• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Saat ini, strategi perusahaan untuk mempromosikan produknya semakin bervariasi dan juga kreatif. Sifat konsumen yang merupakan target audiens dan target market dari perusahaan pun juga mulai mengalami perubahan semenjak mengenal Media Baru.

Perubahan ini tentu saja membuat banyak perusahaan atau brand mulai mempertimbangkan media digital sebagai pilihan dalam melakukan kegiatan komunikasi pemasaran. Jika dahulu promosi produk dilakukan melalui iklan di media elektronik seperti televisi, maka saat ini media digital mulai dipertimbangkan untuk mencapai hasil yang lebih maksimal. Salah satu media digital yang banyak digunakan oleh brand untuk melakukan promosi melalui iklan saat ini adalah YouTube.

Menurut riset yang telah dilakukan oleh Hootsuite (2019), setiap bulannya, YouTube memiliki 2 miliar penonton bulanan yang terdaftar (logged-in monthly users).

Angka ini terus naik sekitar 5 persen dari jumlah penonton bulanan YouTube pada tahun 2018 dimana tercatat 1,8 miliar penonton setiap bulannya. Dengan data dan fenomena inilah YouTube mulai digunakan oleh brand sebagai platform untuk melakukan promosi melalui iklan. Melalui iklan, sebuah produk dapat dikenal, diketahui dan diminati oleh masyarakat yang ditargetkan.

Menurut Tjiptono (2003:226), Iklan adalah bentuk komunikasi tidak langsung yang didasari pada informasi tentang keunggulan suatu produk yang disusun sedemikian rupa sehingga menimbulkan rasa menyenangkan yang akan mengubah pikiran seseorang untuk melakukan pembelian. Namun saat ini, brand tidak lagi hanya menampilkan keunggulan produknya dalam sebuah iklan. Menurut PR Expert Mark Borkowski dalam artikel The Guardian (2019), bagi konsumen, tidak lagi cukup bagi brand atau merek untuk hanya menjual produk, lebih dari pada itu konsumen juga menuntut brand agar memiliki tujuan yang mereka perjuangkan. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan iklan yang luar biasa sehingga dapat memberi pengaruh sekaligus menciptakan maupun merubah pola pikir dan habit di masyarakat.

(2)

2

Dengan membawa suatu tujuan yang diperjuangkan, iklan dapat ikut serta membuat pemahaman tertentu secara tersirat maupun tersurat. Ini berarti, iklan sangat memungkinkan untuk menjadi sebuah simbol saat merefleksikan sebuah nilai atau pemahaman tertentu. Penelitian dari perusahaan publisitas Edelman (2018) menujukkan bahwa dua per tiga konsumen global akan membeli produk yang sesuai dengan nilai yang mereka yakini. Bahkan, survey yang melibatkan 8000 responden ini menemukan bahwa brand lebih mampu dalam melakukan perubahan sosial dari pada pemerintah.

Dengan kekuatan brand yang mampu melakukan perubahan sosial, berbagai brand besar tidak lagi hanya beriklan untuk menjual produknya. Lebih dari itu, brand mengemas iklannya dalam bentuk kampanye sosial. Sebagai contoh, brand Dove dengan kampanye “Real Beauty” yang menantang stereotipe mengenai kecantikan wanita. Selain itu, brand Always yang menjual produk feminine dengan iklan kampanye sosialnya yang berjudul “Like A Girl” menantang persepsi negatif pada frasa seperti “Berkelahi seperti perempuan” dan “Berlari seperti perempuan”.

Berbicara mengenai pentingnya bagi sebuah brand untuk memiliki tujuan yang dapat diperjuangkan, Gillette, sebagai top of mind dari produk perlengkapan cukur asal Amerika ini meluncurkan iklan yang cukup kontroversial di akun YouTube miliknya pada tahun 2019. Tidak seperti kebanyakan iklan yang berfokus untuk menunjukkan keunggulan produknya, Gillette justru mempromosikan dan mengangkat isu maskulinitas yang kini tanpa disadari telah berubah menjadi maskulinitas beracun (toxic masculinity).

Iklan dengan muatan sosial seperti isu maskulinitas ini menurut Carles U. Larson (1992) termasuk ke dalam jenis Ideological or Cause – Oriented Campaign, dimana kegiatan kampanye jenis ini bertujuan khusus dan berorientasi pada perubahan sosial. Oleh karena itu, iklan-iklan yang membahas tentang isu-isu sosial pun dapat dikategorikan sebagai kampanya jenis ini karena sifatnya sosial untuk masyarakat. Pengertian kampanye sosial yang termasuk ke dalam kegiatan komunikasi persuasive ini sejalan dengan tujuan dan fungsi periklanan sehingga membuat iklan dimanfaatkan sebagai media untuk melakukan kampanye sosial.

Dalam iklannya pun, Gillette dengan vocal membicarakan isu sosial yaitu tentang maskulinitas. Seluruh scene dalam iklannya sama sekali tidak menampilkan produk yang dijual Gillette yang mana dapat diartikan bahwa iklan ini memang bertujuan untuk

(3)

3

mempromosikan sebuah sikap dan mindset akan maskulinitas yang positif, bukan untuk menjual produknya. Perilisan iklan berbentuk film pendek ini juga mencakup komitmen tiga tahun Gillette untuk mendonasikan satu juta dollar per tahunnya kepada organisasi non-profit seperti Klub Anak Laki-laki dan Perempuan Amerika. Kampanye ini kemudian dijelaskan lebih lanjut pada situs web Gillete. Dalam situs web tersebut, Gillette merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa mereka ikut mempromosikan versi yang positif dan perilaku yang sehat serta arti sebenarnya menjadi seorang laki-laki. Berikut adalah pernyataan dari Gillette serta daftar organisasi non profit penerima donasi:

Gambar 1 1

Pernyataan Donasi Gillette

(4)

4

Gambar 1 2

Daftar Club Penerima Donasi Gillette

Secara artian luas, Gillette berusaha menyampaikan kampanye sosialnya untuk memberi penerangan dan memotivasi khalayak terhadap suatu kegiatan atau program tertentu melalui proses dan teknik komunikasi yang berkesinambungan juga terencana dalam rangka mencapai publisitas dan citra yang positif (Ruslan, 2005). Menggunakan medium audio visual berupa iklan, Gillette ingin mengubah perspektif khalayak tentang maskulinitas dengan menyampaikan sikap-sikap bagaimana maskulinitas yang tidak beracun. Sekali lagi, dalam videonya pun Gillette tidak menampilkan produk mereka, dan sepenuhnya menyajikan adegan-adegan dan mengangkat isu maskulinitas itu sendiri. Walaupun dalam pernyataan Gillette iklan ini adalah kategori iklan sosial, namun sebagai brand yang menjual sebuah produk, penjualan tentunya juga menjadi aspek yang diperhatikan. Meski peneliti menemukan list organisasi non-profit yang menerima donasi dari Gillette, namun hingga tulisan ini dibuat peneliti belum menemukan data terkait donasi yang telah disalurkan oleh Gillette.

(5)

5

Perusahaan berumur 118 tahun yang telah berdiri sejak 1901 ini pun menuai banyak pujian dan kritik dari penonton setelah meluncurkan iklan kampanye sosial berbentuk short film (film pendek) yang berjudul “We Believe: The Best Men Can Be”.

Hingga tulisan ini dibuat, video iklan kapmanye sosial tersebut telah ditonton sebanyak 35 juta kali serta mendapat 823 ribu reaksi suka dan 1,6 juta reaksi tidak suka.

Video berdurasi 1 menit 48 detik itu menuai banyak pujian karena telah berani bersuara dan berusaha untuk menegur rasa tak acuh dan pemakluman laki-laki atas berbagai masalah sosial. Namun, kritik pedas dan kemarahan dari berbagai kalangan juga banyak bermunculan karena rupanya, mereka merasa terserang oleh iklan tersebut.

Bahkan dilansir dari tirto.id (2019), banyak pula diantaranya yang langsung memboikot Gillette sebagai wujud protes dan memutuskan untuk tidak akan lagi menggunakan apalagi membeli produk Gillette. Data dari penelitian Edelman (2018) pun menunjukkan bahwa 64 persen konsumen diseluruh dunia akan membeli ataupun memboikot sebuah brand karena posisi sosial atau politik brand tersebut berada.

Kebanyakan brand dengan target primer laki-laki pun dengan sadar turut menciptakan mindset dan mempertahankan konsep tentang maskulinitas dalam setiap iklannya. Ditampilkan sebagai sosok dominan, terlihat tangguh, kuat, berani dan menantang adalah sosok ideal laki-laki dalam kebanyakan iklan. Melalui pencitraan yang ditampilkan secara terus menerus, membuat simpulan bahwa kebalikan dari nilai-nilai tersebut dianggap lemah dan tidak maskulin. Dengan konsep maskulinitas yang telah tertanam dalam mindset masyarakat sedari dulu, maka kemudian terciptalah kesadaran semu mengenai maskulinitas. Kesadaran semu inilah yang ingin pelan-pelan dihilangkan oleh Gillette.

Claim Gillette atas kesadaran semu akan maskulinitas ini tidak semata-mata karangan Gillette, namun terbukti oleh berbagai data yang peneliti temukan. Menurut PACER’s National Bullying Prevention Center menyebutkan bahwa satu dari lima (20.2%) siswa mengalami pembulian, dan persentasi pembulian fisik yang terjadi pada siswa laki-laki lebih tinggi persentasinya (6%) dibandingkan perempuan yang hanya 4%.

Di Indonesia sendiri, data mengenai pembulian lebih sering terjadi pada laki-laki dapat dilihat pada data dari UNICEF:

(6)

6

Gambar 1 3

Pembulian di Indonesia Data by UNICEF

Selain itu, data dari Pan American Health Organization (PAHO, 2019) menyebutkan bahwa satu dari lima laki-laki tidak akan menginjak usia 50 tahun karena isu yang berhubungan dengan toxic masculinity. Menurut CBC (2017) pula, pada section wellness menyebutkan bahwa Toxic Maculinity may be quadrupling the suicide rate for Canadian Men. Berdasarkan data-data tersebutlah Gillette sebagai brand yang dekat dengan laki-laki merasa ikut bertanggung jawab dan ingin laki-laki menjadi lebih baik lagi.

Dalam kampanye sosialnya, Direktur Jenama Gillette Amerika Utara Pankaj Bhalla berujar “Iklan ini tentang bagaimana pria lebih banyak bertindak dalam kehidupan sehari-hari untuk memberikan contoh terbaik bagi generasi berikutnya”

melalui pernyataan tersebut Gillete berkeinginan untuk memberikan suatu pandangan dan motiavasi kepada khalayak untuk mempengaruhi individu-individu menyoal kepercayaan, tingkah laku, minat para audiens terhadap maskulinitas yang tidak beracun.

Dalam artikel yang berjudul “Why Gillette’s New Ad Campaign Is Toxic” yang dimuat dalam Forbes.com (2019), Gillette memodifikasi tagline nya yang telah berusia 30 tahun dari “The Best a Man Can Get” menjadi “The Best Men Can Be”.

Sebagai brand besar, Gillette cukup berani untuk menegur target market primernya yaitu laki-laki agar menjadi versi yang lebih baik dari pada sebelumnya.

Sebagian menganggap keputusan Gillette dalam meluncurkan iklan ini adalah gerakan

(7)

7

yang salah karena tidak seharusnya Gillette ikut campur dan mendikte bagaimana laki- laki harus berperilaku. Beberapa komentar pun mengatakan iklan ini merupakan bagian dari propaganda feminis. Iklan yang di direct oleh Kim Gehrig ini pun ikut dipermasalahkan karena director nya adalah seorang perempuan yang mana dirasa tidak pantas untuk memproduksi iklan dari brand yang maskulin ini.

Namun menurut Pankaj Bhalla, Direktur Jenama Gillette Amerika Utara dalam artikel tirto.id (2019), pihak Gillette memang mengharapkan adanya perdebatan dan sebuah diskusi yang sesungguhnya. Jika tidak berdiskusi dan tidak berbicara mengenai isu tersebut, maka perubahan tidak akan pernah terjadi. Banyaknya komentar negatif atas iklan ini dan penolakan adalah bukti nyata bahwa iklan dan kampanye sosial seperti inilah yang memang dibutuhkan dalam rangka memperjuangkan isu penting bersama- sama.

Iklan bertemakan isu hangat dan sensitive sangat mampu mengahsilkan keterlibatan yang luas. Gillette membuktikannya dengan iklan kontroversial yang berhasil meningkatkan volume percakapan dan keterlibatan dengan audiens barunya.

Walaupun secara historis target market Gillette adalah laki-laki karena kegiatan mencukur merupakan aktivitas yang maskulin, iklan kontroversial mereka justru meraih tanggapan paling besar dari wanita. Menurut data dari Crimson Hexagon dalam artikel Art Plus Marketing (2019), sebelumnya iklan tradisional Gillette didominasi oleh percakapan dari audiens laki-laki sebanyak 56 persen. Namun, setelah iklan “We Believe: The Best Men Can Be” tayang, jumlah audiens wanita meningkat hingga 62 persen dimana 51 persen dari mereka menyatakan kegembiraan.

Sangat bagus bagi brand jika turut membawa perubahan positif di masyarakat.

Terlepas dari pesan iklan sosial tersebut nantinya akan menimbulkan kemarahan, menginspirasi atau tidak menimbulkan reaksi apapun, penting bagi brand untuk mengingat bahwa brand bukanlah badan amal. Bahkan, iklan kontroversial dengan muatan persuasif sekalipun sudah seharusnya dapat menimbulkan efek ketertarikan, kesadaran akan brand yang kemudian berujung pada penjualan produk. Dalam artikel bbc.com (2019), saat iklan “We Believe” muncul, nilai saham Procter & Gamble yang merupakan perusahaan induk Gillette, sempat naik di Bursa Efek New York namun kemudian berakhir turun sedikit lebih rendah.

(8)

8

Meskipun iklan Gillette “We Believe: The Best Men Can Be” ini adalah versi Amerika, namun dampaknya dapat dirasakan di seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Walaupun secara spesifik iklan ini ditujukan bukan untuk pasar Indonesia, iklan Gillette

“We Believe: The Best Men Can Be” juga mendapat banyak perhatian oleh audiens Indonesia. Hal ini disebabkan karena pengguna media baru terutama media sosial YouTube dapat menjangkau siapa saja dan dimana saja. Sehingga, tidak ada lagi halangan dan batasan geografis. Terlebih lagi, produk Gillette juga dipasarkan di Indoensia. Tentu saja, jarak pemahaman dan penerimaan khalayak akan berbeda-beda.

Munculnya beragam reaksi audiens setelah menonton video iklan ini dengan kata lain, iklan ini membelah pendapat masyarakat.

Selain pro kontra yang banyak bertebaran di kolom komentar YouTube Gillette, Iklan “We Believe: The Best Men Can Be” juga ramai dibicarakan oleh audiens Indonesia di media sosial Twitter. Seperti yang dikutip dari akun twitter @Adriandhy, seorang Animator Indonesia yang memiliki 137 ribu pengikut tersebut menulis “Semakin Anda marah-marah dan nggak terima sama iklan Gillette itu, semakin Anda meyakinkan mereka bahwa Anda lah yang perlu pakai produk mereka. Karena mata pisau mereka kan memang untuk pria yang kulitnya tipis dan gampang teriritasi”. Tweet sarkas yang menyindir kelompok kontra tersebut kemudian mendapatkan 64 retweet dan 62 reaksi suka.

Beberapa media online Indonesia pun juga ikut serta dalam membahas iklan Gillette tersebut. Diantaranya, tweet dari akun twitter @TirtoID yang membahas mengenai iklan Gillette mendapatkan 115 retweet, 200 reaksi suka, dan berhasil membuka obrolan pada kolom reply nya. Walaupun terdapat banyak komentar positif mengenai iklan tersebut, komentar negatif yang dituliskan oleh golongan kontra juga sangat menarik perhatian. Beberapa reply negatif tersebut disampaikan oleh akun

@tadanoryandesu yang menuliskan “Apa-apa dibawa politik even alat cukur, getting tired of all this shit”. Akun @greensbook_ juga berkomentar “Feminisme dimana- mana!” seolah-olah iklan tersebut merupakan propaganda feminis. Tweet dari akun

@colbearid turut berkomentar bahwa sangatlah lucu jika mengekspos toxic masculinity sementara hampir seluruh konsumen Gillette adalah laki-laki. Bahkan, komentar lain juga menganggap iklan ini seksis dan mengatakan “Memangnya female tidak bisa jadi

(9)

9

the best? Memangnya alat cukur hanya untuk male?” pada komentarnta tersebut, akun twitter @chuuliberation juga secara terang-terangan menyebutkan dirinya merasa tersinggung akibat iklan Gillette tersebut. Selain media online TirtoID, media online Vice Indonesia juga turut membahas iklan kontroversial tersebut hingga mendaptkan 80 retweet dan 74 reaksi suka. Berbagai ruang diskusi dan perdebatan yang timbul ini merupakan bukti nyata bahwa iklan Gillette juga mendapatkan perhatian oleh audiens Indonesia.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka fenomena ini kemudian akan menjadi sangat menarik jika diteliti menggunakan Analisis Penerimaan atau Reception Studies karena nantinya peneliti akan mencari penerimaan dan pemaknaan audiens terkait suatu teks yang mana objek teks tersebut berupa iklan kampanye sosial. Karena pada kenyataannya, makna dari teks dapat salah jika terdapat jarak pemahaman antara pembuat pesan dengan audiensnya. Resepsi akan dilakukan pada kelompok laki-laki yang turut menjadi bagian dari target market dan audiens Gillette yang memiliki karakteristik metroseksual yang aktif, sporty, menjaga penampilan dan kebersihan dirinya. Selain itu, kelompok tersebut harus sudah terpapar akan konten iklan Gillette dan dibutuhkan kelompok yang dapat melambangkan keberagaman dalam masyarakat.

Kelompok disini juga dapat berupa komunitas yang harus berisikan individu yang heterogen, saling berbagi pengalaman dan memiliki hubungan sosial diantara mereka.

Namun, konten media yang dilihat tetap merujuk pada kesadaran mereka sendiri sebagai khalayak.

Oleh karena sebab itu, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerimaan Audiens terhadap Pesan Maskulinitas dalam Video Iklan Kampanye Sosial Gillette Versi “We Believe: The Best Men Can Be” di YouTube (Studi Resepsi pada Komunitas Freeletics Malang).

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerimaan dan pemaknaan Komunitas

(10)

10

Freeletics Malang terhadap pesan maskulinitas dalam video iklan kampanye sosial Gillette versi “We Believe: The Best Men Can Be” di YouTube?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah disebutkan, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerimaan dan pemaknaan Komunitas Freeletics Malang terhadap pesan maskulinitas dalam video iklan kampanye sosial Gillette versi “We Believe: The Best Men Can Be” di YouTube.

1.4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, keseluruhan penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Akademis

Untuk manfaat akademis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat yang positif dan juga pengetahuan kepada Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis resepsi terutama yang berhubungan dengan penerimaan audiens terhadap video iklan dan kampanye sosial. Penelitian ini nantinya juga diharapkan dapat menjadi salah satu acuan maupun sumber informasi bagi akademisi dalam perkembangan penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat membangun pemikiran, meningkatkan kreatifitas dan memperluas pengetahuan dalam menelaah fenomena atau isu- isu terkini yang sewaktu-waktu dapat diangkat menjadi latar belakang sebuah iklan. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi sumber referensi bagi siapa saja yang tertarik untuk mengetahui bagaimana penerimaan audiens terhadap suatu teks yang menggunakan analisis resepsi.

Referensi

Dokumen terkait

data ttg pelaksanaan tindakan kep yang data ttg pelaksanaan tindakan kep yang sedang dilakukan oleh perawat/ bidan sedang dilakukan oleh perawat/ bidan dengan cara observasi

Dalam konteks HAM ini, menarik untuk disimak pendapat yusril ihza tentang materi huNXP V\DUL¶DK 0HQXUXW (Mahendra 2002)materi tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga

FAKULTAS HUKUM UNI UERSI TAS AI RLANGGA.S. ndanq

Sensor strain gauge digunakan sebagai kontrol massa dalam proses pengukuran berat ikan akan mengontrol aktuator untuk menentukan kategori ikan dalam 3 kategori yaitu

Analisis Kualitas Pelayanan, Kepuasan, dan Loyalitas Pasien dengan Pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) (Studi Kasus: Rumah Sakit Universitas Airlangga Kampus

yang terisolasi pada VLAN yang berbeda di bawah kendali network administrator sehingga peneliti dapat mengontrol lalu lintas mereka sendiri, dan menambah ataupun

Hasil perhitungan dengan menggunakan Metode Storet dan mengklasifikasikan mutu air dengan menggunakan nilai dari US-EPA diperoleh hasil status mutu air pada air void

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implementasi kebijakan tersebut dan bagaimana persepsi masyarakat terhadap dampak