10
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perempuan
2.1.1 Organ Reproduksi Perempuan
Menurut Irianto (2013), Organ reproduksi pada perempuan dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Organ Reproduksi Internal
a. Ovarium
Ovarium atau indung telur berjumlah sepasang dengan memiliki panjang 3-4 cm. ovarium berperan secara bergantian untuk menghasilakan ovum yang pada umumnya ovum di hasilkan setiap 28 hari. Ovarium juga memproduksi hormon estrogen dan progesteron.
b. Tuba fallopi atau oviduk
Tuba fallopi memiliki panjang sekitar 10 cm. bagian pangkal tuba fallopi berbentuk corong yang disebut infundibulum. Pada infundibulum terdapat fibrae yang berfungsi menangkap ovum yang dilepaskan oleh ovarium. Ovum yang ditangkap oleh infundibulum akan masuk ke tuba fallopi, yang mana berfungsi untuk menyalurkan ovum dari ovarium menuju uterus. c. Uterus
Uterus berfungsi sebagai tempat perkembangan zigot apabila terjadi fertilisasi.
2. Organ Reproduksi Eksternal
Organ reproduksi bagian luar pada perempuan berupa vulva yang terdiri dari mons pubis. Mons pubis merupakan daerah atas dan terluar dari vulva yang
banyak mengandung jaringan lemak. Pada masa pubertas daerah ini mulai di tumbuhi oleh rambut. Dibawah mons pubis terdapat labium mayor dan labium minor, yang mana berfungsi untuk melindungan vagina. Gabungan labium mayor dan minor pada bagian atas labium membentuk tonjolan kecil yang disebut klitoris.
2.2 Aktivitas Fisik 2.2.1 Definisi
Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka dan memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang teratur dan benar sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar (Febriyanti et al., 2015).
Aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan penunjangnya. Dalam sistem aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar metabolism basal untuk bergerak. Banyaknya energi yang dibutuhkan bergantung pada seberapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Iqbal, 2017).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan, aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dilakukan oleh sistem musculoskeletal dan membutuhkan pengeluaran energi, yang dilakukan dalam durasi waktu tertentu.
2.2.2 Jenis-jenis aktivitas fisik
Physical Activity Guidelines for Americans (2018) menganjurkan untuk melakukan
aktivitas fisik dengan intensitas sedang selama 60 menit setiap hari atau setidaknya 150 menit per minggu (HHS, 2018).
Menurut Toscano (2018), secara konvensional aktivitas fisik di klasifikasikan menjadi empat jenis yaitu Pekerjaan (di tempat kerja), Rumah tangga (di rumah), Transportasi, dan rekreasi. Selain itu, berdasarkan intensitasnya di bagi menjadi kuat, sedang, ringan, atau tidak bergerak.
Sedangkan, Menurut Potter & Perry (2010) dalam buku Fundamental Keperawatan, Jenis aktivitas fisik berdasarkan intensitasnya dalam aktivitas harian, sebagai berikut :
1. Aktivitas harian intensitas rendah a. Mencuci pakaian
b. Merapikan tempat tidur c. Menyetrika
d. Mencuci piring
2. Aktivitas harian intensitas sedang a. Menyapu dapur
b. Mencuci jendela c. Melipat pakaian
d. Membersihkan dengan mesin vakum 3. Aktivitas harian intensitas tinggi
b. Membawa kotak atau barang berat lain melalui tangga
Adapun intensitas aktivitas fisik dinyatakan dalam istilah Metabolic Equivalen (MET) (Veer et al., 2018). Pengeluaran energi ditentukan Metabolic Equivalent of Task (MET). Yang mana 1 MET adalah tingkat pengeluaran energi saat duduk diam. Aktivitas intensitas ringan adalah perilaku non-sedentari yang membutuhkan kurang dari 3.0 MET, Aktivitas intensitas sedang membutuhkan 3.0-<6.0 MET, dan Aktivitas dengan intensitas tinggi membutuhkan ≥6.0 MET (HHS, 2018). Klasifikasi aktivitas fisik berdasarkan nilai MET (Iqbal, 2017), sebagai berikut :
a. Berat
1. (Melakukan aktivitas berat minimal 3 hari dengan intensitas minimal 1500 MET-menit/minggu, atau
2. Melakukan kombinasi aktivitas fisik ringan, sedang, dan berat dengan intensitas mencapai 3000 MET-menit/minggu
b. Sedang
1. Melakukan aktivitas berat minimal 20 menit/hari selama 3 hari maupun lebih dari pada itu, atau
2. Melakukan aktivitas sedang selama 5 hari atau lebih atau minimal berjalan 30 menit/hari, atau,
3. Melakukan kombinasi aktivitas fisik yang berat, sedang, ringan dalam 5 hari atau lebih dengan intensitas mencapai 600 MET-menit/minggu.
c. Rendah
Aktivitas yang tidak memenuhi salah satu dari semua kriteria yang telah disebutkan pada kategori tinggi dan sedang.
Berikut merupakan jenis aktivitas fisik yang sering dilakukan berdasarkan dengan pengeluaran Metabolic Equivalent of Task (MET) serta intensitasnya, (Fajar, 2018):
Tabel 2. 1 jenis aktivitas fisik yang sering dilakukan.
No Aktivitas fisik Keterangan MET/hour
1 Belanja makanan dengan atau tanpa troli, berdiri atau berjalan
Ringan 2.3
2 Mencuci dan mengeringkan pakaian Ringan 2
3 Berjalan 4 km/jam di tanah rata Ringan 3
4 Berjalan membuka/menutup pintu, dan
jendela Ringan 3
5 Berjalan santai <3 km/jam Ringan 2
6 Duduk belajar dan membaca Ringan 1.8
7 Jalan-jalan di mall Ringan 2.3
8 Memasak Ringan 2.5
9 Menuruni tangga Ringan 3
10 Menyetrika Ringan 2.3
11 Merapikan tempat tidur Ringan 2
12 Berjalan 5 km/jam langkah cepat Sedang 5
13 Berjalan ke kampus Sedang 4
14 Membawa barang 1-6 kg sambil naik
tangga Sedang 5
15 Menyapu lantai Sedang 3.3
16 Back exercise Sedang 3.5
17 Merawat orang dewasa disabilitas Sedang 4
18 Mengepel Sedang 3.5
19 Kompetisi bola voli Berat 8
20 Jogging Berat 7
21 Senam aeronik Berat 6.5
2.2.3 Manfaat aktivitas fisik
Aktivitas fisik yang dilakukan secara rutin akan mendorong kesejahteraan fisik dan emosional. Kerja sama otot dan sistem saraf akan mempertahankan keseimbangan, postur, dan kesejajaran tubuh saat mengangkat, membungkuk, bergerak, dan melakukan aktivitas seharian. Gaya hidup aktif sangat penting untuk memelihara dan mempromosikan kesehatan, selain itu juga dapat mengurangi resiko terkena penyakit kronis. Dengan melakukan aktivitas fisik yang teratur dapat meningkatkan fungsi seluruh sistem tubuh seperti fungsi jantung, paru-paru, kebugaran otot dan tulang (fleksibel dan integritas tulang), pengaturan dan pemeliharaan berat badan, serta kesejahteraan emosional.
Program aktivitas fisik terbaik yaitu kombinasi olahraga yang menghasilkan berbagai manfaat fisiologis dan psikologis. Isotonik, isometrik, dan isometrik resistif merupakan tiga kategori olahraga yang dikelompokkan sesuai dengan jenis kontraksi otot. Olahraga isotonik akan meningkatkan fungsi sirkulasi dan respirasi, meningkatkan massa, tonus, dan kekuatan otot, dan mempromosikan aktivitas osteoblastik (aktivitas sel pembentuk otot) sehingga dapat melawan osteoporosis. Contohnya adalah berjalan, berenang, aerobik, bersepeda, dan menggerakan lengan dan kaki dengan tahanan ringan.
Olahraga isometrik melibatkan peregangan otot tanpa menggerakan anggota tubuh atau kontraksi isometrik. Contohnya yaitu olahraga kuadtrisep dan kontraksi otot gluteus. Manfaat olahraga isometrik yang didapatkan adalah peningkatkan massa, tonus, dan kekuatan otot yang akan mengurangi atrofi otot, dan aktivitas osteoblastik.
Olahraga isometrik resistif yaitu aktivitas fisik yang terjadi apabila seseorang mengontraksi otot sambil mendorong benda stasioner atau menahan gerakan suatu benda. Peningkatan bertahap pada kadar tahanan dan durasi yang dilakukan oleh kontraksi otot akan meningkatkan kekuatan dan ketahanannya (Perry & Potter, 2010).
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fisik
Tingkat aktivitas fisik dapat dipengaruhi oleh faktor yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, ras, etnis dan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi karakteristik individu, dukungan sosial, lingkungan tempat tinggal, status ekonomi, pekerjaan, keterbatasan fisik, serta level pendidikan atau pengetahuan dan kesempatan mengakses pelayanan kesehatan. Di setiap institusi pendidikan para mahasiswi berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam usia, juga dukungan kondisi lingkungan tempat tinggal yang dapat mempengaruhi tingkat aktivitas fisiknya. Hambatan utama bagi mahasiswa dalam melakukan aktivitas fisik yaitu kurangnya waktu luang, upaya fisik untuk melakukan aktivitas, kurang energi, dan padatnya jadwal perkuliahan yang sebagian besar dilaksanakan dalam posisi duduk dalam waktu yang lama. Adapun perkembangan zaman yang semakin maju dan gaya hidup menetap atau sedentary juga menjadi salah satu penyebab berkurangnya aktivitas fisik (Riskawati et al., 2016).
Berkurang aktivitas fisik menyebabkan buruknya kesehatan pada mahasiswa dan meningkatkan risiko stress, penyakit kardiovaskuler, hipertensi, kematian dini,
gangguan tidur, obesitas, peningkatan kadar depresi, dan kecemasan (Cilar et al., 2017).
2.2.5 Instrumen mengukur Aktivitas Fisik
Ada berbagai macam instrument yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas fisik seseorang, yaitu sebagai berikut:
1. International Physical Activity Questionnaire (IPAQ)
IPAQ dikembangkan pada tahun 1998 untuk memfasilitasi dalam menilai aktivitas fisik berdasarkan dengan standar global. IPAQ paling banyak digunakan dan tersedia dalam dua versi yaitu International Physical Activity
Questionnaire Long Form (IPAQ-LF) dengan jumlah 31 pertanyaan dan International Physical Activity Questionnaire Short Form (IPAQ-SF) dengan jumlah
7 pertanyaan. Hal ini menilai empat aktivitas tingkat intensitas yaitu aktivitas intensitas berat, aktivitas intensitas sedang, berjalan, dan duduk. IPAQ-SF dapat digunakan pada kelompok usia 15-69 tahun yang dinilai adalah aktivitas fisik dalam 7 hari terakhir (Veer et al., 2018).
2. Global Physicall Activity Questionnaire (GPAQ)
GPAQ dikembangkan pada tahun 2002 oleh World Health Organization (WHO). Penggunaan instrumen ini untuk pengawasan Aktivitas fisik nasional yang direkomendasikan oleh WHO dalam strategi global pada tahun 20044. GPAQ terdiri dari 16 pertanyaan yang dirancang untuk memperkirakan tingkat Aktivitas fisik seseorang pada 3 domain Aktivitas yaitu (pekerjaan,
perjalanan dan rekreasi) serta waktu yang dihabiskan untuk perilaku sedentary (Nainggolan et al., 2019)
3. Physical Activity Questionnaire for Adult (PAQ-A)
PAQ-A merupakan instrument laporan pribadi/mandiri yang menggunakan aktivitas mengingat memori hari sebelumnya. Instrument ini digunakan untuk mengukur level aktivitas jasmani secara umum pada seseorang dengan usia 14-19 tahun. Instrument PAQ-A dapat diadminitrasikan pada setting kelas dan menyediakan ringkasan skor aktivitas jasmani yang diperoleh dari 8 item, yang masing-masing diskor skala poin 5 (Dapan et al., 2017).
2.3 Menstruasi 2.3.1 Definisi
Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus yang disertai pelepasan endometrium. Peristiwa menstruasi ini merupakan hasil kerja sama antara hipotalamus, hipofisis, alat reproduksi ovarium dan uterus (Hypotalamus pituitary ovarial axis). (Munjidah, 2016)
Menstruasi adalah keluarnya secara berkala darah, lendir, dan sel epitel dari uterus yang diatur oleh hormon. dalam proses ini, lapisan dinding Rahim (endometrium) secara bertahap menebal dan terlepas dan menyebabkan perdarahan yang biasanya berlangsung selama 3-5 hari dan kadang-kadang hingga 7 hari (Kaur et
al, 2018). Menstruasi diawali dengan Menarche yang menandakan bahwa sudah
berfungsinya sistem reproduksi seorang wanita. Usia rata-rata saat menarche pada setiap individu berbeda. Namun, sebagian besar perempuan mengalami menarche di
antara usia 10-16 tahun. hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu status gizi, letak geografis dan kondisi lingkungan. (Ajah et al., 2015).
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa menstruasi adalah proses biologis yang normal terjadi pada wanita secara periodik atau berkala. Yang mana merupakan proses menebal dan terlepasnya lapisan endometrium sehingga mengakibatkan perdarahan.
2.3.2 Siklus menstruasi
Siklus Menstruasi adalah periode keluarnya darah yang terjadi setiap bulan dengan jarak yang regular . Siklus menstruasi ditandai oleh fluktuasi kadar hormon steroid ovarium yang bervariasi. Terjadinya siklus menstruasi yang reguler merupakan penanda bahwa organ-organ reproduksi seorang wanita berfungsi dengan baik. Satu siklus terhitung mulai dari hari pertama dalam satu periode menstruasi hingga hari pertama pada periode menstruasi berikutnya. Siklus menstruasi pada wanita normal berkisar antara 21-35 hari, dengan rata-rata durasi siklus ialah 28 hari. Namun, hanya 10% wanita yang memiliki siklus menstruasi 28 hari (Patricio & Sergio, 2016; Tombokan et al., 2017).
Tingkat steroid ovarium menunjukkan fluktuasi selama siklus menstruasi. fluktuasi terjadi dalam dua fase di setiap siklus. Hari pertama ditandai dengan adanya perdarahan menstruasi dari fase pertama. Fase kedua mengikuti ovulasi dan diakhiri dengan onset menstruasi. Dua fase dari siklus menstruasi lebih lanjut ditandai oleh waktu. Berkenaan dengan waktu, ovulasi menunjukkan transisi antara dua fase siklus, sehingga bagian pertama dari siklus dikenal sebagai fase pra-ovulasi dan bagian kedua
dari siklus ini dikenal sebagai fase pasca-ovulasi. Dari perspektif perubahan uterus, bagian pertama dari siklus menstruasi diidentifikasi sebagai fase proliferatif karena terjadi proliferasi sel endometrium yang melapisi dinding rahim. Kemudian bagian kedua dari siklus menstruasi disebut fase sekretoris karena masuknya lemak, glikogen, dan produk sekretori lainnya yang mengisi sel endometrium. Selanjutnya, sel folikel ovarium mensekresi hormon. Berikut terjadinya ovulasi, pembentukan korpus luteum menandai transisi ke fase luteal, yang mana korpus luteum mengambil alih sebagai jaringan yang mensekresi endokrin dalam ovarium. (Hollins-martin et al., 2014).
2.3.3 Fase – fase siklus menstruasi
Menurut (Wira, Rodriguez Garcia, & Patel, 2015) Siklus menstruasi dibagi menjadi tiga fase yaitu :
a. fase proliferasi
fase proliferasi atau fase folikuler terjadi ±14 hari dari siklus menstruasi. Fase Folikular ditandai dengan pematangan folikel yang mengandung ovule dan retinue sel folikel yang bertanggungjawab untuk mengubah androstenendione menjadi estradiol.. Pada fase ini terjadi peningkatan kadar LH secara signifikan dan terjadi ovulasi. Peran hormon estrogen sangat menonjol pada fase ini. Estrogen memacu terbentuknya komponen jaringan, ion, air dan asam amino yang membantu stroma endometrium yang kolaps saat menstruasi mengembang kembali. Pada awal fase proliferasi, tebal endometrium hanya sekitar 0.5 mm kemudiaan tumbuh menjadi sekitar 3,5-5 mm (Patricio & Sergio, 2016; Simbolon, 2018).
b. fase sekretorik
fase sekretorik terjadi pada hari ke 14–28 dari siklus menstruasi. Pada fase ini juga disebut dengan fase luteal karena rongga folikel meninggalkan ovule setelah terjadinya ovulasi, kemudian rongga folikel diolah menjadi korpus luteum yang menghasilkan estrogen dan progesterone. Jika pembuahan tidak terjadi maka korpus luteum berdegenerasi dan terjadi penurunan hormon progesteron dan estrogen sehingga fase menstruasi baru dimulai kembali. Pada akhir fase, ketebalan endometrium sudah mencapai 5-6 mm. (Patricio & Sergio, 2016; Simbolon, 2018).
c. Fase menstruasi
Pada fase ini terjadi perdarahan di hari ke 0-5 dari siklus menstruasi. Fase menstruasi tejadi bersamaan dengan pengakhiran fase sekretorik. Selama menstruasi normal, kira-kira 40 ml darah dan tambahan 35 ml cairan serosa dikeluarkan. Cairan menstruasi ini normalnya tidak membentuk bekuan, karena fibrinolisin dilepaskan bersama dengan bahan nekrotik endometrium. Bila terjadi perdarahan yang berlebihan dari permukaan uterus, jumlah fibrinolisin mungkin tidak cukup untuk mencegah pembekuan. Adanya bekuan darah selama menstruasi sering merupakan bukti klinis adanya kelainan patologi dari uterus. Dalam waktu 4 sampai 7 hari sesudah dimulainya menstruasi, pengeluaran darah akan berhenti, karena pada saat ini endometrium sudah mengalami epitelisasi kembali. (Simbolon, 2018).
2.3.4 Fisiologi Siklus Menstruasi
Hipotalamus mensekresi Gonadotropin-releasing Hormone (GnRH) dan merangsang kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan Luteinizing Hormone (LH) dan
Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang merangsang pertumbuhan folikel di ovarium.
Folikel di ovarium mengeluarkan jumlah estrogen meningkat menyebabkan lapisan endometrium berkembang biak. Selama fase proliferasi, terdapat peningkatan kadar hormon estrogen, sebelum terjadinya masa ovulasi pada pertengahan siklus, di ikuti dengan peningkatan kadar LH yang sangat berperan penting dalam masa ovulasi. Setelah terjadinya peningkatan kadar hormon estrogen selama 24-36 jam, terjadilah fase ovulasi. Selanjutnya memasuki fase Sekreori, pada fase ini folikel berubah menjadi korpus luteum, korpus luteum adalah jaringan yang terbentuk setelah ovulasi dan granulasi sel dari sisa-sisa folikel ovarium yang hancur. Berkembangnya korpus luteum dipicu oleh LH, korpus luteum mensekresi estrogen dan progesterone menyebabkan luteinisasi endometrium untuk persiapan pembuahan. Jika terjadi kehamilan, maka trofoblas mensekresi HCG, yang mana LH mempertahankan korpus luteum. Korpus luteum terus mensekresi estrogen dan progesterone untuk mempertahankan endometrium sehingga memungkinkan kehamilan berlanjut sampai plasenta terbentuk pada gestasi 8-9 minggu. Jika tidak terjadi kehamilan, kadar konsentrasi LH menurun mempengaruhi degenerasi korpus luteum atau disebut
Luteolysis dalam 10-12 hari, mengakibatkan penurunan kadar hormon estrogen dan
hormon progesteron, sehingga menyebabkan peluruhan dinding endometrium dan terjadilah fase menstruasi. Jumlah rata-rata darah menstruasi adalah 30 ml, apabila lebih dari 60 ml dianggap abnormal. (Hollins-martin et al., 2014; Wira et al., 2015).
Gambar 2.1 Siklus Menstruasi (Clayton, 2019)
2.3.5 Gangguan Siklus Mentruasi
Jika wanita sakit, cemas atau tertekan, bahkan kelelahan fisik dan stres akibat tekanan kerja dapat menyebabkan gangguan siklus menstruasi. Kejadian gangguan siklus menstruasi didefinisikan sebagai gangguan menstruasi yang dialami ditandai dengan panjang jarak antara hari pertama siklus menstruasi dengan hari pertama siklus menstruasi berikutnya kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari. Perubahan panjang dan gangguan keteraturan siklus menstruasi menggambarkan adanya perubahan produksi hormon reproduksi.
Ada beberapa gangguan siklus menstruasi, yaitu sebagai berikut : a. Polimenorea
Polimenorea adalah gangguan siklus menstruasi yang menyebabkan wanita berkali-kali mengalami menstruasi dalam sebulan, bisa dua atau tiga kali atau bahkan lebih. Wanita dengan polimenorea memiliki siklus mentruasi cenderung lebih pendek yaitu kurang dari 21 hari, sedangkan jumlah pendarahan relatif sama atau lebih banyak dari biasanya, hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem hormonal pada aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium. Ketidakseimbangan hormon tersebut bisa menyebabkan gangguan pada proses ovulasi (pelepasan sel telur) atau memendeknya waktu yang dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu siklus menstruasi normal sehingga didapatkan menstruasi yang lebih sering (Sinaga et al., 2017).
b. Oligominore
Oligominore adalah gangguan siklus menstruasi, yang mana terjadi pemanjangan siklus menstruasi atau lebih dari 35 hari yang disebabkan karena fase ploriferasi yang lebih panjang. (Arum et al., 2019).
Menurut Eny Kusmiran (2011), Oligomenore adalah tidak adanya menstruasi untuk jarak interval yang pendek atau tidak normalnya jarak waktu menstruasi yaitu jarak siklus menstruasi 35-90 hari.
Menurut Glueck et al., (2015), Oligomenore didefinisikan sebagai siklus menstruasi yang tidak teratur dengan panjang siklus ≥45 hari. Panjang siklus yang tidak teratur bisa menjadi penanda klinis penting dari disregulasi metabolic dan resistensi insulin pada perempuan.
c. Aminore
Aminore dibagi primer dan sekunder. Aminore primer secara klinis didefinisikan sebagai ketiadaan menstruasi setelah usia 15 tahun atau 3 tahun setelah timbulkan perkembangan seksual sekunder. Sedangkan, Aminore Sekunder terjadi bila siklus menstruasi berhenti selama 6 bulan berturut-turut pada wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur atau setelah 3 bulan berturut-turut pada wanita dengan siklus menstruasi teratur. Hal ini disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, stress, depresi, nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, penurunan berat badan, aktivitas berlebihan, obesitas, gangguan hipotalamus dan hipofisis, gangguan indung telur, kelainan endokrin, dan penyakit kronik. Gejala yang muncul pada seseorang dengan amenore yaitu sakit kepala, galaktore, gangguan penglihatan, penurunan atau penambahan berat badan yang berarti, vagina yang kering, dan hirsustisme (Kumalasari & Andhyantoro, 2012; Ramadhina, 2015; Susan Hayden Gray, 2016)
2.3.6 Faktor yang mempengaruhi siklus menstruasi
Eny Kusmiran (2011) menyebutkan faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan siklus menstruasi yaitu sebagai berikut :
1. Berat badan
Penurunan berat badan akut menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium, tergantung derajat tekanan pada ovarium dan lamanya penurunan berat badan.
Kondisi patologi seperti berat badan yang kurang/kurus dan anorexia nervosa yang menyebabkan penurunan berat badan yang berat dapat menimbulkan oligomenore atau amenore.
2. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan amenore, oligominore, polimenore dan anovulasi. Hal ini disebabkan oleh gangguan aksis
Hypothalamic Pituitary Adrenal (HPA). Penekanan aksis Gonadotropin Releasing Hormon (GnRH) akibat disfungsi hipotalamus terkait dengan aktivitas fisik
berlebihan dapat menunda menarche dan mengganggu pola siklus menstruasi dengan membatasi sekresi Luteizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating
Hormone (FSH). Sedangkan, pada perempuan dengan Aktivitas fisik dengan
intensitas rendah dapat meningkatkan cadangan energi di jaringan adiposa. Salah satu hormon yang dihasilkan oleh jaringan adiposa yaitu hormon leptin. Hormon leptin merupakan anggota dari adipositokin yang berperan dalam
signaling hormon jaringan adipose. Setiap kelainan pada leptin maupun
reseptornya menyebabkan obesitas. Penelitian menyebutkan perempuan dengan kondisi kegemukan berhubungan dengan proses perubahan androgen menjadi estrogen. Hipotalamus merangsang peningkatan sekresi hormon LH serta terjadi hiperandrogenisme. Selain itu gangguan pematangan folikel yang di akibat oleh peningkatan LH dan rendahnya kadar testosteron. Tinggi rendahnya estrogen dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar androgen. androgen merupakan hormon yang diperlukan tubuh untuk menghasilkan estrogen. Peningkatan kadar androgen dalam darah akan mengganggu fungsi
hipotalamus dan menekan sekresi GnRH sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan seksual, dan terjadinya penekanan langsung terhadap
gonadotropin baik pada tingkat hipotalamus. (Ahrens et al., 2015; Munjidah,
2016; Singh et al., 2019). 3. Stress
Ketika stress terjadi, dapat menyebabkan perubahan sistemik pada sistem persarafan dalam hipotalamus melalui perubahan prolactin yang dapat memengaruhi elevasi kortisol basal dan menurunkan kadar hormone Lutein (LH). Hal ini yang mengakibatkan terjadinya oligomenore atau amenore. 4. Diet
Diet dapat mempengaruhi menstruasi.. vegetarian berhubungan dengan anovulasi, penurunan hormon pituitary, fase folikel yang pendek, tidak normalnya siklus menstruasi (kurang dari 10 kali/tahun). Diet rendah lemak berhungan dengan panjangnya siklus menstruasi dan periode perdarahan. 5. Gangguan endokrin
Adanya penyakit-penyakit endokrin seperti diabetes, hiporioid, maupun hipertiroid dapat mengganggu siklus menstruasi. Prevalensi oligomenore lebih tinggi pada pasien diabetes mellitus. Penyakit polycystic ovarium berhubungan dengan insensivitas insulin dan menjadikan wanita tersebut obesitas. Hipertiroid berhubungan dengan terjadinya oligomenore dan kebih lanjut menjadi amenore.
2.3.4 Penatalaksanaan gangguan siklus menstruasi
Menurut Santoso dan Dikdik dalam buku Ilmu Kesehatan Olahraga menjelaskan, upaya untuk menormalkan kembali siklus menstruasi (Giriwijoyo & Sidik, 2012), sebagai berikut:
1. Pada seseorang yang beraktivitas berat disarankan untuk sedikit mengurangi aktivitas fisik sebanyak 5-10% dan menambah sedikit porsi makannya.
2. Jangan merusak tata gizi. Bila harus mengurangi berat badan, kurangi asupan gizi secara moderat yaitu sebesar ±20%. Pengurangan terlalu berat dapat menyebabkan terjadinyan oligomeore atau amenore.
3. Bila berat badan saran telah tercapai, maka terapkan pola makan sesuai kebutuhan: makanlah bila lapar dan berhentilah sebelum kenyang atau setelah dirasa cukup.
4. Perhatikan kecukupan protein. Wanita yang makan protein (daging), maka jumlah kalori makanan yang berasal dari sumber makanan berserat tinggi menjadi lebih sedikit, dan makan serat tinggi dapat mempengaruhi absorbs hormone dan kalsium.
5. Pada seseorang dengan polimenorea, fase proliferasi dapat diperpanjangan dengan pemberian terapi hormon estrogen dan fase sekresi menggunakan terapi hormon kombinasi estrogen dan progesterone (Kumalasari & Andhyantoro, 2012).
6. Seseorang dengan oligomenore yang disebabkan ovulatoar tidak memerlukan terapi. Namun, apabila mendekati amenore diusahakan dengan terapi ovulasi (Kumalasari & Andhyantoro, 2012).
7. Terapi pada amenorea tergantung pada penyebabnya, secara umum dapat diberikan terapi hormone yang dapat merangsang ovulasi, iradiasi ovarium, pengembalian keadaan umum, menyeimbangkan antara kerja, rekreasi, dan istirahat, serta pembedahan untuk mengangkat tumor jika penyebabnya adalah tumor (Kumalasari & Andhyantoro, 2012).
2.4 Hubungan aktivitas fisik dengan siklus Menstruasi
Aktivitas fisik merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan penunjangnya. Aktivitas fisik yang teratur dan benar sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan fisik, mental dan mempertahankan kualitas hidup agar tetap sehat dan bugar. (Arum et al., 2019; Febriyanti et al., 2015).
Aktivitas berintensitas tinggi dikaitkan dengan disfungsi menstruasi dan subfertilitas pada wanita. Serta amenore, oligomenore, defisiensi fase luteal, dan anovulasi. Kelelahan akibat aktivittas yang berlebihan dapat menyebabkan disfungsi hipotalamus yang menyebabkan gangguan pada sekresi GnRH. Yang mana terjadi gangguan aksis Hypothalamic‑Pituitary‑Adrenal (HPA), penekanan aksis
Hypothalamic‑Pituitary‑Gonadal (HPG) akibat disfungsi hipotalamus karena aktivitas
fisik dapat menunda menarche dan mengganggu pola siklus menstruasi dengan membatasi sekresi LH dan FSH. HPA memberikan efek penghambat pada sistem reproduksi wanita. Pertama, kortisol menekan sekresi LH, estrogen dan progesteron, serta membuat jaringan resisten terhadap Estrodiol. Oleh karena itu, peningkatan kadar kortisol diketahui bertanggung jawab atas gangguan menstruasi yang disebabkan oleh stres, seperti yang diamati pada orang dengan kecemasan, depresi,
kekurangan gizi, gangguan makan, dan olahraga berlebihan (Ahrens et al., 2015; Mahitala, 2015). Sedangkan, pada perempuan dengan Aktivitas fisik dengan intensitas rendah dapat meningkatkan cadangan energi di jaringan adiposa. Salah satu hormon yang dihasilkan oleh jaringan adiposa yaitu hormon leptin. Hormon leptin merupakan anggota dari adipositokin yang berperan dalam signaling hormon jaringan adipose. Setiap kelainan pada leptin maupun reseptornya menyebabkan obesitas. Perempuan dengan kondisi kegemukan berhubungan dengan proses perubahan androgen menjadi estrogen. Hipotalamus merangsang peningkatan sekresi hormon LH serta terjadi hiperandrogenisme. Selain itu gangguan pematangan folikel yang di akibat oleh peningkatan LH dan rendahnya kadar testosteron. Tinggi rendahnya estrogen dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kadar androgen. androgen merupakan hormon yang diperlukan tubuh untuk menghasilkan estrogen. Peningkatan kadar androgen dalam darah akan mengganggu fungsi hipotalamus dan menekan sekresi GnRH sehingga menyebabkan terganggunya perkembangan seksual, dan terjadinya penekanan langsung terhadap gonadotropin pada tingkat hipotalamus (Ahrens et al., 2015; Munjidah, 2016; Singh et al., 2019).