• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva,"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi atau ametropia merupakan suatu defek optis yang mencegah berkas-berkas cahaya membentuk sebuah fokus di retina. Kondisi dimana tidak ditemukannya kelainan refraksi disebut emetropia. (Riordan-Eva, 2009) Sehingga emetropia dapat diartikan sebagai suatu kondisi optis dimana mata tidak mengalami kelainan refraksi, sehingga pada saat tidak berakomodasi berkas-berkas cahaya yang masuk sejajar dengan sumbu optis dapat membentuk bayangan tepat di fovea sentralis (Newell, 1996)

2.2 Epidemiologi Kelainan Refraksi

Di seluruh dunia diperkirakan 800 juta hingga 2,3 milyar orang mengalami kelainan refraksi (Dunaway, 2003). Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlah penderita kelainan refraksi sekitar 25% populasi dan merupakan kelainan mata yang paling sering terjadi di Indonesia (Handayani-Ariesanti dkk., 2012).

Secara umum, diperkirakan sekitar 5-15% dari seluruh anak mengalami kelainan refraksi (Dunaway, 2003). Berbagai penelitian mengenai prevalensi kelainan refraksi pada anak juga sudah dilakukan di berbagai negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pi Lian-Hong dkk. (2010) di Cina, ditemukan bahwa dari 3070 anak usia 6-15 tahun yang diteliti ditemukan bahwa 384 diantaranya mengalami hipermetropia, 422 anak mengalami miopia, dan 343 anak mengalami astigmatisme. Penelitian yang dilakukan di India diperoleh hasil

(2)

sekitar 30,57% atau setara dengan 192 anak mengalami kelainan refraksi dari total 628 anak yang diteliti (Prema N., 2011). Sementara itu, pada tahun 2011 di Poliklinik Mata Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, diperoleh hasil 54 anak usia 1-10 tahun mengalami kelainan refraksi dari total 579 pasien (Handayani- Ariesanti dkk., 2012)

2.3 Klasifikasi Kelainan Refraksi 2.3.1 Miopia

Miopia atau nearsightedness merupakan suatu kelainan refraksi dengan berkas-berkas cahaya dari sebuah objek yang jauh difokuskan di sebelah anterior retina pada kondisi mata tidak berakomodasi (Ilyas S dkk., 2008; Riordan-Eva, 2009). Kondisi ini dapat terjadi oleh karena beberapa hal. Apabila miopia disebabkan oleh sumbu bola mata yang terlalu panjang, maka kondisi ini dapat disebut dengan miopia aksial. Indeks bias media atau indeks refraksi kornea dan lensa yang terlalu kuat juga dapat menimbulkan miopia, dimana kondisi ini disebut dengan miopia refraktif (Ilyas S dkk., 2008; Riordan-Eva, 2009).

Gambar 2.1 Refraksi pada miopia aksial, dimana bayangan jatuh di depan retina akibat panjang sumbu bola mata yang terlalu panjang (Anonym, 2010)

(3)

Miopia secara umum terbagi menjadi 3 tipe (Newell, 1996). Tipe yang pertama adalah miopia fisiologis, yang merupakan tipe yang paling sering dijumpai. Tipe ini terjadi karena adanya korelasi yang tidak adekuat antara indeks refraktif kornea dan lensa dengan panjang sumbu bola mata. Biasanya pada tipe ini tidak ditemui kelainan organik, namun pada beberapa kasus dapat ditemui adanya kelainan fundus ringan atau yang lebih dikenal dengan istilah myopic crescent (Ilyas S dkk., 2008). Onset miopia tipe ini dimulai pada usia 5 dan 10

tahun, akan tetapi manifestasinya baru muncul saat usia 25 tahun. Beratnya kelainan refraktif ini biasanya tidak melebihi -6 dioptri (Ilyas S dkk., 2008;

Newell, 1996)

Tipe yang kedua adalah miopia patologis yang juga dikenal dengan istilah miopia degeneratif, miopia maligna, dan miopia progresif (Ilyas S dkk., 2008).

Hal ini disebabkan oleh abnormalitas dimana sumbu aksial bola mata terlalu panjang yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dua-pertiga bagian posterior bola mata yang terjadi bahkan saat ukuran bola mata semestinya sudah stabil saat usia dewasa (Newell, 1996). Pada anak-anak, diagnosis ini sudah dapat dibuat jika terdapat peningkatan derajat miopia dalam jangka waktu yang relative singkat.

Beratnya kelainan ini biasanya melebihi -6 dioptri dan umumnya terdapat kelainan fundus pada pemeriksaan funduskopi (Ilyas S dkk., 2008)

Tipe yang ketiga adalah miopia lentikular yang tergolong miopia refraktif (Newell, 1996). Miopia tipe ini disebabkan oleh adanya abnormalitas ukuran lensa yang menyebabkan bayangan jatuh di depan retina. Miopia lentikular dapat terjadi akibat peningkatan indeks refraksi pada lensa kristalina seperti pada katarak dan diabetes melitus (Klintworth, 2002; Yang Kyung, C. et al., 2013)

(4)

Pada miopia pasien cenderung memiliki kesulitan saat melihat benda atau objek di jarak yang cukup jauh. Namun bila digunakan untuk melihat benda pada jarak dekat, umumnya penglihatan penderita masih normal. Keluhan lainnya meliputi mata cepat lelah saat membaca sebagai akibat konvergensi yang tidak sesuai dengan akomodasi dan saat melihat benda berukuran kecil harus dilakukan dari jarak dekat dan hal ini dapat menimbulkan keluhan (astenovergen) (Ilyas S dkk., 2008). Selain itu, pasien juga dapat mengalami sakit kepala dan kecenderungan terjadinya juling saat meihat jauh.

Berdasarkan derajatnya myopia dapat dibagi menjadi tiga, antara lain:

myopia ringan dimana kekuatan lensa yang digunakan kurang dari tiga dioptri, myopia sedang dimana kekuatan lensa yang digunakan antara tiga hingga enam dioptri, dan myopia berat dimana kekuatan lensa yang digunakan lebih dari enam dioptri (AOA, 2006). Selain itu, myopia berat juga dapat didefinisikan dengan panjang sumbu aksial mata yang melebihi 26mm (Kanski & Bowling, 2009)

Penatalaksanaan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan koreksi dengan lensa negatif yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (PERDAMI, 2006).

2.3.2 Hipermetropia

Hipermetropia atau yang dikenal juga dengan istilah hipermetropia dan farsightedness adalah keadaan mata tak berakomodasi yang memfokuskan

bayangan di belakang retina. Sama seperti miopia, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya panjang sumbu bola mata yang disebut dengan hipermetropia aksial dan menurunnya indeks refraksi seperti pada afakia yang disebut dengan

(5)

hipermetropia refraktif (Riordan-Eva, 2009). Pada hipermetropia aksial, ukuran kornea dan bola mata biasanya lebih kecil daripada normal (Newell, 1996)

Hipermetropia dapat dikompensasi dengan akomodasi, dimana akomodasi dapat meningkatan kekuatan refraksi mata (Newell, 1996). Apabila hipermetropia dapat diatasi dengan akomodasi dan yang masih dapat direlaksasikan disebut dengan hipermetropia manifes tipe fakultatif. Namun bila tidak dapat diatasi dengan akomodasi disebut dengan hipermetropia manifes tipe absolut (Ilyas S dkk., 2008). Pada hipermetropia manifes tipe fakultatif pasien dapat diberikan koreksi lensa positif yang memberikan penglihatan normal sehingga otot-otot akomodatifnya dapat beristirahat (PERDAMI, 2006)

Pada beberapa kasus, deteksi hipermetropia memerlukan penggunaan obat- obatan sikloplegik untuk mengurangi akomodasi pada mata. Hipermetropia tipe ini dapat disebut dengan hipermetropia laten (Ilyas S dkk, 2008). Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada pasien yang berusia muda yang mengalami kelelahan mata saat membaca dan penting untuk penegakan diagnosis esotropia (Riordan-Eva, 2009). Akomodasi pada mata sangat berpengaruh pada konvergensi kedua mata, sehingga bila terjadi peningkatan akomodasi maka mata akan semakin konvergen.

Gambar 2.2 Refraksi pada mata yang mengalami hipermetropia, dimana bayangan jatuh di depan belakang retina (Anonym, 2010)

(6)

Pada akhirnya konvergensi yang berlebih ini dapat bermanifestasi sebagai esotropia (Newell, 1996).

Pada pasien hipermetropia keluhan yang sering terjadi meliputi lelah, pusing, sakit kepala terutama di bagian frontal, dan sebagainya akibat pasien harus terus berakomodasi untuk mendapatkan tajam penglihatan terbaik (astenopia akomodatif). Selain itu, karena akomodasi disertai dengan konvergensi maka ada kemungkina juga pasien akan mengalami strabismus konvergen atau esotropia. Pada pasien dengan hipermetropia 3 dioptri atau lebih, pasien juga dapat mengeluh adanya kabur atau buram saat melihat jauh terutama pada pasien usia tua. Namun, penglihatan dekat pasien juga lebih cepat buram yang akan lebih terasa pada saat kelelahan atau penerangan yang kurang. Hipermetropia dapat ditangani dengan pemberian lensa positif dimana jika pasien juga mengalami esophoria maka hipermetropia dikoreksi penuh, sebaliknya jika pasien mengalami exophoria maka diberikan under koreksi. Namun jika pasien juga mengalami strabismus konvergen koreksi yang dilakukan adalah koreksi total. (Ilyas S dkk., 2002; PERDAMI, 2006)

2.3.3 Astigmatisma

Astigmatisma merupakan kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu focus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian kornea atau lensa kristalina (Riordan-Eva, 2009)

Astigmatisma dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu astigmatisma reguler dan ireguler. Astigmatisma reguler merupakan tipe astigmatisma yang memiliki dua meridian utama dengan orientasi dan kekuatan konstan disepanjang lubang

(7)

pupil sehingga terbentuk dua garis fokus. Selanjutnya astigmatisma reguler dapat dibagi lagi menjadi tiga tipe yaitu: astigmatism with the rule dimana daya bias yang lebih besar terletak pada meridian vertikal, astigmatism against the rule dimana daya bias yang lebih besar terletak di meridian horizontal, dan astigmatisma oblik yang merupakan astigmatisma reguler yang meridian-meridian utamanya tidak terletak dalam 20 derajat horizontal dan vertikal. Sementara itu, astigmatisma ireguler merupakan astigmatisma yang daya atau orientasi meridian- meridian utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (Riordan-Eva, 2009).

Astigmatisma reguler dapat terbagi menjadi lima tipe, antara lain astigmatisma miopikus kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu meridian lainnya miopik), astigmatisma hipermetropikus kompleks (satu meridian utamanya emetropik dan satu meridian lainnya hipermetropik), astigmatism miopikus kompositus (kedua meridian utamanya miopik dengan derajat yang berbeda), astigmatisma hipermetropikus kompleks (kedua meridian utamanya hipermetropik dengan derajat yang berbeda), dan astigmatisma mikstus (satu meridian utamanya miopik dan satu meridian lainnya hipermetropik). Astigmatisam dapat dikoreksi dengan pemberian lensa silinder dan sferis (PERDAMI, 2006).

Gambar 2.3 Tipe-tipe refraksi pada astigmatisma reguler yang disebabkan karena adanya dua garis fokus terhadap retina (Anonym, 2010)

(8)

2.4 Anisometropia

Anisometropia adalah perbedaan kelainan refraksi di antara kedua mata (Riordan-Eva, 2009). Perbedaan kelainan refraksi yang signifikan diatas 1 dioptri pada berbagai meridian juga dapat didefinisikan sebagai anisometropia (McCarthy, 2013). Koreksi terhadap kelainan ini biasanya dipersulit dengan adanya perbedaan ukuran bayangan retina (anisekoinia) dan ketidakseimbangan okulomotor akibat perbedaan derajat kekuatan prismatik bagian perifer kedua lensa korektif tersebut (Riordan-Eva, 2009)

Anisometropia merupakan penyebab utama dari ambliopia. Ambliopia adalah kondisi penurunan tajam penglihatan (visus) yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa adanya defek anatomik pada mata (Riordan-Eva, 2009).

Ambliopia lebih rentan terjadi pada kondisi anisometropia hipermetopi jika salah satu mata tidak terkoreksi dengan baik. Pada anisometropia hipermetropi perbedaan 1 dioptri saja dapat menyebabkan terjadinya ambliopia. Sementara ambliopia pada anisometropia miopi dapat terjadi jika perbedaan kelainan refraksi diatas 2 dioptri dan diatas 1,5 dioptri pada anisometropia astigmat (McCarthy, 2013)

2.5 Ambliopia

Ambliopia atau yang dikenal juga dengan istilah mata malas merupakan penurunan ketajaman penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan lensa tanpa defek anatomik yang nyata pada mata atau jaras penglihatan (Riordan-Eva, 2009).

Kondisi ini dapat mengenai salah satu atau kedua mata, meskipun lebih jarang mengenai kedua mata. Ambliopia dapat disebabkan oleh strabismus, kelainan

(9)

refraksi baik isometropia ataupun anisometropia, dan akibat deprivasi penglihatan yakni gangguan total maupun parsial pada mata yang menyebabkan terbentuknya bayangan yang kabur pada retina misalnya katarak kongenital (AAO, 2012; West

& Asbury, 2009).

Perkembangan anatomi retina dan korteks penglihatan yang normal ditentukan oleh pengalaman visual pasca lahir hingga anak berusia delapan tahun.

Jika terdapat gangguan penglihatan pada periode tersebut maka akan menghambat pembentukan penglihatan normal pada mata yang sakit (Fredrick, 2009).

Ambliopia dapat dikoreksi bila terdeteksi sejak usia dini. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan skrining rutin sebelum anak berusia 4 tahun untuk mendeteksi penurunan ketajaman penglihatan atau adanya faktor ambliogenik sebab kedua hal tersebut merupakan syarat untuk penegakan diagnosis ambliopia (Fredrick, 2009; AAO, 2012).

Ambliopia dapat diterapi dengan koreksi kelainan refraksi yang tepat, terapi oklusi mata yang normal selama beberapa jam per hari. Apabila terapi oklusi tidak berjalan dengan baik, maka perlu dilakukan penalisasi dengan menggunakan atropin pada mata yang sehat setiap hari selama beberapa minggu.

Selama periode tersebut diperlukan monitoring dan kontrol rutin terhadap visus kedua mata (Fredrick, 2009; Kanski & Bowling, 2009)

2.6 Pemeriksaan Oftalmologik

Pemeriksaan oftalmologi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis kelainan refraksi merupakan pemeriksaan tajam penglihatan.

Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara subjektif dengan menggunakan Snellen

(10)

chart, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji

penglihatan jarak jauh. (Chang, D. F., 2009).

Ketajaman penglihatan yang belum dikoreksi atau UCVA (Uncorrected Visual Acuity) diukur tanpa kacamata atau lensa kontak. Selanjutnya perlu dinilai

juga ketajaman penglihatan terkoreksi atau BCVA (Best Corrected Visual Acuity) dengan alat bantu yang sudah disesuaikan, bila tidak terdapat kacamata, pemeriksaan BCVA dapat dilakukan dengan menggunakan ‘pinhole’.

Pemeriksaan tersebut menggunakan lubang kecil sehingga dapat membantu berkas sinar terfokus ke pupil dan menghasilkan bayangan yang lebih tajam.

Apabila pasien tidak dapat membaca huruf terbesar dalam grafik Snellen (20/200 atau 6/60), pemeriksaan dapat dilakukan dengan pemeriksaan hitung jari (counting finger). Jika masih tidak bias, dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan lambaian tangan (hand motion), yang jika pemeriksaan ini gagal dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan light perception. Apabila mata tidak dapat mempersepsi cahaya maka mata dapat dianggap buta total (NLP atau no light perception).

Pemeriksaan tajam penglihatan juga dapat dilakukan secara objektif seperti menggunakan auto refrakter atau streak retinoscopy (Chang, D. F., 2009)

Klasifikasi WHO menurut laporan yang disampaikan pada International Council of Ophtalmology (2002) menggolongkan visus pada mata terbaik pasien

kedalam beberapa kategori antara lain:

a. Penglihatan normal atau gangguan penglihatan ringan: merupakan kondisi dimana visus pasien diatas 6/18 setelah dikoreksi.

(11)

b. Low vision: kategori ini terbagi menjadi dua bagian yaitu Grup 1 atau visual impairment dengan rentang nilai visus 6/18 hingga 6/60. Kategori selanjutnya

adalah Grup 2 atau severe visual impairment dengan visus <6/60 hingga 3/60.

c. Blindness atau kebutaan: merupakan kondisi dimana visus pasien <3/60 hingga NLP (no light perception). Kategori ini terbagi lagi menjadi tiga kelompok antara lain Grup 3 dengan visus < 3/60 hingga 1/60, Grup 4 dengan visus <1/60 hingga LP (light perception), dan Grup 5 dengan visus NLP (No Light Perception).

2.7 Proses Emetropisasi Pada Anak

Emetropisasi merupakan proses yang terjadi selama periode pertumbuhan normal dimana mata berubah dari kondisi ametropia menjadi emetropia. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya faktor genetik, perubahan struktur, adaptasi lingkungan, interaksi biokimia, dan efek penggunaan kacamata (Kristie Yackle & Fitzgerald, 1999).

Sebagian besar bayi memiliki kondisi mata yang hipermetropia dimana nantinya seiring dengan proses pertumbuhan kondisi hipermetropia ini akan berubah mencapai kondisi emetropia secara perlahan (Lowery et al., 2006).

Dinyatakan bahwa kondisi ini sangan rentan mengalami perubahan akibat pengaruh dari luar (Yackle & Fitzgerald, 1999). Kelengkungan kornea yang cukup curam pada saat lahir akan mendatar sampai mendekati kelengkungan dewasa pada usia 1 tahun. Selain itu, kondisi lensa dan panjang sumbu bola mata saat lahir juga akan berubah seiring pertumbuhan anak (Riordan-Eva, 2009)

(12)

Ada beberapa hipotesis mengenai proses emetropisasi ini, diantaranya adalah teori pasif dan teori aktif. Teori aktif menyatakan bahwa emetropisasi terjadi dan diregulasi oleh bayangan yang terbentuk di retina. Mata akan menganalisis bayangan yang terbentuk, selanjutnya mata akan memanjang atau memendek hingga bayangan di retina menjadi jelas atau terkonjugasi.

Sebaliknya, pada teori pasif dijelaskan bahwa emetropisasi merupakan hasil dari faktor genetik dan faktor fisik terhadap pertumbuhan normal mata dimana terjadi interaksi akibat perubahan yang proporsional antara kekuatan lensa dengan panjang aksial bola mata. Sehingga nantinya kedua mata yang sebelumnya hipermetropia atau mungkin miopia akan berubah menjadi emetropia (Yackle &

Fitzgerald, 1999).

Kurvatura kornea, kekuatan lensa, dan kedalaman vitreus. merupakan komponen yang memiliki pengaruh paling besar terhadap refraksi manusia.

Perubahan kurvatura kornea sesungguhnya lebih berpengaruh pada emetropisasi astigmatisma dibandingkan pada astigmatisma sferis (Yackle & Fitzgerald, 1999).

Kekuatan lensa yang berkurang juga merupakan penyebab primer terjadinya proses emetropisasi. Hal ini terjadi karena adanya penipisan dan pemipihan lensa kristalina akibat berkembangnya mata ke berbagai arah (Mutti, 2010). Perubahan kedalaman vitreus akan mempengaruhi ketebalan lapisan koroid, yang nantinya akan menyebabkan retina mampu memodifikasi bayangan yang kurang jelas (Yackle & Fitzgerald, 1999).

Faktor herediter juga merupakan salah satu faktor yang memiliki peranan penting dalam proses emetropisasi. Dimana pada suatu penelitian diperoleh bahwa jika kedua orang tua dari seorang anak mengalami kelainan refraksi, maka risiko

(13)

anak tersebut untuk mengalami kelainan refraksi lebih besar ketimbang anak-anak lain yang hanya memiliki satu orang tua dengan kelainan refraksi atau kedua orang tuanya tidak memiliki kelainan refraksi. Faktor lainnya adalah aktivitas di luar ruangan. Semakin lama seorang anak menghabiskan waktunya di luar ruangan, maka semakin kecil kemungkinan anak tersebut mengalami miopia.

Sementara itu, semakin sering seseorang melakukan aktivitas yang memerlukan jarak pandang dekat dan tingginya tingkat pendidikan dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami miopia. (Mutti, 2010; Stambolian, 2013).

Faktor lainnya adalah penggunaan kacamata atau lensa. Anak-anak yang mengalami hipermetropia yang dikoreksi penuh akan mengalami perlambatan emetropisasi hingga proses tersebut tidak terjadi sama sekali. Sehingga disarankan agar anak-anak yang mengalami hipermetropia dikoreksi parsial tanpa sikloplegik (Mutti, 2010; Lowery et al., 2006). Dari faktor-faktor yang diduga mempengaruhi proses emetropisasi pada anak, dapat disimpulkan bahwa apabila faktor-faktor tersebut terganggu pada masa pertumbuhan maka risiko seorang anak mengalami ametropia menjadi lebih besar jika dibandingkan dengan anak- anak yang proses emetropisasinya berjalan normal tanpa intervensi (Mutti, 2010;

Yackle & Fitzgerald, 1999).

Gambar

Gambar 2.1 Refraksi pada miopia aksial, dimana bayangan jatuh di depan retina   akibat panjang sumbu bola mata yang terlalu panjang (Anonym, 2010)
Gambar 2.2 Refraksi pada mata yang mengalami hipermetropia, dimana bayangan  jatuh di depan belakang retina (Anonym, 2010)
Gambar 2.3 Tipe-tipe refraksi pada astigmatisma reguler yang disebabkan karena  adanya dua garis fokus terhadap retina (Anonym, 2010)

Referensi

Dokumen terkait

Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF). Suatu Masyarakat Disebut ODF jika :.. a) Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya

Berdasarkan kompetensi dasar pada tema 6,7, dan 8 subtema 2 dapat diketahui bahwa pada setiap mata pelajaran tidak keseluruhan kompetensi dasar mengandung unsur keterampilan

Pada penelitian ini rasio profitabilitas diproksikan dengan return on equity (ROE). ROE digunakan untuk mengetahui seberapa modal atau ekuitas para pemegang

mata pembaca dan pengaturan lebih kompak pada garis daripada tipe romawi yang umum. Secara singkat disebut Aldinos, huruf-huruf ini segera dikenal dengan istilah

Pola penataan ruang yang membentuk ruang bangunan berarsitektur Cina terletak pada tata ruang dalam yang dikenal dengan istilah “inner court” atau “courtyard”

Astigmatisma adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar – sinar sejajar yang berasal dari jarak tak terhingga masuk ke mata tanpa akomodasi tidak dibiaskan pada satu titik

Kelelahan mata adalah ketegangan pada mata dan disebabkan oleh penggunaan indera penglihatan dalam bekerja yang memerlukan kemampuan untuk melihat dalam jangka waktu yang lama dan

Secara rinci horton dan hunt (1987), mencatat beberapa konsekuensi negatif dari mobilitas sosial vertikal seperti kecemasan akan terjadinya penurunan status bila terjadi