• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi dan Ketahanan Terhadap pH Rendah Bakteri Patogen Isolat Ayam Betutu.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi dan Ketahanan Terhadap pH Rendah Bakteri Patogen Isolat Ayam Betutu."

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

IDENTIFIKASI DAN KETAHANAN TERHADAP pH RENDAH

BAKTERI PATOGEN ISOLAT AYAM BETUTU

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

OLEH :

NI PUTU AYU OKTAFIA SANTI NIM. 1220025038

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)

iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah dipresentasikan dan diujikan dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 12 Juli 2016

Penguji I

dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D. NIP. 19810901 200604 2 001

Penguji II

(4)

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui dsn diperiksa dihadapan Tim Penguji Skripsi

Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Denpasar, 12 Juli 2016

Pembimbing

(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Identifikasi dan Ketahanan Terhadap pH Rendah Bakteri Patogen Isolat Ayam Betutu” ini tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya dalam penyusunan proposal penelitian ini kepada :

1. Bapak dr. I Made Ady Wirawan, MPH., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Ibu dr. Ni Wayan Arya Utami, M.App.Bsc., Ph.D., selaku Kepala Bagian Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Bapak Ir. I Nengah Sujaya, M.Agr.,Sc.,Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu dalam memberikan masukan dan bimbingan dalam penyusunan proposal penelitian ini.

4. Ibu Wayan Nursini, S.TP., M.P., selaku staf UPT Laboratorium Terpadu Biosains dan Bioteknologi Universitas Udayana yang telah membimbing, memberikan saran, dan memberi motivasi kepada penulis.

5. Seluruh dosen pengajar Program Studi Kesehatan Masyarakat yang telah memberikan ilmu serta dukungan sejak awal penulis mengenyam pendidikan serta kepada para staf/pegawai yang telah banyak membantu dalam hal pengurusan surat dan kelengkapan administrasi lainnya.

6. Keluarga tercinta, Bapak I Made Sugiarta, M.Si., Ibu Ketut Artiniasih, S.Pd., Adik Ni Made Ary Cahyadewanti, dan Adik Ni Komang Dewi Senja Wulandari yang tak pernah henti memberikan doa, dukungan, motivasi, saran, dan semangat selama menempuh studi di Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

7. Seorang terkasih Beny Muliadi dan sahabat-sahabat tercinta Candra, Citra, Kak Wulan, Kak Cahyani, Kak Adiel, Kak Bhanu, Novi, Meriliani, Dian Sinta, Cok Gek, Jo, Eka, Erlangga, Kak Ray atas motivasi, bantuan, dan doanya.

(6)

vi

penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu kelancaran penyusunan proposal skripsi ini.

Demikian skripsi ini disusun semoga dapat memberikan manfaat bagi diri kami sendiri dan pihak lain yang menggunakan.

Denpasar, 9 Juni 2016

(7)

vii

Ni Putu Ayu Oktafia Santi

Identifikasi dan Ketahanan Terhadap pH Rendah

Bakteri Patogen Isolat Ayam Betutu

ABSTRAK

Ayam betutu merupakan makanan tradisional Bali dari karkas ayam yang dimasak dengan cara direbus dan dipanggang atau dengan pemanasan dalam sekam padi. Ayam betutu umumnya dibuat untuk upacara di pura atau upacara agama lainnya. Namun, saat ini ayam betutu juga tersedia di berbagai warung makan bahkan restoran di Bali. Di balik rasanya yang enak, ayam betutu Bali ternyata menyimpan kekhawatiran bagi konsumen karena karkas atau daging ayam yang digunakan dalam pembuatan ayam betutu merupakan salah satu media tumbuh bakteri yang baik. Sebuah penelitian terhadap ayam betutu menemukan bahwa dua isolat campuran dari berbagai koloni yang tumbuh pada media Listeria Selective Agar memiliki keberadaan gen virulensi prfA dari L.monocytogenes. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui spesies bakteri patogen yang berhasil diisolasi pada isolat bakteri tersebut serta untuk mengetahui ketahanan salah satu spesies bakteri patogen yang ditemukan terhadap pH rendah.

Penelitian ini bersifat eksperimental dengan desain penelitian yang digunakan adalah One Shot Case Study dan Post-Test Only Control Group Design. Sebanyak lima isolat yang berhasil diisolai dan dilakukan sekuen fragmen 16s rDNA menggunakan primer universal yaitu 27F dan 518R. Selanjutnya, hasil sekuen dianalisis pada website DDBJ. Sedangkan, dalam uji ketahanan bakteri patogen ayam betutu terhadap pH rendah dilakukan terhadap salah satu bakteri patogen yang telah teridentifikasi spesiesnya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 600 nm.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari lima isolat bakteri ditemukan tiga bakteri Staphylococcus sciuri dan dua bakteri Proteus mirabilis dengan kemiripan sekuen 100 %. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa Staphylococcus sciuri BT 2, BT 5, dan BT 6 tidak dapat tumbuh pada pH 3 dan pH 4. Disarankan perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi faktor virulensi, ketahanan terhadap suhu, kelembaban, dan senyawa antimikrobial yang baik untuk menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus sciuri maupun Proteus mirabilis. Kata Kunci : Ayam Betutu, 16s rDNA, Staphylococcus sciuri, Proteus mirabilis,

(8)

viii Ni Putu Ayu Oktafia Santi

Identification and Viability to The Lower Acidity of

Pathogenic Bacteria Isolated From Ayam Betutu

ABSTRACT

Ayam Betutu is a traditional Balinese food from chicken carcass cooked by boiling and baking or by heating in a rice husk. Ayam Betutu generally made for the ceremony at the temple or other religious ceremonies. However, Ayam Betutu also available in a variety of food stalls and even restaurants in Bali. Behind the good taste, Ayam Betutu Bali turned out to save a concern for consumers because carcasses or chicken meat used in the manufacture of Ayam betutu is a good growth medium for bacteria. A study of Ayam Betutu found that two isolates of a mixture of various colonies that grow on the medium Listeria Selective Agar has the presence of virulence genes prfA of L.monocytogenes. The purpose of this study was to determine the species of pathogenic bacteria were isolated in the mix bacterial isolates and to determine the resistance of one species of pathogenic bacteria that are found on low pH.

This study is an experimental research design used was One Shot Case Study and Post-Test Only Control Group Design. A total of five isolates were successfully performed diisolai and 16s rDNA sequence fragments using universal primers 27F and 518R are. Furthermore, the sequences analyzed on DDBJ website. Meanwhile, in an endurance test of pathogenic bacteria of Ayam betutu to low pH committed against one pathogenic bacterium species that have been identified using a spectrophotometer with a wavelength of 600 nm.

The results of this study showed that the five isolates were found three bacteria Staphylococcus sciuri and two bacteria Proteus mirabilis with 100% sequence similarity. In addition, this study also showed that the Staphylococcus sciuri BT 2, BT 5, and BT 6 can not grow at pH 3 and pH 4. It is suggested to conduct further research on the identification of virulence factors, resistance to temperature, humidity, and antimicrobial agents good to inhibit the growth of Staphylococcus sciuri and Proteus mirabilis.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMHALAMAN JUDUL DENGAN SPESIFIKASI ... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... iii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Kualitas Mikrobiologis pada Ayam Betutu ... 10

2.2 L. monocytogenes ... 13

2.2.1 Morfologi L. monocytogenes ... 13

2.2.2 Epidemiologi L.monocytogenes ... 14

2.2.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup L. monocytogenes ... 14

2.2.4 Listeriosis ... 17

2.2.5 Gen Virulensi L. monocytogenes ... 19

2.2.6 Identifikasi L. monocytogenes ... 19

(10)

x

2.3.1 Morfologi Staphylococcus aureus ... 21

2.3.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus ... 22

2.3.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup Staphylococcus aureus ... 23

2.3.4 Staphylococcal gastroenteritis ... 24

2.3.5 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus ... 25

2.3.6 Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus ... 25

2.4 Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada Daging ... 26

2.5 Identifikasi Bakteri Patogen dengan Sekuen Fragmen 16s rDNA... 27

2.6 Uji Ketahanan Bakteri pada Berbagai Derajat Keasaman dengan Metode Turbidimetri ... 28

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31

3.1 Kerangka Konsep ... 31

3.2 Hipotesis ... 32

3.3 Variabel dan Definisi Operasional ... 32

BAB IV METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Desain Penelitian ... 34

4.2 Sampel Penelitian... 34

4.3 Bahan dan Peralatan Penelitian ... 35

4.3.1 Bahan ... 35

4.3.2 Alat ... 36

4.4 Metode Analisis Laboratorium ... 37

4.4.1 Penyegaran Dua Isolat dari Berbagai Koloni Bakteri Ayam Betutu yang Diisolasi dari Media Listeria Selective Agar ... 37

4.4.2 Isolasi Bakteri Single Koloni Awal ... 37

4.4.3 Penyegaran Single Koloni Bakeri Awal ... 38

4.4.4 Isolasi Bakteri Single Koloni Murni ... 38

4.4.5 Penyegaran Single Koloni Bakeri Murni ... 38

4.4.6 Stok Kultur Bakteri, Cuci Sel, dan Lisis Sel dengan Metode Freezing-thawing ... 39

4.4.7 Konfirmasi Single Koloni dengan Teknik PCR dan Primer LIP ... 40

4.4.8 Identifikasi Spesies Bakteri dengan 16s rDNA ... 41

4.4.9 Pewarnaan Gram ... 42

4.4.10 Uji Ketahanan Spesies Bakteri Patogen Isolat Ayam Betutu pada Media pH Rendah ... 43

4.5 Teknik Analisis Data... 44

BAB V HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN ... 46

(11)

xi

5.1.1 Identifikasi Spesies Bakteri Sampel BT 1 ... 52

5.1.2 Identifikasi Spesies Bakteri Sampel BT 2 ... 55

5.1.3 Identifikasi Spesies Bakteri Sampel BT 3 ... 58

5.1.4 Identifikasi Spesies Bakteri Sampel BT 5 ... 61

5.1.5 Identifikasi Spesies Bakteri Sampel BT 6 ... 64

5.2 Ketahanan Staphylococcus sciuri Isolat Ayam Betutu terhadap pH Rendah 68 BAB VI PEMBAHASAN ... 72

6.1 Staphylococcus sciuri dan Proteus mirabilis sebagai Bakteri Patogen yang Berhasil Diisolasi pada Ayam Betutu ... 72

6.2 Ketahanan Staphylococcus sciuri pada pH Rendah ... 77

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 78

7.1 Simpulan ... 78

7.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA ... 79

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis-jenis Koloni pada Sampel A dan K oleh Santi et al. (2015) ... 11

Tabel 2.2 Morfologi Koloni Listeria sp. Sampel Susu pada Media Listeria Selective Agar dari Kabupaten Sinjai oleh Malaka et al. (2014) ... 12

Tabel 2.3 Batas Kondisi Pertumbuhan L. monocytogenes ... 15

Tabel 2.4 Beberapa Primer yang Digunakan untuk Identifikasi Gen Virulensi L.monocytogenes ... 21

Tabel 2.5 Bahan makanan sumber pencemaran utama wabah Staphylococcus di Amerika tahun 1973 – 1987 ... 22

Tabel 2.6 Primer Universal dalam Identifikasi Spesies Bakteri Patogen dengan Sekuen Fragmen 16s rDNA ... 28

Tabel 3.1 Variabel dan Definisi Operational ... 33

Tabel 5.1 Hasil Isolasi Single Koloni dari Dua Isolat Ayam Betutu Berdasarkan Warna Koloni dan Halo pada Media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) ... 47

Tabel 5.2 Homologi Sampel Bakteri BT 1... 53

Tabel 5.3 Homologi Sampel Bakteri BT 2... 56

Tabel 5.4 Homologi Sampel Bakteri BT 3... 59

Tabel 5.5 Homologi Sampel Bakteri BT 5... 62

Tabel 5.6 Homologi Sampel Bakteri BT 6... 65

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Hasil Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Elektroforesis pada Isolat Listeria sp dari 20 sampel Ayam Betutu (Santi et al., 2015) ... 12

Gambar 3.1 Kerangka Konsep ... 31 Gambar 5.1 Hasil Gel Elektroforesis dari Polymerase Chain Reaction dengan

Spesifik Primer LIP-F dan LIP-R terhadap Sampel Single Koloni 1 sampai 6, (M) Marker; (1) Sampel BT 1; (2) Sampel BT 2; (3) Sampel BT 3; (4) Sampel BT 4; (5) Sampel BT 5; dan (6) Sampel BT 6 ... 49 Gambar 5.2 Hasil Gel Elektroforesis dari Polymerase Chain Reaction 16s rDNA

dengan primer 27F dan 518R Pertama terhadap Sampel Single Koloni 1 sampai 6, (M) Marker; (1) Sampel BT 1; (2) Sampel BT 2; (3) Sampel BT 3; (4) Sampel BT 4; (5) Sampel BT 5; dan (6) Sampel BT 6 ... 50 Gambar 5.3 Hasil Gel Elektroforesis dari Polymerase Chain Reaction 16s rDNA

dengan primer 27F dan 518R Kedua terhadap Sampel Single Koloni 1 sampai 6, (M) Marker; (1) Sampel BT 1; (2) Sampel BT 2; (3) Sampel BT 3; (4) Sampel BT 4; (5) Sampel BT 5; dan (6) Sampel BT 6 ... 51 Gambar 5.4 Hasil Pengamatan Tiga Strain Staphylococcus sciuri ... 69 Gambar 5.5 Grafik Rata-rata Uji Ketahanan Bakteri Staphylococcus sciuri Isolat

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Sekuen Basa-basa Nukleotida Sampel BT 1 ... 88

Lampiran 2. Hasil Analisis Sekuen Basa-basa Nukleotida Sampel BT 2 ... 89

Lampiran 3. Hasil Analisis Sekuen Basa-basa Nukleotida Sampel BT 3 ... 90

Lampiran 4. Hasil Analisis Sekuen Basa-basa Nukleotida Sampel BT 5 ... 91

Lampiran 5. Hasil Analisis Sekuen Basa-basa Nukleotida Sampel BT 6 ... 92

Lampiran 6. Data Hasil Pengukuran OD Pertumbuhan Staphylococcus sciuri Terhadap pH ... 93

Lampiran 7. Analisis Stata 12 dalam Mencari Nilai Mean dan Standar Deviasi ... 93

(15)

xv

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome Badan POM : Badan Pengawas Obat dan Makanan BLAST : Basic Local Alignment Search Tool BM : Berat Molekul

BMCM : Batas Maksimum Cemaran Mikroba

CDC : Centers for Disease Control and Prevention CFU : Colony Forming Unit

DDBJ : DNA Data Bank of Japan DNA : Deoxyribose Nucleic Acid DNase : Deoxyribonuclease EtBr : Ethidium bromide

EMBL-EBI : European Molecular Biology Laboratory-European Bioinformatics ENA : European Nucleotide Archive

INSDC : International Nucleotide Sequence Database Collaboration ISK : Infeksi Saluran Kemih

Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia KBM : Kadar Bunuh Minimum

KHM : Kadar Hambat Minimum KLB : Kasus Luar Biasa

LLO : Listeriolysin O

LSA : Listeria Selective Agar

(16)

xvi NB : Nutrient Broth

NCBI :National Center for Biotechnology Information NIG : National Institute of Genetics Institute.

OD : Optical Density

PCR : Polymerase Chain Reaction rDNA : Ribosomal DNA

SDW : Sterilized Deionized Water TAE : Tris-acetate-EDTA

TE : Tris-HCl dan EDTA

(17)

xvii

DAFTAR LAMBANG

% : persen

< : kurang dari > : lebih dari

≤ : kurang dari sama dengan

≥ : lebih dari sama dengan ± : kurang lebih

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pulau Bali merupakan salah satu pulau di Indonesia yang dikenal dengan sebutan Pulau Dewata. Bali merupakan daerah tujuan wisata yang terkenal di dunia. Pulau Bali sangat terkenal dengan kesenian tradisionalnya dan keindahan panorama alamnya. Selain itu, Pulau Bali juga terkenal dengan kulinernya yang sangat khas. Makanan Tradisional Bali (MTB) merupakan makanan khas daerah Bali yang telah lama dikenal secara turun temurun yang dibuat dengan cara dan peralatan yang sederhana (Aryanta, 2013). Selain lawar dan babi guling, salah satu makanan tradisional yang diminati adalah ayam betutu.

Ayam betutu merupakan makanan tradisional Bali dari karkas ayam yang

(19)

2

Di balik rasanya yang enak serta memberikan kontribusi energi, lemak, dan protein yang cukup besar bagi tubuh, ayam betutu Bali ternyata menyimpan kekhawatiran bagi masyarakat yang ingin mengkonsumsi ayam betutu. Hal ini dikarenakan ayam betutu merupakan makanan yang diolah dengan bahan dasar karkas atau daging ayam. Jika dikaitkan dengan media pertumbuhan mikroorganisme (bakteri), daging ayam merupakan media tumbuh yang baik (Yulistiani, 2010).

Mutu dan keamanan daging terhadap bakteri patogen sangat berpengaruh pada keamanan dan kesehatan konsumen serta berpengaruh terhadap kasus keracunan terhadap pangan. Apabila bahan makanan seperti daging segar maupun beku tidak mengandung bakteri patogen maka diharapkan produk olahan daging juga tidak mengandung bakteri tersebut termasuk ayam betutu.

Namun, penelitian mengenai uji kualitas mikrobilogis pada ayam betutu di daerah Denpasar, Bali telah dilakukan sebelumnya. Penelitian tersebut menguji keberadaan Listeria spp. menggunakan media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) dan menguji gen virulensi prfA menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Elektroforesis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari

20 sampel ayam betutu di Denpasar, Bali, semua positif mengandung bakteri patogen yang menunjukkan halo hitam pada media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) dengan total populasi 101 sampai 105 CFU/gram (Santi et al., 2015).

Media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) adalah salah satu media selektif bakteri yang dapat menekan pertumbuhan bakteri umum seperti bakteri gram negatif dan sebagian besar dari bakteri gram-positif. Pada media ini, Listeria monocytogenes ATCC® 7644 dan Listeria monocytogenes ATCC 13.932 dapat

tumbuh sebesar ≥ 50% pada media tersebut dari media kontrol. Listeria

(20)

3

koloni dengan diameter 0.25-1.0 mm, berwarna coklat atau hitam, dan memiliki halo hitam. Sedangkan, Staphylococcus aureus ATCC 25923 kemungkinan dapat tumbuh

sebesar ≤ 90% yang memiliki diameter 0.5mm dan kuning (Thermo Fisher Scientific, 2011).

Selain itu, hasil dari teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Elektroforesis menggunakan primer LIP-F (GAT ACA GAA ACA TCG GTT GGC)

dan LIP-R (GTG TAA TCT TGA TGC CAT CAG G) menunjukkan bahwa dua (10%) isolat berbagai jenis koloni pada sampel ayam betutu terduga positif memiliki keberadaan gen virulensi prfA L.monocytogenes (Santi et al., 2015).

L. monocytogenes merupakan salah satu agen penyebab food-borne disease,

yaitu penyakit yang muncul akibat masuknya mikroorganisme patogen pada pangan ke dalam tubuh. Bakteri ini merupakan penyebab terjadinya penyakit listeriosis.

Walaupun bakteri ini “kurang populer” dibandingkan dengan Escherichia coli (E. coli)

atau Salmonella dalam kaitannya sebagai agen penyebab keracunan pangan di Indonesia, namun Listeria merupakan salah satu mikroorganisme penyebab terjadinya KLB keracunan pangan di dunia (Badan POM, 2015).

Di Spanyol, kasus listeriosis pada manusia jarang terjadi, sekitar 1 kasus per 100.000 penduduk. Tahun 1981 di Kanada, pernah terjadi wabah listeriosis yang menyebabkan kematian beberapa domba akibat memakan kubis yang terkontaminasi L. monocytogenes. Dua tahun kemudian, lebih kurang 14 orang meninggal dunia dari

(21)

4

19 kasus listeriosis invasif. Kasus listeriosis juga dilaporkan 9 negara lainnya dengan total wabah listeriosis sebanyak 526 kasus. Sejak tahun 1998, Perancis telah mengembangkan sistem untuk melaksanakan kegiatan monitoring listeriosis pada manusia dan dilakukan investigasi pada sumber foodborne listeriosis (Kemenkes RI, 2015).

Berdasarkan data dari CDC (2014), diperkirakan terdapat 1600 kasus listeriosis dengan diantaranya 260 menyebabkan kematian di Amerika Serikat setiap tahunnya. Rata-rata kejadian listeriosis di Amerika Serikat pada tahun 2013 adalah 0,23 kasus per 100.000 individu (CDC, 2014). Pada Kasus Luar Biasa (KLB) keracunan pangan akibat L. monocytogenes yang terjadi di Amerika karena mengkonsumsi produk Caramel Apples, dilaporkan jumlah korban yang terinfeksi sebanyak 32 orang dengan

11 orang diantaranya adalah wanita hamil dengan kejadian 1 janin meninggal dan 3 orang anak-anak usia 5 - 15 tahun mengalami komplikasi meningitis (Badan POM, 2015).

Sebagai salah satu agen penyebab food-borne disease, L. monocytogenes dapat berada pada berbagai jenis bahan pangan dan produk pangan. Salah satu media yang menjadi sumber penularan bakteri tersebut adalah daging unggas mentah dan daging unggas yang sudah dimasak (Kemenkes RI, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jamali et al. (2012) menunjukkan bahwa dari 396 sampel makanan siap konsumsi yang ada di supermarket dan kios-kios jajanan di Malaysia, Listeria spp. terdeteksi pada 71 (17,9%) sampel di mana 45 (11,4%) positif untuk L. monocytogenes. Diantara makanan siap konsumsi tersebut, karkas ayam dan produk

(22)

5

Di Indonesia belum ada data mengenai munculnya kasus listeriosis akibat mengkonsumsi makanan tertentu yang terkontaminasi oleh L. monocytogenes. Namun, telah dilakukan penelitian terkait prevalensi L. monocytogenes pada daging ayam di Bandung oleh Sugiri et al. (2014). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi keseluruhan L. monocytogenes pada karkas ayam dari pasar tradisional dan supermarket di Bandung adalah 15,8%. Sebesar 97,3 % sampel karkas ayam memiliki jumlah L. monocytogenes sebanyak < 100 CFU/gram, 2,2% memiliki L. monocytogenes dengan jumlah antara 101 dan 1.000 CFU/gram, dan 0,5% memiliki

L. monocytogenes jumlah dari 1.001 sampai 10.000 CFU/gram.

Walaupun dosis minimum L. monocytogenes diperkirakan 102/gram, namun bakteri ini dapat menyebabkan infeksi serius dan mematikan pada kelompok individu tertentu (BSN, 2009). Risiko mortalitas sebesar 24% dapat terjadi ketika bakteri ini menginfeksi kelompok individu yang rentan seperti wanita hamil dan janin, orang lanjut usia, anak-anak dan penderita penyakit immunocompromised (penurunan imunitas/daya tahan tubuh) seperti pasien kanker (penerima kemoterapi), kanker darah, AIDS, transplantasi organ, dan penerima terapi kortikosteroid. Pada wanita hamil yang terinfeksi, bakteri ini bisa saja tidak menimbulkan sakit, namun ketika bakteri masuk ke dalam janin maka dapat mengakibatkan keguguran janin (Badan POM, 2015). Angka kematian karena meningitis oleh Listeria adalah sebesar 70 %, keracunan darah (speticemia) 50%, dan infeksi perinatal/neonatal lebih besar dari 80% (BSN, 2009).

(23)

6

gejala skunder berkeringat, menggigil, sakit kepala, dan dehidrasi (Sopandi & Wardah,

2014). Waktu onset dari gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada

daya tahan tubuh dan banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yang dapat

menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg/gr makanan (Nugroho, 2004).

Kejadian keracunan makanan oleh Staphylococcus pada umumnya berasal dari makanan yang disiapkan secara konvesional (hand made). Kasus-kasus yang terjadi di Amerika sejak tahun 1972 – 1987 yang dicatat oleh CDC berkisar 20.000 kasus dan kejadian wabah mencapai 414 kasus (Nugroho, 2004).

Kejadian keracunan akibat Staphylococcus aureus pada nasi jagung terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2012. Tujuh santri Pondok Pesantren Roudholuth Tholibien menjadi korban keracunan makanan tersebut, dua di antaranya meninggal. Dinas Kesehatan Wonosobo menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) (Finesso, 2012).

Dalam SNI 7300:2009 mengenai Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada Pangan terdapat standar BMCM terhadap daging dan produk daging, termasuk daging unggas dan daging buruan. Peraturan mengenai Listeria monocytogenes pada daging ayam tidak terdapat dalam Standar Nasional Indonesia 7300:2009. Namun, pada sosis masak (tidak dikalengkan, siap dikonsumsi) terdapat peraturan mengenai BMCM L. monocytogenes yaitu negatif/25 gram (BSN, 2009). Begitu pula di Amerika, Eropa dan Malaysia menolak bahan makanan yang terkontaminasi oleh L. monocytogenes (Ariyanti, 2010). Sedangkan untuk Staphylococcus aureus memiliki

batas maksimum yaitu sebesar 1×102 koloni/gram baik pada daging maupun produk olahan daging.

(24)

7

dilakukan sehingga dapat diketahui spesies bakteri patogen yang ada pada ayam betutu tersebut serta mengetahui ketahanan salah satu spesies bakteri tersebut terhadap media pertumbuhan dengan pH rendah.

1.2 Rumusan Masalah

Ditemukannya berbagai jenis koloni dengan halo hitam pada media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) dari hasil uji mikrobiologis ayam betutu di Kota

Denpasar dapat memungkinkan bahwa terdapat bakteri patogen seperti L. monocytogenes dan Staphylococcus aureus pada ayam betutu. Selain itu, terdapat dua

isolat berbagai jenis koloni bakteri pada ayam betutu tersebut diduga positif memiliki gen virulensi Listeria monocytogenes. Hal ini dapat menjadi kekhawatiran bagi masyarakat yang mengkonsumsi ayam betutu. Kekhawatiran masyarakat ini terutama bagi wisatawan domestik maupun mancanegara yang sangat mudah untuk mendapatkan dan menikmati ayam betutu di berbagai warung makan dan restoran di Bali. Maka dari itu rumusan masalah yang dapat diangkat pada penelitian ini adalah spesies bakteri apakah yang terdapat pada isolat ayam betutu dan bagaimanakah ketahanan salah satu spesies bakteri patogen tersebut terhadap pH rendah.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat diangkat beberapa permasalahan yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini yaitu :

1. Spesies bakteri patogen apakah yang terdapat pada isolat ayam betutu di Kota Denpasar?

(25)

8

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengidentifikasi spesies bakteri patogen dari isolat ayam betutu di Kota Denpasar.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengisolasi bakteri patogen murni dari isolat ayam betutu di Kota Denpasar.

2. Mengetahui ketahanan salah satu spesies bakteri patogen dari isolat ayam betutu di Kota Denpasar terhadap pH rendah.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengidentifikasi spesies bakteri patogen pada makanan agar dapat meningkatkan keamanan pangan di masyarakat. Disamping itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian terkait dengan keamanan pangan di masyarakat dalam bidang mikrobiologi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi masyarakat mengenai kualitas mikrobiologis terutama mengenai spesies bakteri patogen yang terdapat pada ayam betutu.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

(26)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Mikrobiologis pada Ayam Betutu

Ayam betutu merupakan makanan tradisional Bali dari karkas ayam yang

dimasak dengan cara direbus dan dipanggang atau dengan pemanasan dalam sekam padi. Sebelum dimasak, ayam yang sudah dibersihkan dan diremas-remas kemudian dibalur dengan bumbu (umumnya base genep), bagian dalam perutnya biasanya diisi daun ubi yang sudah direbus dan dibumbui, lalu ayam dibungkus daun pisang dan dikukus. Setelah dikukus, ayam dibakar atau dipanggang lagi dengan bara sehingga menimbulkan aroma yang enak. Ayam betutu umumnya dibuat untuk upacara di pura atau upacara agama lainnya. (Aryanta, 2013). Namun, saat ini ayam betutu juga tersedia di berbagai warung makan bahkan restoran di Bali sehingga selain penduduk lokal, wisatawan domestik maupun mancanegara sangat mudah untuk mendapatkan dan menikmati ayam betutu (Suardani, 2011).

Makanan mempunyai batas kemampuan untuk tampil dalam keadaan yang baik dan sehat, sehingga waktu penyediaan, pengolahan dan penyajian yang tepat serta penyimpanan dan penyebaran atau pengangkutan ke tempat lain perlu dipertimbangkan dengan cara sedemikian rupa untuk mencegah kerusakan yang mungkin terjadi (Suciani, 2009). Makanan selain berfungsi sebagai sumber nutrisi juga dapat menjadi perantara masuknya agen penyakit apabila mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan seperti mikroorganisme (bakteri).

(27)

11

Listeria spp. menggunakan media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) dan

menguji gen virulensi prfA menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Elektroforesis. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari 20 sampel ayam betutu di Denpasar, Bali, semua positif mengandung bakteri patogen yang

menunjukkan halo hitam pada media LSA (Listeria Selective Agar, Oxford) dengan total populasi 101 sampai 105 CFU/gram.

Media Listeria Selective Agar (OXOID, CM0856) adalah salah satu media selektif bakteri yang dapat menekan pertumbuhan bakteri umum seperti bakteri gram negatif dan sebagian besar dari bakteri gram-positif. Pada media ini, Listeria monocytogenes ATCC 7644 dan Listeria monocytogenes ATCC 13.932 dapat tumbuh

sebesar ≥ 50% pada media tersebut dari media kontrol. Listeria monocytogenes ATCC 7644 dan Listeria monocytogenes ATCC 13.932 memiliki koloni dengan diameter 0.25-1.0 mm, berwarna coklat atau hitam, dan memiliki halo hitam. Sedangkan, Staphylococcus aureus ATCC 25923 kemungkinan dapat tumbuh sebesar ≤ 90% yang memiliki diameter 0.5mm dan kuning (Thermo Fisher Scientific, 2011).

Adapun jenis-jenis koloni yang ditemukan pada media Listeria Selective Agar tersebut pada penelitian yang dilakukan oleh Santi et al. (2015) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Jenis-jenis Koloni pada Sampel A dan K oleh Santi et al. (2015) Koloni Warna Pinggir Elevasi Permukaan Warna

(28)

12

Morfologi koloni yang ditemukan oleh Santi et al. (2915) ini sama dengan morfologi koloni Listeria sp. yang ditemukan oleh Malaka et al. (2014) seperti pada Tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2 Morfologi Koloni Listeria sp. Sampel Susu pada Media Listeria Selective Agar dari Kabupaten Sinjai oleh Malaka et al. (2014)

Koloni Warna/sifat Pinggir Elevasi Permukaan/ media ukuran

1 Putih/opaq rata cembung Licin/ hitam 1 mm

2 kuning/opaq bergerigi cembung Licin/ kuning 2 mm

3 Kuning/

translucent

bergerigi cembung Licin berlendir/ hitam

3 mm 4 Transparat

(ada inti di tengah)

bergerigi cembung berpasir/ putih 4-5 mm

Sumber : Malaka et. al. (2014)

Selain itu, hasil dari teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) dan Elektroforesis menggunakan primer LIP-F (GAT ACA GAA ACA TCG GTT GGC)

dan LIP-R (GTG TAA TCT TGA TGC CAT CAG G) menunjukkan bahwa dua (10%) isolat berbagai jenis koloni pada sampel ayam betutu terduga positif memiliki keberadaan gen virulensi prfA (Santi et al., 2015). Hasil PCR dan Elektroforesis tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Bersasarkan hasil tersebut, sampel A dan K diduga positif berdasarkan penampakan band (pita) yaitu 274 bp untuk target gen prfA dengan teknik PCR dan

A B C D E Mr F G H I J K L M N O Mr P Q R S T

274 bp 274 bp

500 bp

500 bp

(29)

13

Elektroforesis menggunakan primer LIP-F (5'-GATACAGAAACATCGGTTGGC-3')

dan LIP-R (5'-GTGTAATCTTGATGCCATCAGG-3') (Rossmanith, 2014).

2.2 L. monocytogenes

2.2.1 Morfologi L. monocytogenes

Listeria pertama kali dideskripsikan secara lengkap pada tahun 1926 setelah terjadi infeksi spontan pada kelinci dan babi di laboratorium. Pada awalnya organisme yang diisolasi dari kasus tersebut diberi nama Bacterium monocytogenes karena infeksi yang terjadi menunjukkan gejala khas berupa monositosis. Kemudian, seorang peneliti bernama Pirie berhasil mengisolasi bakteri yang serupa dari hati seekor gerbile (sejenis hewan percobaan di laboratorium) yang terinfeksi dan diberi nama Listeralla hepatolytica. Pada tahun 1940, Pirie mengusulkan nama umum untuk bakteri tersebut

adalah Listeria. Nama bakteri tersebut dipilih sebagai penghargaan kepada seorang ahli bedah dan antiseptis terkenal di Inggris bernama Lord Lister (Ariyanti, 2010).

Listera spp. memiliki tujuh spesies yaitu L. monocytogenes, L. ivanovii, L.

seeligeri, L.innocua, L. welshimeri, L. martin, dan L. grayi, dua di antaranya adalah

bakteri patogen. L. monocytogenes adalah spesies yang patogen terhadap manusia dan hewan serta L. ivanovii (sebelumnya L. monocytogenes serotipe 5) merupakan spesies yang patogen terutama menginfeksi hewan dan sangat jarang menyebabkan penyakit pada manusia (walaupun ada laporan langka L. ivanovii terisolasi dari manusia yang terinfeksi) (Badan POM, 2015; Guillet, 2010).

(30)

14

– 0,5 µm dan panjang 0,5 – 2,0 µm. Bakeri ini bersifat mikroaerofilik yang tumbuh optimum bila diinkubasi pada kondisi kadar O2 kecil dan kadar CO2 5% - 10% (BSN, 2009). Pada media agar dengan waktu inkubasi lebih dari 24 jam, pertumbuhan bakteri tersebut akan menunjukkan variabilitas bentuk sel. Pada kultur yang lebih tua tersebut bakteri tampak berbentuk filamentous dengan panjang 6 – 20 µm (Ariyanti, 2010). 2.2.2 Epidemiologi L.monocytogenes

L. monocytogenes terdistribusi luas dilingkungan, dapat ditemukan di tanah,

pakan ternak yang dibuat dari daun-daunan hijau yang diawetkan dengan fermentasi (silage), dan sumber-sumber alami lainnya seperti feses ternak. Bakteri ini juga telah ditemukan pada setidaknya 37 spesies mamalia, baik hewan piaraan maupun hewan liar, serta pada setidaknya 17 spesies burung, dan mungkin pada beberapa spesies ikan dan kerang (Kemenkes RI, 2013).

Sumber penularan L. monocytogenes dapat terjadi pada beberapa aspek mulai dari pemilihan makanan, pengolahan, hingga penyajian. Pada pemilihan makanan penularan biasanya terjadi pada produk seperti susu mentah, susu yang proses pasteurisasinya kurang benar, keju (terutama jenis keju yang dimatangkan secara lunak), es krim, sayuran mentah, sosis dari daging mentah yang difermentasi, daging unggas mentah dan yang sudah dimasak, semua jenis daging mentah, dan ikan mentah atau ikan asap. Pada saat pengolahan makanan, juga dapat terjadi penularan jika menggunakan alat masak yang telah terkontaminasi L. monocytogenes (Kemenkes RI, 2013).

2.2.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup L. monocytogenes

(31)

15

Tabel 2.3 Batas Kondisi Pertumbuhan L. monocytogenes

Minimum Optimum Maksimum

Suhu (ºC) -1,5 30 – 37 50

pH 4,0 6,0 - 8,0 9,6

Aktifitas Air (aw) 0,90 0,97 -

Sumber : Lado dan Yousef, 2007 dalam Food Standards Australia New Zealand, 2013 Kisaran suhu untuk pertumbuhan L. monocytogenes adalah antara -1.5 dan 45 °C, dengan Suhu optimal menjadi 30-37 °C. Suhu di atas 50 °C dapat membunuh L. monocytogenes (Lado dan Yousef, 2007 dalam Food Standards Australia New

Zealand, 2013). Namun, bakteri ini masih dapat hidup dilaporkan mampu bertahan hidup pada perlakuan pasteurisasi dengan suhu 72 oC selama 15 detik (Nadal et al., 2007). Heat shock dan tekanan lingkungan lainnya mempengaruhi virulensi L. monocytogenes. Ketika L. monocytogenes diberikan heat shock pada 48 ° C untuk 2

jam, listeriolysin O hampir seluruhnya hilang. Namun, pertumbuhan berikutnya pada 37 °C dari sel heat shock tersebut mengakibatkan produksi listeriolysin yang 40 kali lebih besar. Pembekuan juga dapat menyebabkan penurunan angka L. monocytogenes. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu serendah 0 °C, ia memiliki potensi untuk berkembang, meskipun lambat, dalam makanan selama penyimpanan berpendingin (Lado dan Yousef, 2007 dalam Food Standards Australia New Zealand, 2013). Bahkan L. monocytogenes mampu bertahan pada suhu -20 ºC. Namun secara umum, pengaruh

pembekuan terhadap L. monocytogenes bergantung pada kondisi produk dan kemasan (Badan POM, 2015).

L. monocytogenes dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas dari 4,0 - 9,6.

(32)

16

sensitif terhadap kondisi asam pada suhu yang lebih tinggi. L. monocytogenes tumbuh optimal pada aktivitas air (aw) dari 0.97. Namun, L. monocytogenes juga memiliki kemampuan untuk tumbuh pada aw 0,90 (Lado dan Yousef, 2007 Food Standards Australia New Zealand, 2013). Johnson et al. (1988) dalam Food Standards Australia New Zealand (2013) menunjukkan bahwa L. monocytogenes dapat bertahan waktu yang lama pada nilai aw 0,81.

L. monocytogenes cukup toleran terhadap garam dan telah dilaporkan tumbuh

di 13-14% natrium klorida (Farber et al. 1992 dalam Food Standards Australia New Zealand, 2013). Kelangsungan hidup terhadap garam dipengaruhi oleh suhu penyimpanan. Penelitian telah menunjukkan bahwa di larutan garam yang terkonsentrasi, tingkat kelangsungan hidup L. monocytogenes lebih tinggi ketika suhu rendah. L. monocytogenes dapat tumbuh pada kedua kondisi aerobik dan anaerobik, meskipun tumbuh baik dalam lingkungan anaerobik (Lado dan Yousef, 2007 dalam Food Standards Australia New Zealand, 2013).

Pengaruh pengawet pada pertumbuhan L. monocytogenes dipengaruhi oleh efek gabungan dari suhu, pH, kandungan garam dan aktivitas air. Sebagai contoh, sorbates dan parabens yang lebih efektif dalam mencegah pertumbuhan L. monocytogenes pada penyimpanan yang lebih rendah suhu dan pH. Juga,

menambahkan natrium klorida atau menurunkan mempertinggi suhu kemampuan laktat untuk mencegah L. monocytogenes pertumbuhan. Pada suhu menurun (seperti sebagai pendingin penyimpanan) natrium diasetat, natrium propionat, dan natrium benzoat adalah lebih efektif dalam mencegah pertumbuhan L. monocytogenes (Lado

(33)

17

2.2.4 Listeriosis

L. monocytogenes merupakan salah satu agen penyebab food-borne disease,

yaitu penyakit yang muncul akibat masuknya mikroorganisme patogen pada pangan ke dalam tubuh. Bakteri ini merupakan penyebab terjadinya penyakit listeriosis.

Walaupun bakteri ini “kurang populer” dibandingkan dengan Escherichia coli (E. coli)

atau Salmonella dalam kaitannya sebagai agen penyebab keracunan pangan, namun Listeria merupakan salah satu mikroorganisme penyebab terjadinya KLB keracunan

pangan di dunia (Badan POM, 2015).

Di Spanyol, kasus listeriosis pada manusia jarang terjadi, sekitar 1 kasus per 100.000 penduduk. Tahun 1981 di Kanada, pernah terjadi wabah listeriosis yang menyebabkan kematian beberapa domba akibat memakan kubis yang terkontaminasi L. monocytogenes. Dua tahun kemudian, lebih kurang 14 orang meninggal dunia dari

sejumlah 49 orang yang dirawat di rumah sakit di Massachusetts dengan gejala klinis berupa septikemia dan meningitis karena mengkonsumsi susu pasteurisasi yang terkontaminasi. Tahun 1985, terjadi wabah listeriosis di Los Angeles dan California. Dilaporkan sejumlah 29 orang meninggal akibat mengkonsumsi keju yang terkontaminasi. Selanjutnya, antara tahun 1991-2002 di Eropa juga pernah dilaporkan 19 kasus listeriosis invasif. Kasus listeriosis juga dilaporkan 9 negara lainnya dengan total wabah listeriosis sebanyak 526 kasus. Sejak tahun 1998, Perancis telah mengembangkan sistem untuk melaksanakan kegiatan monitoring listeriosis pada manusia dan dilakukan investigasi pada sumber foodborne listeriosis (Kemenkes RI, 2015).

(34)

18

per 100.000 individu (CDC, 2014). Pada Kasus Luar Biasa (KLB) keracunan pangan akibat L. monocytogenes yang terjadi di Amerika karena mengkonsumsi produk Caramel Apples, dilaporkan jumlah korban yang terinfeksi sebanyak 32 orang dengan

11 orang diantaranya adalah wanita hamil dengan kejadian 1 janin meninggal dan 3 orang anak-anak usia 5 - 15 tahun mengalami komplikasi meningitis (Badan POM, 2015).

Dosis minimum L. monocytogenes diperkirakan 102/gram, namun bakteri ini dapat menyebabkan infeksi serius dan mematikan pada kelompok individu tertentu (BSN, 2009). Namun, bakteri ini dapat menyebabkan infeksi serius dan mematikan pada kelompok individu tertentu. Risiko mortalitas sebesar 24% dapat terjadi ketika bakteri ini menginfeksi kelompok individu yang rentan seperti wanita hamil dan janin, orang lanjut usia, anak-anak dan penderita penyakit immunocompromised (penurunan imunitas/daya tahan tubuh) seperti pasien AIDS, kanker (penerima kemoterapi), kanker darah, transplantasi organ, dan penerima terapi kortikosteroid (Badan POM, 2015). Angka kematian karena meningitis oleh Listeria adalah sebesar 70 %, keracunan darah (speticemia) 50%, dan infeksi perinatal/neonatal lebih besar dari 80% (BSN, 2009).

(35)

19

syaraf pusat dan masuk dalam sirkulasi darah, menyebabkan pneumonia. Abses atau lesi pada kulit juga dapat terlihat. Gejala klinis tersebut tergantung pada umur manusia, kondisi kesehatan dan strain bakteri yang menginfeksi (Ariyanti, 2010).

2.2.5 Gen Virulensi L. monocytogenes

Satu-satunnya faktor regulasi yang diperlukan untuk pengaturan ekspresi sebagian besar gen virulensi L. monocytogenes adalah PrfA (Chakraborty et al., 1992). PrfA mengaktifkan semua gen yang disebut cluster gen virulensi L. monocytogenes yaitu prfA, PlcA, hly, mpl, actA, plcB (Beverly, 2004), serta ekspresi inlA dan inlB, yang mengkodekan dua protein invasi (InlA dan InlB), ekspresi inlC, yang mengkode protein internalin sekresi kecil (InlC), dan hpt, gen yang mengkode UhpT-related sugar phosphate transporter yang menengahi proliferasi intraseluler cepat (Milohanic,

2003).

Di antara gen virulensi ini, Jung et al. (2009) mengungkapkan bahwa hlyA mengkodekan hemolisin, disebut sebagai listeriolysin O yang sangat vital bagi invasi patogen ke sel inang yang melisiskan phagosomes dari sel inang dan mengakibatkan penyebaran (Rong, 2013). Zat listeriolysin O (LLO) merupakan faktor utama pada proses patogenesis L. monocytogenes (Ariyanti, 2010). Jung et al. (2009) juga menyatakan bahwa gen virulensi hlyA, plcA dan plcB dan produk translasi mereka dapat menjadi penanda virulensi untuk membedakan spesies patogen dari spesies non-patogenik (Rong, 2013).

2.2.6 Identifikasi L. monocytogenes

(36)

20

adalah cara sederhana untuk cepat memperkuat urutan tertentu dari DNA target dari organisme indikator untuk jumlah yang dapat dilihat oleh mata manusia dengan berbagai alat deteksi (Jeyaletchumi, 2010).

PCR menggunakan dua primer (biasanya 20-30 nukleotida panjang) yang mengapit awal dan akhir dari target DNA tertentu, DNA polimerase termostabil yang mampu mensintesis DNA spesifik, dan DNA beruntai ganda berfungsi sebagai template untuk polimerase DNA . Proses PCR dimulai pada suhu tinggi (misalnya 94 °C) untuk denaturasi dan membuka template DNA untai ganda menjadi DNA untai tunggal, diikuti dengan suhu yang relatif rendah (contohnya dengan suhu 54 °C) untuk memungkinkan proses annealing antara untai tunggal primer dan template untai tunggal, dan kemudian suhu 72 °C untuk memungkinkan pemanjangan untai DNA. Seluruh proses ini diulang 25-30 kali sehingga satu salinan templete DNA bisa berubah menjadi miliaran salinan dalam waktu 3-4 jam (Jeyaletchumi, 2010).

Identifikasi L. monocytogenes dapat menargetkan gen hly, prfA, atau urutan RNA (Clayton, 2011). Identifikasi L. monocytogenes menggunakan Polymerase chain reaction (PCR) dengan menargetkan gen hly merupakan teknik yang sensitif dan cepat

(37)

21

Terdapat beberapa penelitian mengenai identifikasi L. monocytogenes dengan menargetkan gen hly dan prfA. Adapun primer yang digunakan untuk identifikasi gen virulensi L. monocytogenes tersebut terlihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Beberapa Primer yang Digunakan untuk Identifikasi Gen Virulensi L.monocytogenes

2.3.1 Morfologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat dengan

(38)

22

2.3.2 Epidemiologi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat ditemukan berada dalam hidung, tenggorokan,

kulit, rambut, dan bulu ternak termasuk unggas dan manusia. Bakteri ini juga dalat ditemukan menginfeksi kulit yang luka atau bengkak pada manusia dan ternak. Kontaminasi bakteri ini secara umum berasal dari sumber tersebut (Sopandi & Wardah, 2013).

Selain itu, berbagai jenis pangan dapat terlibat atau berkaitan dengan wabah penyakit bawaan pangan stafilokokal (Staphylococcal gastroenteritis). Secara umum, pertumbuhan bakteri dalam pangan penghasil toksin tidak mempengaruhi dalam penurunan kualitas pangan. Pangan yang mengandung kadar protein tinggi yang tidak ditangani dan disimpan pada suhu penyimpanan yang tepat, berkaitan dengan Staphylococcal gastroenteritis (Sopandi & Wardah, 2013). Adapun bahan makanan

sumber pencemaran Staphylococcus yang menimbulkan wabah gastroenteritis adalah daging babi, produk roti, daging sapi, kalkun, ayam dan telur, seperti terlihat pada tabel 2.5 (Bean & Griffin, 1990 dalam Jay, 2000).

Tabel 2.5 Bahan makanan sumber pencemaran utama wabah Staphylococcus di Amerika tahun 1973 – 1987

Bahan makanan Jumlah wabah

Babi 96

Produk-produk roti 26

Daging sapi 22

Daging kalkun 20

Daging ayam 14

Telur 9

(39)

23

Pencemaran pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan (Bailey et.al.,1987 dalam Nugroho, 2004). Sebelum ayam disembelih, mikroba (Staphylococcus) terdapat pada permukaan kaki, bulu, dan kulit ayam yang merupakan bagian tubuh yang kontak dengan tanah, debu, dan feses. Namun demikian Smiber et.al. (1958) yang disitasi Bailey et. al. (1987) menyatakan bakteri tersebut dapat juga

ditemukan pada berbagai lokasi di saluran pernafasan ayam hidup (Nugroho, 2004). May, 1974 disitasi Bailey et. al., 1987 menyatakan bahwa tahap-tahap yang berpotensi terjadinya pencemaran silang mikroba pada pemrosesan karkas ayam di RPA dapat terjadi pada saat penerimaan dan penggantungan ayam, penyembelihan, scalding dan pencabutan bulu, pengeluaran jerohan, pendinginan, grading, es, pemotongan (Nugroho, 2004).

Selain itu, pencemaran Staphylococcus dapat pula terjadi pada tahap pengolahan/pemasakan. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning, penggilingan, atau penangan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber pencemar (Bailey et. al. 1987 dalam Nugroho, 2004). 2.3.3 Pertumbuhan dan Kelangsungan hidup Staphylococcus aureus

(40)

24

menjadi dominan dalam pangan karena kemampuan bakteri ini untuk tumbuh dalam kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk mikroorganisme lain (Sopandi & Wardah, 2013).

Staphylococcus aureus tidak tumbuh pada kaldu BHI yang diperkaya NaCl dan

sukrosa pada pH 4,3; a

w 0,85 dan suhu 8 o

C. Bakteri ini juga tidak dapat tumbuh pada

kondisi pH< 5,5, pada a

w 0,9 –0,93, dan suhu 12 o

C. Pada kondisi anaerobik tertentu

(a

w 0,92 ; pH 5,3 ; suhu 30 o

C), bakteri ini mampu menghasilkan enterotoksin B, dan produksi akan lebih cepat pada keadaan aerobik namun akan menurun apabila konsentrasi HNO

2 meningkat (Jay, 2000). 2.3.4 Staphylococcal gastroenteritis

Staphylococcal gastroenteritis adalah radang saluran pencernaan yang

disebabkan mengonsumsi makanan yang mengandung satu atau lebih enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa spesies atau strain Staphylococcus (Nugroho, 2004).

Gejala utama dari toksin tersebut adalah stimulasi sistem syaraf autonom, yaitu

salivasi, mual dan muntah, keram perut, serta diare dengan gejala skunder berkeringat,

menggigil, sakit kepala, dan dehidrasi (Sopandi & Wardah, 2013). Waktu onset dari

gejala keracunan biasanya cepat dan akut, tergantung pada daya tahan tubuh dan

banyaknya toksin yang termakan. Jumlah toksin yangdapat menyebabkan keracunan

adalah 1,0 µg/gr makanan (Nugroho, 2004).

(41)

25

Kejadian keracunan akibat Staphylococcus aureus pada nasi jagung terjadi di Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 2012. Tujuh santri Pondok Pesantren Roudholuth Tholibien menjadi korban keracunan makanan tersebut, dua di antaranya meninggal. Dinas Kesehatan Wonosobo menetapkan kasus ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) (Finesso, 2012).

2.3.5 Faktor Virulensi Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya

tersebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin seperti Katalase, Koagulase, Hemolisin, Leukosidin, Toksin eksfoliatif, Toksin Sindrom Syok Toksik (TSST) dan Enterotoksin (Kusuma, 2009).

Pada umumnya kasus keracunan makanan stafilokokal (Staphylococcal gastroenteritis) berkaitan dengan enzim enterotoksin yang dihasilkan oleh strain

Staphylococcus aureus terutama pada makanan yang mengandung karbohidrat dan

protein (Kusuma, 2009; Sopandi & Wardah, 2013). Enterotoksin adalah enzim yang tahan panas dan tahan terhadap suasana basa di dalam usus (Kusuma, 2009). Strain enteroksigenik Staphylococcus aureus diketahui dapat menghasilkan 7 enterotoksin berbeda, yaitu A, B, C1, C2, C3, D, dan E. Enterotoksin yang mempunyai toksisitas lebih tinggi akan lebih stabil terhadap panas dan potensi toksinnya tidak rusak pada proses pengolahan pangan dengan panas (Sopandi & Wardah, 2013).

2.3.6 Identifikasi Bakteri Staphylococcus aureus

(42)

26

mengambil sedikit koloni dari kultur murni PAD dan koloni diletakkan pada obyek glass yang telah ditetesi H2O2. Hasil positif ditandai adanya gelembung udara untuk membedakan Staphylococcus sp. dengan Streptococcus sp. (Todar, 2005 dalam Toelle & Lenda, 2014). Pada uji koagulase dilakukan dengan plasma darah kelinci (Bruckler et al., 1994 dalam Toelle & Lenda, 2014) dan dilanjutkan penanaman koloni pada mannitol salt agar (MSA). Uji MSA dilakukan dengan cara sebagai berikut, koloni yang terdapat dalam plat agar darah (PAD) diambil dengan ose dan dikultur pada media MSA, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. Hasil pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus ditandai dengan perubahan warna dari merah menjadi kuning. Uji Voges Proskauer (VP) digunakan untuk mengetahui pembentukan acetilmetikarbinol deteksi produksi asetoin, kemudian dilanjutkan uji oksidase (Todar, 2005; MacWilliams, 2012 dalam Toelle & Lenda, 2014)

2.4 Batas Maksimum Cemaran Mikroba (BMCM) pada Daging

Daging merupakan salah satu makanan yang paling sering dikonsumsi manusia. Daging mengandung nutrien berupa protein, lemak, mineral, sedikit karbohidrat dan air. Adanya nutrien tersebut mengakibatkan selain sebagai bahan pangan daging juga potensial ditumbuhi bakteri (Nurwantoro, 2012).

(43)

27

(karkas dan tanpa tulang) dan dicincang. Tidak terdapat peraturan mengenai Listeria monocytogenes pada daging ayam. Namun, pada sosis masak (tidak dikalengkan, siap

dikonsumsi) terdapat peraturan mengenai BMCM L. monocytogenes yaitu negatif/25 gram (BSN, 2009). Begitu pula di Amerika, Eropa dan Malaysia menolak bahan makanan yang terkontaminasi oleh L. monocytogenes (Ariyanti, 2010). Sedangkan untuk Staphylococcus aureus memiliki batas maksimum yaitu sebesar 1×102 koloni/gram baik pada daging maupun produk olahan daging.

2.5 Identifikasi Bakteri Patogen dengan Sekuen Fragmen 16s rDNA

Terdapat berbagai jenis metode dalam identifikasi bakteri. Salah satu metode dalam identifikasi bakteri yaitu metode analisa sekuen fragmen 16S rDNA. Metode ini merupakan metode yang telah diakui sebagai metode identifikasi yang akurat untuk berbagai spesies organisme (Nuroniyah, & Putra 2012). Metode ini sangat sering digunakan untuk keperluan identifikasi/skrining bakteri patogen karena gen ini bersifat universal serta banyak terdapat pada sel mikroorganisme (Dwiyitno, 2010). Selain itu, gen 16S rDNA dari hampir seluruh spesies bakteri telah ditentukan urutan basa nitrogennya sehingga dapat dijadikan pedoman jika ditemukan spesies baru. Urutan basa nitrogen gen 16S rDNA juga memiliki keragaman intraspesifik yang lebih rendah dibandingkan gen pengkode protein yang lain (Nuroniyah & Putra, 2012).

(44)

28

dalam INSDC (International Nucleotide Sequence Database Collaboration) yaitu GenBank milik NCBI (National Center for Biotechnology Information), DDBJ (DNA Data Bank of Japan) milik NIG (National Institute of Genetics), dan ENA (European

Nucleotide Archive) milik EMBL-EBI (European Molecular Biology

Laboratory-European Bioinformatics Institute).

Terdapat banyak primer universal yang digunakan dalam 16S rDNA. Adapun primer universal tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Primer Universal dalam Identifikasi Spesies Bakteri Patogen dengan Sekuen Fragmen 16s rDNA

2.6 Uji Ketahanan Bakteri pada Berbagai Derajat Keasaman dengan Metode Turbidimetri

(45)

29

bakteri hidup. Salah satu metode cepat untuk menghitung sel bakteri secara keseluruhan yaitu dengan teknik turbidimetri (uji kekeruhan) menggunakan spektrofotometer (Grahatika, 2009).

Prinsip kerja perhitungan jumlah bakteri dengan spektrofotometer adalah membaca tingkat kekeruhan dalam media bakteri. Spektrofotometer dapat menghitung seluruh sel bakteri baik yang hidup maupun yang mati. Jadi semua suspensi yang ada dalam larutan kuvet akan terbaca semua. Prinsip kerja spektrofotometer adalah cahaya dari sumber radiasi jatuh pada suatu medium homogen, sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian di serap dalam medium itu, dan sisanya diteruskan (UIN MALIKI Malang, 2014).

Nilai yang keluar dari cahaya yang diserap dinyatakan dalam nilai absorbansi karena memiliki hubungan dengan konsentrasi sampel. Pengukuran kekeruhan dilakukan pada panjang gelombang 600-700 nm, dimana pada panjang gelombang ini absorbansi sinar oleh komponen sel adalah minimum (UIN MALIKI Malang, 2014).

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Cotter et al. (2005), Begley et al. (2006), dan Cheng et al. (2013), panjang gelombang spektrofometer yang digunakan untuk menganalisis pertumbuhan sel L. monocytogenes adalah 600 nm. Pertumbuhan sel Staphylococcus aureus dalam penelitian Jamshidi et al., (2008) dan Valero et al.,

(2009) menggunakan panjang gelombang spektrofotometer sebesar 600 nm.

Selain untuk mengukur pertumbuhan sel, metode turbidimetri atau Tube Dilution Methode juga dapat digunakan untuk menentukan MIC dan MBC. Minimum

Inhibitor Concentration (MIC) atau disebut juga Kadar Hambat Minimum (KHM)

(46)

30

Gambar

Tabel 2.1 Jenis-jenis Koloni pada Sampel A dan K oleh Santi et al. (2015)
Gambar 2.1 Hasil  Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Elektroforesis pada Isolat Listeria sp dari 20 sampel Ayam Betutu (Santi et al., 2015)
Tabel 2.3 Batas Kondisi Pertumbuhan L. monocytogenes
Tabel 2.4 Beberapa Primer yang Digunakan untuk Identifikasi Gen Virulensi L.monocytogenes
+3

Referensi

Dokumen terkait

Disamping data di atas perlu juga diperhatikan, bahwa masalah kesehatan masyarakat yang sering terjadi perlu dibagi menjadi beberapa kelompok, antara lain masalah perilaku

Oleh karena itu agar tercipta tertib administrasi, tertib pengelolaan keuangan, serta tertib dalam pelaksanaan pemungutan biaya kepada masyarakat, perlu ditetapkan

Pada bab 3 akan dijelaskan perancangan struktur navigasi bagi user dan admin, perancangan sistem dengan menggunakan Data Flow Diagram, perancangan database dengan menggunakan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa RKHUP akan melemahkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Korupsi meskipun undang-undang ini sifatnya

Y trata la historia de Aurora, quien es una chica de 15 años que atraviesa la etapa de la pubertad y quiere a toda costa perder su virginidad con el chico que le gusta; sin embargo

Alhamdulillah dengan kemudahan dari Allah Subhanahu wa ta’ala, penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Peran Pembiasaan Keislaman Terhadap Religiusitas Santri

Dari sisi bentuk transaksi e-commerce gift atau been dalam aplikasi streaming ini, kebanyakan bertentangan dengan akad ijarah, karena pada saat live dalam aplikasi bigo yang

Variasi non genetik dapat terjadi karena adanya variasi umur, variasi musiman pada suatu individu, variasi musiman pada beberapa keturunan, variasi sosial, variasi