen observasi . Gambaran kegiatan sebagai berikut:
Kegiatan Awal
Seperti pada siklus 1 pada awal kegiatan guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan pokok-pokok materi yang akan dipelajari. Dalam
kegiatan apersepsi guru bertanya jawab dengan siswa tentang sifat-sifat trapesium, macam-macamnya serta bagian-bagian trapesium.
Selain itu guru memberi motivasi belajar kepada siswa untuk mengikuti
pelajaran hari itu dengan tekun dan penuh perhatian.
Kegiatan Inti
Guru mempersilakan siswa duduk berkelompok sesuai dengan
kelompoknya masing-masing dan membagikan lembar kerja siswa
kepada masing-masing kelompok.
Guru membagikan gambar trapesium berwarna dari kertas berwarna
membagikan kertas polos berwarna lain dengan gambar trapesium
yang diterima sebelumnya.
Dengan bimbingan guru secara berkelompok siswa mencoba
menjipak trapesium yang telah diberikan menjadi 2 trapesium yang sama besar dengan warna berbeda. Dua trapesium tersebut di
tempelkan pada kertas putih dengan posisi salah satu trapesium dipasang terbalik dengan memutar sebesar 180O sedemikian rupa
sehingga membentuk bangun jajar genjang.
Guru mengingatkan kembali dan menjelaskan tentang rumus jajar
genjang sehingga siswa dapat menghitung luas jajar genjang yang terbentuk dengan terlebih dahulu menghitung panjang sisi dan
tinggi jajar genjang tersebut.
Guru berkeliling untuk mengamati, memotivasi dan memfasilitasi
kerja siswa.
Siswa dengan bantuan guru mendiskusikan luas jajar genjang yang
terbentuk dan menemukan cara untuk menentukan luas dari trapesium pembentuknya. Yaitu dengan menurunkan dari rumus
luas jajar genjang yang terbentuk.
Guru memberikan kesempatan kepada kelompok yang telah selesai
untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas dan memberikan kesempatan kepada kelompok lain untuk
menanggapinya.
Kegiatan Akhir
Guru dan siswa membuat penegasan atau kesimpulan tentang rumus
luas trapesium.
Guru mengadakan refleksi dengan menanyakan kepada siswa
tentang hal-hal yang dirasakan siswa, materi yang belum dipahami dengan baik, kesan dan pesan selama mengikuti pembelajaran. Siswa mengerjakan evaluasi yang diberikan oleh guru.
Pemberian tugas PR.
3 . Observasi
Observasi dilakukan oleh mitra kolaborasi dengan hasil sebagai berikut: Pada kegiatan awal siswa nampak tertib dan tenang, siswa juga
menanggapi pertanyaan guru dengan antusias.
Pada kegiatan di kelompok, siswa lebih aktif. Beberapa anak
bahkan membagi tugas untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada. Sehingga pekerjaan lebih cepat selesai.
Pada saat presentasi hasil kelompok, suasana kelas lebih hidup
dibanding suasana pada siklus I dan mereka berani tampil untuk mewakili kelompoknya.
Pada siklus II guru tidak terlalu mendominasi pembelajaran. Pada
meminta bantuan guru untuk hal-hal yang kurang dimengerti oleh
siswa.. 4 . Refleksi :
Kegiatan awal tertib, kondisi dan suasana seperti itu perlu
dipertahankan
Siswa aktif di dalam kegiatan kelompok masing-masing, diskusi
yang di lakukan siswa dapat dilakukan dengan baik karena setiap anggota kelompok berperan aktif untuk segera menyelesaikan permasalahan yang diberikan.
Masing-masing kelompok mendapat kesempatan untuk
mempresentasikan hasil kerja kelompoknya.
Sebagai pasilitator sekaligus manajer kelas, guru harus mampu
mengarahkan siswa agar kegiatan pembelajaran berjalan baik dan siswa aktif mengikuti pelajaran dan tidak ada yang bermain-main.
5 . Analisa Data
Dari kegiatan pada Siklus II diperoleh data-data yang dapat digambarkan dalam bentuk diagram sebagai berikut :
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Diagram Perbandingan Nilai Rata-Rata Harian, Siklus I Dan Siklus II
RT Harian Siklus 1 Siklus 2
Analisa data berdasarkan perolehan hasil tes pada siklus II, diperoleh data bahwa rata-rata nilai yang dicapai oleh siswa adalah sebesar 74,62. Perolehan nilai ini melampaui standart yang ditetapkan yaitu 70.00.
Sementara dari 13 siswa yang di PTK hanya ada 3 siswa yang tidak mengalami peningkatan, itupun dialami oleh siswa yang sebelumnya
80. Jadi hanya ada 23,07% siswa yang tidak mengalami peningkatan
pada Siklus II.
Berdasarkan temuan ini maka disepakati telah terjadi peningkatan
kemampuan siswa. Guru tidak perlu lagi mengadakan perbaikan perencanaan, dan PTK diakhiri sampai siklus II. Sebab masalah pembelajaran di kelas telah dapat diatasi oleh guru.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan peneliti tentang “Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Penerapan Model Pembelajaran Dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing pada Siswa Kelas V Semester Ganjil SDN Ngumbul III” diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan model pembelajaran dengan pendekatan penemuan
terbimbing dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas V semester ganjil SDN Ngumbul III.
2. Penggunaan model pembelajaran dengan pendekatan penemuan terbimbing dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran Matematika dalam menemukan rumus luas trapesium.
B. SARAN
Akhirnya dalam upaya meningkatkan efektifitas pembelajaran Matematika di SD penulis dapat merekomendasikan sebagai berikut :
1. Untuk mencapai tujuan dalam kegiatan belajar mengajar yang bernilai
edukatif, yang pembelajarannya berpusat pada siswa aktif maka diperlukan strategi pembelajaran yang bervariatif.
2. Salah satu strategi yang kami lakukan dengan langkah-langkah yang sederhana dan memudahkan bagi guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas.
3. Dalam mengajar guru bisa merubah gaya mengajar
4. Menciptakan lingkungan belajar yang yang membuat siswa tidak takut
salah
5. Memberikan jaminan belajar yang positif secara emosional.
6. Selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, mengemukakan pendapat, dan gagasannya.
9. Selalu memberikan perhatian dan motivasi belajar, sesuai dengan kebutuhan secara individual.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Zainul, dan Maulana,Agus (2005). Tes dan Assessment di SD. Jakarta: Universitas Terbuka
Hernawan, Asep H, dkk. (2006). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Jakarta: Universitas Terbuka
Kasbolah, Kasihani E.S, 1999, Penelitian Tindakan Kelas, Surabaya : Depdikbud. Lie, A. (2002) Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di
Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.
Markaban, Drs., (2006), Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Penemuan Terbimbing, Yogyakarta : Depdiknas, Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Matematika.
Mikarsa, Hera Lestari, dkk. (2005) Pendidikan Anak di SD, Jakarta: Universitas Terbuka
Pujiati, (2009), Pembelajaran Pengukuran Luas Bangun Datar dan Volum Bangun Ruang di SD, Jakarta : Depdiknas, Dirjen PMPTK, P4TK Matematika
Sumantri, Mulyani. (1999). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta Depdikbud Dirjen Dikti Proyek PGSD